• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELANGGARAN HAK-HAK KONSUMEN OLEH PELAKU USAHA DALAM PENGURANGAN BERAT BERSIH TIMBANGAN PADA PRODUK MAKANAN DALAM KEMASAN ( Studi Kasus Sengketa antara Toko Hokky Surabaya dan Ibu Fony ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELANGGARAN HAK-HAK KONSUMEN OLEH PELAKU USAHA DALAM PENGURANGAN BERAT BERSIH TIMBANGAN PADA PRODUK MAKANAN DALAM KEMASAN ( Studi Kasus Sengketa antara Toko Hokky Surabaya dan Ibu Fony )."

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

( Studi Kasus Sengketa antara Toko Hokky Surabaya dan Ibu Fony )

SKRIPSI

Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

RENDY ADITYA PECHLER

NPM. 0771010123

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA

(2)

Dengan nama Allah yang maha dan maha penyayang

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan

skripsi ini walau dengan pengorbanan yang cukup besar. Proposal skripsi ini diambil

dengan judul:

”Pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku usaha dalam

pengurangan berat bersih timbangan pada produk makanan dalam kemasan

(studi kasus sengketa antara Toko Hokky Surabaya dan Ibu Fony) .”

Adapun penyusunan skripsi ini yang dilakukan di Lembaga Perlindungan

Konsumen Surabaya dimaksudkan untuk memenuhi tugas akademis di Fakultas

Hukum UPN Veteran Jawa Timur guna memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih atas

bantuan, dukungan, dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :

1.

Bapak Hariyo Sulistiyantoro, SH., MM., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur.

2.

Bapak Sutrisno, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan selaku dosen

pembimbing utama yang telah banyak membantu dalam pengerjaan skripsi ini.

3.

Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

(3)

Konsumen Kota Surabaya.

6.

Ibu Wiwin Yulianingsih, SH., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing pendamping

yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penyusun dalam

pembuatan skripsi ini, sehingga penyusun dapat menyelesaikan dengan baik.

7.

Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

8.

Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Jawa Timur.

9.

Seluruh Pegawai Staff Lembaga Perlindungan Konsumen Kota Surabaya (Bp.

Vijay, Bu Ambar, Mb’ yanti, Mas A’an) dan yang tidak dapat Penyusun sebutkan

satu-persatu, atas kerjasamanya dan kesabaranya dalam membantu penyelesaian

skripsi ini

10.

Kedua orang tua tercinta, Papa, Mama, Mamak, Bunda, adik-adik, kakak-kakak,

serta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan dukungan moril maupun

materiil serta doanya selama ini.

11.

Sahabat-sahabatku, rekan-rekan sependeritaan, Yudha, Wimmar, Koko, Adit dan

serta seluruh Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur, yang telah membantu dan memberikan saran sebagai

(4)

penyusun dengan segala kekurangannya akan merasa senang apabila terdapat kritik

maupun saran yang ditujukan guna perbaikan skripsi ini. Penyusun berharap semoga

skripsi ini dapat menjadi awal yang berharga dan bermanfaat bagi perkembangan

displin ilmu terutama dalam bidang Ilmu Hukum serta tegaknya hukum di Indonesia.

Dan dapat bermanfaat bagi pembacanya terutama kalangan hukum dan adik-adik

kelas yang ada di fakultas hukum UPN “veteran” Jatim.

Surabaya, April 2011

(5)

HALAMAN REVISI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAKSI ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ...

5

1.4.

Manfaat Penelitian ... 5

1.5.

Kajian Pustaka ... 6

1.5.1. Pengertian Pelanggaran... 6

1.5.2. Pengertian Hak ... 6

1.5.3. Tinjauan mengenai Konsumen ... 7

a. Pengertian Konsumen ... 7

b. Kewajiban Konsumen ... 8

c. Hak-Hak Konsumen ... 9

1.5.4. Pengertian Pelaku Usaha ... 12

(6)

1.5.5. Cacat Produk ... 16

1.5.6. Tanggung Jawab Produk ... 18

1.5.7. Pengertian Alat Ukur Timbangan ... 22

1.5.8. Pengertian upaya hukum ... 22

a. Upaya hukum dalam UUPK ... 22

b. Upaya hukum dalam KUHPerdata ... 23

c. Upaya hukum dalam UU No.2 tahun 1981 ... 24

1.5.7. Bentuk sanksi-sanksi ... 24

a. Sanksi-sanksi menurut UUPK ... 24

b. Sanksi-sanksi menurut KUHPerdata ... 25

c. Sanksi-sanksi menurut KUHPidana ... 25

d. Sanksi-sanksi menurut UU no.2 tahun 1981 ... 26

1.6. Metode Penelitian ... 26

1.6.1.

Jenis penelitian dan tipe penelitian ... 26

1.6.2. Sumber Data ... 26

1.6.3

.

Pembatasan masalah ... 27

1.6.4. Metode pengumpulan data dan pengolahan data ... 28

1.6.5. Metode analisis data ... 28

1.6.6. Sistematika penulisan ... 29

(7)

Bersih ... 35

2.1.1. Penyelesaian di luar Pengadilan ( non litigasi ) ... 35

2.1.2. Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Peradilan Umum

(Litigasi)... 40

2.2. Analisa Kasus Sengketa Ibu Fony dengan Toko Hokky Surabaya ... 44

BAB III TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN

3.1. Prinsip – Prinsip Tanggung Jawab ... 50

3.1.1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan ... 51

3.1.2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab ... 51

3.1.3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab ... 52

3.1.4. Prinsip Taggung Jawab Mutlak ... 52

3.1.5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan ... 52

3.2. Perbuatan Melawan Hukum dalam Sengketa Antara Konsumen dan

Pelaku Usaha ... 53

3.3. Analisa Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen (Studi

Kasus Sengketa Ibu Fony dengan Toko Hokky Surabaya) ... 56

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan ... 59

4.2. Saran ... 60

(8)

Tempat/Tanggal Lahir

:Surabaya, 04 November 1989

Program Studi

: Strata 1 (S1)

Judul Skripsi

:

PELANGGARAN HAK-HAK KONSUMEN OLEH PELAKU

USAHA DALAM PENGURANGAN BERAT BERSIH

TIMBANGAN PADA PRODUK MAKANAN DALAM

KEMASAN

( Studi Kasus Sengketa antara Toko Hokky Surabaya dan Ibu Fony )

ABSTRAKSI

Konsumen selain dilindungi dengan kebijakan hukum juga harus

dilindungi dengan kebijakan untuk meminimalisasi resiko yang harus

ditanggung konsumen. Yaitu dengan mencegah beredarnya produk cacat

terutama dalam pencantuman label berat bersih di pasar . Banyak

produk-produk cacat terutama dalam ketentuan berat bersih timbangan yang beredar di

masyarakat, namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tanggung

jawab pelaku usaha dalam pengurangan berat bersih timbangan tidak diatur

secara tegas. Masalah yang akan diteliti meliputi, bagaimana bentuk tanggung

jawab pelaku usaha terhadap pengurangan timbangan makanan dalam kemasan

ditinjau dari perspektif perlindungan konsumen dan bagaimana mekanisme

penyelesaian sengketa terhadap pengurangan berat bersih timbangan makanan

tersebut.

