• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015) Chpater III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 PUU-XIII 2015) Chpater III V"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

NOMOR 16 TAHUN 2001 JO. UNDANG-UNDANG

NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN

A. Kekayaan Yayasan

Yayasan, menurut Undang-Undang Yayasan, memiliki kekayaan tersendiri yang “dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan”.245 Kekayaan tersebut merupakan kekayaan yang telah menjadi milik Yayasan sehingga terpisah dari kekayaan pribadi para pendiri dan organ-organ yayasan. Akibatnya, para pendiri yayasan dan organ-organ yayasan tidak akan mendapat manfaat apapun dari kekayaan yayasan dan hasil kekayaan dari kegiatan usaha yayasan.246

Pada saat didirikannya yayasan, yayasan memiliki kekayaan awal yang berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang.247 Kekayaan awal ini berasal dari kekayaan para pendiri yang dipisahkan darinya sehingga menjadi bukan milik para pendiri tersebut lagi, melainkan menjadi milik yayasan. Kekayaan awal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah

245 Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

246 Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 44 247

(2)

Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (untuk selanjutnya, kedua peraturan ini akan disingkat sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan).

Dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan, dicantumkan bahwa kekayaan awal yayasan jika didirikan oleh Warga Negara Indonesia paling sedikit senilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan paling sedikit senilai Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) jika didirikan oleh Warga Negara Asing atau Warga Negara Asing bersama dengan Warga Negara Indonesia.248

Selain kekayaan awal yayasan yang dimiliki yayasan pada saat pendiriannya, Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Yayasan menentukan bahwa kekayaan yayasan juga dapat diperoleh dari:249

1. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat

Undang-Undang Yayasan tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan sumbangan maupun bantuan yang tidak mengikat. Akan tetapi, dapat diartikan bahwa sumbangan adalah “pemberian sebagai bantuan”250 kepada yayasan. Pemberian bantuan ini tidak mengikat dalam arti merupakan suatu pemberian yang “tidak menimbulkan hak dan/atau kewajiban dalam bentuk apapun secara langsung maupun tidak langsung, baik bagi pihak penerima (dalam hal ini, yayasan) maupun bagi pihak pemberi, baik sebelum maupun

248 Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

tentang Yayasan

249 Pasal 26 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

250

(3)

pada saat dan/atau sesudah pemberian bantuan”.251 Ini sesuai dengan pernyataan pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah “sumbangan sukarela” sehingga tidak “mengakibatkan keterikatan yayasan untuk memenuhi komitmen tertentu yang pada akhirnya akan menghilangkan status yayasan sebagai pranata sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat mandiri”.252

Kemudian, pemberi bantuan berupa sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat dapat dilihat dari penjelasan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Yayasan yang menyatakan bahwa sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah “sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan, baik dari negara, masyarakat, maupun dari pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.253 Jelas terdapat tiga kategori pemberi bantuan menurut Undang-Undang Yayasan yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Negara

Bantuan dari negara disebut juga dengan bantuan pemerintah. Bantuan yang berasal dari negara atau pemerintah dilakukan sesuai dengan jiwa

251

Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 45

252 Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Jawaban Pemerintah

atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Rebuplik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang Yayasan” tanggal 12 September 2000, hal. 6

253

(4)

ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:254

1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara

2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan

3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

Kemudian, negara dapat memberikan bantuan kepada Yayasan dalam hal-hal tertentu, antara lain jika Yayasan yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:255

1) Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan: Yayasan didirikan oleh Warga Negara Indonesia “yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.”

2) Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan: “Yayasan memiliki program kerja dan melaksanakan kegiatan yang menunjang program Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.”

254

Penjelasan Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal 34 Undang-Undang Dasar Tahun 1945

255 Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan jo. Pasal 20 (1) dan

(5)

b. Masyarakat

Sumbangan yang berasal dari masyarakat dapat diinterpretasikan sebagai sumbangan yang berasal dari Warga Negara Indonesia (orang perorangan) atau lembaga-lembaga yang berkedudukan di Indonesia. c. Pihak lain

Pihak lain dalam hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sumbangan yang berasal dari Warga Negara Asing (orang perorangan) ataupun lembaga-lembaga yang tidak berkedudukan di Indonesia. Biasanya dikenal dengan sebutan bantuan luar negeri.

2. Wakaf

Wakaf dapat berasal dari orang atau dari badan hukum.256 Jika kekayaan yayasan berasal dari wakaf, maka berlakulah hukum perwakafan.257 Dalam hal ini, hukum yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan Undang tentang Wakaf tersebut. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendefinisikan wakaf sebagai “perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya)258 untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

256 Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

257 Pasal 26 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

258

(6)

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.

3. Hibah

Sama halnya dengan wakaf, hibah juga dapat berasal dari orang atau dari badan hukum.259 Pengaturan mengenai hibah diatur dalam KUHPer pada Buku Ketiga tentang Perikatan pada Bab X tentang Hibah. Pengertian hibah dapat ditemukan dalam Pasal 1666 paragraf pertama KUHPer yaitu:

“suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu masa hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”

Kemudian, persyaratan hibah diatur lebih lanjut dalam Pasal 1666 paragraf kedua KUHPer dan Pasal 1667 paragraf pertama KUHPer yang menyatakan bahwa pemberi hibah dan penerima hibah hanyalah diantara “orang-orang yang masih hidup” dan hanya mengenai “benda-benda yang sudah ada”. Dalam hal penerima hibah adalah yayasan, “orang-orang yang masih hidup” dapat diinterpretasikan sebagai yayasan yang masih berdiri. 4. Hibah wasiat

Pengaturan mengenai hibah wasiat diatur dalam KUHPer pada Buku Kedua tentang Kebendaan pada Bab XIII tentang Surat Wasiat. Pasal 957 KUHPer mendefinisikan hibah wasiat sebagai:

“suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa

259

(7)

barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang yang bergerak atau tak bergerak, atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.”

Kemudian, Pasal 958 KUHPer menentukan bahwa pemberian hak kepada penerima hibah wasiat terjadi “semenjak hari meninggalnya” si pemberi hibah wasiat, dan hak tersebut menurun kepada ahli waris atau pengganti penerima haknya.

Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan sebagai penerima hibah wasiat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris.260 Di Indonesia, terdapat tiga sistem hukum kewarisan, yaitu:261

a. Sistem hukum kewarisan barat berdasarkan KUHPer dalam hal si pewaris menganut hukum kewarisan barat;

b. Sistem hukum kewarisan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan beberapa hadis serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam hal pewaris beragama Islam dan menganut sistem hukum kewarisan Islam;

c. Sistem hukum kewarisan adat berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing pewaris yang menganut hukum adat tertentu dan tidak menggunakan sistem hukum barat dan sistem hukum Islam. Ketentuan hukum waris tentunya berbeda-beda tergantung pada sistem hukum kewarisan yang dianut. Dalam hal hibah wasiat yang diterapkan dalam perolehan kekayaan menurut Undang-Undang Yayasan, sistem kewarisan yang dianut adalah ketentuan hibah wasiat yang sesuai dengan hukum waris yang berlaku dan yang digunakan oleh si pewaris atau pemberi hibah wasiat.262

260 Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

261 Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 50 262

(8)

5. Perolehan lain

Perolehan lain menurut Undang-Undang Yayasan merupakan:263 a. Dividen

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dividen adalah “keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham.”264 Ini sesuai dengan pengertian dividend (dividen) dalam Black’s Law Dictionary, yaitu “a portion of a company’s earnings or profits distributed pro rata to its shareholders usually in the form of cash or additional shares.”265 Dari kedua definisi tersebut, jelas bahwa dividen sebagai salah satu bentuk perolehan yayasan hanya dapat diterima oleh yayasan jika yayasan adalah salah satu pemegang saham sebuah perusahaan yang akan membagikan keuntungannya kepada para pemegang saham. Maka, dividen sebagai salah satu perolehan lain yang dapat diterima oleh Yayasan memberikan pengertian bahwa Undang-Undang Yayasan tidak melarang yayasan untuk menginvestasikan kekayaannya pada perusahaan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan.

Dalam hal ini, yayasan dapat menginvestasikan kekayaannya pada perusahaan dengan cara ikut serta dalam suatu badan usaha sebagai pemegang saham perusahaan tersebut agar dapat menerima dividen dari hasil badan usaha yang bersangkutan. Syarat penyertaan semacam ini

263 Penjelasan Pasal 26 (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

264 Pusat Bahasa, op.cit., hal. 360 265

(9)

paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan.266

b. Bunga tabungan bank

Dalam kegiatan perbankan sehari-hari, terdapat dua macam bunga yang diberikan kepada nasabah bank, yaitu bunga simpanan dan bunga pinjaman.267 Dari kedua jenis bunga bank tersebut, yang dimaksud dengan bunga tabungan bank sebagai salah satu perolehan kekayaan yayasan oleh Undang-Undang Yayasan adalah bunga simpanan yang memberikan balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank.268 Dalam hal ini, Yayasan adalah nasabah bank yang menyimpan kekayaannya di bank sehingga mendapatkan balas jasa dari bank. c. Sewa gedung

Menurut Arie Kusumastuti M. Suhardiadi, Undang-Undang Yayasan “tidak melarang yayasan yang memiliki gedung untuk menyewakan gedungnya kepada pihak lain”.269 Ia kemudian juga menjelaskan mengenai sub sewa (sub lease).270 Menurutnya, “penerimaan atas hasil sub sewa dapat dipersamakan dengan hasil sewa”.271 Maka,

266

Pasal 7 (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

267 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 121

268

Ibid. 269

Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 53

270 Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi menyatakan bahwa sewa gedung yang merupakan sub

sewa adalah “sewa atas gedung yang disewa yayasan dari pihak lain dan kemudian disewakan kembali kepada pihak lain.” (Ibid.)

271

(10)

berdasarkan pendapat tersebut, sewa gedung sebagai perolehan kekayaan yayasan dapat diperoleh yayasan dengan dua cara, yaitu: 1) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang

dimiliki oleh yayasan.

2) Perolehan yang didapat yayasan dari menyewakan gedung yang bukan milik yayasan, melainkan gedung yang yayasan sewa dari pihak lain.

d. Perolehan dari hasil usaha yayasan

Perolehan kekayaan dari hasil usaha yayasan dapat diperoleh yayasan dengan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.272 Kegiatan usaha dari badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.273 Kegiatan-kegiatan usaha yang dimaksud Undang-Undang Yayasan ini memiliki cakupan yang luas, antara lain mencakup hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.274

Seluruh harta kekayaan yayasan, baik yang merupakan kekayaan awal maupun kekayaan yang diperoleh yayasan melalui sumbangan atau bantuan yang tidak

272 Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

273 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

274

(11)

mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat dan perolehan lain yang telah dijabarkan diatas, hanya dapat dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.

B. Peruntukkan dari Penggunaan Kekayaan Yayasan

Penggunaan kekayaan yayasan dibatasi oleh Undang-Undang Yayasan yaitu “diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”275 Tujuan-tujuan tersebut menunjukkan bahwa yayasan tidak memiliki tujuan untuk mencari keuntungan, melainkan tujuan yang sosial.

Sosial artinya “berkenaan dengan masyarakat”.276 Kemudian, sosial juga dapat berarti “suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya)”.277 Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yayasan yang memiliki tujuan sosial adalah yayasan yang tujuannya berkenaan dengan masyarakat, serta memperhatikan kepentingan umum. Ini sejalan dengan pandangan F. Emerson Andrews mengenai yayasan, yaitu “instrument for the contribution of private wealth to public purpose.”278 Pandangan F.Emerson Andrews yang menyatakan yayasan sebagai sebuah alat atau cara untuk memberikan kontribusi dari kekayaan pribadi untuk kepentingan umum279 ini juga sejalan dengan pendapat Arie Kusumastuti M. Suhardiadi yang menyatakan bahwa “yayasan bukan lapangan

275

Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 276

Pusat Bahasa, op.cit., hal. 1496 277Ibid.

278 F. Emerson Andrews, American Foundation for Social Welfare, dalam Shelby M. Harrison, op.cit., hal. 107

279

(12)

untuk berusaha, tetapi lebih merupakan sarana dan wahana untuk melaksanakan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”280

Penggunaan kekayaan yayasan untuk tujuan sosial ini jelas ditujukan untuk kepentingan dan kemanfaatan umum. Sehingga, dapat dihubungkan dengan teori kemanfaatan (teori utilitarianisme) yang dipelopori oleh Jeremy Bentham. Teori ini meyakini bahwa “hukum berfungsi untuk memberikan manfaat yang sebesarnya kepada jumlah orang terbanyak.”281 Maka, kemanfaatan diletakkan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan dari hukum disini, diukur dengan seberapa besar kebahagiaan yang dapat diberikan hukum kepada manusia atau masyarakat.282 Kemudian, Rudolf von Jhering mengembangkan teori utilitarianisme ini dengan menjelaskan bahwa “tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan” yang ditandai oleh upaya memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan, tetapi kepentingan individu mesti dipahami sebagai dan dijadikan “bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain”.283

Dalam pandangan Jhering, tujuan hukum untuk memperoleh kebahagiaan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya, hendaknya dihubungkan dengan kepentingan sosial. Dalam pandangannya, hukum bertujuan untuk “mengejar kemanfaatan dan

