• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen - Perlindungan Konsumen atas I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI IKLAN H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen 1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen - Perlindungan Konsumen atas I"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYAMPAIAN INFORMASI KEPADA KONSUMEN MELALUI

IKLAN

H. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen

1. Beberapa Peristilahan dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

menegaskan bahwa “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum itu meliputi

segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh

atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta

mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku

pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen

yaitu dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandiriannya

melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat

konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan,

dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. 17

Peranan undang-undang perlindungan konsumen diperlukan karena

lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha. Tujuan hukum

perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan

kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga mendorong pelaku

17

(2)

usaha untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua

tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat

diterapkan secara konsekuen.

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, dipergunakan berbagai istilah

yang dapat memberi makna berbeda-beda sehingga membawa akibat hukum yang

berbeda pula. Pentingnya mengemukakan berbagai istilah dalam hukum

perlindungan konsumen karena dengan pengertian istilah ini sangat menentukan

tanggung gugat pelaku usaha. Disamping itu, juga dikemukakan tentang

hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen karena dapat menuntut

ganti kerugian kepada pelaku usaha dengan mengetahui hubungan hukum antara

keduanya serta menentukan alasan penuntutan jika konsumen dirugikan akibat

penggunaan suatu produk.18

Secara harfiah konsumen adalah “orang yang memerlukan,

membelanjakan atau menggunakan, pemakai atau yang membutuhkan. Adapun

istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa

Belanda yaitu consument”.19

Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah konsumen

sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Pasal 1 angka 2 UUPK yang

menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Kepentingan

18

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm 16.

19

(3)

konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa adalah agar

barang/jasa konsumen yang mereka peroleh bermanfaat bagi

kesehatan/keselamatan tubuh, keamaan jiwa dan harta benda, diri, keluarga

dan/atau rumah tangganya.

Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut konsumen berarti

setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah orang

sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim

disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechts person).

Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah “orang alami bukan

badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan

barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun

makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau

manusia”.20

Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan yang lain tidak

sama. Sebagai contoh, di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu

(orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir.

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi korban produk yang cacat

bukan hanya meliputi pembeli, tetapi juga pemakai, bahkan korban yang bukan

pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pembeli. Sedangkan di

Eropa, pengertian konsumen bersumber dari product liability directive

(selanjutnya disebut directive) sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi

Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan hukum perlindungan konsumen.

20

(4)

Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak

yang menderita kerugian karena kematian/cidera atau kerugian berupa kerusakan

benda selain produk yang cacat. 21

Berbeda pula dengan kelompok masyarakat pelaku usaha. Kepentingan

mereka dalam penggunaan suatu produk adalah untuk membuat produk lain atau

memperdagangkannya, baik berupa barang atau jasa yang merupakan bidang

usaha atau profesi mereka (bisnis). Perlindungan yang diperlukan oleh pihak

pelaku usaha agar dalam menjalankan bisnis dapat bersaing secara wajar, jujur

serta terhindar dari praktek bisnis yang menghambat usaha mereka.

Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha.

Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha

memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk

kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas,

tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara

atau pengusaha.22

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak

menggunakan istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha.

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan bahwa

“ pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

21

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Bandung : Nusa Media, 2008), hlm 9.

22

(5)

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi”.

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena

meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian

pelaku usaha dalam UUPK memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha

dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi

sebagai pelaku usaha adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil

bahan baku; pembuat suku cadang (setiap orang yang menampakkan dirinya

sebagai pelaku usaha dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal

tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk

tertentu); importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan,

disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi

perdagangan.23

Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan

konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan.

Hubungan tersebut terjadi karena keduanya saling menghendaki dan mempunyai

tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara satu dengan yang lain. Pelaku

usaha sangat membutuhkan dan bergantung pada dukungan konsumen sebagai

pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat

terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen

sangat tergantung pada hasil produksi pelaku usaha.24 Saling ketergantungan

karena kebutuhan tersebut dapat saling menciptakan hubungan yang terus

23

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 8.

24

(6)

menerus dan berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan

kebutuhannya yang tidak terputus. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen

yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi di pemasaran dan

penawaran. Pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut

menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah

asas dan tujuan yang telah diyakini dapat memberikan arahan dalam

implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,

hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

Dalam Pasal 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan

manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta

kepastian hukum”.

