• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelimpahan Dan Sebaran Fitoplankton Di Perairan Berau Kalimantan Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelimpahan Dan Sebaran Fitoplankton Di Perairan Berau Kalimantan Timur"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KELIMPAHAN DAN SEBARAN FITOPLANKTON

DI PERAIRAN BERAU KALIMANTAN TIMUR

RIRIS ARYAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

RIRIS ARYAWATI. Distribution and Abundance of Phytoplankton in Berau Waters East Kalimantan. Under the Supervision of R. Kaswadji dan Hikmah Thoha.

Distribution and abundance of phytoplankton is influenced by physical and chemical aspects of sea water especially temperature, salinity, current and nutrient. The purpose of the research is to determine the distribution and abundance of phytoplankton in Berau waters, East Kalimantan. The result of physical-chemical water measurement are generally inaccordance for phytoplankton living purposes. The number of phytoplankton genera found during research was 28 genera which consist of 24 kinds Bacillariophyceae and 4 kinds Dinophyceae. Community structure was dominated by the group of Bacillariophyceae such as Chaetoceros,

Dytilum, Thalassiothrix, Lauderia, Coscinodiscus, and Bacillaria.

(3)

RINGKASAN

RIRIS ARYAWATI. Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur. Dibimbing oleh R. Kaswadji dan Hikmah Thoha.

Fitoplankton merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, karena fitoplankton mampu berfotosintesis. Fotosintesis adalah suatu proses yang kompleks, dimana sinar matahari diserap oleh sel-sel fitoplankton dan diubah menjadi energi biologi kemudian disimpan dalam bentuk senyawa organik. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi fitoplankton sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sebaran mendatar fitoplankton serta pengaruh parameter-parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, arus, kadar nitrat, fosfat dan silikat terhadap kelimpahan fitoplankton di perairan pesisir Berau, Kalimantan Timur.

Penelitian dilaksanakan di perairan pesisir Berau, Kalimantan Timur pada bulan September 2005 dan September 2006. Sampel air laut diambil dengan botol Nansen lalu dimasukkan dalam botol sampel untuk selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin untuk dianalisis kandungan klorofil fitoplankton, fosfat, nitrat, dan silikat. Pada saat pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, arah dan kecepatan arus. Sampel fitoplankton diambil dengan menggunakan jaring kitahara yang berbentuk kerucut dengan diameter 31 cm dan mata jaring 80 µm. Pada bagian tengah jaring dipasang sebuah flowmeter untuk mengetahui volume air yang tersaring. Jaring ini diturunkan kemudian ditarik secara horisontal di permukaan air. Contoh plankton yang diperoleh disimpan dalam botol contoh dan diberi larutan pengawet formalin hingga konsentrasi formalin dalam botol contoh mencapai 4%.

Cacahan fitoplankton dilakukan melalui fraksi sebuah stempel pipette dan dinyatakan dalam sel.m-3. Fitoplankton diamati di bawah mikroskop, kemudian ditentukan jenis-jenis fitoplankton dengan menggunakan bantuan buku identifikasi fitoplankton. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis kelimpahan, dan dilakukan juga perhitungan untuk Indeks diversitas, Indeks Keseragaman, dan Indeks Dominansi.

Data parameter fisika-kimia dan fitoplankton yang telah diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat lunak. Untuk mengetahui sebaran mendatar dari parameter fisika-kimiawi perairan, dan kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan digunakan Surfer 8, dan disajikan dalam bentuk kontur. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan nilai parameter lingkungan yang diperoleh pada dua kali pengambilan sampel pada tahun yang berbeda di lakukan analisis sederhana dengan Uji-t, selanjutnya dilakukan analisis deskriptif.

(4)

dominan karena diatom mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dibandingkan dinoflagellata dan klas fitoplankton yang lain, sehingga menyebabkan kelimpahannya besar. Fitoplankton yang dapat dijumpai di hampir semua stasiun penelitian adalah Chaetoceros, Coscinodiscus, Guinardia, Odontella, dan

Rhizosolenia, yang merupakan kelompok dari diatom. Kelimpahan fitoplankton

berkisar antara 75.746 – 15.311.933 sel/m3.

Indeks keanekaragaman komunitas fitoplankton di perairan Berau berkisar antara 1,535 – 3,585, Indeks keseragaman berkisar antara 0,357 – 0,877, dan Indeks dominansi berkisar antara 0,121-0,577. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) dapat diketahui bahwa perairan Berau tergolong dalam perairan yang mempunyai kestabilan sedang, dan tidak terjadi adanya dominasi oleh jenis fitoplankton tertentu.

Secara umum stasiun yang berada lebih dekat dengan daratan dan sungai memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif lebih besar dari stasiun-stasiun lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh sungai yang membawa zat hara. Arus perairan juga mempengaruhi sebaran fitoplankton hal ini tidak terlepas dari sifat plankton yang tidak cukup kuat untuk melawan gerakan air yang begitu besar.

Hasil pengamatan kandungan klorofil-a di perairan Berau menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di lapisan permukaan berkisar antara 0,19 –4,24 mg/m3. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan Berau sangat berhubungan dengan pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Kandungan klorofil-a memiliki nilai yang tinggi di daerah dekat muara, dan semakin rendah menuju laut lepas. Tingginya kandungan klorofil-a di daerah muara karena tingginya kandungan nutrien yang merupakan akumulasi pasokan nutrien dari darat secara besar-besaran dan adanya turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal di lokasi tersebut sehingga terjadi pengayaan zat hara dari lapisan dasar ke lapisan permukaan.

(5)

KELIMPAHAN DAN SEBARAN FITOPLANKTON

DI PERAIRAN BERAU KALIMANTAN TIMUR

RIRIS ARYAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul : Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur.

Nama : Riris Aryawati NRP : C 651040011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Richardus. F. Kaswadji, M. Sc Dra. Hikmah Thoha, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(7)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak ke-dua dari empat bersaudara yang dilahirkan pada tanggal 5 Januari 1976 di Madiun, dari pasangan Jalalludin dan Sutini. Menikah dengan Suhartono pada tanggal 18 November 2000 dan dikaruniai dua orang anak, S. M. Umar Al Haris dan M. Ivan Samudera.

(9)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul penelitian ini adalah

Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. R. Kaswadji, MSc dan Ibu Dra. Hikmah Thoha, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ario Damar, MSi selaku penguji luar komisi, atas segala saran dan petunjuk demi kesempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana dan Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, MSc selaku ketua program studi Ilmu Kelautan yang telah memberi kemudahan selama penulis mengikuti Program Pendidikan Pascasarjana IPB.

4. Rektor dan Dekan FMIPA Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Pascasarjana IPB.

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penulis selama mengikuti pendidikan S2 melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS).

6. Bapak Ir. L. F. Wenno, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti kegiatan yang beliau pimpin sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Staf laboratorium kimia-fisika air P2O LIPI (Pak Ari Sumijo, Pak Tri Utomo, Pak Madi Saini dan Mbak Suci), staf Plankton P2O LIPI (Ibu Sugestiningsih) dan Bapak Zainal yang telah banyak membantu dalam analisis dan penyediaan fasilitas penelitian baik di lapangan maupun di laboratorium

8. Suami tercinta Suhartono, ananda tersayang SM. Umar Al Haris dan M. Ivan Samudera, kedua orang tua, papa mama dan bapak ibu serta keluarga besarku di Madiun dan Palembang, atas pengorbanan, dorongan dan dukungannya.