280

Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, op.cit., hal. 22

281 H.R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal. 44

282 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, op.cit., hal. 117 283

(13)

menghindari kerugian, juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain”.284

Pandangan Rudolf von Jhering dalam teori utilitarianisme bersifat sosial (social utilitarianism) karena penekanannya pada perlindungan kepentingan-kepentingan, sehingga kepentingan-kepentingan individu hendaknya dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan cara menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.285 Pandangan ini dapat diterapkan dalam pendirian Yayasan. Yayasan merupakan sebuah lembaga yang dapat menyalurkan tujuan atau keinginan pribadi para pendiri yayasan untuk beramal. Ini sesuai dengan pendapat seluruh organ yayasan dalam wawancara yang dilakukan bahwa:

pendirian yayasan merupakan perwujudan dari keinginan Pendiri Yayasan untuk berbuat amal atau sosial.286

Inilah yang seharusnya menjadi motif pendirian yayasan sehingga kekayaan yayasan pun dapat diperuntukkan hanya untuk tujuan yayasan yang bermotif amal, yaitu dalam pencapaian maksud dan tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Undang-Undang Yayasan, demi tercapainya maksud dan tujuan yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusian menetapkan berbagai peraturan agar

284 Bernard L. Tanya, et.al., op.cit., hal. 99 285 W. Friedmann 1, op.cit., hal. 123-124 286

(14)

kekayaan yayasan hanya diperuntukkan untuk tujuan-tujuan sosial tersebut. Selain pengaturan mengenai tujuan yayasan, Undang-Undang Yayasan juga menetapkan bahwa jika yayasan ingin melakukan kegiatan usaha, yayasan tidak dapat terlibat langsung sebagai lembaga yang melakukan badan usaha, melainkan harus dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.287 Berdasarkan ketentuan ini, maka yayasan tidak secara langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi dengan cara mendirikan suatu badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.288 Mengenai pendirian badan usaha ini, Undang-Undang Yayasan melarang rangkap jabatan para organ yayasan dengan jabatan dalam badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan.289 Ini untuk memastikan tidak ada kepentingan yayasan yang terbentur dengan kepentingan-kepentingan badan usaha.

Larangan rangkap jabatan juga diterapkan dalam yayasan antara organ-organ yayasan, dimana:

1. Anggota Pembina Yayasan tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas Yayasan;290

2. Pengurus Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas Yayasan;291

287

Pasal 3 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 288 Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

289 Pasal 7 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

290 Pasal 29 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

291

(15)

3. Pengawas Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus Yayasan;292

Sama halnya dengan alasan dilarangnya perangkapan jabatan organ yayasan pada jabatan dalam badan usaha yang didirikan atau diikuti oleh yayasan, larangan untuk merangkap jabatan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.293

Kemudian, untuk menjamin penggunaan kekayaan yayasan hanya pada tujuan dan maksud yayasan, Undang-Undang Yayasan juga melarang pengalihan harta kekayaan yayasan dalam bentuk apapun kepada para organ yayasan.294 Pelarangan pengalihan ini juga ditetapkan pada hasil kegiatan usaha yayasan kepada para organ yayasan.295

C. Pengaturan Larangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan

Pembina Yayasan, sebagai bagian dari organ-organ yayasan, dilarang menerima pengalihan kekayaan yayasan dalam bentuk apapun, termasuk honorarium. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, untuk lebih memastikan dilaksanakannya peraturan ini, ditetapkan sanksi pidana, yang tidak ada dalam

292

Pasal 40 (4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

293 Penjelasan Pasal 31 (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

294 Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 295

(16)

rancangan awal Undang-Undang Yayasan, bagi pelanggar ketentuan ini.296 Larangan ini beserta dengan sanksinya secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang Yayasan, antara lain dalam:

1. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Yayasan mengenai larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan

Pasal tersebut menyatakan bahwa “kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan” berdasarkan Undang-undang Yayasan, “dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas” Yayasan.297

Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa ketentuan ini

“dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan yayasan, termasuk hasil kegiatan usaha yayasan, merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan, sehingga seseorang yang menjadi anggota pembina, pengurus dan pengawas yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honorarium”.298

296 Sanksi pidana ini merupakan usulan dari Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan

Undang-Undang tentang Yayasan: “Rapat Pansus Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001 dan Fraksi PDI-P, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan: “Laporan Singkat Rapat Pansus RUU tentang Yayasan”, tanggal 23 Mei 2001, hal. 3

297 Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

298 Penjelasan Pasal 5 (1) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan

(17)

Larangan ini adalah agar semua hasil yayasan digunakan demi pencapaian tujuan yayasan299 sehingga yayasan tidak disalahgunakan untuk melakukan money laundering, mencari keuntungan, menghindari kewajiban

pembayaran pajak, memperkaya diri para organ-organ yayasan dan motif-motif lainnya300 yang di luar dari tujuan didirikannya yayasan.

Terdapat beberapa bentuk pengalihan yang ditentukan dalam Undang-Undang Yayasan, yaitu:301

a. Gaji

Gaji adalah “upah kerja yang dibayar di waktu yang tetap, balas jasa yang diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu.”302

b. Upah

Upah adalah “uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu, hasil sebagai akibat dari suatu perbuatan.”303

299 Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim

Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan (H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016

300 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November 2016

301 Pasal 5 (1) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 302 Pusat Bahasa, op.cit., hal. 432 303

(18)

c. Honorarium

Honorarium adalah “upah sebagai imbalan jasa, upah di luar gaji.”304 d. Bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang

Undang-Undang Yayasan tidak memberikan penjelasan mengenai bentuk lain (selain gaji, upah dan honorarium) yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi, dapat disimpulkan bahwa bentuk lain ini terkait dengan kekayaan yang merupakan milik yayasan baik dalam bentuk benda bergerak seperti mobil maupun tidak bergerak seperti tanah atau bangunan (yang dapat dinilai dengan uang) yang kemudian beralih kepemilikannya kepada para organ yayasan.

Tidak adanya penjelasan yang jelas mengenai bentuk lain ini memberikan keleluasaan untuk meninterpretasikan bentuk-bentuk seperti apa saja yang termasuk dalam bentuk pengalihan kekayaan yayasan.

