• Tidak ada hasil yang ditemukan

PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "PPemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Bangunan(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SATILDA T. SIMBOLON

090200298

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN

(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

Oleh

SATILDA T. SIMBOLON

090200298

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

Disetujui Oleh

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum

NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum

NIP. 196603031985081001 NIP. 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN

(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

Perbankan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit memperoleh sumber dana dari masyarakat, sehingga sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri, namun dana yang berasal dari masyarakat.

Permasalahan dalam penelitian Bagaimanakah Prosedur Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Kendala dalam Perjanjian Kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Bagaimanakah Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit menggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Nasabah mengajukan permohonan pengajuan kredit sesuai dengan jenis kredit yang dipilih, kemudian melengkapi berkas dokumen kredit tersebut dengan: Fotocopy KTP suami-istri pemohon, Fotocopy Kartu Keluarga, NPWP, HO, SIUP, TDP (bila ada), Laporan Keuangan sederhana 3 bulan terakhir, Fotocopy sertifikat/BPKB dan STNK dari agunan.Kendala dalam Perjanjian Kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Pihak pemegang Hak Tanggungan cukup kesulitan untuk melakukan pengawasan secara langsung akan penggunaan kredit yang dicairkan. Hal tersebut disebabkan banyaknya pemberi Hak Tanggungan yang harus diawasi, karena penyalahgunaan kredit akan dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemberi Hak Tanggungan, sehingga pada akhirnya pemberi Hak Tanggungan akan kesulitan melunasinya. Upaya Litigasi adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam rangka mengeksekusi barang jaminan melalui sidang di pengadilan. Upaya hukum ini dilakukan oleh PT Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan dengan adanya pertimbangan biaya, pertimbangan nama baik perusahaan dan pertimbangan waktu. Upaya lain yang dilakukan pihak bank adalah eksekusi langsung terhadap barang jaminan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmad dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah

PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN (Studi pada Bank

Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang sekaligus dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis papa dan mama yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya. 9. Buat teman-teman stambuk 09, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu

terima kasih atas dukung dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini. Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2014 Penulis,

Satilda T. Simbolon

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT ... 14

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 14

B. Jenis-jenis Kredit dan Bentuk Perjanjian Kredit Bank ... 20

C. Hapusnya Perjanjian Kredit ... 31

D. Asas-asas atau Prinsip-Prinsip Perjanjian Kredit ... 33

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 40

A. Pengertian Hak Tanggungan ... 40

B. Hak Guna Bangunan sebagai Objek Hak Tanggungan ... 42

C. Syarat Sahnya Pemberian Hak Tanggungan dan Proses Pembebanan Hak Tanggungan ... 47

(7)

BAB IV PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK

TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN

PADA BANK INTERNASIONAL INDONESIA, Tbk CABANG

MEDAN ... 56

A. Prosedur Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia ... 56

B. Kendala dalam perjanjian Menggunakan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan ... 75

C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kreditmenggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA

(8)

ABSTRAK

PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN

(Studi pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan)

Perbankan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit memperoleh sumber dana dari masyarakat, sehingga sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri, namun dana yang berasal dari masyarakat.

Permasalahan dalam penelitian Bagaimanakah Prosedur Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Kendala dalam Perjanjian Kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Bagaimanakah Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit menggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Nasabah mengajukan permohonan pengajuan kredit sesuai dengan jenis kredit yang dipilih, kemudian melengkapi berkas dokumen kredit tersebut dengan: Fotocopy KTP suami-istri pemohon, Fotocopy Kartu Keluarga, NPWP, HO, SIUP, TDP (bila ada), Laporan Keuangan sederhana 3 bulan terakhir, Fotocopy sertifikat/BPKB dan STNK dari agunan.Kendala dalam Perjanjian Kredit menggunakan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan. Pihak pemegang Hak Tanggungan cukup kesulitan untuk melakukan pengawasan secara langsung akan penggunaan kredit yang dicairkan. Hal tersebut disebabkan banyaknya pemberi Hak Tanggungan yang harus diawasi, karena penyalahgunaan kredit akan dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemberi Hak Tanggungan, sehingga pada akhirnya pemberi Hak Tanggungan akan kesulitan melunasinya. Upaya Litigasi adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam rangka mengeksekusi barang jaminan melalui sidang di pengadilan. Upaya hukum ini dilakukan oleh PT Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan dengan adanya pertimbangan biaya, pertimbangan nama baik perusahaan dan pertimbangan waktu. Upaya lain yang dilakukan pihak bank adalah eksekusi langsung terhadap barang jaminan.

(9)

A. Latar Belakang

Perbankan adalah salah satu sumber dana bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya seperti kebutuhan untuk membeli rumah, mobil atau motor ataupun untuk meningkatkan produksi usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaaan ataupun perorangan tidak cukup untuk mendukung peningkatan usahanya. Usaha perbankan sebagaimana diketahui bukanlah badan usaha biasa seperti halnya perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan dan jasa, melainkan suatu badan usaha yang bergerak di bidang jasa keuangan.

Bank mempunyai kegiatan usaha khusus seperti yang diatur dalam HGB 6 dan HGB 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang- Undang Perbankan).

Perbankan dalam memberikan kredit harus benar-benar teliti, sebab dalam hal ini perbankan memberikan kepercayaan kepada debitur untuk mengembalikan uang yang diterima bank dari orang-orang yang percaya kepada bank dengan menyimpan uangnya di bank sehingga pihak bank dalam memberikan kredit harus melakukan pemeriksaan terhadap calon debiturnya.