9. Mbak Nurul Fitriya, yang telah sangat banyak membantu selama di lapangan dan di laboratorium, Zia, Indah, Heron, Fitri, Uci, Nani dan Suami serta teman-teman IKL 2004 atas dorongan dan bantuannya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2007

Riris Aryawati

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fitoplankton ... 5 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh ... 20

3.4. Pengambilan Contoh ... 20

3.4.1. Pengambilan Contoh Air Laut ... 20

3.4.2. Pengambilan Contoh Fitoplankton ... 20

3.5. Analisis Contoh Air ... 20

3.5.1. Analisis Kimia ... 20

3.5.2. Analisis Klorofil-a ... 21

3.5.3. Analisis Fitoplankton... 21

3.6. Analisis Data... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan ... 24

4.1.1. Faktor Fisika ... 24

4.1.2. Faktor Kimia ... 28

(11)

4.2. Hubungan antara Parameter Fisika Kimia antar Stasiun ... 43

4.2.1. Penelitian Periode I ... 43

4.2.2. Penelitian Periode II ... 46

4.3. Hubungan antara Kelimpahan Fitoplankton dengan Kandungan Klorofil-a ... 49

V. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 50

5.2. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pendekatan Masalah ... 4

2. Peta lokasi dan stasiun penelitian pada periode I (2005) ... 18

3. Peta lokasi dan stasiun penelitian pada periode II (2006) ... 19

4. Sebaran suhu di perairan Berau ... 24

5. Sebaran salinitas di perairan Berau ... 25

6. Sebaran turbiditas di perairan Berau ... 26

7. Sebaran arus di perairan Berau ... 27

8. Sebaran pH di perairan Berau ... 28

9. Sebaran oksigen terlarut di perairan Berau ... 29

10. Sebaran fosfat di perairan Berau ... 30

11. Sebaran nitrat di perairan Berau ... 31

12. Sebaran silikat di perairan Berau ... 32

13. Kelimpahan fitoplankton diperairan Berau tahun 2005 ... 34

14. Kelimpahan fitoplankton diperairan Berau tahun 2006 ... 35

15. Sebaran fitoplankton diperairan Berau, Kaltim tahun 2005 ... 38

16. Sebaran fitoplankton diperairan Berau, Kaltim tahun 2006 ... 38

17. Sebaran klorofil-a di perairan Berau, Kaltim ... 40

18. Sebaran klorofil di perairan Berau, Kaltim tahun 2005 (Seawifs) ... 41

19. Sebaran klorofil di perairan Berau, Kaltim tahun 2006 (Seawifs) ... 42

20. Sebaran klorofil di perairan Indonesia tahun 2005 (Seawifs)... 42

21. Sebaran klorofil di perairan Indonesia tahun 2006 (Seawifs)... 42

22. Analisis komponen utama parameter fisika kimia pada saat penelitian periode I (F1 x F2) ... 44

23. Analisis komponen utama parameter fisika kimia pada saat penelitian periode I (F1 x F3) ... 45

24. Analisis komponen utama parameter fisika kimia pada saat penelitian periode II (F1 x F2) ... 47

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil pengukuran parameter fisika kimia di perairan Berau ... 55

2. Genus dan kelimpahan fitoplankton di perairan Berau ... 57

3. Deskripsi Fitoplankton di Perairan Berau ... 59

4. Hasil analisis komponen utama pada tahun 2005 di perairan Berau ... 62

5. Hasil analisis komponen utama pada tahun 2006 di perairan Berau ... 64

(15)

I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Daerah perairan merupakan kawasan yang sangat penting untuk berbagai keperluan dan aktifitas dalam bidang perikanan, pariwisata, industri dan sebagainya. Suatu perairan laut dapat dikatakan kaya akan sumberdaya perairan jika perairan tersebut memiliki kesuburan yang tinggi yang dapat dilihat dari produktifitas perairannya.

Fitoplankton merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer di laut, karena fitoplankton mampu berfotosintesis, yaitu dengan adanya pigmen klorofil yang terkandung didalamnya dan dengan bantuan sinar matahari, akan merubah garam-garam mineral, air dan karbon dioksida menjadi senyawa organik seperti karbohidrat. Hal tersebut membuat fitoplankton disebut sebagai produsen primer, karena mampu membentuk zat organik dari zat anorganik (Thurman, 1994). Menurut Millero & Sohn (1991), fotosintesa adalah suatu proses yang kompleks, sinar matahari diserap oleh sel-sel fitoplankton dan diubah menjadi energi biologi kemudian disimpan dalam bentuk senyawa organik.

Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi fitoplankton sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan mempengaruhi kelimpahan serta sebaran fitoplankton antara lain adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, arus, oksigen terlarut dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut.

(16)

Sejauh ini telah diketahui eratnya kaitan antara konsentrasi fitoplankton dan produktivitas primer dengan kondisi oseanografi. Di antara beberapa parameter fisika-kimia tersebut ada yang belum diketahui secara pasti parameter oseanografi mana yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap distribusi fitoplankton, khususnya pada lokasi dan waktu tertentu, kajian yang melihat secara simultan beberapa parameter oseanografi dan kaitannya dengan fitoplankton masih sangat terbatas.

Keterkaitan antara sebaran fitoplankton dengan beberapa parameter oseanografi (fisika-kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran fitoplankton pada musim tertentu, serta mengetahui karakteristik massa air di daerah itu. Hal ini bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai pola sebaran fitoplankton, dan karakteristik fisika-kimia di daerah pesisir.

1.2. Perumusan Masalah

Keberadaan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia suatu perairan, terutama suhu, cahaya dan nutrien. Kondisi cahaya dan nutrien di suatu daerah dipengaruhi oleh lokasi atau letak suatu perairan itu sendiri. Semakin jauh suatu perairan dari daratan kemungkinan besar ia memiliki kedalaman yang semakin dalam yang mengakibatkan intensitas cahaya akan semakin berkurang dengan semakin dalamnya perairan, dan keberadaan nutrien juga dimungkinkan akan semakin kecil karena perairan tersebut jauh dari daratan yang merupakan masukan nutrien yang besar bagi perairan laut. Selain itu banyak faktor yang mempengaruhi besarnya nilai fisika kimia perairan itu sendiri, antara lain karena adanya kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut.

Perairan pesisir Berau terletak di bagian timur dan paling utara dari pulau Kalimantan. Perairan ini merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan, tempat lalu lintas kapal, tempat wisata dan bermuaranya beberapa sungai. Perairan ini termasuk juga dalam wilayah perairan Selat Makassar, sehingga kondisi perairannya sangat dipengaruhi oleh massa air yang berasal dari Samudera Pasifik. Dengan kondisi demikian, perairan pesisir Berau ini merupakan daerah yang unik, merupakan muara dari beberapa sungai, sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan Selat Makassar dan Samudera Pasifik. Selain itu wilayah ini sangat banyak mendapat

(17)

tekanan sebagai akibat dari berbagai aktivitas yang dilakukan manusia, baik di darat (kegiatan industri) maupun di laut (kegiatan penangkapan ikan, lalu lintas kapal, dan wisata bahari). Oleh karena itu perubahan fungsi perairan ini memerlukan upaya pemantauan perairan dari berbagai aspek. Salah satu aspeknya adalah pengamatan plankton, khususnya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan organisme yang memiliki peranan sangat besar dalam rantai makanan di laut. Selain itu keberadaan fitoplankton dapat dijadikan indikator kesuburan perairan, apabila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu untuk mengetahui hal ini maka perlu dilakukan penelitian tentang kondisi fitoplankton di perairan pesisir Berau, Kalimantan Timur serta pengaruh beberapa faktor fisika kimia perairan. Kerangka pendekatan masalah pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

(18)

Keterangan: ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah Muara Sungai

(debit Sungai)

Kondisi Oseanografi Pesisir Berau (Fisika, Kimia, Biologi)

Sebaran dan Kelimpahan Fitoplankton Aktivitas manusia (perikanan, wisata, industri)

Laut Terbuka (arus, pasang surut)

Faktor Fisika: Suhu, Salinitas, Arus,

K h

Faktor Kimia:

Nutrien, pH, Oksigen Terlarut

(19)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fitoplankton

Plankton adalah istilah umum untuk biota yang hanyut, melayang atau mengambang di dalam air secara bebas, kemampuan geraknya kalaupun ada sangat terbatas atau dengan kata lain penyebarannya lebih banyak diatur oleh pergerakan air seperti arus, gelombang dan sebagainya (Sachlan, 1982; Nybakken, 1992; Nontji, 2005). Plankton dibagi menjadi dua golongan utama yaitu fitoplankton dan zooplankton (Wickstead, 1965; Sachlan 1982; dan Nybakken 1992).

