KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH DI CIKEUSIK,
PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Siswo Mulyartono
107033203232
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama NIM
Program Studi
: Siswo Mulyartono :107033203232
: Ilmu Politik
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEKERASAN ANTI-AHMADIYAH
DI
CIKEUSIK,
PANDEGLANG: PENDEKATAN MOBILISASIdan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 30 Desember 2013
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Menyetujui Pembimbing
l.
2.
3.
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEKERASAN ANTI AHMADIYAH DI CIKEUSIK, PANDEGLANG:
PENDEKATAN MOBILISASI
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syari f Hidayatull ah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan
ini
telah sayacantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di
Universitas IslamNegrr (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Desember 2013
PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEKERASAN ANTI.AHMADryAH DI CIKEUSIK, PANDEGLANG:
PENDEKATAN MOBILISASI
Oleh
Siswo Mulyartono r07033203232
Telah di pertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla pada tanggal l7
Januari 2014. Skripsi ini telah
di terima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.Ketua,
NIP. 19730927 200501
I
003Penguji II,
fra.
hv.-*"
;
Dr. Sirojudin Aly
NIP. 19540605 200112
l
001Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal l7 Januai 2014 Ketua Program Studi
FISIP UIN Jakarta
Sekretaris,
212 t99203
I
004NIP. 196 3 200103
I
002i
ABSTRAKSI
Skripsi ini memusatkan perhatian peristiwa kekerasan anti Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, pada 06 Februari 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara mendalam mobilisasi anti-Ahmadiyah dan mencari faktor yang menyebabkan mobilisasi anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan massa dalam jumlah ribuan. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan interpretatif. Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan studi pustaka. Kerang teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema mobilisasi Bert Klandersmans: penciptaan potensi mobilisasi, pemanfaatan jaringan, motivasi untuk berpartisipasi dan penyingkiran penghambat partisipasi.
ii
KATA PENGANTAR
Penulis melakukan penelitian ini ketika peristiwa kekerasan anti-Ahmadiyah
di Cikeusik, Pandeglang telah berlalu selama dua tahun. Tentu saja waktu dua
tahun belum terlalu lama, memungkin penulis bisa mencari informasi dan bahan
penulisan secara mudah. Tetapi rentang waktu peristiwa yang belum lama itu juga
menjadi penghambat dalam memperoleh data di lapangan.
Ketika penulis mengunjungi Desa Umbulan Cikeusik untuk mengumpulkan
data, ada penolakan dari beberapa informan yang akan diwawancarai. Sebab,
mereka takut ketika disuruh mengingat kembali persitiwa Cikeusik. Beruntung,
penulis menjumpai beberapa informan yang mau diwawancarai meski tidak
diizinkan untuk direkam dan tidak boleh disebutkan nama aslinya jika mau
dijadikan rujukan. Oleh karena itu, dalam penulisan kutipan wawancara di bab
pembahasan, ada beberapa informan yang menggunakan inisial.
Penulis juga merasa beruntung ketika diizinkan Pengadilan Negeri Serang
untuk mengcopy dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian dan hasil
persidangan peristiwa Cikeusik. Dari dokumen-dokumen itu penulis memperoleh
banyak data tentang persitiwa Cikeusik.
Penulis semakin merasa mudah menyelesaikan penelitian ini ketika
menemukan bahan tambahan dari teman-teman Jama’at Ahmadiyah,
iii
Akhirnya, penulis harus mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah
memudahkan segala urusan terkait penulisan skripsi ini.
Penulis juga berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang sudah membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA, beserta
seluruh staf jajarannya.
2. Bapak Dr. Ali Munhanief selaku Kepala Program Studi Ilmu Politik.
Terima kasih Pak Ali sudah mau menjadi pembimbing skripsi ini di tengah
kesibukannya yang sangat padat.
3. Bapak M. Zaki Mubarak selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik.
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tanpa mengenal
keluh dan kesah dalam menghadapi mahasiswa yang penuh masalah.
5. Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina yang telah
melibatkan penulis dalam penelitian “Pemolisian Konflik Agama.” Tanpa
bantuan PUSAD skripsi ini mustahil bisa selesai. Sebagian besar data yang
ada di skripsi ini diambil dari tulisan penulis di penelitian PUSAD.
Semoga saja Januari bisa diterbitkan.
6. Kak Ihsan Ali Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) yang rela meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan anak-anak muda. Kak Ihsan adalah
guru sekaligus teman bahkan orangtua bagi penulis. Semoga Allah
iv
7. Bang Samsu Rizal Panggabean yang selalu menumbuhkan ide-ide segar
bagi penulis.
8. Teman-teman di PUSAD Paramadina: Pak Taufiq, Aya, Imelda,
Bom-Bom, dan Uki.
9. Buya Khaeril Azhar (Penulis Jakarta Post) yang selalu mengganggu
penulisan skripsi ini.
10.Teman-teman di Forum Muda Paramadina: Ayu Melisa, Irsyad Rapshady,
dan Kak Husni Mubarak. Penulis banyak belajar dari mereka.
11.Teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI): Erwin, Dodi
Iskandar, Rafsanjani, Roy, Rizal, Didi Manakara, Maulana, Cendy, Abda,
Ripai Tobri, Yusuf Albana, Nana Saehuna, Ali Imron, Hodari, Naza,
Sukron Hadi, Ismail, Adis, Mila, Lilis, Ira, Rangga dan Indra. Selama di
dunia ini masih ada mahasiswa yang rajin baca buku, selama itu pula
FORMACI akan tetap ada.
12. Teman-teman di Ilmu Politik: Betet, M Yan, Cak Ipul, Adi Ridwan Syam,
Neneng, Siti, Kentung, Deni, Lupi, Iceng, Zamiral, Aisyah, dan lainnya.
13.Kedua orang tua penulis: Bapak Suripto dan Ibu Roisah yang dengan sabar
menunggu anaknya bisa wisuda. Terima kasih juga untuk Siska
Ayuningtyas (adik) dan Sri Purwaningsih (kakak).
14. Para Ahmadi yang syahid di Cikeusik. Skripsi ini penulis persembahkan
untuk kalian.
v
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL... ... vi
DAFTAR BAGAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11
D. Tinjauan Pustaka... 12
E. Metode Penelitian ... 14
F. SistematikaPenulisan ... 16
BAB II KERANGKA TEORI A. Kekerasan ... 18
B. Mobilisasi ... 20
BAB III DINAMIKA KONFLIK ANTI-AHMADIYAH A. Demografi Kabupaten Pandeglang ... 28
B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik, Pandeglang ... 31
C. Dinamika Konflik ... 32
BAB IV KEKERASAN DAN MOBILISASI ANTI-AHMADIYAH A. Kekerasan Anti-Ahmadiyah... ... 46
B. Menciptakan Potensi Mobilisasi Anti-Ahmadiyah ... 49
C. Jaringan Perekrutan Anti-Ahmadiyah ... 51
D. Memotivasi untuk Berpartisipasi ... 58
E. Penyingkiran Penghalang Mobilisasi... ... 62
BAB V PENUTUP Kesimpulan ... 64
vi
[image:10.595.151.445.272.574.2]DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
Bagan I.A.1. Persebaran Kekerasan Anti-Ahmadiyah di Indonesia... ... 9
Bagan II.B.1. Langkah-Langkah Menuju Partisipasi ... 23
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Sejarah Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah sejarah konflik
sektarian di dalam perkembangan Islam di Indonesia. Pada awal
perkembangannya hingga saat ini, keberadaan JAI sebagai organisasi masyarakat
dan aliran Islam masih ditentang oleh sebagian umat Islam Indonesia. Penolakan
terhadap JAI dilakukan dengan sangat keras, misalnya teror maupun kekerasan.
Tetapi, tidak jarang penolakan berlangsung secara damai, melalui dialog atau
debat terbuka. Konflik Ahmadiyah di Indonesia tidak hanya melibatkan penganut
Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah, tetapi juga pemerintahan setempat.
Sejarah perkembangan JAI bisa dilihat jauh sebelum masa kemerdekaan.
