• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu Sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu Sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali)"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali)

EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2014

(4)
(5)

sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan RIZAL BAHTIAR.

Konservasi penyu merupakan aktivitas penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya penyu. Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali mempunyai peran yang penting dalam kegiatan pelestarian penyu serta memiliki potensi jasa wisata sehingga diperlukan kajian ekonomi untuk keberlanjutannya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sistem pelestarian sumberdaya penyu di TCEC, mengidentifikasi karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC, menganalisis nilai ekonomi jasa wisata di TCEC, serta mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Penelitian ini menggunakan empat metode analisis data, yaitu (1) analisis deskriptif yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik wisatawan dan mengkaji sistem pengelolaan sumberdaya penyu, (2) Travel Cost Method (TCM) yang digunakan untuk mengetahui nilai jasa wisata TCEC, (3) Contingent Valuation Method (CVM) untuk mengetahui nilai Willingness To Pay (WTP) pengunjung dalam upaya pelestarian kawasan konservasi penyu TCEC, dan (4) Cost Benefit Analysis (CBA) untuk menilai kelayakan finansial di TCEC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik responden wisatawan nusantara dan mancanegara dilihat dari umur, latar belakang pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan frekuensi kunjungan. TCEC memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yaitu sebesar Rp 518.656.568.627. Nilai WTP responden wisatawan nusantara adalah Rp 10.661,76 per kunjungan sedangkan nilai WTP responden wisatawan mancanegara adalah Rp 55.333,33 per kunjungan. Hasil analisis kelayakan TCEC pada saat 2008-2013 belum dapat menjamin keberlangsungan aktivitas pelestarian penyu, dengan demikian diperlukan adanya perbaikan dalam pengelolaan finansial TCEC. Rencana pengembangan pada tahun 2014-2023 dengan menetapkan tarif masuk yang sesuai dengan WTP menunjukkan bahwa TCEC layak dijalankan dan

mendapatkan keuntungan finansial dengan kriteria NPV > 0, Net B/C ≥ 1 dan IRR ≥ tingkat suku bunga. Keberadaan TCEC harus dijaga keberlangsungannya

sebagai pelestarian penyu serta pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan.

(6)

Conservation as Tourism Destination Based on Ecosystem Services (Case Study at Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Serangan Island, Bali). Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and RIZAL BAHTIAR.

Turtle conservation is important activity for sustaining turtle resources. Turtle Conservation and Education Center (TCEC) in Pulau Serangan, Bali, which plays a significant role in conservation of turtle. TCEC has the potential for tourism activities, whereas the economic assessment is required for their sustainability. Research objectives of this study were to assess the turtle resource management system in TCEC, to identify the characteristics of turtle conservation in TCEC, to analyze the economic value of ecotourism in TCEC and to assess feasibility of the development of TCEC. The research method that used was survey. This research used data analysis method, that were (1) descriptive analysis, which used to assess the management system on turtle resources and to identify the characteristics of tourists, (2) Travel Cost Method (TCM), (3) Contingent Valuation Method (CVM), and (4) Cost Benefit Analysis (CBA).

The result showed that were some differences in the characteristics of foreign and domestic tourists respondents viewed from age, educational background, income level, number of dependents and the frequency of their visits. TCEC has a high economic value, amounting to Rp 518.656.568.627. WTP values of domestics tourists respondents was Rp 10.661,76 per visit and the value of foreign tourists respondents was reach to Rp 55.333,33 per visit. Feasibility analysis of TCEC during 2008-2013 showed that financial sustainability of turtle conservation is limited, therefore the financial management of TCEC needs to be improved. Analysis of TCEC development plan from 2014-2023 indicated that TCEC will be feasible based on some criteria such as NPV> 0, Net B / C ≥ 1 and

IRR ≥ discount rate. TCEC activities in turtle conservation is important for sustainability of turtle resource.

(7)

Serangan, Bali)

EDWINA FIRDHATARIE MINAPUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Penelitian : Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu Sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali)

Nama : Edwina Firdhatarie Minaputri

NIM : H44090118

Disetujui oleh,

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh, Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT

(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Juli 2013 ini adalah Kajian Ekonomi Pelestarian Penyu sebagai Obyek Wisata Berbasis Jasa Lingkungan (Studi Kasus Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali).

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan ini antara lain :

1. Ayahanda dan Ibunda Tercinta, Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S dan Ibu R. Dewi Purnamasari, S.H yang selalu memberikan dukungan dan doa restu dalam penyelesaian skripsi ini, dan adik-adikku Ramadhina Putri Indraswari dan M. Rifqi Prabantoro yang selalu mendoakan dan menyemangati.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S dan Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Dr. Meti Ekayani, S. Hut, M.Sc dan Ibu Nuva, S.P, M.Sc selaku Dosen Penguji

4. Rekan-rekan terdekat yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi, yaitu M. Faris Abdulfatah, Affitri Wulansuci, Chintia Kartika N., Aulia Isnaini, Dita Maulida, Lia Nur Alia Rahmah, Aulia Putri.

5. Teman-teman bimbingan skripsi, yaitu Charra Rosemarry, Akmi Retno Dwipa, Hesti Yunita, Petrus Romil, dan Nur Afniati.

6. Rekan-rekan Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan angkatan 46 yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi.

7. Bapak Wayan Geriya selaku Kepala Pusat Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Pulau Serangan, Bali, yang telah memberikan informasi yang diperlukan.

8. Semua pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam rangka pelestarian penyu.

Bogor, April 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Penyu ... 9

2.1.1 Jenis-jenis Penyu ... 10

2.1.2 Regulasi Perlindungan Penyu ... 13

2.2 Wisata, Pariwisata, dan Ekowisata ... 14

2.3 Wisatawan ... 15

2.4 Jasa Lingkungan ... 18

2.5 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 19

2.5.1 Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)... 19

2.5.2 Metode Contingent Valuation Method (CVM) ... 20

2.5.2.1 Tahap-tahap Studi CVM ... 21

2.6 Uji Statistik dan Ekonometrik ... 23

2.6.1 Uji Normalitas ... 23

2.6.2 Uji Statistik F ... 23

2.6.3 Uji Statistik t... 23

2.6.4 Uji Multikolinearitas ... 23

2.6.5 Uji Heteroskedastisitas ... 23

2.6.6 Uji Autokolerasi ... 24

2.7 Analisis Kelayakan ... 24

2.7.1 Net Present Value ... 24

2.7.2 Net Benefit-Cost Ratio ... 25

(14)

2.8 Penelitian Terdahulu ... 25

3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran ... 31

4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

4.2 Metode Penelitian ... 33

4.3 Jenis dan Sumber Data ... 33

4.4 Metode Pengambilan Sampel ... 34

4.5 Metode Analisis ... 35

4.5.1 Analisis Sistem Pengelolaan Pelestarian Penyu ... 35

4.5.2 Analisis Karakteristik Pengunjung ... 35

4.5.3 Analisis Biaya Perjalanan (Travel Cost Analysis) ... 36

4.5.4 Analisis WTP Pengunjung Terhadap Kawasan Pelestarian Penyu di TCEC ... 37

4.5.4.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Pengunjung ... 39

4.5.5 Uji Statistik dan Ekonometrik ... 40

4.5.5.1 Uji Normalitas ... 40

4.5.5.2 Uji Statistik F ... 40

4.5.5.3 Uji Statistik t... 40

4.5.5.4 Uji Multikolinearitas ... 40

4.5.5.5 Uji Heteroskedastisitas ... 40

4.5.5.6 Uji Autokolerasi ... 41

4.5.6 Analisis Kelakayan ... 41

4.5.6.1 Net Present Value ... 41

4.5.6.2 Net Benefit Cost Ratio ... 42

4.5.6.3 Internal Rate of Return ... 43

4.6 Batasan Penelitian ... 43

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Turtle Conservation and Education Center.... 45