Fitoplankton laut adalah tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis (Nybakken, 1992). Menurut Sumich (1992) fitoplankton terdiri dari satu sel, tidak dapat berpindah tempat sendiri kecuali karena pergerakan air, sebagian besar dari kelas alga dan bakteri, bergerak dengan flagella dan cilia, dan berukuran kurang dari 1 mikrometer sampai dengan lebih dari 1 mm

Fitoplankton merupakan tumbuhan yang amat banyak ditemukan di semua perairan, tetapi karena ukurannya mikroskopis sukar dilihat kehadirannya, konsentrasinya bisa ribuan hingga jutaan sel per liter air laut. Fitoplankton bisa ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis. Zone ini dikenal sebagai zone eufotik, tebalnya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada air yang keruh hingga lebih 150 m pada air yang jernih. Besarnya dimensi ruang zone eufotik yang menjadi habitat fitoplankton menyebabkan fitoplankton yang mikroskopis ini berfungsi sebagai tumbuhan yang paling penting artinya dalam ekosistem laut.

Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti karbohidrat (Sumich, 1992; Nontji, 1993). Adanya kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer.

Menurut Sachlan (1982) fitoplankton yang ada di laut dapat digolongkan

(20)

(1984) menyatakan bahwa wakil klas ganggang di dalam fitoplankton bahari dapat

dilihat pada Tabel 1. Lebih lanjut Zhong (1989) menerangkan secara lengkap bahwa

fitoplankton di laut memiliki kelompok sebagai berikut:

Prokaryotae

Desmonadales: Pleromona

Prorocentrales: Prorocentrum

Dinokontae Peridinales

Gymnodiniineae: Gymnodinium

Dinophysidineae: Dinophysis

Peridiniinaea: Peridinium

Bacillariophyta Centriae

Coscinodiscales: Coscinodiscus

Biddulphiales: Biddulphia

Rhizosoleniales: Rhizosolenia

Pennatae

Naviculales: Navicula

Diatomales: Thalassiothrix

Phaeodactylales: Phaeodactylum

Surirellales: Nitzschia

Chlorophyta Chlorophyceae

Volvocales: Dunaliella

Chlorococcales: Chlorella

Prasinophyceae

Pyramimonadales: Platymonas

Chrysophyta

Haptophyceae =Prymnesiophyceae Coccolithiales: Coccoliihus

Isochrysidales: Isochrysis

Chrysocapsales: Phaeocystis Chrysophyceac Silicoflagellales = Dictychales: Dictyocha

(21)

Heterochloridales: Olisthodiscus

Mischococcales=Heterococcales: Hahsphaera

Heterocapsales: Pelagocystis Cryptophyta

Cryptophyceae: Cryptomonas

Euglenophyta

Euglenophyceae: Eutreptia

Tabel 1. Wakil klas ganggang di dalam fitoplankton bahari

Klas Nama umum Lokasi (Predominan) Kcterangan L. Cyanophyceae Cyanobacteria

Ganggang hijau-biru

Tropis Trychodesmi um (=Oscilatoria)

2. Rhodophyceae Ganggang merah Sangat jarang, pantai Rhodosorus, bentik 3. Bacillariophyceae Diatom Semua perairan,

terutama pantai

Plankton renik utama sebagai produsen primer 4. Cryptophyceae Cryptomonads *) Kosmopolitan. pantai Sering diabaikan. tetapi

nanoplankton penting 5. Dynophyceae Dinoflagellata *) Semua perairan,

terutama tropis

7. Haptophyceae Coccolithophor *) & prmnesiomonad *)

Oseanik Pantai

-8. Raphidiophyceae Chloromonad *) Jarang tapi kadang -kadang melimpah, payau

bebrapa jenis pembunuh ikan (Chattonella)

9 Xanthophyceae Ganggang hijau-kuning

heterochlorid*)

Sangat jarang

-10. Eustigmatophyceae - Sangat jarang -

11. Euglenophyceae Euglenoid *) Pantai -

12. Prasinophyceae Prasinomonad *) Semua perairan - 13. Chlorophyceae Ganggang hijau.

Volvocalcan *)

Sangat jarang Pantai

-

*) Sering dikelompokkan ke dalam Phytoflagellate (Protozoa).

(22)

2.1.1. Diatom

Diatom, sebagai plankton mempunyai peranan yang sangat penting untuk perikanan. Diatom adalah alga bersel tunggal yang dicirikan oleh adanya kerangka atau selubung, frustula, yang disusun oleh dua buah katup, epiteka dan hipoteka yang cocok sesamanya, seperti cawan petri (McConnaughey dan Zottoli, 1983). Nybakken (1992) dan Sumich (1992) menerangkan bahwa secara umum diatom mempunyai ukuran tubuh berkisar 10 µm - 1 mm, bersel tunggal (uniseluler) atau berupa rangkaian panjang, tidak memiliki alat gerak. Bagian luar dari diatom terbuat dari silikon dioksida, yaitu bahan utama pembuat gelas, berhiaskan lubang-lubang besar-kecil dengan pola-pola yang khas menurut spesies diatom.

Sebagian besar diatom hidup secara tunggal, tetapi tidak sedikit juga yang hidup membentuk rantai. Diatom terdiri dari berbagai spesies, yang jika membentuk rantai dihubungkan oleh penyambung seperti protoplasma, lendir atau tonjolan seperti duri atau rambut dari frustula yang saling mengunci. Sel plasma membentuk lapisan yang tipis sepanjang dinding dalam dari katup dengan melingkari sebuah rongga yang berisi getah sel. Inti pada umumnya terletak di tengah. Plasma sel mengandung kloroplas, yang didalamnya berlangsung fotosintesis. Warna kecoklatan yang tersifat dari kebanyakan diatom disebabkan oleh pigmen diatomin dalam kloroplas itu. Diatomin agak menyerupai pigmen dari alga coklat yang menyamarkan klorofil.

Diatom memiliki bentuk yang beraneka ragam, sebagian besar berbentuk batang, ada yang bulat dan ada juga yang berbentuk lonjong. Sebagian besar diatom hidup di dalam air sebagai plankton, tetapi ada juga yang hidup pada dasar perairan (yang masih dapat disinari) sebagai bentos, atau ada juga yang hidup menempel pada benda-benda lain sebagai perifiton. Diatom tersebar luas di seluruh dunia. Pada umumnya diatom adalah makhluk samudera di perairan dingin di wilayah-wilayah kutub, di daerah-daerah tropika dan beriklim sedang.

2.1.2. Dinoflagellata

(23)

Kelompok dinoflagelata dicirikan dengan adanya sepasang flagella untuk bergerak di dalam air, tidak memiliki rangka luar dari silikon tapi memiliki semacam pembungkus (baju zirah) yang terbuat dari lempeng-lempeng selulosa (karbohidrat) dan berukuran kecil (25 µm - 1 mm), biasanya bersel tunggal (jarang bersel banyak / membentuk rantai), bereproduksi dengan membelah diri (Nybakken, 1992; Sumich, 1992).

2.2. Sebaran Fitoplankton

Arinardi, dkk (1997) menyatakan bahwa umumnya plankton di laut tidak tersebar merata melainkan hidup secara berkelompok. Pengelompokan plankton dapat terjadi pada jarak kurang dari 20 m (berskala kecil) atau dapat juga mencapai beberapa kilometer (berskala besar). Penyebab terjadinya pengelompokan plankton secara garis besar dibedakan atas pengaruh fisik (turbulensi atau adveksi) dan pengaruh biologi. Angin dapat pula menyebabkan terkumpulnya plankton pada tempat tertentu. Pengaruh biologi terjadi apabila terdapat perbedaan pertumbuhan antara laju pertumbuhan fitoplankton dan kecepatan difusi untuk menjauhi kelompoknya. Sementara zooplankton yang memangsa fitoplankton juga sangat mempengaruhi pengelompokan fitoplankton.

