ANALISIS METAGENOMIK AKTINOMISET ENDOFIT
PADA TANAMAN BROTOWALI (
Tinospora crispa L. Miers)BERDASARKAN GEN 16S rRNA
MONA PRIMANITA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Metagenomik Aktinomiset Endofit pada Tanaman Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) berdasarkan Gen 16S rRNA adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
RINGKASAN
MONA PRIMANITA. Analisis Metagenomik Aktinomiset Endofit pada Tanaman Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) berdasarkan Gen 16S rRNA. Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan ARIS TRI WAHYUDI.
Keragaman aktinomiset endofit yang berasosiasi dengan tanaman obat sangat penting dipelajari karena memiliki potensi sebagai sumber beragam senyawa metabolit sekunder yang bermanfaat. Status keragaman aktinomiset endofit pada Tinospora crispa dapat dianalisis dengan pendekatan culture dependent dan culture independent. Analisis aktinomiset endofit pada tanaman T. crispa menggunakan pendekatan culture dependent telah berhasil dilakukan, ditemukan sebanyak 32 isolat aktinomiset endofit yang sebagian besar merupakan genus Streptomyces. Isolasi aktinomiset endofit dengan pendekatan culture dependent hanya merepresentasikan 0,1-10 % yang dapat tumbuh pada media agar. Sebagian besar mikrob yang ada di alam yaitu lebih dari 99% memiliki beragam potensi, namun masih belum banyak diketahui kegunaannya. Analisis metagenomik komunitas mikrob di lingkungan dengan cara tanpa pengkulturan (culture independent) dilakukan untuk mendapatkan galur yang bisa dikulturkan, sulit dikulturkan maupun yang tidak bisa dikulturkan pada media agar. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji keragaman aktinomiset endofit pada T. crispa dengan pendekatan culture independent dianalisis dengan teknik PCR-DGGE berdasarkan gen16S rRNA.
Hasil kajian tentang keragaman aktinomiset endofit pada T. crispa berdasarkan analisis metagenomik merupakan informasi baru yang pertama kali dilaporkan. Ditemukan beberapa kesamaan pada aktinomiset endofit yang terdapat pada batang, akar dan daun dengan komunitas aktinomiset tanah pada rhizosfer tanaman T. crispa. Interpretasi menggunakan piranti lunak Phoretix 1D menunjukkan bahwa keragaman paling besar dari aktinomiset ditemukan pada batang dan daun yaitu 17 dan 16 pita, sedangkan pada akar dan tanah ditemukan yaitu 14 dan 10 pita masing-masingnya secara berurutan. Jumlah total dari pita yang didapatkan menggunakan piranti lunak ini adalah 21 pita. Analisis molekuler dengan metode PCR-DGGE menunjukan 12 pita yang dominan. Sekuen A4 dan A9 memiliki kesamaan 95% dan 86% untuk pita dengan panjang 180 bp dengan Williamsia dan Streptomyces, secara berurutan. Sekuen yang ditemukan ini diduga tergolong baru karena memiliki persentase kesamaan yang lebih rendah dari 97 %. Hasil 10 sekuen lainnya memiliki kesamaan dengan rentang antara 97-100% dengan panjang sekuen 180 bp yang menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan genus Streptomyces, Microbacterium, Amycolatopsis, Actinomadura, Actinoplanes, Actinokineospora, Kibdelosporangium, Williamsia, Kocuria.
Berdasarkan kajian culture independent dengan pendekatan metagenomik gen 16S rRNA yang dianalisis dengan teknik PCR-DGGE berhasil diketahui keragaman komunitas aktinomiset endofit pada T. crispa. Sebagian besar aktinomiset yang diperoleh memiliki kekerabatan dengan rare aktinomiset dan sebagian lagi berkerabat dengan Streptomyces. Diantara aktinomiset yang diperoleh diduga terdapat novel aktinomiset endofit T. crispa.
SUMMARY
MONA PRIMANITA. 16S rRNA-based Metagenomic Analysis of Endophytic Actinomycetes Diversity from Brotowali (Tinospora crispa L. Miers). Supervised by YULIN LESTARI and ARIS TRI WAHYUDI.
Diversity of endophytic actinomycetes associated with medicinal plants is very important due to their capability as source of bioactive compounds with various function. Status of endophytic actinomycetes diversity in T. crispa can be analyzed using culture dependent as well as culture independent approach. Analysis of the diversity of endophytic actinomycetes from T. crispa using culture dependent approaches has been successfully carried out, which found a total of 32 isolates, where mostly Streptomyces. Isolation of endophytic actinomycetes with culture dependent approach may represents only 0.1-10% that can be grown on an agar medium. The fact that more than 99% of microorganisms that exist in nature have various function but still unexplored. Metagenomic analysis of microbial communities in the environment based on culture independent technique is performed to obtain the strains that can be cultured as well as strains that difficult and/or cannot be cultured on agar media. The aim of this work was to explore diversity of endophytic actinomycetes from T. crispa using culture independent technique, analysed their metagenom based on PCR-DGGE of 16S rRNA gene.
This described results is considered as the first report regarding the diversity of endophytic actinomycetes from T. crispa analysed using metagenomic approach. There were some similarities amongst endophytic actinomycetes found in stems, roots, and leaves with actinomycetes community found in the soil rhizosphere of T. crispa. Interpretation using Phoretix 1D software showed that the highest diversity of actinomycetes was found in the stems and leaves representing by 17 and 16 bands, while in the roots and the soil were represented by 14 and 10 bands, respectively. Total number of bands obtained with this software was 21 bands. The 12 dominant and or different bands with 180 bp in size were molecularly sequenced. The A4 and A9 bands have 95% and 86% similarities with Williamsia and Streptomyces, respectively. These similarity was less than 97% thus may indicate novel actinomycetes. The other 10 sequenced bands have closed similarity ranging from 97-100% and they were closely related to the genus Streptomyces, Microbacterium, Amycolatopsis, Actinomadura, Actinoplanes, Actinokineospora, Kibdelosporangium, Williamsia, Kocuria.
Based on this culture independent study, metagenomic analysis of 16S rRNA using PCR-DGGE technique succesfully reveals diversity of endophytic actinomycetes from T. crispa. Most of the endophytic actinomycetes obtained were closedly related with rare actinomycetes, and the rest community were closedly related with Streptomyces. Amongst them, there were presumably novel endophytic actinomycetes reside in T. crispa plant.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
ANALISIS METAGENOMIK AKTINOMISET ENDOFIT
PADA TANAMAN BROTOWALI (
Tinospora crispa L. Miers)BERDASARKAN GEN 16S rRNA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Oktober 2014 adalah analisis metagenomik aktinomiset endofit dengan judul Analisis Metagenomik Aktinomiset Endofit pada Tanaman Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) berdasarkan Gen 16S rRNA. Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Yulin Lestari dan Bapak Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, nasehat dan bimbingannya selama ini.
2. Ibu Dr. Laksmi Ambarsari, MS selaku penguji yang telah banyak memberi saran, dan masukannya pada tesis ini.
3. Ibu Prof. Dr. Anja Meryandini, MS selaku ketua Program Studi Mikrobiologi serta seluruh staf pengajar Program Studi Mikrobiologi atas curahan ilmu selama menempuh studi di Program Studi Mikrobiologi SPs IPB.
4. Semua pihak yang telah membantu sehingga terlaksananya penelitian ini yaitu Beasiswa Unggulan Dikti atas nama Mona Primanita, S. Si dan proyek penelitian dari Pusat Studi Biofarmaka atas nama Dr. Ir. Yulin Lestari. 5. Papa, mama, adik serta seluruh keluarga besar Nuriah, atas segala doa dan
kasih sayangnya. doa yang tulus tiada henti yang selalu mengiringi setiap langkah penulis untuk penyelesaian studi S2 ini.