Pada awalnya, sekitar Desember 1922, dua pemuda lulusan sekolah Sumatera
Thawalib memutuskan untuk menuntut ilmu ke India. Dua pemuda itu adalah
Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Sebenarnya mereka berencana
melanjutkan sekolah ke Mesir. Tetapi karena sudah banyak orang mencari ilmu ke
Mesir, sumber Islam dari tempat lain perlu dicari. Sumber lain itu adalah India
yang dianggap memiliki tokoh-tokoh dan perguruan Islam berkualitas. Atas saran
2
belajar ke India. Belakangan, pelajar lain, Zaini Dahlan menyusul ke India dan
bergabung dengan mereka.1
Para pemuda itu akhirnya mulai mengenal ajaran Ahmadiyah ketika
menetap di Lahore. Karena tertarik dengan ajaran Ahmadiyah, mereka
memutuskan untuk melakukan ziarah ke makam pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza
Ghulam Ahmad di Qodian. Selain itu, tujuan mereke ke Qodian adalah untuk
mempelajari dan mendalami ajaran Ahmadiyah. Mereka juga sempat bertemu
dengan Hazrat Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud dan melakukan bai’at
sebagai tanda telah menjadi anggota Ahmadiyah.2
Tidak lama kemudian, mereka meminta Khalifah II untuk berkunjung ke
Indonesia. Tetapi permintaan ini belum bisa dipenuhi dan diganti dengan
pengiriman Maulana Rahmat Ali ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran
Ahmadiyah.3 Maulana Rahmat Ali adalah tokoh penting dalam sejarah awal JAI.
Melalui dia, JAI pada masa awal perkembangannya, bisa mendirikan Pengurus
Besar (PB) dan beberapa cabang di Indonesia.
Pada 2 Oktober 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan. Di tempat itu,
dia berhasil mengajak beberapa masyarakat untuk masuk ke Ahmadiyah. Karena
sedang terjadi konfrontasi antara Islam dengan pemerintahan kolonial Belanda,
maka Maulana Rahmat Ali disuruh Gubernur Aceh untuk meninggalkan
Tapaktuan. Sepeninggalan Maulana Rahmat Ali, Ahmadiyah di Tapaktuan bisa
1 Murtolo, “Sejarah Singkat Perkembangan Jema’at Ahmadiyah di Indonesia selama 50
Tahun, Sinar Islam 15(Januari 1976): 11.
3
melakukan kegiatan keagamaannya. Tetapi, akhirnya mereka dilarang melakukan
salat Jumat di tempat sendiri dan harus salat bersama-sama di masjid umum. Raja
juga melarang para Ahmadi untuk berkumpul.4
Pada 1926, Maulana Rahmat Ali tiba di Padang. Pada tahun itu, Kegiatan
dia di Padang sempat membuat gempar masyarakat setempat. Tahar Sutan Marajo
mendirikan Komite Mencari Hak (KMH) untuk mempertemukan mubalig
Ahmadiyah dengan ulama Minangkabau. Tujuannya untuk melakukan debat
antara pihak Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Acara debat hanya diikuti para
murid ulama Minangkabau dan mubalig Ahmadiyah. Akhirnya, KMH
membubarkan diri dan Jema’at Ahmadiyah resmi didirikan di Padang.5
Perkembangan Ahmadiyah di Padang semakin kuat ketika pada 1929,
Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kembali ke Padang setelah belajar di Qodian.
Jumlah anggota Ahmadiyah di Padang semakin banyak, kira-kira delapan puluh
orang. Dalam melakukan kegiatan keagamaan, seperti salat berjamaah, mereka
menyewa rumah. Belakangan, mereka diberi musala oleh Demang Sutan Rajad
untuk digunakan sebagai tempat ibadat anggota Ahmadiyah. Tetapi, musala itu
akhirnya disegel, membuat para Ahmadi kembali mengadakan kegiatan
keagamaannya di rumah sewaan.6
Penyebaran Ahmadiyah tidak berhenti di Sumatera. Pada 1931, Maulana
Rahmat Ali memutuskan untuk pergi ke Jawa, tepatnya Jakarta. Keputusan ini
4Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13. 5Murtolo, “Sejarah Singkat,” 13
-14.
6Murtolo, “Sejarah Singkat,”
4
merupakan sejarah penting dalam perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. selain
melakukan dakwah di kota-kota besar yang ada di Jawa, Maulana Rahmat Ali
membentuk Pengurus Besar (PB) Ahmadiyah. Pembentukan pengurus besar
berawal dari konferensi pada tahun 1935 di Jakarta yang dihadiri tokoh-tokoh
Ahmadiyah Indonesia. Konferensi memutuskan untuk membentuk struktur PB
dan menamai organisasi Ahmadiyah Indonesia yang disebarkan oleh Maulana
Rahmat Ali sebagai Ahmadiyah Qodian Departemen Indonesia (AQDI).7
Dalam rangka penyempurnaan, PB berusaha menyesuaikan organisasi
AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qodian. Oleh karena itu, pada 12
dan 13 Juni 1937 diadakan konferensi di Masjid Hidayat, Jalan Balikpapan
Jakarta. Konferensi tidak hanya menghasilkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) Ahmadiyah, tetapi nama AQDI diganti dengan AADI
(Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia). Pada Desember 1949 di Jakarta,
AADI mengadakan muktamar untuk menetapkan AD/ART terbaru dan mengganti
nama AADI menjadi JAI (Jema’at Ahmadiyah Indonesia).8
Nama JAI masih
digunakan sampai sekarang.
Penyebaran Ahmadiyah di Jawa bukan tanpa resistensi dari ulama setempat.
Pada awal-awal kegiatan dakwah di Jawa, Maulana Rahmat Ali beberapa kali
melakukan debat dengan anggota Persis (Persatuan Islam). Debat berlangsung
secara terbuka dan damai, bahkan beberapa peserta debat dari pihak
non-Ahmadiyah memutuskan untuk masuk ke non-Ahmadiyah. Ketika Maulan Rahmat Ali
7
Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), 195.
8
5
mengintensifkan dakwah di Jawa, cabang-cabang Ahmadiyah hampir tersebar di
kota-kota besar yang ada di Jawa Barat (Garut, Tasikmalaya, Singaparna,
Bandung, Sukabumi, Cianjur, Manislor, Cimahi, dan Ciamis), Jawa Tengah
(Purwokerto, Yogyakarta, Kebumen, Banjarnegara, semarang, Salatiga,
Magelang), dan Jawa Timur (Surabaya).9
Perkembangan Ahmadiyah di Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif aman
dibandingkan Jawa Barat. Di Jawa Barat sering terjadi debat antara mubalig
Ahmadiyah dengan ulama setempat. Para anggota Ahmadiyah juga mengalami
kekerasan, bahkan beberapa dibunuh oleh DI/TII (Darul Islam dan Tentara
Indonesia). Kekerasan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan keyakinan,
tetapi lebih bermuatan politik. Warga Ahmadiyah di Jawa Barat menolak untuk
bergabung dengan DI/TII untuk memberontak ke pemerintahan Indonesia.10 Jawa
Barat merupakan basis kekuatan DI/TII. Tidak jarang DI/TII melakukan teror dan
kekerasan terhadap warga yang menolak mendukung DI/TII.11
Pada tahun 1952, Ahmadiyah mulai melakukan dakwah di Indonesia bagian
timur. Tetapi hanya beberapa wilayah saja yang disentuh oleh mubalig
Ahmadiyah, yakni Ujung Pandang, Lombok, dan Sulawesi Utara. Resistensi
terjadi hanya di wilayah Lombok. Seorang Ahmadi di Lombok, Junaidi dihadang
9Murtolo, “Sejarah Singkat,” 17
-34.
10Murtolo, “Sejarah Singkat,” 28. 11
6
di tengah jalan oleh beberapa orang. Mereka memukuli dan menikamnya beberapa
kali.12
Jaminan perlindungan hukum bagi kegiatan Ahmadiyah di Indonesia
akhirnya diakui ketika pada 31 Maret 1953, berdasarkan SK Menteri Kehakiman
No. JA 5/23/13, Ahmadiyah mendapat status badan hukum. Pengakuan itu
diperkuat dengan pernyataan Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal
11 Maret 1968 tentang hak hidup seluruh organisasi agama di Indonesia bagi yang
telah disahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya secara resmi
oleh Menteri Kehakiman sebagai badan hukum.13 Belakangan, Ahmadiyah juga
sudah diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat
Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/D.I./VI/2003.
