• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI DESA BATANG PANE II KECAMATAN PADANG BOLAK (1982-2000)

Skripsi Sarjana

Dikerjakan

O L E H

NAMA : SITI NIM : 070706002

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI DESA BATANG PANE II KECAMATAN PADANG BOLAK (1982-2000)

Yang diajukan oleh : Nama : Siti

Nim : 070706002

Telah di setujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing

Dra. Ratna, M.S. Tanggal: 6 Agustus 2011 NIP. 131 415 907

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal: 8 Agustus 2011 NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI DESA BATANG PANE II KECAMATAN PADANG BOLAK (1982-2000)

Skripsi Sarjana Yang diajukan oleh: NAMA : SITI NIM : 070706002

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing

Dra. Ratna, M.S. NIP. 131 415 907

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU BUDAYA

Ketua Departemen

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia UJian Di terima oleh

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Pada :

Hari :

Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 19511013197603100

Panitia Ujian

No Nama Tanda tangan

(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur panjatkan ke

hadirat Allah swt., karena atas karunia dan ridhanya penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang

Bolak (1982-2000)”. Selanjutnya salawat dan salam penulis sampaikan kejunjungan nabi

besar Muhamad saw., sebagai mahkluk pilihan Allah untuk membawa umat manusia ke

kebahagiaan yang kekal, dunia dan akhirat sesuai ajaran yang benar yaitu kitab suci

Al-quran.

Penulis memberanikan diri untuk mengerjakan skripsi ini adalah dengan suatu

landasan tinjauan historis. Penulisan karya sejarah akhir-akhir ini semakin membawa variasi

yang beragam yang tidak hanya memfokuskan diri terhadap sejarah politik, ekonomi, dan

sosial budayanya. Untuk itulah, maka penulis berkeinginan untuk menulis skripsi yang

membahas peran serta masyarakat petani di dalam peristiwa sejarah.

Hasil penelitian ini adalah membahas masalah peralihan tanaman subsisten ke

komoditi ekspor. Sebelum terjadi peralihan tanaman, masyarakat Batang Pane II secara

mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil produksi pangan (padi dan palawija), tetapi

dalam perkembangan zaman hasil produksinya tidak mencukupi kebutuhan setiap tahunnya.

Akibatnya mereka melakukan peralihan ke tanaman kelapa sawit yang sangat menjanjikan

masa depan, dan ternyata kehidupan ekonomi penduduk semakin baik dan meningkat.

Skripsi ini bukanlah mutlak gagasan penulis, akan tetapi adalah rangkaian kuliah,

(7)

demikian, penulis belum berani mengatakan skripsi ini memiliki bobot ilmiah yang

sempurna, tetapi penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya

dengan sebaik-baiknya sehingga “tidak ada gading yang tak retak”. Skripsi ini tentu masih

jauh dari yang diharapkan, kendati penulis sudah berusaha sekuat mungkin untuk

menyempurnakan. Penulis dalam hal ini mengakui kemungkinan tentang perbedaan pendapat

bahkan kesalahan di dalam skripsi. Untuk itulah, demi kesempurnaannya segala kritik dan

saran untuk perbaikan skripsi ini tetap penulis harapkan.

Medan, 24 Juli 2011

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik

moril maupun materil. Ucapan puji syukur dan terima kasih penulis sampaikan kepada Allah

SWT, yang telah memberikan kesehatan dan umur yang panjang selama dalam penulisan,

sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan.

Istimewa sekali ucapan terima kasih yang setingi-tingginya kepada kedua orangtua

yang sangat saya cintai dan sayangi ayahanda Sadimejo dan Ibunda Wiji. Mereka disatukan

Allah untuk membesarkan, menyayangi, membimbing serta mendidik dengan tulus dan

ikhlas tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun. Selama ini mereka telah membiayai hingga

perguruan tinggi, serta doa yang mengalir sepanjang waktu dalam menyelesaikan program SI

Universitas Sumatera Utara (USU). Selain itu, tidak lupa ucapan terima kasih kepada

kakanda-kakanda tercinta Jimin, Saki, Gatot, Sakat, Sukir, Suder, dan adinda tersayang Sudar

dan Rumiyati, atas kasih sayang, semangat, nasihat, serta bantuannya yang diberikan kepada

penulis selama mengenyam pendidikan hingga program SI dapat terselesaikan.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada segenap dosen, pejabat dan staf

administrasi Fakultas Ilmu Budaya dan Departemen Ilmu Sejarah USU yang telah membantu

banyak baik perkuliahan ataupun dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih

ditujukan kepada:

(9)

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum selaku ketua Departemen Sejarah dan Dra.

Nurhabsyah, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah sebagai pimpinan telah

banyak memberikan bantuan serta pelajaran yang berharga kepada penulis selama

dalam perkuliahan.

3. Ibu Dra. Ratna Ms, selaku dosen pembimbing penulis, baik untuk hal-hal yang

berkaitan dengan skripsi, juga di luarnya. Segala motivasi, atensi, nasehat, pengertian,

dan wejangan yang diberikan pembimbing terhadap penulis sangat membantu

terutama di saat-saat penulis mengalami krisis percaya diri.

4. Ibu Dra. Farida Hanum Ritongga M.SP., selaku dosen wali penulis selama mengikuti

perkuliahan di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

5. Ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada semua dosen

sejarah yang terlibat dalam pemberian materi kuliah selama penulis menjadi

mahasiswa, antara lain Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay, Ibu Dra. Farida Hanum

Ritonga M.SP., Ibu Dra.Haswita, M.SP., Bapak Dr. Suprayitno, M.Hum, Dr. Budi

Agustono, M.Hum., Ibu Dra.Fitriaty Harahap, Ibu Dra.Ratna, M.S., Bapak Drs.

Samsul Tarigan, Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum, Bapak Drs. Bebas Surbakti, Ibu

Dra. Penina, M.S., Bapak Drs.Timbun Ritonga, Bapak Drs. Sentosa Tarigan, M.SP.,

Ibu Dra. Junita S.Ginting M.Si., Ibu Dra.Lila Pelita Hati, M.Si., Ibu Dra.S.P. Dewi

Murni, M.A., Dra.Nina Karina Purba, MSP.

6. Terima kasih kepada Bapak Pananggar dan Bapak Supadi, selaku Kepala Desa

Batang Pane II dan sekretaris desa yang memberikan sumber untuk keperluan tulisan

(10)

7. Terima kasih kepada keluarga besar Izah’s family, Om Herman, Bu Izah, Ica,

Wardika, Deni, Dedi, Aan Tebe, Kebo, Budi, Mohan, Desi, Oriza, Pipin, Debi, Fazur.

8. Ucapan khusus ditujukan kepada saudara Fasrah Aka atau Kebo yang selalu

menemani, membantu, serta memberikan motivasi yang tinggi ketika penulis

mengalami kejenuhan.

9. Terima kasih kepada sahabat yang penulis anggap sebagai saudara, yaitu Naf’an

Rathomi, Olida Manik, Chandra Mohan, Budi Cahya Putra, Sukma Iwan, Oki

Zulendra, Astina, Avril, Antonius Lambok, Krisman Turnip, Meisa, Asmi, Heri

Erikson Purba, Hendri Imanuel, Ade Putera, Bona, David, Nora santi, Eta, Okta

Selvia Sinuhaji, Sulistia Panggabean, Sarifah Aini, Intan, Andika, Judika Situmorang,

Usman Hutagalung, Martogi Sianturi, Soji Nainggolan, serta mahasiswa sejarah

Universitas Sumatera Utara, segala diskusi, obrolan, keluh-kesah, banyolan dan

tingkah laku kita selama ini, menjadi pemotivasi tersendiri bagi penulis untuk lebih

percaya diri dan optimis menghadapi masa depan juga tidak lupa seluruh mahasiswa

sejarah USU.

10. Seluruh anggota Kos 38 A (Iin, Isel, Ningsih, Yupon, Yusni, Yuyun, Surya Nia,

Selvi, Susi,) yang selama ini sebagai kawan perjuangan dalam menuntut ilmu.

Akhirnya kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis yang tidak mungkin

disebutkan satu persatu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih. Besar

harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu, khususnya

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……… i

UCAPAN TERIMA KASIH……….. iii

DAFTAR ISI…... vi

ABSTRAK ……… viii

DAFTAR TABEL ………. ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Tinjauan Pusataka ... 8

1.5 Metode Penelitian………. 11

BAB II GAMBARAN UMUM DESA BATANG PANE II 2.1 Letak Geografis………... 13

2.2 Keadaan Penduduk……….. 17

BAB III PERTANIAN PANGAN MASYARAKAT DESA BATANG PANE II 3.1 Mata Pencaharian Penduduk……… 24

(12)

BAB IV PEMBUKAAN DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

4.1 Sistem Penanaman………. 41

4.2 Perluasan Kebun……….. 49

4.3 Penggunaan Tenaga Kerja……… 51

4.4 Distributor……… 55

BAB V KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PETANI KELAPA SAWIT RAKYAT………. 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan……….. 67

6.2 Saran... 71

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(13)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat Desa Batang Pane II sebelum adanya usaha perkebunan dan proses pembukaan perkebunan kelapa sawit serta manfaat sosial ekonomi terhadap kehidupan masyarakat.