Sebagai contoh, salah seorang responden menyatakan bahwa ia

menyewakan tanah miliknya kepada yayasan sehingga ia menerima uang sewa tanah dari yayasan.305

Uang sewa tanah tersebut tentunya termasuk bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Akan tetapi, dalam hal ini, jelas ada perjanjian antara responden tersebut dengan yayasan. Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Yayasan menyatakan bahwa yayasan “dilarang mengadakan

304Ibid., hal. 555 305

(19)

perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, Pembina, Pengurus dan/atau Pengawas yayasan, atau seseorang yang bekerja pada yayasan”.306 Pengecualian terhadap larangan ini hanya berlaku jika “perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan yayasan.”307 Responden ini adalah seorang Pembina Yayasan sehingga ia termasuk orang yang dilarang mengadakan perjanjian dengan yayasan. Akan tetapi, tanah yang responden ini sewakan kepada yayasan digunakan yayasan untuk kegiatan usaha yayasan dalam rangka mencapai tujuan sosial yayasan untuk mencerdaskan bangsa. Sehingga, perlanggaran terhadap Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Yayasan tidak terjadi karena perjanjian yang dilakukan responden termasuk dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Yayasan.

2. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Yayasan mengenai pengecualian terhadap larangan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan

Undang-Undang Yayasan menetapkan pengecualian pada larangan pengalihan kekayaan yayasan yang diatur pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Yayasan terhadap Pengurus Yayasan.

306 Pasal 38 (1) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

307 Pasal 38 (2) Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

(20)

Pengecualian ini dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan dengan ketentuan bahwa Pengurus Yayasan:308

a. bukan Pendiri Yayasan dan tidak ada hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas Yayasan; dan

b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh (full-time) sesuai dengan hari dan jam kerja yayasan, bukan bekerja paruh

waktu (part-time).

Maka, Pembina Yayasan tidak termasuk dalam pengecualian ini. Seorang Pembina Yayasan mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai tujuan yayasan sehingga menurut Henni Wijayanti,

pembina suatu yayasan seharusnya tidak mengharapkan bagian dari kekayaan yayasan atas kontribusi yang ia berikan.309

Kemudian menurut Henry P. Panggabean,

pemberian suatu bentuk penghargaan atau dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang atas kontribusi yang diberikan Pembina Yayasan merupakan suatu kejahatan yayasan.310

308

Pasal 5 (2) jo. Penjelasan Pasal 5 (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

309 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November 2016

310 Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim

(21)

3. Pasal 70 Undang-Undang Yayasan mengenai sanksi pidana pelanggaran ketentuan pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan

Terhadap organ-organ yayasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Yayasan mengenai pembagian atau pengalihan kekayaan yayasan, terdapat dua ketentuan pidana yang ditetapkan oleh Undang-Undang Yayasan, yaitu:311

a. pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

b. pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Pengaturan-pengaturan tersebut berlaku terhadap organ-organ yayasan. Pembina adalah salah satu organ dalam yayasan. Maka, pengaturan-pengaturan yang melarang pembagian dan pengalihan harta kekayaan yayasan tersebut juga berlaku pada Pembina Yayasan. Dari seluruh responden organ yayasan yang diwawancara, terdapat empat responden yang mengaku tidak mengetahui adanya pengaturan larangan ini.312 Menariknya, justru responden-responden ini tidak keberatan atas adanya pengaturan larangan ini beserta dengan dua responden lainnya karena:

1. Kontribusi Pembina Yayasan sangat terbatas dan hanya berkala;313

2. Yayasan memiliki tujuan sosial, bukan tujuan komersil sehingga segalanya disumbangkan secara tulus;314

311 Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

312 Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus

Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016 dan Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23 November 2016

313 Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016

314 Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016,

(22)

3. Larangan ini akan lebih mendukung ketulusan jiwa karena tidak ada yang mengharapkan imbalan.315

Sedangkan dua responden lainnya menyatakan keberatannya karena

Pembina Yayasan menyumbangkan pemikiran-pemikirannya yang sangat membantu yayasan, sehingga seharusnya diberikan penghargaan yang layak.316 Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal pemberian penghargaan pada Pembina Yayasan, seluruh responden setuju bahwa larangan ini tidak menghambat perkembangan yayasan karena:

1. Berkembang tidaknya yayasan bergantung pada Pengurus Yayasan karena para penguruslah yang melakukan kepengurusan yayasan;317

2. Yayasan didirikan dengan rela sehingga dari awal tidak mengharapkan imbalan dari pendirian yayasan tersebut.318

Kesetujuan seluruh responden atas tidak terhambatnya kegiatan yayasan dengan adanya pengaturan ini bukan bearti seluruh responden mematuhi peraturan ini. Salah seorang responden mengakui bahwa

yayasannya memberikan penghargaan dalam bentuk uang transportasi yang diberikan kepada pembina-pembina dalam yayasannya meskipun ia mengetahui adanya larangan ini.319

315 Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016

316

Hasil wawancara dengan Ketua Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016 dan Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016

317 Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Ketua

Pengurus Yayasan B pada tanggal 15 November 2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016

318

Hasil wawancara dengan Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016

319

(23)

Pemberian ini hanya diberikan pada “saat Pembina Yayasan datang dalam rapat” organ-organ yayasan untuk membahas kepentingan-kepentingan yayasan.320 Terhadap larangan ini, responden menyatakan bahwa

ia “sangat keberatan karena Pembina Yayasan dalam yayasan kami tidak hanya sekedar simbolis saja, tetapi benar-benar memberikan kontribusinya” untuk kepentingan-kepentingan yayasan dalam rapat yayasan berupa “pemikiran-pemikiran yang sangat membantu yayasan”.321

Undang-Undang Yayasan memang mewajibkan yayasan untuk “membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas yayasan”.322 Meskipun demikian, tidak adanya pengaturan jelas mengenai cara perhitungan pembayaran ini menyebabkan yayasan dapat menggunakannya sebagai salah satu cara untuk mengalihkan kekayaan yayasan kepada organ yayasan. Ini jelas terlihat dari salah seorang responden yang mengaku yayasannya memberikan suatu bentuk penghargaan dalam bentuk uang transportasi kepada pembina-pembina yayasan yang hadir dalam rapat.323

Mengenai pemberian penghargaan dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, kedua ahli hukum yang diwawancara sependapat bahwa apapun alasan dan bentuknya, pemberian penghargaan seperti ini tidak dapat disetujui. Henry P. Panggabean berpendapat bahwa

320

Ibid. 321Ibid.