5.2 Sistem Pengelolaan Obyek Wisata TCEC Pulau Serangan ... 45

5.3 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Persepsi Responden Wisata TCEC... 47

(15)

5.3.1.1 Jenis Kelamin ... 47

5.3.1.2 Umur... 49

5.3.1.3 Status ... 50

5.3.1.4 Tingkat Pendidikan ... 51

5.3.1.5 Tingkat Pendapatan ... 53

5.3.1.6 Jumlah Tanggungan ... 54

5.3.1.7 Domisili ... 55

5.3.2 Karakteristik Responden Wisatawan dalam Berwisata ... 57

5.3.3 Persepsi Responden Wisatawan Terhadap Obyek Wisata ... 59

6 KAJIAN EKONOMI PELESTARIAN PENYU 6.1 Nilai Ekonomi Penangkaran Penyu TCEC, Pulau Serangan ... 61

6.2 Analisis Nilai Willingness To Pay dengan Pendekatan Contingent Valuation Method ... 63

6.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden ... 70

6.3.1 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara ... 70

6.3.2 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara ... 73

6.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan ... 75

6.4.1 Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara ... 75

6.4.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara ... 77

6.5 Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan ... 77

6.5.1 Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Nusantara ... 77

6.5.2 Faktor-faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata terhadap Nilai WTP Responden Wisatawan Mancanegara ... 78

(16)

6.6.1 Arus Penerimaan (Inflow) dan Arus Pengeluaran

(Outflow) 2008-2013... 79

6.6.2 Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun 2008-2013... 81

6.7 Pengembangan TCEC Tahun 2014-2023 ... 82

6.7.1 Arus Penerimaan (Inflow) dan Arus Pengeluaran (Outflow) 2014-2023... 82

6.7.2 Analisis Kelayakan Finansial 2014-2023... 83

7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 85

7.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali

Tahun 2006-2009 ... 2

2. Kedatangan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali Tahun 2006-2009 ... 3

3. Karakteristik Perjalanan Wisatawan ... 16

4. Karakteristik Sosio-Demografis Wisatawan ... 17

5. Penelitian Terdahulu ... 28

6. Daftar Kebutuhan Data, Jenis Data, dan Sumbernya ... 34

7. Contoh Tabel Data Variabel Travel Cost Method ... 36

8. Karakteristik Responden Wisatawan Nusantara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 ... 57

9. Karakteristik Responden Wisatawan Manacanegara dalam Berwisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 ... 58

10.Persepsi Responden Wisatawan Nusantara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 ... 59

11.Persepsi Responden Wisatawan Mancanegara Terhadap Obyek Wisata di Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan Pada Tahun 2013 ... 60

12.Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan (Wisatawan Nusantara) ... 62

13.Perhitungan Nilai Ekonomi Turtle Conservation and Education Center Pulau Serangan (Wisatawan Mancanegara) ... 62

(18)

15.Distribusi Nilai Rata-rata WTP Responden Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center,

Pulau Serangan Pada Tahun 2013... 65

16.Total WTP Wisatawan Nusantara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan ... 67

17.Total WTP Wisatawan Mancanegara Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan ... 68

18.Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Nusantara ... 71

19.Hasil Regresi Berganda WTP Responden Wisatawan Mancanegara .. 73

20.Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun 2008–2013 ... 80

21.Hasil Analisis Kelayakan Finansial TCEC Tahun 2008-2013 ... 81

22.Total Inflow dan Outflow TCEC Tahun 2014-2023... 83

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitiaan ... 32 2. Sebaran Responden Wisatwan Nusantara Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 48 3. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan

Jenis Kelamin ... 48 4. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Umur ... 49 5. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Umur .. 50 6. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Status ... 50 7. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan Status .. 51 8. Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan

Tingkat Pendidikan ... 52 9. Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan

Tingkat Pendidikan ... 52 10.Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan

Tingkat Pendapatan ... 53 11.Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan

Tingkat Pendapatan ... 54 12.Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan

Jumlah Tanggungan ... 54 13.Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan

Jumlah Tanggungan ... 55 14.Sebaran Responden Wisatawan Nusantara Berdasarkan Domisili .. 56 15.Sebaran Responden Wisatawan Mancanegara Berdasarkan

Domisili ... 56 16.Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Nusantara

Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan

Pada Tahun 2013 ... 66 17.Diagram Kurva WTP Responden Wisatawan Mancanegara

Turtle Conservation and Education Center, Pulau Serangan

(20)

18.Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara ke TCEC

Pada Tahun 2012 ... 68 19.Kurva Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke TCEC

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lokasi Penelitian ... 93

2. Kuesioner Key Person Ekowisata Pelestarian Penyu ... 94

3. Kuesioner Responden Wisatawan ... 97

4. Hasil Analisis Regresi FK (Frekuensi Kunjungan) vs TBP (Total Biaya Perjalanan) Wisawawan Nusantara ... 100

5. Biaya Perjalanan Individu Wisatawan Nusantara ke TCEC ... 101

6. Frekuensi Kunjungan Responden Wisatawan Nusantara Satu Tahun Terakhir ... 102

7. Hasil Analisis Regresi FK (Frekuensi Kunjungan) vs TBP (Total Biaya Perjalanan) Wisawawan Mancanegara ... 103

8. Biaya Perjalanan Individu Wisatawan Mancanegara ke TCEC ... 104

9. Frekuensi Kunjungan Responden Wisatawan Mancanegara Satu Tahun Terakhir ... 105

10.Hasil Regresi WTP Wisatawan Nusantara ... 106

11.Residual Plot Wisatawan Nusantara ... 107

12.Uji Kolmogorov Smirnov Wiasatawan Nusantara ... 108

13.Uji Glesjer Wisatawan Nusantara ... 109

14.Hasil Regresi WTP Wisatawan Mancanegara ... 110

15.Residual Plot Wisatawan Mancanegara ... 111

16.Uji Kolmogorov Smirnov Wiasatawan Mancanegara ... 112

17.Uji Glesjer Wisatawan Mancanegara ... 113

18.Cash flow Turtle Conservation and Education Center Tahun 2008-2013 ... 114

(22)
(23)

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumberdaya yang dapat pulih maupun sumberdaya yang tidak dapat pulih. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut, karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat beragam. Selama ini potensi bahari Indonesia yang telah banyak dimanfaatkan sebagai kawasan wisata bahari dan dikenal luas baik dalam maupun luar negeri adalah Pulau Bali. Wilayah Pulau Bali sangat terkenal dengan keindahan laut dan kekayaan bahari yang mengagumkan, sehingga menjadi daerah tujuan wisatawan nusantara dan mancanegara.

Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Kegiatan pariwisata bahari terkonsentrasi antara lain di kawasan perairan Sunda Kecil (Bali, Lombok dan sekitarnya), Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Sebagai contoh, untuk kawasan wisata surfing, lokasi seperti Nias, Pulau Weh, Pulau Asu, Pantai Sorake di Sumatera, Pulau

Panaitan, Pulau Deli di Jawa, Madewi, Balian, Canggu di Bali, dan Teluk Ekas, serta Labuhan Haji di Nusa Tenggara. Selain itu beberapa tempat di Sulawesi dan Papua sangat baik dikembangkan menjadi obyek wisata bahari. Lokasi diving (penyelaman bawah laut), berada di beberapa daerah seperti Raja Ampat di Papua, Bunaken di Manado serta Wakatobi di Sulawesi Selatan merupakan beberapa contoh lokasi wisata bahari yang terkenal dengan lokasi penyelaman terbaik di dunia.

(24)

masyarakatnya. Bali merupakan salah satu wisata terbaik yang dimiliki Indonesia. Berbagai macam obyek wisata yang terdapat di Bali mampu menarik perhatian wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara yang menyebabkan peningkatan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara dari tahun ke tahun. Secara rinci perkembangan wisatawan nusantara adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Bali Tahun 2008 2011

No Bulan Tahun

2008 2009 2010 2011

1. Januari 225.955 264.915 349.575 280.588 2. Februari 190.792 204.419 238.789 340.508

3. Maret 221.181 225.203 202.995 358.313

4. April 206.631 247.100 396.898 385.228

5. Mei 226.339 289.635 421.369 463.452

6. Juni 256.448 304.213 455.456 568.264

7. Juli 329.362 340.610 489.307 573.103

8. Agustus 259.511 280.972 377.570 440.751 9. September 205.304 352.257 594.662 609.633 10. Oktober 306.112 330.337 391.722 526.302 11. November 203.416 285.526 361.395 574.016 12 Desember 267.742 365.948 366.605 554.963 Total 2.898.794 3.521.135 4.646.343 5.675.121 Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2012)

(25)

Tabel 2. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali Tahun 2008-2011

No Bulan Tahun

2008 2009 2010 2011

1. Januari 139.872 164.643 168.923 202.660 2. Februari 155.153 139.370 187.781 201.320

3. Maret 153.929 161.169 194.482 201.833

4. April 147.515 179.879 178.549 221.014

5. Mei 159.877 181.983 196.719 204.489

6. Juni 170.994 190.167 219.574 240.154

7. Juli 183.122 224.636 247.778 278.041

8. Agustus 187.584 222.441 236.080 250.835 9. September 181.033 208.185 229.573 251.737 10. Oktober 180.944 210.935 223.643 241.232 11. November 142.014 163.531 194.152 216.384 12 Desember 166.855 182.556 215.804 246.880 Total 1.968.892 2.229.945 2.493.058 2.756.579 Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2012)

Berdasarkan Tabel 2, kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali setiap

bulan menunjukkan peningkatan sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Peningkatan total jumlah pengunjung tahun 2008 mencapai 1.968.892 orang dan tahun 2011 mencapai 2.756.579 orang. Tabel di atas mengindikasikan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali meningkat pertahunnya, khususnya pada bulan Juli sampai dengan Oktober. Hal tersebut karena sebagian negara subtropis yang terletak di utara mengalami musim panas, sehingga mencari suhu yang lebih bersahabat ke negara tropis seperti Indonesia. Selanjutnya negara subtropis yang terletak di bagian selatan mengalami musim dingin sehingga wisatawan berkunjung untuk mencari suhu yang lebih hangat.

(26)

Akhmad, 1982; Salm dan Halim, 1984; Sumardja, 1991 dalam Siswomartono, 1997). Jenis yang keenam, penyu pipih (Natator depressus) berkembang biak di Australia, tetapi menghabiskan sebagian hidupnya di perairan Indonesia (Salm, 1984; Sumardja, 1991; Kitchener, 1996 dalam Siswomartono, 1997). Menurut Nuitja (1997), penyu lekang kempi (Lepidochelys kempii) tidak ditemukan di Indonesia karena hanya terdapat di samudra Atlantik terutama di sekitar pantai Meksiko dan Amerika Serikat.

Di seluruh Indonesia, penyu-penyu dari semua tingkatan umur dieksploitasi untuk dimanfaatkan tempurung (karapas), daging, kulit dan telurnya. Jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) adalah jenis yang paling memprihatinkan. Pemotongan yang begitu banyak dari penyu remaja (sub-adult) dan dewasa (adult), membuat populasinya semakin terancam. Hal ini juga diperburuk oleh pengambilan telur yang terorganisasi (Nuitja, 1997). Greenpeace (1989) dalam Nuitja (1997) dalam laporannya menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu mengambil tindakan tegas dari para pelanggar, karena dikhawatirkan dalam waktu dekat seluruh populasi penyu di kawasan Indonesia akan punah mengingat pertambahan populasi secara alamiah dan semi alamiah dapat dikatakan mendekati angka nol.

Pemanfaatan berbagai jenis penyu sudah sejak lama berlangsung, yaitu

melalui perburuan liar dan pengambilan telur oleh kontraktor maupun oleh penduduk sekitarnya. Dewasa ini ancaman penyu telah meluas di berbagai daerah di Indonesia dan tidak memperhatikan unsur pelestariannya, bahkan terdapat tendensi perusakan tersebut telah menyentuh habitat peneluran dan tempat mencari makan. Pemotongan penyu yang dianggap sadis di berbagai lokasi seperti Bali, Ujung Pandang, Menado, dan Manokwari telah mengundang protes keras dari para pecinta penyu mancanegara, sehingga mereka mengkaitkan dengan ancaman boikot terhadap kepariwisataan Indonesia. Indonesia dituduh tidak konsekuen dan menyimpang dari ketentuan CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) yang telah ditanda tangani pada tahun 1978 (Nuitja, 1997).

(27)

dibutuhkan adanya pelestarian pelestarian penyu. Adanya pelestarian pelestarian penyu di Indonesia menjadi salah satu cara untuk melestarikan penyu dan sebagai pembuktian bahwa masyarakat Indonesia terutama Bali memperhatikan kelestarian penyu sekaligus sebagai tempat yang mempunyai potensi wisata. Pelestarian penyu di Bali salah satunya terdapat di Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali (Peta lokasi tercantum pada Lampiran 1). Agar pelestarian pelestarian penyu tersebut dapat terjaga maka diperlukan pengelolaan yang baik serta peran stakeholder dalam menjaga pelestarian tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang pengelolaan kawasan konservasi penyu yang memiliki nilai ekonomi dapat dikembangkan untuk menjaga kelestarian penyu secara berkelanjutan.

1.2Perumusan Masalah

Pengelolaan penyu sangat rumit karena berbagai sebab, diantaranya karena pertumbuhan yang lambat, lambatnya usia matang kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu (Limpus, 1997). Suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan baik adalah antara 24 oC – 33 oC. Suhu dalam pasir dapat menentukan jenis kelamin seekor tukik. Bila suhu kurang dari 29 oC maka kemungkinan besar yang akan menetas adalah penyu jantan, sebaliknya bila suhu lebih dari 29 oC maka yang akan menetas sebagian besar adalah tukik betina (Yusuf, 2000 dalam Segara, 2008).