Pengelompokan plankton lebih sering dijumpai di perairan neritik (terutama perairan yang dipengaruhi oleh estuari) daripada perairan oseanik, hal ini sebagai akibat adanya proses fisik dan kimia di perairan pantai. Produktivitas perairan pantai ditentukan oleh beberapa faktor seperti arus pasang-surut, morfo-geografi setempat dan proses fisik dari lepas pantai. Sementara adanya pulau-pulau akan menyumbangkan produksi hayati yang lebih tinggi karena terjadinya pengayaan yang disebabkan oleh turbulensi (pengadukan air), penaikan massa air di selat antar dua pulau atau lebih dan aliran air sungai ke perairan pantai.

Secara vertikal, fitoplankton biasanya berkumpul di zona eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis.

2.3. Klorofil Fitoplankton

(24)

adanya pengadukan dasar perairan, dampak sungai dan proses naiknya air lapisan agak dalam ke permukaan (Arinardi, dkk. 1997).

Distribusi vertikal klorofil di laut, secara umum menunjukkan konsentrasi maksimum kadang kala terdapat di dekat atau di permukaan dan di lain waktu terdapat di kedalaman eufotik atau di bawahnya (Steele and Yentsch, 1960 dalam

Parsons, dkk., 1984). Kedalaman klorofil maksimum terjadi secara musiman dicirikan profil vertikal musim panas pada jarak 45 – 500 utara, baik di Samudra Atlantik maupun Pasifik. Anderson (1969) dalam Parsons, dkk., (1984) mendapatkan kandungan klorofil maksimum di pantai Oregon berakhir pada kedalaman 60 m yang dibentuk oleh sel-sel aktif melalui fotosintesis, yang memperlihatkan adaptasi terhadap intensitas cahaya yang sangat rendah.

2.4. Faktor Lingkungan

Ada beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran fitoplankton, baik itu faktor fisika maupun kimia, yang antara lain meliputi suhu, salinitas, cahaya, arus, oksigen terlarut, nutrien, dan pH.

2.4.1. Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997).

Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu beradaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.

(25)

perairan. Suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton pada perairan tropis berkisar antara 25 – 320 C.

2.4.2. Salinitas

Salinitas berpengaruh terhadap penyebaran plankton, baik secara vertikal maupun horisontal (Romimohtarto dan Juwana, 2004). Kisaran salinitas yang masih dapat ditoleransi oleh fitoplankton pada umumnya berkisar antara 28 – 34 ppt.

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.

Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.

2.4.3. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi fitoplankton di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan fitoplankton lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawali lapisan termoklin.

(26)

2.4.4. Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlali sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau

trace element. Di antara unsur-unsur ini secara umum unsur hara yang sangat

esensial bagi pertumbuhan plankton adalah nitrogen, fosfor dan silikon, sehingga unsur-unsur hara tersebut umumnya merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan biota plankton (Tomascik et a!., 1997). Menurut Nybakken (1992) zat organik utama yang diperlukan fitoplankton dan sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan adalah nitrat dan fosfat. Jadi zat hara fosfat dan nitrat merupakan salah satu mata rantai makanan yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Keberadaan plankton di suatu perairan tergantung pada konsentrasi zat hara perairan tersebut.

(27)

2.4.4.1. Nitrat

Nitrat merupakan salah satu bentuk senyawa N-anorganik dalam air laut dan unsur hara yang digunakan dalam pembentukan protein untuk mendukung kehidupan organisme dalam suatu perairan terutama fitoplankton. Nitrogen merupakan nutrien yang sangat diperlukan dalam proses fotosintesis. Nitrogen masuk ke air laut melalui aktivitas vulkanik, atmosfir dan sungai. Nitrogen di air laut terutama berada dalam bentuk nitrat (NO3-), nitrit (NO2-) dan ammonium (NH3 atau NH4) (Millero dan

Sohn, 1991).

Nitrat dalam air laut secara alami terdapat pada kadar yang sesuai dengan kebutuhan organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Kadar nitrat dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah faktor lingkungan sekitar, pengaruh musim dan kondisi pasang surut.

Menurut Wada dan Hattori (1991) nitrat merupakan senyawa nitrogen terlimpah di laut. Selanjutnya dikatakan bahwa konsentrasi nitrat bervariasi menurut letak lintang dan kedalaman. Di samping itu proses-proses biologi dan faktor fisika juga mempengaruhi distribusi nitrat di laut. Akibat aktifitas tersebut mempengaruhi profil sebaran nitrat sehingga memiliki karakteristik yang berbeda-beda di masing-masing kawasan laut.

2.4.4.2. Fosfat

Fosfat merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Fitoplankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan fosfat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut, antara lain zat hara fosfat (Nybakken, 1992). Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam laut umumnya berada dalam bentuk ion (orto) asam fosfat, H3PO4 (Koreleff, 1976 dalam

Hutagalung, dkk, 1997). Sama halnya seperti zat hara lainnya, kandungan fosfat di suatu perairan secara alami terdapat sesuai dengan kebutuhan organisme yang hidup di perairan tersebut

(28)

konsentrasi fosfat di perairan dipengaruhi oleh faktor lintang, musim, dan aktifitas plankton. Di laut tropis, variasi fosfat sangat kecil, bahkan dapat dikatakan tidak ada variasi sama sekali. Hal ini disebabkan oleh perbedaan suhu antara musim hujan dan musim kemarau tidak begitu mencolok, sehingga aktifitas plankton hampir seragam sepanjang tahun.

Di perairan pesisir dan paparan benua, sungai sebagai pembawa hanyutan-hanyutan sampah maupun sumber fosfat daratan lainnya akan mengakibatkan konsentrasi fosfat di muara lebih besar dari sekitarnya.

Beberapa peneliti (Harrison dan Davis, 1979; Turpin dan Harrison, 1979; Harrison dan Turpin, 1982; Kitham dan Kitham, 1984 dalam Sanders et a!., 1987) mengemukakan bahwa perubahan nutrien adalah faktor lingkungan penting yang mempengaruhi berbagai kelompok taksonomi yang dominan. Sebagai contoh perubahan nutrien yang tinggi mengakibatkan dominasi dari diatom, perubahan nutrien yang rendah mengakibatkan dominasi dan flagellata, sementara sejumlah kecil nutrien atau bentuk kimia nutrien dapat mempengaruhi keberhasilan satu spesies dibandingkan spesies yang lainnya contohnya Chaetoceros spp dibanding

Skeletonema costatum.

2.4.4.3. Silikat

Silikat merupakan bahan dasar penting untuk pembentukan kerangka diatom, dan juga penting bagi radiolaria (Romimohtarto dan Juwana, 2004). Silikat berasal dari pelapukan batu-batuan dan kerak bumi. Menurut Millero dan Sohn (1991), pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai dan angin melalui arus laut.

Silikon di perairan terdapat dalam tiga bentuk dasar , yaitu quarts terdetritus, alumino-silikat dan silikat terlarut (Kennish, 1990), Silikat yang terlarut melalui proses pelapukan (spesies terlarut) di estuarin dan perairan berbentuk sebagai asam silikat , H4SiO4. Menurut Aston (1980) dalam Kennish (1994), silikat di perairan

(29)

perairan pesisir daripada di laut terbuka, yang merupakan akibat dari run off dari daratan (Millero dan Sohn, 1991).

2.4.5. Arus

Arus dapat membantu penyebaran dan migrasi horisontal plankton, tetapi jika terlalu kuat dapat mengganggu keseimbangan ekologis perairan yang sudah terbentuk. Arus sangat berpengaruh terhadap sebaran fitoplankton karena pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan air (Romimohtarto dan Juwana, 2004).

Menurut Banjarnahor dan Suyarso (2000), arus yang brkembang di pesisir perairan kalimantan Timur bukan hanya arus yang disebabkan terjadinya pasang surut, namun berkembang arus lain yang merupakan terusan dari perairan lain dengan kecepatan yang relatif kuat (20 cm/ det) pada kedalaman 5 m, dan semakin ke dalam kecepatannya semakin kuat, pada kedalaman 20 m kecepatan arusnya sekitar 80 cm/ det dan pada kedalaman 30 m kecepatan arusnya sekitar 78 cm/ det.

2.4.6. Oksigen Terlarut

Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme. Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi, khususnya dalam proses respirasi dan penguraian zat organik oleh mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan organik di perairan.

Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang hari. Nybakken (1992) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom air akan semakin rendah.

