• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Mengenai Transaksi Pembayaran Melalui Perantara Atau Pihak Ketiga Secara Online Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Juncto Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang - U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Mengenai Transaksi Pembayaran Melalui Perantara Atau Pihak Ketiga Secara Online Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Juncto Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang - U"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSAKSI PEMBAYARAN MELALUI

PERANTARA ATAU PIHAK KETIGA SECARA ON LINE DIHUBUNGKAN

DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR

7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

LEGAL VIEW ABOUT PAYMENT DUE OF MEDIATOR OR THROUGH A THIRD PARTY ON THE ON LINE THROUGH THE LAW NUMBER 8 YEARS

1999 CONCERNING CONSUMER LAW PROTECTION

JUNCTO THE LAW 10 YEAR 1998 CONCERNING CHANGES IN THE LAW NUMBER 7 YEAR 1992 ON BANKING

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada program Starata-1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh :

Muhammad Isa Abdil Aziz Yanatama 3.16.06.012

Dibawah Bimbingan :

BUDI FITRIADI S., S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)
(3)

viii ABSTRACT

By :

MUHAMMAD ISA ABDIL AZIZ YANATAMA

One of these technological developments is the existence of the Internet media. Through the internet, we can create a way that can facilitate the payment systems in a transaction on line. Online transaction processing is basically not much different from ordinary buying and selling transaction process in the real world. In the transaction on line using a contract of sale is called an electronic contract. Electronic contract is a contract that contains the promise or agreement and the consequences of violations of these regulations. Thus in an online transaction must meet the legal requirements of an agreement as provided in Article 1320 Burgerlijk Wetboek. The growth of information technology also affect service developments banking services, one of which is on-line transaction services through an intermediary or third party on Thread facilitated through a Joint Account Forums Kaskus.us. This is in accordance with banking operations. Problems arise when talking about the interests of the parties who each have rights and obligations that must be considered in the implementation of the agreement. Settings on the rights and obligations of consumers and business actors in conducting transactions on line. Besides having the rights and duties, business operators and consumers must also have a responsibility in the implementation of the contract that each party has the objective to be able to avoid things that are detrimental to either party.

To answer the above problems, this research is conducted with a normative juridical approach, which is done by specification of the descriptive analytical research. Searching data in the form of legal materials both primary, secondary, and tertiary needs. Done through library and field study were processed and analyzed by juridical qualitative.

(4)

vii

ABSTRAK

Oleh :

Muhammad Isa Abdil Aziz Yanatama

Salah satu perkembangan teknologi ini adalah dengan adanya media internet. Melalui media internet, kita dapat menciptakan suatu cara yang dapat memudahkan sistem pembayaran dalam suatu transaksi secara on line. Proses transaksi secara on line pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Pada transaksi secara on line menggunakan kontrak jual beli yang disebut kontrak elektronik. Kontrak elektronik merupakan suatu kontrak yang berisi janji-janji atau kesepakatan dan akibat dari pelanggaran atas peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian pada suatu transaksi secara on line harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek. Pertumbuhan teknologi informasi juga berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan. salah satunya adalah layanan transaksi secara on line melalui perantara atau pihak ketiga pada Thread Rekening Bersama yang difasilitasi melalui Forum Jual Beli Kaskus.us. Hal ini telah sesuai dengan kegiatan usaha bank. Persoalan timbul ketika berbicara mengenai kepentingan para pihak yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan perjanjian. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha dalam pelaksanaan transaksi secara on line. Selain memiliki hak dan kewajiban, pelaku usaha dan konsumen juga harus memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan kontrak agar masing-masing pihak mempunyai tujuan untuk dapat menghindari hal-hal yang merugikan salah satu pihak.

Untuk menjawab permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yang dilakukan dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pencarian data berupa bahan-bahan hukum baik primer, sekunder, maupun tersier yang dibutuhkan. Dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan yang diolah dan dianalisis secara yuridis kualitatif.

(5)

iv

DAFTAR ISI

halaman

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

ABSTRAK vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 6

C. Maksud dan Tujuan Penelitian 6

D. Kegunaan Penelitian 7

E. Kerangka Pemikiran 8

F. Metode Penelitian 13

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN DAN PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI SECARA ON LINE A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen 16

(6)

v

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA

PERBANKAN MELALUI PERANTARA ATAU PIHAK

KETIGA PADA TRANSAKSI ON LINE

A. Para Pihak yang Terkait dalam Penyelenggaraan Jasa Perantara atau Pihak Ketiga Pada Transaksi On Line

Melalui Rekening Bersama 42

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Perbankan Dalam Transaksi Secara On Line Melalui Perantara Atau

Pihak Ketiga 49

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN

HUKUM DALAM TRANSAKSI PEMBAYARAN

MELALUI PERANTARA ATAU PIHAK KETIGA

SECARA ON LINE

A. Keabsahan Transaksi Jual Beli Secara On Line Melalui Perantara Atau Pihak Ketiga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nhomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 60 B. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna

Fasilitas Pembayaran Melalui Perantara Atau Pihak Ketiga Dalam Transaksi On Line Berdasarkan Undang-Undang

(7)

vi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan 102

B. Saran 104

DAFTAR PUSTAKA ix

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak yang negatif. Dampak positif tentu saja merupakan hal yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan manusia di dunia termasuk di negara Indonesia sebagai negara berkembang, yang mana hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini diramu dalam berbagai bentuk dan konsekuensinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampak negatif yang timbul dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus juga dipikirkan solusinya karena hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada kehidupan manusia, baik kehidupan manusia secara fisik maupun kehidupan mentalnya.

