• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

27

2.1 Perlindungan Konsumen

2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau

konsumen.1

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen

adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.”

Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain,

seperti pemberian, hadiah, dan undangan.2 Mariam Darus Badrul Zaman

mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang

1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3.

2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

(2)

digunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu: “Semua individu yang menggunakan

barang dan jasa secara konkret dan riil”.3

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir.

Setiap orang dapat dikatakan sebagai konsumen, karena setiap orang tentunya selalu membutuhkan berbagai barang dan jasa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri, maupun keluarganya. Maka dari itu, sudah selayaknya konsumen yang notabenenya berada dalam posisi lemah, mendapatkan perlindungan agar kerugian yang dialami oleh konsumen akibat pemakaian suatu

3

Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan

Permasalahannya, Alumni, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), Bandung, h.

(3)

produk barang dan/atau jasa dapat diminimalisir. Selain untuk meminimalisir terjadinya kerugian, perlindungan terhadap konsumen juga bertujuan untuk mensejajarkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha.

Pada berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Az Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah: “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.” Kemudian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai: “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan

melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia

barang dan/atau jasa konsumen.”4

Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az Nasution menjelaskan sebagai berikut.

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak terlalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

Menurut N.H.T. Siahaan, hukum perlindungan konsumen adalah “serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen

(4)

atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.”5

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang dilakukan guna menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen selaku pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Perlindungan terhadap konsumen diwujudkan dengan adanya hukum perlindungan konsumen yang memiliki pengertian sebagai seperangkat kaidah-kaidah hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen selaku pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.

1.1.2 Dasar hukum perlindungan konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Maka dari itu, penting untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi

hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.6

Adapun yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk itu, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.

5

N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, h. 34.

(5)

Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan

sebagainya).7

Selain pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkan pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia juga merupakan sumber dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini.

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Landasan dari Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Alinea ke-4, yang menyatakan sebagai berikut.

(6)

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Pada umumnya, hingga saat ini orang-orang akan bertumpu pada kata “segenap bangsa” sehingga kata tersebut diambil sebagai asas

tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi, di samping itu, terdapat kata “melindungi” yang menurut

Az. Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut.

Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak/pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan/atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

(7)

2. Ketetapan MPR (TAP-MPR)

Selanjutnya, dalam melaksanakan perintah UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa, yang dalam hal ini khususnya mengenai perlindungan konsumen, sejak tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR. Melalui ketetapan MPR (TAP-MPR) tahun 1993, telah memperjelas kehendak rakyat Indonesia terkait adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.

Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, dan pada TAP-MPR 1988 digunakan istilah “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada TAP-MPR 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Hanya saja, pada

masing-masing TAP-MPR tersebut tidak mancantumkan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindung kepentingan konsumen tersebut.

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu baris kalimat, mengenai kaitan antara produsen dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi:

“………meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan konsumen.”

Dengan susunan kalimat tersebut, terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan

(8)

produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.

Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha

adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, dan/atau

mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang diperlukan oleh pelaku usaha adalah agar penghasilan dalam berusaha dapat meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik karena:

a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau

b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum, penguatan pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan). Kepentingan konsumen terkait dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam

(9)

perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Perbedaan prinsipil antara kepentingan pelaku usaha dan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa serta pelaksanaan

kegiatan, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan

perlindungan dan dukungan yang berbeda pula. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan hukum dan masalah antar pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen

dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. 8

1.1.3 Asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, mulai dari masyarakat, pelaku usaha, hingga pemerintah berdasarkan lima asas, yang menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini adalah:

1. Asas manfaat; 2. Asas keadilan; 3. Asas keseimbangan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen; serta

(10)

5. Asas kepastian hukum.

Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, melainkan untuk memberikan kepada masing-masing pihak (konsumen dan pelaku usaha), apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi

kehidupan berbangsa.9

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku

usaha.10

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

9

Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, cet. IV, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 26.

(11)

dapat memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih

besar dari pada pihak lain.11

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan

mengedarkan produknya.12

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan

11 Ibid. 12 Ibid., h. 27.

(12)

sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,

negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini.13

Selanjutnya terkait dengan tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebagaimana disebut dalam Pasal 3 adalah:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Memperhatikan tujuan dan asas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, terlihat jelas bahwa undang-undang ini membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.1.4 Hak dan kewajiban konsumen

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya

(13)

mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam

melaksanakannya.14

Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan atau pengelompokan hak, yaitu hak yang dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia (disebut hak asasi) dan hak yang ada pada manusia akibat adanya peraturan, yaitu

hak yang berdasarkan undang-undang (disebut hak hukum).15

Hak asasi tidak perlu direbut karena ada dan selalu ada, selama ia masih manusia; keberadaannya tidak bergantung pada persetujuan orang ataupun undang-undang negara. Terhadap hak asasi, hukum negara hanya boleh dan bahkan wajib mengatur pemenuhannya, sedangkan untuk meniadakan atau menghapuskan hak asasi melalui hukum, tidak dapat dibenarkan.