Penjelasan Pasal 2 UUPK menguraikan perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan

dalam pembangunan nasional yaitu :25

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

25

(7)

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaran perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:

a. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen;

b. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan;

c. Asas kepastian hukum.

Menyangkut asas keamanan dan keselamatan konsumen yang

dikelompokkan kedalam asas manfaat karena merupakan bagian dari manfaat

penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping

kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keseimbangan yang

dikelompokkan kedalam asas keadilan adalah keadilan bagi kepentingan

masing-masing pihak yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Keseimbangan

perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari

adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para

pihak.26

Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu:

26

(8)

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 UUPK ini merupakan misi pembangunan nasional sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya karena tujuan perlindungan konsumen

merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di

bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan khusus perlindungan

konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum

secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam

rumusan huruf c dan e. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat

terlihat dalam rumusan huruf a, b, dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan

untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.27

3. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak hanya

mencantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen, melainkan juga

hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Namun dapat dilihat bahwa

27

(9)

hak yang diberikan kepada konsumen (Pasal 4 UUPK) lebih banyak dibandingkan

dengan hak pelaku usaha (Pasal 6 UUPK), dan kewajiban pelaku usaha (Pasal 7

UUPK) lebih banyak dari kewajiban konsumen (Pasal 5 UUPK).

Dalam sejarahnya, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan

oleh Presiden Amerika Serikat yaitu John F.Kennedy, yang disampaikan dalam

Kongres Gabungan Negara-negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak

konsumen itu meliputi: 28

John F.Kennedy, dimasukkan dalam program konsumen European Economic

Community (EEC) yang meliputi :29

memenuhi 3 (tiga) syarat yakni hak itu dibutuhkan untuk perkembangan manusia,

diakui oleh masyarakat, serta dilindungi dan dijamin oleh lembaga negara.30 Jika

tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka hak-hak konsumen itu bukanlah hak

yang sempurna, tetapi merupakan hak yang semu. Ketiga persyaratan ini

(10)

umumnya telah dipenuhi oleh negara-negara yang menganut Common Law dan

Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Continental yang

menganut sistem hukum Code Civil, khususnya Belanda, karena adanya kaidah

hukum perlindungan konsumen dapat menjamin anggota masyarakat dengan

adanya kesadaran hukum.31

Permasalahan yang dihadapi konsumen di negara Indonesia, dialami

juga oleh konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar

bagaimana memilih barang, tetapi menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik

itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen sendiri tentang pentingnya

perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai

hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman

dimakan/digunakan, mengikuti standar yang berlaku dengan harga yang sesuai.

Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

dalam Pasal 4, menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen yaitu :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

31

(11)

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen tersebut, terlihat bahwa kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan

utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya

tidak memberikan kenyamanan atau membahayakan keselamatan konsumen jelas

tidak layak diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang

dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak

membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk

memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan

informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang

merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,

perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.32

Dalam kaitannya dengan hak konsumen atas informasi yang jujur dan

benar, memberi informasi yang benar mengenai produk akan membantu

konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab dalam

memenuhi kebutuhannya. Melalui informasi yang benar dan lengkap maka

konsumen dapat menentukan atau memilih produk untuk kebutuhannya.

Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang

keliru atas produk yang dikonsumsi. Informasi ini dapat disampaikan dengan

berbagai cara, seperti menginformasikan secara lisan kepada konsumen melalui

32

(12)

iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk (komposisi,

cara pemakaian, selain batas waktu kadaluwarsa).33

Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang dapat

bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya adalah jika

ditemukan tindakan yang tidak adil terhadap diri konsumen, maka konsumen

dapat bertindak dengan memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain,

konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya

telah dilanggar oleh pelaku usaha.34

Sebagai konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus

diperhatikan. Dalam Pasal 5 UUPK dinyatakan kewajiban konsumen sebagai

berikut :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak

yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat

memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum

bagi dirinya. Adapun sejumlah kewajiban tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut :35

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri. Konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan

33

Adrian Sutedi, Op. Cit. hlm 103. 34

Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka, 2008), hlm 22.

35

(13)

barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya. Dengan pengaturan kewajiban ini, pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa sangat

diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan;

c. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha merupakan suatu hal yang sudah biasa dan semestinya demikian;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut. Ketika terdapat keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan dengan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.

Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari

hak dan kewajiban pelaku usaha. Adanya hak dan kewajiban tersebut

dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi para pelaku usaha dan sebagai

keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, para pelaku usaha

diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK, yaitu:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik, apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

(14)

Hak-hak lain pelaku usaha juga dapat ditemukan antara lain pada

faktor-faktor yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk

yaitu apabila produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan, cacat timbul di

kemudian hari, cacat timbul setelah produk berada diluar kontrol pelaku usaha,

barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi, cacat

timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.36

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi

dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa

pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa

yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang

biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada

barang yang serupa maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

Menyangkut hak pelaku usaha tersebut pada huruf b, c, dan d

sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak yang berhubungan dengan

pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) / pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui

hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan

kepentingan pelaku usaha. Kewajiban konsumen dan hak-hak pelaku usaha yang

36

(15)

disebutkan pada huruf b, c, dan d tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti

upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.37

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah

disebutkan, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan

tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Begitu

pentingnya beritikad baik sehingga dalam perjanjian antara para pihak, kedua

belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan khusus yang dikuasai oleh

itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua

37

(16)

belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang

wajar dari pihak lain.

Masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban

untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak

lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh

perhatian yang cukup dalam menutupi kontrak yang berkaitan dengan itikad baik

tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelaku usaha

diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan bagi

konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian

barang dan/atau jasa. Dalam UUPK, itikad baik lebih ditekankan pada pelaku

usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,

sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik

dimulai sejak barang diproduksi sampai pada tahap penjualan.38

Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang diproduksi

oleh pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen kemungkinan untuk dapat

merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku

usaha.

Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi

yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan

38

(17)

karena informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan

informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat

produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya

penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk

agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu

khususnya minuman. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat

berupa representasi, peringatan, maupun berupa instruksi.

Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini

pada umumnya bukan hanya menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh

suatu produk, tetapi perlu diimbangi dengan informasi yang memuat

kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh produk yang bersangkutan. Terutama mengenai

hal-hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen, sehingga

konsumen benar-benar dapat mempergunakan informasi yang diberikan pelaku

usaha tersebut dalam menjatuhkan pilihannya terhadap suatu produk yang tepat.39

4. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada

39

(18)

pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dapat dibedakan sebagai berikut :40

a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip

ini menyatakan, “seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.” Pasal 1365 KUHPerdata,

yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

1) Adanya perbuatan;

2) Adanya unsur kesalahan;

3) Adanya unsur yang diderita;

4) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Pembentukan teori tanggung jawab dengan dasar adanya unsur kesalahan dan

hubungan kontrak pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa pemikiran, yaitu

paham individualis dalam prinsip laissez faire, kuatnya kepentingan pelaku usaha

yang dianggap sebagai pelaku pembangunan industri/ekonomi, teori kontrak

sosial dan prinsip legal formalism yang mewarnai dunia pengadilan.41

40

Shidarta, Op. Cit. hlm 73. 41

(19)

b. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai dapat membuktikan bahwa tergugat

tidak bersalah. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah

seseorang dianggap bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan

sebaliknya. Hal ini bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas tersebut cukup

relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan

kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus

menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Posisi konsumen sebagai

penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal

menunjukkan kesalahan si tergugat.

c. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of

nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang

sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat

dibenarkan. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan,

seperti kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya

dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari

penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta

(20)

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Tanggung jawab mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak

perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini

merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada

umumnya. 42 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan

konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya

pelaku usaha barang yang memasarkan produknya sehingga merugikan

konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability.

Menurut asas ini, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product

liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu :43

1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak

sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;

2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar

pembuatan obat yang baik;

3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability).

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip

tanggung jawab absolut (absolute liability). Ada pendapat yang mengatakan, strict

liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai

faktor yang menentukan. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.44

(21)

e. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle)

sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula

eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab ini

sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.

Dalam UUPK, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan

klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung

jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang jelas.

