DAFTAR PUSTAKA
Buku
Artadi, I Ketut, dkk, Implementasi Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak,Udayana University Press, Denpasar, 2010.
Basuki, Sunaryo, HGU, HGB, Hak Pakai Sebagaimana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No.40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, Magister Kenotariatan dan Pertanahan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary abrid ged seventh edition, West Group, United States of America, 2000.
Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008.
Irmayanto, Juli dkk, Bank dan lembaga keuangan, Universitas Trisakti, jakarta 2004.
Joseph, Nortan (Ed), Commercial Loan Documentation Guide, NewYork, Mathew Bender and co,1989, chapter 11.02 dikutip dari buku Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Internasional dalam Hukum, CV.Utama, Bandung, 2004.
Jusuf, Jopie. Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2003.
Kansil, CTS. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta PT Rajagrafindo Persada, 2010. Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. Hak Tanggungan. Kencana Prenada Media.
Jakarta, 2005.
Patrik, Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan Undang-Undang Hak Tanggungan, Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000.
Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2005. Sihombing,BF. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah
Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta,2010.
Subagyo P. Joko, Metode penelitian Dalam Teori dan Praktek ̧ Cetakan Kelima, Rineka Cipta, Jakarta, 2006.
Sutedi, Adrian Hukum Hak Tanggungan,Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta CV, Bandung, 2003.
Sjahdeni, Sutan Remy. Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek Hukum, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,1997.
Sumardjono, Maria. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008.
Usman, Rachmadi. Hukum Kebendaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Widiyono, Try, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tentang jaminan pemberian kredit.
Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Makalah
Ni Made Irpiana Prahandari, Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus), Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar 2014. Website
http://jengjangkrik.blogspot.co.id/2011/05/objek-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 3 Januari 2016).
http://myrizal-76.blogspot.co.id/2011/08/komentar-singkat-tentang-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 1 Mei 2015)
Wawancara
A. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah “hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang
selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur
tertentu dengan kreditur-kreditur lainnya”.
Di samping itu, Pasal 51 UUPA, telah menegaskan jaminan atas tanah,
yang menyatakan bahwa hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik,
hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39
diatur dengan undang-undang
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan dari rumusan Pasal 1 angka (1)
UUHT dapat diketahui bahwa: “pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu
bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminan
berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA”.28
Budi Harsono, pengertian Hak Tanggungan adalah penguasaan hak atas
tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,
melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya
seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas utang debitur kepadanya.29
Prinsipnya, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan
kebendaan atas hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari
kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur-kreditur pemegang hak tanggungan.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa Hak atas Tanah
yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah:30
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan.
Hak-hak atas Tanah seperti ini merupakan hak-hak yang sudah dikenal dan
diatur di dalam UUPA. Namun selain hak-hak tersebut, ternyata dalam Pasal 4
ayat (2) UUHT ini memperluas hak-hak tanah yang dapat dijadikan jaminan
hutang selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) UUHT, objek hak tanggungan dapat juga berupa:
a. Hak Pakai atas tanah Negara. Hak Pakai atas tanah negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat di
pindahtangankan dan dibebani dengan hak tanggungan;
29Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2008, hal. 24
b. Begitu pula dengan Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 27 jo Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun) juga dimasukkan dalam objek
hak tanggungan. Bahkan secara tradisional dari Hukum Adat memungkinkan
bangunan yang ada diatasnya pada suatu saat diangkat atau dipindahkan dari
tanah tersebut.
Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menetapkan bahwa hak guna
bangunan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
UUHT tidak memerinci hak guna bangunan yang mana yang dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani Hak tanggungan. Hak guna bangunan menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996 Tentang Hak Tanggungan ada tiga
macam, yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas
tanah Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Dari tiga
macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan bahwa
hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah
Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak
dapat dipindahtangankan kepada pihak lain.
Berkenaan dengan subjek Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan
menjadi subjek hukum dalam hak tanggungan adalah subjek hukum yang terkait
dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam suatu perjanjian hak
tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut:31
1. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek
hak tanggungan (debitur);
2. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak
Tanggungan sebagai jaminan dari pihutang yang diberikannya.
Ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT memuat ketentuan mengenai subjek
Hak Tanggungan, yaitu sebagai berikut :
1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek
hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan itu dilakukan;
2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang mendapatkan pelunasan atas pihutang yang
diberikan
Berkenaan Hak Tanggungan yang dapat menjadi subjek hak tanggungan
selain Warga Negara Indonesia adalah Warga Negara Asing. Dengan
ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai salah satu objek hak
tanggungan, bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi
subjek hak tanggungan apabila memenuhi syarat. Sebagai pemegang hak
tanggungan yang berstatus Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia,
Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus
berkedudukan di Indonesia. Oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di
luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang
berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak Tanggungan,
sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan di wilayah Republik Indonesia penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT.