(10)

tertentu sesuai kesepakatan yang telah disetujui kreditur dengan debitur. Sebagai keuntungan bagi pihak kreditur karena telah memberikan nilai ekonomi tersebut maka kreditur menerima pembayaran bunga dari debitur.

Perbankan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit memperoleh sumber dana dari masyarakat, sehingga sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri, namun dana yang berasal dari masyarakat. Hal ini menyebabkan perbankan dalam melakukan penyaluran kredit harus melakukannya dengan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam, penyaluran kredit yang tepat dan pengawasan kredit yang ketat, serta perjanjian kredit yang sah menurut hukum pengikatan jaminan yang kuat dan administratif perkreditan yang teratur dan lengkap. Semua tindakan tersebut semata-mata bertujuan agar kredit yang disalurkan oleh pihak bank kepada masyarakat dapat kembali tepat waktu dan sesuai dengan perjanjian kreditnya.

Kredit yang dianalisa dengan prinsip kehati-hatian akan menempatkan kredit pada kualitas kredit yang performing loan sehingga dapat memberikan pendapatan yang besar bagi pihak bank. Pendapatan tersebut diperoleh dari besarnya selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang dibayar para pemohon kredit sehingga untuk mencapai keuntungan tersebut maka sejak awal permohonan kredit harus dilakukan analisis yang akurat dan mendalam oleh pejabat yang bekerja pada unit/bagian kredit.

(11)

kepada para debitur selalu ada risiko berupa kredit tidak kembali tepat pada waktunya yang dinamakan kredit bermasalah.”1 Banyak terjadi kredit yang diberikan menjadi bermasalah yang disebabkan berbagai alasan, misalnya usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kebangkrutan atau merusut omset penjualannya. Krisis ekonomi, kalah bersaing ataupun kesengajaan debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit seperti untuk membiayai usaha yang tidak jelas masa depannya, sehingga mengakibatkan sumber pendapatan usaha tidak mampu untuk mengembangkan usahanya dan akhirnya mematikan usaha debitur.

Kondisi dimana kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar ternyata tidak dibayar kembali kepada pihak bank oleh debitur tepat pada waktunya sesuai perjanjian kreditnya yang meliputi; pinjaman pokok dan bunga menyebabkan kredit dapat digolongkan menjadi non perfoming loan (selanjutnya disingkat menjadi NPL) atau kredit bermasalah. Banyaknya NPL akan berakibat pada terganggunya likuiditas bank yang bersangkutan. “Dengan adanya kredit bermasalah maka bank tengah menghadapi resiko usaha bank jenis resiko kredit (default risk) yaitu resiko akibat ketidakmampuan nasabah debitur mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan2

Hubungan antar bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa merupakan hubungan yang sosial religius, bahkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA menyebutkan bahwa hubungan itu merupakan suatu hubungan yang abadi.       

1

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabela, Jakarta, 2003, hal. 263

2

(12)

Hubungan yang abadi ini menunjukkan bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka hubungan ini tidak dapat diputuskan, meskipun dalam keadaan yang bagaimanapun juga.3HGB 16 ayat (1) UUPA telah mengatur pula tentang hak atas tanah yang dapat dibedakan sebagai berikut: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak yang lain yang tidak termasuk dalam hal-hal tersebut di atas yang akan ditetapkan.

Pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu perjanjian yang bersifat accesoir (perjanjian ikutan) dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang piutang sehingga mempunyai konsekuensi apabila perjanjian pokoknya tidak sah, maka perjanjian ikutannya menjadi batal dan apabila perjanjian accesoirnya batal atau hapus belum tentu perjanjian pokoknya ikut hapus.4 Serta berdasarkan unsur pokoknya hak tanggungan di atas, bahwa perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian yang memberikan hak kebendaan bagi kreditur serta menguatkan kedudukan kreditur sebagai kreditur preferen, yakni kreditur yang didahulukan di dalam mengambil pelunasan hutang debitur atas hasil penjualan atau eksekusi benda obyek hak tanggungan, manakala debitur wanprestasi terhadap pemberian kredit yang telah diberikan oleh pihak kreditur.

Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud       

3

Sudargo Gautama, Ellyda T. Soetijarto, Tafsiran UUPA (1960) dan Peraturan-peraturan Pelaksanaannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 51

4

(13)

adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” tidak dijumpai dalam penjelasan HGB 1 UU Hak Tanggungan, tetapi dijumpai di bagian lain, yaitu dalam angka 4 Penjelasan Umum UU Hak Tanggungan. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Hak Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain” ialah : “Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijanjikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak

Berdasarkan latar belakang di atas maka merasa tertarik memilih judul Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Objeknya Hak Guna Bangunan (Studi pada Bank Internasional Indonesia Cabang Medan)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut

1. Bagaimanakah Prosedur Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan

(14)

3. Bagaimanakah Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit menggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur pemberian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan

2. Untuk mengetahui kendala dalam perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan

3. Untuk mengetahui Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit menggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a. Memperoleh masukan yang dapat digunakan almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan dan mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis.

(15)

memberikan bahan, masukan serta referensi bagi penelitian yang dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi yang jelas kepada para pembaca skripsi ini dan masyarakat pada umumnya tentang penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di Bank Internasional Indonesia, Tbk

b. Dapat mengidentifikasi dan mengetahui permasalahan atau kendala-kendala yang dihadapi dan cara mengatasi penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian kredit menggunakan Hak Tanggungan di PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.5 Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.6

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,       

5

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, hal 1.