322 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 323

(24)

“pemberian penghargaan atas kontribusi bagi pembina adalah tergolong kejahatan yayasan sehingga tidak layak bagi seorang pembina untuk mendapat honorarium.”324

Kemudian, Henni Wijayanti menyatakan bahwa

kekayaan yayasan seharusnya digunakan “untuk kepentingan yayasan sepenuhnya dan tidak untuk diberikan kepada pembina yang merupakan pendiri atau orang yang mempunyai dedikasi untuk melakukan kegiatan sosial.”325

Ini karena dari semula, Pembina Yayasan “memahami bahwa keputusannya mendirikan yayasan atau menjadi pembina suatu yayasan adalah tidak mengharapkan keuntungan atau bagian dari kekayaan yayasan.”326

Sedangkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Yayasan, perlu diketahui bahwa bahkan sebelum adanya Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001, salah satu fraksi Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Fraksi Reformasi, telah mengusulkan hasil usaha bagi pengurus Yayasan.327 Usulan ini kemudian ditarik kembali oleh Fraksi Reformasi karena perumusan mengenai larangan pengalihan kekayaan dalam Rancangan Undang-Undang Yayasan telah sesuai dengan jiwa yayasan yang “tidak boleh sama sekali mengambil keuntungan” bagi organ-organnya.328

324 Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim

Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan (H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016

325 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November 2016

326

Ibid.

327 Fraksi Reformasi, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Laporan Singkat

Rapat Pansus RUU tentang Yayasan”, tanggal 7 Februari 2001

328 Fraksi Reformasi (Askin), Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Rapat

(25)

Akan tetapi, untuk mengakomodir kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, diatur pengecualian atas Pengurus Yayasan agar pengurus “dapat diberikan gaji, upah atau honorarium, dengan persyaratan pengurus bukan pendiri, pembina dan pengawas, dan melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.”329 Pengecualian ini dijelaskan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR RI tertanggal 7 September 2004 adalah dikarenakan “Pengurus Yayasan adalah Organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan (operasional) Yayasan dan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan.”330

Pengecualian ini juga dikatakan sudah tepat menurut seluruh responden organ-organ yayasan karena:

1. Pengurus Yayasan berperan aktif dalam kesehariannya melaksanakan kepengurusan yayasan;331

2. Pengurus Yayasan memiliki tanggung jawab yang besar, bahkan hingga ke harta pribadinya dalam hal kepailitan;332

329 Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4

330

Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan: “Sambutan Persetujuan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam Rapat Paripurna DPR RI”, tanggal 7 September 2004, hal. 4

331

Hasil wawancara dengan Pembina Yayasan A pada tanggal 11 November 2016, Pengurus Harian Yayasan C pada tanggal 16 November 2016, Pembina Yayasan D pada tanggal 20 November 2016, Ketua Pengurus Yayasan E pada tanggal 21 November 2016, Sekretaris Pengurus Yayasan F pada tanggal 23 November 2016, Pembina Yayasan G pada tanggal 28 November 2016 dan Pembina Yayasan H pada tanggal 2 Desember 2016

332

(26)

Para ahli hukum yang diwawancara juga sependapat bahwa pengecualian ini perlu diatur “untuk mendukung pengurus harian dalam menjalankan tugas full-timer”333 dan “sebagai stimulus dan penghargaan atas kinerja” Pengurus Yayasan yang “mengelola dan memajukan yayasan”.334

D. Keterkaitan Eksistensi Yayasan dengan Pelarangan Pembayaran Honorarium kepada Pembina Yayasan

Menurut Anwar Boharima, pendirian yayasan dilakukan oleh “seseorang atau beberapa orang dengan memisahkan suatu harta dari seseorang atau beberapa orang pendirinya, dengan tujuan idiil atau sosial yang tidak mencari keuntungan”.335 Tujuan idiil atau tujuan sosial ini oleh para pakar umumnya diartikan sebagai tujuan amal.336 Arie Kusumastuti M. Suhardiadi berpendapat bahwa “keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”337 Maka jelas bahwa yayasan didirikan dengan memisahkan kekayaan para pendirinya untuk kemudian digunakan dalam tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

333 Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim

Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan (H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016

334 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pada tanggal 18 November 2016 - 29 November 2016

335 Anwar Borahima, op.cit., hal. 19 336Ibid., hal. 121

(27)

Yayasan memerlukan alat perlengkapan yang dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan mencapai tujuan dan maksud yayasan. Alat perlengkapan ini disebut sebagai organ yayasan yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan.338 Maka, terkait dengan tujuan dan maksud yayasan yang diwakili oleh para organ yayasan, apapun yang dilakukan oleh organ-organ yayasan dapat dilihat sebagai perbuatan amal.339

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yayasan yang bertujuan sosial menurut F. Emerson Andrews:340

1. Non-governmental

2. Non-profit

3. Possessing a principal fund of its own 4. Managed by its own trustees and directors

5. Promotes social, educational, charitable, religious or other activities serving the common welfare

Kriteria-kriteria tersebut dapat diterapkan pada yayasan di Indonesia yang unsur-unsurnya tercantum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan yang menyatakan bahwa “yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”341 Sehingga dapat disimpulkan tiga unsur-unsur yayasan sebagai berikut:

338

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 339

Henry P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset Keagamaan) dan Upaya Penanganan Sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Permata Aksara, 2012), hal. 40

340 F. Emerson Andrews, op.cit., hal. 11 341

(28)

1. Badan hukum yang memiliki kekayaannya sendiri;

2. Tidak memiliki anggota, melainkan diurus dan diwakili oleh organ-organ yayasan;

3. Memiliki tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga merupakan lembaga yang nirlaba karena ia social oriented, bukan profit oriented.

Kriteria dan unsur yayasan yang bertujuan sosial ini sesuai dengan prinsip-prinsip yayasan yang diungkapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, antara lain:342

1. yayasan adalah badan hukum;

2. yayasan adalah lembaga yang tujuannya amal (charity); 3. yayasan adalah lembaga dengan tujuan nirlaba (non profit);

4. yayasan adalah lembaga yang tujuannya sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Tentunya terdapat alasan-alasan yang mendasari seseorang atau beberapa orang mendirikan yayasan yang memiliki tujuan sosial. Menurut Robert Clifton Weaver, terdapat empat alasan dilakukannya kegiatan yang bertujuan sosial, antara lain:343

1. Tindakan yang Altruistis (altruistic behaviour)

Tindakan yang altruistis adalah tindakan-tindakan yang bersifat mendahulukan kepentingan orang lain.344 Tindakan atau kelakuan yang

342 Suherman Toha, et.al., op.cit., hal. 132

343 Development Assistance Committee, op.cit., hal. 12-14 344

(29)

altruistis merupakan perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia untuk melindungi sesamanya.345

2. Kebanggaan (pride)

Seorang yang memiliki kekayaan berlebih dapat mendirikan sebuah lembaga yang dapat diingat sebagai kedermawanannya, serta perhatiannya pada kesejahteraan umum.346 Yayasan dapat menjadi salah satu pilihan lembaga yang didirikan.