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, yaitu sekitar 1970an, keberadaan
Ahmadiyah relatif aman. Tetapi kondisi mulai berubah ketika pada 1980 Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian, merujuk kepada
JAI, merupakan aliran di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Aliran Ahmadiyah
Qodian di beberapa negara juga mulai dilarang untuk dikembangkan, misalnya di
Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Kerajaan Arab Saudi. Ahamdiyah
Qodian juga dilarang oleh Organisasi Islam Internasional, yakni Rabithah Alam
Islami.14
12Murtolo, “Sejarah Singkat,” 35. 13
Ikandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah, 291-292.
14
7
Munculnya fatwa MUI pada 1980 telah membuat sikap penolakan terhadap
JAI menguat kembali. Para anti-Ahmadiyah sering menjadikan fatwa sebagai
dasar legitimasi untuk tindakan kekerasan dan intoleransi terhadap JAI. Fatwa
MUI merupakan salah satu pemicu tindak kekerasan dan intoleransi di
masyarakat.15 Ketika MUI mengeluarkan fatwa, persekuasi Ahmadiyah terjadi di
beberapa tempat, misalnya di Sulawesi Selatan (1981), Kalimantan Barat,
Surabaya, Parong, Bogor (1981), Riau, Palembang, Sumatera Barat, Timor Timur
dan Jakarta (1990). Persekuasi telah mengakibatkan bangunan penduduk, musala,
dan masjid milik JAI rusak.16
Demokratisasi pasca-Orde Baru tidak serta merta mengakhiri polemik
seputar Ahmadiyah. Hak dan kebebasan dalam politik hadir mengikuti gelombang
reformasi. Tetapi untuk jaminan kebebasan berkeyakinan dan beragama masih
menjadi perkara yang rumit bagi Indonesia, terutama pada masa Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sepanjang periode pemerintahan SBY, yaitu
tahun 2004 sampai 2013, persekusi terhadap JAI terjadi di hampir semua provinsi
Indonesia. Persekusi bisa berlangsung satu hingga dua kali, tiga sampai lima kali,
dan lebih dari enam kali dalam setahun (lihat gambar I.A.1).
Sejak 2005, sumber utama mobilisasi kekerasan Islamis terhadap
Ahmadiyah maupun terhadap kelompok lain adalah koalisi vigilante-vigilante
15
Luthfi Assyaukani, “Fatwa and Violence in Indonesia,” Journal of Religion and Society
11 (2009).
16
8
radikal yang bertindak tanpa peduli hukum.17 Maraknya persekusi terhadap
Ahmadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dalam menangani
konflik Ahmadiyah. Pemerintah SBY lebih banyak mendengar kata MUI
dibanding konstitusi. Akibatnya, MUI semakin percaya diri dalam melarang
[image:19.595.123.489.368.656.2]keberadaan JAI.
Gambar I.A.1 Persebaran Anti-Ahmadiyah di Indonesia (2004-2013)
Sumber: Human Rights Working Group (HRWG)
17
9
Pada 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa JAI bukan
bagian dari Islam dan pengikutnya dianggap murtad. Pada tahun yang sama, MUI
juga ikut merumuskan rekomendasi kepada presiden untuk melarang JAI.
Akhirnya, pada 9 Juni 2008, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) Tiga Menteri yang berisi pembekuan aktivitas JAI.18 Kemunculan SKB
[image:20.595.110.514.273.552.2]Tiga Menteri tidak serta merta menghentikan kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Tabel I.A.1 menunjukan kekerasan anti-Ahmadiyah yang terjadi sepanjang
2008-2011.
Tabel I.A.1. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Indonesia (2008-2011)19
Sumber Laporan Tahun Jumlah Kasus
CRCS
2008 10
2011 20
Setara Institute
2008 193
2009 33
2010 50
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
Persekusi yang paling tragis terhadap JAI dan menyedot banyak perhatian
dari media nasional dan Internasional adalah peristiwa yang terjadi di Cikeusik,
Pandeglang pada 6 Februari 2011. Peristiwa Cikeusik melibatkan massa dalam
18
International Crisis Group (ICG), Indonesia: Implikasi SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Ahmadiyah (Jakarta: ICG, 7 Juli 2008), 1-2.
19
Untuk laporan CRCS lihat, Tim Center Religious and Cross-cultural Studies (CRCS),
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011 (Jogjakarta: CRCS, Januari 2012), 34-35. Lihat juga, Tim Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2008 (Jogjakarta: CRCS, Desember 2008), 12. Untuk laporan
10
jumlah ribuan. Akibatnya, tiga Jema’at Ahmadiyah dibunuh secara sadis, lima
anggota lainnya mengalami luka berat, perusakan rumah dan pembakaran
kendaraan milik JAI.20 Selain itu, buntut dari peristiwa ini adalah pemerintahan
daerah di Banten dan tempat lain mengeluarkan peraturan daerah berisi
pelarangan terhadap JAI.21
Peristiwa Cikeusik merupakan peristiwa pertama dalam sejarah konflik
sektarian di Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya nyawa dan melibatkan massa
dalam jumlah ribuan untuk menyerang JAI. Oleh karena itu, penulis menyadari
bahwa penting untuk meneliti secara mendalam tentang proses mobilisasi
anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten dengan menggunakan teori
mobilisasi. Selanjutnya penelitian ini akan diberi judul: Kekerasan
Anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang: Pendekatan Mobilisasi.
B. Pertanyaan Penelitian
Fokus utama penelitian ini adalah proses mobilisasi anti-Ahmadiyah
sebelum kekerasan terjadi pada 6 Februari 2011. Ada beberapa pertanyaan utama
yang akan dijawab dalam penelitian ini:
1. Bagaimana proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah Cikeusik,
Pandeglang berlangsung?
20
Tim Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), NEGARA TAK KUNJUNG TERUSIK: Laporan Hak Asasi Manusia Peristiwa penyerangan Jamaah Ahmadiyah Cikeusik 6 Februari 2011 (Jakarta: KONTRAS, 2011). 16.
21
11
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mobilisasi kekerasan
anti-Ahmadiyah bisa memperoleh dukungan dan melibatkan ribuan massa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian tentang konflik dan kekerasan terhadap masyarakat secara umum
dan JAI secara khusus, dengan menggunakan pendekatan mobilisasi masih sangat
jarang. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini:
1. Untuk menggambarkan secara mendalam proses mobilisasi kekerasan
terhadap Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
2. Menjelaskan bagaimana mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah
memperoleh dukungan dan melibatkan masyarakat.
3. Menemukan faktor-faktor utama yang memengaruhi mobilisasi
kekerasan anti-Ahmadiyah bisa terjadi.
Ada dua manfaat utama dalam melakukan penelitian ini. Pertama,
manfaat teoritis. Meskipun objek penelitian ini sangat terbatas yaitu hanya satu
kasus, penulis percaya bahwa hasilnya bisa memperkaya khasanah ilmu politik
khususnya bidang sosiologi politik.
Penelitian ini juga bisa dijadikan titik awal untuk melangkah lebih jauh
dalam menjelaskan kasus kekerasan anti-Ahmadiyah secara umum dengan
memperluas penelitian secara komparatif. Melalui penelitian ini, penulis mencoba
menguji teori mobilisasi, sejauh mana validitas teori ini bisa diterapkan kepada
12
Kedua, manfaat praktis. Dengan melakukan penelitian ini, penulis berharap
bisa memberikan informasi kepada siapa saja yang ingin mengetahui proses
mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten. Selain itu,
penulis percaya bahwa hasil penelitian ini memiliki kontribusi konstruktif bagi
pemerintah pusat dan daerah dalam menangani konflik seputar Ahmadiyah di
Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Usaha teoritis untuk menjelaskan peritiwa Cikeusik dengan menggunakan
pendekatan mobilisasi belum pernah dilakukan. Kebanyakan dalam bentuk
pelaporan peristiwa. Laporan KONTRAS, Setara Institute, dan CRCS lebih
banyak mengulas kronologi kejadian.22
Selain mengulas kronologi kejadian, laporan-laporan itu lebih menyorot
peran negara dalam menjaga kebebasan beragama. Laporan-laporan itu
menemukan bahwa negara telah gagal melindungi hak dan kekebasan beragama
bagi JAI di Cikeusik Pandeglang Banten.
Proses mobilisasi yang terkait bagaimana para pelaku berinteraksi satu sama
lain, dan bagaimana mereka mampu memanfaatkan peluang dan sumberdaya yang
ada, tidak diulas secara mendalam di laporan-laporan itu. Faktor-faktor yang
memungkinkan mobilisasi kekerasan terjadi tidak dipaparkan secara jelas.