(9)

Penggunaan internet tidak hanya terbatas pada pemanfaatan informasi yang dapat diakses melalui media ini, melainkan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi perdagangan yang sekarang di Indonesia telah mulai diperkenalkan melalui beberapa seminar dan telah mulai penggunaannya oleh beberapa perusahaan yaitu electronic commerce atau yang lebih dikenal dengan E-Commerce, yang merupakan bentuk perdagangan secara elektronik melalui media internet. E-Commerce pada dasarnya merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Proses pemesanan barang dikomunikasikan melalui internet. Oleh karena itu, kehadiran internet telah memberikan keyakinan akan pentingnya teknologi di dalam pencapaian tujuan finansial suatu perusahaan melalui modifikasi dan efisiensi proses bisnis yaitu dengan memanfaatkan E-Commerce. E-Commerce merupakan salah satu keunggulan baru dari internet yang kian digemari oleh banyak orang.

(10)

melalui e-mail atau cara lainnya, oleh karena itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional. Kondisi seperti itu tentu saja dapat menimbulkan berbagai akibat hukum dengan segala konsekuensinya, antara lain apabila muncul suatu perbuatan yang melawan hukum dari salah satu pihak dalam sebuah transaksi jual beli secara elektronik ini, akan menyulitkan pihak yang dirugikan untuk menuntut segala kerugian yang timbul dan disebabkan perbuatan melawan hukum itu, karena memang dari awal hubungan hukum antara kedua pihak termaksud tidak secara langsung berhadapan, mungkin saja pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tadi berada di sebuah negara yang sangat jauh sehingga untuk melakukan tuntutan terhadapanya pun sangat sulit dilakukan tidak seperti tuntutan yang dapat dilakukan dalam hubungan hukum konvensional/biasa. Kenyataan seperti ini merupakan hal-hal yang harus mendapat perhatian dan pemikiran untuk dicarikan solusinya, karena transaksi jual beli yang dilakukan melalui internet tidak mungkin terhenti, bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam dunia internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna internet tersebut tidak mencukupi, dengan demikian harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi termaksud.

(11)

dibutuhkan dengan kualitas yang terbaik sesuai dengan harganya. Sehingga proses yang cepat tentunya akan menigkatkan pendapatan.

Transaksi perdagangan melalui internet sangat berbeda dengan berbelanja atau melakukan transaksi perdagangan di dunia nyata. Melalui E-Commerce memungkinkan dapat bertransaksi dengan cepat dan biaya yang murah tanpa melalui proses yang berbelit-belit, di mana pihak pembeli (buyer) cukup mengakses internet ke website perusahaan yang mengiklankan produknya di internet, yang kemudian pihak pembeli (buyer) cukup mempelajari term of condition (ketentuan-ketentuan yang diisyaratkan) pihak penjual. Dalam hal ini, apabila term of conditionsnya telah disetujui dan dipenuhi oleh pihak pembeli maka tinggal dilakukan pengeklikan tombol SEND oleh pihak pembeli yang menandakan suatu syarat persetujuan untuk perjanjian yang ditawarkan oleh pihak penjual. Seandainya pihak konsumen tidak setuju dengan term of condition yang ditawarkan oleh penjual, maka konsumen hanya tinggal membatalkan transaksi dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

(12)

barang mulai dari yang murah" sampai yang mahal" yang masih baru atau bekas diperjualbelikan oleh para member. Situs ini dikelola oleh PT. Darta Media Indonesia. Anggotanya berjumlah lebih dari 800.000, tidak hanya berdomisili dari Indonesia namun tersebar juga hingga negara lainnya1. Sedangkan mekanisme pembayaran pada transaksi melalui Forum Jual Beli Kaskus.us dilakukan melalui system Thread Rekening Bersama. Namun dalam system tesebut muncul permasalahan, dimana pada tanggal 31 Oktober 2009 diduga telah melakukan kelalaian dengan tidak memberitahukan kepada konsumen pengguna layanan pada Forum Jual Beli Kaskus dan Operator Rekening Bersama pada saat jaringan bermasalah yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumennya.

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis melakukan penulisan hukum dengan mengambil judul TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSAKSI PEMBAYARAN MELALUI PERANTARA ATAU PIHAK

KETIGA SECARA ON LINE DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7

TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN .

1

(13)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan:

1. Bagaimanakah keabsahan kesepakatan yang terjadi dalam transaksi secara on line melalui perantara atau pihak ketiga berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah bank pengguna fasilitas pembayaran melalui perantara atau pihak ketiga dalam transaksi on line berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan hukum ini adalah :

(14)

2. Untuk menelaah bagaimana perlindungan hukum bagi nasabah bank pengguna fasilitas pembayaran melalui perantara atau pihak ketiga dalam transaksi secara on line berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian atas pokok bahasan yang diambil yaitu : 1. Secara teoritis

Hasil penulisan hukum diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum yang berhubungan dengan keabsahan pembayaran secara on line melalui pihak ketiha atau perantara dalam transaksi secara on line dan perlindungan hukum nasabah bank dalam penggunaan pembayaran melalui perantara atau pihak ketiga secara on line, serta memberikan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan hukum perbankan, perlindungan konsumen, dan cyberlaw di Indonesia.

2. Secara praktis

Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait termasuk masyarakat luas dalam hal penerapan hukum pada sektor perbankan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam proses penyusunan dan pengundangan peraturan mengenai perlindungan nasabah bank dan pembayaran melalui pihak ketiga atau perantara secara on line.