(30)

lainnya di zona eufotik. Oksigen dikonsumsi oleh tumbuhan dan hewan secara terus-menerus selama aktivitas respirasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air laut adalah masuknya limbah yang dalam proses penguraiannya banyak membutuhkan oksigen. Limbah jenis ini umumnya berasal dan kegiatan-kegiatan penduduk.

2.4.7. Derajat Keasaman (pH)

Romimohtarto dan Juwana (2004) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi pH dalam batas yang diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota.

(31)

III BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2005 sampai dengan Februari 2007, meliputi pengambilan contoh air, analisis fitoplankton dan parameter fisika-kimiawi perairan. Pengambilan contoh air dan fitoplankton dilaksanakan pada bulan September 2005 dan September 2006, di perairan pesisir Berau, Kalimantan Timur (Gambar 2 dan Gambar 3).

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian

No Alat dan Bahan Kegunaan

1. Plankton Net dengan flowmeter (jaring kitahara ø 31 cm dan mata jaring 80 µm)

Pengambilan sampel fitoplankton

2. Botol Sampel Tempat sampel air laut dan sampel fitoplankton

3. CTD Mengukur beberapa parameter perairan 4. Current Meter Mengukur kecepatan dan arah arus 5. Botol Nansen Pengambilan sampel air

6. GPS Menentukan posisi sampling

7. Spektrofotometer Mengukur absorbansi sampel air 8. Sedgwick Rafter Tempat pengamatan jenis fitoplankton 9. Stempel Pipette 0,1 ml Mengambil fraksi fitoplankton

10. Pompa vakum Menyedot contoh air untuk analisis kimia 11. Mikroskop Binokuler Mengamati jenis fitoplankton

12. Kertas saring Menyaring contoh air untuk analisis kimia

(32)

Gambar 2 Peta lokasi dan stasiun penelitian pada periode I (2005)

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(33)

Gambar 3 Peta lokasi dan stasiun penelitian pada Periode II (2006)

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(34)

3.3. Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh

Penentuan lokasi pengambilan contoh (stasiun) ditentukan secara dipilih dengan pertimbangan adalah pengaruh arus dari sungai ke arah laut, dengan asumsi bahwa air dari sungai akan membawa zat-zat nutrien yang kemudian akan terakumulasi di perairan pesisir sebelum jauh menyebar ke arah laut.

3.4. Pengambilan Contoh

3.4.1. Pengambilan Contoh Air Laut

Sampel air laut diambil dengan botol Nansen lalu dimasukkan dalam botol sampel untuk selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin untuk dianalisa kandungan klorofil fitoplankton, fosfat, nitrat, silikat, amoniak, derajat keasaman dan oksigen terlarut.

Pada saat pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter oseanografi secara in situ seperti suhu, salinitas, turbiditas, yang dilakukan dengan menggunakan CTD, serta pengukuran arah dan kecepatan arus dengan current meter.

3.4.2. Pengambilan Contoh Fitoplankton

Contoh fitoplankton diambil dengan menggunakan jaring Kitahara yang berbentuk kerucut dengan diameter 31 cm dan mata jaring 80 µm. Pada bagian tengah mulut jaring dipasang sebuah flowmeter untuk mengetahui volume air yang tersaring. Jaring ini diturunkan kemudian ditarik secara horisontal di permukaan air. Contoh plankton yang diperoleh disimpan dalam botol sampel dan diberi larutan pengawet formalin hingga konsentrasi formalin dalam botol contoh mencapai 4%.

3.5. Analisis Contoh 3.5.1. Analisis Kimia

(35)

elektroda kedalamnya. Untuk penentuan kadar oksigen terlarut digunakan botol sampel dari gelas yang sudah ditentukan volumenya dan dianalisis menurut metode Winkler, yaitu berdasarkan titrasi yodometri dan kadarnya dinyatakan dalam ml/l.

Analisa nitrat dilakukan dengan menggunakan metode Moris dan Riley (1963) yang dimodifikasi oleh Grasshoff (Parson et al, 1984), sedangkan analisa fosfat dilakukan menurut metode Murphy dan Riley (1962) dalam Parson et al

(1984).

3.5.2. Analisis Klorofil-a

Metode untuk pengukuran kandungan klorofil fitoplankton mengikuti cara yang dilakukan oleh Strickland & Parsons (1968), yakni dengan menyaring contoh air laut lalu diekstrak dengan menggunakan larutan aseton 90 % untuk selanjutnya disentrifuge pada putaran 4000 rpm selama kurang lebih 30 menit untuk memisahkan antara filtrat dengan cairan yang bening. Kemudian cairan yang bening tersebut dibaca fluororecencenya dengan menggunakan fluorometer Turner Model 450 pada besaran 10 kali. Setelah diberi HCl 8 % sampel tersebut kemudian dibaca kembali pada panjang gelombang yang sama, 750 dan 665 nm. Tujuan penambahan asam tersebut adalah untuk memisahkan atau merubah klorofil-a menjadi phaeopitin. Konsentrasi klorofil-a diperoleh dengan menggunakan rumus berikut:

τ

Ve (ml)

Klorofil-a = F1 x ________ x (RB – RA) x __________ µg / l (= mg/m3)

τ

- 1 Vs(l)

F1 = Faktor (= 33,8045)

τ

= RB/RA (= 1,2222)

RB = Reading before (bacaan pada flurometer sebelum ditambah asam)

RA = Reading after (bacaan pada flurometer setelah ditambah asam) Ve = Volume ektraksi (penambahan aseton 90 % = ml)

(36)

3.5.3. Analisis Fitoplankton

Cacahan fitoplankton dilakukan melalui fraksi sebuah stempel pipette dan dinyatakan dalam sel.m-3. Fitoplankton diamati di bawah mikroskop, kemudian ditentukan jenis-jenis fitoplankton dengan menggunakan bantuan buku identifikasi fitoplankton (Davis, 1955; Yamaji, 1956; Wicstead, 1965; Newell & Newell, 1977; Tomas, 1997). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis kelimpahannya dengan menggunakan rumus berikut (APHA, 1992):

N = kelimpahan Plankton (sel.m-1) P = jumlah lapang pandang yang diamati n = jumlah plankton yang tercacah (sel)

lSR = luas total lapang pandang Sedgwick Rafter (1000 mm2)

lp = luas lapang pandang Sedgwick Rafter yang diamati (mm2)

Vl = volume air contoh yang tersaring (ml)

VSRC = volume sedgwick rafter (1 ml)

VT = volume air yang disaring (m3)

VT = R a p

R = jumlah rotasi (putaran) baling-baling flowmeter a = luas mulut jaring (m2)

p = panjang kolom air yang ditempuh untuk satu putaran (m)

Selanjutnya dilakukan penghitungan Indeks diversitas berdasarkan rumus Shannon dan Weaver (1963) dalam Parsons et al. (1984) dengan satuan bits:

H1 = Indeks Diversitas

ni = Jumlah sel fitoplankton jenis ke-i N = Jumlah total sel fitoplankton

(37)

Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu:

E = Indeks Keseragaman H1 = Indeks Diversitas Hmaks = Log2 S

S = Jumlah spesies

Untuk mengetahui adanya dominasi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan Indeks Dominasi Simpson, yaitu:

D = Indeks Dominasi Simpson ni = Jumlah sel fitoplankton jenis ke-i N = Jumlah total sel fitoplankton

3.6. Analisis Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan sejumlah perangkat lunak. Untuk mengetahui sebaran mendatar dari parameter fisika-kimiawi perairan, dan kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun pengamatan digunakan Surfer 8, dan disajikan dalam bentuk kontur.

Untuk melihat hubungan antar parameter fisika-kimiawi antar stasiun pengamatan digunakan pendekatan analisis statistika multivariabel yang didasarkan pada Analisis Komponen Utama, dengan memilih stasiun pengamatan sebagai daerah observasi.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan nilai parameter lingkungan yang diperoleh pada dua kali pengambilan sampel pada tahun yang berbeda di lakukan analisis sederhana dengan Uji-t.

Untuk melihat hubungan antara parameter fisika-kimiawi air dengan kelimpahan fitoplankton, digunakan analisis secara deskriptif dengan melihat peta kontur sebaran parameter fisika-kimia perairan dan kelimpahan fitoplankton.