Prinsip penting dalam UUPK yang diakomodasikan adalah tanggung

jawab produk dan profesional. Tanggung jawab produk (product liability)

sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang

dibawanya kedalam peredaran sehingga menimbulkan atau menyebabkan

kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab itu

dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang

(gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab

produk, penekanannya ada pada yang terakhir. 45

Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka

tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Tanggung jawab

profesional timbul karena para penyedia jasa profesional tidak memenuhi

perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian

penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum. Jenis

45Ibid

(22)

jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga profesional dan kliennya juga

berbeda. Ada jasa yang diperjanjian menghadirkan sesuatu (resultaat verbintenis),

tetapi ada yang diperjanjikan mengupayakan sesuatu (inspanningsverbintenis).46

5. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sengketa berawal pada situasi dimana pihak yang merasa dirugikan oleh

pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat subyektif dan

tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan

kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua

menanggapi serta dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik

tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan

maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian

sehari-hari dimaksudkan sebagai sesuatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan

upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku

demikian. Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian

antara pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak

salah satu pihak terganggu atau dilanggar.47

Para pihak yang terlibat dalam sengketa konsumen umumnya adalah

kalangan konsumen, pelaku usaha dan/atau pemerintah (khususnya bergerak

dalam penyediaan barang/jasa kebutuhan masyarakat). Sengketa konsumen

menurut UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang

46Ibid

. 47Ibid

(23)

menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) atau badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. UUPK

sendiri tidak menjelaskan pengertian sengketa. Menurut ketentuan Pasal 1 angka

11 jo. Pasal 1 angka 8 SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “sengketa antara pelaku usaha

dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau

yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan

jasa.” 48

Menurut UUPK penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki

kekhasan. Sejak semula, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak

konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa mengikuti beberapa

lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau memilih jalan penyelesaian

diluar pengadilan.

a. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43

ayat 2 UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara

damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha dan konsumen tanpa

melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan

sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Dari penjelasan Pasal 45 ayat 2

UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai

48

(24)

merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para

pihak yang bersengketa sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan

sengketa mereka melalui BPSK.

Pemerintah membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan.

Penyelesain sengketa konsumen melalui BPSK diselenggarakan semata-mata

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian

dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugian materi yang dialami

konsumen didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa

terhadap konsumen.49

Tugas dan wewenang BPSK ditetapkan dalam Pasal 52 UUPK jo. SK.

Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan

cara melalui mediasi, arbitrase, atau konsiliasi;

2) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

3) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

4) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan

dalam undang-undang ini;

5) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

6) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

7) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

8) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan/atau setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

9) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 7 dan angka 8,

49Ibid

(25)

yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa

12) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

13) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK).

Adapun tugas BPSK melakukan pengawasan terhadap pencantuman

klausula baku (Pasal 52 butir c UUPK) tidaklah selalu terkait dengan adanya

sengketa konsumen. Dalam hal ini, BPSK diharapkan bersikap proaktif

menegakkan norma-norma pencantuman klausula baku yang diamanatkan Pasal

18 UUPK, baik dengan cara persuasif maupun represif untuk mengujii kepatuhan

pelaku usaha terhadap norma-norma tersebut.50

Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian

sengketa konsumen kepaada BPSK. Permohonan diajukan secara tertulis kepada

sekretariat BPSK, maka akan diberikan tanda terima kepada pemohon dan

mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara

khusus dan dibubuhi tanggal serta nomor registrasi. Untuk keperluan pemanggilan

pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, dan jam serta

kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian

sengketa konsumen yang diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari yang

ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum

melampui 3 (tiga) hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali

50

(26)

lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan

ketentuan Pasal 52 huruf i UUPK jo. Pasal 3 huruf i SK. Menperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk

menghadirkan pelaku usaha.51

Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan

arbitrase termuat dalam Pasal 3 huruf a SK. Menperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1) Persidangan dengan cara konsiliasi

Pengertian kata konsiliasi dalam penyelesaian sengketa konsumen

ditemukan pada ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001

tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen, yaitu pada Pasal 1 angka 9 yang menyatakan konsiliasi adalah “proses

penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK

untuk mempertemukan para pihak dan penyelesainnya diserahkan kepada para

pihak yang bersengketa.”

Dalam Pasal 28 SK. Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,

penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, setelah BPSK menerima

permohonan konsumen atau ahli warisnya maka selanjutnya majelis BPSK akan

memanggil pihak-pihak yang bersengketa dan saksi-saksi yang diperlukan. BPSK

51

(27)

menyediakan forum bagi para pihak yang bersengketa dan menjawab pertanyaan

para pihak yang berkaitan dengan UUPK.

