• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RESIKO PENYEBARAN PENYAKIT

BRUCELLOSIS PADA KAMBING DI RUMAH

POTONG HEWAN (RPH) CITARINGGUL

HENDRO DWI SUGIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Hendro Dwi Sugiyanto

(4)

ABSTRAK

HENDRO DWI SUGIYANTO. 2014. Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul. Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan RAMILAH ERLIANI NASUTION.

Brucella melitensis adalah agen penyebab Brucellosis pada kambing dan dan bersifat zoonosis. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai besarnya resiko penyebaran penyakit Brucellosis pada kambing di RPH Citaringgul. Data diperoleh melalui kegiatan pengamatan lapang dan banyak sumber data sekunder. Data yang diperoleh disusun menjadi pertanyaan resiko yang dibagi berdasarkan lokasi pengamatan, yaitu daerah peternakan asal, penampungan sementara, dan RPH Citaringgul. Penghitungan resiko menunjukkan bahwa nilai resiko pada penampungan sementara, daerah peternakan asal, dan RPH Citaringgul adalah 5,00x10-2, 2,79x10-3 and 7,81x10-8. Nilai tersebut kemudian ditempatkan pada matriks resiko dan menunjukkan bahwa resiko penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul tergolong dapat diterima.

Kata kunci: analisis resiko, Brucella melitensis, Brucellosis pada kambing, RPH

ABSTRACT

HENDRO DWI SUGIYANTO. 2014. Risk Analysis of Goat’s Brucellosis at Citaringgul Abattoir. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and RAMILAH ERLIANI NASUTION.

Brucella melitensis is causing brucellosis on goats and zoonoses. This study aims to provide an overview of the risk estimation for goat Brucellosis spreading probability at Citaringgul Abattoir. Data were obtained through field observations activities and many secondary data resources. Obtained data compiled into risk question which divided based on observation area, namely was the origin husbandry, transit shelter, and Citaringgul Abattoir. The calculated risk showed that the risk value at transit shelter, origin husbandry and Citaringgul Abattoir are 5,00x10-2, 2,79x10-3 and 7,81x10-8. They were plotted to risk matrix and showed that risk of Brucella melitensis at Citaringgul Abattoir is acceptable.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

ANALISIS RESIKO PENYEBARAN PENYAKIT

BRUCELLOSIS PADA KAMBING DI RUMAH

POTONG HEWAN (RPH) CITARINGGUL

HENDRO DWI SUGIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan (RPH) Citaringgul

Nama : Hendro Dwi Sugiyanto NIM : B04090113

Disetujui oleh

Dr drh Eko Sugeng Pribadi, MS Pembimbing I

drh Ramilah E Nasution, MM Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Resiko Penyebaran Penyakit Brucellosis pada Kambing di Rumah Potong Hewan Ruminansia Kecil (RPH-RK) Citaringgul. Penelitian ini bertujuan menganalisis resiko penyebaran penyakit Brucellosis ke masyarakat dan lingkungan melalui RPH-RK Citaringgul. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang membantu menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan pada waktu yang tepat. Dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Eko S Pribadi, MS dan drh Ramilah E Nasution, MM sebagai dosen pembimbing yang senantiasa memberi saran dan masukan. Dukungan serta motivasi dari temen-teman Geochelone terutama Yuliani Indrawati dan temen-teman-temen-teman C2. Serta kerjasama dari pihak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, serta UPT Rumah Potong Hewan

.

Karya ini dipersembahkan untuk keluarga, Ayah (Sugiyanto), Ibu (Mujilah), Kakak (Tetty Eka Sugiyanto), dan adik (Wisnu Tri Sugiyanto) penulis.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Rancangan Penelitian dan Pengambilan Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Fakta Lapangan di RPH Citaringgul 7

Pengenalan Bahaya 9

Penilaian Resiko 9

Konsekuensi Resiko 17

Pengelolaan Resiko 17

Komunikasi Resiko 18

SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 19

(11)

DAFTAR TABEL

1 Daftar kegiatan yang disusun berdasarkan alur perjalanan kambing dari

tempat asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul 11

2 Pembobotan peluang kejadian berdasarkan munculnya resiko 12 3 Kajian resiko kegiatan pemotongan kambing dari tempat asalnya

hingga tiba di RPH Citaringgul 12

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi RPH Citaringgul 5

2 Fasilitas Ruangan Bagian Dalam RPH Citaringgul 8

3 Fasilitas RPH Citaringgul Bagian Luar 9

4 Penempatan nilai keparahan dari kegiatan pemotongan kambing di RPH

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi industri ternak ruminansia kecil, khususnya kambing, di Indonesia dapat dikatakan cukup diminati pengusaha. Data Ditjennak (2013) menyatakan pertumbuhan produksi ternak kambing di Jawa Barat memiliki persentase kedua terbesar setelah Jawa Timur. Peningkatan populasi ternak kambing memiliki dampak terhadap perkembangan penyakit ternak. Pemerintah berkewajiban menjamin keamanan pangan asal hewan karena daging, susu, dan produk olahannya sangat rentan dicemari mikroorganisme patogen yang mengancam kesehatan manusia dan lingkungan.

Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu infrastruktur yang dimiliki oleh pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan asal hewan. Peranan RPH adalah untuk menyediakan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal kepada masyarakat. Fungsi RPH sebagai sarana untuk melaksanakan pemotongan hewan secara benar yang sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariah agama; pemeriksaan kesehatan

antemortem dan postmortem; serta pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis sebagai pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan yang dapat menular ke manusia di daerah asal hewan (Tawaf 2012).

Brucellosis termasuk zoonosis dan kambing merupakan salah satu inang yang rentan terhadap infeksi oleh bakteri Brucella ovis dan B. melitensis yang dapat menular ke manusia melalui produk daging dan susu. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh Brucellosis cukup tinggi, sehingga membuat peternak harus memperhatikan kesehatan ternak untuk mencegah masuknya patogen ke dalam lingkungan peternakan. Keberadaan RPH membantu dalam pengawasan dan pencegahan Brucellosis yang bersumber dari suatu peternakan agar Brucella

sp. tidak keluar dan menyebar, hingga dapat menulari hewan maupun manusia. RPH Pemerintah di wilayah kerja Kabupaten Bogor dibagi menjadi dua jenis, yaitu RPH hewan besar untuk sapi dan kerbau dan RPH hewan kecil untuk kambing dan domba. Unit RPH yang melayani pemotongan hewan besar, yaitu RPH Cibinong, RPH Jonggol, dan RPH Galuga, sedangkan pemotongan hewan kecil dilakukan di RPH Citaringgul. RPH Citaringgul terletak di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor, tepatnya di Desa Citaringgul. Ternak yang dipotong di RPH Citaringgul berasal dari wilayah sekitar Kabupaten Bogor, seperti Kecamatan Cisarua, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Garut. Pemasok ternak yang dipotong di RPH Citaringgul kebanyakan merupakan pedagang sate kiloan (PSK) untuk langsung dipasarkan di kios yang berada di Kabupaten Bogor.

(13)

2

resiko penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul dapat digunakan sebagai dasar dari pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan pengendalian Brucellosis.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dari penelitian ini adalah (1)Berapa besar peluang terjadinya Brucellosis?