Skripsi ini diberi judul ” Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II

Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)”. Dalam Pengumpulan data, penelitian ini

menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field

research). Studi perpustakaan menggunakan buku-buku, dokumen-dokumen, laporan yang

didapat dari perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), perpustakaan daerah Kota Medan, kantor camat, dan kantor kepala desa. Studi lapangan berupa observasi dan wawancara terhadap narasumber primer dan sekunder.

Pada tahun 1982 Kecamatan Padang Bolak tepatnya di Desa Batang Pane II dihuni oleh para transmigran dari Pulau Jawa. Pada awal keberadaan mereka ke daerah ini mereka belum mengenal tanaman keras. Akan tetapi, sesuai anjuran pemerintah di atas lahan 2 ½ ha untuk setiap kepala keluarga untuk menanam tanaman pangan (padi dan palawija) guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lahan seluas itu merupakan modal awal untuk menanam padi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk.

Penduduk mulai mengerjakan pertanian sejak tahun 1983. Kondisi lahan yang masih hutan rawa, mereka membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk menggubah menjadi areal pertanian. Akan tetapi, pengelolaan lahan untuk tanaman ini tidak dapat diandalkan bagi pendapatan petani selamanya dan hanya bertahan 8-9 tahun saja (1982-1990). Hasil produksi padi yang selalu menurun dalam tiap tahunnya, dan akhirnya pada tahun 1990 petani mengalihkan tanamannya ke tanaman keras (kelapa sawit).

Untuk mengelola usaha tersebut, mereka mendapat pengetahuan secara pribadi, berdasarkan pengalaman bekerja sebagai buruh perkebunan swasta (Rantau Prapat, Aek Nabara). Awal tahun 1990 tidak semua lahan milik penduduk dialihkan untuk menjadi lahan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena mereka masih khawatir pada hasil tanaman baru ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kelak. Akan tetapi, ada juga petani yang secara keseluruhan lahannya dijadikan tempat tanaman kelapa sawit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan perkebunan berjalan cepat, sementara lahan usaha pertanian (sawah) berkurang. Oleh karena perkebunan kelapa sawit mulai berproduksi (1995), para petani mulai memperluas perkebunannya dengan cara mengumpulkan modal dari hasil kebunnya.

Peralihan dari tanaman subsisten menjadi tanaman komoditas ekspor tentu membawa perubahan tersendiri bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kontribusi kelapa sawit terhadap pendapatan rumah tangga petani sangat dirasakan perubahannya jika dibandingkan dengan kontribusi tanaman pangan sebelumnya. Secara ekonomis dapat dikatakan mulai pada tahun 1995-an, petani kelapa sawit di desa ini telah menikmati hasil panen tanamannya.

(14)

di atas 5 ha) dapat dikatakan mengalami perubahan secara vertikal. Di dalam stratifikasi sosial juga terjadi perubahan status yang sifatnya secara horizontal dan vertikal.

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Penggunaan Tanah di Desa Batang Pane II tahun 1990……….. 16

Tabel 2: Perkembangan Jumlah Penduduk di Desa Batang Pane II tahun 1982-2000… 19

Tabel 3: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin……… ….. 20

Tabel 4: Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur………. 21

Tabel 5: Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 21

Tabel 6: Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama……… 22

Tabel 7: Penggunaan Tanah di Desa Batang Pane II tahun 2000………... 49

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat Desa Batang Pane II sebelum adanya usaha perkebunan dan proses pembukaan perkebunan kelapa sawit serta manfaat sosial ekonomi terhadap kehidupan masyarakat.

Skripsi ini diberi judul ” Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II

Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)”. Dalam Pengumpulan data, penelitian ini

menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field

research). Studi perpustakaan menggunakan buku-buku, dokumen-dokumen, laporan yang

didapat dari perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), perpustakaan daerah Kota Medan, kantor camat, dan kantor kepala desa. Studi lapangan berupa observasi dan wawancara terhadap narasumber primer dan sekunder.

Pada tahun 1982 Kecamatan Padang Bolak tepatnya di Desa Batang Pane II dihuni oleh para transmigran dari Pulau Jawa. Pada awal keberadaan mereka ke daerah ini mereka belum mengenal tanaman keras. Akan tetapi, sesuai anjuran pemerintah di atas lahan 2 ½ ha untuk setiap kepala keluarga untuk menanam tanaman pangan (padi dan palawija) guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lahan seluas itu merupakan modal awal untuk menanam padi yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk.

Penduduk mulai mengerjakan pertanian sejak tahun 1983. Kondisi lahan yang masih hutan rawa, mereka membutuhkan waktu 1-2 tahun untuk menggubah menjadi areal pertanian. Akan tetapi, pengelolaan lahan untuk tanaman ini tidak dapat diandalkan bagi pendapatan petani selamanya dan hanya bertahan 8-9 tahun saja (1982-1990). Hasil produksi padi yang selalu menurun dalam tiap tahunnya, dan akhirnya pada tahun 1990 petani mengalihkan tanamannya ke tanaman keras (kelapa sawit).

Untuk mengelola usaha tersebut, mereka mendapat pengetahuan secara pribadi, berdasarkan pengalaman bekerja sebagai buruh perkebunan swasta (Rantau Prapat, Aek Nabara). Awal tahun 1990 tidak semua lahan milik penduduk dialihkan untuk menjadi lahan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena mereka masih khawatir pada hasil tanaman baru ini tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya kelak. Akan tetapi, ada juga petani yang secara keseluruhan lahannya dijadikan tempat tanaman kelapa sawit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan perkebunan berjalan cepat, sementara lahan usaha pertanian (sawah) berkurang. Oleh karena perkebunan kelapa sawit mulai berproduksi (1995), para petani mulai memperluas perkebunannya dengan cara mengumpulkan modal dari hasil kebunnya.

Peralihan dari tanaman subsisten menjadi tanaman komoditas ekspor tentu membawa perubahan tersendiri bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kontribusi kelapa sawit terhadap pendapatan rumah tangga petani sangat dirasakan perubahannya jika dibandingkan dengan kontribusi tanaman pangan sebelumnya. Secara ekonomis dapat dikatakan mulai pada tahun 1995-an, petani kelapa sawit di desa ini telah menikmati hasil panen tanamannya.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pengusahaan tanaman kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditi perkebunan

selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah maupun swasta.

Pada masa Kolonial Belanda perkebunan sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki

oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa sebab mengapa perkebunan kelapa sawit tidak

muncul di kalangan masyarakat petani. Salah satu sebabnya yang paling penting adalah

bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang

sangat mahal.

Teknologi yang canggih tidak hanya dibutuhkan dalam pemrosesan minyak kelapa

sawit, namun juga dibutuhkan dalam pengelolaan kebun dan pemeliharaan tanaman kelapa

sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka

hanya tertarik untuk menjadi buruh perkebunan kelapa sawit daripada memiliki kebun

sawitnya sendiri. Hal ini tidak berbeda dengan pengelolaan kebun karet dan yang menarik

dari sejarahnya perkebunan sawit yang berbeda dengan perkebunan karet. Apabila muncul

suatu perkebunan besar karet di suatu daerah, maka dengan cepat akan muncul suatu

perkebunan besar karet rakyat di daerah itu, tidak demikian halnya dengan kelapa sawit1

1

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, Kelapa Sawit: Kajian Sosial ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hlm. 94.

.

(17)

perkebunan kelapa sawit rakyat tidak kunjung muncul di daerah itu. Perkebunan besar tetap

menjadi satu-satunya pemilik kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia, dan rakyat sekitar

perkebunan itu hanya menjadi buruh dari perkebunan besar.

Pemerintah Indonesia dengan beberapa alasan ingin mengubah situasi tersebut.

Monopoli pengusahaan kelapa sawit oleh perkebunan besar, di mana rakyat hanya menjadi

buruh dianggap oleh pemerintah sebagai suatu warisan jaman penjajahan yang tidak sesuai

dengan jiwa kemerdekaan Indonesia dan oleh karena itu pemerintah Indonesia ingin

menghapuskannya. Pemerintah Indonesia menganggap perkebunan kelapa sawit haruslah

berfungsi sebagai sarana perbaikan hidup rakyat dan bukan seperti halnya pada masa

kolonial, perkebunan berfungsi sebagai penghasil devisa negara dengan menghisap rakyat.