Perburuan, pembunuhan dan pengambilan telur penyu yang dilakukan manusia, bila tidak dikurangi atau dihentikan, maka akan menyebabkan punahnya penyu dari Perairan Indonesia. Selain ancaman dari manusia, telur dan tukik juga sangat rentan terhadap ancaman yang bersifat alami, seperti adanya pemangsaan oleh hewan lain (Putra, 1997).

(28)

budaya dan agama. Kebijakan regional yang berkaitan dengan batasan legal penggunaan penyu telah dibuat oleh Gubernur Bali pada tahun 1990 dan hanya mengizinkan penyembelihan sebanyak 5.000 penyu hijau setiap tahunnya. Walaupun demikian, aturan ini tidak pernah terlaksana. Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam (SBKSDA) Bali melaporkan bahwa konsumsi tahunan penyu hijau di Bali adalah sekitar 20.000 ekor atau 4 kali jumlah yang diizinkan per tahunnya. Menurut Strategi Nasional Konservasi Penyu tahun 1990, jumlah penyu yang dikonsumsi di Bali seharusnya kurang dari 1.000 ekor per tahun (Putra, 1997).

Menurut Putra (1997), kebijakan tingkat provinsi mengatur mengenai pemanfaatan penyu yang dikembangkan dalam bentuk kuota serta sistem pembatasan ukuran. Kuota akan membatasi jumlah penyu yang digunakan di Bali tidak melebihi 3.000 ekor per tahun, dan direncanakan untuk dikurangi setiap tahunnya. Sementara itu, kebijakan pembatasan ukuran penyu hijau yang dijual di Bali menyatakan bahwa penyu dengan ukuran dibawah 60 cm untuk panjang cekung cangkang serta penyu dengan ukuran di atas 80 cm tidak diperkenankan untuk dibunuh atau dijual di Bali (Keputusan Kabupaten Badung No. 672/1996). Penyu hidup yang tidak sesuai dengan aturan kemudian akan disita dan dipelihara oleh kelompok konservasi Pulau Serangan di bawah bimbingan Sub Balai KSDA

dan WWF kantor Bali, dan setelah dicatat, mereka kemudian dilepaskan ke laut (Putra, 1997).

Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Pulau Serangan, Bali, merupakan salah satu tempat pelestarian penyu. Tempat pelestarian penyu tersebut mempunyai potensi wisata yang dapat dikembangkan, sehingga perlu mengetahui sistem pengelolaan pelestarian penyu, karakteristik wisatawan di TCEC serta kajian ekonomi wisata TCEC dalam rangka pelestraian penyu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pemasalahan penelitian, yaitu : 1. Bagaimana sistem pelestarian sumberdaya penyu di TCEC?

2. Bagaimana karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC? 3. Apa sajakah manfaat ekonomi dari kegiatan pelestarian penyu di TCEC? 4. Bagaimana pengembangan aktivitas obyek wisata pelesatarian penyu di

(29)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji sistem pengelolaan pelestarian sumberdaya penyu di TCEC. 2. Mengidentifikasi karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di

TCEC.

3. Mengkaji nilai-nilai ekonomi wisata pelestarian penyu di TCEC.

4. Mengkaji pengembangan aktivitas obyek wisata pelestarian penyu di TCEC.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Wilayah penelitian ini adalah Turtle Conservation and Education Center (TCEC), Jalan Tukad Punggawa, Kelurahan Serangan, Kota Denpasar, Bali. Penelitian menggunakan data primer untuk menjawab tujuan penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah pengelola TCEC dan wisatawan di TCEC. Penelitian ini difokuskan pada berbagai macam alat analisis ekonomi untuk pengembangan TCEC kedepannya. Sistem pengelolaan TCEC dan karakteristik wisatawan TCEC merupakan gambaran umum tentang TCEC dengan menggunakan analisis deskriptif dimana selanjutnya dapat dilihat peluang

(30)

Cost Ratio (Net B/C), dan Internal Rate of Return (IRR) dilakukan agar TCEC dapat terjaga keberadaannya.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, penelitian merupakan bagian dari aplikasi ilmu pengetahuan

yang diperoleh selama masa perkuliahan dan hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat secara akademis maupun praktis sebagai sarana memperoleh pengetahuan dan pengalaman penelitian serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai kajian ekonomi pelestarian penyu.

2. Bagi pemerintah dan pengelola diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan tempat wisata di Bali, khususnya daerah konservasi penyu di Pulau Serangan, Bali.

3. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian selanjutnya.

(31)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Penyu

Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh disepanjang kawasan Lautan Hindia, Lautan Pasifik dan Perairan Laut Kawasan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu di antaranya adalah pergeseran fungsi lahan yang mengakibatkan kerusakan habitat pantai dan sekitarnya, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator. Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) karena untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) memerlukan waktu cukup lama yakni sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan Appendix I CITES

yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Konservasi penyu secara internasional mulai bergaung saat The First World Conference on the Conservation of Turtles di Washington DC (Nuitja, 2006).

Menurut Jatu (2007) dalam Erwanto (2008), taksonomi penyu digolongkan dalam:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata

Class : Sauropsida Ordo : Testudines

(32)

Super family : Chelonioidea

Family : Cheloniidae dan Dermochelyidae Species :

1. Chelonia mydas (Penyu Hijau)

2. Eretmochelys imbricata (Penyu Sisik) 3. Lepidochelys kempi (Penyu Lekang

Kempii)

4. Lepidochelys olivacea (Penyu Lekang)

5. Natator depressus (Penyu Pipih) 6. Caretta caretta (Penyu Tempayan) 7. Dermochelys coriacea (Penyu

Belimbing)

Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan hewan lainnya. Tubuh penyu terbungkus oleh tempurung atau karapas keras yang berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. Karapas tersebut mempunyai fungsi sebagai pelindung alami dari predator. Penutup pada bagian dada dan perut disebut dengan plastron. Ciri khas penyu secara morfologis terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang menghubungkan antara karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper. Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang berfungsi sebagai

alat kemudi. Penyu mempunyai alat pencernaan luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan (Rifqi, 2008 dalam Erwanto, 2008).

2.1.1 Jenis-Jenis Penyu

1. Penyu Hijau (Chelonia mydas)

(33)

Daging dari jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia. Penyu hijau dewasa hidup di hamparan padang rumput dan ganggang. Berat penyu hijau mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh dari ukuran tersebut. Penyu hijau di barat daya Kepulauan Hawai kadang kala ditemukan pada siang hari untuk berjemur. Anak-anak penyu hijau (tukik), setelah menetas akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makan. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut, dan alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut (Ikan Mania, 2004 dalam Erwanto, 2008).

2. Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)

Penyu sisik atau dikenal sebagai hawksbill turtle karena paruhnya tajam dan meruncing dengan rahang yang agak besar mirip paruh burung elang. Demikian pula karena sisiknya yang tumpang tindih atau over lapping (imbricata) seperti sisik ikan maka dinamai penyu sisik. Ciri-ciri umum adalah warna

karapasnya bervariasi kuning, hitam dan coklat bersih. Plastron berwarna kekuning-kuningan. Terdapat dua pasang sisik prefrontal. Sisiknya (disebut bekko

dalam Bahasa Jepang) banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri kerajinan tangan terutama di Jepang, untuk membuat pin, sisir, bingkai kacamata, dan lainnya. Penyu sisik selalu memilih kawasan pantai yang gelap, sunyi dan berpasir untuk bertelur. Paruh penyu sisik agak runcing sehingga memungkinkan untuk menjangkau makanan yang berada di celah-celah karang seperti sponge dan anemon. (Turtle-Edu, 2012).