Dalam melakukan penulisan ini digunakan metode penelitian normatif

yuridis. Penelitian ini bersifat deskriptif. Hasil analisis penelitian, disimpulkan

bahwa sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan

hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Proses

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen

khususnya terhadap

pengurangan berat bersih timbangan dalam kemasan dapat dilakukan semua

konsumen bahkan bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat melalui

gugatan legal standing. Mekanisme penyelesaian sengketa ini dapat ditempuh

melalui jalur Litigasi maupun non litigasi. Dan disini juga dibahas tentang

bagaimana bentuk pertanggung jawaban.

Saran dalam penelitian ini adalah agar para konsumen lebih teliti dalam

membeli suatu produk dan agar para pelaku usaha lebih beritikad baik dalam

menjual produknya.

(9)

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan perekonomian nasional yang diarahkan untuk

mendukung tumbuhnya dunia usaha diharapkan mampu menghasilkan

beraneka barang dan jasa yang pada akhirnya mampu untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan sekaligus dapat memberikan kepastian

hukum atas barang dan/ jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa

mengakibatkan adanya kerugian terhadap konsumen.

Ketidakstabilan perekonomian di Indonesia mengakibatkan

pemerintah mengambil suatu kebijakan di bidang perekonomian antara

lain untuk menaikkan harga barang-barang pokok, tarif listrik, tarif air

dan sebagainya, kebijakkan ini memberikan dampak negatif bagi para

pelaku usaha sehingga memicu memicu para pelaku usaha untuk mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang seminim mungkin

tanpa memperhatikan lagi salah satu asas pembangunan nasional yaitu

kesadaran hukum dimana tiap-tiap warga negara indonesia harus selalu

sadar dan taat kepada hukum.

Dan salah satu caranya adalah berbuat curang dengan

memanipulasi timbangan yang mereka gunakan dalam berdagang dan

dengan begitu maka keuntungan para pelaku usaha akan lebih meningkat

(10)

tersebut. Padahal barang yang menjadi obyek jual-beli harus cukup

tertentu, setidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya.1 Dapat

disimpulkan bahwa para pelaku usaha telah melanggar kewajibannya yang

telah diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No.8 tahun

1999 (selanjutnya disingkat UUPK) yang terdapat dalam Pasal 7 yang

menyatakan bahwa :

Kewajiban Pelaku Usaha

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berlakunya UUPK bukan untuk memberikan batasan usaha bagi

para pelaku usaha akan tetapi, justru sebaliknya perlindungan konsumen

untuk dapat mendorong terciptanya iklim berusaha yang sehat dan jujur.

Adanya kewajiban bagi para pelaku usaha sebagai salah satu

bentuk perlindungan bagi konsumen, selain dalam Pasal 4 UUPK yang

      

1

(11)

memberikan hak-hak bagi konsumen.

Namun banyak konsumen yang masih tidak sadar akan hal ini

bahwa hak-hak mereka telah dilanggar, khususnya pada angka 2,3,7 dan

8.2

Undang-undang nomor 2 tahun 1981 tentang metrologi telah diatur

bahwa alat ukur apapun harus dilakukan kalibrasi dalam setahun sekali.

Kalibrasi adalah merupakan proses verifikasi bahwa suatu akurasi alat

ukur sesuai dengan rancangannya. Kalibrasi biasa dilakukan dengan

membandingkan suatu standar yang terhubung dengan standar nasional

maupun internasional dan bahan-bahan acuan tersertifikasi.

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam UUPK dan

Undang-undang nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi dapat dikenakan

sanksi pidana , yang dinyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) Pasal 378 :

”Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan utang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.

Pelaku usaha yang melanggar hukum-hukum perikatan, karena

kecurangan-kecurangan yang dilakukan merupakan kesengajaan alias

cacad kehendak yang mengndung unsur kesesatan, paksaan dan penipuan.3

      

2

(12)

Pelaku usaha seharusnya juga memahami norma-norma yang ada

dalam masyarakat agar tidak saling bertabrakan kepentingan dan saling

merugikan. Karena pada hakekatnya, masyarakat dalam kehidupannya

terikat oleh norma-norma. Adapun substansi yang terkandung dalam

norma-norma adalah sebagai berikut :4

1. Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat

sesuatu karena akibat-akibatnya dipandang baik.

2. Larangan merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat

sesuatu karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.

Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha

antara lain adalah Penipuan Promo iklan, pemalsuan label halal dan

kecurangan berat bersih timbangan. Pelaku usaha yang telah melakukan

pengurangan berat bersih pada timbangan makanan sangat merugikan

konsumen karena perbuatan tersebut telah melanggar kewajiban pelaku

usaha sehingga mengakibatkan hak-hak konsumen menjadi terabaikan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik

beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini,

yaitu :

       

3

 Soetojo prawirohamidjojo, Hukum Perikatan, Surabaya PT. Bina Ilmu, 1984, cetakan II, hal.132. 

4

(13)

1. Apa upaya hukum yang dapat diajukan oleh konsumen kepada pelaku

usaha terhadap pengurangan berat bersih pada alat ukur timbangan pada

produk makanan ?

2. Apa bentuk pertanggung jawaban dari pelaku usaha terhadap kerugian

yang diderita oleh konsumen atas pengurangan berat bersih pada alat

ukur timbangan pada produk makanan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak di capai dalam penelitian ini adalah :

a. Mengetahui bentuk upaya hukum yang dapat di lakukan oleh

konsumen yang dirugikan oleh kecurangan pada timbangan makanan.

b. Mengetahui bentuk pertanggung jawaban yang di berikan oleh pelaku

usaha terhadap konsumen. 

1.4. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan

gambaran kepada masyarakat selaku konsumen dalam membela

hak-haknya terhadap masalah kecurangan timbangan berat bersih makanan

yang dilakukan oleh para pelaku usaha.

2. Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

kepada konsumen yang mengalami kecurangan terhadap timbangan

(14)

1.5. Kajian Pustaka

1.5.1. Pengertian pelanggaran

Pengertian pelanggaran adalah segala perbuatan yang

menyimpang dari aturan dan/atau hukum yang dapat merugikan orang

lain atau dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum dimana

diatur menurut KUHPer Pasal 1365 yang menyatakan bahwa :

“ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. “

Dimana unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :5

1. Melanggar hak-hak orang lain.

2. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.