Dengan kata lain, selain berfungsi sebagai penghasil devisa negara juga harus berfungsi

sebagai wahana untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab itu, pemerintah berkeyakinan

bahwa hal ini dapat dicapai apabila rakyat dilibatkan langsung sebagai pekebun kelapa sawit

dalam proses produksi minyak sawit di Indonesia, dan bukan hanya sekedar sebagai buruh

perkebunan besar kelapa sawit.

Ide pemerintah untuk mengembangkan perkebunan rakyat sebagai saka guru

pembangunan sektor perkebunan telah dirintis oleh pemerintah Indonesia sejak pelita I

(1969). Dalam hal ini asumsi pemerintah bahwa peningkatan kesejahteraan petani pekebun di

Indonesia dapat dicapai apabila lembaga terkait dan semua faktor produksinya melibatkan

petani. Untuk melaksanakan konsep ini, sejak pelita I diperkenalkan suatu model

pembangunan perkebunan rakyat yang dikenal dengan Unit Pelaksana Proyek atau UPP.

Program ini dilaksanakan pemerintah pada tahun 1973/1974 di tiga propinsi. Di Sumatera

(18)

Lampung dikembangkan Proyek Pengembangan Cengkeh Lampung atau PPCL, sedang di

Propinsi Jawa Barat dikembangkan Proyek Pengembangan Rakyat dan Perkebunan Besar

Swasta Nasional yang disingkat P2TRSN2

Sampai akhir pelita I pembangunan perkebunan besar dan perkebunan rakyat berjalan

terpisah

. Proyek ini lebih menekankan peningkatan

produksi di lokasi perkebunan rakyat.

3

, dan antara kedua jenis perkebunan itu tidak ada keterkaitan dan keterikatannya.

Hal ini berubah hingga awal Pelita II setelah pemerintah mengadakan pengkajian dalam

pelaksanaan dan hasil proyek UPP. Pemerintah dalam rangka pengembangan perkebunan

rakyat memutuskan untuk mengarahkan perhatiannya pada daerah-daerah baru di mana

sumber-sumber alamnya mendukung, seperti halnya di Sumatera Utara. Di Sumatera Utara

perkebunan rakyat berkembang sejak adanya Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang melalui

pemukiman di daerah baru dengan dukunganperusahaan perkebunan negara sebagai intinya.

Bentuk proyek ini dilakukan melalui Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR BUN) dan

Pengembangan Perkebunan Besar (PPB)4 yang mulai dilakukan sejak tahun 1953 sebagai

bentuk perhatian dari pemerintah5

2 Ibid. 3

Secara historis perkembangan perkebunan yang bersifat komersil bercirikan skala usaha yang besar, permodalan yang kuat, penggunaan teknologi yang maju, pengelolaan yang modern serta mempunyai jangkauan yang luas. Sedangkan pengembangan perkebunan rakyat masih sangat sederhana, baik areal lahan, pengelolaan dan perawatan serta pemasaran dalam jangkauan yang terbatas.

4

Terjemahan Nucleus Estate And Smalholder Development Project yang disingkat dengan NES Project.

5

Rofiq Ahmad, Perkebunan dari Nes Ke PIR, Jakarta: Puspa Swara, 1998, hlm. 14.

. Dalam proyek PIR BUN ini ada dua komponen, yakni

(19)

Pembina, sedang komponen plasma merupakan asset dari para petani pekebun peserta

proyek.

Usaha ini cepat berkembang, terutama jenis tanaman kelapa sawit dan karet, karena

ketersediaan lahan yang cukup luas dengan harga relatif terjangkau. Seperti halnya yang

terjadi di Padang Bolak khususnya di Desa Batang Pane II. Usaha perkebunan rakyat di desa

ini mulai dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1990 melalui ide dan pengetahuan mereka

sendiri. Pengetahuan tentang tanaman keras terutama kelapa sawit diperoleh dari

perkebunan-perkebunan besar yang ada di Aek Nabara, Kota Pinang dan PT. Sungai Pinang

yang kemudian menjadi kebun plasma atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR)6

Pada awal keberadaan mereka di daerah ini, mereka belum mengenal usaha tanaman

keras. Akan tetapi, sesuai anjuran pemerintah di atas lahan 2½ ha untuk setiap kepala

keluarga mereka menanam tanaman pangan, khususnya padi dan palawija guna memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Lahan seluas itu merupakan modal awal untuk menanam padi. . Masyarakat

awalnya bekerja sebagai buruh-buruh kebun di perusahaan

Usaha ini dikelola oleh penduduk setempat yang adalah para transmigrasi berasal dari

Jawa. Mereka datang ke daerah ini melalui program transmigrasi yang dicanangkan pada

masa Orde Baru dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Para transmigran ini sejak tahun 1982 ditempatkan pada salah satu lahan yang memang

dibuka sebagai tempat bermukim mereka. Desa inilah yang kemudian dikenal dengan nama

Desa Batang Pane II.

6

(20)

Masyarakat bercocok tanam dengan membuka rawa-rawa dari semak belukar untuk ditanami

padi, sedangkan lahan pekarangan ditanami palawija, seperti jagung, ubi dan sayur-sayuran.

Dalam pengerjaannya masyarakat menggunakan tenaga keluarga atau dengan sistem gotong

royong7

Untuk mengelola usaha tersebut, mereka mendapat pengetahuan secara pribadi.

Sebelum membuka perkebunan sawit, masyarakat sudah bekerja sebagai buruh di . Dengan cara inilah kebutuhan pokok masyarakat dapat terpenuhi meskipun sangat

sederhana. Sistem pertanian yang dijalankan dapat berkembang ditandai dengan luasnya

areal pertanian maupun hasilnya.

Dengan perkembangan zaman, pengelolaan lahan untuk tanaman pangan ini tidak

dapat diandalkan bagi pendapatan petani. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan yang

tidak mendukung, seperti keadaan dan kesuburan tanah, tidak ada perhentian lahan, cuaca

dan efisiensi kerja yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan hasil produksi padi yang dikelola

masyarakat di desa ini menurun, sehingga pertanian tanaman pangan hanya bertahan sekitar

5-6 tahun (1982-1989). Masyarakat beralih ke tanaman kelapa sawit bukan saja dari hasil

produksi padi yang menurun, tetapi lahan semakin habis dan tananam kelapa sawit lebih

menguntungkan.

Menghadapi situasi tersebut, maka mereka melakukan usaha peralihan tanaman. Pada

tahun 1989 masyarakat mulai mencoba menanam tanaman keras yaitu menanam kelapa

sawit. Mereka memilih tanaman tersebut karena dari segi pengelolaan dan perawatannya

yang tidak menyita waktu seharian penuh seperti tanaman padi.

7

(21)

perkebunan swasta yang terdapat di luar pemukiman, seperti Rantau Prapat dan Aek Nabara.

Kemudian menyusul dengan didirikan PT. Sungai Pinang yang dikhususkan untuk para

transmigran, selanjutnya PT sungai Pinang inilah kemudian menjadi PIR.

Untuk usaha penanaman tanaman keras terutama kelapa sawit dan karet mendapat

penolakan keras dari pemerintah dengan alasan untuk menunjang swasembada pangan, tetapi

penduduk tetap mencoba untuk melakukan. Ternyata, usaha perkebunan tanaman kelapa

sawit di Desa Batang Pane II ini berhasil dan berkembang cepat, baik dari segi luas areal

maupun produksinya. Pada tahun 1995 hampir sebagian besar penduduk di Desa Batang

Pane II telah beralih ke tanaman sawit, sehingga lima tahun berikutnya pada tahun 2000

masyarakat sudah merasakan hasil dari tanaman kelapa sawit.

Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena peralihan tanaman dari tanaman

pangan ke tanaman kelapa sawit tentu memberi perubahan besar terhadap kehidupan

masyarakat. Di samping itu, tulisan yang membahas mengenai perkebunan rakyat khususnya

di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak belum pernah dilakukan. Beberapa

penelitian yang mengkaji soal perkebunan rakyat pernah dilakukan, antara lain oleh Edi

Sumarno dalam tesis S-2 (UGM) ”Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942)” dan

Ain Syahputra dalam skripsi S-1 (USU) “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Karet Rakyat di

Desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Rubai Sumatera Selatan (1978-1990)”.