6

(16)

menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum. 7 Dengan menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Statute Approach)8 terhadap aspek hukum penanganan kredit bermasalah serta data empiris lapangan yang terjadi pada PT. Bank Indonesia Internasional, Tbk Cabang Medan.

2. Sumber Data

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti, antara lain; buku-buku literatur, laporan penelitian, tulisan para ahli, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, sebagai bahan dasar penelitiannya, penulis menggunakan data sekunder, yakni bahan-bahan yang diperoleh dari bahan pustaka lazimnya. Data sekunder yang digunakan sebagai bahan dasar penelitian ini terdiri atas:9

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan atau berbagai perangkat hukum, seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang

       7

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal 10.

8

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hal 96

9

(17)

Perbankan, dalam penelitian semacam ini, hukum ditempatkan sebagai terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas dan peraturan lainnya.10 Selain itu, hasil wawancara yang didapatkan melalui studi lapangan PT. Bank Indonesia Internasional, Tbk Medan menjadi bahan hukum primer yang membantu dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, karya ilmiah, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian, dan bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atas bahan hukum primer.11

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier memberikan petunjuk/penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lainnya.12

3. Pengumpulan data

Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai bahan dasar penelitian dikumpulkan dengan menggunakan studi dokumen (documents study) atau studi kepustakaan (library research) sebagai alat pengumpul data.13 Studi dokumen tersebut merupakan penelitian bahan hukum primer, yaitu peraturan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan hukum perbankan,       

10

Ibid

11

Ibid

12

Ibid

13

(18)

khususnya mengenai analisis hukum atas timbulnya kredit macet pada perjanjian kredit perbankan ditinjau dari segi hukum jaminan.

Selain studi dokumen, penulis juga menggunakan studi lapangan (field research) melalui alat wawancara sebagai alat pengumpul data guna mendapat data primer sehingga mampu untuk mendukung dan menguatkan bahan hukum primer yang telah pedomani sebelumnya.

4. Analisis data

Data yang di peroleh dari hasil penelitian kemudian di analisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, berdasarkan disiplin ilmu hukum dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada di lapangan. Kemudian di kelompokkan, di hubungkan dan dibandingkan dengan ketentuan hukum yang berkaitan dengan kredit pada perbankan. Dengan demikian, kegiatan analisis ini akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini baik secara normatif maupun secara faktual di lapangan

F. Keaslian Penulisan

(19)

Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan. Penelitian seperti ini pernah dilakukan, namun demikian terdapat beberapa judul penelitian yang terkait dengan judul skripsi penulis melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya, yaitu:

1. Vika Aurora K. Ginting, 050200235 dengan judul Kajian tentang pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada PT. Bank Sumut 2. E. Daylon Sitanggang, 070200374 dengan judul pemberian kredit dengan

jaminan hak tanggungan pada Perseroan Terbatas Bank Perkreditan Rakyat Solider Badan Kredit Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.

3. Mamul Rustiani, 970200066 dengan judul Perjanjian Kredit Bank dengan jaminan Hak Tanggungan pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Iskandar Muda Medan

G. Sistematika Penulisan

(20)

BAB I PENDAHULUAN

Bab akan membahas tentang Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

Bab ini akan membahas tentang Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit, Jenis-Jenis Kredit dan Bentuk Perjanjian Kredit Bank, Hapusnya Perjanjian Kredit dan Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

Bab ini akan membahas tentang Pengertian Hak Tanggungan, Hak Guna Bangunan sebagai Objek Hak Tanggungan, Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan dan Proses Pembebanan Hak tanggungan dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Peralihan hak tanggungan

BAB IV PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK

TANGGUNGAN YANG OBJEKNYA HAK GUNA BANGUNAN PADA BANK INTERNASIONAL INDONESIA CABANG MEDAN

(21)

objeknya Hak Guna Bangunan, pada Bank Internasional Indonesia, Tbk Cabang Medan serta Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit menggunakan Jaminan Hak Tanggungan yang objeknya Hak Guna Bangunan pada Bank Internasional Indonesia Cabang Medan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(22)

A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu “credera” yang mempunyai arti kepercayaan. Dengan demikian apabila seseorang memperoleh kredit berarti dia telah memperoleh kepercayan dari pihak yang memberikan kredit. Hal yang sama juga ikemukan oleh Subekti dalam bukunya yang mengatakan kredit berarti Kepercayaan. Menurut Subekti pula apabila seseorang nasabah mendapat kredit dari Bank berarti dia adalah seorang yang menadpat kepercayaan dari Bank.14 Sedangkan menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balasan prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dan kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi dimasa-masa mendatang.15

Selain itu Thomas Suyatno menyatakan bahwa istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (Credere) yang berarti kepercayaan ( truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) pada masa yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.16

       14

R. Subekti, R Tjirosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet ke-31 (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001), hal1

15

O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, cetakan kelima, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1988), hal 91

16

(23)

Pada Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kredit diartikan : penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pengertian perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Bahkan dalam undang-undang perbankan sendiri tidak mengenal istilah perjanjian kredit bank. Perjanjian kredit, meminjam aturan dalam KUH Perdata yaitu salah satu dari bentuk perjanjian yang dikelompokkan dalam perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam HGB 1754 KUH Perdata, sehingga landasan aturan yang dipergunakan dalam membuat perjanjian kredit tentunya tidak dapat dilepaskan dari ketentuan yang ada pada Buku III KUH Perdata.