E = H1 ; E= H1 Hmaks Log2 S

n

(38)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Lingkungan 4.1.1. Faktor Fisika 4.1.1.1. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mendukung proses fotosintesa di laut. Besar kecilnya derajat suhu di laut dapat mempengaruhi reaksi kimia enzimatik yang terjadi dalam proses fotosintesa dan dapat merubah struktur hidrologi kolom perairan yang akhirnya dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton.

Kisaran suhu perairan Berau pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 28,6 - 31,9 oC . Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dinyatakan oleh Nontji (2005) bahwa suhu air permukaan di perairan Nusantara umumnya berkisar antara 28 – 31 0C. Menurut Raymont (1963), suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton pada perairan tropis berkisar antara 25 – 32 0C, sehingga kondisi suhu di perairan ini masih optimal untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada penelitian periode I dilakukan suhu berkisar antara 28,8-31,9 oC. Sedangkan pada saat penelitian periode II dilakukan diperoleh nilai suhu yang berkisar antara 28,6 -31,6 0C. Secara umum tidak diperoleh perbedaan nilai suhu pada kedua periode penelitian.

Sebaran suhu permukaan di perairan Berau dapat dilihat pada Gambar 4. Suhu pada perairan Berau ini ditemukan paling rendah di daerah laut lepas, dan semakin mendekati daratan, suhu akan semakin meningkat. Hal ini sependapat dengan pernyataan Nontji (2005) bahwa suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(39)

4.1.1.2. Salinitas

Salinitas pada perairan Berau memiliki nilai antara 23,7 – 34 PSU. Pada pengambilan sampel periode I diperoleh nilai salinitas berkisar antara 23,7 – 33,7 PSU. Sedangkan pada pengambilan sampel periode II, nilai salinitas berkisar antara 24 – 34 PSU. Dengan demikian tidak terlihat adanya perbedaan salinitas pada periode penelitian yang berbeda. Kisaran salinitas yang demikian ini masih layak untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Menurut Sachlan (1982) salinitas yang sesuai bagi fitoplankton laut untuk dapat hidup dan memperbanyak diri disamping aktif melakukan proses fotosintesis adalah salinitas yang memiliki nilai lebih dari 20 PSU.

Sebaran salinitas permukaan di perairan Berau ini dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai salinitas terendah dijumpai pada muara sungai dan nilai yang semakin besar ditunjukkan ke arah laut. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh daratan yang besar sehingga mempengaruhi salinitas yang kecil di daerah muara sungai. Pengaruh daratan itu antara lain adalah masuknya aliran air tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut.

Salinitas yang tinggi di daerah laut lepas karena adanya pengaruh yang besar dari perairan Selat Makassar yang mempunyai salinitas tinggi dan karena terletak di wilayah yang sangat jauh dari daratan (muara sungai). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 2005).

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

1.8

(40)

4.1.1.3. Turbiditas

Nilai turbiditas pada permukaan laut di perairan Berau berkisar antara 16,9 – 77,3 NTU. Pada penelitian periode I, turbiditas berkisar antara 16,9 – 77,3 NTU. Pada penelitian periode II nilai turbiditas berkisar antara 17,69 – 53,69 NTU. Sebaran turbiditas di perairan ini dapat dilihat pada Gambar 6. Secara umum nilai turbiditas yang besar dijumpai pada daerah muara sungai dan semakin kecil ke arah laut. Besarnya nilai turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan yang tinggi, hal ini mengandung pengertian bahwa di daerah muara sungai mempunyai tingkat kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tingginya tingkat kekeruhan di daerah muara sungai ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi.

Nybakken (1992) menyatakan bahwa kekeruhan akan menyebabkan penurunan penetrasi cahaya yang mengakibatkan menurunnya fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton.

Gambar 6 Sebaran turbiditas di perairan Berau

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(41)

4.1.1.4. Arus

Arus sangat mempengaruhi sebaran dari fitoplankton. Ukuran fitoplankton yang sangat kecil mengakibatkan pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan air (Romimohtarto dan Juwana, 2004).

Pengukuran arus dilakukan pada saat penelitian periode I. Pada penelitian periode II tidak dilakukan pengukuran arus, karena masih dalam musim yang sama dengan penelitian sebelumnya sehingga kemungkinan besar arah dan kecepatan arus kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya.

Arah dan kecepatan arus pada perairan Berau ini sangat bervariasi, mulai dari mulut sungai sampai dengan daerah perairan lepas. Kecepatan arus permukaan baik pada saat pasang maupun surut, memiliki nilai tertinggi adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cm/detik. Sebaran arus selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Kecepatan arus yang tinggi dijumpai pada daerah laut lepas dan daerah sekitar muara sungai. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh arus Selat Makassar yang kuat sehingga mempengaruhi besarnya kecepatan arus di daerah laut lepas. Pada daerah muara sungai, besarnya arus yang mengalir ini kemungkinan karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai.

Arah arus permukaan pada daerah muara umumnya mengikuti arah alur sungai, kemudian membelok ke utara mengikuti pola umum arus Selat makassar.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(42)

4.1.2. Faktor Kimia 4.1.2.1. pH

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan. Dalam kehidupan organisme perairan, pH menentukan terlarut tidaknya beberapa zat. Nilai pH ini akan mepengaruhi produktifitas suatu perairan. Menurut Hickling (1971), air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian di daerah perairan Berau memiliki kisaran antara 7,8 – 8,86. Pada penelitian I pH memiliki kisaran antara 7,8 - 8,86 (Gambar 8). Secara umum nilai pH yang rendah dijumpai di daerah dekat muara sungai dan nilai bertambah besar ketika mendekati daerah laut lepas. Nilai derajat keasaman (pH) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. Davis (1955) menyatakan bahwa pH air laut adalah bersifat basa (sekitar 8,20) kecuali di dekat pantai, tempat masuknya air tawar, dan di perairan yang terjadi pembusukan detritus organik yang dapat merubah kondisi pH.

Kisaran nilai pH yang demikian ini masih menunjang bagi kehidupan fitoplankton. Menurut Sachlan (1982), fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7 – 8 bilamana terdapat cukup mineral di dalam perairan tersebut. Ray dan Rao (1964) menerangkan bahwa pH optimal untuk perkembangan diatom antara 8 – 9.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

1.8

(43)

4.1.2.2. Oksigen Terlarut

Kandungan oksigen terlarut di perairan Berau berkisar antara 2,7 - 6,14 ml/l. Pada penelitian periode pertama, nilai oksigen terlarut antara 2,7 – 4,3 ml/l pada saat surut. Kadar oksigen ditemukan mempunyai nilai yang rendah di daerah pesisir/ dekat daratan dan sebaliknya memiliki nilai yang cukup tinggi di daerah laut terbuka (Gambar 9). Hal ini kemungkinan disebabkan pemakaian yang tinggi oleh organisme di daerah pesisir.

Pada penelitian periode ke-dua kandungan oksigen terlarut di perairan Berau berkisar antara 4,77 – 6,14 ml/l. Kadar oksigen yang diperoleh pada masing-masing stasiun mempunyai nilai yang bervariasi, tidak ditentukan oleh jauh dekatnya stasiun dengan daratan (Gambar 9). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh bervariasinya pemakaian oksigen oleh organisme, baik di daerah pantai maupun lepas pantai. Bervariasinya pemakaian oksigen ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi organisme itu sendiri, jenis organisme, ukuran dan jumlah organisme.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

1.8

(44)

4.1.2.3. Fosfat

Konsentrasi fosfat yang diperoleh selama penelitian, memiliki nilai

terendah 0,08 µg –at/l dan tertinggi 0,89 µg –at/l . Pada saat penelitian pertama dilakukan diperoleh kadar fosfat berkisar antara 0,09 - 0,89 µg –at/l. Pada penelitian ke-dua konsentrasi fosfat antara 0,08 – 0,29 µg –at/l. Kisaran konsentrasi fosfat ini masih layak untuk kehidupan fitoplankton. Fosfat diperlukan oleh fitoplankton pada kisaran 0,029 – 0,587 µg –at/l (Mackentum, 1969).