Cakupan spasial dalam kajian ini bersifat lokal, yakni Desa Batang Pane II sebagai

satu bagian dari desa di Kecamatan Padang Bolak Sumatera Utara. Batasan temporal adalah

1982-2000. Tahun 1982 inilah penduduk mulai mengerjakan pertanian pangan yang hanya

bertahan sampai tahun 1990. Sejak saat itu penduduk mengalihkan tanaman pangan ke

(22)

menunjukkan usaha perkebunan rakyat sudah memberi perubahan besar bagi kehidupan

masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian maka yang menjadi landasan dari penelitian itu

sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Permasalahan yang dibicarakan

dalam kajian ini terangkum dalam pertanyaan:

1. Bagaimana keadaan masyarakat Desa Batang Pane II sebelum dibukanya

perkebunan kelapa sawit rakyat ?

2. Bagaimana proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit

rakyat.

3. Apa manfaat yang dirasakan oleh mayarakat Desa Batang Pane II setelah

dibukanya perkebunan kelapa sawit rakyat?

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya

bagi peneliti, tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan tentang:

1. Keadaan masyarakat sebelum membuka perkebunan rakyat di Desa Batang

Pane II.

2. Proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Desa

Batang Pane II.

(23)

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui

sejarah perkebunan rakyat khususnya di Desa Batang Pane II.

2. Memberikan pemahaman tentang sektor pendapatan daerah di Kecamatan

Padang Bolak, khususnya kelapa sawit rakyat di Desa Batang Pane II.

3. Praktisnya sebagai acuan bagi pembuat kebijaksanaan dalam menangani

masalah kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan judul skripsi ini “Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang

Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)”, penulis menggunakan literatur mengenai

kajian sejarah perkebunan. Berkaitan dengan kajian yang dilakukan, sedikitnya terdapat

empat karya yang perlu diperhatikan. Karl J. Pelzer dalam bukunya “Toean Keboen dan

Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria” (1985), mengkaji tentang

pengusaha-pengusaha onderneming di Sumatera Timur pada tahun 1904 mulai mengalihkan tanaman

tembakau ke jenis tanaman lain8

8

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947, terj. J. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 73.

. Permulaan peralihan dari tembakau, mula-mula kopi,

kemudian karet dan kelapa sawit. Digambarkan bahwa perkebunan karet dan kelapa sawit

yang sekarang, merupakan peralihan dari masa produksi tembakau. Akan tetapi, tidak semua

perkebunan tembakau yang ditutup dapat dialihkan ke jenis tanaman keras. Kebanyakan

lahan-lahan yang digunakan untuk tanaman keras adalah lahan bekas tanaman tembakau.

(24)

II lahir akibat peralihan tanaman pangan (padi dan palawija). Lahan-lahan untuk membuka

perkebunan adalah lahan bekas tanaman pangan.

Kajian mengenai Sejarah perkebunan dibahas oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko

Suryo dalam karyanya “Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi” (1991),

membahas sistem perkebunan di Indonesia yang sudah ada sejak 1200 M, hingga mengalami

perkembangan yang pesat mulai kolonial hingga sesudah kemerdekaan. Secara umum

pembukaan perkebunan akan menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan.

Kehadiran komunitas perkebunan melahirkan lingkungan yang berbeda dari segi lokasi, tata

ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi9

Fachri Yasin dalam karyanya yang berjudul “Agribisnis Riau:Pembangunan

Perkebunan Berbasis Kerakyatan” (2003), mengkaji tentang pembangunan perkebunan di

. Secara topografisnya perkebunan

dibangun di daerah yang subur, baik di dataran rendah atau dataran tinggi. Tanaman yang

dibudidayakan homogen yaitu komoditi ekspor dan berbeda dengan tanaman pertanian

subsisten setempat. Demikian bentuk lingkungan lebih berorentasi ke dunia luar, menjadikan

lingkungan berbeda dengan lingkungan agraris. Sartono dan Djoko juga membahas bahwa

kehadiran perkebunan dapat menciptakan komunitas sektor perekonomian modern yang

berorentasi ekspor bila dibandingkan komunitas sektor perekonomian pangan. Secara cepat

perekonomian masyarakat akan terangsang untuk lebih baik bila dibandingkan dengan

tanaman sebelumnya. Jadi, jelas buku ini membantu pembahasan mengenai Perkebunan

Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak. Kehadiran perkebunan rakyat di

wilayah ini melahirkan suatu perubahan lingkungan baik sosial, ekonomi dan budaya.

9

(25)

Riau yang dilakukan dengan empat pola pengembangan, yaitu Swadaya, Unit Pelayanan

Pembangunan (UPP), Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar

dan dapat ditambahkan bahwa areal perkebunan yang terluas adalah perkebunan rakyat10

Secara khusus yang membahas sosial ekonomi kelapa sawit oleh Loekman Soetrisno

dan Retno Winahyu, dengan judul buku “Kelapa Sawit: Kajian Sosial Ekonomi” (1991).

Dalam kajian dijelaskan lebih rinci masalah pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola

PIR, bahwa luas areal kelapa sawit di Indonesia tersebar 12 propinsi, seperti Riau, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur

.

Menurutnya perkebunan rakyat merupakan subsektor pendapatan daerah yang mendapat

perhatian khusus pemerintah daerah.

Telah diketahui bahwa petani dapat memberikan kontribusi pada pemerintah dengan

tanaman yang dibudidayakan. Tanaman sawit dan karet merupakan tanaman pertanian

strategis dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan peningkatan

pendapatan rumah tangga petani. Jadi, pengembangan perkebunan rakyat manfaat

ekonominya terhadap petani di Riau senasib dirasakan petani di Desa Batang Pane II

Kecamatan Padang Bolak, Sumatera Utara.

11

10

Fachri Yasin, Agribisnis Riau:Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru:UNRI Press, 2003, hlm.113.

11

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, op. cit., hlm. 98.

. Terpusatnya

areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari faktor alam, perkembangan ekonomi dan

kebijaksanaan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Perkebunan

kelapa sawit di indonesia sebetulnya telah dimulai sejak 1911, tetapi baru berkembang 10

tahun kemudian hingga mencapai puncaknya pada tahun 1940. Pada masa itu tanaman kelapa

(26)

diusahakan oleh para pengusaha asing yang memang diundang pemerintah Belanda untuk

melakukan investasi di Sumatera Timur.

Sejak saat itulah dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit mempunyai peran yang

cukup strategis. Pertama, minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng,

sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Kedua,

sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai

sebagai sumber perolehan devisa. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan mampu

menciptakan kesempatan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, buku

ini sebagai dasar untuk menggambarkan sosial ekonomi kelapa sawit rakyat di Desa Batang

Pane II.

1.5 Metode Penelitian

Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus

menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara

kritis rekaman dan peninggalan masa lampau12

Metode sejarah dianggap ilmiah jika yang dimaksud ilmiah itu berlandaskan fakta.

Fakta yang dimaksud di sini adalah hasil dari sumber-sumber yang sudah diverifikasi secara

khusus. Metode sejarah yang umum digunakan dalam ilmu sejarah ada empat tahap. Pertama,

heuristik adalah proses mengumpulkan sumber-sumber mengenai masalah yang akan dikaji.

Sumber itu didapatkan melalui dua cara yaitu studi lapangan (field research) dan studi

perpustakaan (library research). Studi lapangan adalah melakukan teknik wawancara .

12

(27)

terhadap informan yang terlibat langsung pembukaan sekaligus yang memiliki lahan

perkebunan rakyat dan informan yang tidak terlibat langsung, serta responden sebagai

pelaksana proses pembukaan perkebunan rakyat di Desa Batang Pane II. Teknik wawancara

menggunakan interview guide yaitu pedoman wawancara dengan terlebih dahulu membuat

pertanyaan. Studi kepustakaan dimaksudkan adalah untuk memperoleh sumber-sumber

tertulis yang relevan dengan penulisan. Sumber-sumber itu berupa buku-buku, artikel atau

laporan-laporan penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Selain buku juga berupa dokumen dan laporan dari

Pemerintah Daerah Tingkat II Padang Bolak Kabupaten Padang lawas Utara, Kantor Dinas

Transmigrasi Padang Lawas Utara, dan kantor Kepala Desa Batang Pane II.

Kedua, setelah sumber-sumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik,

baik ekstern maupun intern. Kritik ekstern digunakan untuk menentukan keabsahan sumber,

sedangkan kritik intern diperlukan guna melihat kelayakan sumber yang diperoleh dan

selanjutnya diinterprestasi. Pada tahapan ini peneliti mencoba menafsirkan sumber-sumber

yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid. Menganalisa sumber yang diperoleh akan

melahirkan suatu analisa baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang akan

diteliti. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau

sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan – bahan yang ada.

Tahapan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan dengan sumber-sumber yang

diinterpretasikan melalui sebuah tulisan yang diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan

secara sistematis dan kronologis. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis memang menjadi

(28)

diharapkan struktur Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan

(29)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pengusahaan tanaman kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditi perkebunan

selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah maupun swasta.