(24)

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam meminjam uang, menurut Buku III KUH Perdata mempunyai sifat formil, salah satunya adalah perjanjian pinjam mengganti yang diatur dalam Bab Ketiga belas Buku Ketiga KUH Perdata. Menurut Marhainis Abdul Hay ketentuan HGB 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini harus dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.17 Hal ini dapat disimpulkan seperti yang tercantum dalam HGB 1754 KUH Pedata diartikan sebagai berikut : “Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. “

Ketentuan HGB 1754 KUHPerdata itu Wiryono Prodjodikoro, 18 ditafsirkan sebagai persetujuan yang bersifat “riil” . Hal ini dapat dimaklumi, oleh karena HGB 1754 KUH Perdata tidak menyebutkan bahwa pihak ke 1 “mengikat diri untuk memberikan” . Suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan bahwa pihak ke 1 “ memberikan “ suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian. Bila pendirian Marhainis Abdul Hay tersebut dihubungkan dengan penafsiran Wiryono Prodjodikoro, atas HGB 1754 KUH Perdata diatas, maka sebagai konsekuensi logisnya, berarti perjanjian kredit bank       

17

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal.210.

18

(25)

adalah perjanjian yang bersifat riil, yaitu perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.

Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya untuk kepentingan pelunasan sejumlah utang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata debitur tidak melunasi.19

Pinjam-meminjam merupakan persetujuan, yang berarti harus dibuat memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian agar mempunyai kekuatan mengikat kedua belah pihak. Syarat sahnya perjanjian yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam HGB 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat berikutnya dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.20 Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subyeknya atau tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan suatu perjanjian yang mengandung cacat pada obyeknya atau tidak dipenuhi syarat obyektif akibatnya perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Karena suatu perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, seakan-akan       

19

Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 75.

20

(26)

menetapkan Undang-undang bagi mereka sendiri dan perjanjian itu tidak mengikuti pihak ketiga yang berada di luar perjanjian.21 Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan maksudnya antara kreditur dengan debitur dalam perjanjian pinjam meminjam uang tidak diperkenankan adanya unsur kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Kedua belah pihak harus cakap dalam arti dewasa dan tidak ditaruh di bawah pengampuan, ada obyek yang diperjanjikan dan dalam membicarakan sebab yang halal, kita harus melihat tujuan dari perjanjian itu dibuat. Tujuan merupakan sebab dari adanya perjanjian, dan sebab yang disyaratkan Undang-undang, yaitu harus dihalalkan oleh undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dengan lahirnya perjanjian tersebut menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Kewajiban debitur adalah mengembalikan pinjamannya pada waktu yang telah dijanjikan. Oleh karena prestasi saat pemberian dengan saat pengembalian terdapat tenggang yang lama, maka diperlukan suatu kepercayaan bank kepada debitur bahwa kredit yang dilepaskan kelak kemudian hari dikembalikan sebagaimana waktu yang dijanjikan.

Sutan Remy Sjahdeni, mengatakan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian baku karena hampir seluruh klausula-klausulanya atau isi perjanjian sudah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya

       21

(27)

yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.22

Perjanjian baku atau standard ini mengandung kelemahan, karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah.23 Pitlo mengemukakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial ekonomi. 24 Perusahaan yang besar, perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingannya mereka menentukan syarat secara sepihak. Pihak lawan pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik posisinya maupun karena ketidaktahuannya.

Asas essensial dari perjanjian yaitu kesepakatan untuk saling mengikatkan diri atau juga disebut asas konsensualisme, yang mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini bersumber dari moral, asas ini mempunyai hubungan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat perjanjian yang terdapat dalam HGB 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila perjanjian tersebut memenuhi persyaratan HGB 1320 KUHPerdata, jadi apabila ada perjanjian yang ternyata tidak memenuhi syarat yang ditetapkan HGB 1320       

22

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 66.

23

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1983, hal. 32.

24

(28)

KUHPerdata tersebut, maka perjanjian tersebut dimungkinkan bisa dibatalkan atau bisa pula batal demi hukum.

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diartikan bahwa perjanjian kredit terbit dari perjanjian pinjam meminjam antara bank atau kreditur dengan debitur. Perjanjian tersebut lahir sejak tercapainya kata sepakat setelah pihak bank atau kreditur menyampaikan syarat-syarat tertentu dan disepakati oleh debitur. Oleh karena prestasi saat pemberian uang dari bank kepada nasabah dengan prestasi pengembalian uang dari debitur kepada kreditur terdapat tenggang waktu yang dapat menimbulkan suatu risiko bagi bank, maka bank harus mempunyai kepercayaan kepada debitur bahwa debitur akan mampu mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

B. Jenis-Jenis Kredit dan Bentuk Perjanjian Kredit Bank

Kredit yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya pada awalnya memiliki jenis yang sama atau mirip. Seiring perkembangan ekonomi dan dunia usaha, maka tiap-tiap lembaga keuangan termasuk bank menawarkan kredit dengan jenis yang berbeda-beda. Jenis-jenis kredit ini oleh Munir Fuady digolongkan berdasarkan kriteria, antara lain:25

1. Penggolongan berdasarkan jangka waktu

Apabila jangka waktu digunakan sebagai kriteria, maka suatu kredit dapat dibagi dalam :

       25

(29)

a. Kredit jangka pendek, yakni kredit yang jangka waktunya tidak melebihi satu tahun,

b. Kredit jangka menengah, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu antara 1 sampai 33 tahun,

c. Kredit jangka panjang, yakni kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun.