3. Penyu Lekang Kempi (Lepidochelys kempi)

(34)

kerang remis. Penyu jenis ini adalah penyu yang tidak ditemukan di Indonesia (Turtle-Edu, 2012).

4. Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

Penyu lekang dikenal dengan nama Oliver Ridley Turtle dalam Bahasa Inggris. Penampilan penyu lekang serupa dengan penyu hijau tetapi kepalanya secara komparatif lebih besar dan bentuk karapasnya lebih langsing dan bersudut. Tubuhnya berwarna hijau pudar, mempunyai lima buah atau lebih sisik lateral di sisi sampingnya dan merupakan penyu terkecil diantara semua jenis penyu yang ada saat ini. Mereka memakan kepiting, kerang, udang, dan kerang remis (Turtle-Edu, 2012).

5. Penyu Pipih (Natator depressus)

Penyu pipih dalam Bahasa Inggris bernama Flatback Turtle. Pemberian nama Flatback Turtle karena sisik marginal sangat rata dan sedikit melengkung di sisi luarnya. Penyu pipih termasuk dalam karnivora sekaligus herbivora. Mereka memakan timun laut, ubur-ubur, kerang-kerangan, udang dan invertebrata lainnya (Turtle-Edu, 2012).

6. Penyu Tempayan (Caretta caretta)

Penyu tempayan dalam Bahasa Inggris bernama Loggerhead Turtle. Warna karapasnya coklat kemerahan, kepalanya besar dengan paruh yang bertumpuk adalah salah satu ciri penyu tempayan. Plastron berwarna coklat muda

hingga kuning. Penyu tempayan termasuk jenis karnivora yang umumnya memakan kerang-kerangan yang hidup di dasar laut seperti kerang remis dan invertebrata lainnya. Penyu tempayan memiliki rahang yang sangat kuat untuk menghancurkan kulit kerang (Turtle-Edu, 2012). Penyu tempayan dapat bertelur setelah berumur 20-30 tahun dan mempunyai masa penetasan telur selama 60 hari (Wikipedia, 2007).

7. Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea)

(35)

betina dewasa yang tersisa. Hal ini menempatkan penyu belimbing pasifik menjadi penyu laut yang paling terancam populasinya di dunia. Di kawasan Pasifik, seperti Indonesia, populasinya hanya tersisa sedikit dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13.000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, pada tanggal 28 Agustus 2006, Indonesia, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui MoU Tri National Partnership Agreement (WWF, 2013).

Penyu belimbing memiliki karapas berwarna gelap dengan bintik putih. Ukuran penyu belimbing dapat mencapai 180 cm dengan berat mencapai 500 kg. Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan kawasan sub kutub dan biasa bertelur di pantai-pantai kawasan tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan terbuka dan hanya muncul ke daratan pada saat bertelur. Penyu belimbing betina dapat bertelur empat sampai lima kali per musim, setiap kalinya sebanyak 60 sampai 129 telur. Penyu belimbing bertelur setiap dua atau tiga tahun dengan masa inkubasi sekitar 60 hari (WWF, 2013).

2.1.2 Regulasi Perlindungan Penyu

Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) adalah jenis penyu yang pertama kalinya dilindungi melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978, kemudian disusul oleh penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta) melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 716/Kpts/-10/1980. Tahun 1990 pemerintah RI kembali mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, didalamnya terdapat pasal-pasal penting tentang satwa dilindungi. Pada tahun 1992 pemerintah Indonesia melindungi penyu pipih (Natator depressus) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 882/Kpts/-II/1992, empat tahun kemudian melindungi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 771/Kpts/-II/1996.

(36)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Secara internasional semua jenis penyu juga dilindungi melalui konvensi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna) dimana penyu masuk dalam Appendix I CITES yang berarti perdagangan secara internasional adalah dilarang. Sampai saat ini, jumlah negara yang meratifikasi konvensi CITES ada 174 negara, yang umum disebut parties. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini semenjak 1978. Secara regional juga dilakukan sebuah MoU yang dikenal dengan Indoan Ocean-South East Asian Marine Turtle Memorandum of Understanding (IOSEA MoU). IOSEA MoU adalah sebuah kesepakatan antar negara dengan tujuan untuk melakukan perlindungan, pengawetan, meningkatkan dan menyelamatkan habitat penyu di kawasan samudera Hindia dan Asia Tenggara, bekerjasama dalam kemitraan dengan berbagai pelaku dan organisasi.

2.2 Wisata, Pariwisata dan Ekowisata

Menurut Undang-Undang Pemerintah Nomor 10 Tahun 2009, wisata adalah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari daya tarik wisata yang dikunjunginya dengan jangka waktu yang sementara.

Pariwisata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan dan turisme. Pariwisata terbagi ke dalam pariwisata lokal yaitu kegiatan pariwisata yang ruang lingkupnya terbatas tempat tertentu saja dan pariwisata massa yaitu kegiatan kepariwisataan yang meliputi jumlah orang yang banyak dari berbagai tingkat sosial ekonomi.

(37)

beratkan pada perjalanan, sehingga pariwisata menimbulkan berbagai kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan sarana transportasi, akomodasi, makanan dan minuman, hiburan dan sebagainya. Sarana inilah yang kemudian dikenal sebagai industri pariwisata karena dapat menghasilkan produk tertentu berupa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan penginapan, angkutan wisata, restoran dan perusahaan hiburan serta perusahaan souvenir.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Berbeda dengan wisata konvensional, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata (Damanik dan Weber, 2006). Deklasrasi Quebec secara spesifik menyebutkan bahwa ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang membedakannya dengan bentuk wisata lain. Hal itu terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya, melibatkan masyarakat lokal dalam perncanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta dilakukan dalam bentuk wisata independen atau di organisasi dalam bentuk kelompok kecil (UNEP, 2000 dalam Heer, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006).

2.3 Wisatawan

Wisatawan didefinisikan sebagai orang yang melakukan perjalanan lebih dari 24 jam ke tempat di luar tempat tinggalnya untuk waktu kurang dari 12 bulan berturut-turut, untuk maksud selain mencari nafkah tetap (McIntosh et al, 1995). Gambaran mengenai wisatawan biasanya dibedakan berdasarkan karakteristik perjalanannya (trip descriptor) dan karakteristik wisatawannya (tourist descriptor) (Seaton dan Bennet, 1996).