3. Bertentangan dengan kesusilaan maupun asas-asas pergaulan

kemasyarakatan mengenai kehormatan orang lain atau barang

orang lain.

1.5.2. Pengertian hak

Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian

tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu

atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

      

5

 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, cetakan VIII, hal.123.

(15)

Dalam hukum, seseorang yang mempunyai hak milik atas

sesuatu benda kepadanya diijinkan untuk menikmati hasil dari benda

miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual, digadaikan, atau diperbuat

apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan.6

1.5.3. Tinjauan mengenai konsumen

a. Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen dalam UUPK Pasal 1 ayat (2)

disebutkan bahwa :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lainnya dan

tidak untuk diperdagangkan”.

Dengan kata lain maka konsumen adalah merupakan

pengguna akhir dari suatu produk atau jasa.7 Para ahli hukum

memberikan batasan bagi konsumen sebagai setiap orang yang

mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa

untuk suatu kegunaan.

Konsumen adalah pemakai akhir dari barang dan/atau jasa

untuk diri sendiri atau keluarganya. Dan setiap orang, pada suatu

waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama

      

6

(16)

orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk

suatu produk atau jasa tertentu.8

Namun dalam pengertian di masyarakat umum saat ini,

bahwa konsumen adalah pembeli, penyewa, nasabah (penerima

kredit) lembaga jasa perbankan atau asuransi, penumpang angkutan

umum atau pada pokoknya langganan dari para pengusaha.

Pengertian masyarakat ini tidaklah salah sebab secara yuridis

dalam KUHPer terdapat subyek-subyek hukum dalam hukum

perikatan yang bernama pembeli, penyewa, peminjam-pakai dsb.9

Konsumen dibagi menjadi 2 jenis yaitu :10

a. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang

dan/atau jasa lain atau untuk di perdagangkan (tujuan

komersial).

b. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi

kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga

dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

b. Kewajiban Konsumen

Kewajiban-kewajiban konsumen dijelaskan yaitu untuk

Membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian atau pemanfaatan

      

8

 Sri Redjeki, Hukum Ekonomi, Bandung, Mandar Maju, 2000, hal.80. 9

 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hal.68. 10

(17)

barang dan/atau demi keselamatan serta membayar barang dan/atau

jasa sesuai dengan nilai tukar. Dan kewajiban konsumen ini

dipertegas dan diatur dalam UUPK Pasal 5 yang berbunyi :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedure

pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.

2. Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

atau jasa.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

c. Hak-hak Konsumen

Istilah Perlindungan konsumen berkaitan dengan

perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen

mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan

perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih

hak-haknya yang bersifat abstrak.11

Secara umum hak-hak konsumen banyak di sebutkan dalam

beberapa buku dan juga diatur di dalam UUPK. Hal ini

dikarenakan banyaknya pihak yang sangat ingin hak-hak

konsumen lebih mendapat perhatian dari pihak-pihak yang

bersangkutan. Hak-hak konsumen antara lain :12

      

11

  Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2006, cetakan III, hal.19.

12

 Erman rajagukguk, et al, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000, cetakan I, hal.39.

(18)

1. Hak keamanan dan keselamatan.

Setiap manusia menginginkan dirinya selalu dalam

keadaan aman dan selamat, hukum salah satu tujuanya adalah

memberikan keadaan tersebut. Dan berkaitan dengan

kedudukan konsumen, maka oleh hukum diakui bahwa setiap

konsumen berhak untuk mendapatkan barang dan/atau jasa

yang aman dalam kegunaannya. Kosekuensi dari keberadaan

hukum tersebut mewajibkan bahwa setiap barang dan/atau jasa

yang beredar dan dimaksudkan untuk dikonsumsi haruslah

memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur dalam

undang-undang.

2. Hak untuk mendapat informasi yang jujur.

Dengan adanya hak ini memberikan kedudukan kepada

konsumen bahwa dirinya dalam menjalankan transaksi perlu

diberikan informasi terlebih dahulu yang seluas-luasnya dan

bersifat jujur agar tidak menyesatkan konsumen saat

pemakaian.

3. Hak untuk memilih.

Manusia dengan kebebasannya maka dengan sendirinya

memiliki hak untuk memilih, begitu pula saat berkedudukan

sebagai konsumen hak tersebut tidak dapat dihilangkan.

Dengan hak ini konsumen bisa memilih dan menentukan

(19)

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.

Hak untuk didengar keluhannya dalam peraturan

perundang-undangan sekarang ini sudah cukup mendapat

perhatian dari pemerintah. Hak tersebut telah banyak terealisasi

pada dunia perdagangan saat ini.

5. Hak atas lingkungan hidup.

Hak atas lingkungan hidup merupakan hak konsumen

yang mulai dikembangkan akhir-akhir ini sejalan dengan

semakin tumbuhnya kesadaran manusia atas lingkungan hidup.

Hal ini dapat dilihat dengan adanya program-program untuk

penghijauan, taman kota dll. Karena pada dasarnya setiap orang

mempunyai hak dan kewajiban untuk turut serta dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup.

Hak-hak konsumen tersebut merupakan sebagian

pecahan penjelasan yang dianut dari hak-hak konsumen yang

ada didalam UUPK. Menurut Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa

hak-hak konsumen adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

dalam mangkonsumsi barang dan/atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan/jasa serta

mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa.

4. Hak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya

(20)

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengkata perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan

konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar

dan jujur serta tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi,ganti rugi dan

/atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian, atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-Hak yang di atur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

1.5.4. Pengertian pelaku usaha

Pelaku usaha secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian,

yaitu :13

a. Produsen

Produsen tidak punya hubungan langsung dengan para

konsumen, ini dikarenakan produsen hanya bertugas

membuat makanan yang akan dijual oleh penjual.

b. Penjual

Penjual disini mempunyai hubungan langsung dengan

konsumen, karena setiap harinya penjualah yang

berhadapan langsung dengan para konsumen.

Disamping itu ada para kalangan ahli ekonomi ( ikatan

sarjana ekonomi indonesia ) yang mengatakan bahwa pelaku usaha

itu terdiri dari 3 kelompok besar, yaitu :

      

13

(21)

a. Kelompok penyedia dana atau biasa disebut dengan

investor. Investor disini unutk memenuhi kebutuhan

pelaku usaha atau orang perorangan (konsumen).

Contoh : Bank, koperasi atau lembaga penyedia dana

lainya.

b. Kelompok pembuat barang (produsen) seperti pabrik

atau industri rumah tangga.

c. Kelompok pengedar barang, seperti warung, PKL, toko

dll.