2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi

Berdasarkan dokumentasinya kredit dapat dibagi atas : a. Kredit dengan perjanjian tertulis,

b. Kredit tanpa surat perjanjian, yang mana dapat dibagi ke dalam 1) Kredit lisan. Tetapi ini sudah sangat jarang dilakukan.

2) Kredit dengan instrumen surat berharga, misalnya kredit yang hanya lewat dokumen promes (promissory note), obligasi (bond), kartu kredit, dan sebagainya.

3) Kredit cerukan (overdraft). Kredit ini timbul karena : a) Penarikan/pembebanan giro yang melampaui saldonya. b) Penarikan/pembebanan R/C yang melampaui plafonnya 3. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi

Dalam hal ini suatu kredit dapat dibagi ke dalam :

a. Kredit untuk sektor pertanian, perburuhan, dan sarana pertanian; b. Kredit untuk sektor pertambangan;

(30)

e. Kredit untuk sektor konstruksi;

f. Kredit untuk sektor perdagangan, restoran, dan hotel; g. Kredit pengangkutan, perdagangan, dan komunikasi; h. Kredit untuk sektor jasa;

i. Kredit untuk sektor lain-lain.

4. Penggolongan berdasarkan tujuan penggunaan

a. Kredit konsumtif, merupakan kredit yang diberikan kepada debitur untuk keperluan konsumsi seperti kredit profesi, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga, dan lain sebagainya;

b. Kredit produktif, yang terdiri dari :

1) Kredit investasi, yang dipergunakan untuk membeli barang modal atau barang-barang tahan lama, seperti tanah, mesin, dan sebagainya. Namun demikian, sering juga kredit ini digolongkan ke dalam kredit investasi yang disebut sebagai Kredit Bantuan Proyek;

2) Kredit Modal Kerja (Working Capital Credit/Kredit Eksploitasi), yang dipergunakan untk membiayai modal lancar yang habis dalam pemakaian, seperti untuk barang dagangan, bahan baku, overhead produksi, dan sebagainya;

3) Kredit Likuiditas, yang diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas.

(31)

5. Penggolongan berdasarkan objek yang ditransfer

Berdasarkan objek yang ditransfer, kredit dapat dibagi atas :

a. Kredit uang (money credit), dimana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang;

b. Kredit bukan uang (non money credit, Mercantule Credit, Merchant Credit), dimana diberikan dalam bentuk barang dan jasa, dan pengembaliannya dilakukan dalam bentuk uang.

6. Pengolongan berdasarkan waktu pencairan

Berdasarkan waktu pencairannya, kredit dapat dibagi ke dalam :

a. Kredit tunai (cash credit), dimana pencairan kredit dilakukan atau pemindahbukuan ke dalam rekening debitur;

b. Kredit tidak tunai (non cash credit), dimana kredit tidak dibayar pada saat pinjaman dibuat, termasuk ke dalam penggolongan ini misalnya :

1) Garansi bank atau stand by L/C. Dalam hal ini bank akan membayar apabila terjadi perbuatan tertentu, misalnya jika pada suatu saat pihak pemohon garansi tidak melaksanakan kewajiban kepada pihak lain, maka dalam hal seperti ini bank lah yang akan membayarkannya; 2) Letter of Credit, yang merupakan jaminan kepada penjual/pengirim

barang dimana bank akan membayar sejumlah uang jika dokumen-dokumen tertentu dipenuhi oleh penjual/pengirim barang.

7. Penggolongan menurut cara penarikan

(32)

a. Kredit sekali jadi (alfopend), yakni kredit yang pencairan dananya dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara pemindahbukuan;

b. Kredit rekening koran, dalam hal ini baik penyediaan dana maupun penarikan dana tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara tidak teratur kapan saja dan berulangkali. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan dengan melalui pemindahbukuan, penarikan cek, bilyet, giro, atau perintah pemindahbukuan lainnya;

c. Kredit berulang-ulang (revolving loan), kredit semacam ini biasanya diberikan terhadap debitur yang tidak memerlukan kredit sekaligus, melainkan secara berulang-ulang sesuai kebutuhan, asalkan masih dalam batas maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan. Berbeda dengan kredit rekening koran, maka kredit berulang-ulang ini lebih dibatasi (tidak dalam arti seluas-luasnya), terutama dalam hal penarikan dan penyetoran;

d. Kredit bertahap, merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan secara bertahap dalam beberapa termin, misalnya tranche I, II, III, IV; e. Kredit tiap transaksi (self-liquidating atau eenmalige transactie crediet),

(33)

8. Penggolongan dilihat dari pihak krediturnya

Apabila dilihat dari segi pihak pemberi kredit, maka suatu kredit dapat digolongkan ke dalam :

a. Kredit terorganisasi (Organized Credit), yakni kredit yang diberikan oleh badan-badan yang terorganisir secara legal dan memang berwenang memberikan kredit, misalnya bank, koperasi, dan sebagainya;

b. Kredit tidak terorganisasi (Unorganized Credit), merupakan kredit yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun badan yang tidak resmi untuk memberikan kredit. Kredit ini dapat dipilah-pilah menjadi kategori berikut :

1) Kredit Rentenir, yakni kerdit yang diberikan oleh perorangan atau badan tidak resmi untuk memberikan kredit, yang sering dijuluki lintah darat;

2) Kredit Penjual, merupakan kredit yang diberikan oleh penjual kepada pembeli dalam suatu jual beli, dimana barang segera diserahkan sementara harga barang dibayar kemudian secara kredit.