(2)Apa faktor resiko yang dapat berperan dalam penyebaran dan penularan

Brucella sp. dari peternakan ke RPH Citaringgul?

(3)Apa dampak yang ditimbulkan jika Brucellosis dapat masuk dan menyebar di lingkungan peternakan dan RPH Citaringgul?

(4)Apa pengelolaan resiko yang dapat diterapkan RPH untuk mencegah masuk dan menyebarnya Brucellosis?

(5)Siapa pihak yang harus mengetahui besarnya resiko terjadinya Brucellosis?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai besarnya resiko penyebaran penyakit Brucellosis pada kambing di RPH Citaringgul.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai besarnya resiko dan faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit Brucellosis pada kambing di RPH Citaringgul.

TINJAUAN PUSTAKA

Todar (2008) mengemukakan bahwa Brucella sp. masuk dalam klasifikasi sebagai berikut :

Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhizobiales

Famili : Brucellaceae Genus : Brucella

Brucella sp. memiliki enam spesies dengan inang definitif yang berbeda. Penamaan spesies Brucella tersebut didasarkan pada nama latin dari inang definitif mereka, yaitu Brucella suis pada babi, B.abortus pada sapi, B. neotomae

dan B. canis pada anjing, B. ovis pada domba, dan B. melitensis pada kambing (Alton et al. 1988). Acha dan Boris (2003) menyebutkan bahwa dari enam spesies

Brucella tersebut, terdapat lima spesies yang berpotensi menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan, yaitu B. suis pada babi, B. abortus pada sapi, B. ovis pada domba, B. canis pada anjing, dan B. melitensis pada kambing.

(14)

3 endemik (Doganay dan Aygen 2003). Brucellosis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1935 melalui pemeriksaan serologik di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dan pada tahun 1938 B. abortus berhasil diisolasi.

Kasus Brucellosis sangat beragam antar daerah di Indonesia, tergantung pada tatalaksana pemeliharaan ternak. Beberapa wilayah di Indonesia telah dinyatakan bebas Brucellosis oleh Ditkeswan (2004), yaitu Bali, Lombok, Kalimantan, dan Sumatera bagian tengah (Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Barat). Menurut Noor (2006), kejadian Brucellosis pada manusia di Indonesia, jumlahnya belum dapat diketahui secara pasti karena tidak adanya laporan dari masyarakat yang disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai Brucellosis yang merupakan penyakit zoonotik. Jumlah Brucellosis dapat diperkirakan berdasarkan laporan penyakit di negara endemis lain, yaitu berkisar mulai kurang dari 0.01 sampai lebih dari 200 kasus per 100 000 orang (Merino 1989). Prevalensi Brucellosis pada ternak secara umum mencapai 40% yang menyebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia, sehingga memungkinkan terjadinya penularan Brucellosis ke manusia (Noor 2006).

Brucellosis dikenal dengan beberapa nama, diantaranya keluron, demam Malta (Malta fever), undulan fever, Mediteranean fever, Bang's Disease, Crimean fever, dan Brucellosis. Bakteri yang berasal dari genus Brucella, setiap spesiesnya memiliki hewan inang yang spesifik, seperti B. ovis pada domba dan B. melitensis

pada kambing. Brucellosis sering terjadi pada hewan domestik (kambing, babi, sapi, anjing, dll) dan manusia, terutama pada negara berkembang (Renukaradhya

et al. 2002).

Bakteri Brucella sp. bersifat gram negatif, tidak berspora, tidak dapat bergerak, tidak berkapsul, berbentuk kokobasilus berukuran 0,6–1,5 m dan hidup pada suhu 20-40 °C. Brucella sp. terbagi menjadi galur kasar dan halus berdasarkan lipopolisakarida (LPS) yang dapat menentukan tingkat virulensi. LPS merupakan salah satu komponen dinding sel yang berfungsi sebagai penghambat kerja bakterisidal di dalam sel makrofag. Galur kasar terdiri atas B. canis, sedangkan galur halus terdiri atas B. melitensis B. abortus, dan B. suis (Rittig et al.

2003). Galur kasar memiliki tingkat virulensi lebih rendah pada manusia.

Brucella sp. cukup mudah menular akibat daya tahan hidup cukup baik di luar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan. Brucella sp dapat betahan hingga beberapa hari pada susu dan beberapa minggu sampai bulan pada produk olahan susu (Acha dan Boris 2003). Brucella sp. dapat bertahan pada tanah kering hingga 4 hari, sedangkan pada tanah yang lembab dapat bertahan hingga 66 hari (CFSPH 2008) dan pada tanah yang becek 151–185 hari (Crawford

et al. 1990). Selain itu, menurut Noor (2006), Brucella sp. juga dapat bertahan pada air minum ternak selama 5–114 hari dan air limbah selama 30–150 hari Sudibyo (1995).

(15)

4

penularan Brucellosis tidak hanya dialami oleh orang dengan pekerjaan tersebut, namun juga dapat dialami oleh konsumen saat menangani atau memakan daging mentah atau belum matang sempurna dan meminum susu serta produk olahannya yang tidak dipasteurisasi terlebih dahulu.

Brucellosis Pada Kambing dan Domba

Brucellosis pada kambing dan domba dapat disebabkan oleh B. ovis dan B. melitensis. Dari kedua jenis agen tersebut hanya B. melitensis yang bersifat zoonosis (EC 2001). Brucellosis pada kambing dan domba merupakan penyakit yang penting, baik pada bidang kesehatan masyarakat maupun pada bidang kesehatan dan produksi hewan. Brucellosis pada kambing telah menyebar luas di berbagai wilayah di dunia, khususnya daerah Mediteanian, Timur Tengah, Asia Tengah, dan beberapa daerah di Amerika Latin. Beberapa negara di wilayah Eropa Timur, Asia Tengah dan Timur Tengah kejadian Brucellosis yang disebabkan oleh B. melitensis lebih sering terjadi dibandingkan B. abortus (FAO 2010).

B. melitensis merupakan salah satu dari enam spesies yang dapat menyebabkan Brucellosis pada kambing. B. melitensis ditemukan sebagai bakteri patogen yang secara khusus menginfeksi kambing dan domba, yang menyebabkan penurunan fertilitas, penurunan produksi susu, dan keguguran. Bakteri ini bersifat zoonosis karena mampu menginfeksi manusia. Masa inkubasi dari B. melitensis

terjadi selama 820 hari dan dapat menyebabkan gejala klinis yang terjadi berbeda-beda. Bentuk akut dari penyakit ini memiliki gejala berupa kelesuan, sakit kepala, mengeluarkan banyak keringat terutama pada malam hari, dan sakit pada persendian dan otot. Kejadian Brucellosis terkadang terbatas pada suatu organ atau sistem saja. Gejala klinis yang paling sering terlihat pada kasus ini adalah spondylitis, arthtitis peripheral, atau epididymo-orchitis. Gejala berupa komplikasi antara saraf, hepatosplenik, genitourinari dan kardiovaskular dapat ditemukan pada infeksi B. melitensis. Brucellosis kronis muncul jika salah satu atau beberapa gejala yang disebutkan di atas terjadi secara berulang dan terus-menerus hingga enam bulan atau lebih. Brucella dermatitis muncul dalam bentuk alergi (EC 2001).