Tugas dari konsiliasi hanya sebagai pihak fasilitator untuk melakukan

komunikasi diantara pihak sehingga dapat ditemukan solusi oleh para pihak

sendiri. Pihak konsiliator hanya melakukan tindakan-tindakan seperti mengatur

waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subyek pembicaraan,

membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak

mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan

lain-lain. Selanjuntya, pihak mediator juga melakukan hal-hal yang dilakukan

konsiliator, tetapi juga melakukan lebih jauh dari itu. sebagai pihak mediator

dapat juga menyarankan jalan keluar atau proposal penyelesaian sengketa yang

bersangkutan, hal mana paling tidak secara teoritis, tidak ada dalam kewenangan

pihak konsiliator.52

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, konsiliator diarahkan oleh prinsip

keadilan dan objektif dengan mempertimbangkan faktor-faktor antara lain :53

a) Hak dan kewajiban para pihak;

b) Kebiasaan dalam perdagangan (trade usages);

c) Praktek bisnis yang telah terjadi, termasuk praktek bisnis diantara para

pihak.

Konsiliator dapat melakukan proses konsiliasi yang dianggapnya layak

dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi dari kasus tersebut, mengetahui

keingianan para pihak yang diucapkan secara lisan, serta kebutuhan untuk

52

Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 52.

(28)

diproses secara cepat. Disetiap tingkat dalam proses konsiliasi, konsiliator dapat

mengajukan proposal penyelesaian sengketa.54

Hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa

dengan cara konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara

bersama oleh para pihak yang bersengketa. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi

bersifat final dan mengikat para pihak. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 7 jo.

Pasal 6 ayat 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut

harus didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari

terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30

(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri.

Proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi

menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada

para pihak, sedangkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

bertindak pasif sebagai konsiliator. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku

usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.55

2) Persidangan dengan cara mediasi

Dalam ketentuan umum SK. Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001

tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen yaitu Pasal 1 angka 10 yang menyatakan mediasi adalah “proses

penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantaraan BPSK

54Ibid.

55

(29)

sebagai penasihat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.” Keaktifan

majelis BPSK sebagai perantara dan penasihat penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara mediasi, dapat dilihat dari Pasal 30 SK. Menperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:

a) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

b) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

c) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

d) Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;

e) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa

konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.

Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi pada akhir-akhir ini banyak

diperbincangkan oleh orang yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat.

Hal ini disebabkan alasan-alasan sebagai berikut :56

a) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain;

b) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan

memiliki putusan mediasi;

c) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi

sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari;

d) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang

merupakan dasar dari suatu sengketa;

e) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang

bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam.

Selain memiliki kelebihan dari pemilihan sengketa alternatif dengan cara

mediasi, institusi mediasi juga memiliki kelemahan, antara lain :57

a) Dapat memakan waktu yang lama;

b) Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti

kekuatan eksekusi suatu kontrak;

56

(30)

c) Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai;

d) Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika informasi dan

kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya;

e) Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya

fakta-fakta hukum yang penting tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias.

Proses mediasi selalu ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang

dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pemilihan mediator harus dilaksanakan

dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Hal ini dikarenakan seorang mediator

sebagai penengah memegang peranan penting dalam kemajuan penyelesaian

sengketa yang terjadi antara para pihak. Dalam proses mediasi, seorang mediator

memiliki peran sebagai pihak yang mengawasi jalannya mediasi seperti mengatur

perundingan, menyelenggarakan pertemuan, mengatur diskusi, menjadi penengah,

merumuskan kesepakatan para pihak, serta membantu para pihak untuk menyadari

bahwa sengketa bukanlah suatu pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa

tersebut harus diselesaikan. 58

Proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi

menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada

para pihak, sedangkan Badan Penylesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bertindak

aktif sebagai mediator dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran, dan upaya

-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Hasil musyawarah konsumen dan

pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.59

Kesepakatan yang telah diraih dalam alternatif penyelesaian sengketa

(31)

dilaksanakan dengan itikad baik serta didaftarkan ke pengadilan negeri.

Pendaftaran yang dimaksud adalah suatu pendaftaran yang dilaksanakan dengan

cara mengajukan gugatan terhadap pihak lawan dalam perjanjian mediasi tersebut

di pengadilan negeri yang berwenang. Dengan pendaftaran seperti demikian, akan

tercipta suatu akta perdamaian yang memiliki kekuatan eksekutorial.60

3) Persidangan melalui arbitrase

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa arbitrase

adalah “cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang bersengketa”. Perjanjian arbitrase sebagaimana yang dimaksud dalam

undang-undang tersebut adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang

tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul

sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa.