Secara umum, kandungan fosfat di perairan Berau mempunyai nilai yang tinggi di daerah muara sungai dan semakin rendah ke arah laut (Gambar 10). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muchtar (2000) di perairan Kalimantan Timur (dari balikpapan sampai kabupaten Kutai Timur),

mendapatkan nilai kandungan fosfat antara 0,08 µg –at/l - 0,40 µg –at/l. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata kisaran fosfat yang diperoleh pada penelitian di Berau ini tidak jauh berbeda dengan penelitian terdahulu pada perairan yang mendekati wilayah Berau.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(45)

4.1.2.4. Nitrat

Nitrat sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Hasil pengukuran kandungan nitrat di perairan Berau pada

penelitian I ini berkisar antara 0,14 - 4,98 µg –at/l (Gambar 11). Pada penelitian ke-dua konsentrasi nitrat berkisar antara 0,15 – 1,22 µg –at/l. Konsentrasi nutrien yang diperoleh pada perairan ini masih berada pada kondisi yang memungkinkan bagi pertumbuhan/ produksi fitoplankton. Mackentum (1969) menyatakan bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203 – 0,790 µg –at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut.

Secara umum, kandungan nutrien di perairan Berau ini memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah dekat muara. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi yang dekat dengan daratan memungkinkan adanya masukan nutrien dari darat dan karena perairannya dangkal menyebabkan sedimen dasar laut teraduk. Selain itu, hal ini dapat disebabkan pula oleh kondisi sekitar muara yang banyak terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn (1988) bahwa kandungan nutrien di suatu daerah estuari selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri, terurai menjadi zat hara.

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

1.8

(46)

4.1.2.5. Silikat

Kandungan silikat di perairan Berau pada saat penelitian dilakukan

berkisar antara 5,21 - 64,53 µg –at/l. Sama halnya dengan sebaran nutrien sebelumnya, konsentrasi silikat di perairan Berau ini secara umum tinggi di daerah dekat muara dan semakin rendah ke arah laut (Gambar 12). Tingginya kadar silikat di daerah dekat muara ini diduga karena mendapat masukan silikat dari darat melalui run off ke sungai. Menurut Cushing dan Walsh (1976) salah satu sumber silikat adalah buangan dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn ( 1991) menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Selain itu, hal ini diduga juga karena di perairan muara sungai, silikat mengalami akumulasi sebelum jauh menyebar ke laut lepas. Koesoebiono (1980) menyatakan bahwa arus dari sungai akan membawa zat-zat nutrien yang kemudian akan terakumulasi di perairan muara sungai sebelum jauh menyebar ke arah laut.

Gambar 12 Sebaran silikat di perairan Berau

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(47)

Nilai parameter fisika-kimia lingkungan di perairan Berau, secara umum masih layak untuk pertumbuhan fitoplankton. Berdasarkan uji t, nilai parameter fisika-kimia yang diukur di perairan Berau menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada tahun 2005 dan 2006 (Tabel 3), hal ini disebabkan penelitian dilakukan pada musim yang sama.

Tabel 3 Hasil uji t nilai parameter fisika-kimia lingkungan di Perairan Berau

No Parameter Uji t (P-Value)

1 Suhu (oC) 0.936

2 Salinitas (PSU) 0.160

3 Turbiditas 0.851

4 Fosfat (µg –at P/l) 0.741 5 Nitrat (µg –at N/l) 0.362 6 Silikat (µg –at Si/l) -*

7 Arus (cm/detik) -*

* tidak mempunyai nilai karena data hanya diperoleh pada tahun 2005 (tidak ada nilai pembanding)

Secara umum kondisi lingkungan di perairan Berau masih mendukung bagi pertumbuhan dan sebaran fitoplankton. Suhu di perairan Berau masih dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan fitoplankton. Salinitas sangat berkaitan dengan sebaran fitoplankton, pada umumnya fitoplankton jenis tertentu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki salinitas 0 (perairan tawar), dan jenis yang lain hanya dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang bersalinitas tinggi. Hal ini tergantung dari daya toleransi masing-masing jenis terhadap salinitas itu sendiri. Chaetoceros dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang cukup luas, sedangkan Trichodesmium umumnya menyukai perairan bersalinitas tinggi (Praseno dan Sugestiningsih, 2000). Setiap jenis fitoplankton membutuhkan kadar nutrien (fosfat, nitrat, silikat) yang berbeda pula untuk pertumbuhannya. Ault, dkk (2000) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa pengkayaan silicon dapat memberikan pengaruh yang nyata pada komposisi dan kelimpahan fitoplankton. Sastranegara (1994), menyatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara Chaetoceros densum dengan NH3-N di hutan bakau Segara Anakan, Cilacap, dimana kadar NH3-N optimum

(48)

4.1.3. Faktor Biologi

4.1.3.1. Kelimpahan Fitoplankton

Fitoplankton yang ditemukan di Perairan Berau terdiri dari 28 marga, yang termasuk dalam dua klas, yaitu Bacillariophyceae/Diatom (24 marga) dan Dynophyceae/Dinoflagellata (4 marga). Diatom merupakan kelas dengan jumlah marga dan kelimpahan tertinggi (Gambar 13 dan Gambar 14). Diatom dapat menjadi fitoplankton yang dominan karena diatom mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi dibandingkan dinoflagellata dan klas fitoplankton yang lain, sehingga menyebabkan kelimpahannya besar. Praseno dan Sugestiningsih (2000) menyatakan bahwa pada saat terjadi peningkatan konsentrasi zat hara, diatom mampu melakukan reproduksi tiga kali dalam 24 jam, sedangkan dinoflagellata hanya mampu melakukannya satu kali dalam 24 jam pada kondisi zat hara yang sama. Menurut Arinardi et al. (1997), dalam kondisi yang optimal diatom mampu melakukan pembelahan sel dengan cepat, sekitar empat jam sekali.

Fitoplankton

98% 2%

Diatom Dinoflagellata

Dinoflagellata

25% 22%

Ceratium Dinophysis Protoperidinium

Diatom

2%

28%

24% 4%

3% 6% 3% 12%

18%

Bacillaria Chaetoceros Dytilum

Guinardia Nitschia Rhizosolenia

Thalassiosira Thalassiotrix Lainnya

(49)

Menurut Sutomo (1984), secara umum marga yang ditemukan di daerah muara Berau adalah 24 marga fitoplankton, dengan rincian 20 marga diatom dan empat marga dinoflagellata.. Dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun ditemukan penambahan marga fitoplankton kurang lebih 4 marga, hal ini menunjukkan bahwa perairan Berau mengalami peningkatan kesuburan. Lund (1969) dalam Basmi (2000) menyatakan bahwa munculnya spesies organisme baru pada komunitas fitoplankton merupakan indikasi terjadinya proses ke eutrofik.

Fitoplankton yang dapat dijumpai di hampir semua stasiun penelitian adalah Chaetoceros, Coscinodiscus, Guinardia, Odontella, dan Rhizosolenia,

yang merupakan kelompok dari diatom. Menurut Praseno dan Sugestiningsih (2000), jenis-jenis utama diatom terdiri dari Chaetoceros, Coscinodiscus dan

Thalassiosira. Menurut Sutomo (1984), komposisi utama fitoplankton di muara

Berau, terdiri atas Chaetoceros, Thalassiothrix/ Thalassionema, dan

Coscinodiscus.

Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 75.746 – 15.311.933 sel/m3 (Lampiran 2). Kelimpahan fitoplankton pada tahun 2005 didominasi dari kelas

Gambar 14 Kelimpahan fitoplankton di Perairan Berau tahun 2006 Fitoplankton

97% 3%

Diatom Dinoflagellata

Diatom

23%

21%

15% 9%

9% 8%

15%

Lauderia Coscinodiscus Bacillaria

Nitschia Guinardia Thalassiotrix

Lainnya

Dinoflagellata

7 20%

8% 1%

(50)

diatom marga Chaetoceros, Dytilum, Thalassiothrix, Rhizosolenia, Thalassiosira,

dan Guinardia, sedangkan dinoflagellata dapat dijumpai dalam jumlah yang

sedikit yaitu dari marga Ceratium, Dinophysis dan Protoperidinium (Gambar 13). Jenis-jenis ini sering mendominasi perairan nusantara. Pemonitoran fitoplankton di perairan Teluk Jakarta antara tahun 1976-1979 menunjukkan bahwa

Chaetoceros umum mendominasi jenis-jenis fitoplankton (Praseno, 1980).