RPH Citaringgul

RPH Citaringgul merupakan rumah potong hewan khusus ruminansia kecil yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor. RPH Citaringgul terletak di Desa Citaringgul, Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor (Gambar 1). Ternak yang dipotong dipasok oleh pedagang sate kiloan (PSK) dan karkas langsung dipasarkan di kios-kios yang berada di Kabupaten Bogor. Ternak yang dipotong berasal dari wilayah sekitar Kabupaten Bogor, seperti Kecamatan Cisarua, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi dan yang paling banyak berasal dari Kabupaten Garut.

(16)

5 menjamin keamanan dan kelayakan konsumsi daging, serta mencegah terjadinya penyebaran penyakit ke lingkungan dan masyarakat sekitar.

Gambar 1. Peta lokasi RPH Citaringgul Analisis Resiko

Resiko

Resiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan, karena dalam setiap kegiatan, pasti ada berbagai ketidakpastian (uncertainty). Faktor ketidakpastian inilah yang akhirnya menyebabkan timbulnya resiko pada suatu kegiatan. Resiko selalu berkaitan dengan peluang (probability) kerugian, terutama yang akan menimbulkan masalah. Menurut Williams dan Heins (1985), resiko adalah suatu keragaman hasil yang dapat terjadi selama kondisi tertentu pada periode tertentu. Sedangkan menurut ISO/IEC Guide 73, resiko dapat didefinisikan sebagai kombinasi probabilitas suatu kejadian dengan konskuensinya atau dengan akibatnya (Siahaan 2007).

Analisis resiko (risk analysis) merupakan metode analisis yang meliputi beberapa faktor penilaian seperti karakterisasi, komunikasi, manajemen, dan kebijakan yang berkaitan dengan resiko tersebut. Secara sederhana, analisis resiko dapat diartikan sebagai sebuah langkah untuk mengenali satu ancaman dan kerentanan, kemudian menganalisis dan menyoroti bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau dikurangi. Krutz dan Russel (2003) memberikan pengertian analisis resiko sebagai proses untuk mengenali resiko keamanan, menetapkan strategi untuk meredam resiko tersebut, dan identifikasi area yang membutuhkan pengamanan. Analisis resiko merupakan bagian dari pengelolaan resiko. Komponen dalam kegiatan analisis resiko meliputi pengenalan bahaya (hazard identification), penilaian resiko (risk assessment), pengelolaan resiko (risk management), dan komunikasi resiko (risk communication) (OIE 2013).

Pengenalan Bahaya

(17)

6

Penilaian Resiko

Penilaian resiko menilai bagaimana dampak dari suatu keadaan atau kejadian dapat mengganggu pencapaian dari suatu tujuan. Besarnya dampak dapat dianalisis dalam dua perspektif, yaitu peluang kejadian (likelihood) dan besaran dari terjadinya resiko (konsekuensi, consequence). Oleh karena itu besarnya resiko dari setiap kejadian merupakan perkalian antara peluang dan konsekuensi (Vose 2008).

Penilaian resiko dapat menggunakan dua metode, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dinyatakan dengan hubungan antara dampak yang ditimbulkan oleh suatu bahaya(consequence) dengan kemungkinan kejadian

bahaya di masa yang akan datang (likelihood) dan yang ditampilkan dalam satu matriks resiko (risk matrix) atau urutan resiko (risk ranking). Indikator bahaya

ditunjukkan dengan istilah kualitatif seperti rendah (low), moderat (moderate), tinggi (high) dan ekstrim (extreme). Sedangkan likelihood diekspresikan dengan istilah hampir pasti tidak terjadi (very unlikely), lebih sering tidak terjadi daripada terjadi (unlikely), bisa terjadi (somewhat likely), lebih sering terjadi daripada tidak terjadi (likely), dan hampir pasti terjadi (very likely) (Black et al. 2013).

Penilaian resiko kuantitatif dinyatakan dalam bentuk numerik. Metode ini memerlukan perhitungan dari dua komponen resiko (R), yaitu besarnya potensi kerugian (L), dan peluang/probabilitas (P) terjadinya kerugian (Vose 2008). Pengelolaan Resiko

Pengelolaan resiko merupakan proses pengenalan, penilaian dan prioritas resiko yang diikuti dengan penerapan sumberdaya secara terkoordinasi dan ekonomis untuk meminimalkan, memantau, dan mengendalikan dampak dari suatu ketidakpastian (Hubbard 2009). Strategi yang dapat diambil untuk mengatasi suatu resiko antara lain adalah menghindari resiko, menampung sebagian atau semua konsekuensi resiko tertentu, mengurangi efek negatif resiko, dan. memindahkan resiko kepada pihak lain (Dorfman 2007).

Komunikasi Resiko

Komunikasi resiko merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan hasil dari penilaian resiko dan pengelolaan resiko kepada pihak-pihak terkait seperti pemerintah, pengusaha peternakan kambing, dan konsumen daging dan produk sampingan dari kambing.

METODE

Waktu dan Tempat

(18)

7 Rancangan Penelitian dan Pengambilan Data

Penelitian ini dilakukan dengan dua bentuk kegiatan, yaitu desk study dan pengamatan lapang. Desk study dilakukan sebelum dan sesudah pengamatan lapang yang bertujuan untuk merancang segala rencana kegiatan penelitian dan menelaah data dan informasi yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Selain itu desk study juga dilakukan untuk melakukan penilaian analisis resiko. Sedangkan pengamatan lapang dilakukan untuk memperoleh data primer yang diperlukan. Data yang diperlukan untuk penelitian ini terdiri data primer dan data sekunder.

Data primer

Data primer merupakan data yang didapat langsung di lapangan dengan mengamati secara langsung tata laksana dan kegiatan yang ada di peternakan asal, kandang penampungan sementara dan RPH. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan dua cara, yaitu :

(1) Pengamatan lapang

Pengamatan lapang dilakukan dengan cara mengunjungi langsung tempat pengambilan data untuk melakukan pengamatan lokasi, kondisi hewan, hingga sistem pengolahan limbah.

(2) Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap peternak yang datang ke RPH dan petugas RPH dengan menggunakan kuesioner untuk mengetahui tahapan biosekuriti yang dilakukan pada peternakan dan RPH tersebut.

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data-data yang ada di Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bogor serta hasil penelitian yang telah ada sebelumnya. Data-data ini digunakan sebagai pembanding dan pendukung data primer.

Analisis Resiko

Komponen-komponen dalam melakukan Analisis resiko adalah (1) Pengenalan Bahaya

(2) Penilaian Resiko (3) Pengelolaan Resiko (4) Komunikasi Resiko

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fakta Lapangan di RPH Citaringgul

(19)

8

sate kiloan yang berada di Kecamatan Babakan Madang. Ternak yang dipotong sebagian besar berjenis kelamin betina dan telah berumur lebih dari satu tahun.