Apabila salah satu pihak, pemberi hak tanggungan atau pemegang hak
tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan
domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak
dicantumkan, Kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dianggap sebagai domisili yang dipilih.Bagi
mereka yang akan menerima hak tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan
dari Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada (harus telah ada
dan masih ada) pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak
tanggungan dilakukan.
Pengaturan mengenai jaminan hak tanggungan diatur dalam UUHT, yaitu
UUHT. Selain melaksanakan amanat UUPA, kelahiran UUHT didasarkan pula
pada pertimbangan untuk member kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pemberian kredit dengan membebankan hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit serta
untuk menciptakan keseragaman hukum jaminan hak atas tanah32
B. Hak Guna Usaha Sebagai Objek Hak Tanggungan
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha
merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri
guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan Hak guna usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.33 Pengaturan HGU terdapat pada Pasal
28-34 UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 2-18.
Di dalam UUPA Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam
jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian,
perikanan, atau peternakan. Sebelum terbitnya UUPA, pengertian tanah negara
ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953, No. 14,
T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara dimaknai
sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari pengertian tanah
negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas
tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai
penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara.34 Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik tanah. negara
sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang
diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :
33 http://jengjangkrik.blogspot.co.id/2011/05/objek-hak-tanggungan.html (diakses tanggal 3 Januari 2016).
1. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya;
2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu;
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”
Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan
disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati
dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan
perundang-undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran
yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:
1. Tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada
hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;
2. Tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya,
karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah
negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang
telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang
dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.35
Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan,
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :36
35 BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2010, hal. 79
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas
barang yang menjadi sasaran dari pada hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang disebut sebagai isi dari pada hak
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai objek dari hak,
e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.
Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang
akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang
menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti
sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan
imunitas. Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur
dalam Pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi
pemegang hak atas tanah, yaitu :
a. Warga Negara Indonesia
Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk
melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga
hukum tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan
perkawinan, membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan
suatu perbuatan hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas
tanah37 Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik
persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu
mendukung hak dan kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang
yang belum dewasa, orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut
hak-hak keperdataanya tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam
konteks kemampuan menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada
ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat
digolongkan sebagai subjek hukum, yaitu :
1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)
2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka
yang belum dewasa.
b. Badan Hukum Indonesia
Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak
berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan
hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang.
Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh
pihak-pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman
penjara (kecuali hukuman denda).38
Untuk dapat menjadi subjek HGU, badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia
2. Berkedudukan di indonesia.
Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan
menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi
subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di
atas, maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996,
maka dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib
dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila
tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
menjadi tanah negara.
Objek tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah tanah negara.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah yang
dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas
tanah tersebut. Jika tanah yang diberikan HGU tersebut merupakan tanah negara
yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU baru dapat dilakukan
setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian juga bila
di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian HGU baru dapat
dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal ini sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor
40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah.
Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di
atas tanah yang akan diberikan HGU tersebut terdapat bangunan dan/atau tanaman
milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang Hak
Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik
bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas
tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada
di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang layak itu disandarkan pada nilai
nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Ganti kerugian ini
ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli
dalam bidangnya.
Penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia
dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan
harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga
tanah.39 Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik
(immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan
pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan
perpindahan tempat/pekerjaan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa
musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan
dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai
pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak
lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses
tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun
dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan
syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat
menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut :
a) Ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang
berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya
ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan
pendapatan dan lain sebaginya),
b) suasana yang kondusif
c) keterwakilan parapihak
d) kemampuan para pihak untuk melakukan negosiasi
e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses
musyawarah.40
Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di
atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka
tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan
wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar
mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan
terpaksa. Di samping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak
jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah
tersebut.
Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses
musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya
parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak
atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik
melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Berkenaan dengan pemberian HGU, tidak semua tanah dapat menajdi
objek HGU. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek HGU tersebut
adalah:
a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,
b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,
c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.
Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status HGU, Pasal 5 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas
minimum tanah yang dapat diberikan status HGU adalah lima hektar. Sedangkan
luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan adalah dua
puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3). Untuk luas
tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan
bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk melaksanakan
usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.41
Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan Pasal
tersebut disebutkan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan
Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini dapat diperpanjang
dengan waktu yang paling lama 25 tahun.
Berdasarkan rumusan Pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun
hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu
tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun
berikutnya.
Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha
dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal
8 menyatakan bahwa:
(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan untuk
jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun
(2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama.