Dalam penyelesaian sengketa secara arbitrase para pihak mempunyai

kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang harus dipakai oleh majelis

arbitrase. Hukum tertentu yang dipilih oleh para pihak merupakan hukum

substantifnya dan bukan kaidah-kaidah hukum perdata internasionalnya. Hukum

substantif perdata di Indonesia, misalnya terdapat dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang

60

(32)

(KUHD). Jadi apabila para pihak tidak menentukan sendiri hukum substantif

mana yang akan dipakai, maka arbiter atau para arbiter dapat menentukannya.61

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran surat permohonan untuk

mengadakan arbitrase. Pada surat permohonan harus dilampirkan salinan naskah

atau akta perjanjian yang secara khusus menyerahkan pemutusan yang memuat

klausul arbitrase. Apabila surat permohonan diajukan oleh kuasa dari pihak yang

bersengketa, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut

juga dilampirkan. Dalam surat permohonan tersebut, pemohon dapat menunjuk

seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter kepada ketua Badan

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Permohonan harus disertai pembayaran

biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai ketentuan BANI.62

Sekretaris BANI akan memeriksa permohonan untuk menentukan apakah

perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup untuk

memberikan wewenang bagi BANI dalam memeriksa sengketa tersebut. Apabila

permohonan tidak dapat diterima, maka hal tersebut akan diberitahukan kepada

pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari, sedangkan biaya

pemeriksaan dikembalikan kepada pemohon.63

Jika sudah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian untuk membawa

suatu perkara perdata, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui forum

arbitrase. Hal ini sebagimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi

61

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm 54.

62

R. Subekti, Arbitase Perdagangan, (Bandung : Angkasa Offset, 1981), hlm 16. 63Ibid,

(33)

“pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang

telah terikat dalam perjanjian arbitrase.” Dengan demikian, adanya suatu

perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak dalam perjanjian untuk

mengajukan penyelesaian sengketa yang terkait dengan perjanjian tersebut ke

pengadilan negeri. Pengadilan negeri juga wajib menolak dan tidak campur tangan

dalam perkara yang dalam perjanjiannya sudah menyatakan arbitrase sebagai

forum penyelesaian persengketaanya.64

Langkah yang harus diambil oleh arbiter setelah ia menutup proses

persidangan adalah menyiapkan dan menetapkan putusannya. Arbiter atau majelis

arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan

keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) jika hal itu secara tegas disepakati para

pihak dalam perjanjian arbitrase.65 Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase diberi

kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka

peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Walau demikian dalam hal

tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat

disimpangi oleh arbiter.

Namun, apabila arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan

putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter dalam memberi putusan

hanya berdasarkan kaidah hukum materiil. Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) mengatur mengenai pengambilan putusan berdasarkan keadilan dan

kepatutan dalam Pasal 15 ayat 3 Peraturan BANI.

64

Pasal 11 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

65

(34)

Bila dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga

peradilan, maka lembaga arbitrase mempunyai beberapa kelebihan antara lain :66

a) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan

administratif;

c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui

tata cara yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.

Selain kelebihan-kelebihan tersebut diatas, terdapat juga kelemahan dari

arbitrase, antara lain :67

a) Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk

memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak;

b) Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka

diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut;

c) Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing

masih menjadi hal yang sulit;

d) Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah

perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu, untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.

Suatu putusan dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan

sengketa dan menetapkan hak serta hukumnya. Ketentuan mengenai putusan

penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum mengikuti ketentuan

hukum acara perdata HIR/Rbg, sedangkan putusan penyelesaian sengketa

konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mengacu

66Susanto Adi Nugroho

, Op. Cit. hlm 115. 67

(35)

kepada ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan SK.

Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.68

Ketentuan mengenai putusan penyelesaian sengketa konsumen melalui

BPSK terdapat pada Pasal 54 sampai dengan Pasal 58 UUPK. Sedangkan

mengenai pembuatan putusan dijelaskan pada Pasal 37 SK. Menperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu sebagai berikut :

a) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi

dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan;

b) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikuatkan dengan

keputusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis;

c) Keputusan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak memuat

sanksi administratif;

d) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan arbitrase dibuat dalam

bentuk putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis;

e) Keputusan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dapat memuat

sanksi adminitratif.