Hak hukum adalah hak yang bersumber, baik dari hukum maupun perjanjian itu dibedakan menjadi hak kebendaan dan hak perorangan. Hak kebendaan berkaitan dengan penguasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang, misalnya, hak milik. Sedangkan hak perorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Dalam hukum Romawi, keduanya disebut dengan actiones in rem untuk tuntutan

kebendaan dan actiones in personam untuk tuntutan perseorangan.16

Berdasarkan pemahaman di atas maka dapat dipahami pula bahwa hak-hak konsumen terdiri atas hak konsumen sebagai manusia (yang perlu hidup), hak konsumen sebagai subjek hukum dan warga negara (yang bersumber dari

14 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 40.

15 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, h. 94-95.

(14)

undang/hukum), dan hak konsumen sebagai pihak-pihak dalam kontrak (dalam hubungan kontrak dengan pelaku usaha).

Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya di hadapan Kongres Amerika Serikat pada tahun 1962, pada saat menyampaikan gagasan tentang perlunya perlindungan konsumen, menyebutkan empat hak konsumen yang perlu mendapat perlindungan secara hukum, yaitu:

1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety); 2. Hak memilih (the right to choose);

3. Hak mendapat informasi (the right to be informed); dan

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).17

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum, yaitu:

a. hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(15)

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.

Selain hak-hak konsumen yang terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.18

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pelaku usaha seringkali tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair

competition).19

Pada akhirnya, dengan memperhatikan hak-hak yang telah disebutkan di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak-hak konsumen, yaitu sebagai berikut.

a. Hak atas keamanan dan keselamatan;

18 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., h.32 19 Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.

(16)

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.

b. Hak untuk memperoleh informasi;

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.

c. Hak untuk memilih;

Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.

d. Hak untuk didengar;

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, atau berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat

(17)

penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diawali oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;

Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup. Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak).

f. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan. g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

(18)

Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi kritis dan lebih teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.

h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;

Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya.

(19)

Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan

malalui jalur hukum. 20

Ahmadi Miru menyatakan bahawa bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:

1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

2. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; 3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi. 21

Selanjutnya mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan sebagai berikut.

Kewajiban konsumen adalah:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting karena seringkali pelaku

20

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, cet. I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 40-46.

(20)

usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggungjawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.

Terkait kewajiban konsumen untuk beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha, kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

2.2 Klausula Eksonerasi

2.2.1 Pengertian klausula eksonerasi

Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi, memberikan definisi terhadap klausul tersebut sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor, terhadap resiko dan kelalaian yang

mesti ditanggungnya.22

Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan istilah exclusion clause, memberikan definisi any term in a contract restricting, excluding or modifying aremedy or a liability arising out of breech of a

(21)

contractual obligation23 yang diterjemahkan sebagai setiap bagian dari suatu perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.

Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada yurisprudensi dalam kasus Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama International Trust Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa exemption clause diartikan sebagai …..a clause in a contract or a term in a notice which appears to exclude or restrict a liability or a legal duty that would otherwise arise, yang jika diterjemahkan adalah klausul yang kehadirannya untuk

membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.24

Menurut Rijken, klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.25

Shidarta menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).26

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang

23 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, h. 141.

24 Ibid.

25 Mariam Darus Badrulzaman I, op.cit, h. 47

(22)

sangat merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lebih lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh

produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.27

Istilah perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti patokan atau acuan. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam

bentuk formulir.28

Sutan Rehmi Sjahdeni mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak memiliki peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang

dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.29

2.2.2 Dasar hukum larangan pencantuman klausula eksonerasi

Pitlo menggolongkan klausula baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract). Walaupun secara teoritis yuridis, klausula baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan ditolak keberadaannya sebagai perjanjian oleh beberapa ahli hukum, namun kenyataannya kebutuhan masyarakat terhadap

klausula baku berjalan ke arah yang berlawanan dengan keinginan hukum.30

27 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., h. 114

28 Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman III), Alumni, Bandung, h. 48.

29 Shidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta. 30Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit, h. 117.

(23)

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” pada nota pembelian atau tanda bukti pembelian

lainnya, tentu telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan bahwa pelaku usaha berhak untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.

(24)

Tidak hanya melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pencantuman klausul yang menyatakan bahwa “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” pada nota pembelian secara tidak langsung telah menyatakan

adanya pengalihan beban tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomot 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga melarang pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum, dengan amar bahwa pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen.31

Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku kepada pihak lawannya. Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan klausula perjanjian

(25)

tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang

berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.32

2.2.3 Hubungan antara klausula eksonerasi dengan klausula baku

Untuk dapat mengetahui hubungan antara klausula eksonerasi dengan klausula baku, maka selain memahami pengertian dari klausula eksonerasi, perlu juga dipahami pengertian dari klausula baku.

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut. 1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif

lebih kuat dari konsumen.

2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.

4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh

faktor kebutuhan. 33

32

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, loc.cit.

33 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93.