Berdasarkan rumusan Pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha
dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh
tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat
dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9
peraturan pemerintah nomor 40 tahun 1996.
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan perpanjangan selama
25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha hapus demi hukum.
Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat diperbaharui. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40
tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang telah berakhir
Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam Pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan
pemberian hak atau perpanjangannya,
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :
a) Tidak membayar uang pemasukan kepada negara;
b) Tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan, perikanan
dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian haknya;
c) Tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik
sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan
oleh instansi teknis;
d) Tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e) Tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya
kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;
f) Tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;
g) Tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada
negara setelah hak tersebut hapus;
h) Tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir
2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh pemegang hak);
f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;
g. Pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada
pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan
mendapat pengaturan dalam Pasal 25; Pasal 33; Pasal 39; Pasal 51 dan Pasal 57.
Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan mengenai hak-hak
atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna
bangunan. Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan
undang dan dalam Pasal 57 UUPA dinyatakan bahwa selama
undang-undang tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan
mengenai Hipotek dan Creditverband.
Dikeluarkannya UUHT, ketentuan-ketentuan mengenai hipotek atas tanah
yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai
keperdataan dalam hukum jaminan dan kebutuhan kegiatan perkreditan, dan
sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.
Dengan terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama di dalam menciptakan
unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah.
Dalam Pasal 1 angka (1) UUHT, disebutkan bahwa hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam
UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Hak
Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak
bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan
yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditur pemegang hak tanggungan
dibandingkan dengan kreditur lainnya.
C. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan dan Proses Pembebanan
Hak Tanggungan
Pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap, yaitu pemberian Hak
Tanggungan dan pendaftaran Hak Tanggungan. Tata cara pembebanannya wajib
memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal
12, Pasal 13 serta Pasal 14 UUHT.
Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :
a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2)
b. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat
(1) UUHT) yang meliputi :
1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
2) Domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
3) Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan.
4) nilai tanggungan
5) uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan
Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara
jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan dan jika utangnya belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian
yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek Hak
Tanggungan.42
c. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya
diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor
Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota) batal demi hukum, jika diperjanjikan
bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan
apabila debitur cidera janji Pasal 12 UUHT.
Proses pembebanan Hak Tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7
UUHT dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya
Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pembuat Pejabat Akta Tanah/PPAT adalah sebagai pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang
membuat akta mengenai tanah yang ada di wilayah daerah kerjanya, kecuali
dalam hal-hal khusus dengan ijin Kepala Kantor BPN Wilayah Provinsi. Akta
yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik Pasal 11 ayat (1) UUHT
menyebutkan bahwa APHT wajib mencantumkan :
1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila Hak
Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain
daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah
pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;
2. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di
antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula
pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan utang atau
utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama
dan identitas debitur yang bersangkutan;
4. Nilai tanggungan;
5. Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. Uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini
meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau
bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh
PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek
hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan
dihadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak
tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.43
Pasal 13 UUHT, Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada
Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah penandatanganan
APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain
yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Dengan pengiriman oleh PPAT
berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor
Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Pendaftaran hak
tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah
hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
tanah yang bersangkutan. Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah
tanggal hari ke tujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur,
buku-tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian
tanggal buku-tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah Hak
Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan dan mengurangi kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal
buku-tanah hak tanggungan, maka hak tanggungan itu lahir, asas publisitas
terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah hak tanggungan dan hak tanggungan
mengikat kepada pihak ketiga.
Menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT. sebagai tanda bukti telah adanya hak
tanggungan, kepada pemegang hak tanggungan akan diberikan Sertipikat Hak
Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Oleh karena Sertipikat Hak
Tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertipikat
Bentuk Sertipikat Hak Tanggungan, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat
(2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta
Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat,
bahwa Sertipikat Hak Tanggungan itu terdiri atas salinan Buku Tanah Hak
Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan,
yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan dijahit
menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk sebagaimana telah ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996.
D. Hapusnya Hak Tanggungan
Hapusnya Hak tanggungan diatur dalam Pasal 18 sampai dengan 19
UUHT, yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak
berlakunya lagi Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan
berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut:44
1. Hapus utang yang dijamin dengan hak tanggungan, sebagai hak accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya hak tanggungan tersebut adalah
untuk menjamin pelunasan dari utang debitur menjadi perjanjian pokoknya.
Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya hak
tanggungan.
2. Dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan,
dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai hal dilepaskannya
hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.
3. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberian Hak Tanggungan
tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang
dilepas oleh pemegang Hak Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan
tertulis, mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak
Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan
karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan pringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri terjadinya karen permohonan pembeli hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.