6. Teman-teman Mikrobiologi 2012 dan 2013, teman-teman Lab Mikrobiologi, LASKAR LESTARI, teman-teman di kosan MAHARLIKA teman-teman dari Padang, teman-teman HIMMPAS atas doa, dukungan, saran dan bantuan sehingga saya dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Semoga dibalas Allah dengan kebaikan yang berlipat ganda, amin. Penulis menyadari bahwa tiada karya yang sempurna, untuk itu segala masukan dan saran perbaikan senantiasa penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA
Tinospora crispa L. Miers 3
Mikrob endofit 4
Aktinomiset 5
Amplifikasi Gen 16S-rRNA 6 DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis) 7
Sekuensing 8
Metagenomik 9 METODE
Pengambilan dan Sterilisasi Permukaan Sampel 13 Ekstraksi DNA Aktinomiset Endofit dan Aktinomiset Tanah 13
PCR untuk DGGE 14
DGGE 15
Sekuensing Gen 16S rRNA dan Kontruksi Pohon Filogenetik 16 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil 16
Pembahasan 21
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 24
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 26
LAMPIRAN 32
DAFTAR TABEL
1 Data Keragaman Komunitas Mikrob yang Diisolasi dengan
Pendekatan Metagenomik pada Beberapa Tanaman 9 2 Data Keragaman Komunitas Mikrob Tanah yang
Diisolasi dengan Pendekatan Metagenomik 10 3 Daftar Sekuen Primer yang Digunakan pada PCR 15 4 Kesamaan Sekuen Gen 16S rRNA Aktinomiset endofit
dari T. crispa dan Aktinomiset Tanah dengan Strain Pembanding 18
DAFTAR GAMBAR
1 Tanaman Tinospora crispa L. Miers 3
2 Analisis dengan Teknik DGGE 7
3 Diagram Alur Penelitian 12
4 Hasil Amplifikasi Tahap 1 dan Tahap 2 Gen 16S rRNA Aktinomiset 16 5 Profil DGGE Gen 16S rRNA Aktinomiset, Interpretasi dari
Piranti Lunak Phoretix 1D, re-PCR, Analisis p-distance 17 6 Kedekatan Filogenetik Sekuen Gen 16S rRNA Aktinomiset Endofit 20
7 Kelimpahan Aktinomiset Tanah, Endofit 20
DAFTAR LAMPIRAN
1 Organ Tanaman berupa Akar, Batang, Daun dari tanaman
T. crispa dan Tanah 32
2 Hasil Analisis Konsentrasi DNA dengan Nano Drop 2000
Spectrophotometer 32
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Tinospora crispa L. Miers merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang digunakan masyarakat Asia yang memiliki banyak khasiat seperti dalam mengontrol penyakit diabetes (Puranik et al. 2010; Patela & Mishrab 2012). Mikrob endofit salah satunya aktinomiset pada tanaman T. crispa mampu memproduksi senyawa metabolit sekunder yang juga dihasilkan oleh tanaman inangnya seperti senyawa antidiabetes (Pujianto et al. 2012). Hal ini diduga merupakan hasil pertukaran genetik dan evolusi antara mikrob endofit dengan inangnya (Tan & Zou 2001). Aktinomiset merupakan mikrob yang sangat penting untuk dikaji karena kemampuannya dalam memproduksi beragam senyawa metabolit sekunder. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa dari beberapa tanaman obat tradisional yang digunakan sebagai antidiabetes, T.crispa merupakan tanaman obat dengan jumlah isolat aktinomiset tertinggi (Pujianto et al. 2012). Dari 65 aktinomiset endofit yang diisolasi dari beberapa tanaman obat antidiabetes, 32 isolat aktinomiset endofit berasal dari T. crispa. Pada penelitian lainnya juga dilaporkan bahwa dari 15 bakteri endofit yang diisolasi dari T. crispa, 11 isolat aktinomiset dan 4 isolat lainnya merupakan bakteri gram negatif (Irawan 2009).
2 dominan yang berkolonisasi pada organ tanaman maupun aktinomiset di rhizosfer (Nimnoi et al. 2010). Gen 16S rRNA merupakan gen yang dimiliki oleh semua prokariotik yang bersifat conserved region yang biasa digunakan untuk keperluan identifikasi bakteri, termasuk aktinomiset.
Kajian mengenai status keragaman aktinomiset endofit dapat dilakukan dengan pendekatan culture dependent dan culture independent. Keragaman aktinomiset endofit T. crispa berdasarkan teknik culture dependent telah dilaporkan oleh Irawan (2009) ditemukan 11 isolat aktinomiset endofit dan Pujianto et al. (2012) dilaporkan sebanyak 32 isolat aktinomiset endofit, yang sebagian besar merupakan genus Streptomyces. Namun demikian, informasi keragaman aktinomiset endofit pada tanaman T. crispa dengan analisis metagenomik berdasarkan gen 16S rRNA dengan PCR-DGGE belum dikaji. Oleh karena itu fokus kajian penelitian ini adalah mengeksplorasi keragaman aktinomiset endofit T. crispa berdasarkan pendekatan metagenomik.
Perumusan Masalah
Meningkatnya kebutuhan terhadap senyawa bioaktif baru yang berkhasiat obat untuk pemanfaatannya dibidang kesehatan dan industri membutuhkan upaya untuk mengeksplorasi keragaman dan potensi mikrob endofit asal tanaman obat. Aktinomiset endofit T. crispa merupakan sumber senyawa bioaktif berkhasiat antidiabetes. Namun demikian status keragaman aktinomiset endofit T. crispa belum dikaji dengan baik. Data keragaman aktinomiset endofit yang tersedia masih berdasarkan hasil kajian dengan pendekatan culture dependent, sehingga keragaman aktinomiset endofit yang tidak atau belum dapat dikulturkan belum diketahui. Isolasi aktinomiset dengan teknik culture dependent hanya merepresentasikan 0,1-10 % saja yang dapat tumbuh, sedangkan 90-99 % mikrob yang ada di alam yang memungkinkan memiliki potensi yang sangat besar, masih belum dikenal ataupun dimanfaatkan. Pendekatan molekuler dengan analisis metagenomik berdasarkan gen 16S rRNA dengan PCR-DGGE dapat digunakan untuk menjawab dan mengkaji keragaman aktinomiset endofit pada tanaman obat T. crispa dan aktinomiset tanah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman aktinomiset endofit pada tanaman T. crispa menggunakan analisis metagenomik berdasarkan gen 16S rRNA dengan PCR-DGGE. Sebagai data pembanding keragaman aktinomiset tanah disekitar daerah perakaran tanaman ini juga dikaji menggunakan pendekatan yang sama. Informasi analisis metagenomik yang dilaporkan selanjutnya bisa digunakan sebagai dasar kajian pengembangan potensinya.
Manfaat Penelitian
3 endofit, aktinomiset tanah untuk penelitian lebih lanjut dalam mengeksplorasi gen fungsional lainnya dengan metode PCR-DGGE.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi pengambilan sampel tanaman T. crispa berupa bagian akar, barang, daun dan tanah sekitar perakaran tanaman tersebut, sterilisasi permukaan sampel, ekstraksi DNA genom total, amplifikasi DNA gen 16S rRNA spesifik aktinomiset, analisis DGGE, sekuensing dan konstruksi pohon filogenetik, analisis p-distance, analisis kelimpahan aktinomiset pada sampel.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinospora crispa L. Miers
Indonesia merupakan negara mega biodiversity yang mempunyai kekayaan flora berlimpah termasuk tanaman obat. Hutan tropika Indonesia memiliki potensi tumbuhan obat yang tidak ternilai harganya, tidak kurang dari 1260 jenis tumbuhan obat ditemukan dihutan tropika Indonesia (Zuhud 2012). Tanaman yang berkhasiat obat berperan dalam menjaga kesehatan, mengatasi penyakit dan untuk kecantikan (Wijayakusuma 2000). Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menetapkan bahwa pengobatan tradisional pada masa kini dan mendatang akan tetap digunakan oleh dua pertiga penduduk dunia dengan memanfaatkan sumber daya alam yang potensial yang berkhasiat obat. Salah satu tanaman obat yang banyak dimanfaatkan yaitu Tinospora crispa L. Miers atau lebih dikenal dengan nama daerahnya yaitu brotowali, andawali, akar pahit, putowali (Gambar 1). T. crispa merupakan salah satu tanaman obat yang banyak digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan obat tradisional dan secara empiris telah terbukti memiliki khasiat. Senyawa metabolit sekunder yang berkhasiat obat ini juga bisa didapatkan dari mikrob endofit yang bersimbiosis dengan tanaman.
4
T. crispa merupakan tanaman obat tradisional Indonesia yang biasanya ditanam diperkarangan atau tumbuh liar dihutan. T. crispa telah lama dikenal oleh masyarakat tradisional Indonesia sebagai bahan pembuatan jamu yang dicampur dengan tanaman-tanaman herbal lainnya (Pujiyanto et al. 2012). T. crispa mengandung senyawa furanoditerpen glikosida yaitu tinokrisposida yang berasa sangat pahit selain itu juga terdapat senyawa lain seperti golongan alkaloid (aporfin, berberin, palmatin, yatrohizin dan glikosida (borapetol dan borapetosida)) yang memiliki kemampuan sebagai antidiabetes.