Pada masa Kolonial Belanda perkebunan sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki

oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa sebab mengapa perkebunan kelapa sawit tidak

muncul di kalangan masyarakat petani. Salah satu sebabnya yang paling penting adalah

bahwa membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan modal uang dan teknologi yang

sangat mahal.

Teknologi yang canggih tidak hanya dibutuhkan dalam pemrosesan minyak kelapa

sawit, namun juga dibutuhkan dalam pengelolaan kebun dan pemeliharaan tanaman kelapa

sawit. Petani tidak akan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan ini sehingga mereka

hanya tertarik untuk menjadi buruh perkebunan kelapa sawit daripada memiliki kebun

sawitnya sendiri. Hal ini tidak berbeda dengan pengelolaan kebun karet dan yang menarik

dari sejarahnya perkebunan sawit yang berbeda dengan perkebunan karet. Apabila muncul

suatu perkebunan besar karet di suatu daerah, maka dengan cepat akan muncul suatu

perkebunan besar karet rakyat di daerah itu, tidak demikian halnya dengan kelapa sawit1

1

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, Kelapa Sawit: Kajian Sosial ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1991, hlm. 94.

.

(30)

perkebunan kelapa sawit rakyat tidak kunjung muncul di daerah itu. Perkebunan besar tetap

menjadi satu-satunya pemilik kebun-kebun kelapa sawit di Indonesia, dan rakyat sekitar

perkebunan itu hanya menjadi buruh dari perkebunan besar.

Pemerintah Indonesia dengan beberapa alasan ingin mengubah situasi tersebut.

Monopoli pengusahaan kelapa sawit oleh perkebunan besar, di mana rakyat hanya menjadi

buruh dianggap oleh pemerintah sebagai suatu warisan jaman penjajahan yang tidak sesuai

dengan jiwa kemerdekaan Indonesia dan oleh karena itu pemerintah Indonesia ingin

menghapuskannya. Pemerintah Indonesia menganggap perkebunan kelapa sawit haruslah

berfungsi sebagai sarana perbaikan hidup rakyat dan bukan seperti halnya pada masa

kolonial, perkebunan berfungsi sebagai penghasil devisa negara dengan menghisap rakyat.

Dengan kata lain, selain berfungsi sebagai penghasil devisa negara juga harus berfungsi

sebagai wahana untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab itu, pemerintah berkeyakinan

bahwa hal ini dapat dicapai apabila rakyat dilibatkan langsung sebagai pekebun kelapa sawit

dalam proses produksi minyak sawit di Indonesia, dan bukan hanya sekedar sebagai buruh

perkebunan besar kelapa sawit.

Ide pemerintah untuk mengembangkan perkebunan rakyat sebagai saka guru

pembangunan sektor perkebunan telah dirintis oleh pemerintah Indonesia sejak pelita I

(1969). Dalam hal ini asumsi pemerintah bahwa peningkatan kesejahteraan petani pekebun di

Indonesia dapat dicapai apabila lembaga terkait dan semua faktor produksinya melibatkan

petani. Untuk melaksanakan konsep ini, sejak pelita I diperkenalkan suatu model

pembangunan perkebunan rakyat yang dikenal dengan Unit Pelaksana Proyek atau UPP.

Program ini dilaksanakan pemerintah pada tahun 1973/1974 di tiga propinsi. Di Sumatera

(31)

Lampung dikembangkan Proyek Pengembangan Cengkeh Lampung atau PPCL, sedang di

Propinsi Jawa Barat dikembangkan Proyek Pengembangan Rakyat dan Perkebunan Besar

Swasta Nasional yang disingkat P2TRSN2

Sampai akhir pelita I pembangunan perkebunan besar dan perkebunan rakyat berjalan

terpisah

. Proyek ini lebih menekankan peningkatan

produksi di lokasi perkebunan rakyat.

3

, dan antara kedua jenis perkebunan itu tidak ada keterkaitan dan keterikatannya.

Hal ini berubah hingga awal Pelita II setelah pemerintah mengadakan pengkajian dalam

pelaksanaan dan hasil proyek UPP. Pemerintah dalam rangka pengembangan perkebunan

rakyat memutuskan untuk mengarahkan perhatiannya pada daerah-daerah baru di mana

sumber-sumber alamnya mendukung, seperti halnya di Sumatera Utara. Di Sumatera Utara

perkebunan rakyat berkembang sejak adanya Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang melalui

pemukiman di daerah baru dengan dukunganperusahaan perkebunan negara sebagai intinya.

Bentuk proyek ini dilakukan melalui Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR BUN) dan

Pengembangan Perkebunan Besar (PPB)4 yang mulai dilakukan sejak tahun 1953 sebagai

bentuk perhatian dari pemerintah5

2 Ibid. 3

Secara historis perkembangan perkebunan yang bersifat komersil bercirikan skala usaha yang besar, permodalan yang kuat, penggunaan teknologi yang maju, pengelolaan yang modern serta mempunyai jangkauan yang luas. Sedangkan pengembangan perkebunan rakyat masih sangat sederhana, baik areal lahan, pengelolaan dan perawatan serta pemasaran dalam jangkauan yang terbatas.

4

Terjemahan Nucleus Estate And Smalholder Development Project yang disingkat dengan NES Project.

5

Rofiq Ahmad, Perkebunan dari Nes Ke PIR, Jakarta: Puspa Swara, 1998, hlm. 14.

. Dalam proyek PIR BUN ini ada dua komponen, yakni

(32)

Pembina, sedang komponen plasma merupakan asset dari para petani pekebun peserta

proyek.

Usaha ini cepat berkembang, terutama jenis tanaman kelapa sawit dan karet, karena

ketersediaan lahan yang cukup luas dengan harga relatif terjangkau. Seperti halnya yang

terjadi di Padang Bolak khususnya di Desa Batang Pane II. Usaha perkebunan rakyat di desa

ini mulai dikelola oleh masyarakat sejak tahun 1990 melalui ide dan pengetahuan mereka

sendiri. Pengetahuan tentang tanaman keras terutama kelapa sawit diperoleh dari

perkebunan-perkebunan besar yang ada di Aek Nabara, Kota Pinang dan PT. Sungai Pinang

yang kemudian menjadi kebun plasma atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR)6

Pada awal keberadaan mereka di daerah ini, mereka belum mengenal usaha tanaman

keras. Akan tetapi, sesuai anjuran pemerintah di atas lahan 2½ ha untuk setiap kepala

keluarga mereka menanam tanaman pangan, khususnya padi dan palawija guna memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Lahan seluas itu merupakan modal awal untuk menanam padi. . Masyarakat

awalnya bekerja sebagai buruh-buruh kebun di perusahaan

Usaha ini dikelola oleh penduduk setempat yang adalah para transmigrasi berasal dari

Jawa. Mereka datang ke daerah ini melalui program transmigrasi yang dicanangkan pada

masa Orde Baru dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Para transmigran ini sejak tahun 1982 ditempatkan pada salah satu lahan yang memang

dibuka sebagai tempat bermukim mereka. Desa inilah yang kemudian dikenal dengan nama

Desa Batang Pane II.

6

(33)

Masyarakat bercocok tanam dengan membuka rawa-rawa dari semak belukar untuk ditanami

padi, sedangkan lahan pekarangan ditanami palawija, seperti jagung, ubi dan sayur-sayuran.

Dalam pengerjaannya masyarakat menggunakan tenaga keluarga atau dengan sistem gotong

royong7

Untuk mengelola usaha tersebut, mereka mendapat pengetahuan secara pribadi.

Sebelum membuka perkebunan sawit, masyarakat sudah bekerja sebagai buruh di . Dengan cara inilah kebutuhan pokok masyarakat dapat terpenuhi meskipun sangat

sederhana. Sistem pertanian yang dijalankan dapat berkembang ditandai dengan luasnya

areal pertanian maupun hasilnya.

Dengan perkembangan zaman, pengelolaan lahan untuk tanaman pangan ini tidak

dapat diandalkan bagi pendapatan petani. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan yang

tidak mendukung, seperti keadaan dan kesuburan tanah, tidak ada perhentian lahan, cuaca

dan efisiensi kerja yang tidak teratur. Hal ini menyebabkan hasil produksi padi yang dikelola

masyarakat di desa ini menurun, sehingga pertanian tanaman pangan hanya bertahan sekitar

5-6 tahun (1982-1989). Masyarakat beralih ke tanaman kelapa sawit bukan saja dari hasil

produksi padi yang menurun, tetapi lahan semakin habis dan tananam kelapa sawit lebih

menguntungkan.

Menghadapi situasi tersebut, maka mereka melakukan usaha peralihan tanaman. Pada

tahun 1989 masyarakat mulai mencoba menanam tanaman keras yaitu menanam kelapa

sawit. Mereka memilih tanaman tersebut karena dari segi pengelolaan dan perawatannya

yang tidak menyita waktu seharian penuh seperti tanaman padi.