Menurut UUPK Pasal 1 ayat (3) pengertian Pelaku usaha

adalah :

“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

a. Kewajiban Pelaku usaha

Menurut Pasal 7 UUPK yang mangatur tentang kewajiban

pelaku usaha yaitu sebagai berikut :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan

jujur serta tidak diskriminatif.

(22)

5. dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

6. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,

dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

8. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

b. Hak-hak Pelaku Usaha

Hak-hak pelaku usaha diatur didalam UUPK Pasal 6, yaitu :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan

konsumen yang beritikad tidak baik.

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen.

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

c. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam

UUPK Pasal 8 sampai dengan Pasal 18, namun dalam kasus ini

Pasal yang dilanggar pada khususnya tercantum pada Pasal 8 yang

berbunyi :

1. Pelaku usaha dilarang memprodusi dan/atau memperdagangkan Barang dan/atau jasa yang :

(23)

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,

dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan

jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan

atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,

proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam

label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka

waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,

sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan

barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/ isi bersih atau netto. Komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk

penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangakan barang yang rusak,

cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(24)

Dan dalam kasus yang dibahas dalam masalah ini, pelaku

usaha tersebut telah melanggar Pasal 8 UUPK ayat (1) huruf b

dan c yang pada intinya adalah ketidak tepatan isi berat bersih

yang dicantumkan dengan kondisi barang sebenarnya.

d. Tanggung jawab pelaku usaha

Di dalam UUPK diatur tentang tanggung jawab pelaku

usaha yang tercantum di dalam Pasal 19 sampai Pasal 28, namun

pada kasus ini khususnya berada dalam Pasal 19 yang berbunyi :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagankan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanaya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

1.5.5. Cacat Produk

Produk disebut probuk cacat, bila produk itu tidak aman dalam

(25)

sebagaimana diharapkan orang, dengan mempertimbangkan berbagai

keadaan yang ada, terutama tentang :14

a. Penampilan produk.

b. Kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.

c. Saat produk tersebut diedarkan.

Berkenaan dengan masalah yang dibahas perlu dikemukakan

terlebih dahulu beberapa pengertian istilah yang berkaitan dengan

tanggung jawab produsen atau product liability.

Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara

nyata dapat dilihat dan dipegang ( tangible goods ), baik yang

bergerak maupun tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah

tanggung jawab produsen ( product liability ) produk bukan hanya

berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangiable

seperti listrik, produk alami ( misalnya Makanan binatang piaraan

dengan jenis binatang lain ), tulisan ( misalnya Peta penerbangan yang

diproduksi secara masal ) atau perlengkapan tetap pada rumah real

estate ( misalnya Rumah ).15

Pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk

yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen dan

suku cadang. Berkenaan dengan masalah cacat atau rusak dalam

      

14 Nasution, konsumen dan hukum, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, cetakan I, hal.173. 15 

(26)

pengertian produk yang cacat/rusak yang menyebabkan produsen

harus bertanggunng jawab, dikenal ada 3 jenis, yaitu :16

a. suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga

akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.

b. Bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang

diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari

desain produk tersebut lebih kecil dari resikonya.

c. Buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket, atau plakat

tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang

mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang

penggunaanya yang aman.

1.5.6. Tanggung Jawab Produk

Istilah Product Liability diterjemehkan secara bervariasi ke

dalam bahasa Indonesia seperti “ Tanggung gugat produk ” atau juga “

Tanggung jawab produk “. Secara historis, Product Liability lahir

karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara pelaku usaha

dan konsumen.17

Gugatan Product Liability dapat dilakukan berdasarkan 3 hal (

teori ), yaitu :18

      

16

Ibid. hal.45.      17 

Celina Tri siwi kristiyanti, hukum perlindungan konsumen, Malang, Sinar Grafika, 2008, cetakan I, hal.92. 

18

(27)

a. Pelanggaran jaminan.

Pelanggaran jaminan ini berkaitan dengan jaminan pelaku

usaha, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang

tertera dalam kemasan produk, atau barang yang dihasikan atau

dijual mengandung cacat, dan ini dapat terjadi pada :

1). Konstruksi barang

2). Desain

3). Pelabelan

Pelanggaran jaminan ini juga termasuk salah satu faktor yang

mendorong Ibu Fony selaku konsumen untuk melakukan

pengaduan terhadap toko Hokky, karena ada salah satu unsur

pelanggaran jaminan yang terpenuhi, yaitu pelabelan. Pelabelan

dalam produk yang diperjual-belikan tidak sesuai dengan kondisi

produk yang sebenarnya.

b. Ada unsur kelalaian.

Adanya unsur kelalaian, manakala pelaku usaha yang digugat

gagal menunjukkan bahwa ia cukup berhati-hati dalam membuat,

mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan

suatu barang. Dan dalam kasus pelanggaran oleh toko Hokky

terhadap Ibu Fony, tokko Hokky juga gagal membuktikan bahwa

dia telah cukup berhati-hati dalam mendistribusikan barang

dagangannya, sehingga pihak LPKS memenangkan pihak

(28)

c. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak, karena adanya

perbuatan melawan hukum.

Kasus yang diangkat tentang kecurangan timbangan makanan

dalam kemasan, permasalahan ini dapat dikaitkan dengan teori penerapan

prinsip tanggung jawab mutlak. Hal ini disebabkan dalam kasus timbangan

tersebut mengandung adanya perbuatan melawan hukum. Sehingga

mewajibkan pihak pelaku usaha untuk bertanggung jawab.

Tujuan utama dari penerapan tanggung jawab mutlak adalah untuk

menjamin agar konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang

mengakibatkan kerugian bagi konsumen dibebankan pada orang atau

pihak yang mempunyai tanggung jawab moral untuk menanggung

kerugian tersebut.19

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan

dalam product liability adalah :20

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain

pihak, risiko kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang

memproduksi barang-barang cacat/berbahaya di pasaran.

b. Dengan mengedarkan barang-barang di pasaran, produsen

menjamin bahwa barang tersebut aman dan pantas untuk

digunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus

bertanggung jawab.

      

19

Ibid, hal. 307. 20

(29)

c. Penerapan tanggung jawab mutlak dimaksudkan untuk

menghilangkan proses penuntutan yang beruntun dan panjang.

Alasan-alasan inilah yang juga menjadi salah satu faktor yang

mendorong terbentuknya UUPK untuk melindungi kepentingan dan

hak-hak konsumen. Adapun tanggung jawab pelaku usaha menurut UUPK

diatur dalam BAB VI tentang tanggung jawab pelaku usaha pasal 19

sampai dengan pasal 28. sedangkan ketentuan yang mengisyaratkan

adanya tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen

yaitu ketentuan Pasal 19, Pasal 23, dan Pasal 28 UUPK.