Sedangkan persyaratan untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah:45
1. Surat Permohonan dari pemegang hak atau kuasanya.
2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir
oleh Pejabat yang berwenang)
3. Sertipikat Hak Atas Tanah
4. Sertipikat Hak Tanggungan.
5. Concent Roya, apabila tidak diserahkan sertipikat Hak Tanggungan.
6. Surat Keterangan tentang hapusnya HT yang dibuktikan dengan:
a. Pernyataan dari kreditor bahwa hutangnya telah lunas, atau
b. Risalah lelang, atau
c. Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan,
atau Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku hak atas tanah dan sertipikatnya. Dengan
hapusnya Hak Tanggungan, sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan
dicabut bersama-sama buku-tanah Hak Tanggungan serta dinyatakan tidak
A. Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan
Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan perjanjian yang
menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang
merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah sebagai mana tersebut dalam
Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai mana jaminan
pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak
terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT pemberian Hak Tanggungan yang
wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan dan
dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
APHT yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik.
Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan
dalam APHT, yaitu:46
a. Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada angka 1, dan apabila
diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia. Penunjukan secara jelas
hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
c. Nilai tanggungan;
d. Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.2
Selanjutnya APHT dan Blangko permohonan pemberian Hak Tanggungan
didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui bagian pendaftaran
tanah untuk penerbitan sertifikat Hak Tanggungan oleh BPN.
Pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah biasanya didahului
dengan adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang atau disebut juga
dengan perjanjian kredit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada
PT. Bank Sumut Cabang Medan, dimana bank tersebut pernah menerima jaminan
berupa tanah dengan status Hak Guna Usaha, yang dijadikan jaminan dalam
perjanjian kredit
Pelaksanaan pemberian kredit, PT. Sumut Cabang Medan tetap berpegang
pada asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perbankan,
menegaskan bahwa sebelum merealisasikan kreditnya bank wajib mempunyai
keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan calon debitur untuk
melunasi utangnya sesuai dengan apa yang diperjanjikan berdasarkan analisis
Dari hasil penelitian diperoleh mengenai pembebanan Hak Tanggungan
atas tanah Hak Guna Usaha di PT. Bank Sumut Cabang Medan antara lain :47
1. Tahap perjanjian utang piutang
a. Calon debitur datang ke PT. Bank Sumut Cabang Medan dan mengisi
permohonan kredit secara lengkap pada formulir yang telah disediakan
pihak bank, dengan dilampiri data, antara lain meliputi : Foto copy
identitas debitur, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) debitur beserta
istri/ suami dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) penjamin beserta suami/
istri, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI),
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ganti nama jika debitur/penjamin
Warga Negara Keturunan. Hal ini diperlakukan jika debitur adalah debitur
perorangan.
b. Jika debitur adalah Badan Usaha/Badan Hukum, ditambahkan dengan
Akta Pendirian berikut perubahannya, sampai perubahan yang terakhir.
Hal ini untuk menentukan siapakah yang berhak mewakili Badan Usaha/
Badan Hukum, baik dalam meminjam uang maupun menjaminkan.
Berkaitan dengan hal ini pihak bank biasanya meminta agar debitur
membuat pernyataan bahwa akta-akta yang diserahkan adalah akta yang
berlaku sampai perubahan terakhir pada badan Usaha/Badan Hukum
tersebut serta membebaskan pihak bank bila ternyata ada kekeliruan dalam
hal siapa yang mewakili Badan Usaha/ Badan Hukum tersebut, karena
memang akta yang diserahkan pada bank tidak lengkap.
c. Laporan keuangan 3 (tiga) bulan terakhir.
d. Foto copy sertifikat jaminan, berikut foto copy IMB dan PBB tahun
terakhir yang telah dibayarkan
e. Foto copy izin usaha
2. Tahap pengikatan jaminan
Tahap pengikatan jaminan yang berupa Hak Tanggungan dihadapan PPAT
yang ditunjuk oleh pihak bank, yaitu dengan dibuatnya APHT dalam bentuk akta
otentik. Pengikatan kredit harus diikuti dengan proses pemberian Hak
Tanggungan, yaitu dengan dibuatkannya APHT. Dalam pembuatan APHT,
pemberi Hak Tanggungan wajib hadir secara langsung untuk menandatangani
APHT tersebut. Hal ini menyangkut kewenangannya untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap tanah yang akan dibebankan Hak Tanggungan, meskipun
kepastian kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pendaftaran Hak
Tanggungan di Kantor Pertanahan, baik itu dilakukan untuk diri sendiri, bertindak
berdasarkan kuasa, atau bertindak berdasarkan persetujuan suami/isteri untuk
menjamin harta bersama.