Sutomo (1984) melaporkan bahwa Chaetoceros menduduki tempat yang penting pada komunitas fitoplankton di muara Berau dengan persentase antara 50%-76,7%. Thoha (2003) menemukan diatom dominan di Perairan Riau Kepulauan adalah Chaetoceros, Thalassionema dan Thalassiothrix, sedangkan dinoflagellata dominan adalah Ceratium. Sedangkan pada tahun 2006, kelimpahan fitoplankton di perairan Berau, khususnya di perairan lepas pantai didominasi oleh Lauderia,

Coscinodiscus, Bacillaria, Nitzschia, Guinardia dan Thalassiothrix. Sutomo, dkk

(2001) menyatakan bahwa di perairan kalimantan Timur, khususnya di perairan lepas pantai Thalassiothrix menjadimarga yang dominandari kelompok diatom, sedangkan dari kelompok dinoflagellata Ceratium dan Protoperidinium

ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak.

Perbedaan marga diatom yang dominan di perairan Berau pada tahun 2005 dan 2006 kemungkinan juga disebabkan oleh perbedaan konsentrasi nutrien di lokasi penelitian. Lagus, et al (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya diketahui bahwa diatom mempunyai respon yang sangat cepat terhadap penambahan nutrien dan dapat menjadi kelompok yang dominan, dimana didapatkan Chaetoceros wighamii dan Skeletonema costatum menjadi dominan dan terjadi peningkatan sampai 32 - 57% dari total biomassa pada semua percobaan di akhir penelitian. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Kuosa et al

(1997) dalam Lagus, et al (2004) yang menyatakan bahwa centric diatom

(Chaetoceros, Coscinodiscus, Ditylum, Guinardia, Lauderia, Rhizosolenia)

diketahui memiliki respon pertumbuhan yang cepat terhadap pengkayaan nutrien, baik pada percobaan di laboratorium maupun di perairan alami.

(51)

2000). Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) fitoplankton pada perairan Berau dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Fitoplankton pada Perairan Berau

Zona Nilai Indeks Kisaran

Keanekaragaman (H') 1.535 - 3.585

Periode I (2005) Keseragaman (E) 0.357 - 0.840

Dominansi (D) 0.121 - 0.577

Keanekaragaman (H') 1,906 – 3,24

Periode II (2006) Keseragaman (E) 0,515 – 0,877

Dominansi (D) 0,125 – 0,485

Indeks keanekaragaman komunitas fitoplankton di perairan Berau menunjukkan bahwa keanekaragaman pada daerah ini termasuk dalam kategori kestabilan komunitas yang sedang. Menurut Parsons et al (1984) nilai indeks keanekaragaman antara 1 – 3 berarti keanekaragaman sedang atau perairan cukup stabil, sedangkan jika indeks keanekaragaman lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman tinggi atau perairan stabil. Indeks keseragaman yang berkisar antara 0.357 – 0,877 menunjukkan bahwa struktur komunitas fitoplankton mempunyai keseragaman jenis dalam kisaran kecil sampai tinggi. Semakin besar nilai indeks keseragaman (mendekati 1) maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu sama dan tidak ada kecenderungan terjadi dominasi oleh satu jenis fitoplankton. Indeks dominansi menunjukkan bahwa tidak ada jenis fitoplankton yang mendominasi di perairan ini.

Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) dapat diketahui bahwa perairan Berau tergolong dalam perairan yang mempunyai kestabilan sedang, dan tidak terjadi adanya dominasi oleh jenis fitoplankton tertentu.

4.1.3.2. Sebaran Fitoplankton

(52)

penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut, baik yang datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut maupun yang berasal dari lapisan dalam dan terangkat ke permukaan.

Kelimpahan fitoplankton terbesar dijumpai pada stasiun 4 dan 5 (Gambar 15), merupakan daerah yang bernama Muara Pantai, dan stasiun 3 (Gambar 16) yang merupakan daerah pertemuan beberapa muara sungai. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutomo (1983) di perairan sekitar Muara Berau dan Sesayap, diperoleh hasil bahwa kelimpahan tertinggi fitoplankton berada pada daerah

Gambar 15 Sebaran fitoplankton di perairan Berau, tahun 2005

Gambar 16 Sebaran fitoplankton di perairan Berau, tahun 2006

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

1.8

117.7 117.8 117.9 118.0 118.1 118.2 118.3

(53)

Muara Pantai, yaitu dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 3.243.763 sel/m3. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutomo (1983), pada penelitian ini (tahun 2005) kelimpahan fitoplankton terbesar juga ditemukan pada daerah Muara Pantai. Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, stasiun 3 memiliki kelimpahan fitoplankton tertinggi karena stasiun ini terletak di depan muara-muara sungai besar, seperti Muara Pantai dan Muara Garura.

Arus perairan juga mempengaruhi sebaran fitoplankton selain pengaruh dari muara sungai pada saat pengamatan, hal ini tentunya tidak terlepas dari sifat plankton yang tidak cukup kuat untuk melawan gerakan air yang begitu besar. Pada penelitian yang dilakukan tahun 2005, kelimpahan tertinggi fitoplankton dijumpai pada stasiun 4 dan 5, kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh pergerakan air (Gambar 7), dimana sebagian besar air bergerak menuju stasiun 4 dan 5, sehingga fitoplankton akan terkumpul di daerah tersebut. Demikian halnya pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, stasiun 3 memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi mengingat pada saat pengambilan sampel dilakukan, kondisi perairan pada saat menuju surut, sehingga fitoplankton yang berada di daerah muara terbawa oleh air menuju ke daerah yang menjauhi pantai.

Secara umum kelimpahan fitoplankton akan tinggi apabila berada pada daerah yang memiliki konsentrasi nutrien tinggi, walaupun tidak secara merata pada semua stasiun pengamatan tetapi daerah yang memiliki kandungan fosfat dan nitrat tertinggi juga memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif tinggi.

4.1.3.3. Kandungan Klorofil-a

Hasil pengamatan kandungan klorofil-a di perairan Berau menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di lapisan permukaan berkisar antara 0,19 –4,24 mg/m3.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah
Tabel 1. Wakil klas ganggang di dalam fitoplankton bahari
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 2  Peta lokasi dan stasiun penelitian pada periode I (2005)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai variabilitas parameter oseanografi, yang meliputi: suhu, salinitas, nutrien (fosfat, nitrat, silikat) dan klorofii-a dilakukan di Perairan Nangroe Aceh

Penelitian ini bertujuan untuk: a) menganalisis pola sebaran kelimpahan dan keragaman fitoplankton; dan b) menganalisis pengaruh jarak perairan terhadap kelimpahan dan

Analisis korelasi menunjukkan bahwa parameter lingkungan perairan yang berpengaruh terhadap dinamika fitoplankton adalah suhu, kecerahan, salinitas, nitrat, dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran gerombolan ikan demersal di perairan Tarakan dan hubungan sebaran gerombolan ikan demersal dengan suhu, salinitas dan kedalaman

Hasil Analisa suhu menunjukan adanya zonasi sebaran suhu permukaan antara laut Sulawesi dan utara Laut Maluku, adapun sebaran salinitas menunjukan adanya

Sebaran massa air di lautan dapat diketahui dengan mempelajari parameter-parameter oseanografi, antara lain adalah suhu, salinitas, densitas, kedalaman dinamik, kecepatan

Penelitian tentang sebaran konsentrasi total padatan tersuspensi (TSS) dan pengaruhnya terhadap kelimpahan fitoplankton perlu dilakukan karena parameter-parameter tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk: a) menganalisis pola sebaran kelimpahan dan keragaman fitoplankton; dan b) menganalisis pengaruh jarak perairan terhadap kelimpahan dan