Ketentuan-ketentuan yang ada pada pasal 19 UUPK,

dikembangkan pada Pasal 23 yang menyatakan :

“ Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan gugatan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Ketentuan yang berkaitan dengan Pasal 23 UUPK tersebut adalah

Pasal 28 UUPK yang berbunyi sebagai berikut :

“ Pembuktian terhadap ada tidak adanya kesalahan dalam gugatan

ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada Pasal 19, Pasal 22, dan

Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. “

Rumusan Pasal inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem

pembuktian terbalik. Dalam permasalahan pertanggung jawaban

(30)

usaha, akan tetapi perlu dilihat dahulu siapa yang salah dan patut

dimintai pertanggung jawaban. Oleh karena itu diperlukan

pirnsip-prinsip tanggung jawab untuk dapat menganalisis siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa besar tanggung jawab tersebut.

1.5.7.Pengertian alat ukur timbangan

Pengertian alat ukur timbangan di dalam undang-undang

nomor 2 tahun 1981 tentang metrologi legal adalah alat yang

diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran massa atau penimbangan.

1.5.8. Pengertian upaya hukum

a. Upaya hukum dalam UUPK

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

Menurut pasal 19 jo pasal 23 UUPK, pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Apabila

pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan

dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat

digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(selanjutnya disingkat BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan

di tempat kedudukan konsumen.

Menurut pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa :

” Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku

(31)

sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui

peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”

Menurut pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK menyatakan

bahwa :

” Gugatan atas pelanggaran usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk perlindungan badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen yang telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.”

b. Upaya Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya di singkat KUHPer)

Hukum Perdata mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang mengadakan hubungan hukum. Akan tetapi dalam hubungan hukum yang terjadi, mungkin timbul suatu keadaan bahwa pihak yang satu tidak memenuhi kewajibanya pada pihak yang lain, sehingga pihak yang lain itu dirugikan haknya. Dan pihak yang bersengketa tidak dapat main hakim sendiri, melainkan harus berdasarkan peraturan yang berlaku, apalagi pihak yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri tuntutannya secara damai dan minta bantuan penyelesaian kepada hakim. Dan cara penyelesaian kepada hakim tersebut diatur dalam hukum acara

perdata.21

Dan untuk sengketa tentang pelanggaran hak-hak

konsumen oleh pelaku usaha dalam pengurangan berat bersih

timbangan makanan ini, ketentuannya diatur dalam KUHPer pada

Pasal-pasal berikut :

      

21

(32)

Menurut Pasal 1328 KUHPer yang menyatakan bahwa :

” Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian. Apabila tipu muslihat yang di pakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.”

Menurut Pasal 1491 KUHPer yang menyatakan bahwa :

” Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin 2 hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram, kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya. ”

c. Upaya hukum dalam Undang-undang nomor.2 tahun1981

Menurut Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

” Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai .

a. nama barang dalam bungkusan itu;

b. ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-undang ini;

c. jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan hitungan.

Jadi secara otomatis apabila ada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan ini maka pihak konsumen dapat menuntut

kebenaran baik dengan melalui pengadilan maupun alternatif

penyelesaian sengketa diluar pengadilan.

1.5.9. Bentuk sanksi-sanksi

(33)

Menurut UUPK sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran diatur pada Pasal-pasal berikut ini :

1. Menurut Pasal 60 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

”(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.

(2) Sanksi adminiatratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

2. Menurut Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

” pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

b. Sanksi-sanksi menurut KUHPer

Menurut Pasal 1365 yang menyatakan bahwa :

” Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian kepada seorang lain. Mewajibkan orang yang

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”.

c. Sanksi-sanksi menurut KUHP

Menurut Pasal 383 yang menyatakan bahwa :

” Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli :

1e. Dengan sengaja menyerahkan barang lain dari pada yang telah ditunjuk oleh pembeli.

(34)

d. Sanksi-sanksi menurut UU no.2 tahun 1981

Menurut Pasal 32 ayat (3) yang menyatakan bahwa :

” (3) Pelanggaran terhadap perbuatan yang tercantum dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang ini dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).”

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian dan tipe penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yakni

penyusun mencoba menganalisa permasalahan yang ada dikaitkan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni hukum

perlindungan konsumen dan Undang-undang metrologi.

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif

yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala lainnya. Metode deskriptif ini di maksudkan untuk

memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data

seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti. Dalam hal ini untuk

mendeskripsikan tentang permasalahan pelanggaran tentang

pengurangan berat bersih timbangan makanan.

1.6.2. Sumber Data

Guna memperoleh bahan hukum yang akurat untuk penulisan

skripsi ini, maka bahan-bahan hukum tersebut diperoleh melalui dua

(35)

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang sifatnya

mengikat atau berhubungan dengan permasalahan yang terkait.

Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

permasalahan yang dikaji adalah undang-undang perlindungan

konsumen, Kitab undang-undang hukum perdata, undang-undang

nomor 2 tahun 1981 tentang Metrologi legal, dan kitab

undang-undang hukum pidana.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang sifatnya

menjelaskan bahan hukum primer, yaitu berupa buku-buku literatur,

karya ilmiah untuk mencari konsep-konsep, teori pendapat yang

berkaitan erat dengan permasalahan yang dikaji, serta pengumpulan

data melalui wawancara dengan Lembaga Perlindungan Konsumen

Surabaya.

3. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum sebagai perangkap dari kedua

bahan hukum sebelumnya terdiri dari :

a. Kamus Hukum.

(36)

1.6.3. Pembatasan masalah

 Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan agar

pembahasannya tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari pokok

permasalahan di samping itu juga untuk mempermudah melaksanakan

penelitian. Oleh sebab itu, maka peneliti membatasi dengan membahas

permasalahan tentang “ Pelanggaran hak-hak konsumen oleh pelaku

usaha dalam pengurangan berat bersih timbangan makanan. “

1.6.4. Metode pengumpulan data dan pengolahan data

Dalam pengumpulan bahan hukum, langkah pertama yang

dikerjakan dalam penulisan skripsi ini adalah mencari beberapa

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok

permasalahan yang kemudian dijadikan sebagai bahan hukum primer,

sedangkan bahan hukum sekunder diperoleh dari membaca dan

mempelajari literatur yang berupa buku dan karya ilmiah untuk

mencari konsep-konsep, teori, dan pendapat yang berkaitan erat

dengan permasalahan yang selanjutnya dibahas dan selanjutnya

disajikan dalam bentuk uraian.