(15)

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea kedua yang menyebutkan bahwa :

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur .

Makna yang tersirat dari kata adil dan makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu juga pelaksanaan tujuan negara yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum .

(16)

secara on line, karena kata melindungi mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka segala kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia harus sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak terkecuali dalam hal pelaksanaan kegiatan perekonomian khususnya perbankan. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pembangunan dalam kegiatan perekonomian dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menitikberatkan pada perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial dalam pembangunan.

Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Salah satu pelaksanaan kegiatan usaha perbankan dalam memberikan pelayanan kepada nasabah bisa dilakukan dengan cara konvensional ataupun melalui media alternatif lain.

Media alternative lain diantaranya pembayaran secara on line melalui Internet. Hal ini merupakan suatu bentuk pemanfaatan media internet oleh untuk mempromosikan dan sekaligus melakukan transaksi secara on line, baik dari produk yang sifatnya konvensional maupun yang baru2. Selanjutnya, bank

2

(17)

dalam melaksanakan aktifitasnya tidak telepas dari dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan. Sejalan dengan kepentingan bank agar memelihara kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia diberi wewenang dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan petunjuk, nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan3. Oleh karena itu, semestinya dalam penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan bank bagi nasabahnya harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelayanan jasa perbankan pada saat ini, khususnya melalui media internet telah menarik perhatian para nasabah bank untuk memanfaatkan layanan tersebut. Namun dalam hal ini pemanfaatan internet sebagai jaringan online bagi kegiatan perbankan, pihak nasabah merupakan salah satu pihak yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan hukum. Pelayanan bank melalui media internet pada kenyataannya telah menimbulkan sejumlah permasalahan hukum, salah satu diantaranya yaitu perlindungan hukum dalam penyelenggaran layanan internet.

Selanjutnya, Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengertian perlindungan konsumen tampaknya diartikan dengan cukup luas, yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

3

(18)

Perlindungan terhadap pengguna Layanan Operator Rekening Bersama adalah sama dengan perlindungan terhadap konsumen lainnya. Pengertian tersebut dihubungkan dengan definisi konsumen yang diatur dalam Pasal 1 ayat 2, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Adapun hak-hak dari konsumen pengguna layanan Operator Bersama, berdasarkan Pasal 4 UUPK adalah sebagai berikut :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

(19)

8. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sementara itu, berdasarkan UUPK mengatur tentang Kewajiban penyedia jasa yang dilakukan pelaku usaha adalah sebagai berikut:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

(20)
(21)

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dilakukan secara deskriftif analisis, yaitu dengan melukiskan dan menggambarkan fakta-fakta baik berupa data-data dengan bahan-bahan hukum seperti data sekunder bahan-bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin, serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum dan bibliografi yang berhubungan dengan perlindungan nasabah pada layanan pembayaran melalui secara on line.

2. Metode Pendekatan

(22)

ternyata tidak sesuai lagi dengan tujuan sosial yang seharusnya diberikan pada peraturan undang-undang itu dewasa ini.

3. Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan dengan pengambilan data dari berbagai literatur tertulis serta melakukan studi lapangan untuk melengkapi studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan pihak-pihak terkait, browsing ke situs internet yang berhubungan dengan perbankan dan perlindungan konsumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, hasil penelitian, jurnal, artikel dan lain-lain, serta browsing situs internet yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diambil.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, sehingga hirarki peraturan perundang-undangan dapat diperhatikan serta dapat menjamin kepastian hukum.

6. Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitiannya, penulis hukum mengambil lokasi di : a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran;

b. Perpustakaan UNIKOM;

(23)

d. Browsing di internet yaitu situs internet yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diambil seperti:

1. http://www.bi.go.id;

2. http://www. kaskus.us;

3. http://www.klikbca.com;

4. http://www.rekeningbersama.com; dan

(24)

BAB II

ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN

TERHADAP KONSUMEN DAN PEMBAYARAN PADA

TRANSAKSI SECARA

ON LINE

A. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan hukum terhadap konsumen menyangkut dalam banyak aspek kehidupan terutama dalam aspek kegiatan bisnis. Dalam Black s Law Dictionary, pengertian konsumen diberi batasan yaitu . A person who buys goods or services for personal family or householduse, with no intention of

resale; a natural person who uses products for personal rather than business

purposes. 1.

Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut, konsumen adalah orang yang membeli suatu produk hanya untuk digunakan olehnya (pemakai akhir), bukan untuk dijual kembali. Namun masalah perlindungan konsumen pada kenyataannya perlu diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar kualitas dari barang yang bersangkutan tetap terjamin dan tidak merugikan konsumen.

Selanjutnya pengertian pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum, maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dan melakukan kegiatan dalam wilayah

1

(25)

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam kaiatannya dengan hubungan perniagaan antara konsumen dengan pelaku usaha akan terkati dengan obyek perjanjian. Obyek perjanjian tersebut bisa merupakan suatu barang ataupun jasa yang diperjanjikan. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

(26)

a. Prinsip manfaat, yaitu segala upaya perlindungan konsumen harus memberi manfaat bagi konsumen dan pelaku usaha;

b. Prinsip keadilan, yaitu konsumen dan pelaku usaha hendaknya mendapat haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

c. Prinsip Keseimbangan, yaitu perlindungan konsumen diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah;

d. Prinsip keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam menggunakan suatu produk barang/ jasa;

e. Prinsip kepastian hukum, yaitu pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.