(38)
[image:38.595.75.494.120.801.2]

perjalanan, besar pengeluaran dan lain-lain. Beberapa pengelompokan wisatawan berdasarkan karakteristik perjalanannya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Karakteristik Perjalanan Wisatawan

Karakteristik Pembagian

Lama waktu perjalanan 1-3 hari

4-7 hari 8-28 hari 29-91 hari 92-365 hari Jarak yang ditempuh Dalam kota (lokal)

Luar kota (satu provinsi) Luar kota (lain provinsi) Luar negeri

Waktu melakukan perjalanan Hari biasa Akhir pekan Hari libur/raya Liburan sekolah

Akomodasi yang digunakan Komersial (hotel bintang/non bintang) Non komersial (rumah teman/saudara)

Transportasi Udara

Darat (kendaraan pribadi/umum/sewa) Kereta api

Laut (cruise/feri)

Teman perjalanan

Sendiri Keluarga Teman sekolah Teman kantor Pengorganisasian perjalanan Sendiri

Keluarga Sekolah Kantor

Biro perjalanan wisata Sumber: Smith (1995), P2Par (2001) dalam Koswara (2002)

Tourist Descriptor; memfokuskan pada wisatawannya, biasanya digambarkan dengan “Who wants what, why, when, where and how much?”, untuk menjelaskan hal-hal tersebut digunakan beberapa karakteristik diantaranya adalah karakteristik sosio-demografis. Karakteristik sosio-demografis mencoba menjawab pertanyaan “who wants what”. Pembagian berdasarkan karakteristik ini paling sering dilakukan untuk kepentingan analisis pariwisata, perencanaan dan pemasaran, karena sangat jelas definisinya dan relatif mudah pembagiannya (Kotler, 1996 dalam Koswara, 2002). Karakteristik sosio-demografis diantaranya

(39)
[image:39.595.114.512.139.550.2]

pengklasifikasian lebih lanjut dari karakteristik sosio-demografis dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Karakteristik Sosio-Demografis Wisatawan

Karakteristik Pembagian

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

Umur 0-14 tahun

14-24 tahun 25-44 tahun 45-64 tahun >65 tahun

Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD

SD SMP SMA Diploma Sarjana Pascasarjana

Kegiatan Bekerja

Tidak bekerja

Status perkawinan Belum menikah

Menikah Cerai Jumlah anggota keluarga dan komposisinya 1 orang

Beberapa orang tanpa anak di bawah 17 tahun

Beberapa orang, dengan (beberapa anak) di bawah 17 tahun

Tipe keluarga Belum menikah

Menikah, belum punya anak Menikah, anak usia <6 tahun Menikah, anak usia 6-17 tahun Menikah, anak usia 18-35 tahun

Menikah, anak usia >25 tahun, masih tinggal dengan orang tua

Menikah, anak usia >25 tahun, tidak tinggal dengan orang tua (empty nest)

Sumber: Smith (1995), P2Par (2001) dalam Koswara (2002)

Karakteristik sosio-demografis juga berkaitan satu dengan yang lain secara tidak langsung. Misalnya tingkat pendidikan seseorang dengan pekerjaan dan tingkat pendapatannya, serta usia dengan status perkawinan dan ukuran keluarga. Pembagian wisatawan berdasarkan karakteristik sosio-demografis ini paling nyata

(40)

digunakan dalam mengelompokkan wisatawan adalah karakteristik geografis, psikografis dan tingkah laku (behavior) (Smith, 1995 dalam Koswara, 2002).

Menurut Koswara (2002), karakteristik geografis membagi wisatawan berdasarkan lokasi tempat tinggalnya, biasanya dibedakan menjadi desa-kota, provinsi, maupun negara asalnya. Pembagian ini lebih lanjut dapat pula dikelompokkan berdasarkan ukuran (size) kota tempat tinggal (kota kecil, menengah, besar/metropolitan), kepadatan penduduk di kota tersebut dan lain-lain.

Sementara itu karakteristik psikografis membagi wisatawan ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kelas sosial, life-style dan karakteristik personal. Wisatawan dalam kelompok demografis yang sama mungkin memiliki profil psikografis yang sangat berbeda. Beragamnya karakteristik dan latar belakang wisatawan menyebabkan beragamnya keinginan dan kebutuhan mereka akan suatu produk wisata. Pengelompokan wisatawan dapat memberi informasi mengenai alasan setiap kelompok mengunjungi obyek wisata yang berbeda, berapa besar ukuran kelompok tersebut, pola pengeluaran setiap kelompok, kesetiaan terhadap suatu produk wisata tertentu, sensitifitas terhadap perubahan harga produk wisata, serta respon terhadap berbagai bentuk iklan produk wisata. Lebih lanjut, pengetahuan mengenai wisatawan sangat diperlukan dalam

merencanakan produk wisata yang sesuai dengan keinginan kelompok pasar tertentu, termasuk merencanakan strategi pemasaran yang tepat bagi kelompok pasar tersebut (Koswara, 2002).

2.4 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global adalah: jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap (Leimona, 2009).

(41)

mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki izin atau hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang. Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaat jasa lingkungan di luar jurisdiksi hukum Indonesia, harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (Leimona, 2009).

Menurut Leimona (2009) pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem PJL adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen sistem PJL adalah: (a) jasa lingkungan yang dapat diukur; (b) penyedia; (c) pemanfaat; (d) tata cara pembayaran.

2.5 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Pengertian nilai atau value menurut Fauzi (2004), khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu.

Karena itu diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan, dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi sumber daya alam.

Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar Willingness To Pay (WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini,

nilai ekosistem bisa ”diterjemahkan” kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur

(42)

2.5.1 Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)

Konsep dasar dari metode travel cost adalah waktu dan pengeluaran biaya perjalanan (travel cost expenses) yang harus dibayarkan oleh para pengunjung untuk mengunjungi tempat wisata tersebut yang merupakan harga untuk akses ke tempat wisata (Garrod dan Willis, 1999). Itulah yang disebut dengan Willingness To Pay (WTP) yang diukur berdasarkan perbedaan biaya perjalanan.

Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan melalui metode travel cost menurut Garrod dan Willis (1999), yaitu:

1. Pendekatan Zona Biaya Perjalanan (A simple zonal travel cost approach), Menggunakan data sekunder dan pengumpulan data dari para pengunjung menurut daerah asal.

2. Pendekatan Biaya Perjalanan Individu (An individual travel cost approach), Menggunakan survei data dari para pengunjung secara individu.

Penelitian dengan menggunakan metode biaya perjalanan individu (Individual Travel Cost Method) biasanya dilaksanakan melalui survei kuesioner pengunjung mengenai biaya perjalanan yang harus dikeluarkan ke lokasi wisata, kunjungan ke lokasi wisata yang lain (substitute sites), dan faktor-faktor sosial ekonomi (Suparmoko, 1997). Data tersebut kemudian digunakan untuk

menurunkan kurva permintaan dimana surplus konsumen dihitung (Salma dan Susilowati, 2004).

(43)

2.5.2 Metode Contingent Valuation Method (CVM)

Metode Valuasi Kontingen (Contingent Valuation Method, CVM) adalah cara perhitungan secara langsung, dalam hal ini langsung menanyakan kesediaan untuk membayar (Willingness To Pay, WTP) kepada masyarakat dengan titik berat preferensi individu menilai benda publik yang penekanannya pada standar nilai uang. Metode ini memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya. Nilai ekonomi suatu benda publik dapat diukur melalui konsep WTP. Kuesioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu: 1) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan dan alat pembayaran; 2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti; 3) pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Sebelum menyusun kuesioner, terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan dalam rangka membangun suatu pasar hipotesis benda publik yang menjadi obyek pengamatan. Selanjutnya, dilakukan pembuktian pasar hipotesis menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli (Hanley dan Spash, 1993).