T. crispa merupakan tanaman herba yang hampir semua bagian tanamannya dimanfaatkan sebagai obat serba guna yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Milamsari (2006) juga menyatakan bahwa ekstrak etanol batang T. crispa dapat meningkatkan toleransi glukosa mencit putih jantan dengan dosis optimal 675 mg/kg BB. Ekstrak kasar TC-21 dari T. crispa pada konsentrasi 0,07% mempunyai
potensi sebagai penghasil inhibitor α glukosidase (Irawan 2009). Batang T. crispa dapat digunakan sebagai bahan pembuat lotion antinyamuk (Prihastuti 2012) dan beberapa manfaat lain yaitu sebagai antimikrob terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan Candida albicans secara in vitro (Kurniawan 2007), antioksidan (Zulkefli et al. 2013), mengontrol tekanan darah (Praman et al. 2011) dan antiproliferative dalam mencegah penyakit kanker (Zulkhairi 2008). Potensi lainnya dari T. crispa yaitu dalam mengobati penyakit seperti demam, penyakit kuning, gatal pada badan, kudis, luka, rematik.
Mikrob Endofit
5 (Susilowati et al. 2010). Mikrob endofit yang bersimbiosis ini tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman. Mikrob ini aktif dalam proses perkembangan tanaman, suplai nutrisi, memicu pertumbuhan tanaman dan melindungi dari patogen (Andreote et al. 2009).
Isolasi bakteri endofit pada tanaman Morinda citrifolia ditemukan tiga bakteri endofit gram positif dan dua gram negatif yang menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap S. aureus, E. coli, S. typhimurium, B. subtilis dan C. albicans (Kumala 2007). Mikrob endofit juga menghasilkan antibiotik Phomopsichalasin, merupakan metabolit yang diisolasi dari mikrob endofitik Phomopsis spp. Antibiotik ini berhasiat sebagai anti bakteri Bacillus subtilis, Salmonella enterica, Staphylococcos aureus, dan juga dapat menghambat pertumbuhan jamur Candida tropicalis (Radji 2005). Bakteri endofit tanaman hutan Indonesia mempunyai prospek dalam menghasilkan senyawa aktif untuk memproteksi serangan mikrob patogen tanaman Xanthomonas campestris, Pseudomonas solanacearum, Colletroticum gloeosporioides dan Fusarium oxysporum (Melliawati et al. 2006). Bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari tanaman Momordica charantia (isolat PR-3) memiliki kemampuan tinggi untuk menghambat enzim α glukosidase. Ekstrak kasar isolat ini mampu memberikan penghambatan sebesar 61,2 % dibanding senyawa komersial Acarbose 1% (Pujianto & Ferniah 2010).
Aktinomiset
Aktinomiset adalah bakteri gram positif, berfilamen dan bersporulasi dengan DNA yang kaya dengan basa nitrogen G+C 57-75%. Aktinomiset berpotensi dalam menghasilkan senyawa metabolit sekunder diantaranya streptomisin yang berasal dari Streptomyces griseus untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan obat immunosuppress, tacrolimus (FK506) diproduksi oleh S. tsukubaensis. Aktinomiset tersebar hampir di seluruh permukan bumi. Sekitar 100 genera aktinomiset ada di tanah (Lo 2002). Keberadaan aktinomiset tergantung pada beberapa faktor, seperti ketersediaan nutrisi, suhu, pH, kelembaban, jenis tanah, musim dan iklim (Oskay 2009).
6 senyawa antibakteri enteropatogenik terhadap Escherichia coli K1.1, Pseudomonas pseudomallei 0205 dan Listeria monocytogenes 5407. Streptomyces glaucescens menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti acarbose yang berfungsi sebagai inhibitor enzim α glukosidase yang dapat menurunkan kadar gula darah (Rockser & Wehemeier 2008). Aktinomiset isolat Tc-2.1 dan Tc-3.1 dari batang brotowali
menunjukkan aktivitas inhibisi α- glukosidase dalam mengontrol penyakit diabetes (Irawan 2009). Ekstrak etil asetat Streptomyces sp. BWA 65 memiliki senyawa aktiv auron yang berasal dari golongan flavonoid yang memiliki kemampuan menekan kadar glukosa darah (Pujiyanto et al. 2012).
Amplifikasi Gen 16S rRNA
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B. Mullis, metode ini sekarang telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik (Yuwono 2006).
Aplikasi teknik molekuler untuk menganalisis keragaman mikrob yaitu analisis gen 16S rRNA dengan PCR mampu menampilkan keragaman genetik mikrob baik yang dapat dikulturkan ataupun tidak. PCR bertujuan untuk amplifikasi gen. Amplifikasi membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukleotida khusus yang terdiri dari 10-30 nukleotida) yang dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Semakin panjang primer maka makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi. Gen 16S rRNA banyak digunakan karena gen ini terdapat pada semua prokariota dan memiliki sekuen yang konservatif dan sekuen lainnya yang bervariasi (Madigan et al. 2011). Analisis kedekatan filogenetik berdasarkan sekuen gen 16S rRNA sering digunakan sebagai metode untuk mengklasifikasikan bakteri. Sekuen gen 16S rRNA pada bakteri merupakan marker molekular universal yang baik karena mengandung daerah yang sangat stabil (conserved region) yang merupakan daerah yang jarang sekali mengalami transfer gen secara lateral dan mengalami perubahan yang sangat lambat selama evolusi sehingga dapat digunakan untuk mengetahui hubungan filogenetik (Salaki 2010). Penggunaan gen 16S rRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler yang universal, representatif dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies, selain itu juga didukung dengan adanya ketersedian database yang lengkap pada situs NCBI (National Center for Biotechnology Information).
7 Modifikasi PCR yang populer adalah nested-PCR. Metode ini melibatkan dua siklus amplifikasi yang menggunakan dua pasang primer. Pada amplifikasi pertama menggunakan sepasang primer dan menghasilkan produk PCR yang relatif panjang. Produk PCR ini kemudian diamplifikasi dengan menggunakan primer internal, sehingga menghasilkan produk yang lebih pendek. Metode ini sangat peka dan sensitif, amplifikasi dengan primer internal menaikan jumlah produk PCR. Amplifikasi kedua ini juga bertujuan untuk menegaskan spesifitas produk PCR pertama (Sudjadi 2008).
DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis)
Analisis dengan pendekatan metagenomik pada komunitas mikrob yang ada di lingkungan telah banyak dikembangkan menggunakan teknik fingerprinting seperti DGGE/TGGE (Denaturing /Temperature Gradient Gel Electrophoresis), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism), ARDRA (Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis), T-RFLP (Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism), ARISA (Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis), perpustakaan klon, FISH (Fluorescent in situ hybridization) (Fani 2006; Fakruddin & Mannan 2013). Masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga pemilihan teknik analisis didasarkan pada kebutuhan penelitian. PCR-DGGE merupakan metode yang secara umum telah banyak digunakan dalam menganalisis keragaman mikrob secara culture independent pada beberapa sampel tanah (Tabel 2) maupun endofit pada tanaman kentang, akar Aquilaria crassna (Sessitsch et al. 2002; Nimnoi et al. 2010).
Prinsip PCR-DGGE dalam menganalisis keragaman mikrob dilingkungan diawali dengan amplifikasi fragmen DNA dengan primer spesifik. Produk PCR terdiri dari fragmen DNA yang mempunyai panjang yang sama, namun dengan sekuens pasangan basa yang berbeda, dapat dipisahkan dengan analisis DGGE. Pemisahan ini didasarkan kepada pengurangan mobilitas elektroforesis dari molekul DNA yang terdenaturasi secara parsial dalam gel poliakrilamid yang mengandung gradien denaturan yang bertambah secara linear (Muyzer et al. 2004).
8 Gel poliakrilamid adalah gel yang secara kimia terbentuk dari polimerisasi akrilamid yang berikatan secara cross-link dengan N,N'-methylenebisacrylamide. Reaksinya adalah polimerisasi radikal bebas dengan bantuan ammonium persulfat (APS) sebagai inisiator dan N,N,N',N'-tetramethylenediamine (TEMED) sebagai katalis (Sudjadi 2008). Gel poliakrilamid dapat memisahkan DNA dengan resolusi tinggi dan hasil yang murni, sehingga sangat baik digunakan untuk analisis keragaman pada tingkat molekuler.
Fragmen DNA dengan sekuen yang berbeda terdenaturasi pada posisi yang berbeda pada konsentrasi denaturan yang berbeda didalam gel. Daerah pada DNA untaian ganda yang terdenaturasi sebagian menjadi untai tunggal pada area tertentu disebut melting domain. Penambahan 30- sampai 40-bp GC clamp pada ujung 5’ primer menyebabkan salah satu ujung untai memiliki melting domain yang tinggi yang bisa mencegah DNA beruntai ganda terdenaturasi sepenuhnya menjadi DNA tunggal sehingga akan membentuk DNA seperti huruf Y pada gel poliakrilamid (Muyzer et al. 1993). Hal ini menyebabkan mobilitas DNA dalam gel poliakrilamid menjadi berkurang (Gambar 2). Sekuen DNA yang berbeda bahkan perbedaan satu pasang basa nukleotida akan muncul sebagai pita pada posisi yang berbeda didalam gel poliakrilamid (Muyzer et al. 1993). PCR-DGGE mampu memisahkan sampel yang dianalisis menjadi beberapa pita yang terpisah. Masing-masing pita yang terpisah mewakili satu spesies tersendiri. Profil DGGE menunjukkan spesies yang dominan dan intensitas dari masing-masing pita menunjukkan kelimpahan relatif (Nimnoi et al. 2010).