(27)

diperjualbelikan. Apabila konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk, maka ia harus menerima produk itu apa adanya. Awal abad XIX mulai disadari bahwa caveat emptor tidak dapat dipertahankan lagi, apalagi untuk melindungi konsumen.

Sedangkan doktrin Caveat Venditor bahwa produsen tidak hanya bertanggung jawab kepada konsumen atas dasar tanggung jawab kontraktual. Karena produknya ditawarkan kepada semua orang, maka timbul kepentingan bagi masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan jika menggunakan produk yang bersangkutan. Kepentingan masyarakat itu adalah bahwa produsen yang menawarkan produknya pada masyarakat, harus memperhatikan keselamatan, ketrampilan, dan kejujuran dalam kegiatan transaksional yang dilakukannya. Oleh karena itulah kemudian berkembang doktrin caveat venditor (let the producer aware) yang berarti bahwa produsen harus berhati-hati. Doktrin ini menghendaki agar produsen, dalam memproduksi dan memasarkan produknya, berhati-hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas.

Doktrin caveat venditor menuntut produsen untuk memberikan informasi yang cukup kepada konsumen tentang produk yang bersangkutan. Apabila hal itu tidak dilakukan maka produsen wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh produknya.

(28)

dilakukan untuk barang-barang buatan rumah tangga yang diproduksi dalam jumlah yang tidak begitu besar. Melalui hukum perjanjian, konsumen dapat dilindungi dari perilaku produsen. Apabila produsen tidak memenuhi kewajiban yang telah diperjanjikan, maka konsumen berhak untuk mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi. Dengan syarat bahwa perjanjian antara produsen dan konsumen, prestasi yang harus dipenuhi dapat diukur baik jumlah, berat, jenis, dan sebagainya.

Pada mulanya, transaksi perdagangan dilakukan secara langsung antara produsen dan konsumen, di mana produsen menyerahkan barang yang diproduksinya langsung kepada konsumen yang langsung membayar harga barang. Namun transaksi semacam itu saat ini sudah jarang sekali dilakukan terutama di perkotaan. Hal ini disebabkan oleh trend perdagangan di mana barang-barang diproduksi secara massal dan melibatkan rantai perdagangan yang panjang, sehingga konsumen tidak lagi dapat berhubungan langsung dengan produsen2.

Dengan tidak adanya hubungan kontraktual langsung antara produsen dan konsumen, maka apabila produsen tidak memenuhi kewajibannya, konsumen tidak lagi dapat menggugat produsen atas dasar wanprestasi. Konsumen hanya dapat menggugat produsen atas dasar perbuatan melawan hukum.

Selanjutnya, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, maka pemerintah Republik

2

(29)

Indonesia harus melakukan tindakan-tindakan yang dapat melindungi konsumen di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat adalah konsumen.

Dengan demikian perlindungan terhadap konsumen dapat diwujudkan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan ataupun melalui keputusan-keputusan tata usaha negara; yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik. Selain itu pemerintah dapat mengembangkan pendidikan bagi konsumen dan penetapan suatu insentif untuk mendorong perilaku yang diharapkan oleh pemerintah; dalam hal ini yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen.

Perjanjian jual beli yang terjadi antara penjual dengan pembeli terkadang dibuat dalam bentuk perjanjian standar atau klausula baku yang isinya ditetapkan secara sepihak oleh penjual. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, telah ditegaskan bahwa penjual dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian yang :

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

(30)

4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen;

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

7. Menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan baru, tambahan dan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha atau penjual dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. menyatakan bahwa konsumen atau pembeli memberi kuasa kepada pelaku usaha atau penjual untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pelaku usaha atau penjual tidak diperkenankan membuat klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Apabila ketentuan tersebut diatas dilanggar, maka klausula baku termaksud dinyatakan batal demi hukum.

(31)

menegaskan kewajiban-kewajiban pelaku usahan dalam hal ini penjual syang menawarkan dan menjual suatu produk, yaitu :

1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif;

4. menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; 6. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

(32)

lain pelaku usaha/penjual dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan;

2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4. tidak sesuai dengan kondisi jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/ atau jasa tersebut;

5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

7. tidak mencantumkan tanggal daluwarasa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; 8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana

(33)

9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggalpembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;

10. tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(34)

menegaskan bahwa penjual dilarang menawarkan mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-olah :

1. Barang tersebut telah memenuhi dan atau memiliki potongan harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan atau baru;

3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

4. Barang dan/ atau jasa termaksud dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

5. Barang dan/ atau jasa tersebut tersedia;

6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersebunyi;

7. Barang tersebut merupakan barang perlengkapan dari barang tertentu;

8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang lain; 10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak

menimbulkan efek samping, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau bahkan tanpa keterangan yang lengkap.

(35)

(36)

B. Aspek Hukum Transaksi Secara Elektronik

Persoalan mengenai transaksi jual beli tidak terlepas dari perjanjian, karena setiap proses jual beli pasti akan diawali dengan sebuah kesepakatan, yang mana kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW), disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih. Perjanjian dapat dilakukan oleh para pihak sesuai kehendaknya masing-masing baik dari segi bentuk, macam maupun isinya, hal ini merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Namun demikian sebebas apapun seseorang membuat perjanjian tetap harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian seperti termuat dalam ketentuan pasal 1320 BW, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 1320 BW mengatur bahwa syarat sahnya perjanjian terdiri dari :

1. Kesepakatan para pihak

2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian 3. Suatu hal tertentu

(37)

Kesepakatan berarti adanya persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam melakukan suatu perjanjian tidak boleh ada pakasaan, kekhilapan dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog).