22
13
Wawan H Purwanto mengulas peristiwa Cikeusik pada aspek sesudah
peristiwa dan implikasinya terhadap ketahanan nasional dan hubungan luar negeri
Indonesia. Temuan utamanya adalah bahwa peristiwa Cikeusik bisa mengganggu
stabilitas ketahanan nasional dan hubungan luar negeri Indonesia. Sebab
Indonesia dipandang sebagai negara demokratis yang berpenduduk mayoritas
muslim dan sebagai negara yang menjalin hubungan ekonomi dan perjanjian
tentang perlindungan Hak Asasi Manusi di kancah Internasional.23 Studi ini tidak
mengulas banyak soal proses mobilisasi anti-Ahmadiyah di Cikesuik Pandeglang
Banten.
Skripsi Mawahibur Rahman dalam “Kronologi Tragedi Ciekeusik Februari
2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut
Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik),” mengulas secara detail tentang
kronologi kejadian. Dengan menggunakan hasil wawancara dari para Ahmadi
yang ada di tempat kejadian, dia menyimpulkan bahwa peristiwa Cikeusik adalah
bagian konspirasi pemerintah untuk melumpuhkan JAI.24 Tulisan Mawahibur
tidak mengulas bagaimana para anti-Ahmadiyah merekrut dan mengumpulkan
massa untuk membubarkan Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
Dari karya-karya tentang kekerasan anti-Ahmadiyah di atas, perhatian
terhadap mobilisasi anti-Ahmadiyah belum mendapatkan perhatian yang
memadai. Penelitian ini ingin mengisi kekosongan itu dengan memusatkan pada
aspek mobilisasi para anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten.
23
Wawan H Purwanto, Tragedi Cikeusik: Pembelajaran dari Kasus Ahmadiyah (Jakarta: CMB Press, 2011).
24
14
E. Metode Penelitian
Ada beberapa cara dalam melakukan riset ilmu sosial, diantaranya adalah
studi kasus, eksperimen, survey, telaah sejarah, dan analisis terhadap
dokumen-dokumen yang berisi informasi-informasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan, bergantung pada tiga kondisi: (a) bentuk pertanyaan riset, (b) luas
kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa yang akan diteliti, (c) kadar fokusnya
terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari cerita historis.25 Terkait
hal itu, penulis menggunakan metode studi kasus untuk menemukan penjelasan
empiris secara mendalam tentang mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang.
Studi kasus merupakan strategi riset yang bersandarkan pada investigasi
empiris secara mendalam terhadap satu atau sejumlah kecil fenomena untuk
mengeksplorasi konfigurasi dari tiap kasus. Selain itu, studi kasus juga digunakan
untuk menjelaskan ciri-ciri dari sebuah sekumpulan fenomena yang sangat besar
atau sama melalui pengembangan dan evaluasi penjelasan teoritis.26Metode studi
kasus memungkinkan peneliti untuk menangkap ciri peristiwa kehidupan nyata,
misalnya lingkaran kehidupan individu, proses menegerial dan organisasi,
perubahan tetangga, hubungan internasional, dan perkembangan industri, secara
holistik dan mendalam.27
25
Robert K Yin, Case study research: design and methodhs (United Kingdom: Sage Publications, 2003), 1.
26
Charles Ragin, Fuzzy Set Social Science (Chicago: University of Chicago Press, 2000), 68-87.
27
15
Berdasarkan bentuk dan tujuan penelitian studi kasus, riset dengan
menggunakan bentuk ini bisa dibedakan menjadi empat jenis: (a) deskriptif, (b)
interpretatif, (c) pengujian hipotesis, (d) evaluasi teori.28 Penulis akan
menggunakan jenis studi kasus yang bersifat deskriptif dan interpretatif. Dengan
deskriptif, penulis mencoba menggambarkan kasus yang diteliti secara sistematis.
Melalui interpretatif, penulis menggunakan kerangka teori mobilisasi untuk
menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik Banten.
Untuk mencapai tujuan penelitian, deskriptif-interpretatif, penulis akan
menggunakan dua teknik pengumpulan data. Pertama, riset kepustakaan yang
meliputi penelusuran kumpulan dokumen hasil laporan kepolisian dan
persidangan kasus penyerangan Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang,
peraturan daerah, buku-buku, dokumen/arsip resmi pihak-pihak yang terlibat
konflik Jemaat Ahmadiyah, kliping koran, jurnal, majalah, dan berbagai sumber
lainya yang relevan dengan masalah penelitian.
Kedua, wawancara secara mendalam dengan informan terpilih sesuai
pedoman wawancara. Pertanyaan terbuka dan tidak berstruktur akan digunakan
dalam penelitian ini. Dalam pemilihan informan, peneliti berupaya secara selektif
dan teliti.29 Langkah ini digunakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi
28
Pascal Venesson, “Case studies and process tracing: theories and practices”, dalam
Approaches and Methodologies in the Social Sciences: A Pluralist Perspective, disunting oleh Donatella Della Porta dan Michael Keating (New York: Cambridge University Press, 2008), 227-228.
29
Ada empat kriteria utama dalam pemilihan informan: (a) Informan harus dekat dengan budaya dan kedudukannya sangat signifikan dengan peristiwa yang diteliti, (b) Individu-individu yang terlibat dalam peristiwa yang diteliti, (c) Orang yang memiliki waktu dengan peneliti, (d) Individu yang memiliki informasi banyak tentang objek yang diteliti. Lihat W. Laurance Neuman,
16
yang lengkap dan akurat sehingga dapat menggambarkan dan menjelaskan kasus
penelitian secara sistematis.
Informan yang dinilai representatif dan memahami masalah yang
berhubungan langsung dengan kekerasan anti-Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang akan digunakan sebagai sampel penelitian. Penulis akan membagi
informan ke dalam empat kelompok. Pertama, warga non-Ahmadiyah di sekitar
tempat kejadian atau warga sekitar. Kelompok ini dibagi menjadi dua yaitu saksi
dan warga non-Ahmadiyah yang terlibat dalam mobilisasi anti-Ahmadiyah.
Kedua, pengurus atau korban selamat dari Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik
Banten.
Ketiga, salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari Kabupaten
Pandeglang sampai Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten. Keempat, salah satu
pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai kelurahan yang menangani
konflik Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab I membahas pernyataan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
literatur, dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Seluruh
kerangka teori, konsep-konsep dan definisi operasional yang digunakan dalam
penelitian ini akan dibahas dalam Bab II.
Pembahasan selanjutnya, Bab III, penulis akan fokus pada dinamika konflik
17
dinamika konflik, penulis akan mengenalkan profil demografi Pandeglang dan
Cikeusik. Selanjutnya, pembahasan sejarah Jema’at Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang.
Proses mobilisasi kekerasan anti-Ahmadiyah akan dibahas dan dianalisis
dalam bab IV. Bab ini merupakan inti dari persoalan yang diangkat dalam
penelitian. Dengan teori mobilisasi, penulis akan menggambarkan dan
menjelaskan proses bagaimana kekerasan anti-Ahmadiyah berlangsung dan
faktor-faktor apa saja yang memungkinkan mobilisasi anti-Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang bisa terjadi. Temuan-temuan utama dari bab IV juga akan
18
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kekerasan
Para sarjana ilmu sosial mendefiniskan kekerasan secara berbeda-beda
bahkan saling bersaing. Dari definisi yang berbeda-beda itu, setidaknya bisa
dikategorikan menjadi tiga definisi. Pertama, secara sempit, kekerasan bisa
diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik yang dilarang oleh aturan normatif
yang sah. Kedua, secara intermediate, kekerasan merupakan penggunaan kekuatan
fisik apa pun. Ketiga, secara luas, kekerasan berarti semua perampasan
(pencabutan) hak asasi manusia.1
Dari tiga definis itu, kekerasan nampak berhubungan dengan penggunaan
kekuatan fisik. Mary Jackman memberikan penambahan cakupan dari kekerasan.
Menurut dia, kekerasan bisa diartikan sebagai tindakan yang mengakibatkan
orang terluka. Tindakan kekerasan bisa berbentuk verbal, tertulis, atau serangan
fisik dan jenis lukanya bisa berbentuk kerugian material dan sosial, tekanan
psikologis, atau kerusakan fisik.2 Penulis akan menggunakan definisi ini dalam
menjelaskan kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang.
Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang bisa dikategorikan
sebagai bentuk kekerasan kolektif. Disebut kolektif karena melibatkan banyak
orang. Kekerasan kolektif merupakan penggunaan kekuatan oleh, setidaknya, dua
1
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution (New York: Random House, 1978), 174.
2
19
warga sipil (non-state actor) untuk menyerang orang atau harta benda yang
tujuannya untuk menciptakan klaim sosial atau politik.3
Kekerasan anti-Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang juga dikategorikan
sebagai bentuk gerakan sosial. Michael Usseem mengartikan gerakan sosial
sebagai tindakan kolektif terorganisir yang dimaksudkan untuk mengadakan
perubahan sosial. Sedangkan Charles Tilly mendefinisikan gerakan sosial sebagai
upaya-upaya mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung
perseteruan dan berkelanjutan di antara warga negara dan negara.4
Berbeda dengan dua definisi itu, McCarthy dan Zald menerjemahkan
gerakan sosial sebagai upaya terorganisir yang mencerminkan preferensi
kelompok masyarakat untuk mengadakan perubahan di dalam elemen struktur
masyarakat yang bernilai secara sosial.5 Della Porta dan Mario Diani melangkah
lebih jauh dengan mengatakan bahwa gerakan sosial adalah bentuk aktivisme
yang khas dalam masyarakat sipil. Bentuk aktivisme yang khas mereka artikan
sebagai aksi kolektif yang mencerminkan dimensi konfliktual terhadap lawan
sosial dan politik tertentu, terjadi dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang
3
Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 21.
4
Fauzi, Ihsan Ali, “Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya „Orang Luar’ dan „Orang
Dalam,’ dalam Gerakan Sosial Islam: Teori Pendekatan, dan Studi Kasus (terj), disunting oleh Quintan Wictorowicz (Yogyakarta: Gading Publishing dan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012), 11.
5
20
mana aktor-aktor yang terlibat diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif
yang kuat melebihi ikatan koalisi dan kampanye bersama.6
Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan untuk menjelaskan
kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia: penjelasan berdasarkan motif dan
kesempatan. Penjelasan yang berorientasi pada motif melihat kekerasan sebagai
(a) usaha untuk mempromosikan atau mempertahankan gagasan, tradisi dan nilai
kelompoknya; (b) untuk memperoleh keuntungan material; (c) ekspresi dari
kekecewaan atau kemarahan.7
Penjelasan yang berdasarkan kesempatan mengatakan bahwa motif
merupakan faktor penting dalam kekerasan tetapi kekerasan tidak bisa terjadi jika
tidak ada kondisi struktural yang memfasilitasinya. Kondisi struktural itu bisa
berbentuk demokratisasi atau desentralisasi pemerintahan, misalnya.8
Belakangan, penjelasan kekerasan di Indonesia mulai menggunakan teori
yang dikembangkan oleh teoritisi gerakan sosial.9 Penulis akan menggunakan
pendekatan mobilisasi yang dikembangkan oleh salah satu teoritisi gerakan sosial
yaitu Bert Klandersmans.
B. Mobilisasi
6
Donatella Della Porta and Mario Diani, Social Movements and Introduction, edisi kedua (USA:Blackwell Publishing, 2006), 33-62.
7
Contoh studi kekerasan yang berorientasi pada motif adalah Horowitz. Lihat, Donald Horowitz, The Deadly Ethnic Rio, (Los Angelos: University of California Press, 2001).
8
Contoh pendekatan kesempatan ada pada studi Bertrand. Lihat, Jacques Bertrand,
Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 2004).
9
21
Secara konvensional, mobilisasi diartikan sebagai proses yang
memungkinkan sebuah individu atau kelompok untuk terlibat di dalam kehidupan
publik.10 Teoritisi konflik dan gerakan sosial, Anthony Oberschall, mengartikan
mobilisasi sebagai proses pengumpulan sumberdaya seperti keanggotaan individu
dalam kelompok untuk bersatu dan berkomitmen supaya memperoleh tujuan
bersama, mempertahankan kepentingan kelompok, dan menantang keberadaan
struktur dominasi.11
Mobilisasi juga bisa diartikan sebagai proses pembentukan struktur gerakan,
baik untuk menyiapkan maupun melakukan tindakan protes yang ditujukan
kepada aktor atau publik di luar gerakan. Mobilisasi membutuhkan sumberdaya
seperti individu, uang, pengetahuan, wacana, dan sarana-sarana teknis lainnya
untuk memproses dan mendistribusikan informasi dan memengaruhi individu.12
Mobilisasi terdiri dari dua jenis: mobilisasi konsensus dan mobilisasi aksi.
Mobilisasi konsensus merupakan usaha pembangkitan dukungan sikap atau proses
yang harus dilalui sebuah organisasi gerakan sosial untuk mencoba mendapatkan
dukungan bagi pandangannya. Mobilisasi aksi merupakan usaha pembangkitkan
dukungan perilaku atau usaha untuk partisipasi individu.13
Mobilisasi konsensus menyiratkan usaha memperjuangkan pikiran orang,
sedangkan mobilisasi aksi berarti usaha memperjuangkan sumberdaya mereka
10
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 42.
11
Anthony Oberschall, “Theories of Social Conflict,” Annual Review of Sociology 4 (1978): 291-315.
12
Dieter Rucht, The Organizational Structure of New Social Movements in a Political Context, dalam Doug McAdam, John D. McCarthy, dan Mayer N. Zald, Comparative Perspectives on Social Movements (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 153.
13
22
seperti uang, waktu, keterampilan, kepakaran mereka. Hal itu berkaitan dengan
peralihan dari sebagai simpatisan menjadi partisipan aktif. Mobilisasi konsensus
yang sukses akan menumbuhkan sejumlah pendukung potensial, orang-orang
yang bersimpati kepada gerakan, yang bersedia mendukung dengan cara tertentu
dan tidak harus berarti siap untuk berpartisipasi di dalam segala bentuk aksi
kolektif. Mobilisasi aksi yang sukses mampu mengubah sebagian besar simpatisan
menjadi partisipan dalam kegiatan gerakan-gerakan tertentu.14
Ada empat langkah menuju mobilisasi. Dari sudut pandang organisatoris,
empat langkah menuju mobilisasi dukungan terhadap gerakan adalah menciptakan
potensi mobilisasi, membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan,
menstimulasi motivasi berpartisipasi dan menyingkirkan penghalang partisipasi.15
Dari sudut pandang individu, ikut berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial
melibatkan empat langkah yang saling berhubungan, yaitu orang pertama-tama
menjadi bagian dari potensi mobilisasi, kemudian menjadi target mobilisasi;
berikutnya, dia menjadi termotivasi untuk berpartisipasi, dan, pada langkah
terakhir, menyingkirkan penghalang berpartisipasi.16
Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan
simpati dari beberapa segmen populasi. Istilah potensi mobilisasi merujuk pada
para anggota masyarakat, yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu
cara tertentu oleh gerakan sosial. Termasuk di dalamnya adalah semua orang yang
mempunyai sikap positif terhadap gerakan; tidak terbatas pada
14
Bert Klandermans, The Social Psychology of Protest (USA: Blackwell Publishers, 1997), 7.
15
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 23.
16
23
kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan
orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun
dapat bersimpati kepada organisasi tersebut sehingga bisa menjadi calon potensial
[image:34.595.113.504.266.615.2]untuk dimobilisasi.17
Gambar II.B.1 Langkah-langkah menuju partisipasi
Potensi mobilisasi gerakan juga menetapkan sampai sebatas mana
kampanye mobilisasi dapat berhasil. Hanya orang-orang yang telah
mengembangkan kerangka aksi kolektif vis a vis penyebab gerakan yang
17
24
membentuk potensi mobilisasi. Seseorang yang belum mengembangkan kerangka
semacam itu tidak akan merasa perlu untuk berpartisipasi dalam gerakan,
meskipun kesediannya sangat diharapkan.18 Kerangka aksi kolektif merupakan
seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta
bahwa partisipasi di dalam aksi kolektif tampak berarti.19
Seberapa pun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut
kurang memiliki jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan mampu
mengaktifkan potensinya.20 Jaringan-jaringan, biasanya terdiri dari orang-orang
yang homogen dan berpikiran sama, merupakan sumber utama para calon
perekrutan.21 Partisipasi seringkali bukan karena kekuatan gagasan atau bahkan
sikap individu, melainkan akibat keberakaran mereka dalam jaringan-jaringan.22
Individu-individu yang menduduki posisi di dalam jaringan perekrutan
adalah objek sekaligus subjek mobilisasi. Disebut objek karena mereka sendiri
perlu dimobilisasi agar mau ikut bekerja di dalam kampanye mobilisai. Disebut
subjek karena setelah termobilisasi mereka akan menjadi aktif memobilisasi orang
lain.23
18
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 24.