3. Tahap proses pendaftaran Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, yang
merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 13 UUHT, maka
pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, karena
hal ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
mengikatnya terhadap pihak ketiga. Tidaklah adil bagi pihak ketiga untuk terkait
apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan
itu. Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang
memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah.
Proses pendaftaran ini, setelah APHT dan warkah lainnya diterima oleh
Kantor Pertanahan, maka akan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan
mencatatnya dalam buku hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan,
serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (4) dan (5) UUHT, Hak Tanggungan lahir pada tanggal
dibuatnya buku tanah, ini berarti bahwa sejak hari, tanggal itulah kreditur resmi
menjadi pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan yang istimewa (droit de
preference dan droit de suite). Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan dan
kemudian diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan dalam hal ini kreditur
sedangkan sertipikat hak atas tanah diserahkan kepada pemilik tanah, namun
demikian dalam praktiknya sertipikat hak atas tanah tidak dipegang oleh pemilik
tanah melainkan oleh pemegang Hak Tanggungan demi keamanan modal dan
kepastian pengembalian pinjamannya apabila debitur wanprestasi.
4. Tahap keputusan pemberian kredit
Keputusan kredit baik yang telah disetujui maupun ditolak oleh bank,
diberitahukan oleh Account Officer untuk disampaikan kepada calon debitur. Terhadap kredit yang telah disetujui oleh bank dan calon debitur marketing akan
dan administrasi, biaya-biaya lain seperti biaya materai, biaya taksasi, asuransi
serta biaya notaris. Selain itu dalam Surat persetujuan pemberian kredit juga
diuraikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur juga uraian tentang
berapa jumlah Hak Tanggungan yang akan dipasang. Terhadap kredit yang
ditolak, marketing memberitahukan keputusan komite kredit beserta alasan
penolakannya, dan terhadap semua data yang telah diterima dari calon debitur,
wajib dikembalikan kembali kepada calon debitur.
5. Tahap persetujuan pemberian kredit
Setelah Persetujuan Pemberian Kredit tersebut diberitahukan dan disetujui
oleh calon debitur, maka seluruh berkas pengajuan kredit berikut Persetujuan
Pemberian Kredit diserahkan kepada Legal Officer untuk dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan secara notariil, melalui Notaris/ PPAT yang
ditunjuk oleh pihak bank.
6. Penandatanganan akad kredit/perjanjian lainnya
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum
kredit dicairkan maka terlebih dulu calon nasabah menandatangani akad kredit,
mengikat jaminan dengan hipotek dan surat perjanjian atau pernyataan yang
dianggap perlu. Penandatangan dilaksanakan :
a. Antara kreditur dengan debitur secara langsung atau
7. Realisasi kredit
Realisasi kredit diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang
diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang
bersangkutan.
8. Penyaluran atau penarikan dana
Pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi
dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu
sekaligus atau secara bertahap.48
Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR, tanggal 31 maret 1995
tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan
Bank bagi Bank Umum sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal
pokok sebagaiman ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan Kebijaksaan
Perkreditan Bank, sebagai berikut :
a. Prinsip Kehati-hatian dalam perkreditan.
b. Organisasi dan manajemen perkreditan.
c. Kebijaksanaan persetujuan kredit.
d. Dokumentasi dan administrasi kredit.
e. Penyelesaian kredit bermasalah.
Setelah melalui tahapan-tahapan pelaksanaan pemberian kredit usaha
rakyat tersebut, maka secara otomatis perjanjian kredit telah lahir setelah
ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak debitur dan bank, dimana
debitur sudah menerima penyerahan uang atas pinjamannya dari pihak bank. Hal
ini sesuai dengan sifat perjanjian itu sendiri yaitu konsensuilobligatoir. Sifat
konsensuil dari perjanjian itu ada setelah tercapai kesepakatan diantara pihak bank
dengan debitur yang dituangkan dalam bentuk penandatanganan perjanjian kredit
itu sendiri, sedangkan sifat obligatoir terlihat dengan adanya hak dan kewajiban
yang timbul karena adanya perjanjian tersebut. Atas lahirnya perjanjian kredit
maka secara otomatis lahir pula hubungan hokum antara keduanya yaitu nasabah
debitur dan pihak bank sebagai kreditur. Hubungan hukum pada perjanjian itu
mengawali adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang berbeda
satu sama lainnya. Bagi pihak bank kewajiban yang dimilikinya merupakan hak
yang harus diterima oleh debiturnya, begitu juga sebaliknya.
B. Kendala dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit Menggunakan Hak
Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada Bank Sumut Cabang Medan
Permasalahan di dalam pemberian kredit terutama pada kredit dengan
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang objeknya HGU pada PT. Bank Sumut
Cabang Medan pada umumnya adalah ketidaklancaran debitur dalam
pengembalian pinjamannya.
Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa kendala dalam pelaksanaan
perjanjian kredit menggunakan hak tanggungan yang objeknya hak guna usaha
pada Bank Sumut Cabang Medan, antara lain :49
1. HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i) jual-beli, (ii)
tukar-menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan (v) pewarisan.
2. Tanah yang dijaminkan jangka waktu akan berakhir.
3. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, oleh pemegang Hak Pengelolaan
atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena alasanalasan
tertentu, yaitu :
a. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh pemegang hak;
b. Tidak dipenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang dalam perjanjian
pemberian HGU antara pemegang HGU dan pemegang Hak Milik atau
dengan pejanjian penggunaan Hak Pengelolaan tanah;
c. Adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
Kendala-kendala yang sering terjadi dalam pemberian kredit Hak Guna
Usaha adalah terjadinya wanprestasi dari pihak debitur. Keadaan-keadaan yang
dapat dikatakan debitur wanprestasi adalah dimana debitur tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana yang diperjanjikan, seperti debitur tidak membayar
angsuran bulanannya ataupun jumlah angsuran bulanannya kurang dari jumlah
yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit dan atau tidak melunasi kewajiban
angsuran bulanannya menurut batas waktu yang ditetapkan.50
C. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kredit Menggunakan Hak Tanggungan yang Objeknya Hak Guna Usaha pada Bank Sumut Cabang Medan
Pemenuhan prestasi merupakan hakekat dari perikatan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi:”Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.” debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk berprestasi kepada
kreditur dapat disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu pertama, karena
kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban maupun
karena kelalaian. Kedua, karena keadaan memaksa (overmarcht) di luar kemampuan debitur, debitur tidak bersalah. Dalam hal debitur tak dapat
memenuhi prestasi dan ada unsur salah pada dirinya, maka dapat dikatakan
debitur dalam keadaan wanprestasi.
Hak dan kewajiban masing-masing pihak yang telah disebutkan diatas
apabila dihubungkan dengan Pasal 1234 KUHPerdata, jika para pihak tidak
berprestasi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya, maka pihak yang tidak melaksanakan kewajiban dikatakan dalam
wanprestasi.
Menurut Subekti bentuk wanprestasi yang dapat dilakukan oleh debitur
dapat berupa tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya yaitu
apabila debitur tidak memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit yang
ditentukan.51 Sedangkan bentuk wanprestasi yang dapat dilakukan di PT. Sumut
Cabang Medan dapat berupa tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya yaitu
apabila debitur telah memenuhi syarat-syarat efektif penarikan kredit yang
ditentukan, tetapi PT. Sumut Cabang Medan tidak jadi merealisasikan kredit.
Berkaitan dengan bentuk wanprestasi maka akibat hukum wanprestasi
seorang debitur menurut Subekti ada empat macam:52
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur atau ganti rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian
3. Peralihan risiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Penyelesaian wanprestasi terkait perjanjian kredit menggunakan Hak
Tanggungan yang objeknya HGU di PT. Bank Sumut Cabang Medan, pertama
kali yang dilakukan adalah dengan musyawarah, yakni melalui musyawarah
dengan debitur. Dimana musyawarah tersebut diharapkan akan tercapai mufakat
untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam perjanjian kredit antara kreditur
dengan debitur.53
Faktor waktu penyelesaian kewajiban oleh debitur menjadi ukuran dari
kualitas tersebut. Kategori “Kredit lancar” berarti debitur lancar dalam membayar
angsuran pokok dan/atau kurang bunga. Kategori “Kurang lancar” berarti terdapat
angsuran pokok dan/atau bunga dari 90 hari sampai kurang dari 180 hari. Apabila
ada perbaikan angsuran pokok dan / atau bunga dari debitur sebelum jatuh tempo
maka kualitas kredit meningkat menjadi lancar. Kategori “pengawasan khusus”
berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga kurang dari 90 hari.
52 Hasil wawancara dengan M. Asral Nasution, selaku Pimpinan Divisi Sumber Daya Manusia Bank Sumut Kantor Pusat, 3 Juni 2015.
Apabila ada perbaikan angsuran pokok dan/atau bunga dari debitur sebelum jatuh
tempo maka kualitas kredit meningkat menjadi lancar. Kategori “ diragukan”
berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan / atau bunga dari 180 hari sampai
kurang dari 270 hari. Apabila ada perbaikan angsuran pokok dan / atau bunga dari
debitur sebelum jatuh tempo maka kualitas kredit menjadi lancar. Kategori
“mancet” berarti terdapat tunggakan angsuran pokok dan / atau bunga lebih dari
270 hari. Dalam kredit mancet apabila ada perbaikan angsuran dari debitur atau
melunasi tunggakan tepat jatuh tempo maka kredit mancet akan meningkat
kualitasnya hanya sampai pada kurang lancar, setelah 3 (tiga) bulan berturut-turut
mengangsur sesuai perjanjian, kredit mancet baru bisa dikatakan lancar.