7

(34)

perkebunan swasta yang terdapat di luar pemukiman, seperti Rantau Prapat dan Aek Nabara.

Kemudian menyusul dengan didirikan PT. Sungai Pinang yang dikhususkan untuk para

transmigran, selanjutnya PT sungai Pinang inilah kemudian menjadi PIR.

Untuk usaha penanaman tanaman keras terutama kelapa sawit dan karet mendapat

penolakan keras dari pemerintah dengan alasan untuk menunjang swasembada pangan, tetapi

penduduk tetap mencoba untuk melakukan. Ternyata, usaha perkebunan tanaman kelapa

sawit di Desa Batang Pane II ini berhasil dan berkembang cepat, baik dari segi luas areal

maupun produksinya. Pada tahun 1995 hampir sebagian besar penduduk di Desa Batang

Pane II telah beralih ke tanaman sawit, sehingga lima tahun berikutnya pada tahun 2000

masyarakat sudah merasakan hasil dari tanaman kelapa sawit.

Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena peralihan tanaman dari tanaman

pangan ke tanaman kelapa sawit tentu memberi perubahan besar terhadap kehidupan

masyarakat. Di samping itu, tulisan yang membahas mengenai perkebunan rakyat khususnya

di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak belum pernah dilakukan. Beberapa

penelitian yang mengkaji soal perkebunan rakyat pernah dilakukan, antara lain oleh Edi

Sumarno dalam tesis S-2 (UGM) ”Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur (1863-1942)” dan

Ain Syahputra dalam skripsi S-1 (USU) “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Karet Rakyat di

Desa Sugih Waras Kecamatan Rambang Rubai Sumatera Selatan (1978-1990)”.

Cakupan spasial dalam kajian ini bersifat lokal, yakni Desa Batang Pane II sebagai

satu bagian dari desa di Kecamatan Padang Bolak Sumatera Utara. Batasan temporal adalah

1982-2000. Tahun 1982 inilah penduduk mulai mengerjakan pertanian pangan yang hanya

bertahan sampai tahun 1990. Sejak saat itu penduduk mengalihkan tanaman pangan ke

(35)

menunjukkan usaha perkebunan rakyat sudah memberi perubahan besar bagi kehidupan

masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan suatu penelitian maka yang menjadi landasan dari penelitian itu

sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Permasalahan yang dibicarakan

dalam kajian ini terangkum dalam pertanyaan:

1. Bagaimana keadaan masyarakat Desa Batang Pane II sebelum dibukanya

perkebunan kelapa sawit rakyat ?

2. Bagaimana proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit

rakyat.

3. Apa manfaat yang dirasakan oleh mayarakat Desa Batang Pane II setelah

dibukanya perkebunan kelapa sawit rakyat?

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan hanya

bagi peneliti, tetapi juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan tentang:

1. Keadaan masyarakat sebelum membuka perkebunan rakyat di Desa Batang

Pane II.

2. Proses pembukaan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit di Desa

Batang Pane II.

(36)

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui

sejarah perkebunan rakyat khususnya di Desa Batang Pane II.

2. Memberikan pemahaman tentang sektor pendapatan daerah di Kecamatan

Padang Bolak, khususnya kelapa sawit rakyat di Desa Batang Pane II.

3. Praktisnya sebagai acuan bagi pembuat kebijaksanaan dalam menangani

masalah kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara.

1. 4 Tinjauan Pustaka

Sesuai dengan judul skripsi ini “Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang

Pane II Kecamatan Padang Bolak (1982-2000)”, penulis menggunakan literatur mengenai

kajian sejarah perkebunan. Berkaitan dengan kajian yang dilakukan, sedikitnya terdapat

empat karya yang perlu diperhatikan. Karl J. Pelzer dalam bukunya “Toean Keboen dan

Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria” (1985), mengkaji tentang

pengusaha-pengusaha onderneming di Sumatera Timur pada tahun 1904 mulai mengalihkan tanaman

tembakau ke jenis tanaman lain8

8

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947, terj. J. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 73.

. Permulaan peralihan dari tembakau, mula-mula kopi,

kemudian karet dan kelapa sawit. Digambarkan bahwa perkebunan karet dan kelapa sawit

yang sekarang, merupakan peralihan dari masa produksi tembakau. Akan tetapi, tidak semua

perkebunan tembakau yang ditutup dapat dialihkan ke jenis tanaman keras. Kebanyakan

lahan-lahan yang digunakan untuk tanaman keras adalah lahan bekas tanaman tembakau.

(37)

II lahir akibat peralihan tanaman pangan (padi dan palawija). Lahan-lahan untuk membuka

perkebunan adalah lahan bekas tanaman pangan.

Kajian mengenai Sejarah perkebunan dibahas oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko

Suryo dalam karyanya “Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi” (1991),

membahas sistem perkebunan di Indonesia yang sudah ada sejak 1200 M, hingga mengalami

perkembangan yang pesat mulai kolonial hingga sesudah kemerdekaan. Secara umum

pembukaan perkebunan akan menimbulkan lingkungan baru, yaitu lingkungan perkebunan.

Kehadiran komunitas perkebunan melahirkan lingkungan yang berbeda dari segi lokasi, tata

ruang, ekologi, maupun organisasi sosial dan ekonomi9

Fachri Yasin dalam karyanya yang berjudul “Agribisnis Riau:Pembangunan

Perkebunan Berbasis Kerakyatan” (2003), mengkaji tentang pembangunan perkebunan di

. Secara topografisnya perkebunan

dibangun di daerah yang subur, baik di dataran rendah atau dataran tinggi. Tanaman yang

dibudidayakan homogen yaitu komoditi ekspor dan berbeda dengan tanaman pertanian

subsisten setempat. Demikian bentuk lingkungan lebih berorentasi ke dunia luar, menjadikan

lingkungan berbeda dengan lingkungan agraris. Sartono dan Djoko juga membahas bahwa

kehadiran perkebunan dapat menciptakan komunitas sektor perekonomian modern yang

berorentasi ekspor bila dibandingkan komunitas sektor perekonomian pangan. Secara cepat

perekonomian masyarakat akan terangsang untuk lebih baik bila dibandingkan dengan

tanaman sebelumnya. Jadi, jelas buku ini membantu pembahasan mengenai Perkebunan

Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak. Kehadiran perkebunan rakyat di

wilayah ini melahirkan suatu perubahan lingkungan baik sosial, ekonomi dan budaya.

9

(38)

Riau yang dilakukan dengan empat pola pengembangan, yaitu Swadaya, Unit Pelayanan

Pembangunan (UPP), Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar

dan dapat ditambahkan bahwa areal perkebunan yang terluas adalah perkebunan rakyat10

Secara khusus yang membahas sosial ekonomi kelapa sawit oleh Loekman Soetrisno

dan Retno Winahyu, dengan judul buku “Kelapa Sawit: Kajian Sosial Ekonomi” (1991).

Dalam kajian dijelaskan lebih rinci masalah pengembangan kelapa sawit rakyat dengan pola

PIR, bahwa luas areal kelapa sawit di Indonesia tersebar 12 propinsi, seperti Riau, Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur

.

Menurutnya perkebunan rakyat merupakan subsektor pendapatan daerah yang mendapat

perhatian khusus pemerintah daerah.

Telah diketahui bahwa petani dapat memberikan kontribusi pada pemerintah dengan

tanaman yang dibudidayakan. Tanaman sawit dan karet merupakan tanaman pertanian

strategis dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan peningkatan

pendapatan rumah tangga petani. Jadi, pengembangan perkebunan rakyat manfaat

ekonominya terhadap petani di Riau senasib dirasakan petani di Desa Batang Pane II

Kecamatan Padang Bolak, Sumatera Utara.

11

10

Fachri Yasin, Agribisnis Riau:Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru:UNRI Press, 2003, hlm.113.

11

Loekman Soetrisno dan Retno Winahyu, op. cit., hlm. 98.

. Terpusatnya

areal perkebunan tersebut tidak terlepas dari faktor alam, perkembangan ekonomi dan

kebijaksanaan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Perkebunan

kelapa sawit di indonesia sebetulnya telah dimulai sejak 1911, tetapi baru berkembang 10

tahun kemudian hingga mencapai puncaknya pada tahun 1940. Pada masa itu tanaman kelapa

(39)

diusahakan oleh para pengusaha asing yang memang diundang pemerintah Belanda untuk

melakukan investasi di Sumatera Timur.

Sejak saat itulah dalam perekonomian Indonesia, kelapa sawit mempunyai peran yang

cukup strategis. Pertama, minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng,

sehingga pasokan yang kontinyu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Kedua,

sebagai salah satu komoditi pertanian andalan ekspor non migas, komoditi ini mempunyai

sebagai sumber perolehan devisa. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan mampu

menciptakan kesempatan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, buku

ini sebagai dasar untuk menggambarkan sosial ekonomi kelapa sawit rakyat di Desa Batang

Pane II.