Kecakapan hukum sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maksudnya bahwa para pihak yang melakukan perjanjian harus telah dewasa, sehat mentalnya serta diperkenankan oleh undang-undang. Menurut Pasal 1330 BW juncto Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan seseorang dikatakan dewasa yaitu telah berusia 18 tahun atau telah menikah. Apabila orang yang belum dewasa hendak melakukan sebuah perjanjian, maka dapat diwakili oleh orang tua atau walinya. Sementara itu seseorang dikatakan sehat mentalnya berarti orang tersebut tidak berada dibawah pengampuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 juncto Pasal 433 BW. Orang yang cacat mental dapat diwakili oleh pengampu atau curatornya. Sedangkan orang yang tidak dilarang oleh undang-undang maksudnya orang tersebut tidak dalam keadaan pailit sesuai isi Pasal 1330 BW juncto Undang-Undang Kepailitan.

Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak.

(38)

sebab tidak mempunyai kekuatan. Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian.

Kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat subjektif. Apabila tidak tepenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama dan sepanjang para pihak tidak membatalkan perjanjian, maka perjanjian masih tetap berlaku. Sedangkan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal merupakan syarat sahnya perjanjian yang bersifat objektif. Apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.

Pada kenyataannya, banyak perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian secara keseluruhan, misalnya unsur kesepakatan sebagai persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian pada saat ini telah mengalami pergeseran dalam pelaksanaannya. Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat dimana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan Perjanjian Baku (standard of contract). Dalam suatu perjanjian harus diperhatikan pula beberapa macam azas yang dapat diterapkan antara lain :

1. Azas Konsensualisme, yaitu azas kesepakatan, dimana suatu perjanjian dianggap ada seketika setelah ada kata sepakat

(39)

3. Azas kekuatan mengikat, maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian terikat pada seluruh isi perjanjian dan kepatutan yang berlaku

4. Azas Persamaan Hukum, yaitu bahwa setiap orang dalam hal ini para pihak mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum

5. Azas Keseimbangan, maksudnya bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus ada keseimbangan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai dengan apa yang diperjanjikan

6. Azas Moral adalah sikap moral yang baik harus menjadi motivasi para pihak yang membuat dan melaksanakan perjanjian

7. Azas Kepastian Hukum yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya

8. Azas Kepatutan maksudnya bahwa isi perjanjian tidak hanya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi juga harus sesuai dengan kepatutan, sebagaimana ketentuan Pasal 1339 BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

(40)

perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Hal ini merupakan perwujudan dari unsur naturalia dalam perjanjian.

Sebagai wujud dari azas kebebasan berkontrak, pada saat ini banyak sekali bermunculan perjanjian yang bentuk dan isinya beraneka ragam, termasuk perjanian secara elektronik, sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.

(41)

elektronik/kontrak elektronik (digital contract), dimana dalam kontrak elektronik ini, bentuk dan isi kontraknya merupakan keinginan dari penjual/pelaku usaha saja secara sepihak, sementara itu pembeli/konsumen hanya dapat mengikuti dan melakukan isi kontrak tersebut, walaupun pembeli dapat juga tidak menyetujui isi perjanjian tersebut, berarti tidak terjadi hubungan hukum antara penjual dengan pembeli. Oleh karena itu dikenal adagium take it or leave it.3

Kontrak elektronik adalah kontrak baku yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara digital melalui situs internet (website) secara sepihak oleh pembuat kontrak (dalam hal ini dapat pula oleh penjual), untuk ditutup secara digital oleh penutup kontrak (dalam hal ini konsumen/pembeli).4 Kontrak/perjanjian secara elektronik sebagai salah satu perjanjian baku dilakukan secara jarak jauh bahkan sampai melintasi batas negara, dan biasanya para pihak dalam perjanjian elektronik tidak saling bertatap muka atau tidak pernah bertemu.

Perjanjian elektronik menurut Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), diartikan sebagai dokumen elektronik yang memuat transaksi dan/atau perdagangan elektronik, sedangkan perdagangan secara elektronik diartikan sebagai perdagangan barang maupun jasa yang dilakukan melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya.

Salah satu perjanjian yang akan dibahas adalah perjanjian jual beli, sebagaimana termuat dalam Pasal 1457 BW yang berbunyi:

3

Ibid., hlm. 612. 4

(42)

Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan

Berdasarkan azas konsensualisme, perjanjian dianggap ada seketika setelah ada keta sepakat, artinya dalam hal ini pada saat kedua pihak setuju tentang barang dan harga, yang menyebabkan lahirlah perjanjian jual beli secara sah. Sifat konsensual dari jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 BW yang menyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut berikut harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan dan harga belum dibayarkan.

Selain apa yang telah diuraikan diatas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam transaksi jual beli yaitu:5

1. unsur esentialia, sebagai unsur pokok yang wajib ada dalam perjanjian, seperti identitas para pihak yang harus dicantumkan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian yang dilakukan jual beli secara elektronik

2. unsur naturalia, merupakan unsur yang dianggap ada dalam perjanjian walaupun tidak dituangkan secara tegas dalam perjanjian, seperti itikad baik dari masing-masing pihak dalam perjanjian.