Putusan BPSK dapat berupa putusan perdamaian, putusan gugatan

ditolak atau gugatan dikabulkan. Ketiga bentuk putusan tersebut jika dihubungkan

dengan cara-cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui konsiliasi,

mediasi, dan arbitrase, maka hanya dapat diberlakukan terhadap penyelesaian

sengketa melalui cara arbitrase yang bersifat contradictoir. 69 Penyelesaian

sengketa melalui konsiliasi atau mediasi hanya berlaku bentuk putusan

perdamaian berdasarkan Pasal 37 ayat 1 dan ayat 2 SK. Menperindag No.

68

Azwir Agus, Arbitrase Konsumen : Gambaran Dalam Perubahan Hukum Perlindungan Konsumen, (Medan : USU Press, 2013), hlm 47.

69

(36)

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen. Apabila diantara para pihak terjadi

kesepakatan untuk berdamai karena dalam proses konsiliasi atau mediasi,

keputusan majelis hanya menguatkan kesepakatan para pihak yang telah

dituanggkan dalam perjanjian tertulis sehingga tidak dimungkinkan adanya

putusan berupa gugatan ditolak atau dikabulkan. Dengan tidak berhasilnya

penyelesaian sengketa melalui konsiliasi atau mediasi maka dapatlah dijadikan

dasar bagi para pihak untuk mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Menurut Pasal 56 ayat 2 UUPK para pihak dapat mengajukan keberatan

kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah

menerima pemberitahuan putusan BPSK. Kata “dapat” pada Pasal 56 ayat 2

UUPK ternyata ditafsirkan sebagai “wajib” pada Pasal 41 ayat 2 SK.

Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menyatakan bahwa

“konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau

menolak putusan BPSK.” Dalam Pasal 56 ayat 3 UUPK menentukan bahwa tidak

diajukannya keberatan oleh pelaku usaha dalam jangka waktu yang ditetapkan

undang-undang membawa akibat pelaku usaha dianggap menerima putusan

BPSK.

Pengajuan keberatan terdapat pada Pasal 58 ayat1 sampai dengan ayat 3

UUPK. Pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu

paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Melalui

(37)

Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Mahkamah

Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

b. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan Umum

Apabila upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para

pihak tidak ingin menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat

menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara:

1) Penyelesaian sengketa konsumen secara perdata

Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan

memperhatikan Pasal 48 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK),

penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan

tentang peradilan umum yang berlaku. Proses penyelesaian sengketa melalui

pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata

biasa dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan

melawan hukum, gugatan ingkar janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku

usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi

konsumen.70

UUPK mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa bagi penegak

hukum di Indonesia yaitu dengan gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class

action) dan gugatan/hak gugat Ornop/LSM (legal standing). Kedua jenis gugatan

70

(38)

ini tidak sama dan secara prinsipil berbeda satu dengan lainnya. Ada kesan

pembentuk undang-undang menyerahkan pemahaman perbedaan prinsipil tersebut

pada dinamika hukum, artinya untuk kesekian kalinya hakim dituntut secara aktif

membentuk hukum.71

a) Class action

Ketentuan gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action) diatur

dalam Pasal 46 UUPK menyatakan bahwa gugatan kelompok (class action)

diakui undang-undang dan harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar

dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum yaitu dengan adanya bukti

transaksi. Class action adalah gugatan perdata biasa yang diajukan oleh 1

(satu) orang atau lebih atas nama sejumlah orang lain yang mempunyai

tuntutan yang sama terhadap tergugat.72 Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002

tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dijelaskan pengertian

gugatan perwakilan kelompok adalah

“suatu tata cara pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.”