19
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 17
20
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 24.
21
Snow, Zurcher, dan Ekland-Olson, “Social Networks and Social Movements: A
Microstructural Approach to Differential Recruitment.” American Sociological Review 45 (1980): 791.
22McAdam, “Culture and Social Movements,” Dalam Enriquez Larafta, Hank Johnston,
dan Joseph Gusfield (ed.), New Social Movements: From Ideology to Identity (Philadelphia: Temple University Press, 1994), 36-37
23
25
Untuk menstimulasi motivasi berpartisipasi, suatu gerakan harus
memengaruhi terhadap kerugian dan keuntungan partisipasi yang dirasakan.
Motivasi menunjukan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi kesedian saja tidak
mencukupi untuk berpartisipasi. Kesedian itu hanya akan berubah menjadi
partisipasi sejauh niat itu dapat dilaksanakan. Organisasi gerakan sosial di tahap
akhir harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a)
mempertahankan atau menguatkan motivasi dan (b) menyingkirkan penghalang.24
Kesediaan untuk berpartisipasi di dalam aksi kolektif merupakan fungsi dari
dua macam insentif, yaitu insentif kolektif dan selektif. Insentif kolektif
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kolektif. Semua insentif kolektif bersifat
inklusif, yakni, begitu tujuan yang dimaksud terealisasi, maka setiap orang
mendapatkan keuntungan, termasuk orang-orang yang tidak pernah memberikan
kontribusi terhadap terealisasinya tujuan itu. Sebaliknya, insentif selektif hanya
memengaruhi orang-orang yang berpartisipasi dalam suatu aksi kolektif.25
Insentif selektif terbagi menjadi dua kategori, sosial atau non-sosial. Insentif
sosial melibatkan reaksi orang lain yang signifikan, misalnya pasangan hidup
teman, atau kolega, terhadap partisipasi individu yang bersangkutan; sedangkan
insentif non-sosial menyangkut hal-hal, seperti jumlah uang dan waktu yang
dihabiskan oleh yang bersangkutan, bagaimana partisipasinya akan memengaruhi
pekerjaannya, dan resiko fisik yang mungkin diterimanya (misalnya dipukuli).26
24
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 25.
25
Klandermans, The Social Psychology of Protest, 26-27.
26
26
Gambar II.B.2 Motivasi untuk berpartisipasi
Menilai tujuan aksi
Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai*
Keuntungan Kolektif
Insentif-insentif selektif: sosial dan non sosial
Partisipasi
* Harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai: - harapan tentang perilaku orang lain
- harapan bahwa tujuan aksi akan tercapai bila banyak orang ikut berpartisipasi
27
BAB III
DINAMIKA KONFLIK ANTI AHMADIYAH
Pandeglang, kabupaten yang dikenal dengan “Seribu Kiyai dan Sejuta
Santri,” mendadak ramai dibicarakan, baik oleh media lokal, nasional, maupun
internasional. Sebab, di salah satu desa Kecamatan Cikeusik Pandeglang Banten
yang letaknya sangat jauh dari keramaian kota, terjadi kekerasan sektarian yang
melibatkan puluhan warga Ahmadiyah dan ribuan non-Ahmadiyah.
Bagi sebagaian orang, persekusi anti-Ahmadiyah mungkin hal yang biasa
terjadi karena, seperti digambarkan dalam bab satu, terjadi di hampir semua
provinsi Indonesia. Tetapi konflik anti Ahmadiyah di Cikeusik adalah konflik
yang sangat berbeda dengan tempat lain. Berbeda dalam artian melibatkan banyak
orang dan mengakibatkan nyawa orang melayang.
Dalam sejarah konflik sektarian di Indonesia, peristiwa Cikeusik adalah
yang pertama kali konflik sektarian menimbulkan kematian. Bagaimana dan
mengapa konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan hingga
menimbulkan kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan mengulas
dinamika konflik sebelum kekerasan terjadi. Tujuannya untuk menggambarkan
konflik anti-Ahmadiyah bereskalasi menjadi kekerasan. Sebagian dari bab ini dan
selanjutnya bab empat akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dan terkait
28
memaparkan demografi Kabupaten pandeglang dan kemunculan Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang.
A. Demografi Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang terletak di sebelah barat daya Provinsi Banten.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara, Kabupaten
Lebak di sebelah Timur, Samudera Hindia di sebelah Selatan, dan Selat Sunda di
sebelah Barat. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang adalah 274.689,91 Ha atau
2.747 Km2 dan terbagi ke dalam 35 kecamatan, 322 desa dan 13 kelurahan.1
Pada tahun 2010 jumlah penduduk Kabupaten Pandeglang berdasarkan
sensus penduduk pada Mei 2010 adalah 1.149.610 orang.Dilihat dari segi agama,
jumlah penduduk yang memeluk agama Islam sebanyak 1.154.375, Protestan
2.344, Katolik 258, Budha 2.353, dan Hindu 1.552 warga. Dari data tersebut, jelas
bahwa kaum Muslim mendominasi Pandeglang. Hal ini juga tampak dari jumlah
rumah ibadah yang ada di sana, yang terdiri dari: masjid, 1.730; musala/langgar,
2.246; tiga gereja Protestan; dan satu vihara.2
Berdasarkan data BPS Kabupaten Pandeglang, jumlah penduduk 15 tahun
ke atas yang bekerja berjumlah 384.657 jiwa. Lapangan pekerjaan utama
penduduk adalah pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan;
1
Kabupaten Pandeglang, Gambaran Umum, tersedia di http://www.pandeglangkab.go.id/profil.php?prof=NA==: Internet; diakses pada 5 April 2013.
2
29
industri; perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; dan jasa
kemasyarakatan, sosial dan perorangan.3
Tidak ada data pasti mengenai berapa jumlah penganut Ahmadiyah di
Kabupaten Pandeglang. Tetapi ada dua kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang
sering dikaitkan dengan JAI, yaitu Kecamatan Cisata dan Cikeusik. Sampai saat
ini kurang lebih ada empat kepala keluarga yang menganut Ahmadiyah di Cisata.
Sedangkan di Cikeusik, Jamaah Ahmadiyah ada dua puluh lima anggota dan
semuanya sudah pindah akibat insiden kekerasan pada 6 Februari 2011.4
Kecamatan Cikeusik berbatasan dengan Kabupaten Lebak di bagian Timur,
Kecamatan Angsana dan Munjul di bagian Utara, dan Kecamatan Cibaliung dan
Cibatu di bagian Barat. Di bagian Selatan, Kecamatan Cikeusik berbatasan
dengan laut Jawa. Kecamatan Cikeusik terdiri dari empat belas desa. Salah
satunya adalah Desa Umbulan, lokasi kekerasan anti-Ahmadiyah.5
Hampir mayoritas penduduk di Kecamatan Cikeusik berprofesi sebagai
petani. Sekitar tahun 1950an banyak penduduk dari Cirebon Jawa Barat
menempati wilayah Kecamatan Cikeusik. Perpindahan ini mengakibatkan
penduduk Cikeusik, saat ini merupakan percampuran antara penduduk lokal
(sunda Banten) dan Cirebon. Dari segi keagamaan, mayoritas penduduk memeluk
agama Islam. Hampir di setiap desa yang ada di Kecamatan Cikeusik memiliki
3
Kabupaten Pandeglang. Gambaran Umum. 4
Wawancara dengan Yusuf Baihaki, Bendahara MUI Kabupaten Pandeglang dan anggota FKUB Pandeglang di Pandeglang, 11 Februari 2013.
5
30
pondok pesantren. Masing-masing desa kurang lebih memiliki sepuluh pondok
pesantren.6
Pondok pesentren yang ada di Cikeusik secara khusus dan Pandeglang
secara umum, memiliki jumlah santri, paling sedikit sekitar dua puluhan.