RPH Citaringgul tertata dengan rapi dan memiliki fasilitas yang memenuhi persyaratan rumah potong hewan, seperti tempat penurunan ternak, penyembelihan, penggantungan karkas, pencucian jeroan, dan pengolahan limbah. Pintu masuk ternak hidup di bangunan RPH Citaringgul dibuat terpisah dari pintu keluar karkas (Gambar 3b). Namun dalam praktiknya kedua pintu tersebut tidak selalu digunakan sesuai dengan fungsinya. Ruangan pada RPH Citaringgul dibagi menjadi daerah bersih dan daerah kotor (Gambar 2c). Daerah kotor terdapat tempat pemotongan ternak dan pencucian jeroan (Gambar 2a) yang memiliki saluran pembuangan (Gambar 2d) dan terhubung dengan tempat pengolahan limbah (Gambar 3a). Daerah bersih merupakan tempat pemotongan karkas menjadi beberapa bagian sebelum diangkut ke kios pedagang sate kiloan. Keadaan dalam ruangan daerah RPH Citaringgul lantai yang licin serta sudut pertemuan antara dinding dengan lantai berbentuk landai (Gambar 2b).

Pelaksanaan prinsip-prinsip higiene dan sanitasi personal maupun ruangan di RPH Citaringgul sudah baik. Petugas yang menangani karkas berbeda dengan petugas yang menangani jeroan. Peralatan yang digunakan dalam proses pemotongan ternak dan penanganan karkas tidak terdapat karat dan dirawat dengan baik. Kebersihan ruangan pada daerah kotor dan bersih selalu dijaga oleh petugas dengan cara selalu menyiram dan membersihkan kotoran atau darah yang ada di lantai maupun dinding.

Gambar 2. Fasilitas Ruangan Bagian Dalam RPH Citaringgul

a b

(20)

9

Gambar 3. Fasilitas RPH Citaringgul Bagian Luar Pengenalan Bahaya

Penularan B. melitensis ke manusia umumnya disebabkan oleh perpindahan bakteri dari ternak melalui susu kambing terinfeksi yang tidak dipasteurisasi (Rajashekara et al. 2006). Selain itu, daging yang dimakan mentah atau tidak masak sempurna juga berpotensi menularkan Brucellosis ke manusia (USDA 2013).

Keberadaan B. melitensis pada jaringan otot tidak mungkin ditemukan dalam jumlah tinggi. Ginjal, limpa, testis, hati, dan ambing mungkin mengandung jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan di otot. Penularan Brucellosis melalui daging tidak akan menimbulkan bahaya yang serius jika dimasak dengan matang. Pengeringan, pengasapan, dan pengasinan bukan merupakan cara yang dapat membunuh Brucella sp. pada daging. Brucella sp. juga masih dapat bertahan hidup dalam pendingin dengan suhu dibawah 0°C (CFSPH 2008). Penanganan daging dan jeroan yang terinfeksi juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran ke makanan lain jika tidak dilakukan dengan higienis.

Penilaian Resiko

Pada tahap Penilaian Resiko akan dilakukan penelaahan resiko yang diperkirakan muncul melalui pembahasan (i) penilaian penglepasan patogen (release assessment), (ii) penilaian cara pemaparan (exposure assessment), (iii) pertanyaan resiko (risk question), (iv) perhitungan resiko (risk estimation), dan (v) penilaian konsekuensi (consequence assessment).

(i) Penilaian cara penglepasan patogen

Brucella melitensis dapat menyebar luas dengan berbagai cara. Penyebarluasan Brucella melitensis dengan jumlah paling besar adalah melalui fetus, cairan allantois, leleran vagina, dan plasenta dari ternak yang terinfeksi.

Brucella melitensis akan terus dikeluarkan oleh kambing terinfeksi selama 23 bulan. Penyebaran Brucella juga dapat terjadi melalui sekresi ambing dan semen (EC 2001).

Brucella melitensis juga dapat ditularkan oleh induk kepada anaknya. Penularan Brucella melitensis kepada anak dapat terjadi melalui dua cara, yaitu pada masa kebuntingan dan menyusui. Penularan pada masa kebuntingan terjadi selama fetus berada dalam uterus induk, tetapi dalam jumlah yang sedikit.

(21)

10

Proporsi penularan Brucella melitensis yang paling banyak dari induk kepada anaknya adalah melalui kolostrum dan susu (EC 2001).

Pencemaran Brucella melitensis dalam jumlah besar ke lingkungan dapat terjadi melalui abortus, plasenta, feses, dan leleran vagina dari hewan yang terinfeksi (Cook 1999). Brucella melitensis yang terbawa oleh media tersebut dapat mencemari air, tanah, dan rumput sehingga dapat beresiko menulari ternak lain.

(ii) Penilaian cara pemaparan

Penilaian cara pemaparan dilakukan untuk memperkirakan peluang menyebarnya bakteri B. melitensis dan cara bakteri ini menginfeksi inang lainnya.

Brucella pada umumya dapat menginfeksi inang lain jika bakteri ikut tertelan atau terhirup baik secara langsung maupun tidak. Penularan Brucellosis juga dapat terjadi melalui proses perkawinan karena Brucella ditemukan juga di dalam semen dan saluran genital ternak yang terinfeksi.

.

(iii) Pertanyaan resiko

Beberapa pertanyaan dapat dikembangkan dari tahap-tahap penilaian penglepasan patogen dan penilaian pemaparan oleh patogen seperti yang tersusun di bawah ini:

(1) Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas Brucellosis?

(2) Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah berumur 6–12 bulan atau berganti gigi?

(3) Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin jantan? (4) Apakah kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan dengan

perkawinan alami?

(5) Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah mengalami abortus? (6) Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang ada di peternakan

dan sekitarnya?

(7) Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem surveilens untuk menentukan keberadaan Brucellosis?

(8) Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai dan ternak sakit yang ada di peternakan kambing?

(9) Apakah terdapat surat keterangan kesehatan hewan dari dinas asal kambing? (10) Apakah ternak yang baru datang ke penampungan dipisahkan dari ternak

yang sudah datang terlebih dahulu?

(11) Apakah ternak berada di penampungan lebih dari lima hari

(12) Apakah sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan antemortem?

(13) Apakah pintu masuk dan keluar di bangunan RPH berbeda? (14) Apakah daerah kotor dan bersih ditempatkan secara terpisah?

(15) Apakah penanganan terhadap karkas dan jeroan dilakukan oleh petugas yang berbeda?

(16) Apakah dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap karkas oleh pihak yang berwenang?

(17) Apakah pengelola RPH memperhatikan aspek higiene dan sanitasi fasilitas? (18) Apakah dilakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan

(22)

11 (iv) Perhitungan resiko

Dari pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun di atas, maka tahap selanjutnya adalah menyusun rangkaian kejadian yang sebenarnya terjadi di lapangan berdasarkan hasil pengamatan seperti terpapar di dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Daftar kegiatan yang disusun berdasarkan alur perjalanan kambing dari tempat asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul

Kejadian (K)

Uraian kejadian Tidak ada

resiko

Ada resiko

(1) (2) (3) (4)

A. Di area peternakan asal

K1 Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas

Brucellosis? - 

K2 Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah

berumur dewasa? - 

K3 Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis

kelamin jantan? - 

K4 Apakah kambing yang ada di peternakan

dikembangbiakkan dengan perkawinan alami? - 

K5 Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah

mengalami abortus? - 

K6 Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang

ada di peternakan dan sekitarnya? - 

K7 Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem

surveilens untuk mendeteksi Brucellosis? - 

K8 Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai dan hewan sakit yang ada di peternakan kambing?