2.5.2.1 Tahap-tahap Studi CVM

Menurut Hanley dan Spash (1993), implementasi CVM dapat dipandang menjadi enam tahap pekerjaan, yaitu: 1) membangun pasar hipotesis; 2) menghasilkan nilai tawaran (bid); 3) menduga nilai rata-rata WTP; 4) menduga kurva nilai tawaran (bid curve); 5) agregasi data; dan 6) evaluasi penggunaan CVM. Dari enam tahapan tersebut, hanya tiga tahap yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu membangun pasar hipotesis, memunculkan nilai tawaran, dan menduga nilai rata-rata WTP.

Tahap satu : Pembangunan Pasar Hipotesis

(44)

harus menguraikan apakah semua konsumen akan membayar sejumlah harga tertentu jika perubahan lingkungan dilakukan, serta bagaimana uang bayaran tersebut dikelola. Selain itu, kuesioner juga harus menjelaskan bagaimana keputusan tentang dilanjutkan atau tidaknya rencana kegiatan tersebut.

Tahap dua : Penentuan nilai tawaran (bid)

Begitu kuesioner selesai dibuat, maka kegiatan survei dapat dilakukan dengan wawancara secara langsung dengan responden, melalui telepon, atau melalui e-mail. Dalam kuesioner, setiap individu ditanya mengenai nilai uang yang bersedia dibayarkan (nilai WTP agar peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan atau nilai WTP untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas lingkungan). Untuk mendapatkan nilai tersebut dapat dicapai melalui cara-cara

sebagai berikut (Hanley dan Spash, 1993):

a. “Bidding game” : Nilai tawaran mulai dari nilai terkecil diberikan kepada responden hingga mencapai nilai WTP maksimum yang bersedia dibayarkan responden;

b. “Closed-ended referendum” : Sebuah nilai tawaran tunggal diberikan kepada responden, baik untuk responden yang setuju ataupun yang tidak setuju dengan nilai tersebut (jawaban ya atau tidak);

c. “Payment Card” (kartu pembayaran): Suatu kisaran nilai disajikan pada sebuah kartu yang mungkin mengindikasikan tipe pengeluaran responden terhadap jasa publik yang diberikan;

d. “Open-ended question” (pertanyaan terbuka): Setiap responden ditanya maksimum WTP yang bersedia dibayarkan dengan tidak adanya nilai tawaran yang diberikan. Cara ini membuat responden sering mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, khususnya jika tidak memiliki pengalaman mengenai nilai perdagangan komoditas yang dipertanyakan.

Tahap tiga : Perhitungan nilai rata-rata WTP

(45)

lebih rendah dibandingkan dengan nilai tengah. Pada tahap ini nilai tawaran yang tidak lazim (protest bid) diabaikan dari perhitungan.

2.6 Uji Statistik dan Ekonometrik 2.6.1 Uji Normalitas

Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi terdapat residual yang memiliki distribusi normal atau tidak. Untuk mengetahui bahwa residual terdistribusi secara normal atau tidak, dengan menggunakan analisis grafik dan uji statistik.

2.6.2 Uji Statistik F

Untuk menguji signifikasi hubungan variabel independen dengan variabel dependen secara simultan, maka digunakan uji F. Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan adalah Ho diterima jika Fhitung≤ Ftabel dan Ho ditolak jika Fhitung >

Ftabel. Apabila Ho diterima, maka hal ini menunjukkan bahwa variabel independen

tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel dependen dan sabaliknya (Sugiyono, 2008).

2.6.3 Uji Statistik t

Hubungan variabel independen secara parsial dengan variabel dependen akan diuji dengan uji t dengan menggunakan ttabeldengan thitung. Setelah dilakukan uji t maka kriteria yang ditetapkan yaitu dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel yang diperoleh berdasarkan tingkat signifikasi (α) tertentu dengan derajat kebebasan (df) = n-k (Sugiyono, 2008).

2.6.4 Uji Multikolinearitas

(46)

2.6.5 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variabel dari residual satu pengamatan ke pengaatan lainnya. Cara untuk mengeteahui ada tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik plot. Apabila terdapat pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas (Ghozali, 2006).

2.6.6 Uji Autokolerasi

Menurut Juanda (2009), salah satu asumsi dari model regresi linear yang baik adalah dengan tidak adanya autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan. Jika antar sisaan tidak bebas, maka dapat dikatakan ada masalah autokorelasi. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, dapat menggunakan metode grafik atau dengan menggunakan uji Durbin-Watson.

2.7 Analisis Kelayakan

Evaluasi proyek dapat menggunakan dua jenis analisis, yaitu analisis

ekonomi dan analisis finansial. Analisis ekonomi memandang proyek dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Sementara itu, analisis finansial memandang proyek dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam

proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek (Kadariah et. al., 1978 dalam Hartanto, 2007). Gittinger (1986) menjelaskan bahwa analisis ekonomi atau analisis sosial adalah analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari segi pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek, sedangkan analisis finansial adalah analisis yang digunakan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari segi individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek.

(47)

Selain itu, Gittinger (1986) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak layak akan diukur melalui kriteria investasi yaitu Net Present Value, Net Benefit-Cost Ratio, Internal Rate of Return, dan Payback Period. 2.7.1 Net Present Value

Net Present Value (NPV) atau manfaat sekarang bersih adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang timbul oleh penanaman investasi (Gittinger, 1986). Dengan kata lain, NPV adalah selisih antara total present value dari manfaat dengan total present value biaya, atau jumlah present value dari manfaat bersih selama umur proyek/bisnis. Jika NPV bernilai positif, maka proyek tersebut menguntungkan, dan apabila NPV bernillai negatif, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.

2.7.2 Net Benefit-Cost Ratio

Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) atau rasio manfaat biaya bersih adalah nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Dengan kata lain Net B/C adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai positif dengan manfat bersih yang bernilai negatif. Net B/C menunjukkan besarnya tongkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya sebesar satu rupiah (Gittinger, 1986).

2.7.3 Internal Rate of Return

(48)

2.8 Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang dijadikan referensi antara lain penelitian yang dilakukan oleh Amanda (2009), tentang kesediaan membayar pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan, hasil penelitian oleh Firandari (2009) mengenai Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan dan penelitian yang dilakukan oleh Giffari (2008) mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Studi Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur).

Berdasarkan hasil penelitian Amanda (2009) tentang kesediaan membayar pengunjung obyek wisata Danau Situ Gede dalam upaya pelestarian lingkungan, diketahui bahwa 81% responden yang merupakan pengunjung Danau Situgede bersedia untuk membayar dalam upaya pelestarian lingkungan. Melalui Pendekatan CVM diketahui nilai rata-rata WTP pengunjung Danau Situgede yaitu sebesar Rp 3.588,24 dengan nilai total WTP (TWTP) sebesar Rp 2.342.000,00. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor tingkat pendapatan, pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan danau, serta faktor biaya kunjungan.

Hasil penelitian dari Firandari (2009) mengenai Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan adalah adanya surplus konsumen pengunjung PSG-3 sebesar Rp 28.985,51 per kunjungan dan nilai manfaat/nilai ekonomi PSG-3 sebagai tempat wisata adalah sebesar Rp 3.373.130.755,00. Analisis Willingness to Pay (WTP) pengunjung terhadap harga tiket PSG-3 diperoleh hasil bahwa apabila terjadi kenaikan harga tiket, pengunjung masih ingin membayar harga tiket masuk PSG-3 sampai taraf harga Rp 8.577,00.