Sekuensing
Dalam bidang molekuler, informasi urutan nukleotida (adenine, guanine, cytosine dan thymine) suatu fragmen DNA merupakan hal yang penting. Urutan basa nukleotida dapat ditentukan dengan teknik DNA sekuensing. Metode yang digunakan diantaranya dengan prosedur kimia yang ditemukan oleh A. Maxam dan W. Gilbert atau prosedur enzimatik yang dikembangkan oleh F. Sanger. Metode enzimatik biasa dikenal sebagai metode dideoksinukleotida yang saat ini merupakan metode yang banyak digunakan (Sudjadi 2008).
Proses awal dari metode Sanger adalah reaksi PCR. DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGT-nya dijadikan sebagai cetakan yang kemudian diamplifikasi menggunakan enzim dan bahan-bahan yang mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu. Proses ini dinamakan cycle sequencing. Perbedaan cycle sequencing dengan PCR biasa adalah primer yang digunakan hanya satu untuk satu arah pembacaan, tidak dua atau sepasang seperti pada PCR, ddNTPs (dideoxy-Nucleotide Triphosphate) adalah modifikasi
dari dNTPs dengan menghilangkan gugus 3′-OH pada ribosa. Saat proses ekstensi, enzim polimerase akan membuat rantai baru DNA salinan dari cetakan DNA dengan menambahkan dNTP dan ddNTP sesuai dengan urutan pada DNA cetakannya. Jika yang menempel adalah ddNTP, maka proses polimerisasi akan
terhenti karena ddNTP tidak memiliki gugus 3′-OH yang seharusnya bereaksi
9 fragmen pada gel electrophoresis bisa digabung dalam 1 lajur dengan menggunakan pelabel fluorescent pada ddNTP dengan 4 warna berbeda untuk ddATP, ddCTP, ddGTP dan ddTTP. Dengan teknik ini visualisasi dan penentuan urutan basa dapat dilakukan dengan lebih mudah karena keempat reaksi dipisahkan dalam satu lajur elektroforesis dengan 4 warna berbeda. Hasil pembacaan mesin sekuenser ini disebut juga electropherogram, yaitu pik-pik berwarna yang menunjukkan urutan basa DNA-nya (Sudjadi 2008).
Metagenomik
Studi mengenai keragaman bakteri dalam dua dekade terakhir mengungkap bahwa lebih dari 99% bakteri yang ada di alam tidak dapat dikultur di laboratorium dengan menggunakan metode kultur standar. Metagenomik adalah suatu pendekatan untuk mendapatkan informasi genetik dari total mikrob dalam suatu lingkungan, tanpa harus mengisolasi dan mengkultur sel atau mikrob tersebut (Rachim 2008). Istilah ini berasal dari statistik meta-analisis dan genomik. Pendekatan ini didasarkan pada kemajuan terbaru dari genomik mikrob dan amplifikasi PCR serta kloning gen yang langsung dari lingkungan (Schloss & Handelsman 2003). Pendekatan yang digunakan untuk ekstraksi DNA secara metagenomik biasanya serupa dengan pendekatan yang digunakan pada ekstraksi DNA dari kultur murni. Langkah dasar yang harus dilakukan meliputi penghancuran sampel, lisis sel, pemisahan DNA dari serpihan sel dan pemurnian DNA (Dahlia 2012). Sehingga dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh untuk suatu komunitas.
Penelitian ekplorasi enzim dan antibiotik baru merupakan salah satu awal penemuan dari metagenomik. Kedepannya diharapkan dapat memperbaiki metode dan memperkaya gen yang fungsional yang akan mempercepat laju penemuan molekul yang berguna (Schloss & Handelsman 2003). Analisis metagenomik telah banyak dikembangkan dalam menganalisis keragaman mikrob endofit (Tabel 1), mikrob tanah (Tabel 2) selain itu juga banyak digunakan untuk sampel air, mikrob pada usus manusia dan lain sebagainya.
Tabel 1. Data keragaman komunitas mikrob yang diisolasi dengan pendekatan metagenomik pada beberapa tanaman
Sampel Tanaman Culture Independent Sumber
10 Sampel Tanaman Culture Independent Sumber
Janibacter
Taxus x media Gammaproteobacteria Hao et al. 2008
T. Mairei Betaproteobacteria
Zea mays Bacillus thuringiensis Pereira et al. 2011 Bacillus sp.
austroyunnanensis Actinomycetales Qin et al. 2012 Acidomicrobiales
buncis Actinomycetales Heuer et al. 1997 Bifidobacteriales
Actinobacteridae Actinobacteria
Rhizosfer tanaman Streptomyces Smalla et al. 2001 strawberi, kentang Bacillus
Arthrobacter Frateuria Nocardia
11 Sampel Tanah Culture Independent Sumber
Devosia Gordona
Rhizosfer pada Pseudomonas Duineveld et al. 2001
Tanah Firmicutes Brons & Elsas
2008
Rhizosfer tanaman Micromonosporaceae Zhao et al. 2012 obat di Panxi,
Tanah kebun kapas Rhodococcus sp. Pc2F
nocardiaceae Zhang et al. 2013
Bacterium ellin 5004
12
METODE
Kerangka Penelitian
Gambar 3. Digram alur penelitian Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Oktober 2014. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pengambilan Sampel Akar, Batang
dan Daun Tanaman T. crispa Pengambilan Sampel Tanah
Sterilisasi Permukaan
Ekstraksi Genom Total dengan Geneaid Mini Kit (plant)
Ekstraksi Genom Total dengan MoBio Power Soil Kit
PCR Tahap 1
PCR Tahap 2
DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis )
Re-PCR
Sekuensing Produk PCR
13 Pengambilan dan Sterilisasi Permukaan Sampel
Tanaman T. crispa diperoleh dari Kebun Koleksi Tanaman Obat, Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor. Tanaman yang diambil yaitu tanaman yang sehat. Bagian daun, batang dan akar tanaman (Lampiran 1) dibersihkan dan dipotong-potong kemudian disterilisasi permukaan secara bertahap dengan direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit, kemudian direndam dalam natrium hipoklorit (NaOCl) 1% selama 5 menit, selanjutnya direndam kembali dalam alkohol 70% selama 1 menit. Langkah terakhir dibilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Untuk membuktikan bahwa koloni aktinomiset endofit saja yang terisolasi, maka dilakukan uji kontrol negatif terhadap air hasil rendaman terakhir ketika proses sterilisasi permukaan, dengan cara menyebar 100 µL air sisa rendaman tersebut ke atas media uji Humic Acid Vitamin B (HV) (Combs & Franco 2003). Sampel tanah yang diambil adalah tanah disekitar perakaran tanaman T. crispa kurang lebih pada kedalaman 1-5 cm dari permukaan tanah.
Ekstraksi DNA Aktinomiset Endofit dan Aktinomiset Tanah
Ekstraksi DNA genom aktinomiset endofit pada sampel tanaman meliputi bagian akar, batang dan daun pada penelitian digunakan kit isolasi Genomic DNA Mini Kit Plant (Geneaid) dengan prosedur 100 mg sampel segar digerus dengan menggunakan nitrogen cair, kemudian ditambahkan 400 µl GP1 buffer dan 5 µl RNAse A dan diinkubasi pada suhu 60 ºC selama 10 menit, setiap 5 menitnya tube yang berisi sampel di bolak balik. Tahap berikutnya ditambahkan 100 µl GP2 buffer dan divortex kemudian diinkubasi pada es selama 3 menit. Langkah berikutnya, campuran dipindahkan kedalam tube baru yang sudah dilengkapi filter column. Supernatan hasil saringan kemudian ditambahkan 1,5 volume GP3 buffer yang sudah ditambahkan isopropanol. Tahap selanjutnya transfer 700 µl campuran pada tube yang sudah dilengkapi GD column kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 2 menit, supernatan dibuang kemudian ditambahkan lagi campuran yang sama sebanyak 700 µl, lakukan hal yang sama hingga campuran habis. Langkah selanjutnya pencucian GD column yang sudah berikatan dengan DNA genom dengan ditambahkan W1 buffer sebanyak 400 µl dan disentrifugasi 12000 rpm selama 30 detik, kemudian ditambahkan wash buffer yang sudah ditambahkan etanol sebanyak 600 µl dan disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Sampel yang masih ditemukan pigmen pada air hasil pencucian dengan wash buffer dilakukan pencucian lagi menggunakan wash buffer sebanyak 400 µl dan disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Selanjutnya disentrifugasi lagi pada 12000 rpm selama 3 menit untuk mengeringkan matrik column. Tahap berikutnya GD column dipindahkan pada tube baru dan ditambahkan 60 µl elution buffer, diamkan selama 5 menit kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. DNA genom yang didapatkan kemudian disimpat pada suhu -4 ºC.