3. Kewajiban dari Kepercayaan atau Agama yang Dianut (religion duty) Agama atau kepercayaan merupakan dorongan yang paling nyata dalam melakukan kegiatan sosial. Sebagian besar agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan di dunia memerintahkan umatnya untuk melakukan kegiatan amal, membebaskan kemiskinan dan penderitaan, serta menyambut orang yang baru dikenal.347 Sebagai contoh adalah agama Islam yang penganutnya paling banyak di Indonesia memiliki kewajiban zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.348 Tata cara perhitungan zakat ini bahkan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan

345 Development Assistance Committee, op. cit., hal. 12 346Ibid., hal. 13

347Ibid. 348

(30)

Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif.

4. Kepentingan Pribadi (self interest)

Terdapat beragam kepentingan pribadi sebagai alasan dari dilakukannya kegiatan sosial. Salah satu kepentingan pribadi yang paling mencolok adalah dalam hal pajak.349

Dari keempat alasan yang dikemukakan oleh Robert Clifton Waver, kepentingan pribadi sebagai alasan dilakukannya kegiatan sosial merupakan yang ingin dihindari oleh Undang-Undang Yayasan. Yayasan, oleh karena didirikan dengan alasan kepentingan pribadi telah menyimpang dari tujuan semula penciptaan badan hukum yayasan, seperti penggunaannya untuk memperkaya diri sendiri atau organ-organ yayasan, menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai suatu lembaga pendidikan untuk selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh berbagai fasilitas dari negara dan penguasa, serta berbagai tujuan lainnya.350 Menurut Henni Wijayanti,

adanya pelarangan pembagian atau pengalihan harta kekayaan yayasan kepada para organ yayasan, termasuk Pembina Yayasan, adalah “untuk menghindari motif-motif lain selain motif sosial (charity)”.351

349

Development Assistance Committee, op. cit., hal. 14 350 Chatamarrasjid Ais 2, op.cit., hal. 2

351 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

(31)

NOMOR 5/PUU-XIII/2015

A. Kronologi Kasus

Dahlan Pido, Pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie berdasarkan Akta Yayasan Nomor 1 tertanggal 13 Juni 2014, mengajukan permohonan untuk menguji dua pasal mengenai penerimaan honorarium dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 24 November 2014 yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 320.5/PAN.MK/2015 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 14 Januari 2015 dengan Nomor 5/PUU-XIII/2015, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Januari 2015 setelah sebelumnya diadakan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 22 Januari 2015. Kemudian, Sidang Perbaikan Permohonan dilangsungkan pada tanggal 5 Februari 2015.

1. Keterangan Pemohon Dahlan Pido

Adapun pasal-pasal yang dimohon pengujiannya oleh Dahlan Pido adalah:352

352 Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Perbaikan Permohonan (II)”,

(32)

a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:

(1) Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas. (2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat

ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan:

a. bukan pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas; dan

b. melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh. b. Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan yang berbunyi:

(1) Setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

(2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.

Dahlan Pido, sebagai pemohon, merasa bahwa adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang Yayasan yang melarang penerimaan honorarium oleh Pembina dan Pengawas Yayasan, serta memberikan sanksi pidana bagi yang melanggarnya, merugikan hak-hak konstitusionalnya. Adapun hak-hak konstitusional yang dilanggar oleh Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Yayasan menurut Dahlan Pido adalah sebagai berikut:353

a. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

353 Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Perbaikan Permohonan (II)”,

(33)

dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini menganut prinsip equality before the law (persamaan hukum) dan keadilan, dimana semua warga negara adalah sama di mata hukum dan harus diperlakukan adil. Pengecualian kepada pembina dan pengawas untuk mendapatkan gaji, upah atau honorarium melanggar prinsip keadilan dan persamaan hukum karena Pembina dan Pengawas Yayasan yang bersama-sama Pengurus Yayasan bekerja melaksanakan tugas untuk tercapainya tujuan yayasan, tidak mendapatkan haknya yang sama dengan Pengurus Yayasan.

(34)

Dapat disimpulkan bahwa Dahlan Pido selaku pemohon pengujian Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan merasa adanya perlakukan diskriminatif terhadap Pembina dan Pengawas Yayasan dalam penerimaan honorarium karena baik pengurus maupun pembina dan pengawas sama-sama bekerja dan mengabdi memajukan yayasan sesuai dengan tujuan yayasan. Akan tetapi, hanya pengurus yang berhak atas penerimaan gaji, upah atau honorarium, sehingga ini menimbulkan kerugian bagi Pembina dan Pengawas Yayasan karena menghilangkan hak Pembina dan Pengawas Yayasan untuk mendapatkan gaji, upah atau honorarium seperti halnya Pengurus Yayasan.

2. Keterangan Presiden/Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Presiden/Pemerintah yang dihadiri oleh Wicipto Setiadi dan Nasrudin, serta DPR yang dihadiri oleh Junimart Girsang, Nur Ali dan Kadari Agus, telah memberikan keterangan lisan pada tanggal 24 Februari 2015. Presiden/Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Maret 2015, sedangkan keterangan tertulis dari DPR diterima pada tanggal 16 April 2015 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:354

a. Pemerintah

1) Pemerintah menyampaikan landasan filosofis Undang-Undang Yayasan yang hendak memberikan landasan yuridis dalam pendirian

354 Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Mendengarkan Keterangan

(35)

yayasan serta memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

2) Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Yayasan dimaksudkan dengan tujuan untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan kekayaan pendirinya sehingga yayasan tidak dapat digunakan untuk mencari keuntungan, melainkan digunakan untuk kepentingan umum. Demi tercapainya tujuan yayasan, para organ yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap. Pengecualian hanya terhadap Pengurus Yayasan adalah karena semakin meningkatnya tuntutan atas transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi, dan efektivitas dalam pengelolaan kegiatan yayasan, maka dibutuhkan tenaga yang profesional dalam pengelolaan yayasan. 3) Sedangkan sanksi pidana dalam Pasal 70 adalah upaya Pemerintah

dalam menegakkan hukum dan memberikan ketertiban dan kepastian hukum bagi yayasan dalam mencapai tujuannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan agar tidak disalahgunakan dalam pengelolaan kekayaan yayasan yang bersangkutan.

(36)

memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang hendak atau sedang menjalankan badan hukum dalam bentuk yayasan sehingga menjadi tertib ketika mendirikan dan menjalankan yayasannya, yaitu sesuai dengan sifatnya yang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

b. DPR

1) DPR menyampaikan bahwa dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Yayasan disebutkan yayasan cenderung didirikan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, melainkan juga ada kalanya digunakan untuk memperkaya diri para organ yayasan atau digunakan untuk menampung kekayaan yang diperoleh dengan cara melawan hukum (money laundering). Upaya hukum untuk mencegah kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah dengan pengaturan larangan pengalihan atau pembagian kekayaan yayasan pada Pasal 5 Undang-Undang Yayasan. Sehingga, kekayaan yayasan hanya digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan didirikannya yayasan (tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan), bukan untuk kepentingan lainnya.