- 

K9 Apakah terdapat Surat Keterangan Kesehatan Hewan

dari dinas asal kambing? - 

B. Di area penampungan ternak

K10 apakah ternak yang baru datang ke penampungan dipisahkan dari ternak yang sudah datang terlebih dahulu?

- 

K11 apakah ternak berada di penampungan lebih dari lima

hari - 

C. Di area pemotongan RPH Citaringgul

K12 Apakah Sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu

dilakukan antemortem (pemeriksaan fisik)? - 

K13 Apakah Pintu masuk dan keluar kambing sebelum dan

setelah dipotong berbeda? - 

K14 Apakah Daerah kotor dan bersih ditempatkan secara

terpisah? - 

K15 Apakah Penanganan terhadap karkas dan jeroan

dilakukan oleh petugas yang berbeda? - 

K16 Apakah Dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap

kambing yang disembelih oleh pihak yang berwenang? - 

K17 Apakah Higiene dan sanitasi fasilitas serta peralatan

RPH diperhatikan? - 

K18 Apakah Dilakukan penanganan yang baik terhadap

(23)

12

Penilaian resiko dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif berdasarkan asumsi peluang pelepasan dan pemaparan Brucella sp. seperti yang terpapar di dalam Tabel 3 di bawah ini. Penghitungan peluang juga dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder.

Tabel 2 Pembobotan peluang kejadian berdasarkan munculnya resiko

Ruang Lingkup

Definisi Peluang

Tinggi Kejadian akan sangat mungkin terjadi Kisaran 0,7 – 1 Moderat Kejadian akan terjadi dengan

kemungkinan yang sama

Kisaran 0,3 – 0,7

Rendah Kejadian akan tidak sekiranya terjadi Kisaran 0,05 – 0.3 Sangat

Kejadian akan hampir pasti tidak terjadi Kisaran 0 – 0,0001

Dengan data sekunder yang ada dan Tabel 2 di atas, maka penetapan nilai probabilitas terhadap masing-masing kejadian terpapar pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Kajian resiko kegiatan pemotongan kambing dari tempat asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul

Kejadian (K)

Uraian kejadian Probabilitas (P)

(1) (2) (3)

A. Di area peternakan asal

A.1 Apakah kambing berasal dari daerah yang belum bebas Brucellosis?

1,00

A.2 Apakah Kambing yang dijual dari peternakan telah berumur dewasa?

0,92

A.3 Apakah kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin jantan?

0,73

A.4 Apakah kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan dengan perkawinan alami?

0,80

A.5 Apakah kambing betina yang ada di peternakan pernah mengalami abortus?

0,13

A.6 Apakah dilakukan vaksinasi pada seluruh kambing yang ada di peternakan dan sekitarnya?

1,00

A.7 Apakah dari peternakan asal kambing terdapat sistem surveilens untuk mendeteksi Brucellosis?

1,00

A.8 Apakah dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai dan hewan sakit yang ada di peternakan kambing?

0,05

A.9 Apakah terdapat Surat Keterangan Kesehatan Hewan dari dinas asal kambing?

0,80

Perhitungan resiko untuk (A) = 2,79x10-3

B. Di area penampungan ternak

B.1 Apakah ternak yang baru datang ke penampungan dipisahkan dari ternak yang sudah datang terlebih dahulu?

1,0

(24)

13 Perhitungan resiko untuk (B) = 5x10-2 C. Di area pemotongan RPH Citaringgul

C.1 Apakah Sebelum disembelih di RPH terlebih dahulu dilakukan antemortem (pemeriksaan fisik)?

0,05

C.2 Apakah Pintu masuk dan keluar kambing sebelum dan setelah dipotong berbeda?

0,5

C.3 Apakah Daerah kotor dan bersih ditempatkan secara terpisah? 0,5

C.4 Apakah Penanganan terhadap karkas dan jeroan dilakukan oleh petugas yang berbeda?

0,05

C.5 Apakah Dilakukan pemeriksaan postmortem terhadap

kambing yang disembelih oleh pihak yang berwenang?

0,05

C.6 Apakah Higiene dan sanitasi fasilitas serta peralatan RPH diperhatikan?

0,05

C.7 Apakah Dilakukan penanganan yang baik terhadap limbah RPH?

0,05

Perhitungan resiko untuk (C) = 7,81x10-8

Berdasarkan data primer maupun sekunder yang telah dikumpulkan, maka penentuan asumsi peluang dari setiap kejadian terpapar dalam penjelasan di bawah ini.

A.Di daerah peternakan asal

A.1 Peluang kambing berasal dari daerah yang belum bebas Brucellosis.

Kambing yang dipotong di RPH Citaringgul berasal dari Jawa Barat, terutama Kabupaten Bogor dan Garut. Daerah ini merupakan daerah endemik Brucellosis (Ditkeswan 2004). Asumsi peluang (P1) = 1,00

A.2 Peluang kambing yang dijual dari peternakan telah berumur dewasa.

B. melitensis dapat menimbulkan penyakit hanya pada ternak yang sudah dewasa kelamin/berumur 6–12 bulan, baik jantan maupun betina. Ternak yang masih muda mungkin saja terinfeksi, namun hanya akan terlacak reaksi serologik yang lemah dan tidak menunjukkan gejala klinis (EC 2001). Pengamatan lapang dilakukan selama satu minggu di RPH Citaringgul. Dari total 72 ekor ternak yang dipotong selama satu minggu pengamatan, terdapat enam ekor ternak yang masih belum dewasa yang ditandani dengan gigi yang belum berganti dengan gigi tetap. Asumsi peluang (P2) = 0,92. A.3 Peluang kambing yang dijual dari peternakan berjenis kelamin betina.

Pada umumnya kerentanan antara ternak jantan dan betina terhadap infeksi Brucellosis sama. Namun tidak menutup kemungkinan ternak betina yang dipotong sedang bunting. Pada masa ini bakteri dalam jumlah banyak terdapat pada saluran genital ternak (EC 2001). Jika ternak dipotong maka kemungkinan bakteri akan dapat lepas ke lingkungan dan mencemari daging apabila tidak ditangani dengan baik. Dari total 72 ekor ternak yang dipotong selama satu minggu pengamatan, terdapat 19 ekor ternak yang berjenis kelamin jantan . Asumsi peluang (P3) = 0,73.

A.4 Peluang kambing yang ada di peternakan dikembangbiakkan dengan perkawinan alami.

Brucella dapat hidup dan bertahan pada saluran genital ternak betina serta semen pada ternak jantan. Sehingga jika salah satu ternak terinfeksi

(25)

14

A.5 Peluang kambing betina yang ada di peternakan pernah mengalami abortus. Abortus merupakan salah satu faktor resiko penular Brucellosis dengan jumlah banyak. Menurut Mustafa et al. (2011), prevalensi kasus abortus pada kambing adalah sebesar 12,7%. Asumsi peluang (P5) = 0,13

A.6 Peluang tidak adanya vaksinasi pada seluruh kambing yang ada di peternakan dan sekitarnya.