5

(43)

3. unsur accedentialia, yaitu unsur tambahan yang diberikan oleh para pihak dalam perjanjian, seperti klausula tambahan yang berbunyi

barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan

Jual beli menurut BW hanya merupakan perjanjian obligatoir saja, dalam arti para pihak hanya meletakkan hak dan kewajibannya saja dan belum memindahkan hak milik atas suatu barang. Hak milik atas suatu barang dapat berpindah dari pihak penjual kepada pihak pembeli apabila telah terjadi levering/penyerahan. Pelaksanaan jual beli antara penjual dan pembeli tentu tidak terlepas dari risiko bagi kedua pihak. Risiko merupakan kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh kejadian atau peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak.6 Dengan demikian masalah risiko pun harus diatur secara jelas dalam suatu perjanjian termasuk perjanjian jual beli secara elektronik.

Ketentuan hukum jual beli sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat diberlakukan pula pada transaksi secara elektronik (Electronic Commerce). Bukti adanya hubungan hukum antara para pihak dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat ditunjukkan dengan adanya dokumen elektronik berupa informasi elektronik atau hasil cetak informasi elektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sah baik dalam peradilan perdata, peradilan pidana, peradilan tata usaha negara dan peradilan lainnya.

6

(44)

Selanjutnya, dalam kontrak jual beli para pelaku yang terkait didalamnya yaitu penjual dan pembeli memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Kewajiban penjual dalam suatu perjanjian jual beli adalah sebagai berikut :

1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan, yang mana kewajiban ini meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan dari penjual kepada pembeli;

2. Kewajiban menanggung kenikmatan tentram menanggung cacat tersembunyi, merupakan konsekuensi dari jaminan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli, bahwa barang yang dijual dan diserahkan adalah miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari hak apapun dan siapapun. Kewajiban ini direalisasikan dengan memberikan ganti kerugian kepada pembeli karena gugatan pihak ketiga. Kewajiban untuk menanggung cacat-cacat tersebunyi, artinya bahwa penjual diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai oleh pembeli atau mengurangi kegunaan barang itu, sehingga akhirnya pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut;

3. Memperlakukan pembeli secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(45)

Pada transaksi jual beli secara elektronik, seorang penjual atau pelaku usaha yang menawarkan suatu produk melalui media elektronik wajib menyediakan informasi secara lengkap da benar berkaitan dengan syarat-syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan. Ketentuan termaksud telah ditegaskan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga tidak ada alasan bagi pelaku usaha dalam hal ini penjual untuk tidak beritikad baik dalam menawarkan serta menjual produk-produknya itu.

Pelaku usaha atau penjual yang mengadakan hubungan hukum dengan pembelinya melalui kontrak standar yang memuat klausula baku maka harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 BW.

Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam proses jual beli antara lain:

1. Menentukan dan menerima harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus disepakati oleh pembeli.

(46)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 6, pelaku usaha dalam hal ini termasuk penjual memiliki hak-hak sebagai berikut :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain hak dan kewajiban penjual, ada juga hak dan kewajiban pembeli sebagai pihak dalam perjanjian jual beli. Kewajiban pembeli juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pembeli sebagai konsumen mempunyai kewajiban dalam proses jual beli sebagai berikut :

1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan barang dan atau jasa yang dibelinya.

(47)
(48)

tidak ditentukan waktu dan tempat pembayaran maka pembayaran ini harus dilakukan ditempat dan pada waktu penyerahan barang.

4. Biaya akta-akta jual beli serta biaya lainnya ditanggung oleh pembeli. 5. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul

sengketa dari proses jual beli termaksud.

Selain kewajiban yang harus dilakukannya, pembeli yang dianggap sebagai konsumen juga memiliki hak dalam proses jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, antara lain :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

2. Hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. Hak untuk mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang dan atau jasa yang diperjualbelikan

4. Hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif

5. Hak untuk didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang dibelinya.

(49)

7. Hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

(50)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA

PERBANKAN

PERANTARA ATAU PIHAK KETIGA PADA

TRANSAKSI ON LINE

A. Para Pihak Yang Terkait dalam Penyelenggaraan Jasa Perantara atau

Pihak Ketiga Pada Transaksi On line Melalui Rekening Bersama

Pertumbuhan teknologi informasi yang semakin cepat berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan jasa-jasa perbankan. Dahulu lembaga keuangan bank dalam memberikan layanannya lebih menekankan kepada model face to face dan didasarkan kepada paper document. Namun, sejak teknologi informasi mampu mendukung terhadap sistem transaksi lembaga keuangan bank, model transaksi pun lebih mengedepankan pada model non-face to non-face dan paperless document atau digital document1. Bentuk baru pengembangan pelayanan bank yang mengandalkan teknologi informasi salah satunya adalah layanan transaksi secara on line melalui perantara atau pihak ketiga pada Thread Rekening Bersama yang difasilitasi melalui Forum Jual Beli Kaskus.us.

Secara konseptual, Rekening Bersama merupakan perantara atau pihak ketiga yang membantu keamanan dan kenyamanan transaksi online. Pada

1

(51)

sistem ini pembeli diharapkan tidak perlu ragu untuk bertransaksi atau merasa khawatir ketika barang yang dibeli tidak datang sesuai dengan yang diharapkan. Sementara sebagai penjual, tidak kesulitan membangun reputasi dan juga terhindar dari kecurigaan-kecurigaan berlebihan.

Adapun tata cata menggunakan rekening bersama tampak seperti skema di bawah ini.

(52)

membantu di kelancaran transaksi, tetapi juga membantu para pihak yang ingin mentransfer uang lintas bank dalam waktu cepat. Sehingga para pihak yang berkepentingan tidak perlu antri atau tidak perlu keluar rumah, karena transaksi dilakukan melalui Rekening Bersama.