1.5 Metode Penelitian

Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus

menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara

kritis rekaman dan peninggalan masa lampau12

Metode sejarah dianggap ilmiah jika yang dimaksud ilmiah itu berlandaskan fakta.

Fakta yang dimaksud di sini adalah hasil dari sumber-sumber yang sudah diverifikasi secara

khusus. Metode sejarah yang umum digunakan dalam ilmu sejarah ada empat tahap. Pertama,

heuristik adalah proses mengumpulkan sumber-sumber mengenai masalah yang akan dikaji.

Sumber itu didapatkan melalui dua cara yaitu studi lapangan (field research) dan studi

perpustakaan (library research). Studi lapangan adalah melakukan teknik wawancara .

12

(40)

terhadap informan yang terlibat langsung pembukaan sekaligus yang memiliki lahan

perkebunan rakyat dan informan yang tidak terlibat langsung, serta responden sebagai

pelaksana proses pembukaan perkebunan rakyat di Desa Batang Pane II. Teknik wawancara

menggunakan interview guide yaitu pedoman wawancara dengan terlebih dahulu membuat

pertanyaan. Studi kepustakaan dimaksudkan adalah untuk memperoleh sumber-sumber

tertulis yang relevan dengan penulisan. Sumber-sumber itu berupa buku-buku, artikel atau

laporan-laporan penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan Daerah Sumatera Utara. Selain buku juga berupa dokumen dan laporan dari

Pemerintah Daerah Tingkat II Padang Bolak Kabupaten Padang lawas Utara, Kantor Dinas

Transmigrasi Padang Lawas Utara, dan kantor Kepala Desa Batang Pane II.

Kedua, setelah sumber-sumber dikumpulkan kemudian diverifikasi melalui kritik,

baik ekstern maupun intern. Kritik ekstern digunakan untuk menentukan keabsahan sumber,

sedangkan kritik intern diperlukan guna melihat kelayakan sumber yang diperoleh dan

selanjutnya diinterprestasi. Pada tahapan ini peneliti mencoba menafsirkan sumber-sumber

yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid. Menganalisa sumber yang diperoleh akan

melahirkan suatu analisa baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang akan

diteliti. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau

sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan – bahan yang ada.

Tahapan terakhir adalah historiografi yaitu penulisan dengan sumber-sumber yang

diinterpretasikan melalui sebuah tulisan yang diperoleh dari fakta-fakta dan dituangkan

secara sistematis dan kronologis. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis memang menjadi

(41)

diharapkan struktur Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Desa Batang Pane II Kecamatan

(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA BATANG PANE II

2.1 Letak Geografis

Batang Pane II merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan

Padang Bolak, Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Ibu kota kecamatan ini berada di

Gunung Tua. Jarak dari Desa Batang Pane II menuju ibukota Gunung Tua ± 17 km atau

sekitar 1 jam jarak tempuh, sementara menuju kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang

Sidempuan kurang lebih 90 km.

Berdasarkan data sejarah, Desa Batang Pane II yang hanya dihuni oleh penduduk

berasal dari Pulau Jawa merupakan desa yang berada di tengah-tengah pemukiman

masyarakat Angkola. Mereka datang ke daerah ini melalui program transmigrasi masa orde

baru dengan salah satu tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Para

transmigran ini sejak tahun 1982, ditempatkan pada salah satu tempat yang memang sengaja

dibuka sebagai tempat bermukim mereka. Desa inilah yang kemudian dikenal dengan nama

“Desa Trans” atau Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Batang Pane13

Secara administratif Desa Batang Pane II terbagi atas tiga dusun, atau dikenal dengan

sebutan blok. Blok itu terdiri dari Blok A, Blok B, dan Blok C. Ketiga blok itu membentuk

segi tiga siku-siku, dengan mengikuti arah jalan utama desa. Di bagian Timur merupakan .

13

(43)

wilayah Blok A, pada bagian barat wilayah Blok B, sementara pada bagian Utara merupakan

wilayah Blok C. Di tengah-tengah desa terdapat kantor kepala desa disertai fasilitas umum

seperti, pasar, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), gedung sekolah (SD, SLTP) dan

Koperasi Unit Desa (KUD). Desa ini mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Tanah Peternakan

- Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Huristak.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Perkebunan PT. Sungai Pinang.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)

Batang Pane III.

Di Desa Batang Pane II dan sekitarnya mengalir aliran Sungai Barumun dan Batang

Pane. Aliran sungai-sungai ini pada masa lampau diduga sebagai jalur perdagangan lokal

yang cukup ramai. Lembah-lembah Sungai Barumun dan Batang Pane luas arealnya sekitar

1500 kilometer persegi13F

14

. Akibat abrasi yang cukup tinggi, Sungai Barumun dan Batang Pane

mengalami perubahan yang cukup besar. Di sekitar sungai-sungai yang sudah menjadi

daratan itu dijadikan wilayah pemukiman oleh warga, hingga tidak menutup kemungkinan

nama Desa Batang Pane II diambil juga dari nama aliran Sungai Batang Pane.

Desa Batang Pane II, seperti halnya desa-desa lain di Padang Bolak, mempunyai

iklim tropis akibat pengaruh ketinggian 0-1. 915 meter di atas permukaan laut. Daerah ini

terletak pada posisi antara 1º26-2º 11 Lintang Utara dan 91º 01’ 95º 53 Bujur Timur.

Musim hujan di Padang Bolak jatuh pada bulan September sampai dengan bulan

Nopember (17 hari setiap bulannya), sedangkan pada musim kemarau terjadi sekitar bulan

14

(44)

April sampai dengan bulan Agustus. Keadaan cuaca tersebut tidak mutlak setiap tahunnya,

karena tergantung kondisi alam yang senantiasa bisa berubah-ubah setiap saat.

Keadaan iklim itu dimanfaatkan oleh petani dalam mengerjakan areal pertaniannya.

Pada musim hujan petani menanam tanaman padi dan pada musim kemarau tanah dibiarkan

kosong dan terkadang ditanami ubi yang tahan di musim kemarau. Untuk Desa Batang Pane

II penanaman padi diutamakan pada musim penghujan dan dapat menghasilkan panen dua

kali dalam setahun. Pengaruh musim yang ada terhadap tanaman dapat dikatakan cukup baik.

Hanya saja pada musim tanam kadangkala tanaman terganggu oleh hama, penyakit dan

gangguan tumbuhan lainnya. Semua gangguan tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan

tanaman, dan dapat menyebabkan produksi padi merosot. Selain itu, karena letak lahan yang

masih rawa-rawa, maka binatang liar banyak merusak tanaman.

Musim kemarau sangat mempengaruhi pertanian terutama padi dan palawija. Hal itu

disebabkan tidak terdapat sumber mata air yang mencukup di Desa Batang Pane II, sehingga

hanya mampu mengairi sawah seluas 1-2 ha. Artinya, air hanya dapat dipergunakan untuk

menyiram tanaman yang berada di atas seluas 2 ha pada musim kemarau. Pada dasarnya para

petani tidak memiliki sistem irigasi, sehingga petani hanya mengandalkan pertanian tadah

hujan dan air yang ada di rawa-rawa. Dengan demikian, bila musim hujan tiba petani mulai

menanam padi, tetapi bila musim kemarau mereka tidak bercocok tanam padi sawah, tapi

hanya mengandalkan hasil dari berkebun ubi. Sampai sekarang penanggulangan air belum

dilakukan, baik oleh penduduk setempat maupun oleh pihak pemerintah.

Luas wilayah Desa Batang Pane II kurang lebih 3.000 ha. Terdiri dari wilayah

pemukiman seluas 125 ha dan wilayah pertanian 414 ha. Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel

(45)
[image:45.612.126.474.127.411.2]

Tabel 1

Penggunaan Tanah di Desa Batang Pane II.

No. Jenis Penggunaan (m²) Luas/ ha

1. Pemukiman 125 ha

2. Perdagangan 1 ha

4. Perkantoran 6 ha

5. Fasilitas Umum 18 ha

6. Persawahan 289 ha

7. Tegalan 125 ha

8. Perkebunan 386 ha

9. Hutan Belukar/Rawa 2050 ha

JUMLAH: 3000 ha

Sumber : Kantor Kepala Desa Batang Pane II tahun 1990.