Hubungan satu pondok pesantren dengan pondok pesantren lainnya relatif
harmonis dan saling bekerja sama. Mereka saling mengundang untuk mengisi
acara keagamaan seperti Maulid Nabi Muhammad SAW. Hubungan tersebut
terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan antara satu kiai dengan kiai lain
yang sama-sama memiliki pondok pesantren tetapi beda wilayah. Selain itu,
karena adanya hubungan guru-murid, misalnya pengasuh pondok pesantren A
pernah mengaji di pondok pesantren B.7
Kedudukan kiai di Pandeglang secara umum dan Cikeusik secara khusus,
sangat dihormati masyarakat. Kiai dianggap memiliki kekuatan supranatural yang
bisa memberikan ilmu kekebalan dan kelancaran dalam urusan perdagangan. Oleh
karena itu, kegiatan pengajian-pengajian mingguan di Pandeglang selalu ramai.
Tujuan mengikuti pengajian tidak hanya untuk belajar agama, tetapi sekaligus
mencari barokah dari kiai.8
Kelas sosial lain yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Pandeglang adalah jawara. Jawara ditakuti oleh masyarakat umum karena
dianggap memiliki ilmu kebal. Meski demikian, kedudukan jawara berada di
6
Wawancara dengan Yayan Sofyan.
7
Wawancara dengan R, warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 28 Februari 2013.
8
31
bawah para kiai atau pemuka agama. Sebab, para jawara menimba ilmu agama
dan kekebalan ke kiai-kiai setempat. Para kiai dan jawara juga memiliki pengaruh
besar terhadap pemerintahan setempat. Pengaruh ini disebabkan karena para kiayi
dan jawara sering memobilisasi masyarakat untuk mendukung calon tertentu
dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun kepala desa (Pilkades).9
B. Sejarah Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang Banten
Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik tidak bisa dilepaskan dari JAI Cabang
Kabupaten Rangkasbitung Banten yang berdiri pada Juli 1958. Dari cabang ini
berdiri juga cabang-cabang lain seperti di Cilegon dan Serang. Basiumawajiaya
menjadi tokoh penting dalam pendirian cabang-cabang itu dan persebaran
Ahmadiyah di Banten.10
Sekitar tahun 1989, roda perjalanan dakwah Ahmadiyah di Banten dipegang
oleh Khairudin Barus. Dari Khaerudin Barus, dakwah di wilayah Banten semakin
sistematis. Melalui Komite Tabligh Banten (KTB), lembaga dakwah yang
diinisiasi oleh Khaerudin Barus, setiap cabang Ahmadiyah yang ada di Banten
memiliki wilayah pentablighan yang harus dikelola. Salah satu daerah yang
disasar KTB adalah Cikeusik yang merupakan binaan dari Jema’at Kebayoran.
Pada tahun 1990-an Khaerudin Barus beserta anggota Jemaat Kebayoran
melakukan kegiatan dakwah di Cikeusik.11
9
Wawancara dengan R.
10
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik Februari 2011: Sebelum dan Saat Kejadian (Menggali Kisah Sebenarnya Menurut Penuturan Para Korban Utama Tragedi Cikeusik) (Bogor: Jamiah Ahmadiyah Indonesia, 2013), 8-9.
11
32
Salah satu warga Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik menuturkan
pengalaman dia ketika diajak Khaerudin Barus untuk masuk ke Jamaah
Ahmadiyah:
“Sekitar tahun 1991, Khaerudin Barus mengajak saya dan warga lainnya untuk berkunjung ke Parung, Pusat Jamaah Ahmadiyah, dengan menggunakan bus. Salah satu rombongan itu adalah Matori, orang tua Suparman yang merupakan ketua Ahmadiyah Cikeusik. Sebagian warga yang ikut mungkin sudah tahu dan sebagian yang lain, termasuk saya, tidak tahu tujuan ke Parung untuk apa. Ketika sudah di Parung kami semua dikenalkan tentang ajaran Ahmadiyah. Sebagian warga yang ikut mungkin sudah tahu tentang Ahmadiyah dan sebagian yang lain belum tahu, termasuk saya. Saya sendiri mengenal Khaerudin Barus sebagai tukang tanah yang kaya, bukan sebagai pendakwah dari Ahmadiyah. Setelah dikenalkan tentang Ahmadiyah kita diajak masuk ke Ahmadiyah dengan cara baiat. Sebagian warga mau dibaiat dan masuk Ahmadiyah, sebagian yang lain
belum siap, termasuk saya dan Matori.”12
Pada 1992, Suparman masuk menjadi jemaah. Awalnya, dia menentang.
Dia, yang nyantri di Madrasah Aliyah Mathlaul Anwar, sempat berdebat dengan
Khaerudin. Namun, belakangan, Suparman tertarik dengan Ahmadiyah dan
dibaiat sebagai anggota.Setelah masuk, dia memutuskan untuk belajar di Kampus
Mubarak, Bogor. Belakangan, dia dan Khaerudin menyebarkan Ahmadiyah di
Cikeusik.13
C. Dinamika Konflik
Kehadiran Ahmadiyah bukan tanpa penolakan dari para pemuka agama
setempat. Sekitar 1992, beberapa ulama dan aparat desa menuduh Suparman
menggangu keamanan dan melaporkannya ke Koramil (Komando Rayon Militer)
12
Wawancara dengan R.
13
33
Cikeusik. Akibatnya, Suparman diminta menghentikan aktivitas dakwah. Tapi
Suparman mengabaikan permintaan tersebut. Bahkan dia sempat beberapa kali
berdebat soal agama dengan Koramil Cikeusik.
Menurut satu versi, pada suatu malam, lima tentara Koramil mendatangi
rumah Suparman. Mereka memintanya menghentikan dakwah. Karena
tetapmenolak, akhirnya pihak Koramilmemukuli Suparman di depan pos ronda
dekat jembatan Cibaliung. 14 Karena peristiwa ini, Khaerudin memutuskan untuk
menghentikan sementara kegiatan dakwah. Dia mengajak Suparman pindah ke
Jakarta dan menitipkannya ke Kampus Mubarok, Bogor. Pada 1994, dia
membawa Suparman berdakwah di Filipina.15 Sejak itu, sebagian warga Cikeusik
yang sudah masuk Ahmadiyah keluar dan sebagian yang lain tetap menjadi
anggota Ahmadiyah, tanpa mengajak orang lain.16
Pada 2005, Suparman kembali ke Indonesia, tapi tidak ke Cikeusik. Dari
2005 hingga 2009, dia aktif di Cabang Ahmadiyah Balikpapan, Jakarta Pusat.
Meski aktif di Jakarta, dia sering datang ke Cikeusik mengunjungi orangtuanya.
Baru belakangan, Agustus 2009, dia resmi diangkat sebagai mubalig untuk
wilayah Cikeusik dan sekitarnya.17 Menurut AS, Suparman mulai menempati
rumah di Penduey, Umbulan, Cikeusik, pada April 2010. Rumah itu digunakan
sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah atau sering disebut“rumah missi”.18
14
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 20-21.
15
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.
16
Wawancara dengan R.
17
Mawahibur Rahman, Kronologi Tragedi Cikeusik, 22.
18
34
Ketika Suparman mengaktifkan kembaliJAI di Cikeusik, penolakan pun
muncul. Penolakan mengencang ketika dia menempati rumah missi:
Aktivitas Suparman di rumah itu membuat ulama setempat marah. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, saya beberapa kali mendatangi rumah Suparman dan memintanya untuk melakukan ibadah bersama dengan warga lainnya. Saya sering mengingatkan Suparman agar jangan melakukan salat Jumat di tempat itu. Kalau di luar salat Jumat, silahkan saja. Ketika saya berkata seperti itu, yang ada hanya berdebat. Suparman jago berdebat soal agama.19
Para ulama semakin marah ketika beredar isu bahwa Suparman akan
membangun tempat kegiatan Ahmadiyahterbesar di Indonesia. Suparman juga
diduga mengajak warga untuk masuk ke Ahmadiyah dengan imbalan materi. Ini
menguatirkan para ulama, karena sebagian warga Cikeusik tergolong miskin.20
Terkait ini, salah satu anggota Ahmadiyah Cikeusik menolaknya sebagai tidak
benar. Dia juga membantah isu bahwa AhmadiyahCikeusik tertutup.Menurutnya,
mereka bergaul dengan warga setempat,ikut terlibat dalam kegiatan masyarakat
seperti kerja bakti.21
Usaha menyelesaikan konflik Ahmadiyah Cikeusik dilakukan oleh kepala
desa setempat. Tetapi, alih-alih memfasilitasi secara netral antara pihak
Ahmadiyah dan anti-Ahmadiyah, kepala desa justru memperkeruh konflik.