(37)

yayasan yang memenuhi syarat antara lain bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, serta melaksanakan kepengurusan yayasan secara penuh, adalah hal yang wajar dan dapat dibenarkan secara hukum. Ini mengingat Pengurus Yayasan mempunyai tanggung jawab yang penuh, dan tidak dibebankan kepada pembina dan pengawas, terhadap pengelolaan kekayaan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan.

3) Ketentuan pemberian sanksi merupakan bagian dari upaya penegakan hukum, agar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Yayasan dapat dipatuhi sehingga maksud dan tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Yayasan dapat terwujud.

Maka, DPR berpendapat bahwa Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan tidak diskriminatif karena terhadap yang memang berbeda, dapat diperlakukan dengan ketentuan aturan yang berbeda.

3. Keterangan Saksi/Ahli Pemohon

Dahlan Pido juga menghadirkan seorang ahli dan seorang saksi yang memberikan keterangan lisan pada tanggal 16 Maret 2015, antara lain:355

a. Ahli pemohon bernama Safri Nurmantu

Pada dasarnya Safri Nurmantu menyatakan bahwa Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan perlu ditinjau kembali karena bertentangan

355 Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Mendengarkan Keterangan

(38)

dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setidak-tidaknya untuk yayasan pendidikan. Dalam menyampaikan dasar konstitusional pengujian Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan, Safri Nurmantu mencontohkan dirinya sendiri sebagai guru atau dosen yang juga sekaligus sebagai pendiri atau pengurus atau pengawas yang bekerja untuk mencapai tujuan yayasan di bidang sosial, di bidang pendidikan, keagamaan atau kemanusiaan. Penjelasan konstitusionalnya adalah sebagai berikut:

1) Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Maka, setiap orang bisa memilih profesinya. Dalam hal ini, dosen dapat memilih profesinya.

2) Pasal 28 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, …” Dalam hal ini, sebagai dosen.

3) Pasal 28 C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Dalam hal ini mendirikan yayasan, khususnya yayasan di bidang pendidikan.

(39)

Dalam hal ini, Safri Nurmantu sebagai dosen yang kebetulan sekaligus sebagai pembina, pengurus atau pengawas dirugikan hak konstitusionalnya karena Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan melarang Safri Nurmantu mendapatkan gaji, upah, honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang dari yayasan dengan ancaman sanksi pidana penjara dan pidana tambahan atas pekerjaan yang ia lakukan, yaitu memberikan kuliah dan mengatur manajemen sekolah.

b. Saksi pemohon bernama H. R. M. Amrullah Satoto

Sebagai pendiri dan sekretaris dari Yayasan Ilomata, H. R. M. Amrullah Satoto dilarang menerima imbalan berupa gaji, honor atau apapun bentuknya dari Yayasan Ilomata. Ia terpaksa harus mengajar atau bekerja di tempat lain, padahal Yayasan Ilomata ia dirikan bersama para pendiri lainnya adalah dalam rangka untuk mencerdaskan bangsa. Niat baiknya untuk ikut mencerdaskan bangsa dalam yayasan yang ia dirikan dengan mengajar, terkendala oleh adanya Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan.

(40)

kemudian diakhiri dengan pengucapan putusan dan ketetapan pada tanggal 26 Agustus 2015.

B. Pertimbangan dan Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Dalam memutuskan perkara nomor 5/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Dahlan Pido untuk menguji Pasal 5 dan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ia merasa dirugikan oleh adanya ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyampaikan beberapa pertimbangan, antara lain:356

1. Pertimbangan Pasal 5 Undang-Undang Yayasan

a. Ditinjau secara filosofis, yayasan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Kegiatan sosial tersebut muncul dari kesadaran masyarakat kalangan mampu yang memisahkan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang mengalami kesusahan. Yayasan dipilih sebagai wadah untuk beraktivitas sosial karena dinilai lebih memiliki ruang gerak untuk menyelenggarakan kegiatan sosial seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan, kemanusiaan, kepedulian lingkungan, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.

356 Risalah Sidang Perkara Nomor 5/PUU-XIII/2015, “Acara: Pengucapan Putusan dan

(41)

b. Yayasan memperoleh modal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan dari kekayaan milik pribadinya. Maka, pendirinya tidak mempunyai hak lagi atas kekayaan tersebut. Sehingga, yayasan tidak berkewajiban untuk mengembalikan kekayaan tersebut.

c. Banyak yayasan yang menyimpang dari tujuan filosofis pendirian yayasan karena banyaknya orang sulit mendefinisikan arti kegiatan sosial, yang pada akhirnya sering hal tersebut dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan. Meskipun tidak ada aturan yang melarang yayasan melakukan kegiatan bisnis, tetapi pada hakikatnya tujuan yayasan adalah social oriented bukan profit oriented.

d. Pengelolaan sebuah yayasan memerlukan profesionalisme dari tenaga profesional untuk menghadapi tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

(42)

Sedangkan terhadap ketentuan yang mengecualikan pengurus menerima gaji, upah atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan bukan Pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas, serta melaksanakan kepengurusan yayasan secara penuh, tenaga profesional yang melakukan pekerjaan untuk kepentingan yayasan harus diberi upah guna membayar ongkos dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, Undang-Undang Yayasan telah memberikan jalan keluar dengan mengangkat pelaksana kegiatan atau pengurus harian yang tidak dilarang menerima imbalan. 2. Pertimbangan Pasal 70 Undang-Undang Yayasan

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang Yayasan dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana kepada organ yayasan yang melanggar norma yang dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Yayasan dan juga upaya dalam menegakkan hukum dan memberikan ketertiban serta kepastian hukum bagi yayasan dalam mencapai tujuannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan agar tidak disalahgunakan dalam pengelolaan kekayaan yayasan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan Dahlan Pido tidak beralasan menurut hukum.

Maka, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa: 1. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

(43)

3. Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

Permohonan ini berujung pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-XIII/2015 yang diputuskan pada tanggal 15 April 2015 dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 26 Agustus 2015 dengan amar putusannya menolak permohonan Dahlan Pido untuk seluruhnya.

C. Analisis Hukum atas Pertimbangan Hakim

Dalam menganalisis pertimbangan-pertimbangan hakim, akan digunakan tiga teori, yaitu teori kekayaan bertujuan, teori tujuan sosial dan teori kemanfaatan.

1. Kekayaan Bertujuan

(44)

Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut sudah tepat menurut salah satu teori badan hukum, yaitu teori kekayaan bertujuan. Yayasan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan adalah “badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.” Dari definisi tersebut, dapat dijabarkan unsur-unsur yayasan sebagai berikut:

a. badan hukum;

b. terdiri atas kekayaan yang dipisahkan;

c. kekayaan tersebut diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan;

d. tidak mempunyai anggota.