14 tabung disentrifuse pada 12000 rpm selama 30 detik pada suhu ruang. Selanjutnya, supernatan hasil sentrifuse dipindahkan ke dalam tabung mikro baru sebanyak 400-500 µL. Sebanyak 250 µL larutan C2 (larutan IRT/Inhibitor Removal TechnologyTM) dimasukkan ke dalam tabung mikro kemudian divortex selama 5 detik lalu diinkubasi pada suhu 4 °C selama 5 menit. Setelah diinkubasi, tabung mikro disentrifuse pada 12000 rpm selama 60 detik pada suhu ruang. Setelah disentrifuse, sebanyak 500-600 µL supernatan dipindahkan ke tabung tabung mikro yang baru. Sebanyak 200 µL larutan C3 (larutan IRT/Inhibitor Removal TechnologyTM) ditambahkan pada tabung mikro kemudian divortex selama 5 detik lalu diinkubasi pada suhu 4 °C selama 5 menit. Setelah inkubasi, tabung mikro disentrifuse pada 12000 rpm selama 60 detik pada suhu ruang. Setelah disentrifuse, 750 µL supernatan dipindahkan kedalam tabung mikro yang baru. Sebanyak 1200 µL larutan C4 (larutan garam) dimasukkan ke dalam tabung mikro kemudian divortex selama 5 detik. Sebanyak 675 µL larutan dimasukkan kedalam spin filter kemudian disentrifuse pada 12000 rpm selama 60 detik pada suhu ruang. Setelah itu buang cairan yang terdapat pada bawah tabung spin filter, lalu dimasukkan lagi 675 µL larutan sebelumnya kemudian disentrifuse kembali pada 12000 rpm selama 60 detik pada suhu ruang. Cairan yang terdapat pada bawah tabung spin filter dibuang kemudian dimasukkan lagi sisa larutan sebelumnya, kemudian disentrifuse pada kondisi 12000 rpm selama 60 detik, lalu cairan yang terdapat pada bawah tabung filter dibuang. Sebanyak 500 µL larutan C5 (larutan pencuci) dimasukkan ke dalam tabung filter kemudian disentrifuse pada 12000 rpm selama 30 detik pada suhu ruang. Setelah disentrifuse, cairan yang terdapat pada bawah tabung filter dibuang, kemudian tabung disentrifuse ulang pada 12000 rpm selama 60 detik pada suhu ruang. Setelah sentrifuse, tabung filter dipindahkan ke dalam tabung mikro baru. Sebanyak 100 µL larutan C6 (larutan elusi) dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifuse pada 12000 rpm selama 30 detik. Setelah sentrifuse selesai, spin filter dibuang. DNA hasil ekstraksi tedapat pada tabung sekitar 100 µL dan siap digunakan untuk proses lanjutan seperti PCR. Hasil ekstraksi kemudian dicek kuantitasnya dengan menggunakan Nano Drop 2000 Spectrophotometer (Thermo Scientific, Wilmington, DE, USA).
PCR untuk DGGE
Tahapan amplifikasi menggunakan teknik nested PCR untuk mendapatkan perbanyakan gen 16S rRNA menggunakan primer spesifik aktinomiset 27f dan 16Sact1114r dan primer universal bakteri P338f dan P518r (Tabel 3). Amplifikasi tahap 1 dilakukan dengan menggunakan GoTaq Green Promega dengan komposisi PCR mixed dengan komposisi 12,5 µL GoTaq Green Promega, Primer 27f dan 16Sact1114r 60 pmol masing-masing 0,25 µL, templet DNA 5 µL dan ditambahkan nuclease free water sampai volume 25 µL. Kondisi PCR yang digunakan yaitu pre-denaturasi 94 ºC selama 5 menit, pre-denaturasi 94 ºC selama 60 detik, annealing 65 ºC selama 45 detik (penurunan 0,5 ºC tiap siklus untuk 20 siklus pertama, penurunan terakhir pada suhu 55 ºC), elongasi 72 ºC selama 120 detik untuk 30 siklus dan elongasi akhir 72 ºC selama 7 menit (Zhang et al. 2013).
15 1 sebanyak 1 µL sebagai templet DNA dan ditambahkan nuclease free water sampai volume 50 µL. Amplifikasi dilakukan dengan T1-thermocycler (Biometra, Goettingen, Germany) dengan optimasi sebagai berikut pre-denaturasi 94 ºC selama 5 menit, denaturasi 94 ºC selama 60 detik, anneling 55 ºC selama 45 detik, elongasi 72 ºC selama 60 detik untuk 30 siklus dan elongasi akhir 72 ºC selama 5 menit (Zhang et al. 2013).
Tabel 3. Daftar sekuen primer yang digunakan untuk PCR
Primer Sekuen Referensi
27f 5'-AGAPTTTGATCCTGGCTCAG-3' Bruce et al. 1992; Martina et al. 2008 16Sact1114r 5'-GAGTTGACCCCGGCRGT-3' Bruce et al. 1992;
Martina et al. 2008 P338f 5'-ACTCCTACGGGAGGCAGCAG-3' Ovreas et al. 1997 P518r 5'-ATTACCGCGGCTGCTGG-3' Ovreas et al. 1997 GC clamp 5'CGCCCGCCGCGCGCGGCGGGCG Ovreas et al. 1997
GGGCGGGGGCACGGGGGG
*Keterangan: F/f, forward primer; R/r, reverse primer
GC clamp yang ditambahkan pada ujung 5’primer P338f
Hasil amplifikasi kemudian diamati ukurannya dengan cara dimigrasi sebanyak 5 µL pada gel agarosa 1%, 80 volt selama 45 menit. Hasil migrasi kemudian diwarnai dengan Ethidium bromide 0.1% selama 15 menit kemudian dilihat dibawah UV transiluminator dan Gel Doc untuk didokumentasikan. Produk PCR yang tersisa disimpan pada suhu -20 ºC sebelum dianalisis dengan DGGE.
DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis)
16 Sekuensing Gen 16S rRNA dan Konstruksi Pohon Filogenetik
Produk PCR dari profil DGGE kemudian dikirim ke perusahaan jasa sekuensing (1stBASE Malaysia). Hasil sekuensing dibandingkan dengan database dari situs NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov) dengan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). Pensejajaran sekuen nukleotida dan konstruksi pohon filogenetik dilakukan dengan menggunakan piranti lunak MEGA 5.2. Konstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Profil PCR-DGGE
Uji kontrol negatif yang dilakukan terhadap air rendaman terakhir yang disebarkan pada media HV menunjukkan bahwa tidak ada mikrob yang tumbuh. Hasil ini menguatkan bahwahanya genom aktinomiset endofit saja yang terekstraksi. Konsentrasi DNA genom total yaitu 35,1 ng µL-1, 37,2 ng µL-1, 30,9 ng µL-1 berturut-turut didapatkan dari akar, batang dan daun. Konsentrasi DNA genom total pada tanah yaitu 3,7 ng µL-1 (Lampiran 2). Kemurnian DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi ini cukup baik dengan parameter A260/A280 rata-rata berkisar 1,6-1,7 menunjukkan bahwa masih terdapat sedikit kemungkinan pengotor protein, namun hal tersebut tidak mengganggu proses replikasi DNA. Nilai A260/A280 yang baik dan dianjurkan berkisar 1,8 – 2,0 (Sambrook & Russell 2001).
Amplifikasi dengan nested-PCR dilakukan dengan 2 tahapan menggunakan primer spesifik aktinomiset yaitu 27f/16Sact1114r dan P338fGC/P518r. PCR tahap satu berhasil mengamplifikasi pita dengan panjang ~ 1087 bp (Gambar 4a) dan PCR
tahap 2 yaitu ~180 bp (Gambar 4b).
(a) (b)
17 Pada penelitian ini, 12 pita yang dominan didapatkan dari profil DGGE (Gambar 5a). Terdapat beberapa kesamaan aktinomiset endofit di batang, akar dan daun dengan aktinomiset di tanah. Interpretasi menggunakan piranti lunak Phoretix 1D menunjukkan bahwa keragaman tertinggi dari populasi aktinomiset ditemukan pada batang dan daun yaitu 17 dan 16 pita, sedangkan pada akar dan tanah cenderung lebih rendah yaitu 14 dan 10 pita masing-masingnya. Jumlah total pita yang didapatkan dari piranti lunak ini yaitu 21 pita (Gambar 5b).