Jika dilihat dari data penggunaan tanah pada tabel I di atas, sampai tahun 1990 luas

areal yang dipergunakan oleh penduduk masih sedikit. Daerah rawa yang masih luas ini

dimanfaatkan penduduk sebagai lahan pertanian. Lahan rawa dan hutan belukar yang

dimaksud di tabel itu terbagi dua, sesuai sifat keadaan tanahnya, yaitu dataran rendah dan

dataran tinggi. Tanah dataran tinggi tidak memungkinkan untuk dijadikan pertanian pangan,

karena tanahnya merah liat dan berbatu. Tanah ini hanya ditumbuhi alang-alang dan “rumput

padang bolak”15

15

Asal usul penamaan rumput Padang Bolak berasal dari masyarakat Mandailing sendiri bahwa rumput itu banyak tumbuh di daerah Tapanuli Selatan khususnya di Padang Bolak.

. Tanah yang berada di dataran rendah bewarna hitam, terdapat di daerah

(46)

setelah tahun 1990 terjadi perubahan. Lahan rawa-rawa mulai dimanfaatkan penduduk. Hal

ini menunjukkan bahwa penggunaan tanah semakin meningkat setelah penduduk mengenal

tanaman perkebunan.

Selain itu, lahan pertanian pendudukpun cenderung semakin berkurang, karena

terjadinya peralihan jenis tanaman di desa ini, dari tanaman padi ke tanaman keras. Tanaman

pengganti berupa tanaman keras tidak sama pengolahannya dengan tanaman padi. Tanaman

padi bisa ditanam hanya di daerah dekat rawa yang airnya bisa untuk mengairi padi,

sedangkan tanaman kelapa sawit bisa di tanam di dataran tinggi yang jauh dari pengairan.

Struktur tanah sangat mempengaruhi dalam penanaman sawit, sehingga areal penanaman

padi seluruhnya bisa dijadikan areal tanaman keras.

2.2 Keadaan Penduduk

Seperti yang telah disebutkan Desa Batang Pane II itu hanya dihuni oleh transmigran

dari Jawa, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dalam penempatannya di setiap

desa tidak hanya diperuntukan bagi pendatang yang berasal dari satu daerah asal saja, akan

tetapi setiap desa dihuni penduduk dari ketiga daerah asal itu, yaitu penduduk dari Jawa

Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Secara keseluruhan penduduk dan ketiga daerah ini

adalah suku Jawa, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda.

Perpindahan mereka ke Desa Batang Pane II terjadi akibat kepadatan penduduk di

Pulau Jawa, bencana alam dan kemiskinan yang sulit diatasi oleh pemerintah. Pendapatan

mereka yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menyebabkan

mereka bersedia mengikuti program transmigrasi. Tujuan transmigrasi di Indonesia pun

(47)

dengan jumlah penduduk yang padat. Pada masa Soeharto program transmigrasi di Indonesia

dibagi dalam lima tahap repelita yang di mulai sejak tahun 1967, transmigrasi ke Kecamatan

Padang Bolak dilakukan pada tahap Repelita kelima (tahun 1982).

Transmigrasi ini dilakukan hanya sekali, pada tahun 1982, dan secara bertahap.

Sesuai keterangan yang didapat bahwa wilayah ini memungkinkan untuk bisa memperbaiki

taraf hidup mereka. Secara berkelanjutan mereka mengikuti program transmigrasi ke

Kecamatan Padang Bolak tanpa paksaan.

Desa ini memiliki keunikan tersendiri dengan desa-desa yang ada di sekitarnya. Salah

satu yang membedakannya dengan desa lainnya adalah bila dilihat dari segi letak daerah dan

asal-usul desa itu sendiri. Awal kehadiran mereka di tengah-tengah pemukiman masyarakat

Angkola, tidak mudah bagi mereka untuk bersosialisasi dengan masyarakat setempat. Salah

satu penyebabnya adalah perbedaan bahasa, sehingga sering terjadi kesalahan dalam

berkomunikasi. Akan tetapi, perbedaan bahasa tidak menyurutkan mereka untuk saling

beradaptasi, bahkan perbedaan itu dijadikan dasar untuk saling menghormati. Selain ada

perbedaan terdapat persamaan agama antara penduduk asli dengan pendatang, yaitu

sama-sama beragama islam. Persama-samaan agama inilah dipandang sebagai saudara “seiman dan

setaqwa”.

Di tempat pemukiman mereka yang baru, mereka dibekali rumah sebagai tempat

tinggal dan tanah seluas 2 ½ ha untuk setiap kepala keluarga (KK). Rumah ini dilengkapi

dengan peralatan dapur dan alat-alat pertanian agar mereka dapat membuka tempat bercocok

tanam bagi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di areal tanah seluas 2 ha itulah diusahakan

areal persawahan, sedangkan sisanya ½ ha untuk pekarangan yang biasanya ditanami juga

(48)

awal kedatangan mereka, kebutuhan pokok masih disubsidi pemerintah, tetapi untuk bertahan

hidup masyarakat tidak bergantung sepenuhnya pada subsidi itu. Usaha membuka lahan

pertanian untuk tanaman pangan dimulai sekitar tahun 1982. Dalam mengolah areal

pertanian, dilakukan pembinaan usaha tani transmigrasi oleh pimpinan program pertanian

pengawas Sumatera Utara16. Pertemuan yang dilakukan pada setiap bulan disebut Kursus

Kontak Tani17

No. .

Jumlah penduduk menurut data tahun 2000 sebanyak 2.069 jiwa atau sebanyak 413

[image:48.612.150.446.371.575.2]

kepala keluarga (KK). Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2

Perkembangan Jumlah Penduduk di Desa Batang Pane II

Tahun 1982-2000

Tahun Jumlah Penduduk/ Jiwa

1. 1982 2.000

2. 1983 1.625

3. 1984 1.369

4. 1985 1.395

5. 1986 1.740

6. 1987 1.746

16

Tujuan pembinaan tani adalah meningkatkan produktivitas usaha tani, meningkatkan kemampuan dan kesediaan petani dalam memanfaatkan teknologi baru dalam usaha taninya, mengembangkan pola usaha tani yang sesuai, baik dilokasi pertanian yang sudah ada maupun di daerah baru, meningkatkan mutu hasil tanaman pangan, mengurangi jumlah kerusakan dalam pasca panen, perbaikan cara-cara perlakuan panen, pengembangan sistem pengolahan hasil serta penerapan

grading dan standarisasi yang sesuai dengan kebutuhan.

17

(49)

7. 1988 1.970

8. 1990 1.824

9. 1994 1.817

10. 1998 1.997

11. 2000 2.069

Sumber: Kantor Kepala Desa Batang Pane II.

[image:49.612.153.446.69.222.2]

Selanjutnya dapat kita lihat distribusi penduduk menurut jenis kelamin.

Tabel 3

Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah/Jiwa

1. Laki-laki 964

2. Perempuan 860

Jumlah 1.824

Sumber: Kantor Kepala Desa Batang Pane II Kecamatan Padang Bolak Tahun

1990.

Perkiraan jumlah penduduk setiap tahunnya tidak selalu pasti, tetapi perhitungan itu

didasarkan oleh suatu perkiraan kenaikan penduduk pada tahun ke lima (1986). Berdasarkan

perkiraan tersebut maka kenaikan penduduk diperkirakan 1,5% setiap tahunnya. Perkiraan di

atas telah diperhitungkan dengan jumlah penduduk yang berkurang, karena pergi

meninggalkan desa (pindah atau meninggal dunia).

Selanjutnya dalam tabel 4 dapat dikemukakan jumlah penduduk berdasarkan tingkat

(50)
[image:50.612.152.454.123.357.2]

Tabel 4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur

Tahun 1988

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Perkembangan Jumlah Penduduk di Desa Batang Pane II
Tabel 3
Tabel  4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Pendapat Mahasiswa Program Studi PKn Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Atas Buku” adalah hasil karya sendiri

Hal ini bisa terjadi mungkin karena perbedaan tingkat nonpolar diantara pelarut-pelarut tersebut.dengan tetapan dielektrik benzena 2,284, sikloheksana 1,924,

Penulis telusuri bahwa sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas Mansur mulai

Setiap pilihan atas produk Obligasi yang dibeli nasabah merupakan keputusan dan tanggung jawab nasabah sepenuhnya, termasuk apabila nasabah memilih jenis produk yang

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri infusa daun mangga bacang ( Mangifera foetida L.) terhadap pertumbuhan Shigella flexneri ,

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan e-learning berbasis moodle pada mata pelajaran KKPI yang layak digunakan dalam pembelajaran harus di uji kevalidannya

Metode Forward Selection berbasis Naive Bayes terbukti akurat dalam klasifikasi status kelulusan mahasiswa dari dataset yang bersifat class imbalance dengan dimensi data

Beton berpori dalam penelitian ini tidak memenuhi spesifikasi sebagai perkerasan untuk badan jalan karena memilikki nilai kuan tekan dan kuat tarik lentur yang rendah, sehingga