Vaksin dapat mencegah terjadinya penularan Brucellosis dari ternak terinfeksi ke ternak yang sehat. Daya perlindungan vaksin terhadap paparan

Brucella adalah sekitar 65% (USDA 2013). Tidak adanya laporan mengenai kasus brucellosis pada kambing menyebabkan belum dilakukannya upaya vaksinasi terhadap kambing, baik di wilayah Kabupaten Bogor maupun Garut. Asumsi peluang (P6) = 1,00.

A.7 Peluang tidak adanya sistem surveilens di peternakan asal kambing untuk melacak Brucellosis.

Kegiatan surveilens Brucellosis pada kambing belum dilakukan karena belum ada laporan mengenai kasus ini. Walaupun begitu tidak ada jaminan bahwa kambing yang ada di peternakan asal bebas dari Brucellosis. Hal ini membuat surveilens sangat penting dilakukan sehingga dapat dilakukan pencegahan secara dini. Asumsi peluang (P7) = 1,00

A.8 Peluang tidak dilakukan penanganan sesuai tata laksana terhadap bangkai dan hewan sakit yang ada di peternakan kambing.

Peternak mengetahui dengan baik bahaya penularan penyakit antar ternak. Hal ini ditunjukkan dengan dilakukannya penguburan terhadap ternak yang mati dan pemisahan ternak yang sakit dengan ternak yang sehat. Dengan dilakukannya langkah tersebut maka penularan brucellosis antar ternak akan tidak sekiranya terjadi. Asumsi peluang (P8) = 0,05.

A.9 Peluang tidak adanya surat keterangan kesehatan hewan dari dinas asal kambing.

Surat keterangan kesehatan hewan memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan jaminan bahwa hewan tersebut telah diperiksa dan dinyatakan bebas dari penyakit menular dan dapat digunakan sesuai peruntukannya. Namun ternak-ternak yang dipotong di RPH tidak disertai dengan surat keterangan kesehatan hewan. Sehingga tanpa adanya surat keterangan kesehatan hewan, kemungkinan brucellosis yang ada di daerah lain dapat masuk ke wilayah Kabupaten Bogor cukup tinggi. Asumsi peluang (P9) = 0,80.

B. Di area penampungan ternak

B.1 Peluang tidak dipisahnya kandang ternak yang baru datang dengan ternak yang sudah datang terlebih dahulu

Ternak yang baru datang tidak ditempatkan pada kandang terpisah dengan ternak yang sudah terlebih dahulu datang. Sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit. Asumsi peluang (P1) = 1,00.

B.2 Peluang ternak berada di penampungan lebih dari satu minggu

(26)

15 (CDC 2013), maka kejadian ini sekiranya tidak terjadi.Asumsi peluang (P2) = 0,05.

C. Di area pemotongan RPH Citaringgul

C.1 Peluang tidak dilakukannya pemeriksaan antemortem pada kambing sebelum disembelih di RPH

Semua kambing yang akan dipotong di RPH terlebih dahulu diperiksa oleh dokter hewan, sehingga penularan brucellosis akan sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P1) = 0,05

C.2 Probabilitas tidak diberlakukannya pemisahan pintu masuk dan keluar kambing sebelum dan setelah dipotong

Terdapat dua pintu berbeda yang digunakan sebagai tempat masuk dan keluar kambing sebelum dan setelah dipotong. Namun dua pintu tersebut tidak selalu difungsikan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa penggunaan kedua pintu sesuai fungsinya sebesar 50%. Asumsi peluang (P2) R10 = 0,50

C.3 Probabilitas tidak diberlakukannya pemisahan daerah kotor dan bersih Daerah kotor dan bersih berada di wilayah yang berbeda dan memiliki dinding pemisah. Namun penggunaan daerah tersebut tidak selalu difungsikan sebagaimana mestinya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa penggunaan daerah bersih dan daerah kotor sesuai fungsinya sebesar 50%. Asumsi peluang (P3) = 0,50

C.4 Probabilitas tidak adanya pemisahan petugas yang menangani karkas dan jeroan

Petugas yang menangani karkas dan jeroan pada setiap kegiatan pemotongan dibedakan, sehingga petugas yang menangani karkas tidak boleh sekaligus menangani jeroan, begitu juga sebaliknya. Asumsi peluang (P4) = 0,05

C.5 Probabilitas tidak dilakukannya pemeriksaan postmortem terhadap kambing yang disembelih oleh pihak yang berwenang

Karkas kambing diperiksa terlebih dahulu oleh dokter hewan yang bertugas di RPH sebelum diedarkan. Dengan adanya langkah ini maka kejadian penyebaran Brucellosis akan sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P5) = 0,05

C.6 Probabilitas tidak diperhatikannya higiene dan sanitasi fasilitas serta peralatan RPH.

Higiene dan sanitasi di RPH selalu diperhatikan. RPH Citaringgul sudah memiliki sertifikat NKV tingkat 3, sehingga penyebaran Brucellosis akan sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P6) = 0,05

C.7 Probabilitas tidak dilakukannya penanganan yang baik terhadap limbah RPH.

Terdapat beberapa tempat penanganan limbah yang berada tepat di sebelah RPH. Limbah diolah dengan baik sehingga layak untuk dialirkan ke lingkungan sehingga penyebaran Brcuellosis akan sekiranya tidak terjadi. Asumsi peluang (P7) = 0,05.

(27)

16

Resiko Penyebaran Brucellosis di peternakan asal

= A.1 x A.2 x A.3 x A.4 x A.5 x A.6 x A.7 x A.8 x A.9 = 1,00 x 0,92 x 0,73 x 0,80 x 0,13 x 1,00 x 1,00 x 0,05 x 0,80 = 2,79x10-3

Resiko Penyebaran Brucellosis di penampungan sementara = B.1 x B.2

= 1,00 x 0,05 =5,00x10-2

Resiko Penyebaran Brucellosis di RPH Citaringgul. = C.1 x C.2 x C.3 x C.4 x C.5 x C.6 x C.7 = 0,05 x 0,50 x 0,50 x 0,05 x 0,05 x 0,05 x 0,05 =7,81x10-8

Setelah mendapatkan angka probabilitas pada masing-masing kelompok kegiatan, maka ditentukan tingkat keparahan (S) dengan cara memasukkan nilai probabilitas (P) ke dalam rumus. Rumus yang digunakan sesuai dengan penggunaan nilai probabilitas, nilai paling rendah (PL) atau nilai paling tinggi

(PU). Woodruff (2005) menggunakan nilai batas atas (PU) sebagai toleransi

tertinggi dari nilai resiko atas konsekuensi yang terjadi. Yang digunakannya adalah satu kejadian dari 1000 peluang kejadian per tahun. Sedangkan batas toleransi bawahnya adalah satu kejadian dari 1000000 peluang kejadian per tahun.