3) Kredit Pembeli, yang maksudnya adalah kredit yang juga terbit dari jual-beli dimana uang pembelian segera diserahkan sementara barangnya diserahkan kemudian hari, misalnya seperti yang sering dipraktekkan dalam pembelian bahan bangunan, dan lain-lain.

(34)

a. Kredit domestik (domestic/onshore credit), merupakan kredit yang kreditur atau kreditur utamanya berasal dari dalam negeri;

b. Kredit luar negeri (foreign/offshore credit), merupakan kredit dengan kreditur atau kreditur utamanya berasal dari luar negeri.

10.Penggolongan berdasarkan jumlah kreditur

Berdasarkan berapa banyak jumlah krediturnya, maka suatu kredit dapat dibagi ke dalam :

a. Kredit dengan kreditur tunggal, yakni kredit yang krediturnya hanya satu orang atau satu badan hukum saja, ini sering disebut dengan Single Loan;

b. Kredit sindikasi, merupakan kredit dimana pihak krediturnya terdiri dari beberapa badan hukum, dimana biasanya salah satu di antara kreditur tersebut bertindak sebagai Lead Creditor/Lead Bank.

(35)

sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat dibuktikan dengan baik oleh para pihak.

Sutarno berpendapat bahwa dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada HGB 1 ayat (11) UU Perbankan. Meskipun dalam HGB itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun dalam organisasi bisnis modern dan mapan untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966, yang didalamnya menegaskan : “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur atau antara Bank Sentral dengan Bank-Bank lainnya”. Juga dalam Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir (4) yang pada intinya berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian kredit.26

Dalam penjelasan HGB 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan, ditentukan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam HGB 21 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan telah ditentukan bentuk perjanjian kredit, yaitu secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan

       26

(36)

kelaziman di dunia perbankan. Setiap perjanjian kredit yang dibuat wajib memuat sekurang-kurangnya :

1. Identitas kreditur dan debitur secara benar, lengkap, dan jelas; 2. Tujuan penggunaan kredit;

3. Jumlah uang dan jenis mata uang tertentu; 4. Jangka waktu perjanjian;

5. Besar dan tata cara perhitungan bunga; 6. Jaminan kredit;

7. Hak dan kewajiban kreditur dan debitur; 8. Syarat-syarat penarikan kredit;

9. Hal-hal yang menimbulkan kewajiban materiil bagi debitur; dan

10.Pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan meyetujui isi perjanjian kredit.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian ktedit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktek bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk perjanjian kredit yang tertulis, yaitu:

(37)

Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Suatu perjanjian kredit antara bank dengan nasabah juga dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam HGB 1338 KUHPerdata. Yang terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tandatangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan HGB 1876 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalau tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya jika tanda tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tandatangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tandatangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaatyang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta di bawah tangan.

(38)

itu, tempat dimana akta dibuatnya. Perjanjian kredit saat ini lazimnya sudah menggunakan akta notaril. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh para pihak dan kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam bentuk akta otentik. Pemberian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja (termasuk di dalamnya kredit yang diberikan kepada kontraktor), dan kredit sindikasi.

Melihat kedua macam akta tersebut, pada prakteknya hampir semua perjanjian kredit antara bank dengan debiturnya dibuat dalam bentuk akta otentik.Alasan utamanya tentu demi menjamin legalitas dari perjanjian itu, sebab kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna.

(39)

debitur untuk diterima sebagai perjanjian yang mengikat keduanya. Praktek ini sudah diberlakukan hampir pada semua perjanjian, tidak hanya kredit, meski keabsahannya sampai saat ini masih dipertentangkan.

C. Hapusnya Perjanjian Kredit

HGB 1381 KUH Perdata mengatur cara hapusnya perikatan, dapat diberlakukan pada perjanjian kredit bank. Umumnya perjanjian kredit bank berakhir karena :27

1. Pembayaran

Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus. HGB 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Berdasarkan HGB 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam HGB 1401-1402 KUH Perdata.

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru.

       27

(40)

Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap.

2. Subrogasi (Subrogatie)

HGB 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Berdasarkan HGB 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam HGB 1401-1402 KUH Perdata.

3. Pembaruan Hutang (Novasi)

Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru. Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap. Dalam hal ini terjadi pergantian subjeknya, maka jika diganti debiturnya disebut novasi subjekti pasif, jika diganti krediturnya disebut novasi subjektif aktif. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau meperbarui perjanjian kredit bank yang ada dengan perjanjian kredit yang baru. Otomatis perjanjian kredit yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi. HGB 1413 KUH Perdata menyebutkan 3 cara untuk melakukan novasi, yaitu:

a) Dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya,

(41)

c) Mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat perjanjian baru yang diadakan

4. Perjumpaan Utang (Kompensasi)

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbale balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut. Dasarnya disebutkan dalam HGB 1425 KUH Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan piutang, dengan mana utang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi ini dijalankan bank dengan cara mengkonpensasi barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.