Tindakan yang dilakukan terhadap PT. Bank Sumut Cabang Medan
terhadap kategori diatas tetap mengedepankan asas kekeluargaan dan secara
administrasi perkreditan. Tindakan pertama-tama secara langsung menagih
terus-menerus, pemanggilan debitur dan melalui program pembinaan kredit dengan
menyelidiki faktor apa yang menyebabkan keterlambatan pembayaran tersebut
dan juga berusaha untuk memulihkan usaha debitur dengan cara mencarikan jalan
keluar yang terbaik. Di PT. Bank Sumut Cabang Medan juga dapat melakukan
upaya penyelamatan kredit dengan :
1. Penjadwalan kembali (Resceduling)
Upaya berupa melakukanperubahan syarat-syarat yang berkenaan dengan
jadwal pembayaran kembali kredit atau jangka waktu kredit, termasuk masa
tenggang, baik perubahan besarnya angsuran jumlah angsuran maupun
bagi debitur yang mengalami kesulitan, hambatan dalam mengembalikan
kredit beserta bunganya kepada PT. Bank Sumut Cabang Medan berusaha
mengubah komposisi klausul-klausul yang berkaitan dengan perjanjian kredit
juga mengenai jangka waktu.
2. Persyaratan kembali (reconditioning)
Upaya berupaya melakukan perubahan atas seluruh syarat-syarat perjanjian
kredit yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran dan jangka
waktu kredit. Namun perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau
tanpa melakukan konversi atau seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan PT. Bank Sumut Cabang
Medan berupa keringanan atau perubahan persyaratan :
a. Pembebasan bunga yaitu dalam hal nasabah dinilai tidak sanggup membayar
bunga karena usaha nasabah hanya mencapai tingkat kembali pokok.
b. Penundaan pembayaran bunga, yaitu bunga tetap dihitung, tetapi penagihan
kepada nasabah tidak dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan.
Atas bunga yang terutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidak menambah
plafon kredit.
c. Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi kredit jangka panjang dengan
syarat lebih ringan.
d. Penurunan suku bunga yaitu dalam hal nasabah masih mampu membayar
bunga pada waktunya tetapi suku bunga yang dikenakan terlalu tinggi untuk
operasi nasabah menunjukan laba dan likuiditas memungkinkan membayar
bunga.
e. Kapasitas bunga yaitu bunga dijadikan utang pokok sehingga nasabah untuk
waktu tertentu tidak membayar bunga tetapi nanti utang pokoknya dapat
melebihi plafon yang disetujui. Cara ini ditempuh dalam hal prospek usaha
nasabah baik.
3. Penataan kembali (restucturing)
Upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa
pemberian tambahan kredit atau melakukan konversi atas seluruh atau sebagian
dari kredit menjadi equity perusahaan yang dilakukan dengan atau tanpa
rescheduling. Tindakan penyelamatan dapat juga merupakan kombinasi misalnya rescheduling dan reconditioning rescheduling dengan restructuring, serta gabungan ketiganya. Jika penilaian PT. Bank Sumut Cabang Medan tentang
kegiatan usaha debitur dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan maka perlu
dilakukan tindakan penyelamatan yang sesuai kondisi perusahaan. Hal ini
diperlukan pengetauan mengenai kondisi dan sebab-sebab kesulitan debitur serta
prospek dimasa mendatang. Misalnya kesulitan perusahaan dalam aspek
pemasaran tentang kesulitan pemasaran disebabkan mutu, model desain, dan
servis maka perlu dibicarakan dengan nasabah kemungkinan untuk memperbaiki
kekurangan tersebut untuk selanjutnya tindakan PT. Bank Sumut Cabang Medan
yaitu dipertimbangkan tindakan rescheduling dan kalau perlu penambahan kredit.
Prakteknya di PT. Bank Sumut Cabang Medan setelah dilakukan upaya
beroperasi sebagaimana mestinya. Jika pembinaan kredit tidak berhasil, maka PT.
Bank Sumut Cabang Medan melakukan upaya penyelamatan kredit, yaitu PT.
Bank Sumut Cabang Medan harus menyerahkan pengurusannya kepada pihak
ketiga. Di Indonesia dikenal dengan tiga lembaga yang dapat dibebani tugas untuk
menyelesaikan kredit mancet, yaitu Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN),
Peradilan Umum dan Arbitrase. Tugas pokok PUPN adalah mengurusi
piutang-piutang, mengawasi piutang-piutang dan melikuidasi PT. Bank Sumut Cabang
Medan yang bermasalah. Tugas peradilan umum adalah memeriksa dan mengadili
perkara pidana, memeriksa dan mengadili perkara perdata di tingkat perdata.