(a) (b)
(c)
(d)
18 Hasil Produk PCR yang berasal dari potongan pita DGGE yang berjumlah 12 pita dominan kemudian disekuensing untuk mengetahui urutan basa nitrogennya yang kemudian dapat diketahui kekerabatannya dari pohon filogenetik (Gambar 5c). Analisis dengan pohon filogenetik berdasarkan matrik jarak genetik ( p-distance) menunjukan adanya kesamaan sekuen nukleotida di batang dan di daun. Hampir semua aktinomiset yang ditemukan di daun juga ditemukan di batang, namun aktinomiset yang ditemukan di akar dan di tanah lebih bervariasi (Gambar 5d).
Kesamaan Sekuen dan Kedekatan Filogenetik dari Gen 16S rRNA
Hasil pensejajaran 12 sekuen aktinomiset endofit tanaman T. crispa dan aktinomiset tanah disekitar perakaran tanaman tersebut dianalisis menggunakan program BLAST (Lampiran 3). Sekuen A2 dan A10 masing-masing memiliki kesamaan 100 % dengan Actinokineospora auranticolor strain IFO 16518 dan Amycolatopsis orientalis strain HCCB10007.
Tabel 4. Kesamaan sekuen gen 16S rRNA aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa dan aktinomiset tanah dengan strtain pembanding pada
philippinense strain A 80407 A8 98% 2e-85 NR025572.1
Amycolatopsis orientalis strain
HCCB10007 A10 100% 3e-89 NR103940.1
Actinomadura rifamycini strain
JCM 3309 A11 99% 3e-88 NR113155.1
Actinoplanesp. SE 50/110 strain
19
Sekuen A1, A3, A5, A6, A7, A8, A11 dan A12 memiliki kesamaan ≥ 97% dengan Streptomyces acidiscabies strain ATCC 49003, Williamsia marianensis strain DSM 44944, Kocuria halotolerans strain YIM 90716, Microbacterium ginsengisoli strain Gsoil 259, Kibdelosporangium philippinense strain A 80407, Actinomadura rifamycini strain JCM 3309 dan Actinoplane sp. SE 50/110 strain SE 50/110 berturut-turut dengan jumlah basa yang dibandingkan berkisar 180 bp.
Sekuen yang diduga tergolong baru juga ditemukan karena persentase identitas maksimum hasil BLAST dengan sekuen database kecil dari 97% pada panjang pita ~180bp yaitu sekuen A4 dan A9 masing-masing memiliki kemiripan 95% dan 86 % (180 bp) dengan Williamsia marianensis strain DSM 44944 dan Streptomyces javensis strain B22P3 berturut-turut (Tabel 4). Analisis konstruksi pohon filogenetik menggunakan metode Neighbour Joining menunjukkan bahwa adanya konsistensi pada sekuen yang ditemukan dengan sekuen pembanding dari hasil BLAST untuk semua sekuen kecuali A9 (Gambar 6). Sekuen A9 pada konstruksi pohon filogenetik menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan A1 dan sekuen Streptomyces acidiscabies strain ATCC 49003 namun dapat dilihat juga bahwa terdapat jarak genetik yang jauh antara A9 dan A1. Hal ini juga diduga karena kecilnya identitas maksimum kesamaan sekuen A9 dengan sekuen pembanding yaitu Streptomyces javensis strain B22P3 yaitu 86 %.
Kelimpahan Aktinomiset endofit pada Tanaman dan Aktinomiset Tanah
Pada penelitian ini ditemukan 12 spesies aktinomiset endofit dan aktinomiset tanah yang dominan pada tanaman T. crispa. Dari 12 spesies yang didapatkan, 1 spesies di temukan di tanah yaitu spesies yang dekat kekerabatannya dengan Streptomyces acidiscabies strain ATCC 49003 (1). Pada penelitian ini juga didapatkan 6 spesies yang ditemukan di tanah maupun endofit yaitu aktinomiset yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan Actinokineospora auranticolor strain IFO 16518 (2), Kocuria halotolerans strain YIM 90716 (5), Microbacterium ginsengisoli strain G soil 259 (6), Kibdelosporangium philippinense strain A 80407 (8), Streptomyces javensis strain B22P3 (9) dan Actinomadura rifamycini strain JCM 3309 (11) (Gambar 7a). Hasil penelitian ini juga ditemukan 5 spesies yang hanya ditemukan sebagai aktinomiset endofit saja yaitu spesies yang dekat kekerabatannya dengan Williamsia marianensis strain DSM 44944 (3,4), Amycolatopsis orientalis strain HCCB10007 (10), Kocuria halotolerans strain YIM 90716 (7), Actinoplanesp. SE 50/110 strain SE 50/110 (12).
20
Gambar 6. Kedekatan filogenetik sekuen gen 16S rRNA aktinomiset endofit dari tanaman
T. crispa dan aktinomiset tanah dari produk DGGE (analisis menggunakan
bootstrap 1000x )
(a) (b)
21 Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa keragaman spesies aktinomiset endofit pada akar, batang, daun dari tanaman T. crispa dan aktinomiset tanah disekitar perakaran berdasarkan gen 16S rRNA dan analisis menggunakan teknik PCR-DGGE, baru pertama kali dilaporkan. Pada penelitian ini digunakan modifikasi PCR yaitu nested-PCR yang merujuk kepada Zhang et al. (2013) dan Martina et al. (2008) melaporkan bahwa eksplorasi komunitas aktinomiset pada tanah diperkebunan kapas di Xinjiang, China berhasil dilakukan dengan teknik PCR-DGGE berdasarkan gen 16S rRNA menggunakan nested PCR. PCR tahap 1 menggunakan primer spesifik aktinomiset yaitu 27F/16Sact1114r dengan panjang PCR produk sekitar 1087 bp dan PCR tahap 2 menggunakan primer universal untuk bakteri yaitu P338fGC/P518r dengan panjang PCR produk sekitar 180 bp. Amplifikasi dengan nested PCR dan DGGE juga telah berhasil mendeteksi komunitas aktinomiset di tanah, rhizosfer tanaman Artemisia tridentata, aktinomiset endofit akar tanaman Aquilaria crassna (Heuer et al. 1997; Franco et al. 2009; Nimnoi et al. 2010). Metode ini sangat peka dan sensitif, amplifikasi dengan primer pada tahap 2 mampu menaikan jumlah produk PCR. Amplifikasi kedua ini juga bertujuan untuk menegaskan spesifitas produk PCR pertama (Sudjadi 2008).
Analisis dengan teknik DGGE pada penelitian ini menggunakan gel poliakrilamid 8 % dan konsentrasi denaturan 30%-70% merupakan optimasi yang mampu memisahkan DNA aktinomiset yang terdenaturasi secara parsial dengan baik. Teknik DGGE memiliki beberapa kelebihan diantaranya hasilnya akurat, membutuhkan waktu yang singkat, pita yang ditemukan dari profil DGGE bisa diperbanyak dengan metode PCR, dikloning dan disekuensing untuk mengetahui urutan basa nitrogennya (Fakruddin & Mannan 2013). Sekuen DNA yang berbeda bahkan perbedaan satu pasang basa nukleotida akan muncul sebagai pita pada posisi yang berbeda didalam gel poliakrilamid (Muyzer et al. 1993).
22 bahwa sekuen yang ditemukan berbeda dengan strain pembanding yang ada pada database.
Analisis profil DGGE berdasarkan jarak genetik (p-distance) dengan menggunakan binary data dari sekuen gen 16S rRNA menunjukkan bahwa adanya kesamaan antara sekuen di batang dengan di daun, namun sebagian berbeda untuk akar dan tanah. Kesamaan ini diprediksikan karena adanya migrasi antara aktinomiset dari daun ke batang dan sebaliknya. Perbedaan pada sekuen nukleotida berdasarkan matrik jarak genetik menunjukkan adanya keragaman spesies antara masing-masing sampel yang diuji. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan bagian organ tanaman yang diisolasi dan adanya pengaruh aktinomiset yang ada pada daerah rhizosfer.
Populasi aktinomiset endofit yang ditemukan lebih beragam dari pada aktinomiset pada tanah. Rendahnya komunitas aktinomiset di tanah diperkirakan karena adanya competitive niche ditanah (Hibbing et al. 2010). Keberadaan mikrob yang berlimpah ditanah akan menimbulkan persaingan antar mikrob terutama dalam hal mendapatkan nutrisi, sehingga hal inilah yang diduga menjadi penyebab keberadaan mikrob ditanah rendah saat di uji dengan teknik PCR-DGGE, karena DGGE hanya mampu mendeteksi mikrob yang dominan dilingkungannya. Sedangkan mikrob endofit cendrung mendapatkan kondisi lingkungan yang kaya nutrisi dan adanya perlindungan dari cekaman lingkungan maupun mikrob kompetitor lainnya saat berada pada tanaman inangnya. Sehingga diduga mampu mendominasi pada jaringan tanaman yang ditempatinya.