1.6.5. Metode Analisis data

Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis

artinya data yang diperoleh berdasarkan kenyataan yang ada di

Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya, kemudian dikaitkan

(37)

Dibahas, dianalisa, kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya

digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.

1.6.6. Sistematika penulisan

Skripsi ini terbagi dalam empat bab pokok bahasan, untuk

memperoleh pembahasan atas permasalahan secara menyeluruh dan

terperinci, berikut ini akan dijelaskan pembahasan dalam tiap babnya.

Dalam bab I adalah bab pendahuluan, di sini diuraikan

tentang latar belakang dan faktor-faktor yang mendorong timbulnya

permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan metodelogi penelitian. Sehingga melalui isi dari bab I

akan tampak alasan penyusun memilih obyek penulisan tentang “

Pelanggaran hak-hak konsumen terhadap pengurangan berat bersih

timbangan makanan “.

Sedangkan dalam bab II merupakan jawaban dalam

permasalahan yang pertama. Penyusun akan membahas tentang Upaya

hukum apa yang dapat diajukan oleh konsumen kepada pelaku usaha

terhadap pengurangan berat bersih pada alat ukur timbangan makanan.

Dimana penyelesaiannya dapat melalui di luar Pengadilan ( non

Litigasi ) atau melalui Peradilan Umum ( Litigasi ).

Kemudian dalam bab III penyusun akan membahas tentang

permasalahan yang kedua yaitu Pertanggung Jawaban apakah yang

diberikan oleh pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita oleh

(38)

makanan. Dimana kerugian tersebut terjdi karena produk tersebut

termasuk produk cacat dalam lingkup pelabelan yang tidak benar

ataupun karena adanya unsur perbuatan melanggar hukum serta

prinsip tanggung jawab yang bagaimanakah yang dapat diterapkan.

Dan terakhir dalam bab IV merupakan bab penutup dimana

penyusun akan menguraikan mengenai kesimpulan atas semua

jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas dalam

bab II dan bab III. Selain itu penyusun akan memberikan saran yang

bermanfaat bagi perlindungan hak-hak konsumen terhadap

pengurangan berat bersih timbangan makanan.

1.7. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai

tempat pengumpulan data dilapangan untuk menemukan jawaban atas

masalah. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian adalah Lembaga

Perlindungan Konsumen Surabaya yang berperan untuk mendorong

terciptanya interaksi masyarakat secara sehat dan saling menguntungkan

bagi setiap komponen inti di dalamnya, yaitu konsumen para pelaku usaha 

industri perdagangan dan jasa, serta pemerintahan, tidak seperti yang

terjadi sekarang ini dimana pihak pelaku usaha selalu diuntungkan dan

konsumen selalu merasa dirugikan, serta Lembaga tersebut merupakan

suatu wadah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan konsumen

sehingga memudahkan penyusun untuk mencari data guna melengkapi

(39)

Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian Nasional

telah menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat

dikonsumsi. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi

kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang

diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk

memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan

kemampuanya.

Di lain pihak, kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku

usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek

aktivitas bisnis dari pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen. Hal ini

disebabkan karena kurangnya pendididkan konsumen dan rendahnya

kesadaran akan hak-haknya.

Untuk dapat menjamin suatu penyelenggaraan perlindungan

konsumen, maka pemerintah membuat suatu peraturan perundang-undangan

yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

yang diharapkan mampu menciptakan kondisi yang seimbang antara

konsumen dan pelaku usaha. UUPK mengatur tata cara penyelesaian sengketa

konsumen yang dibagi menjadi 2, yaitu melalui pengadilan atau di luar

(40)

Diantara 2 pilihan tersebut, terdapat perbedaan-perbedaaan yang dapat

menjadi bahan pertimbangan bagi konsumen untuk menentukan di mana akan

menyelesaikan sengketa. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terdapat

pada proses penyelesaian sengketa di antara keduanya, yang di mana apabila

sengketa tersebut diselesaikan melalui pengadilan akan memakan waktu yang

berbelit-belit dan menelan biaya yang cukup mahal. Sedangkan apabila

melalui lembaga di luar pengadilan maka dapat diselesaikan lebih cepat dan

biaya yang terjangkau.

Namun dalam masyarakat Indonesia lebih dominan menyelesaikan

melalui cara konsensus atau mufakat seperti salah satunya adalah mediasi

yang dilakukan oleh Ibu Fony selaku konsumen yang hak-haknya telah

dirugikan oleh pihak toko Hokky Surabaya selaku pelaku usaha, hal itu

dikarenakan 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu :22

a. Cara-cara konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan oleh

masyarakat karena pendekatan itu sesuai dengan cara kehidupan

masyarakat itu sendiri, dengan kata lain sesuai dengan budaya atau

keagamaan mereka.

b. Faktor kedua lebih melihat kekuatan yang dimiliki oleh para pihak

yang bersengketa sebagai faktor dominan karena kekuatan para pihak

yang seimbang.

      

22

(41)

Sedangkan dalam permasalahan timbangan ini, cara mediasi dirasa sangat

tepat karena mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang

memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat atau perdata.23

Upaya hukum konsumen dalam menyelesaikan perkaranya dalam UUPK

diatur dalam pasal 45 ayat (2) menyatakan bahwa gugatan melalui pengadilan

hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh

salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Jadi dengan kata lain

para pihak yang bersengketa disarankan untuk menyelesaikan sengketanya

melalui lembaga di luar pengadilan terlebih dahulu atau dengan jalan

perdamaian, dan apabila tidak berhasil barulah dapat dilanjutkan gugatan ke

pengadilan.

Konsumen yang telah melalui proses penyelesaian lembaga di luar

pengadilan dan tidak mencapai kesepakatan maka dapat melanjutkan gugatan

ke pengadilan dengan menggunakan dasar hukum dari berbagai

perundang-undangan yang telah dilanggar oleh pelaku usaha dalam permasalahan

pengurangan berat bersih timbangan dalam kemasan. Dan peraturan-peraturan

tersebut adalah perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam Pasal 1365

KUHPerdata dan tindak pidana.24 Dalam Pasal 1365 KUHPer disebutkan

bunyi yang memberi kepastian hukum pada konsumen yang menyatakan

bahwa :

      

23

Syahrizal Abbas, mediasi, Bandung, Kencana, 2009, cetakan I, hal. 22.