(49)

KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman kepunahan. Perencanaan perlindungan habitat pada kasus Kepulauan Derawan menghasilkan rancangan dan arahan pengelolaan KKL Kepulauan Derawan. Proses perencanaan secara partisipatif merupakan pendekatan secara bottom-up yang melibatkan seluruh stakeholder ditingkat lokal. Data dan informasi diperoleh secara langsung dari para pengguna sumberdaya alam mulai dari identifikasi target konservasi, penentuan prioritas konservasi hingga penyusunan strategi konservasi yang dapat diterima masyarakat.

(50)
[image:50.842.88.739.116.561.2]

Tabel 5. Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

1. Sylvia Amanda (2009)

Analisis

Willingness To Pay Pengunjung Obyek Wisata Danau Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi pengunjung Danau Situgede.

2. Mengidentifikasi persepsi pengunjung terhadap Danau Situgede.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan

pengunjung untuk

membayar (Willingness To Pay) dalam upaya pelestarian lingkungan Danau

Situgede.

4. Menilai besarnya nilai Willingness To Pay (WTP) dari pengunjung Danau

Situgede terhadap upaya pelestarian lingkungan Danau Situgede. 5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP dari pengunjung

Danau Situgede.

Menggunakan analisis deskriptif dan regresi logit dan regresi berganda untuk menentukan CVM yang nantinya digunakan untuk mengetahui besarnya WTP

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 81 persen responden yang

merupakan pengunjung Danau Situgede bersedia untuk membayar dalam upaya

pelestarian lingkungan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan

membayar pengunjung Danau Situgede adalah faktor tingkat usia, tingkat

pendidikan, dan pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan

kerusakan danau yang diketahui melalui analisis regresi logit. Melalui Pendekatan

CVM diketahui nilai rata-rata WTP pengunjung Danau Situgede yaitu sebesar

Rp 3.588,24 dengan nilai total WTP (TWTP) sebesar Rp 2.342.000,00. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor tingkat pendapatan,

pemahaman serta pengetahuan responden mengenai manfaat dan kerusakan

(51)

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil 2. Tri Firandari

(2009) Analisis Permintaan dan Nilai Ekonomi Wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan Metode Biaya Perjalanan

1.Menduga fungsi permintaan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan wisata Pulau Situ Gintung-3 dengan pendekatan Metode Biaya Perjalanan.

2. Mengestimasi besarnya surplus konsumen dan nilai ekonomi wisata Pulau

Situ Gintung-3.

3.Mengestimasi WTP pengunjung terhadap harga tiket tempat wisata Pulau

Situ Gintung-3.

4. Menganalisis dampak ekonomi dari tempat wisata Pulau Situ Gintung-3

bagi masyarakat sekitar.

Travel Cost Method, Contngent Valuation Method,

Willingness To Pay

Permintaan wisata PSG-3 dimodelkan dalam bentuk regresi poisson. Permintaan wisata PSG-3 (frekuensi kunjungan seseorang ke PSG-3) dipengaruhi secara negatif oleh faktor biaya perjalanan dan jarak tempuh serta dipengaruhi

secara positif oleh faktor lama mengetahui seseorang terhadap keberadaan PSG-3. Surplus konsumen

pengunjung PSG-3 sebesar Rp 28.985,51 per kunjungan dan nilai manfaat/nilai ekonomi PSG-3 sebagai tempat wisata adalah sebesar Rp3.373.130.755,00. Analisis Willingness to Pay (WTP) pengunjung terhadap harga tiket PSG-3 diperoleh hasil bahwa apabila terjadi kenaikan harga tiket, pengunjung masih mau membayar harga tiket masuk PSG-3 sampai taraf harga Rp 8.577,00. Kenaikan harga tiket ini dapat diterapkan seiring dengan tempat wisata PSG-3 dapat mempertahankan kelestarian lingkungannya dan pengelola PSG-3 melakukan pengembangan tempat wisata serta penambahan fasiltas wisata.

(52)

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil 3. Abidzar Al

Giffari (2008) Partisipasi Masyarakat dalam Program Konservasi Penyu (Studi Kasus di Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Provinsi Kalimantan Timur)

1. Melakukan analisis kebijakan perlindungan penyu hijau yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen PHKA. 2. Perumusan alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau pada Kasus Kepulauan Derawan untuk memperoleh:

-Rancangan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan; - Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Derawan.

Metode Categorial Regression, Metode Hierarchial Clustering, Metode Time Series, Analisis Multidimensional Scaling,

Hasil analisis kebijakan perlindungan penyu hijau sebagai pembelajaran tentang efektivitasperlindungan dan kinerja pengelolaan penyu hijau dalam perumusan alternatif kebijakanperlindungan. Alternatif kebijakan perlindungan penyu hijau yang diusulkan menggunakan konsep perlindungan habitat (konservasi in-situ).Perlindungan diarahkan pada habitat penting (the critical habitat) yakni habitat feeding dan breeding untuk dialokasikan sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL). Pengelolaan penyu hijau di dalam KKL akan memulihkan populasi dan mengurangi ancaman kepunahan. Perencanaan perlindungan habitat pada kasus Kepulauan

(53)

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Sumberdaya penyu di Indonesia sudah mulai terancam punah. Hal tersebut dikarenakan perburuan, pembunuhan dan perusakan habitat oleh manusia serta pembuhunan oleh hewan pemangsa. Pertumbuhan penyu yang lambat menyebabkan pengelolaan sumberdaya penyu menjadi agak rumit, maka dari itu diperlukan adanya pengelolaan pelestaraian penyu yang baik.

Salah satu tempat pelestarian penyu yang terdapat di Indonesia adalah TCEC di Pulau Serangan, Bali. Pulau Serangan merupakan tempat wisata yang memanfaatkan potensi alam sebagai daya tarik utamanya. Keindahan alamnya yang masih asri, kondisi udara yang masih segar, serta panorama yang mengelilinginya menjadi nilai tambah bagi tempat wisata ini. Obyek wisata merupakan barang publik dimana setiap orang dapat memilikinya. Obyek wisata mempunyai sifat non-excludibility dan non-rivalry, sehingga penilaian manfaat sebenarnya dari barang publik tersebut memerlukan pendekatan yang berbeda dari barang ekonomi biasa lainnya.

Kerangka pemikiran dalam proposal ini merupakan keterkaitan antara

tujuan penelitian dengan langkah yang akan dilakukan dalam pencapaian tujuan tersebut. Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengkaji sistem pengelolaan pelestarian penyu di Pulau Serangan. Hasil identifikasi tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Langkah kedua adalah

menganalisis karakteristik pemanfaat wisata pelestarian penyu di TCEC. Hasil identifikasi tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Langkah

ketiga adalah menganalisis nilai ekonomi dari kegiatan penyu di TCEC. Data yang did

Gambar

Tabel 2. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Mancanegara yang Langsung ke Bali Tahun 2008-2011
Tabel 3. Karakteristik Perjalanan Wisatawan
Tabel 4. Karakteristik Sosio-Demografis Wisatawan
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait