• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG BURUNG

SERAK JAWA (

Tyto alba)

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar P ustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

SUWARDI HIDAYAT. Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba). Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan SAVITRI NOVELINA

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa (Tyto alba) secara makroskopis dan mikroskopis. Dua ekor burung serak jawa (T. alba) digunakan dalam penelitian ini. Pengamatan makroskopis dilakukan dengan mengamati situs viscerum, bentuk dan ukuran esofagus dan lambung. Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan metode histologi menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa esofagus terdiri atas pars cervicalis dan pars thoracalis, berukuran panjang total 9.8 cm, serta tidak terdapat tembolok. Mukosa esofagus pars cervicalis dilapisi oleh sel-sel epitel pipih banyak lapis yang tidak berkeratin, sedangkan pars thoracalis dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Kelenjar esofagus bertipe mukus, ditemukan dalam jumlah banyak berdistribusi di sepanjang mukosa esofagus. Lapis muskularis eksterna terdiri atas dua lapisan, yaitu otot longitudinal di bagian profundal dan otot sirkuler di bagian superfisial. Lambung dibedakan menjadi proventrikulus dan ventrikulus (gizzard). Proventrikulus berbentuk kerucut dan gizzard berbentuk menyerupai kubus. Kurvatura mayor gizzard memiliki panjang 6.5 cm dengan lebar diameter 1.88 cm. Mukosa proventrikulus dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris. Kelenjar proventrikulus terdiri atas kelenjar superfisial yang berbentuk tubular dan menghasilkan mukus, serta kelenjar profundus yang berbentuk tubular sederhana dan menghasilkan pepsinogen dan asam hidroklorat (HCl). Lapisan muskularis eksterna terdiri atas tiga lapis otot, dua lapis otot longitudinal pada lapisan superfisial dan profundal, serta otot sirkuler di bagian medial di antara dua lapisan otot longitudinal. Mukosa gizzard dilapisi oleh sel-sel epitel silindris sebaris dengan kutikula tipis. Kelenjar gizzard berbentuk tubular sederhana dan berfungsi menghasilkan mukus. Lapisan muskularis eksterna memiliki dua lapisan otot sangat tebal yang disusun oleh otot longitudinal di bagian profundal dan otot sirkuler di bagian superfisial. Morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa (T. alba) mendukung perilaku alaminya sebagai burung raptor, yang langsung menelan makanannya secara utuh.

(6)
(7)

ABSTRACT

SUWARDI HIDAYAT. The Morfology of Esophagus and Stomach of Barn Owl (Tyto alba). Supervised by CHAIRUN NISA’ and SAVITRI NOVELINA

This study was aimed to describe the morphology of esophagus and stomach of barn owl (Tyto alba). Two barn owl (T. alba) were used to observed macroscopic and microscopically. The macroscopic observation was done by observing the shape and size of the esophagus and stomach. The microscopic observation was done using standard histological method with hematoksilin eosin (HE) staining. The results showed that the esophagus consist of pars cervicalis and pars thoracalis, was 9.8 centimeters in length, and possessed no crop. Mucosa of the esophagus pars cervicalis was lined with nonkeratinized stratified squamous epithelial cell, and the pars thoracalis lined by simple columnar epithelial cell. The esophageal gland was mucous type distributed in a lot number along the mucosa. The external muscle consists of two layers, which were the inner longitudinal muscle and outer circular muscle. The stomach could be distinguished into proventriculus and ventriculus (gizzard). Proventriculus was a cone shape and gizzard was cuboid with an average length of the greater curvature was 6.5 cm and was 1.88 cm in diameter. The mucosa of proventriculus was lined by simple columnar epithelium. The proventricular gland was consist of superficial and profundal glands. The superficial gland produced mucous, while the profundal produced pepsinogen and hydrochloric acid (HCl). The external muscle layer consist of three layers, two longitudinal muscles in the superficial and profundal layers and circular muscle in the middle between the two of longitudinal muscles. The mucosa of gizzard was lined with simple columnar epithelial cell, with the thin cuticle. The gizzard glands consist of simple tubular gland that produced mucous. The gizzard has two very thick muscle layers composed by inner longitudinal muscle and the outer circular muscle. The characteristic morphology of the esophagus and stomach of barn owl (T. alba), was presumed to supports their behavior, which swallow a whole body of their prey.

(8)
(9)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG BURUNG

SERAK JAWA

(Tyto alba)

SUWARDI HIDAYAT

ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOG I FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah satwa liar dari kelas Aves, dengan judul Morfologi Esofagus dan Lambung Burung Serak Jawa (Tyto alba).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Ibu Dr Drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku pembimbing, atas bimbingan dan arahannya selama ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya, serta kepada Mariska Ramdhianty yang selalu menemani dan memberi semangat selama penelitian berlangsung. Kepada Diana Asriastita dan Vian Puput Wijaya yang sempat bergabung dalam penelitian ini, Dr Drh Nurhidayat, MS, PAVet, Drh Danang Dwi Cahyadi, Drh Yusrizal Akmal, MSi, Ir Mahfud, MSi, Ibu Sri Murtini, serta Mas Bayu dan staf lab anatomi yang telah membantu dalam penelitian, penulis ucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Klasifikasi dan Distribusi Burung Serak Jawa (Tyto alba) 2

Ekologi dan Perilaku 4

Saluran Pencernaan Burung 4

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Bahan 6

Alat 6

Prosedur Penelitian 6

HASIL 7

Pengamatan Makroskopis Esofagus dan Lambung 7

Pengamatan Mikroskopis Esofagus dan Lambung 9

PEMBAHASAN 12

SIMPULAN 15

SARAN 15

DAFTAR PUSTAKA 15

(16)
(17)

DAFTAR GAMBAR

1. Karakteristik morfologi burung hantu dari famili Strigidae (A) dan

Tytonidae (B) 3

2. Saluran pencernaan burung yang memiliki tembolok (A) dan saluran

pencernaan burung hantu yang tidak memiliki tembolok (B) 5

3. Situs viscerum burung serak jawa setelah jantung dipisahkan (A), serta

setelah jantung dan hati dipisahkan (B) 7

4. Saluran pencernaan burung serak jawa tampak ventral 8

5. Morfologi interior lambung burung serak jawa 9

6. Koleksi pellet utuh (A) dan komposisi pellet (B) burung serak jawa 9 7. Mikroanatomi esofagus memanjang dan melintang, serta mikroanatomi sel

epitel mukosa dan kelenjar esofagus 10

8. Mikroanatomi dinding proventrikulus (A), kelenjar proventrikulus

superfisialis (B), dan kelenjar proventrikulus profundus (C) 11

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati flora maupun fauna yang tinggi. Burung merupakan salah satu jenis hewan vertebrata terbanyak di dunia. Jumlah jenis burung di Indonesia menempati urutan teratas di Asia, yaitu sebanyak 1.598 jenis. Dari jumlah sebanyak 1.598 jenis, terdapat 71 jenis burung pemangsa yang aktif di siang hari (raptor diurnal) (Ordo Falconiformes), dan 10 jenis diantaranya adalah burung raptor diurnal endemik. Selain itu terdapat 45 jenis burung pemangsa yang aktif di malam hari (raptor nokturnal) (Ordo Strigiformes) dengan 23 jenis diantaranya adalah burung raptor noktunral endemik (Sukmantoro et al. 2007). Burung hantu termasuk burung raptor nokturnal Ordo Strigiformes. Ordo ini memiliki dua famili, yaitu Tytonidae (burung serak) dan Strigidae (burung hantu sejati) (Cholewiak 2003). Famili Tytonidae terdiri atas dua subfamili yaitu Tytoninae dan Phodilinae. Burung serak jawa termasuk ke dalam subfamili Tytoninae, sedangkan subfamili Phodilinae terdiri atas burung serak bukit (Phodilus badius).

Burung serak jawa merupakan salah satu jenis burung yang cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, khususnya petani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999, burung ini tidak termasuk dalam daftar burung dilindungi. Penyebaran burung serak jawa di Indonesia meliputi pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Sukmantoro et al. 2007). Selain Indonesia, burung ini juga terdapat hampir di seluruh dunia kecuali Antartika, oleh karena itu burung ini bukan merupakan burung endemik Indonesia. Makanan utama burung serak jawa adalah tikus, sehingga burung ini dimanfaatkan petani sebagai pembasmi tikus di areal pertanian. Beberapa daerah di Indonesia yang sudah berhasil membiakkan burung serak jawa untuk membasmi tikus adalah Kabupaten Ngawi, Boyolali, Klaten, Demak, Gorontalo, dan Manado.

Burung serak jawa memiliki perilaku makan yang cukup unik, yaitu menelan mangsanya secara utuh, namun jika mangsanya terlalu besar, burung serak jawa akan mencabik mangsa dengan paruhnya, sehingga menjadi potongan kecil yang dapat ditelan (Parry-Jones 2001). Material yang tidak dapat dicerna seperti bulu atau rambut, tulang, kuku, serta gigi diregurgitasi dalam bentuk pellet. Saluran pencernaan burung secara umum terdiri atas paruh, rongga mulut, esofagus, tembolok, proventrikulus, gizzard, usus halus, usus besar, dan kloaka. Burung tidak memiliki gigi sehingga makanan akan langsung ditelan dan dicerna secara enzimatis oleh tembolok dan proventrikulus, serta secara mekanik oleh gizzard (Yasin 2010). Oleh karena itu Burung serak jawa diduga memiliki saluran pencernaan yang khas dibandingkan burung lain pada umumnya, karena perilaku makannya yang unik dan merupakan burung raptor yang makanan utamanya adalah hewan-hewan kecil seperti tikus, reptil misalnya kadal dan ular, amfibi misalnya katak, serta kadang memakan serangga (Mackinnon et al. 2010).

(20)

2

lain mengenai saluran pencernaan secara makroskopis, distribusi, ekologi dan perilaku, serta reproduksi. Sejauh ini informasi mengenai saluran pencernaan burung raptor, khususnya burung serak jawa belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu penelitian yang mengambil topik saluran pencernaan burung serak jawa ini penting untuk dilakukan. Informasi biologi mengenai organ pencernaan burung serak jawa akan sangat bermanfaat bagi upaya konservasi dan pengembangbiakannya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi salura n pencernaan burung serak jawa, khususnya pada organ esofagus dan lambung, secara makroskopis dan mikroskopis.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kekhasan sistem pencernaan burung serak jawa, sebagai dasar bagi upaya pelestarian dan pengembangbiakannya. Selain itu data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi biologi terkait organ saluran pencernaan burung serak jawa.

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Distribusi Burung Serak Jawa (Tyto alba)

Klasifikasi burung serak jawa menurut Bachynski dan Harris (2002) adalah sebagai berikut :

(21)

3

Famili Tytonidae memiliki ciri-ciri wajah berbentuk jantung ( heart-shaped/love-shaped), mata terletak di depan, pupil lebar, paruh seperti kait dan kuku atau talon tajam untuk menangkap mangsa. Famili Strigidae memiliki bentuk wajah yang berbeda, yaitu berbentuk cakram bulat dan memiliki bulu di sekitar atas mata yang seolah-olah membentuk alis dan seperti telinga (Cholewiak 2003) (Gambar 1). Bentuk wajah ini berfungsi sebagai radar yang membantu memfokuskan suara yang datang pada saat berburu. Burung hantu lebih mengandalkan pendengaran dibandingkan penglihatannya pada saat berburu di malam hari, meskipun penglihatannya sangat baik dalam gelap (Parry-Jones 2001).

Gambar 1 Karakteristik morfologi burung hantu dari famili Strigidae (A), dan Tytonidae (B) dengan bentuk wajah yang khas.

Burung serak jawa (T. alba) pertama kali didefinisikan oleh Giovanni Antonio Scopoli pada tahun 1769 yang berarti burung hantu putih (Tyto = burung hantu, alba = putih). Burung serak jawa memiliki panjang tubuh mulai dari ujung paruh sampai ujung ekor sekitar 30-35 cm. Bentuk tubuh ramping dengan wajah berbentuk love-shaped, sepasang mata menghadap ke depan dengan iris mata berwarna coklat tua sampai hitam dan pupil lebar. Bulu tubuh bagian dorsal berwarna kuning dan bagian ventral berwarna putih dengan bintik-bintik hitam. Berat burung dewasa 400-500 gram (MacKinnon et al. 2010).

Burung serak jawa jantan dan betina dapat dibedakan dari warna bulu. Burung jantan memiliki warna bulu cenderung coklat terang dengan sedikit bintik-bintik hitam, sekilas terlihat bermotif seperti batik. Bulu pada sayap memiliki garis abu yang tipis bahkan cenderung polos, berwarna coklat terang dengan bulu bagian ventral berwarna putih bersih. Dada berwarna putih dengan sedikit bintik atau bahkan polos, bulu pada tengkuk berwarna abu-abu tipis, serta pada bulu ekor terdapat garis-garis horizontal berwarna abu-abu tipis. Burung betina memiliki warna coklat yang lebih gelap. Bulu dada berwarna coklat dengan banyak bintik berwarna hitam. Bulu tengkuk berwarna abu-abu gelap, bulu sayap coklat gelap dengan garis-garis horizontal berwarna abu-abu jelas. Warna bulu sayap bagian ventral putih kecoklatan dengan garis horizontal berwarna abu-abu jelas, pada bulu ekor memiliki garis-garis horizontal berwarna abu-abu jelas dengan warna dasar bulu berwarna coklat gelap. Ukuran betina umumnya lebih besar dibanding jantan (Ramsden et al. 2010).

(22)

4

Ekologi dan Perilaku

Burung serak jawa merupakan burung raptor nokturnal karena kebiasaan alami mereka berburu dan memangsa hewan lain seperti tikus, kadal, ular, katak, serta serangga (MacKinnon et al. 2010). Burung ini memiliki kemampuan dalam menangkap tikus, sehingga sering dimanfaatkan oleh petani sebagai pembasmi hama tikus. O leh karena itu petani mulai banyak membiakkan burung serak jawa di lahan pertanian mereka.

Proses reproduksi serak jawa hampir sama dengan burung raptor pada umumnya. Proses berkembang biak diawali dengan jantan yang menempati lubang-lubang pohon maupun gedung- gedung bangunan serta membawa pakan untuk menarik perhatian betina. Menurut Golser (2007), serak jawa memiliki perilaku bersarang di lubang pohon, bangunan tua yang tidak terpakai, atau sarang burung lain yang sudah tidak dihuni. Betina akan menyiapkan tempat untuk bertelur dalam sarang yang ditempatinya, biasanya lantai sarang dialasi dengan pellet yang dikeluarkan setelah proses pencernaan makanan (Ramsden etal. 2010).

Burung serak jawa mencapai dewasa kelamin pada umur satu tahun. Pada satu periode bertelur, burung ini bisa bertelur 5-6 butir, dengan jarak waktu bertelur 2-3 hari sekali dan melakukan pengeraman dari telur pertama selama 31-32 hari. Anakan burung serak jawa akan meninggalkan sarangnya pada umur 3-5 minggu. Burung serak jawa di alam umur rata-rata hidupnya adalah 2-5 tahun, tetapi dapat mencapai belasan sampai puluhan tahun di penangkaran. Burung jenis Tyto alba yang dipelihara di penangkaran tercatat dapat mencapai umur 20 tahun, bahkan waktu hidup terlama yang tercatat adalah 34 tahun (Marti 1992).

Saluran Pencernaan Burung

Burung tidak memiliki gigi, sehingga tidak dapat mengunyah makanan seperti halnya mamalia. Burung serak jawa, langsung menelan mangsanya secara utuh jika mangsanya berukuran kecil, atau dicabik dengan paruhnya menjadi potongan yang lebih kecil jika mangsanya berukuran besar sehingga dapat ditelan (Parry-Jones 2001). Saluran pencernaan burung hantu meliputi paruh, rongga mulut, esofagus, proventrikulus, gizzard, usus halus, , usus besar dan kloaka. Burung hantu tidak memiliki tembolok untuk menampung sementara makanan, sehingga makanan yang masuk akan langsung menuju lambung dan diproses secara enzimatis (Bastarache 2006). Tembolok juga tidak ditemukan pada burung walet (Novelina 2009). Gambar skematis perbandingan saluran pencernaan burung secara umum dengan saluran pencernaan burung hantu dapat dilihat pada Gambar 2.

(23)

5

Gambar 2 Saluran pencernaan burung yang memiliki tembolok (A), dan saluran pencernaan burung hantu yang tidak memiliki tembolok (B)

(sumber : A. http://people.eku.edu, B. http://www.owlpages.com)

Proventrikulus memiliki dua kelenjar, yaitu kelenjar proventrikulus superfisialis dan kelenjar proventrikulus profundus yang berbentuk tubular. Kelenjar proventrikulus superfisialis berfungsi menghasilkan mukus, sedangkan kelenjar proventrikulus profundus menghasilkan HCl dan pepsinogen (Hamdi et al. 2013).

Lapisan otot pada dinding gizzard terdiri atas otot sirkuler pada lapisan profundal dan otot longitudinal pada lapisan superfisial serta tidak menunjukkan adanya hipertrofi otot yang membentuk sphincter di daerah perbatasan antara proventrikulus dengan gizzard maupun antara gizzard dengan duodenum. Proses pencernaan pada burung hantu yaitu tetap mempertahankan makanan yang masuk dalam gizzard. Aktifitas kontraksi dan relaksasi gizzard akan menyebabkan makanan tercerna secara mekanik. Hasil pencernaan makanan akan diteruskan menuju usus halus melalui adanya kontraksi dari gizzard sehingga nutrisi dari makanan dapat diserap di usus halus, sedangkan material yang tidak tercerna seperti tulang, bulu atau rambut, serta kuku, akan dikeluarkan kembali menjadi pellet (Grimm dan Whitehouse 1963; Steven dan Hume 1995). Pellet akan dikeluarkan jika proses pencernaan telah selesai dan nutrisi yang terkandung dalam makanan tersebut sudah diserap. Pada saat akan mengeluarkan pellet, burung hantu memperlihatkan perilaku yang khas, seperti leher ditekuk sampai paruh mendekati dada, lalu leher diregangkan sampai kepala menengadah ke atas. Proses ini dilakukan berkali-kali sambil menutup kedua mata sampai pellet keluar melalui rongga mulut (Parry-Jones 2001). Burung hantu tidak akan melakukan aktifitas makan lagi jika pellet belum diregurgitasi (Bastarache 2006).

(24)

6

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2014, di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Penelitian ini menggunakan dua ekor burung serak jawa (Tyto alba) betina yang berasal dari Cianjur Jawa Barat dan Solo Jawa Tengah, dengan berat rata-rata 471 ± 29 gram. Bahan lainnya adalah : kloroform, paraformaldehida 4%, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, silol, parafin, akuades, Entellan®, serta pewarna hematoksilin-eosin (HE).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu satu set alat bedah minor, timbangan (kg), sliding caliper (mm), pita ukur (cm), object glass (kaca preparat) dan cover glass (kaca penutup), inkubator, hotplate, mikrotom, mikroskop dan kamera digital Canon EOS 700D untuk dokumentasi makroskopis maupun mikroskopis (fotomikrografi). Pengolah gambar Adobe Photoshop CS3.

Prosedur Penelitian

Penelitian diawali dengan mengamati dan melakukan pemotretan pada saat hewan hidup serta dilakukan pengukuran bobot tubuh menggunakan timbangan digital. Proses selanjutnya yaitu preparasi dengan melakukan anastesi perinhalasi menggunakan kloroform. Segera setelah hewan terbius, dilakukan penyayatan di daerah medioventral untuk membuka daerah thoraks dan mencapai jantung, lalu dilakukan pengeluaran darah (eksanguinasi) dan proses fiksasi secara perfusi menggunakan paraformaldehida 4%. Organ pencernaan dikeluarkan dari tubuh dan dimasukkan dalam larutan fiksatif paraformaldehida 4% selama 3 x 24 jam, selanjutnya larutan diganti dengan alkohol 70% sebagai stopping point.

(25)

7

HASIL

Pengamatan Makroskopis Esofagus dan Lambung

Saluran pencernaan burung serak jawa terdiri atas paruh, rongga mulut, esofagus tanpa tembolok, proventrikulus, gizzard, usus halus, usus besar, serta kloaka. Esofagus burung serak jawa memiliki rataan panjang 9.8 ± 0.25 cm. Esofagus dibedakan menjadi dua bagian yaitu esofagus pars cervicalis yang berjalan di sebelah dekstra trakhea dan pars thoracalis yang terdapat di rongga thoraks (Gambar 4). Burung serak jawa tidak memiliki tembolok. Diameter esofagus bagian kranial memiliki ukuran 1.01 ± 0.21 cm, bagian medial 0.47 ± 0.17 cm dan bagian kaudal 0.77 ± 0.12 cm (Tabel 1, Gambar 4). Gizzard terletak di sebelah sinistra dari sumbu medial tubuh dan berada lebih ke kaudal, tepat disamping sebelah dekstra terdapat usus dan pankreas. Organ proventrikulus baru terlihat setelah jantung dan hati dipisahkan dari tubuh (Gambar 3A dan B).

Gambar 3 Situs viscerum burung serak jawa (Tyto alba), setelah jantung dipisahkan (A) dan setelah jantung dan hati dipisahkan (B).

a. Lidah, b. Tra khea, b’. Bronkus c. Esofagus pars cervicalis, d. Esofagus

pars thoracalis, e. Hati, f. Proventrikulus, g. Gizzard, h. Usus, i. Paru-paru Kantung empedu ditunjukkan dengan anak panah. Bar : 2cm

b c

c b b’

b’ d

d e

g h

h

a

a

g f

i A

(26)

8

Lambung burung serak jawa terdiri atas proventrikulus dan gizzard. Pada perbatasan proventrikulus dengan gizzard ditemukan adanya penebalan otot yang tidak simetris. Proventrikulus berbentuk kerucut (cone-shape), dengan diameter 0.67 ± 0.11 cm di bagian kranial, 1.07 ± 0.2 cm di bagian medial, dan 1.21 ± 0.21 cm di bagian kaudal, serta memiliki panjang 3.2 cm. Gizzard, dalam keadaan kosong dan difiksasi berbentuk seperti kubus, memiliki panjang kurvatura mayor 6.5 ± 0.95 cm, kurvatura minor sangat pendek. Diameter gizzard 1.88 ± 0.25 cm yang dihitung pada bagian medial (Tabel 1, Gambar 5).

Tabel 1 Ukuran panjang dan diameter esofagus dan lambung burung serak jawa

Gambar 4 Saluran pencernaan burung serak jawa tampak ventral, dengan pembagian esofagus berdasarkan letaknya

(27)

9

Gambar 5 Morfologi interior lambung burung serak jawa a. Proventrikulus, b. Gizzard, c. Lumen Gizzard, d. Lipatan mukosa gizzard. Bar : 0.5 cm

Komposisi dan Ukuran Pellet

Pellet merupakan massa padat berbentuk bulat lonjong yang terbentuk dari material yang tidak dapat dicerna seperti bulu atau rambut, kuku, serta gigi. Pellet burung serak jawa memiliki ukuran panjang sekitar 2-3 cm dan lebar 1-2 cm. Terdapat tulang-tulang dan rambut dari sisa makanan burung serak jawa yang berupa mencit (Gambar 6).

Gambar 6 Koleksi pellet utuh (A) dan komposisi pellet (B) burung serak jawa. Terdapat beberapa maca m tulang dan ra mbut dari sisa makanan burung serak jawa yang berupa mencit. Bar : 2 cm

Pengamatan Mikroskopis Esofagus dan Lambung

Dinding esofagus burung serak jawa terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna dan lapis adventisia (Gambar 7). Mukosa esofagus bagian kranial dan medial (Gambar 7A, B, A’ dan B’) memperlihatkan lapisan mukosa yang dilapisi sel epitel pipih banyak lapis tanpa adanya keratinisasi. Mukosa esofagus bagian kaudal (Gambar 7C), dilapisi oleh epitel silindris sebaris.

a b c

d

(28)

10

Kelenjar esofagus berbentuk tubular dan bertipe mukus dengan ciri khas inti sel yang terletak di basal (Gambar 7D). Kelenjar ini terletak tepat di profundal epitel mukosa, dan terdapat di sepanjang esofagus. Kelenjar esofagus ditemui lebih banyak pada bagian kranial dibandingkan bagian medial, dan jumlahnya semakin sedikit di bagian kaudal. Lapis muskularis eksterna terdiri atas otot longitudinal di profundal dan otot sirkuler di superfisial. Lapisan muskularis eksterna di bagian kaudal berukuran paling tebal. Potongan esofagus melintang (Gambar 7A’, B’, dan C’), menunjukkan bahwa esofagus bagian kranial memiliki ukuran lumen yang paling lebar, menyempit di bagian medial, dan kembali lebar di bagian kaudal. Potongan melintang esofagus bagian media l menujukkan lipatan mukosa yang lebih tinggi dibandingkan bagian kranial dan kaudal.

Gambar 7 Mikroanatomi dinding esofagus bagian kranial (A), medial (B) dan kaudal (C). Sayatan memanjang (A, B, C), sayatan melintang (A’, B’,

(29)

11

Dinding proventrikulus tersusun atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa (Gambar 8A). Lapisan mukosa dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris, pada lamina propria terdapat kelenjar proventrikulus superfisialis (Gambar 8A dan B), sedangkan pada submukosa terdapat kelenjar proventrikulus profundus (Gambar 8A dan C). Kelenjar proventrikulus superfisialis maupun profundus berbentuk tubular. Kelenjar proventrikulus superfisialis disusun oleh sel-sel mukus (Gambar 8B), sedangkan kelenjar proventrikulus profundus terdiri atas sel utama yang memiliki ciri khas inti berukuran kecil dan sitoplasma berwarna ungu gelap, serta sel parietal yang memiliki inti berbentuk bulat lebih besar dibandingkan inti sel utama, dengan sitoplasma yang berwarna pink terang (Gambar 8C). Lapis muskularis eksterna terdiri atas tiga lapis otot, yaitu dua lapis otot longitudinal di superfisial dan profundal, serta satu lapis otot sirkuler di antaranya.

Gambar 8 Mikroanatomi dinding proventrikulus (A) , kelenjar proventrikulus

superfisialis (B), kelenjar proventrikulus profundus (C)

a. Lipatan mu kosa proventrikulus, b. Kelen jar p roventrikulus superfisialis (la mina propria), c. Kelenjar proventrikulus profundus (submukosa), p. Sel parietal, u. Sel utama, Lm. Otot longitudinal, Sm. Otot sirkuler, s. Serosa.

Pewarnaan HE. Bar A: 200µm , B dan C: 50 µm.

(30)

12

Gambar 9 Mikroanatomi mukosa gizzard dengan kutikula yang tipis (A & B), muskularis eksterna (C), dan kelenjar gizzard inset B (D)

a. Lipatan mukosa gizzard, b. Kelenjar gizzard, c. Sub mukosa, d. Otot longitudinal, e. Otot sirkuler, f. Lumen. Kutikula ditunjukkan dengan anak panah

Pewarnaan HE. Bar A: 200µm; B, C: 100µm; dan D: 50µm.

PEMBAHASAN

Esofagus adalah organ berbentuk tubulus, yang menghubungkan daerah rongga mulut dengan proventrikulus. Burung serak jawa tidak mempunyai tembolok, hal ini sesuai menurut Fox (1995) bahwa burung hantu tidak memiliki tembolok. Setelah melalui esofagus makanan langsung menuju proventrikulus dan dicerna secara enzimatis (Bastarasche 2006). Keberadaan tembolok berkaitan dengan fungsinya, kadang kala tembolok dilengkapi dengan adanya mikroba bakteri dan enzim yang menyebabkan terjadinya proses pencernaan makanan sebelum memasuki lambung, contohnya pada ayam dan merpati (Rossi et al. 2006). Burung serak jawa merupakan burung raptor yang dapat dengan cepat mencerna makanan dengan enzim proteolitik

Mukosa esofagus burung serak jawa tidak dilapisi dengan keratin, karena burung ini merupakan burung pemakan daging. Berbeda halnya dengan burung pemakan biji-bijian dan serangga, adanya keratinisasi dapat melindungi lapisan mukosa dari erosi akibat gesekan makanan yang keras, seperti kulit dari biji-bijian dan eksoskeleton serangga. Mukosa esofagus bagian kaudal (Gambar 7C) dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris, hal ini diduga merupakan daerah transisi dari epitel mukosa, karena esofagus bagian kaudal langsung berhubungan dengan proventrikulus.

a

d

e

B A

a

b

f

b c

f

b

a

(31)

13

Lamina propria dipenuhi kelenjar esofagus yang berbentuk tubular dan bertipe mukus (Gambar 7D), dengan ciri khas memiliki inti yang terletak di basal. Letak kelenjar esofagus tepat di profundal epitel mukosa, hal ini memungkinkan sekresi mukus dapat disekresikan secara cepat langsung menuju lumen. Makanan pertama kali masuk dalam keadaan kering dengan ukuran yang cukup besar. Dibutuhkan tempat yang luas dan sekresi mukus yang lebih banyak untuk memperlancar makanan masuk ke esofagus. Oleh karena itu diameter esofagus bagian kranial memiliki ukuran paling lebar dibandingkan bagian medial dan bagian kaudal, serta kelenjar esofagus lebih banyak terdapat di bagian kranial.

Potongan esofagus bagian medial (Gambar 7B dan B’) menunjukkan lumen esofagus yang lebih sempit dibandingkan dengan bagian kranial maupun kaudal. Hal ini karena banyaknya lipatan mukosa, dan secara makroskopis diameter esofagus lebih kecil di bagian medial. Keadaan ini diduga untuk membantu memadatkan makanan yang masuk, agar ukurannya lebih sesuai sebelum masuk ke proventrikulus. Lipatan mukosa membantu menyalurkan makanan dengan dibantu adanya gerak peristaltik dari lapis muskularis esofagus.

Lapisan muskularis eksterna terdiri atas dua lapis otot, yaitu otot longitudinal yang terletak di profundal dan otot sirkuler di superfisial. Gambaran ini sama seperti pada burung coot (Batah et al 2012) Letak otot longitudinal dan sirkuler berbeda dengan burung pemakan biji-bijian dan mamalia pada umumnya, hal ini diduga berkaitan dengan mekanisme antiperistaltik pada saat regurgitasi pellet terjadi. Otot penyusun esofagus di bagian kranial terdiri atas otot bergaris melintang, adanya otot ini berhubungan dengan perilaku makan burung serak jawa yang masih secara sadar mengendalikan proses menelan, otot bergaris melintang ini berjalan sampai pertengahan esofagus bagian medial.

Secara makroskopis esofagus bagian kaudal memiliki ukuran diameter yang lebih lebar dibandingkan bagian medial, dan memiliki konsistensi otot yang lebih kaku karena tersusun dari lapisan otot yang cukup tebal. Mikroanatomi esofagus bagian kaudal menunjukkan lapisan muskularis eksterna yang tebal. Berkembangnya lapis muskularis di bagian ini berfungsi untuk menghasilkan kontraksi yang cukup kuat untuk mendorong makanan masuk ke proventrikulus.

(32)

14

Menurut Fox (1995) asam lambungburung raptor diurnal dan burung hantu memiliki pH 2.0-3.5. Kemampuan raptor diurnal dalam mencerna makanan lebih baik dibandingkan burung raptor nokturnal, sehingga pada pellet burung serak jawa masih ditemukan kerangka yang hampir lengkap dari mangsanya (Gambar 6). Sisa kerangka hampir tidak ditemukan pada pellet burung raptor diurnal (Ordo Falconiformes). Lapisan muskularis eksterna proventrikulus disusun oleh tiga lapisan, yaitu dua lapisan otot longitudinal di superfisial dan profundal, serta otot sirkuler yang terdapat diantara kedua otot longitudinal.

Gizzard burung serak jawa berbentuk menyerupai kubus, dengan lapisan mukosa dan lapisan otot yang tebal serta terdapat penebalan lapisan otot sirkuler yang tidak simetris di perbatasan proventrikulus dengan gizzard. Otot gizzard yang tebal berfungsi untuk mencerna makanan secara mekanik agar tercampur seluruhnya dengan enzim dari proventrikulus. Menurut Grimm dan Whitehouse (1963) serta Stevens dan Hume (1995), gizzard juga berfungsi sebagai filter untuk material yang tidak dapat dicerna dan merupakan tempat pembentukan pellet. Otot tebal pada gizzard juga berfungsi untuk mendorong pellet yang telah terbentuk, untuk dikembalikan menuju proventrikulus, yang selanjutnya akan melalui esofagus dan keluar dari tubuh secara regurgitasi.

Mukosa gizzard dilapisi dengan sel epitel silindris sebaris dan dilapisi oleh kutikula yang tipis. Kutikula tipis ditemui juga pada burung raptor lain, yaitu burung elang tikus (Hamdi et al. 2013). Berbeda dengan burung pemakan biji-bijian dan pemakan serangga yang memiliki kutikula tebal (Nurhidayanti 2002), burung serak jawa tidak membutuhkan kutikula tebal karena pakannya berupa daging, yang dapat secara cepat dicerna oleh enzim proteolitik. Burung pemakan biji-bijian dan pemakan serangga memiliki kutikula tebal untuk melindungi lapisan mukosa dari makanan yang keras, seperti kulit biji-bijian, atau eksoskeleton serangga. Pencernaan pada burung pemakan biji-bijan maupun burung pemakan serangga dibantu dengan adanya kerikil untuk membantu menghancurkan makanan yang keras (Stevens dan Hume 1995; Hunter et al. 2008).

Kelenjar gizzard berbentuk tubular dan bertipe mukus, terletak di lamina propria. Kelenjar ini berfungsi menghasilkan mukus pada saat pencernaan mekanik terjadi. Kelenjar gizzard ditemukan dengan jumlah yang banyak. Tipisnya kutikula pada mukosa gizzard burung serak jawa memungkinkan terjadinya kerusakan akibat gesekan dengan makanan yang berupa tikus, sehingga banyaknya jumlah kelenjar mukus diduga berfungsi untuk melindungi mukosa dari kerusakan.

(33)

15

SIMPULAN

Morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa mirip dengan burung pada umumnya, namun tidak ditemukan adanya tembolok. Esofagus memiliki kelenjar dengan jumlah yang banyak, berbentuk tubular dan bertipe mukus. Kelenjar ini terletak tepat di profundal epitel mukosa dan berdistribusi di sepanjang mukosa esofagus. Salah satu keunikan lain, yaitu lapisan muskularis eksterna pada esofagus burung serak jawa, adalah letak otot longitudinal yang berada di bagian profundal dan otot sirkulernya di bagian superfisial. Proventrikulus memiliki dua buah kelenjar, yaitu kelenjar proventrikulus superfisialis dan profundus. Kelenjar proventrikulus superfisialis berfungsi menghasilkan mukus, dan kelenjar proventrikulus profundus menghasilkan pepsinogen dan asam hidroklorat (HCl). Muskularis eksterna pada proventrikulus tersusun atas tiga lapisan otot, dua lapisan otot longitud inal di bagian superfisial dan profundal, serta otot sirkuler terdapat diantara kedua otot longitudinal. Gizzard memiliki lapisan mukosa yang dilapisi dengan kutikula yang tipis, dan terdapat penebalan lapisan otot sirkuler yang tidak simetris. Morfologi esofagus dan lambung burung serak jawa (Tyto alba) secara makroskopis dan mikroskopis sangat mendukung perilaku makan alaminya.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian mengenai organ-organ pencernaan burung serak jawa (Tyto alba) secara keseluruhan, seperti usus dan kelenjar asesoris dengan pengamatan yang lebih mendalam, sehingga dapat menduga fungsi pencernaan dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Bachynski K, Harris MS. 2002. Tyto alba. [internet].[diunduh pada 2014 Januari 18].Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz. umich.edu/accounts/Tyto_ alba/

Bastarache G. 2006. Owl pellet analysis activity. [internet]. [diunduh pada 2014 Feb13].Tersedia pada: http: //www.appstate.edu/~goodmanj/4401/labnotes/owl pellets/owlpellets.html

Batah AL, Selman HA, Saddam M. 2012. Histological study for stomach (proventriculus and ventriculus) of coot bird Fulica atra. IASJ. 4(1):9-16 Catroxo MHB, Lima MAI, Cappellaro CEMPDM. 1997. Histological aspects of

the stomach (proventriculus and gizzard) of the red-capped cardinal (Paroaria gularis gularis). Rev Chil Anat. 15(1):19-27.