Sebab,dia meminta Suparman untuk membubarkan Ahmadiyah dan ikut
memprovokasi warga untuk tujuan yang sama.
19
Wawancara dengan A, Sekretaris DesaUmbulan di Umbulan, 14 Februari 2013.
20
Wawancara dengan R.
21
35
Pada Agustus 2010, Suparman dipanggil secara pribadi oleh Kades
Umbulan. Suparman datang ditemani Atep Suratep. Pertemuan berlangsung
selama satu jam, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Dalam pertemuan tersebut,
Suparman menjelaskan, dia mubalig Ahmadiyah dan Atep Suratep sekretarisnya.
Kades sempat meminta Suparman untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi saran itu
ditolak.22
Merasa secara personal gagal menekan Suparman, Kades akhirnya
melibatkan unsur pemerintahan setempat untuk membubarkan Ahmadiyah. Upaya
ini dimulai pada September 2010, ketika Kades memanggil Suparman secara
resmi ke kantor desa. Pertemuan dihadiri Suparman, Kades dan beberapa pejabat
Desa Cikeusik. Kades kembali menyarankan agar Suparman keluar dari
Ahmadiyah. Namun Suparman tetap menolak.
Pada bulan yang sama, pihak kelurahan melaporkan persoalan ini
kekecamatan Cikeusik. Pihak kecamatan menindaklanjutinya dengan memanggil
Suparman dan Atep ke kantor kecamatan.23 Beberapa kali Suparman bertemu
dengan pihak kecamatan. Inti pertemuan itu adalah meminta Suparman keluar dari
Ahmadiyah. Suparman pun kembali menolak permintaan itu.
Menurut Sekdes, alasan Suparman menolak permintaan itu adalah karena
JAI diakui secara sah oleh pemerintah atau memiliki badan hukum. Bahkan
Suparman pernah menunjukan bukti itu di forum pertemuan. Suparman juga
22
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 22 Februari 2011), 6.
23
36
percaya bahwa Ahmadiyah tidak “sesat” dan “menyesatkan” seperti tuduhan MUI
dan ulama setempat. Suparman sering berdebat dengan MUI dan ulama setempat
untuk membuktikan bahwa Ahmadiyah adalah bagian Islam dan tidak sesat.24
Sekitar Oktober 2010, pihak kecamatan memutuskan untuk menghubungi
Bakorpakem (Badan Kordinasi Pengawas Aliran dan Kepercayaan Masyarakat)
Pandeglang. Selanjutnya, pihak Bakorpakem melakukan pertemuan di kantor
kecamatan Cikeusik dengan Suparman. Pertemuan juga dihadiri Kades, sekretaris
kecamatan, MUI Pandeglang dan Cikeusik, dan para ulama di wilayah Cikeusik.
Seperti pertemuan sebelumnya, Suparman diminta keluar dari Ahmadiyah, dan
Suparman tetap menolak.25
Upaya menekan JAI Cikeusik juga dilakukan unsur-unsur lain. Di Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya, Pandeglang, sejumlah
mahasiswa yang berasal dari Cikeusik melakukan aksi menuntut agar Atep
Suratep, yang kebetulan anggota civitas akademika, dikeluarkan dari kampus. Jika
tuntutan ini tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan keluar.26
Sekitar November 2010, Kiai Muhamad beserta 15 rekannya melakukan
demonstrasi anti-Ahmadiyah atas nama Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) di
Mapolsek Cikeusik. Usaha ini berawal dari usulan Majelis Ta’lim Kampung
24
Wawancara dengan A.
25
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Johar, 6.
26
37
Cikareo, Desa Cikawaris.27 Bahkan pada bulan itu, ada selebaran dari GMC yang
berisi tuduhan “kesesatan” Ahmadiyah.
Pertemuan antara Suparman dan pihak anti-Ahmadiyah kembali diadakan
pada 18 November 2011. Karena situasi Cikeusik tidak kondusif, pertemuan
dilakukan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang. Suparman, Atep dan
beberapa anggota Ahmadiyah lainnya (Deden Sudjana, Hasan Basri, Dade
Sulaiman dan sebagainya) datang ke kantor kejari, namun hanya Suparman dan
Atep yang diperbolehkan masuk ke ruangan pertemuan. Dalam pertemuan
tersebut, Suparman diminta menandatangani surat pernyataan berisi: (a)
menghentikan segala aktifitas Jamaah Ahmadiyah Cikeusik; (b) berbaur dengan
masyarakat; (c) membubarkan diri. Suparman pun menolak tuntutan itu dan
membuat pernyataan sendiri yang berisi: (a) siap menaati SKB (Surat Keputusan
Bersama) Tiga Menteri tahun 2008; dan (b) siap berbaur dengan masyarakat
dalam bidang sosial. Pernyataan yang dibuat Suparman akhirnya disepakati dalam
pertemuan itu.28
Meskipun sudah dibuat keputusan, pihak-pihak yang menginginkan
Suparman keluar dari Ahmadiyah, seperti Kades Umbulan dan MUI Cikeusik,
tidak puas dengan hasiltersebut. Bagi mereka isi kesepakatan tetap saja
membolehkan keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik. Mereka ingin Ahmadiyah
27
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I, Saksi Hasanudin atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 1-5. Lihat juga Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Usep Sugandi atas Perkara Pidana Pengroyokan dan atau Penghasutan (Serang: Polda Banten, 11 Februari 2011), 1-4.
28
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Suparman atas Perkara Pidana Penghasutan
38
dibubarkan dan Suparman dan pengikutnya bertobat. Jika Suparman tetap tidak
mau bertobat, dia harus pergi dari Cikeusik.29 Akhirnya, mereka merencanakan
pembubaran Ahmadiyah tanpa melibatkan, secara resmi, unsur pemerintahan.
Pada 30 januari 2011, Kanit Polsek Cikeusik sudah mengetahui bahwa ada
rencana pembubaran Ahmadiyah Cikeusik. Dari informasi itu, dia membuat
laporan ke Polsek Cikeusik dan Polres Pandeglang.30 Pada 1 Januari 2011, Kanit
Reskrim Polsek Cikeusik, Hasanudin, juga memperoleh kabar bahwa pada 6
Februari 2011 akan diadakan pembubaran Ahmadiyah di Cikeusik.31 Kapolsek
Cikeusik juga mengetahui itu melalui informasi anggota pulbaket Polsek
Cikeusik. Pada 2 Januari 2011, Kapolsek mengumpulkan para kanit untuk
melakukan pendalaman dan memerintahkan Babinkantibmas menghimbau
masyarakat supaya tidak bertindak anarkis.32
Akhirnya pihak Ahmadiyah Cikeusik juga mengetahui rencana pembubaran
Ahmadiyah. Pada 2 Februari 2011, Atep Suratep mengetahui rencana pembubaran
itu dan melaporkan kepada polisi, TNI (Tentara Nasional Indonesia), dan Kesbang
setempat. Pada 4 Februari 2011, Atep juga memberitahu hal ini kepada Hasan
Basri (Mubalig Ahmadiyah wilayah Banten) dan Dade Sulaiman (Ketua
29
Wawancara dengan AM, Ketua MUI Kecamatan Cikeusik di Umbulan, 27 Februari 2013.
30
Wawancara dengan US, Kanit Intel Polsek Cikeusik di Cikeusik, 16 Februari 2013.
31
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Hasanudin (Serang: Polda Banten, 07 Februari 2011), 3.
32
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Saksi Mad Supur atas Perkara Pidana Penghasutan
39
Administrasi Jamaah Ahmadiyah Rangkas Bitung dan Cikeusik).33 Pada hari yang
sama, Atep Suratep juga memberitahu kepada Suparman.34
Pada 5 Februari 2011, Jam 03.00, Kapolsek dan Danramil Cikeusik
mendatangi rumah Suparman untuk memberikan surat panggilan ke Mapol