D. Asas-Asas atau Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit

(42)

sesuai dengan fungsi perbankan dan perkreditan. Pada dasarnya ada dua prinsip utama yang menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu :28

1. Prinsip kepercayaan

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

2. Prinsip kehati-hatian

Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu berpedoman dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh bank yang bersangkutan.

Sementara itu, selain kedua prinsip umum tersebut, berdasarkan penjelasan HGB 8 UU Perbankan, yang mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabahdebitur, yang kemudian dikenal dengan sebutan dengan Prinsip 5 C, yaitu:29

       28

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 61

29

(43)

1. Penilaian watak (Character)

Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran atau itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan calon (debitur) atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian, dan perilaku calon debitur dalam kehidupan kesehariannya.

2. Penilaian kemampuan (Capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debiturnya dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik.

3. Penilaian modal (Capital)

(44)

jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal sendiri, sedangkan kekurangannya itu dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya adalah hanya menyediakan tambahan modal, biasanya lebih sedikit dari pokoknya.

4. Penilaian agunan (Collateral)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa.

5. Penilaian prospek usaha (Condition of Economy)

Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar begeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang akan dibiayai bank dapat diketahui. Selain Prinsip 5 C tersebut, dalam pemberian kredit kepada nasabah debitur, bank juga menerapkan prinsip lain, yaitu Prinsip 5 P, yaitu :30

1. Party (Para Pihak)

Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu

       30

(45)

“kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya, kemampuannya, dan sebagainya.

2. Purpose (Tujuan)

Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan dalam perjanjian kredit.

3. Payment (Pembayaran)

Harus pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti, debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.

4. Profitability (Perolehan Laba)

(46)

5. Protection (Perlindungan)

Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur. Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting untuk diperhatikan. Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar skenario atau di luar prediksi semula.

Di samping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang harus diperhatikan oleh suatu bank adalah sebagai berikut :31

1. Prinsip Matching

Prinsip ini maksudnya harus match antara pinjaman dengan aset perseroan. Jangan sekali-kali memberikan pinjaman berjangka waktu pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka panjang. Karena hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya mismatch.

2. Prinsip Kesamaan Valuta

Maksudnya penggunaan dana yang didapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama. Sehingga resiko gejolak nilai valuta dapat dihindari. Meskipun untuk itu tersedia apa yang disebut dengan currency hedging.

3. Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Modal

Disini maksudnya adalah harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal. Jika pinjamannya terlalu besar disebut perusahaan yang high gearing. Sebaliknya jika pinjamannya kecil dibandingkan

       31

(47)

dengan modalnya disebut low gearing. Pos permodalan yang akan didapat oleh perusahaan tidaklah fixed, yaitu dalam bentuk dividen, sementara biaya terhadap suatu pinjaman yaitu dalam bentuk bunga relatif tetap. Karena itu kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.

4. Prinsip Perbandingan Antara Pinjaman dan Aset

(48)

A. Pengertian Hak Tanggungan

Djuhaendah Hasan dalam Rachmadi Usman mengatakan istilah hak tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam hukum adat istilah hak tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang obyeknya biasanya tanah atau rumah.32 Istilah hak tanggungan yang berasal dari hukum adat tersebut, melalui UUPA ditingkatkan menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam sistem hukum nasional kita dan hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi pengganti Hypotheek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga Hypotheek dan Credietverband akan dijadikan satu atau dilebur menjadi hak tanggungan.33

Kamus besar bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima. Secara yuridis ketentuan dalam HGB 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan perumusan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut :

       32

Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 329

33

(49)

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Kemudian ayat 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah antara lain menyatakan : Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Dalam arti, bahwa jika menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain.

Hak tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur (pemegang hak tanggungan).34

Dari rumusan HGB 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

       34

(50)

Berkaitan Dengan Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan obyek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.35

B. Hak Guna Bangunan sebagai Objek Hak Tanggungan

1. Yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna Bangunan

Dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 19 PP No. 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Termasuk pengertian badan hukum adalah semua lembaga yang menurut peraturan yang berlaku diberi status sebagai badan hukum, misalnya perseroan terbatas, koperasi, perhimpunan, yayasan tertentu dan lain sebagainya.

2. Jangka Waktu Dari Hak Guna Bangunan

Dalam ketentuan Pasal 35 UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, dan atas permintaan

       35

(51)

pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan Hak Guna Bangunan diatur dengan peraturan perundangan, maka berdasarkan pasal tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996, Hak Guna Bangunan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun kemudian dapat diperpanjang untuk waktu selamanya 20 tahun, jadi total 50 tahun. Ada tambahan lagi yaitu sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya berakhir, maka kepada bekas pemegang Hak Guna Bangunan dapat diberikan pembaharuan dari Hak Guna Bangunan atas tanah yang sama.