Pada pokoknya gugatan kelompok ini disediakan bagi perkara yang

peristiwanya merupakan peristiwa yang terjadi terhadap sekelompok orang,

sedangkan kelompok tersebut dalam jumlah besar, sehingga tidak praktis

apabila diajukan satu persatu.73 Pada dasarnya gugatan kelompok dilakukan

(39)

oleh perwakilan konsumen berupa perwakilan individual, sekelompok orang

atau diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

(LPKSM).

b) Legal standing

Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima

kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang

memiliki legal standing, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat 1 huruf c

UUPK bahwa

“gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh Lembaga

(40)

Hak yang dimiliki lembaga tersebut dikenal dengan hak gugat organisasi

non pemerintah (Ornop) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).74

Untuk mempergunakan gugatan Ornop/LSM dalam rangka penyelesaian

sengketa konsumen ini, hanya diberikan kepada LSM yang bergerak dalam

rangka perlindungan konsumen atau dalam UUPK dikenal sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). 75 Selain

memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat 1 huruf c,

LPKSM tersebut diwajibkan untuk didaftarkan dan diakui oleh pemerintah.

Tanpa pendaftaran dan pengakuan tersebut, LPKSM tidak dapat

menyandang haknya sebagai para pihak dalam proses beracara dengan

mekanisme gugatan Ornop/LPKSM di pengadilan. Menurut Pasal 2 ayat 1

Peraturan Pemerintah (PP) No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), terdapat 2 (dua)

syarat untuk mendapatkan pengakuan sebagai LPKSM, yaitu:

(1) Terdaftar pada pemerintah kabupaten/kota;

(2) Bergerak dalam bidang perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar LPKSM.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan Ornop atau LSM

adalah LPKSM yang menjadi wakil konsumen tidak berstatus sebagai

korban dalam perkara yang diajukan. Hal inilah yang merupakan perbedaan

pokok antara gugatan kelompok dengan gugatan Ornop/LSM.

74

Shidarta, Op Cit, hlm 55. 75

(41)

2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menempatkan

kepatuhan terhadap norma-norma perlindungan konsumen dengan

mendayagunakan seluruh instrumen hukum yang ada termasuk dengan instrumen

hukum acara pidana.76 Dalam hal ini, hukum pidana sebagai sarana perlindungan

sosial (social defence) bertujuan melindungi kepentingan-kepentingan

masyarakat. Penggunaan hukum pidana tidak hanya pragmatis, tetapi juga

berorientasi pada nilai. Adanya sanksi perdata dan sanksi adminitrasi negara

dalam UUPK merupakan sarana nonpidana yang diharapkan memiliki pengaruh

preventif.77

Hukum pidana dapat digunakan bila instrumen hukum lainnya sudah

tidak berdaya lagi untuk melindungi konsumen (ultimum remedium). Sebalikya,

UUPK telah memulai paradigma baru, jika hukum pidana digunakan bersama

-sama dngan instrumen hukum lainnya (primum remedium). Paradigma peran

konsumen dalam sistem peradilan pidana hingga kini masih tetap terbatas pada

saksi korban.78

Melalui pandangan sistemik hukum yang berdasarkan pada Pasal 1 butir

26 jo. Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi

korban adalah

“korban peristiwa tindak pidana yang memberikan keterangan tentang

apa yang ia dengar, lihat dan/atau alami sendiri guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Dalam sistem peradilan pidana, posisi saksi korban sering disebut sebagai saksi yang memberatkan

Referensi

Dokumen terkait

menggambarkan ciri khas TNGC , namun belum tersedia di lokasi ekowisata. 5) Ekowisatawan berminat untuk menggunakan jasa pemandu, namun informasi tentang keberadaan

Maka dari itu penulis mengambil judul “Perbedaan Hasil Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Metode Konvensional Dan Metode NHT (Numbered

Jepang pada dasawasa 20 dan 30 abad ke-20 sudah mempunyai perhatian sangat besar terhadap Hindia Belanda karena menganggap potensi yang dimiliki wilayah ini sangat

Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Semarang dilihat dari lima tepat yang perlu dipenuhi dalam keefektifan suatu pelaksanaan program, yaitu ketepatan kebijakan,

Sedangkan pada histologi ginjal tampak bahwa perlakuan porang yang berasal dari Sumber Baru dan Sumber Bendo menunjukkan adanya.. kerusakan sel hepar sekitar 25

Populasi sampel adalah seluruh penderita diabetes mellitus tipe 2 baik dengan atau tanpa penyakit penyerta yang tercatat sebagai pasien yang menjalani

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha kuasa, Yesus Kristus atas kebaikan, karunia, anugrah dan rahmat-Nya yang telah melindungi dan membimbing sehingga

Brand Banana Tokyo adalah salah satu contoh yang sukses, kue sederhana yang resepnya bisa dibuat oleh siapapun di dunia ternyata menjadi icon oleh- oleh dari negeri Jepang yang