24

(42)

“ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Adapun ketentuan pidana yang bersangkutan dengan permasalahan yang

diangkat adalah Pasal 378 KUHP tentang penipuan yang menyatakan bahwa :

“ Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu mulihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. “

Selain dari ketentuan-ketentuan Perdata dan pidana tersebut, ada juga

perbuatan dari pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan dari

perundang-undangan lain yang bersangkutan dengan kepentingan konsumen,

misalkan saja dalam permasalahan yang diangkat oleh penyusun pada skripsi

ini dimana pelaku usaha telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam

Undang-undang nomor. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal yang tercantum

dalam Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

” Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai .

a. nama barang dalam bungkusan itu;

b. ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-undang ini;

(43)

Sedangkan pada khususnya, ketentuan-ketentuan pada permasalahan

tersebut tercantum dan diatur dalam UUPK pada Bab IV Tentang Perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha pada Pasal 8 ayat (1) huruf a, b dan c yang

menyatakan bahwa :

” (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan

jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

Bertolak dari banyaknya ketentuan-ketentuan yang dilanggar oleh

para pelaku usaha tersebut, maka penyusun memutuskan untuk mengangkat

permasalahan sengketa antara Ibu Fony dengan Toko Hokky Surabaya, serta

memberikan jalan keluar bagi para konsumen lain yang merasa dirugikan

oleh tindakan-tindakan tersebut seperti yang dilakukan oleh Toko Hokky

Surabaya tersebut.

2.1. Upaya Hukum Sengketa konsumen dalam Kasus Pengurangan Berat

Bersih

Penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK dibagi menjadi 2

bagian, yaitu :25

2.1.1. Penyelesaian di luar Pengadilan ( Non Litigasi )

1. Penyelesaian secara damai oleh pihak yang bersengketa.

      

25

(44)

Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada

Pasal 45 ayat (2) UUPK yang menyatakan :

“ Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui

Pengdilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan

sukarela para pihak yang bersengketa. “

Jadi dengan kata lain tidak menutup kemungkinan dilakukanya

Penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu

pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan

penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan

dengan UUPK.26

2. Penyelesaian melalui lembaga yang berwenang.

a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK )

Suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah untuk

penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan. Dengan

adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat

dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena UUPK

menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja BPSK wajib

memberikan putusanya. Mudah karena prosedur administratif dan

proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah kerena

pada biaya perkara yang terjangkau.27

      

26

Ibid, hal.99.

27

(45)

Tahap-tahap Penyelesaian sengketa di BPSK adalah

sebagai berikut. tahap pengajuan gugatan, permohonan diajukan

secara tertulis kepada sekertariat BPSK. Kemudian apabila

memenuhi syarat akan dilanjutkan ke acara pemanggilan pelaku

usaha, serta pelaku usaha berkewajiban memberikan jawaban

untuk diajukan pada persidangan pertama yang beracarakan

pemilihan alternatif penyelesaian yang akan digunakan, yaitu :28

Konsiliasi, mediasi ataupun arbitrase.

1) Konsiliasi : suatu proses penyelesaian sengketa di antara para

pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak

memihak.

2) Mediasi : Proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan

masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerja

sama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh

kesepakatan perjanjian yang memuaskan.

3) Arbitrase : cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

Pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Setelah itu yang terakhir adalah tahap putusan, keputusan

majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk

mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh

      

(46)

ternyata tidak berhasil mencapai mufakat, maka akan dilakukan

dengan suara terbanyak.

a. Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya ( LPKS )

LPKS adalah sebuah lembaga non profit dan independen

yang bergerak di bidang perlindungan dan pemberdayaan kepada

konsumen. Lembaga ini diakui di dalam UUPK pada BAB IX.

Didalam UUPK, LPKS adalah termasuk dalam kategori Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, yaitu lembaga non

pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan maenangani perlindungan konsumen.

Walaupun dikatakan sebagai yang selama ini disebut

“independen” , tetapi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat ini tetap harus didaftarkan dan mendapat pengakuan

Pemerintah dan mendapat tugas-tugas yang diatur oleh

Pemerintah.29

   Tahap penyelesaian di LPKS adalah pengaduan masuk

secara resmi (disertai bukti-bukti dan nota pembelian ) yang dimuat

dalam surat pengaduan oleh konsumen yang dalam kasus ini Ibu

Fony menyertakan identitas lengkap sebagai konsumen yang telah

dirugikan, disertai dengan bukti-bukti seprti nota pembelian dan

dengan menceritakan permasalahan yang terjadi dalam kasusnya

      

29

(47)

kemudian pihak LPKS mengirimkan Surat Klarifikasi kepada pihak

yang diadukan oleh konsumen yang dalam kasus ini pihak teradu

adalah Toko Hokky selaku Pelaku usaha dengan harapan ada

kebenaran sengketa dari kedua belah pihak, surat klarifikasi

mempunyai batas hingga 7 hari, kalau teradu tidak memberikan

surat balasan dari surat klarifikasi tersebut akan diberikan surat

somasi denagn batas waktu 7 hari juga dan sendainya tidak

ditanggapi juga maka akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

Akan tetapi kebanyakan pihak teradu ( pelaku usaha )

langsung menanggapi surat klarifikasi, setelah pihak LPKS

menrima surat balasan tersebut akan dipelajari dan dicek

keseluruhan apakah memang benar adanya permasalahn yang

diadukan oleh konsumen, setelah adanya kebenaran tentang

permasalahan tersebut maka pihak LPKS menghubungi kedua belah

pihak untuk menentukan kapan dan dimana mediasi dilakukan.

Setelah waktu dan tempat ditentukan maka mediasi

dilakukan dengan kehadiran kedua belah pihak dan para mediator

yang berasal dari LPKS dalam mediasi ini kedua belah pihak

diberikan hak sepenuhnya untuk menentukan jalan keluar karena di

sini LPKS hanya sebagai penengah dan membantu mencari solusi

yang terbaik untuk kedua belah pihak. selanjutnya melalui berbagai

pendapat serta keterangan oleh pihak–pihak terkait kemudian

(48)

pihak dimana salah satu pihak tidak ada yang merasa dirugikan

serta tidak ada unsur paksaan dari siapapun. Seperti hasil yang

tercapai dalam sengketa Ibu Fony dengan Toko Hokky Surabaya

yang dimana keduanya sama-sama merasa puas. Kemudian pihak

LPKS selaku mediator akan membuat Berita Acara Penyelesaian

(BAP) dan para pihak harus mematuhi isi dari BAP tersebut karena

kedua belah pihak telah sepakat dengan jalan keluar yang

dihasilkan dalam mediasi tadi. Namun apabila tidak mencapai

kesepakatan, maka sengketa dapat diteruskan ke Pengadilan Negeri

atau ke BPSK.30

2.1.2. Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Peradilan Umum (

Litigasi )

Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh apabila

pennyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak mencapai kesepakatan

damai oleh kedua belah pihak, sehingga mengharuskan untuk dilanjutkan

melalui proses litigasi.