Populasi aktinomiset pada batang dan daun yang ditemukan lebih beragam dari pada di akar. Rendahnya komunitas aktinomiset diakar diduga terjadi karena sudah terjadinya migrasi aktinomiset endofit akar kebagian organ tanaman lainnya dikarenakan umur tanaman uji yang sudah tua. Migrasi aktinomiset akar ke organ tanaman lainnya terjadi melalui bagian interseluler dan sistem vaskuler (Feng et al. 2004). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Qin et al. (2012) bahwa kelimpahan aktinomiset endofit pada batang dan daun tanaman obat Maytenus austroyunnanensis menunjukkan keragaman yang lebih besar dibandingkan dengan akar. Hal ini diduga juga berpengaruh terhadap siklus produksi senyawa aktif pada daun dan batang T. crispa yang sering digunakan untuk pengobatan. Mikrob endofit tanaman obat memiliki peranan dalam siklus biokimia dan produksi senyawa bioaktif pada inangnya (Zhao et al. 2011).
23 dari 32 isolat yang ditemukan sebagian besar memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Streptomyces (Pujiyanto et al. 2012). Klasifikasi berdasarkan morfologi mikroskopis dari isolat aktinomiset endofit pada T. crispa yang dilaporkan oleh Irawan (2009) juga memperlihatkan 7 isolat dari 11 isolat memiliki kekerabatan yang dekat dengan Streptomyces, sedangkan isolasi menggunakan teknik analisis metagenomik ditemukan dua sekuen yang berkerabat dekat dengan Streptomyces dan sebagian besar merupakan genus aktinomiset yang termasuk sulit untuk dikulturkan atau rare aktinomiset. Penelitian dengan culture independent yang dilakukan berhasil mendapatkan 21 sekuen dominan. Rendahnya jumlah sekuen yang ditemukan dengan metode culture independent diduga karena pada satu pita hasil sebaran menggunakan DGGE mewakili satu spesies, sehingga strain yang berbeda pada satu spesies akan terwaliki untuk satu pita saja. PCR-DGGE mampu memisahkan sampel yang dianalisis menjadi beberapa pita yang terpisah. Masing-masing pita yang terpisah mewakili satu spesies tersendiri. Profil DGGE menunjukkan spesies yang dominan dan intensitas dari masing-masing pita menunjukkan kelimpahan relatif (Nimnoi et al. 2010). Pada culture dependent, isolat-isolat yang terisolasi bisa berasal dari strain yang berbeda namun masih berada pada satu spesies.
24 Aktinomiset endofit genus Actinoplanes dan Amycolatopsis juga ditemukan dari isolasi akar padi tanpa pengkulturan (Tian et al. 2007). Amycolatopsis ditemukan mampu menghasilkan senyawa antibakteri dan antifungi (Qin et al. 2009). Actinoplanes memiliki kemampuan menghasilkan Teicoplanin yang merupakan antibiotik glikopeptida dalam mengobati infeksi bakteri gram positif yang multiresisren antibiotik (Turino et al. 2011). Aktinomiset juga ditemukan mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glucosidase yaitu dari genus Actinoplanes (Zhang et al. 2003), Actinomadura (Yosuke et al. 1992) dan Streptomyces (Pujiyanto et al. 2012). Aktinomiset memiliki kemampuan menghasilkan beragam senyawa bioaktif yang berpotensi dalam penemuan senyawa bioaktif baru.
Keberadaan komunitas aktinomiset di tanah memiliki pengaruh terhadap komunitas aktinomiset endofit tanaman. Sebagian aktinomiset endofit pada organ tanaman T. crispa juga ditemukan di tanah sekitar perakaran tanaman tersebut. Aktinomiset yang hidup melimpah pada tanah disekitar perakaran bisa menginfeksi kedalam akar tanaman (Sardi et al. 1992). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar mikrob endofit berasal dari tanah. Penetrasi secara pasif mikrob endofit bisa berpindah pada celah yang terbuka, retak atau terjadi luka pada ujung akar (Nimnoi et al. 2010).
Asosiasi antara endofit dan tanaman ditemukan pada berbagai organ tanaman seperti akar, batang, daun, buah, bunga dan biji (Nimnoi et al. 2010). Pada penelitian ini diketahui bahwa ada beberapa jenis aktinomiset endofit yang sama ditemukan pada organ tananaman yang berbeda (Gambar 7b). Hal ini diperkirakan karena terjadi migrasi aktinomiset endofit antar organ tanaman. Aktinomiset endofit pada akar bisa berpindah ke batang (Tian et al. 2007). Keberadaan bakteri endofit bisa berasal dari lingkungan sekitarnya seperti daerah rhizosfer dan filosfer tumbuhan yang mampu menerobos kedalam jaringan dalam tumbuhan melalui stomata, lentikula, luka (trakoma yang rusak) ataupun area munculnya akar lateral (Susilowati 2010). Interaksi antara mikrob endofit dan tanaman terjadi secara simbiosis mutualisme. Pada interaksi ini mikrob endofit mendapatkan nutrisi dan perlindungan dari tanaman inang, sedangkan tanaman mendapatkan keuntungan dari endofit karena kemampuannya dalam menghasilkan senyawa pemicu pertumbuhan, menekan patogen, pelarut pospat dan asimilasi nitrogen pada tanaman (Rosenblueth & Romeo 2006) dan mampu memproduksi senyawa inhibitor enzim (Khamna et al. 2009; Pujiyanto et al. 2012).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
25
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
Abdelmohsen UR, Cheng C, Viegelmann C, Zhang T, Grkovic T, Ahmed S, Quinn RJ, Hentschel U, Ebel RE. 2014. Dereplication strategies for targeted isolation of new antitrypanosomal actinosporins A and B from a marine sponge associated-Actinokineospora sp. EG49. Mar Drugs 12 (3): 1220-1244. doi: 10.3390/md12031220.
Andreote FD, Azevedo JL, Araujo WL. 2009. Assessing the diversity of bacterial communities associated with plant. J Brazilian of Microbiol 40: 417-432.
Brons JK, Elsas JDV. 2008. Analysis of bacterial communities in soil by use of denaturing gradient gel electrophoresis and clone libraries, as influenced by different reverse primers. Appl Environ Microbiol 74 (9): 2717-2727. doi: 10.1128/AEM.02195-07.
Bruce KD, Hiorns WD, Hobman JL, Osborn AM, Strike P, Ritchie DA. 1992. Amplification of DNA from native populations of soil bacteria by using the polymerase chain reaction. Appl Environ Microb 58 (10): 3413-3416.
Coombs JT, Franco CMM. 2003. Isolation and identification of actinobacteria from surface sterilized wheat roots. Appl Environ Microbiol 69 (9): 5603-5608. doi: 10.1128/AEM.69.9.5603–5608.2003.
Dahlia NP. 2012. Identifikasi keberadaan gen nitritase dalam sampel tanah melalui pendekatan metagenomik [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Duineveld BM, Kowalchuk GA, Keijzer A, Elsas JDV, Veen JAV. 2001. Analysis of bacterial communities in the rhizosphere of Crysanthemum via denaturing gradient gel electrophoresis of PCR–amplified 16S rRNA as well as DNA fragments coding for 16S rRNA. Appl Environ Microbiol 67 (1): 172-178. doi: 10.1128/AEM.67.1.172–178.2001.
Fakruddin M, Mannan KSB. 2013. Methods for analyzing diversity of microbial communities in natural environments. Ceylon J of Sci 42: 19-33. Fani R. 2006. Microbial ecology: molecular methods and strategies for the analysis
of natural microbial communities. XVI Congresso Della Societa Italiana: 17-19.
Feng C, Hua SS, Feng CS, Xian JY. 2004. Migration of Azospirillum brasilense YU62 from roots to stem and leaves inside rice and tobacco plants. Act Botanica Sinica 46: 1065-1070.
Franco G, Hernandes R, Barrios N, Strapz JL, Crawford DL. 2009. Molecular and culturecultureeal analysis of seasonal actinomycetes in soil from Artemisia tridentata habitat. Int J Exp Botany 78: 83-90.
Hall BG. 2011. Phylogenetic Tree Made Easy. 4th edition. Massachusetts (USA). Sinauer Associated.
27 Harjes J, Ryu T, Abdelmohsen UR, Silva LM, Horn H, Ravasi T, Hentschel U. 2014. Draft genome sequence of the antitrypanosomally active sponge associated bacterium Actinokineospora sp. Strain EG49. Genome Announc 2 (2): 160-165. doi: 10.1128/genomeA.00160-14.
Hasegawa T. 1991. Studies on motile arthrospore-bearing rare actinomycetes. Actinomycetol.5(2): 64-71.
Heuer H, Krsek M, Baker P, Smalla K, Wellington EMH. 1997. Analysis of actinomycete communities by specific amplification of gen encoding 16S rRNA and gel electrophoretic separation in denaturing gradients. Appl Environ Microbiol 63 (8): 3233-3241.