Cholewiak D. 2003. Strigiformes.[internet].[diunduh pada 2014 Feb 13]. Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Strigiformes/

[Deptan] Departemen Pertanian. 1996. Pedoman Pengembangbiakan Burung Hantu, Tyto alba sebagai Predator Tikus di Areal Tanaman Perkebunan. Jakarta (ID) : Deptan

Fox N. 1995. Understanding the Bird of Prey. Surrey (US): Hancock House. Golser A. 2007. Birds of the World: A Photographic Guide. Ontario (US): Firefly

Books

(34)

16

Hamdi H, El- Ghareeb AW, Zaher M, Abu-Amod F. 2013. Anatomical, histological, and histochemical adaptation of the avian alimentary canal to their food habits : II- Elanus caeruleus. IJSER. 4(10):1355-1364

Hunter B, Ashley W, Babak S, Al Dam. 2008. Avian Digestive System. Ontario (US): University of Guelph.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Ed ke – 2. Oxford (GB) : Pergamon Pr.

MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV, Andres P, Rozendaal F. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Rahardjaningtrah W, Adikerana A, Martodiharjo P, Supardiyono EK, Balen BV, penerjemah; Sumardipura S, Kartikasari A, editor. Bogor (ID): Burung Indonesia

Marti, C. 1992. Barn Owl. Di dalam: Poole A, Stettenheim P, Gill F, editor. The Birds of North America, Volume ke-1. Philadelphia (US): The Academy of Natural Sciences; Washington DC (US): The American Ornithologists' Union. hlm 1-15.

Novelina S. 2009. Studi morfologi esofagus dan lambung burung walet linchi (Collocalia linchi). Jurnal Kedokteran Hewan. 3(1):203-209.

Nurhidayanti W. 2002. Morfologi oesophagus dan lambung burung layang-layang asia (Hirundo rustica). [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor.

Parry-Jones J. 2001. Understanding Owl. Cincinnati (US) : David and Charles Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999

tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

Ramsden D, Lewis A, Davies H, Reardon S, Ramsden FJ, Richard C, Winney P, Askew N, Hann L, Wakeham K, Lewis C, Webb P, Begatta C, Ford L. 2010. Sexing barn owl. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 12]. Tersedia pada :

http://www.barnowltrust.org.uk/content_images/pdf/sexing_Barn_Owls_23.pdf. Ritchison G. 2006. Digestive system : Food and Feeding Habit. [internet].

[diunduh pada 2014 Feb 13]. Tersedia pada:http://people.eku.edu/ ritchisong/ birddigestion.html

Rocha DOS, De Lima MAI. 1998. Histological aspects of stomach of burrowing owl (Speotyto cunicularia, Molina, 1782). Rev Chil Anat.16(2):191-197. Rossi JR, Baraldi- Artoni SM, Oliveria D, Cruz C, Sagulal A, Pacheco MR, Arajo

MK. 2006. Morphology of oesophagus and crop of the partrigde Rhynchotus rufescens (Tiramidae). Acta Sci Biol Sci. 28(2):165–168

Stevens CE, Hume ID. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive System. Cambridge (EN): Cambridge Univ Pr.

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Daftar Burung Indonesia. Ed ke-2. Bogor : Indonesian Ornithologists’ Union

Yasin I. 2010. Pencernaan serat kasar pada ternak unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma. 21(3):125-135

(35)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bekasi pada tanggal 9 Mei 1992, putra kedua dari pasangan Atjep Noor Hidajat dengan Maizaharni. Penulis menempuh pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 1 Sukanagara, Cianjur, kemudian meneruskan pendidikan di SMAN 1 Cianjur, dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi penanggung jawab cluster wild ornith di himpunan profesi satwaliar FKH IPB, selain itu penulis juga pernah menjadi ketua dalam kegiatan Ekspedisi II SATLI mengenai gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Penulis pernah menjadi pembicara pada learning grup himpunan profesi hewan kesayangan dan satwa akuatik eksotik mengenai reptil.

Gambar

Gambar 1  Karakteristik morfologi burung hantu dari famili Strigidae (A), dan
Gambar 2 Saluran pencernaan burung yang memiliki tembolok (A), dan saluran
Gambar 3 Situs viscerum burung serak jawa (Tyto alba), setelah jantung
Gambar 4 Saluran pencernaan burung serak jawa tampak ventral,
+5

Referensi

Dokumen terkait

Lapisan tunika muskularis yang tebal pada esofagus musang luak diduga merupakan kompensasi dari tidak adanya kelenjar esofagus dan berfungsi untuk pergerakan makanan menuju

Untuk meningkatkan keberhasilan strategi penggunaan Serak Jawa sebagai pengendali hama tikus diperlukan tenaga terlatih yang memahami perilaku Serak Jawa.. Perlu dilakukan

Seperti pada daerah kardia, kelenjar pilorus disusun oleh sel-sel kuboidal yang berfungsi menghasil- kan mukus untuk melindungi mukosa usus dari asam lambung serta

Hasil pada lokasi perjumpaan di Gedung Rumah Sakit Grahasia Kaliurang pada bulan Mei 2015 didapatkan jumlah populasi 3 (tiga) jenis individu yang berbeda yaitu satu burung Serak