S = 0,001/PU ; dan S = 0,000001/PL

(Woodruff 2005) S Peternakan Asal = 0,001/PU

= 0,001/1 = 0,001 S Penampungan Sementara = 0,001/PU

= 0,001/1 = 0,001 S RPH Citaringgul = 0,001/PU

= 0,001/0,5 = 0,002

Setelah mendapatkan nilai S maka dicarilah matriks resikonya (R) dengan rumus R = S x P dan menempatkan nilai R tersebut ke dalam grafik matriks resiko seperti yang terpapar pada Gambar 4 di bawah ini (Woodruff 2005).

R Peternakan Asal = S x P

= 0,001 x 2,79x10-3 = 2,79x10-6

R Penampungan Sementara = S x P

(28)

17 R RPH Citaringgul = S x P

= 0,002 x 7,81x10-8 = 1,56 x 10-10

Gambar 4. Penempatan nilai keparahan dari kegiatan pemotongan kambing di RPH Citaringgul

Konsekuensi Resiko

Konsekuensi resiko merupakan gambaran konsekuensi yang terjadi jika terjadi pemaparan agen patogen (B. melitensis) di RPH. Berdasarkan Tabel 3, probabilitas resiko penyebaran Brucellosis terbesar berada pada penampungan sementara dan diikuti oleh peternakan asal dan RPH Citaringgul dengan nilai masing-masing 5,00x10-2, 2,79x10-3 dan 7,81x10-8.

Setelah dilakukan perhitungan resiko terhadap probabilitas penyebaran Brucellosis di tiga tempat tersebut, nilai resiko ditempatkan pada matriks seperti pada Gambar 4. Dari penempatan tersebut didapatkan nilai resiko di ketiga tempat penelitian. Resiko di peternakan asal tergolong dapat diterima karena peternak telah mengetahui dan melaksanakan beberapa kegiatan yang dapat mengurangi penularan penyakit pada ternak seperti penguburan ternak yang mati dan pemisahan ternak yang sakit dengan yang sehat, sehingga resiko dianggap sebagai hal yang dapat diabaikan dan masih dapat dikendalikan. Sedangkan resiko di penampungan sementara tergolong dapat ditoleransi karena tidak dilakukannya pemisahan antara ternak yang baru datang dengan yang terlebih dahulu datang dapat meningkatkan resiko penularan penyakit pada ternak, sehingga resiko harus dikurangi ke tingkat yang wajar dan serendah mungkin. Tingkat resiko di RPH Citaringgul tergolong dapat diterima karena sebagian besar tata laksana pemotongan ternak di RPH Citaringgul telah memenuhi syarat, sehingga dengan dilakukannya pemotongan ternak di RPH Citaringgul menyebabkan resiko dianggap sebagai hal yang dapat diabaikan dan masih dapat dikendalikan.

Pengelolaan Resiko

(29)

18

(i) Di daerah asal ternak

Brucellosis dalam jumlah besar dikeluarkan oleh ternak terinfeksi melalui leleran vagina, abortus, plasenta, dan susu (EC 2001). Oleh karena itu dengan hanya menjual kambing jantan dan betina yang sudah tidak produktif dapat mengurangi resiko penularan Brucellosis. Vaksinasi dan surveilens juga dapat dilakukan untuk memastikan keberadaan B. melitensis agar dapat dilakukan upaya penanganan dini jika hasilnya positif. Selain itu untuk memastikan keamanan dan kelayakan dari ternak yang akan dipotong perlu selalu disertakannya surat keterangan kesehatan hewan pada setiap ternak yang akan dikirim ke daerah lain. (ii) Di tempat penampungan kambing

Ternak hanya berada pada penampungan sementara dalam waktu relatif singkat. Hal ini dapat menjadi penting dalam proses penularan penyakit karena walaupun masa inkubasi Brucellosis berkisar 5–60 hari (CDC 2013; EC 2001). Oleh karena itu pada penampungan sementara perlu dilakukan pemisahan antara ternak yang baru datang dengan yang sudah terlebih dahulu datang untuk mengantisipasi terjadinya penularan Brucellosis.

(iii) Di RPH Citaringgul

Berdasarkan pengamatan terhadap fisik bangunan yang ada saat ini, RPH Citaringgul dengan aktifitasnya yang berlangsung sampai saat ini memang sudah memenuhi ketentuan seperti yang ditetapkan dalam SNI 01-6159-1999 mengenai Rumah Pemotongan Hewan (BSN 1999). Beberapa aspek di RPH Citaringgul masih perlu diperhatikan dan ditingkatkan, antara lain pemisahan petugas antara daerah bersih dan kotor hendaknya lebih diperketat lagi. Pemisahan pintu masuk dan keluar antara ternak sebelum dan sesudah dipotong juga harus selalu dilakukan.

Komunikasi Resiko

Komunikasi resiko merupakan kegiatan menyampaikan hasil penilaian resiko kepada pihak terkait seperti pemerintah, pegusaha peternakan kambing, dan konsumen daging kambing.

1. Pemerintah

(30)

19 2. Pengusaha Peternakan Kambing

Walaupun resiko penyebaran Brucellosis tergolong dapat diterima, namun pengusaha peternakan kambing juga hendaknya memperhatikan hal-hal yang berpengaruh terhadap resiko masuk dan keluarnya Brucella sp. Hal ini dikarenakan peternakan sangat berperan penting dalam penyediaan ternak yang sehat dan layak dikonsumsi.

3. Konsumen Daging Kambing

Penularan Brucellosis hampir dapat dipastikan tidak terjadi pada daging yang telah dimasak. Namun konsumen tetap harus waspada dengan cara selalu memisahkan daging mentah dengan bahan makanan lain, baik pada saat penyimpanan maupun pengolahan (USDA 2013).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Peluang paling tinggi penyebaran Brucellosis berdasarkan asumsi probabilitas dan penempatan pada matriks resiko ada di tempat penampungan sementara, yakni sebesar 5,00x10-2 yang tergolong dapat ditoleransi. Kemudian diikuti di peternakan asal sebesar 2,79x10-3 yang tergolong dapat diterima dan RPH Citaringgul sebesar 7,81x10-8 yang tergolong dapat diterima.

Saran

Penelitian ini masih perlu disempurnakan untuk mendapatkan nilai resiko yang lebih akurat. Beberapa hal yang perlu diperbaiki antara lain

(1) Penilaian resiko di wilayah maupun daerah lain untuk mendapatkan perbandingan nilai resiko

(2) Perlu dilakukan pemeriksaan serologik untuk memastikan adanya indikasi Brucellosis

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man And Animals. Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington (US): Pan America.

Alsubaie S, Maha A, Mohammed A, Hanan B, Essam A, Sulaiman A, BAdria A, Ziad A M. 2005. Acute Brucellosis in Saudi families: relationship between

Brucella serology and clinical symptoms. Int J Infect Dis. 9: 218-224.

(31)

20

Black R, Peter N, Ken Y. 2013. Risk based testing in action [internet]. [diunduh 2013 November 22]. Tersedia di internet pada:

http://www.stickyminds.com/BetterSoftware/magazine.asp?fn=cifea&ac=394/ [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1999. Standar Nasional Indonesia (SNI)

01-6159-1999, tentang Rumah Pemotongan Hewan. Jakarta: BSN.

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2008. Brucellosis. Iowa (US): Iowa State University.