Tidak hanya dari ketetapan Undang-Undang Yayasan yang jelas dan gamblang, status badan hukum yayasan juga dapat dilihat dari unsur-unsur yayasan lewat definisi yayasan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan yang dijabarkan di atas. Unsur-unsur ini dapat dihubungkan dengan teori badan hukum.

Teori badan hukum yang akan digunakan untuk menganalisis unsur-unsur tersebut adalah teori harta kekayaan bertujuan yang dipelopori oleh A. Brinz, yang kemudian diikuti oleh Van der Heijden. Teori ini meyakini bahwa yang terpenting dalam suatu subjek hukum adalah “kekayaan yang diurus untuk suatu tujuan tertentu”.357 A. Brinz dalam bukunya Lehrbuch der Pandecten menyatakan bahwa:358

357 Munir Fuady, op.cit., hal. 177 358

(45)

Only human beings can be considered correctly as ‘person’. The law, however, protects purpose other than those concerning the interest of human beings. The property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody. But it may be considered as belonging for certain purposes and the device of the corporation is used to protect those purposes.

Teori ini meyakini bahwa hak-hak dari suatu badan hukum adalah hak-hak yang tidak ada pemiliknya dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan.359 Pembahasan tersebut jelas menggambarkan bahwa hanya manusia yang dapat diakui sebagai subjek hukum, akan tetapi teori ini mengakui adanya kekayaan yang dipisahkan dan tidak dimiliki oleh manusia, yang digunakan untuk tujuan tertentu. Kekayaan terpisah yang tidak dimiliki siapa-siapa dan memiliki tujuan tertentu inilah yang teori ini pandang sebagai badan hukum. Jika dibandingkan dengan unsur-unsur yayasan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Yayasan, maka penerapan teori ini pada badan hukum yayasan sangat tepat. Ini sesuai dengan pendapat Henry P. Panggabean yang menyatakan bahwa

“makna suatu yayasan adalah adanya pemisahan harta yang ditujukan untuk mencapai tujuan yayasan.”360

Pendapat ini juga didukung oleh Henni Wijayanti yang menyatakan bahwa

“yayasan didirikan dengan memisahkan harta kekayaan dari pendirinya, dengan tujuan idiil atau sosial.”361

359 R. Ali Rido, op.cit., hal. 10

360 Hasil wawancara dengan Henry P. Panggabean, Ahli Hukum Perusahaan, mantan Hakim

Mahkamah Agung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Advokat dan Konsultan (H. P. Panggabean & Partners Law Firm), penulis buku Praktik Peradilan Menangani Kasus Ases Yayasan, pada tanggal 18 November 2016 - 30 November 2016

361 Hasil wawancara dengan Henni Wijayanti, Ahli Hukum Perusahaan, Dosen Fakultas

(46)

Berikut ini adalah analisis kekayaan bertujuan terhadap pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi:

Badan hukum menurut teori harta kekayaan bertujuan adalah: a. Adanya hak-hak yang tidak dimiliki siapapun

Yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota. Organ-organ yayasan sebagai alat perlengkapan yayasan yang melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan bukanlah anggota dari yayasan seperti halnya dalam anggota Perseroan Terbatas adalah pemegang sahamnya. Dalam Yayasan, organ-organ yayasan semata-mata hanya membantu yayasan dalam melakukan perbuatan hukumnya sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah digariskan dalam Undang-Undang Yayasan dan diwujudkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan. Sehingga, terhadap hak-hak yang dimiliki yayasan, para organ yayasan tidak memiliki kepentingan apapun. b. Adanya suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan

(47)

Ini sesuai dengan pandangan Van Apeldoorn yang menyatakan bahwa “yayasan adalah harta yang mempunyai tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya.”362 Jadi dalam konstruksi yuridisnya, ada harta dengan tujuan tertentu, tetapi tidak dapat ditunjuk sesuatu subjek, sehingga dalam pergaulan diperlakukan seolah-olah adalah subjek hukum. Maka, yayasan termasuk kedalam kategori badan hukum sebagai kumpulan harta. Dalam kategori ini, badan hukum memiliki kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya, yaitu Pendiri atau para Pendiri Yayasan, dimana kekayaan tersebut digunakan bagi kepentingan tertentu saja.363 Kekayaan ini, menurut teori harta kekayaan bertujuan A. Brinz, bukanlah milik siapa-siapa (manusia), melainkan milik tujuan yayasan itu sendiri (bukan manusia).364 Ini sesuai dengan pernyataan Pemerintah dalam Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR RI pada saat pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Yayasan yang menyatakan bahwa “yayasan tidak mengenal adanya kepemilikan (ownership).”365

Dalam pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi, Pasal 5 Undang-Undang Yayasan dikatakan sudah tepat karena ketentuan tersebut memiliki maksud untuk memisahkan kekayaan yayasan dengan pendirinya serta untuk menjamin agar yayasan tidak disalahgunakan. Penyalahgunaan yang dimaksud tentunya penggunaan

362

Anwar Borahima, op.cit., hal. 64-66 363

Munir Fuady, op.cit., hal. 187 364 R. Ali Rido, op.cit., hal. 10

365 Pemerintah, Risalah Sidang Rancangan Undang-Undang Yayasan: “Jawaban Pemerintah

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sebagaimana perkalian suatu konstanta dengan bentuk aljabar, untuk menentukan hasil kali antara dua bentuk aljabar kita dapat memanfaatkan sifat distributif perkalian

Begitu banyak janji Tuhan dalam Alkitab, butuh iman anda dan saya untuk semua dapat tereal- isasi dalam kehidupan kita di dunia ini!. Tuhan tidak tergerak oleh kebutuhan dan tangisan

Meskipun Pemilu 2004 diwarnal oleh berbagai kerumltan, tetapi secara umum sistem Pemilu 2004 lebih balk dibandingkan Pemilu sebelumnya. Pemlllh dapat menentukan sendiri pilihannya,

Hasil uji t kedua menunjukkan variabel religiusitas, pengetahuan dan lokasi berpengaruh positif dan tidak signifikan terhdap minat menabung masyarakat pada bank

Berdasarkan kasus diatas, dpat disimpulkan bahwa sumber pencemarnya adalah logam berat arsen yang berasal dari air tanah pada mineral sulfida yang dibawah permukaan

Terkait dengan bentuk penalaran dalam tradisi ilmu al-bayan (istidlal bayani) ini, al-Jabiri menemukan karakter “pemaksaan epistemologis” dalam kegiatan bernalar,

Dari definisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengawasan mutu merupakan usaha yang dilakukan agar mutu dari produk yang dihasilkan