Jika dilihat kemungkinan ini maka nyatalah ada suatu maksud tertentu untuk dikedepankan oleh para pembuat undang-undang ini pada khalayak ramai bahwa Hak Guna Bangunan bukan hanya lamanya 50 tahun tetapi dapat saja diperpanjang dan diteruskan juga setelah lewat jangka waktunya semula serta perpanjangannya karena dapat dimintakan pembaharuan.36

       36

(52)

3. Sifat-Sifat Dan Ciri-Ciri Hak Guna Bangunan

Sifat-sifat dan ciri-ciri Hak Guna Bangunan adalah: 37

a. Hak Guna Bangunan wajib didaftar (Pasal 38 UUPA dan pasal 10 PP No. 40 Tahun 1996).

b. Hak Guna Bangunan dapat dipindahtangankan, yakni dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) PP No.40 Tahun 1996).

c. Hak Guna Bangunan hanya dipunyai orang-orang yang berkewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 36 UUPA dan Pasal 19 huruf a PP No. 40 Tahun 1996).

d. Hak Guna Bangunan dapat dibebani jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 39 dan Pasal 33 PP No. 40 Tahun 1996).

e. Luas tanah Hak Guna Bangunan disesuaikan dengan keperluan.

f. Hak Guna Bangunan dapat dilepaskan oleh pemegangnya sebelum jangka waktunya berakhir menjadi tanah Negara (Pasal 40 huruf C UUPA dan Pasal 35 ayat (1C) PP No. 40 Tahun1996).

4. Tanah Yang Dapat Diberikan Hak Guna Bangunan

Menurut Pasal 21 PP No. 40 Tahun 1996, tanah yang dapat diberikan Hak Guna Bangunan adalah : tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 22 ayat (1) PP No.4

       37

(53)

Tahun 1996). Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 33 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT, yang wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan serta mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan ( Pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996).

5. Syarat-Syarat Perpanjangan Hak Guna Bangunan

Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :

a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak terebut.

b. Persyaratan pemberian hak telah dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai subyek yang dapat memegang

Hak Guna Bangunan yaitu ia masih Warga Negara Indonesia atau masih badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 19 PP No. 40 Tahun 1996.

d. Bahwa tanah tersebut juga masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan.38

Menurut Pasal 27 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996, permohonan untuk memperoleh perpanjangan Hak Guna Bangunan atau pembaharuan harus diajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.

       38

(54)

6. Kewajiban Dari Pemegang Hak Guna Bangunan

Dalam Pasal 30 PP No. 40 Tahun 1996 dimana kewajiban dari pemegang Hak Guna Bangunan adalah:

a. Membayar uang pemasukan dan jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.

b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana keputusan dan perjanjian pemberiannya.

c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu dihapus.

e. Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada Kantor Pertanahan.

7. Hapusnya Hak Guna Bangunan

Menurut Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40 Tahun 1996, hapusnya Hak Guna Bangunan karena :

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

(55)

1) Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketetuan sebagai pemegang hak; atau

2) Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan Pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan; atau

3) Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

berakhir

d. Dicabut untuk kepentingan umum e. Ditelantarkan

f. Tanahnya musnah

g. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai yang mempunyai Hak Guna Bangunan

C. Syarat Sahnya Pemberian Hak Tanggungan dan Proses Pembebanan

Hak Tanggungan

1. Syarat Sahnya Pemberian Hak Tanggungan

(56)

Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :

a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) sesuai dengan peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UUHT);

b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi :

1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan; 2) Domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan;

3) Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan;

4) Nilai Tanggungan;

5) Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan

Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dan jika hutangnya belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan.39

c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota);

d. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 12 UUHT).       

39

(57)

2. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

UUHT menggunakan istilah Pemberian, sedangkan UUPA dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 Pasal 3 menggunakan istilah yaitu Pemberian dan Pemasangan. Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari APHT sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan.

Tahap pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap pendaftaran hak tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat, dengan pembuatan buku tanah hak tanggungan dan Sertipikat Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas.

Perbuatan hukum Pembebanan Hak Tanggungan memerlukan beberapa tahapan antara lain:

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan

(58)

Tahap pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan di hadapan PPAT dengan dibuatnya APHT, yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996.40 Ketentuan terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT mengatakan bahwa : Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.

Dalam APHT dapat dicantumkan janji‐janji yang diberikan oleh kedua belah pihak, sebagaimana disebut dalam Pasal 11 ayat (2). Berbeda dengan apa yang disebut dalam ayat (1) yang merupakan muatan wajib, apa yang disebut dalam ayat (2) berupa janji‐janji yang sifatnya fakultatif. Dalam arti boleh dikurangi ataupun ditambah, asal tidak bertentangan dengan ketentuan UUHT. 2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan

Pada tahap ini ditandai dengan pendaftaran APHT ke Kantor Pertanahan setempat.Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebank

Referensi

Dokumen terkait

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK)

Rangkaian Lampu Penujuk Arah ini Adalah Sebuah Rangkaian Lampu Kedap-kedip Sederhana yang Menggunakan 2 (dua) buah IC, Dimana Outputnya diperlihathan Pada Lampu Pijar yang

A Landsat image captured 2 weeks prior to field work was used to determine Band 5 thresholds to identify areas of inundation and assess classification accuracy.. Field

Nilai ini sangat dipengaruhi oleh pertanyaan pertanyaan yang diajukan dalam angket penelitian, seperti pada nilai rendah, bahkan dengan nilai prosentase yang lebih besar

Habitual buyer , yaitu konsumen yang berada pada tingkat kedua dari suatu piramida brand loyalty pada umumnya, dan dapat dikategorikan sebagai konsumen yang puas dengan merek

Data Pengukuran Imago Jantan E... Data Pengukuran Imago Betina

Pemakaian adjektiva tersebut mempunyai arti yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan atau hubungan makna yang satu dengan makna yang lain.. Hubungan makna kata tersebut berupa

Sikap konsumen secara parsial terhadap pangan berbasis bahan lokal di Surabaya melalui analisis sikap dengan model Fishbein adalah sebagai berikut: (1) terhadap faktor produk