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
dengan menggunakan wait atau juru pisah. Lembaga ini bukan lembaga peradilan. Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut di atas tidak berhasil
dilaksanakan, pada umumnya upaya yang dilakukan bank dilakukan melalui
prosedur hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terdapat beberapa lembaga dan berbagai sarana
hukum yang dapat dipergunakan untuk mempercepat penyelesaian masalah kredit
macet perbankan.
Prakteknya cara yang ditempuh PT. Bank Sumut Cabang Medan, yaitu :
a. Melalui penjualan objek hak tanggungan di bawah tangan Hal ini lebih
menguntungkan karena bisa diperoleh harga yang lebih tinggi serta proses dan
prosedurnya tidak berbelit-belit.
b. Melalui Kontor Lelang PT. Bank Sumut Cabang Medan meminta langsung
pelelangan umum di pihak PT. Bank Sumut Cabang Medan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil lelang kemudian dilakukan pembersihan pada
jaminan, dilanjutkan pencoretan buku dan sertifikat Hak Tanggungan oleh
kantor pertanahan.
c. Melalui Badan Peradilan PT. Bank Sumut Cabang Medan mengajukan
gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan yang menyelesaikan dan
menangani kredit bermasalah yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang
objeknya Hak Guna Usaha pada PT. Bank Sumut Cabang Medan, Calon
debitur datang ke PT. Bank Sumut Cabang Medan dan mengisi
permohonan kredit secara lengkap pada formulir yang telah disediakan
pihak bank, dengan dilampiri data, antara lain meliputi : Foto copy
identitas debitur, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) debitur beserta
istri/ suami dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) penjamin beserta suami/
istri, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI),
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan ganti nama jika debitur/penjamin
Warga Negara Keturunan. Hal ini diperlakukan jika debitur adalah debitur
perorangan.
2. Kendala dalam pelaksanaan perjanjian kredit menggunakan hak
tanggungan yang objeknya hak guna usaha pada Bank Sumut Cabang
Medan, HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain melalui (i)
jual-beli, (ii) tukar-menukar, (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan
(v) pewarisan, Tanah yang dijaminkan jangka waktu akan berakhir.
Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, oleh pemegang Hak Pengelolaan
atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena alas
3. Penyelesaian wanprestasi terkait perjanjian kredit menggunakan Hak
Tanggungan yang objeknya HGU di PT. Bank Sumut Cabang Medan,
pertama kali yang dilakukan adalah dengan musyawarah, yakni melalui
musyawarah dengan debitur. Dimana musyawarah tersebut diharapkan
akan tercapai mufakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam
perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur.
B. Saran
Berdasarkan uraian dan kesimpulan yang penulis kemukakan di atas maka
dalam hal ini penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat, terutama calon debitur untuk lebih memahami dan
mematuhi segala aturan yang ada dan berlaku serta perlu dipikirkan lebih
matang jika ingin mengambil kredit di perbankan. Apabila keadaan
finansial tidak memadai alangkah baiknya jika tidak memaksakan diri
untuk mengambil kredit yang terlalu tinggi.
2. Kepada lembaga Perbankan selaku kreditur diharapkan pencairan dana
sebaiknya menunggu pada waktu APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan
yang bersangkutan sehingga kreditur memiliki kedudukan sebagai kreditur
preferent.
3. Menghindari masalah yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kredit
dengan jaminan hak tanggungan sebaiknya pihak PT. Bank Sumut Cabang
Medan harus selalu mengawasi barang jaminan yang diberikan oleh
A. Pengertian Perjanjian Kredit
Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah yang
ditujukan kepada masyarakat bahwa memberi kredit dalam bentuk apapun
bank-bank wajib mempergunakan "akad perjanjian "instruksi demikian dimuat dalam
instruksi presiden kabinet No 15/EKA/10/1996 jo Surat Edaran Bank Negara
Indonesia No.2/539/Upk/Pemb/1996 dan Surat edaran Bank Negara Indonesia
No.2/643/UPK/Pemb/1960 tentang pedoman kebijaksanaan dibidang perkreditan.
Menurut Pasal 1 angka (11) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur
bahwa “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Pengertian
perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur dalam Bab V sampai
dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian
kredit bank. Bahkan dalam Undang Perbankan sendiri yakni
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang-undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan tidak mengenal istilah perjanjian kredit, tetapi istilah
perjanjian kredit ditemukan dalam Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10
2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober 1996 yang menginstruksik