Cook WE. 1999. Brucellosis in elk: studies of epizootiology and control [disertasi]. Laramie (US): University of Wyoming.

Crawford RP, JD Huber, BS Adams. 1990. Epidemiology and Surveillance in: Animal Brucellosis. Nielsen KH, JR Duncan, editor. Boca Raton (FL): CRC Press. hlm 131-151.

[Ditkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2004. Paper : Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Brucella di Indonesia. Disampaikan pada pertemuan evaluasi pemberantasan Brucellosis dan pengawasan lalu lintas ternak. Jakarta. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Produksi

Daging Kambing Menurut Propinsi. Jakarta : Ditjennak Deptan.

Doganay M, B Aygen. 2003. Brucellosis in Human: an overview. Int J Infect D. . 7: 3.

Dorfman MS. 2007. Introduction to Risk Management and Insurance. Ed ke-9. Englewood Cliffs (US): Prentice Hall.

[EC] European Commission. 2001. Brucellosis in Sheep and Goats (Brucella melitensis). Brussels (FR): Scientific Committee on Animal Helath and Animal Welfare.

[EPA] Environmental Protection Agency. 2012.Step 1 - Hazard Identification. Artikel EPA [Internet]. Tersedia di internet pada:

http://www.epa.gov/risk_assessment/hazardous-identification.htm [Diunduh pada tanggal 10 September 2013].

ETQ inc. 2013. Risk Assessment: Creating a Risk Matrix. Tersedia di internet pada : http://blog.etq.com/blog/bid/57768/Risk-Assessment-Creating-a-Risk-Matrix [ Diunduh pada tanggal23 agustus 2013.

[FAO] Food and Agriculture Organizatin. 2010. Brucella Melitensis in Eurasia and The Middle East. FAO technical meeting in collaboration with WHO and OIE; 2009 May; Roma, Italia. Roma (IT): FAO hlm 1.

Hirsh DC, NJ MacLachlan and Richard LW. 2004. Veterinary Microbiology. Ed ke-2. Iowa (US): Blackwell Publishing.

Hubbard D.2009. The Failure of Risk Management: Why It's Broken and How to Fix It. West Sussex (GB): John Wiley & Sons .

ISO/DIS 31000. 2009. Risk management — Principles and guidelines on implementation. Tersedia di internet pada

http://www.iso.org/iso/home/standards/iso31000.htm [Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2013].

Krutz RL, Russell DV. 2003. The CISSP Preparation Guide. Canada (Ca): Wiley Publishing.

(32)

21 Mustafa YS, Farhat Nazir Awan and Khalid Hazeen. 2011. Prevalence of

Brucellosis in sheep and goat. Sci int. 23(3): 211-212.

Noor SM. 2006. Brucellosis: penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa. 16: 31-39.

[OIE] Office International et Epizootics. 2013. Terestrial Animal Health Code. OIE. Tersedia di internet pada

http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=chapitre_1.2.1.htm [Diunduh pada tanggal 21 Oktober 2013].

Quinn PJ, BK Markey, ME Carter, WJ Donelly, FC Leonard. 2006. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Malden (US): Blackwell publishing. Rahmawan A, Rince MB, Euis H, dan Sodirun. 2012. Monitoring Dan Surveilans

Penyakit Brucellosis Di Wilayah Kerja Bppv Subang Tahun 2010-2011. Subang (ID): Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Subang.

Rajashekara G, Eskra L, Mathison A, Petersen E, Yu Q, Harms J, Splitter G. 2006.

Brucella: functional genomics and host-pathogen interactions. Madison (US) : University of Wisconsin-Madison.

Renukaradhya G J, Isloor S and Rajasekhar M. 2002 Epidemiology, zoonotic aspects,vaccination and control/eradication of brucellosis in India. Vet. Microbiol. 90: 183–195.

Rittig MG, Andreas K, Adrian R, Barry S, Hans S, Diethard G, Vincent F, Bruno R, Jacques D. 2003. Smooth and rough lipopolysaccharide phenotypes of Brucella induce different intracellular trafficking and cytokine/chemokine release in human monocytes. J Leuk Bio. 74: 1045-1055.

Siahaan H. 2007. Pengelolaan Resiko. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sudibyo A. 1995. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap

reproduksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV. 1: 31-36.

Tawaf R. 2012. Standarisasi Pengelolaan Rumah Potong Hewan Milik Pemerintah di Jawa Barat. Seminar Nasional IV Peternakan Berkelanjutan; Jatinangor. Jatinangor (ID): Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Todar K. 2008. Textbook of Bacteriology. Tersedia di internet pada:

http://www.textbookofbacteriology.net [Diunduh pada tanggal 23 Agustus 2013].

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2013. Facts about Brucellosis. Tersedia di internet pada:

http://www.aphis.usda.gov/animal_health/animal_diseases/brucellosis/downloa ds/bruc-facts.pdf [Diunduh pada tanggal 23 Agustus 2013].

Vose David. 2008. Risk analysis: A Quantitative Guide / David Voe - 3rd ed. West Sussex (GB): John Wiley & Sons.

Williams CA, Heins RM. 1985. Risk Management and Insurance. Ed ke-5. New York (US): McGraw-Hill.

Woodruff, JM. 2005. Consequence and likelihood in risk estimation: A matter of balance in UK health and safety risk assessment practice. Safety Sci. 43: 345– 353 .

(33)

22

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi RPH Citaringgul
Gambar 2. Fasilitas Ruangan Bagian Dalam RPH Citaringgul
Gambar 3. Fasilitas RPH Citaringgul Bagian Luar
Tabel 1.  Daftar kegiatan yang disusun berdasarkan alur perjalanan kambing dari tempat asalnya hingga tiba di RPH Citaringgul
+3

Referensi

Dokumen terkait

2 Pasie n dan petug as Pelaksanaa n SPO yang tidak sesuai C Dalam melaku kan pemeri ksaan tidak sesuai SPO pemeri ksaan pasien dan SPO penggu naan alatd. 2 4 SPO pemeriksaan pasien

Pada perguruan tinggi, penjadwalan kuliah sangat penting dalam proses perkuliahan, karena aktivitasdosen dan mahasiswa tergantung pada jadwal kuliah. Untuk mengatasi

Penulis memang masih perlu banyak latihan agar dapat melaksanakan peran atau tugasnya sebagai guru yang baik. Sebelum pelaksanaan PPL 1, praktikan telah dibekali dengan

Dengan berbagai permasalahan yang ada di dalam BPR yang terkait dengan kinerja individual karyawan, maka penelitian yang akan dilakukan terhadap BPR menggunakan 2 (dua)

[r]

Tujuan dari penelitian ini, yaitu melakukan pemilihan terhadap sales terbaik dengan menggunakan metode Multi-Objective Optimization on The Basis of Ratio Analysis (MOORA)

Keempat, proyek yang masih dalam perencanaan, TPIA akan melakukan perluasan pabrik polipropilena yang diestimasi membutuhkan dana sebesar US$ 15 juta.. Harry mengatakan

Dan yang menjadi objek pada penelitian ini adalah opini masyarakat Batak pada program acara Horas di Rantau pada RTV (Studi kasus di Kelurahan Tanjung Rhu Kecamatan