Hibbing ME, Fuqua C, Parsek MR, Peterson SB. 2010. Bacterial competition; surviving and thriving in the microbial jungle. Nat Rev Microbiol 8 (1): 15-25 doi: 10.1038/nrmicro2259.
Irawan D. 2009. Isolasi aktinomiset endofit tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes melalui kajian aktifitas α-glukosidase [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Janso JE, Carter GT. 2010. Biosynthetic potential of phylogeneticaly unique endophytic Actinomycetes from tropical plants. Appl Environ Microbiol 76 (3) :4377-4386. doi: 10.1128/AEM.02959-09.
Kaewkla O, Franco CMM. 2012. Rational approaches to improving the isolation of endophytic actinobacteria from Australian native trees. Microb Ecol 65 (2): 384-393. doi: 10.1007/s00248-012-0113-z.
Kaur C, Kaur I, Raichand R, Bora TC, Mayilraj S. 2011. Description of a novel actinobacterium Kocuria assamensis sp. nov. isolated from a water sample collected from the river Brahmaputra, Assam, India. A Van Leeuw J Microb 99 (3): 721–726. doi: 10.1007/s10482-010-9547-9. Khamna S, Yokota A, Lumyong S. 2009. Actinomycetes isolated from medicinal
plant rhizosphere soils: diversity and screening of antifungal compounds, indole-3-acetic acid and siderophore production. J Microbiol Biotechnol 25 (4): 649-655. doi: 10.1007/s11274-008-9933-x.
Kumala S. 2007. Isolation and screening of endophytic microbes from Morinda citrifolia and their ability to produce anti microbial substances. J Microbiol Ind 1(3) :145-148.
Kurniawan Y. 2007. Aktivitas antimikrob air rebusan batang brotowali (Tinospora crispa L. Miers ex hook f) terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan Candida albicans secara in vitro [skripsi]. Bandung [ID]: UKM.
Lo CW. 2002. Actinomycetes isolated from soil samples from the crocker range Sabah. J ASEAN Rev of Biodiversity and Environ conservation (ARBEC).
Madigan MT, Martinko JM, Stahl DA, Clark DP. 2011. Brock’s Biology of Microorganisms Thirteenth Edition. San Francisco: Benjamin Cummings.
28 Melliawati RD, Widyaningrum N, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman. J Biodiversitas 7 (3): 221-224.
Milamsari P. 2006. Pengaruh pemberian ekstrak etanol batang brotowali Tinospora crispa L. Miers terhadap toleransi glukosa darah mencit putih jantan [skripsi]. Padang [ID]: Sarjana Farmasi, Universitas Andalas.
Muyzer G, Waal, E C, Uitterlinden A G. 1993. Profiling of complex microbial populations by denaturing gradient gel electrophoresis analysis of polymerase chain reaction-amplified genes coding for 16S rRNA. Appl and EnvironMicrobiol 59 (3) :695-700.
Muyzer G, Brinkhoff T, Nubel U, Santegoeds C, Schafer H, Wawer C. 2004. Denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE) in microbial ecology. Molecular microbial ecologi manual. 2nd edition. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Nimnoi P, Pongsilp N, Lumyong S. 2010. Genetic diversity and community of endophytic actinomycetes within the roots of Aquilaria crassna Pierre ex Lex assessed by actinomycetes-specific PCR and PCR-DGGE of rRNA gene. Biochem Syst and Ecol 38 (4): 595-601. doi:10.1016/j.bse.2010.07.005.
Oskay M. 2009. Antibacterial activity of some actinomycetes isolated from farming soil of Turkey. J Afr Biotechnol 9(3): 441-446.
Overeas L, Forney L, Daae FL, Torsvik V. 1997. Distribution of bacterioplankton in Meromictic lake Saelenvannet, as determined by denaturing gradient gel electrophoresis of PCR-amplified gene fragments coding for 16S rRNA. Appl Environ Microbiol 63 (9): 3367-3373.
Park JM, Kim MK, Kim HB, Im WT, Yi TH, Kim SY, Soung NK, Yang DC. 2008. Microbacterium ginsengisoli sp. Nov a beta-glucosidase producing bacterium isolated from soil of a ginseng field. Int J Syst Evol Microbiol 58 (2): 429-433. doi: 10.1099/ijs.0.65226-0.
Patela MB, Mishrab SM. 2012. Magnoflorine from Tinospora cordifolia stem
inhibits α-glucosidase and is antiglycemic in rats. J Func Food 4: 78-86. doi: 10.1016/j.jff.2011.08.002.
Pereira P, Ibanes F, Rosenblueth M, Etcheverry M, Romeo EM. 2011. Analisis of the bacterial diversity associated with roots of Maize (Zea mays. L) through culturecultureee dependent and culturecultureee independent methods. Int Scholarly Research Network (ISRN) Ecol: 1-10. doi:10.5402/2011/938546.
Pillips JW, Goetz MA, Smith SK, Zink DL, Polishook J, Onishi R, Salowe S, Wiltsie J, Allocco J, Sigmund J, Dorso K, Lee S, Cruz AMDL, Martin J, Vicente F, Genilloud O, Lu J, Painter RE, Young K, Overbye K, Donald RGK, Sing SB. 2011. Discovery of kibdelomycin, a potent new class of bacterial type II topoisomerase inhibitor by chemical-genetic profiling in Staphylococcus aureus. Chem & Biol 18: 955–965. doi 10.1016/j.chembiol.2011.06.011.
29 Prihastuti D. 2012. Pemanfaatan batang tanaman brotowali (Tinospora crispa) sebagai lotion antinyamuk. Prosiding Seminar Nasional Penelitian Pendidikan dan Peerapan FMIPA UNY.
Pujiyanto S, Ferniah RS. 2010. Aktivitas inhibitor alpha glukosidase bakteri endofit PR 3 yang diisolasi dari tanaman pare (Momordica charantia). BIOMA 12(1): 1-5.
Pujiyanto S, Lestari Y, Suwanto A, Budiarti S, Darusman LK. 2012. Alpha-glucosidase inhibitor activity and characterization of endophytic actinomycetes isolated from some Indonesian diabetic Medicinal Plants. Int J Pharm Pharm Sci 4 (1): 327-333.
Puranik N, Kammar KF, Devi S. 2010. Anti-diabetic activity of Tinospora cordifolia (Willd) in Streptozotozin diabetic rats; does it act like surfonylureas?. Turk J Med Sci 40 (2): 265-270. doi:10.3906/sag-0802-40.
Qin S, Li J, Chen HH, Zhao GZ, Zhu WY, Jiang CL, Xu LH, Li WJ. 2009. Isolation, diversity and antimicrobial activity of rare actinobacteria from medicinal plants of tropical rain forests in Xishuangbanna, China. Appl Environ Microbiol 75 (19): 6176-6186. doi: 10.1128/AEM.01034-09. Qin S, Chen HH, Zhao GZ, Li J, Zhu WY, Xu LH, Jiang JH, Li WJ. 2012. Abundant
and diverse endophytic actinobacteria associated with medicinal plant Maytenus austroyunnanensis in Xishuang banna tropical rain forest revealed by culturecultureee dependent and culturecultureee independent methods. Environ Microbiol Rep 4 (5): 522-531. doi: 10.1111/j.1758-2229.2012.00357.x.
Rachim, R. F. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Gen Endoglukanase Parsial Famili 5 dari Metagenom Sumber Air Panas Cimanggu [abstrak].
Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikrob endofit dalam pengembangan obat herbal. Jakarta: Majalah Ilmu Kefarmasian 2 (3): 113-126.
Rante H. 2010. Purifikasi dan karakterisasi senyawa anti bakteri dari Actinomycetes asosiasi spons terhadap bakteri patogen resisten. Yogyakarta: Majalah Farmasi Indonesia 21: 158-165.
Rockser Y, Wehmeier UF. 2008. The gac-gene cluster for the production of acarbose from Streptomyces glaucescens GLA.O identification, isolation and characterization. J Biotechnol 140 (1-2): 114-123. doi: 10.1016/j.jbiotec.2008.10.016.
Rosenblueth M, Romeo EM. 2006. Bacterial endophytics and their interactions with host. Am Phyt Soc.19 (8):827-837. doi: 10.1094 / MPMI -19-0827. Salaki CL. 2010. Karakterisasi dan identifikasi molekular ARDRA: (Amplified
Ribosomal DNA Restriction Analysis) isolat bakteri Bacillus thuringiensis Berliner endogenik Indonesia sebagai agensia pengendali hayati hama Crocidolomia binotalis. Seminar Nasional Biologi Universitas Gajah Mada.
Sambrook J, Russell. 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 3rd Edition. New York (US): Cold Spring Harbor Laboratory Pr.