Proses Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa Perdata

melalui lembaga pengadilan dan diatur dalam KUHPer buku ke II tentang

benda. Hukum benda itu sendiri adalah hukum yang mengatur hubungan

antara orang dengan segala sesuatu yang dapat menjadi kepentingannya.

      

30 Rendy aditya, Prosedur Penyelesaian Sengketa antara Konsumen dengan Pelaku

(49)

Sedangkan pengertian benda adalah semua barang, baik yang berwujud

dan tidak berwujud.31

Para pihak yang bersengketa melalui proses litigasi harus

mengikuti tahap-tahap yang ada di dalamnya, yaitu :

a. Mengajukan gugatan.

Permohonan gugatan dapat diajukan secara tertulis atau lisan

apabila penggugat tidak dapat menulis. Ada tiga hal yang perlu

diperhatikan dalam mengajukan gugatan, yaitu :

1. Keterangan lengkap pihak-pihak yang berperkara

2. Dasar gugatan yang memuat tentang kejadian dan uraian

hukum

3. Tuntutan yang dimohonkan untuk diputuskan oleh hakim

Setelah gugatan diterima maka akan dilakukan pemanggilan

terhadap tergugat untuk sidang hari pertama dengan agenda

pembacaan gugatan.

b. Pembacaan gugatan.

Pembacaan gugatan dilakukan sebagai tahap awal persidangan,

guna memperjelas apa yang menjadi bahan permasalahan dalam

persengketaan yang terjadi.

      

31

(50)

c. Jawaban tergugat.

Jawaban tergugat adalah balasan dari gugatan yang diajukan oleh

pihak penggugat. Jawaban tersebut dapat dilakukan secara tertulis dan

secara lisan. Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan, bantahan,

tangkisan dan Referte (menyerahkan segala sesuatunya kepada

Hakim)32.

d. Replik dan Duplik

Adalah proses tahap jawab-menjawab antara kedua belah pihak

yang bersengketa guna membela diri masing-masing untuk mencapai

keputusan yang diharapkan.

e. Pembuktian Penggugat dan tergugat

Setelah tahap jawab menjawab antara para pihak dianggap cukup

oleh hakim, maka akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Tahap

pembuktian merupakan tahap terpenting karena pembuktian dapat

memberikan warna putusan.33

f. Kesimpulan.

Setelah pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim

mengumpulkan semua hasil pemeriksaan untuk disaring mana yang

penting dan mana yang tidak penting guna dijadikan pertimbangan

untuk memutuskan perkara.

      

32

Abdulkadir mehammad, Hukum acara perdata indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, cetakan VII, hal. 97.

33

(51)

g. Putusan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan kesimpulan yang dibuat,

majelis hakim berusaha menemukan peristiwanya. Setelah majelis

hakim mendapat kepastian bahwa terjadi peristiwa yang melanggar

hukum atau tidak, maka barulah hakim memberikan putusan. Suatu

putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan atau

mengakhiri suatu perkara untuk satu tingkat pengadilan tertentu.

Namun sebelum Penyelesaian sengketa di Pengadilan pada

tahap-tahap tersebut dimulai, para piahak yang bersengketa akan diberi kesempatan

kembali untuk proses mediasi, dimana prosedur mediasi tersebut adalah

Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua,

kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya

dilaksanakan mediasi. Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan

penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara

tersebut. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang

berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha

mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara. Mediator

bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke

22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.

Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.

Dalam permasalahan sengketa konsumen, UUPK menyarankan agar

(52)

secara damai dahulu, hal ini dapat melalui perdamaian yang dilakukan sendiri

oleh kedua belah pihak atau melalui lembaga di luar pengadilan.

Pada saat merasa dirugikan, hendaknya konsumen langsung

melaporkannya kepada lembaga penyelesaian sengketa agar pelaku usaha

tersebut tidak melakukan hal yang merugikan tersebut berulang-ulang. Seperti

yang terjadi pada kasus sengketa antara toko hokky sebagai pelaku usaha

melawan ibu Fony yang bertindak sebagai konsumen.

2.2. Analisa Kasus Sengketa Ibu Fony dengan Toko Hokky Surabya

Sengketa ini berawal pada tanggal 10 November 2005. di mana pada

saat itu Ibu Fony yang sebagai konsumen mendatangi toko Hokky Surabaya

untuk membeli Madu. Toko Hokky di sini bertindak sebagai Pelaku usaha

yang masuk dalam kriteria penjual yang berhubungan langsung dengan

konsumen.

Ibu Fony membeli madu sebanyak 2 botol, kemudian keesokan harinya

Ibu Fony menyadari bahwa salah satu botol madu yang dia beli ternyata sudah

tidak utuh lagi, dan mengandung unsur cacat produk dimana dalam pelabelan

tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya. Setelah melakukan

komplain kepada toko Hokky, pihak dari toko Hokky bersikeras mengatakan

bahwa barang-barang yang ada di toko tersebut telah diperiksa semua. Karena

terjadi perselisihan, maka Ibu Fony memutuskan untuk mengadukannya ke

Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya untuk mencari keadilan yang

(53)

“ Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum.” .

Setelah mengadu, akhirnya sesuai dengan tugas yang tercantum dalam

UUPK, maka LPKS mengadakan Mediasi untuk memecahkan permasalahan

tersebut. Dan akhirnya masalah tersebut selesai dengan hasil pelaku usaha

memberikan ganti rugi dengan barang yang baru dan disetujui oleh konsumen,

hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa :

“ Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

orang lain. Mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

k

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah Bapa dan Putra-Nya yang terkasih Allah Swt., karena berkat karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai β model gravitasi sebagai indikator sensitivitas perjalanan penduduk, mengidentifikasi guna lahan zona bangkitan dan tarikan

Bank X (Persero) Tbk Kantor Cabang Utama Mojokerto, sudah sesuai atau belum dalam pelaksanaannyadengan peraturan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI),

Sampel terdiri dari 2 kelas yaitu kelas 12.1 dan 12.2 kemudian dari kedua kelas tersebut ditentukan satu kelas sebagai kelas eksperimen terdiri dari 30 orang

If the minimum and maximum attribute are omitted then the validator only ensures that the value is numeric. Minimum – The minimum acceptable

merupakan air panas bertipe bikarbonat-sulfat, walaupun keberadaannya di daerah immature water , diperkirakan berasal dari fluida panas bawah tanah yang langsung ke permukaan

Melihat secara langsung dalam proses pemberian tindakan nebulizer dan hasil yang ada dalam SPO (Standar Prosedur Operasional) menyebutkan bahwa pasien diposisikan

Hasil uji coba menunjukkan bahwa dimensi vektor kata merupakan faktor yang berpengaruh terhadap hasil rata-rata akurasi parser struktur semantik soal Bahasa