(26)

Berdasarkan pengertian dari klausula baku di atas, dan juga klausula eksonerasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa klausula eksonerasi merupakan bagian dari klausula baku. Baik klausula baku maupun klausula eksonerasi sama-sama dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha. Namun, hanya kalusula baku yang ditujukan untuk membatasi atau bahkan menghilangkan tanggung jawab pelaku usaha saja yang dapat disebut sebagai klausula eksonerasi. Berbagai macam perjanjian yang memuat klausula eksonerasi dibuat oleh pelaku usaha dengan tujuan untuk membatasi hingga menghilangkan tanggung jawab dirinya atas akibat yang mungkin ditimbulkan.

Kalau perjanjian dengan syarat-syarat baku meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, maka perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan. Kesamaan dari keduanya adalah syarat-syarat itu tidak dibicarakan terlebih dahulu dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Orang atau pihak lain itu, dan umumnya mereka adalah konsumen, dapat menerimanya atau tidak

menerimanya sebagai suatu perjanjian (take it or leave it).34

Bentuk perjanjian dengan klausula-klausula baku ini umumnya dapat terdiri atas:

a. Dalam Bentuk Dokumen

Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan

34 Az. Nasution, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution III) h. 109.

(27)

pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk bersangkutan.

Dalam bentuk termuat pada secarik kuitansi, bon, selembar kertas tertentu, tanda penerimaan atau penyerahan barang lainnya, ia berbentuk tulisan dengan kalimat-kalimat antara lain: “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” (biasanya termuat pada

bon/kuitansi pembelian barang-barang dari toko dan/atau kedai), “ganti rugi maksimum 10 x ongkos pengiriman” (pada bon atau

kuitansi dari perusahaan transportasi pengangkut barang atau orang), “ganti rugi dalam bentuk penggantian satu rol film baru” (biasanya

pada toko pencuci dan pembuat foto atau foto-foto studio), “barang-barang dalam mobil yang diparkir dana tau mobil hilang di luar tanggung jawab kami” (biasanya pada penyedia tempat-tempat parkir kendaraan bermotor), “barang-barang yang dicuci tidak dijamin

apabila terjadi hal-hal tertentu” (biasanya pada toko/perusahaan pencuci pakaian atau laundry), “barang-barang yang dijamin sesuai

dengan ketentuan-ketentuan tercantum pada surat/kartu garansi ini”, dan sebagainya. Biasanya huruf yang digunakan kecil-kecil dan halus, sehingga sulit diketahui, kecuali mereka yang telah memahami tentang persoalannya.

(28)

Dalam bentuk perjanjian, ia memang merupakan suatu perjanjian yang konsep atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya penjual dan/atau produsen. Perjanjian ini di samping memuat aturan-aturan yang umumnya biasa tercantum dalam suatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan/atau berakhirnya perjanjian itu.

Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suatu perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat ketentuan tentang syarat berlakunya kontrak baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang resiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditanggung dan/atau berbagai persyaratan lain yang pada umumnya menyimpang dari ketentuan yang umum berlaku. Berkaitan dengan masalah berlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk oleh perusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk.

Contoh-contoh perjanjian dengan syarat-syarat baku antara lain adalah: perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian pembelian perumahan, perjanjian pembelian kendaraan bermotor, dan

sebagainya. 35

(29)

Sampai saat ini berlakunya perjanjian dengan syarat-syarat baku itu antara lain dengan cara-cara:

1. Memuatnya dalam butir-butir perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya oleh kalangan pengusaha, baik itu produsen, distributor, atau pedagang eceran produk bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia barang atau jasa yang ditawarkan pada orang banyak (perhatikan kontrak-kontrak jual beli atau beli-sewa kendaraan bermotor, perumahan, alat-alat elektronik, dan lain-lain).

2. Dengan memuatnya dalam carik-carik kertas baik berupa tabel, kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain-lain bentuk penjualan dan/atau (perhatikan pada carik kertas/bon/atau tanda penyerahan barang dari toko, kedai, supermarket, dan sebagainya).

3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat-syarat baku di tempat-tempat tertentu, seperti di tempat-tempat parkir, atau di hotel/penginapan dengan meletakkan atau menempelkan pengumuman itu di meja/ruang penerima tamu atau di ruang duduk

kamar yang disewakan. 36

Mereka yang menyediakan ketentuan-ketentuan syarat-syarat baku tersebut menganggap dengan telah ditanda-tanganinya perjanjian dengan syarat-syarat baku, para pihak tersebut dengan sendirinya terikat pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam perjanjian itu. Begitu pula dengan berbagai bentuk

(30)

lainnya sepanjang telah dibuat secara tertulis dan/atau diumumkan di tempat-tempat yang terbuka dan jelas terlihat oleh masing-masing pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Klausula eksonerasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilarang (pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Pencantuman

Kegiatan kelompok BKR Percontohan ini sangat penting sehingga terjadi komunikasi antara remaja dengan orang tua tentang kesehatan reproduksi yang selama ini belum

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Pintrich, 2003, Santrock, 2007, Brophy 2004). mahasiswa yang memiliki

Dokumen ini dibuat oleh fungsi penerimaan untuk menunjukkan bahwa barang yang diterima dari pemasok telah memenuhi jenis, spesifikasi, mutu dan kuantitas seperti

Metode survey merupakan metode penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil

Part 1 , Pythonic Classes via Special Methods : This part looks more deeply at object- oriented programming techniques and how we can more tightly integrate the class definitions