Sama seperti halnya transaksi perbankan secara nyata, terdapat fee atau jasa yang diminta oleh pihak bank, adapun fee dalam transaksi melalui rekening bersama adalah sebagai berikut:

Transaksi Rp 10.000 s/d 500.000 = Rp 10.000 Transaksi Rp 500.001 s/d 2.000.000 = Rp 20.000 Transaksi Rp 2.000.001 s/d 5.000.000 = Rp 30.000 Transaksi Rp 5.000.001 s/d 10.000.000 = Rp 40.000 Transaksi diatas Rp 10.000.000 = Rp 50.000

Transaksi tersebut dapat dilakukan pada hari libur dengan tambahan biaya yang dikenakan tambahan Rp 10.000,- (Sepuluh ribu rupiah).

Transaksi yang dilakukan melalui fasilitas rekening bersama menggunakan tata-aturan sebagai berikut:

1. Pihak Rekening Bersama tidak bertanggung jawab atas barang yang ditransaksikan. Barang dikirim langsung oleh penjual ke pembeli tanpa melewati Rekening Bersama;

(53)

bertanya pada detail, dan menjadi penjual yang jujur terhadap kondisi barang sebenar-benarnya;

3. Pembeli wajib memperhatikan nomor rekening, nomor telepon, surat elektronik (email) dan Yahoo Messenger pemilik Rekening Bersama yang dipilih dengan cermat. Dalam hal ini tidak diperkenankan melakukan transfer dana terlebih dahulu tanpa ada informasi awal dari pemilik Rekening Bersama yang ditunjuk;

4. Pengiriman wajib menggunakan logistik yang bisa melacak lokasi dan status pengiriman barang berdasarkan nomor resi;

5. Penjual wajib menulis keterangan isi paket dengan benar, sesuai dengan isinya pada resi logistic;

6. Untuk barang berharga, wajib menggunakan asuransi. Rata-rata nilai asuransi adalah sebesar 0,2% (nol koma dua perseratus) dari nilai barang;

7. Pada saat penerimaan barang, pembeli wajib membuka paket di depan kurir logistik. Hal ini dilakukan agar minimal ada saksi dari dua pihak (pembeli dan logistik) dan mencegah hal hal yang tidak diinginkan; 8. Resiko kehilangan dan kerusakan akibat pengiriman dan atau deskripsi

(54)

9. Apabila terjadi pembatalan transaksi dengan alasan apapun baik oleh pembeli maupun penjual, dana akan dikembalikan penuh ke pembeli setelah dipotong fee;

10.Pembatalan transaksi yang telah masuk ke Rekening Bersama harus dengan konfirmasi kedua belah pihak baik seller maupun buyer sehingga refund dana dapat dilakukan oleh pemilik Rekening Bersama yang ditunjuk dengan dipotong fee;

11.Apabila terjadi sengketa antara pembeli dan penjual dikarenakan suatau hal, Rekening Bersama akan menahan dana sampai terjadi kesepakatan antara pembeli dan penjual. Apabila sampai dengan 1 (satu) bulan dari tanggal transfer ke Rekening Bersama tidak terjadi kesepakatan, maka Rekening Bersama berhak menyumbangkan ke lembaga sosial yang akan ditentukan oleh Rekening Bersama;

12.Rekening Bersama tidak menerima transaksi chip poker, ijazah palsu, identitas palsu (KTP, KK, SIM, Paspor dll), narkoba dan barang serta jasa yang melanggar hukum berdasarkan hokum positif yang berlaku; 13.Pemilik RekBer berhak untuk menolak transaksi yang akan dilakukan

melalui Rekening Bersama dengan alasan dan pertimbangannya sendiri;

(55)

dengan transaksi tersebut sudah tidak lagi menjadi tanggung jawab dari Rekening Bersama;

15.Ketentuan ini mengikat tanpa terkecuali dan akan diupdate sesuai perkembangan yang dirasakan perlu untuk dirubah atau ditambahkan.

Rekening Bersama pertama kali berdiri di pada awal 2006, ketika jual-beli online di Kaskus makin ramai yang juga diiringi dengan penipuan-penipuan. Dampaknya signifikan, reputasi penjual di Kaskus menjadi hancur. Pembeli enggan mencari barang di Kaskus. Akhirnya, para pengguna atau penjual di Forum Jual-Beli Kaskus (FJB) mencari solusi untuk menarik kembali kepercayaan pembeli. Dimulai dengan diskusi-diskusi intensif melalu sms, telepon dan konferens di Yahoo! Messenger, para penjual dibantu dengan masukan dan saran dari pembeli-pembeli reguler di Kaskus pun sepakat memulai Rekening Bersama Forum Jual Beli.

(56)

reputasinya, karena penjual baru di dunia online biasanya mendapatkan kesulitan untuk menjual barangnya karena tidak ada yang percaya padanya.

Prosedurnya yang dilakukan pada Rekening Bersama relatif sederhana. Meskipun memakan waktu lebih banyak daripada transaksi konvensional, pembeli tidak perlu khawatir ketika telah mengirimkan sejumlah uang atau melakukan pembayaran. Sampai akhir tahun 2008, Rekening Bersama sudah menangani omzet transaksi sebesar 1,5 milyar rupiah. Begitu besar kepercayaan yang diberikan kepada kami sehingga April 2009 kami sepakat untuk melebarkan sayap di luar Kaskus. Dengan demikian, penggunaan fasilitas Rekening Bersama dalam transaksi melalui Kaskus.us diharapkan dapat memberikan pelayanan yang semakin baik dan membantu transaksi online.

(57)

maupun secara sistem. Sehingga diharapkan dapat memberikan pengaturan yang lebih jelas mengenai layanan perbankan melalui sistem teknologi informasi yang melibatkan berbagai pihak-pihak terkait.

B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Jasa Perbankan Dalam Transaksi

Secara On line Melalui Perantara atau Pihak Ketiga

(58)

Konsumen jasa perbankan atau nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu:2 1. nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada

suatu bank, misalnya dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito; 2. nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau pembiayaan

perbankan, misalnya kredit kepemilikan rumah, pembiayaan murabahah, dan sebagainya;

3. nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri dengan menggunakan fasilitas letter of credit (L/C).

Pengaturan melalui UUPK yang sangat terkait dengan perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen perbankan adalah ketentuan mengenai klausula baku. Sedangkan dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank selaku konsumen antara lain adalah dengan diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah antara lain adanya pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).

Perlindungan hukum bagi nasabah menjadi sangat penting dalan suatu transaksi, karena secara faktual kedudukannya relatif lemah. Perjanjian

2

(59)

kredit/pembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dipersiapkan oleh pihak bank. Nasabah hanya mempunyai pilihan menerima atau menolak perjanjian yang dimaksud. Keberatan terhadap perjanjian standar yaitu:

1. Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak; 2. Tidak mengetahui isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan

kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya; 3. Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat;

4. Ada unsur terpaksa dalam menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi.

Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kredit/pembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing. Untuk itu dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah perlu adanya upaya edukasi dan penjelasan mengenai isi perjanjian dimaksud.

Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi UUPK memberikan pengaturan mengenai klausula baku, yaitu sebagai berikut:3

3

(60)

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

(61)

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UUPK, tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi pelanggaran sehingga akan merugikan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain sebagai berikut:

1. Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian. 2. Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan

(62)

3. Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas.

4. Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian.

Dengan adanya kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, kaitannya dengan perjanjian standar diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.

Selanjutnya sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang memberikan perlindungan bagi nasabah tidak hanya UUPK, akan tetapi lebih spesifik lagi pada peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha dengan menarik dana langsung dari masyarakat sehingga perlu melaksanakan prinsip kepercayaan (fiduciary principle).4

Kepercayaan merupakan inti perbankan sehingga bank harus menjaganya. Hukum sebagai alat rekayasa sosial terlihat aktualisasinya di sini. Di tataran undang-undang maupun PBI terdapat pengaturan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan dan sekaligus dapat memberikan perlindungan hukum bagi nasabah.

Pertama, untuk memberikan perlindungan hukum bagi nasabah deposan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengamanatkan

4

(63)

dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mewajibkan setiap bank untuk menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank yang bersangkutan.

Amanat dimaksud telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Fungsinya adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabiltas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Kedua, perlindungan hukum bagi nasabah, khususnya dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Hal ini diatur melalui PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008 dan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008.

Pasal 1 angka 4 PBI No. 7/7/PBI/2005, mendefinisikan Pengaduan sebagai ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Sesuai dengan Pasal 2 PBI No. 7/7/PBI/2005, bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang penerimaan pengaduan, penangangan dan penyelesaian pengaduan, serta pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan.

(64)

1. Kewajiban Bank untuk menyelesaikan Pengaduan mencakup kewajiban menyelesaikan Pengaduan yang diajukan secara lisan dan atau tertulis oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah, termasuk yang diajukan oleh suatu lembaga, badan hukum, dan atau bank lain yang menjadi Nasabah Bank tersebut;

2. Setiap Nasabah, termasuk walk-in customer, memiliki hak untuk mengajukan pengaduan;

3. Pengajuan pengaduan dapat dilakukan oleh Perwakilan Nasabah yang bertindak untuk dan atas nama Nasabah berdasarkan surat kuasa khusus dari Nasabah.

Mengingat penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu dibentuk lembaga Mediasi yang khusus menangani sengketa perbankan.

Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian Sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.

(65)

yang dibentuk asosiasi perbankan. Proses beracara dalam Mediasi Perbankan secara teknis diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:

1. Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka Mediasi perbankan kepada Bank Indonesia dilakukan oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah.

2. Dalam hal Nasabah atau Perwakilan Nasabah mengajukan penyelesaian Sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia.

Syarat-syarat Pengajuan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan, yaitu sebagai berikut:

1. Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung yang memadai;

2. Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh Nasabah kepada Bank; 3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah

diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga Mediasi lainnya;

4. Sengketa yang diajukan merupakan Sengketa keperdataan;

Referensi

Dokumen terkait

Kedua Akibat hukum apabila buku pelajaran di sekolah mengandung informasi pornografi dihubungkan dengan PP no.5 tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perizinan

Masalah pencurian dana nasabah bank saat ini diatur oleh Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, akan tetapi dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Robert Purba : Konsekuensi Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang…, 2003 USU Repository © 2008... Robert Purba : Konsekuensi Hukum Yayasan Sebagai

(2) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang yayasan, pengesahan badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau

Sehingga, kekayaan yayasan hanya digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan didirikannya yayasan (tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan), bukan untuk kepentingan

Toha, Suherman, et.al., 2013, Penelitian Hukum tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia,

badan hukum oleh sebab itu tujuan dari pendirian yayasan adalah masyarakat,.. maka yayasan menjadi milik masyarakat sehingga kekayaannya pun

(2) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang yayasan, pengesahan badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga Negara asing atau warga