• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Polresta Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FUNGSI VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Polresta Bandar Lampung)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Polresta Bandar Lampung)

Oleh

MUHAMMAD AKBAR

Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakikatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut.hal ini dapat dilihat dengan adanya berbagai usaha yang dilakukan aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang sah. Pada tahap penyidikan khususnya penyidik dalam melakukan tugasnya harus meminta bantuan kepada ahlinya dalam bidang yang tidak dikuasai. Salah satu bantuan itu dapat diperoleh dari keterangan saksi dan keterangan ahli yaitu visum et repertum.permasalahan pada penelitian ini adalaha bagaimana fungsi visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana pemerkosaan dan untuk mengetahui upaya yang ditempuh penyidik apabila hasil visum et repertumtidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban pemerkosaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu kasus pemerkosaan. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, pendekatan yuridis normatif ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum dan azas-azas hukum tentang fungsi visum et repertum pada tahap penyidikan. Selanjutnya pendekatan empiris dilakukan melalui wawancara dengan informan penelitian. pendekatan ini bertujuan memperoleh data konkret mengenai masalah yang akan diteliti. Data yang diperoleh kemudian akan diseleksi, diklarifikasikan dan disistematiskan yang kemudian akan dianalisi dengan metode induktif.

(2)

keterangan selengkap mungkin, pemeriksaan dan juga penyitaan benda-benda yang dapat menjadi barang bukti terjadinya tindak pidana pemerkosaan.

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah , mengingat belum adanya pengaturan yang secara jelas dan rinci mengenai tata cara penggunaan visum et repertum oleh aparat penegak hukum khususnya dalam hal ini bagi penyidik, seharusnya dibuat ketentuan atau pedoman mengenai hal tersebut. diperlukan tambahan pengetahuan bagi penyidik mengenai hal-hal yang mungkin dapat mempengaruhi hasil visum et repertum. Pengetahuan ini penting agar penyidik tidak menafsirkan secara apa adanya hasil visum et repertumyang diperoleh yang selanjutnya dapat mempengaruhi dan menentukan tindak lanjut penyidik dalam memeriksa perkara tersebut.

(3)

(Studi di Polresta Bandarlampung)

Oleh

MUHAMMAD AKBAR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Jurusan Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

(Studi di Polresta Bandarlampung)

(Skripsi)

Oleh :

Muhammad Akbar

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup...6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...7

D. Kerangka teoritis dan konseptual...8

E. Sistematika Penulisan ...11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Pidana...13

1. Hukum Pidana Formil...13

a. Pengertian Penyidik dan Fungsi Penyidikan...16

b. Pejabat Penyidik, Tugas dan Kewenangannya...21

2. Hukum Pidana Materiil...25

a. Pengertian Pemerkosaan...25

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam Kuhp...27

B. Pengertian Visum Et Repertum...30

C. Jenis Visum Et Repertum dan kedudukannya sebagai alat bukti...32

D. Fungsi Visum Et Repertum Dalam Proses Penanganan Perkara Pidana Serta Dasar Hukum Penggunaannya Oleh Penyidik Menurut Kuhap...35

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah...40

B. Sumber dan Jenis Data...41

(6)

F. Analisis Data...44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber...45 B. Fungsi Visum Et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam

Mengungkap Tindak Pidana Pemerkosaan...46 C. Upaya penyidik mengungkap tindak pidana perkosaan dalam

hal visum et repertum tidak memuat tanda kekerasan terhadap

korban pemerkosaan...64

V. PENUTUP

A. Simpulan...73 B. Saran...74

(7)
(8)
(9)

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan.

Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain).

Dan berharaplah kepada Tuhanmu.

(Q.S Al Insyirah : 6-8)

Niat adalah langkah, doa adalah kekuatan maka

keberhasilan adalah hasil dari usaha

(10)

Teriring Do’a dan rasa syukuratas kehadirat Allah SWT , atas rahmat dan hidayah-nya serta junjungan tinggi Rasullah Muhammad SAW.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Ayah dan Ibu

Suharta dan Maryani sebagai orang tua tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa, yang selalu memberi kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dalam

keadaan apapun dan juga terimakasih atas kasih sayang dan sportnya yang tak pernah bisa penulis balas.

Kakak dan adik tercinta

Andrea Martha, Prabu satria adi martha, Mentari sulastiani dan Carenina faneta ilza yang selalu menjadi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan

selalu memberikan semangat yang sangat luar biasa kepada penulis.

Safa Aisyah Utami

Terimakasih atas motivasi dan semangatnya yang selalu mengarahkan penulis untuk berpikir maju memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi.

(11)

Penulis dilahirkan di Prabumulih, Kecamatan Prabumulih

barat, Kabupaten Muara Enim pada tanggal 21 Oktober

1993, Merupakan putra keempat dari lima bersaudara,

pasangan bapak Suharta dan maryani.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 8

diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1

Prabumulih Sumatera Selatan diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah Menengah

Atas (SMA) Negeri 1 Prabumulih Sumatera Selatan diselesaikan pada tahun 2011.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada

tahun 2011 melalui jalur SNMPTN. Peneliti melakukan penelitian di Polresta

(12)

Alhamdulillahirobbilalamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan

melantunkan nama-Mu yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul:

“FUNGSI VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Polresta

Bandarlampung)”. Skripsi diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Unversitas Lampung.

Penulis menyadari pembuatan skripsi ini merupakan buah dari suatu proses

panjang, yang tak luput dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, dengan

segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas

Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum

(13)

4. Prof. Dr. Sunarto DM.,S.H., M.H. Selaku Pembimbing pertama yang telah

bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran, arahan serta bimbingan

selama penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Figanefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Kedua yang telah

memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

6. Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku pembahas pertama yang telah memberikan

bimbingan kepada Penulis selama penyusunan skripsi ini.

7. Pak Budi Rizki H., S.H., M.H. selaku pembahas kedua terimakasih atas segala

pengarahan, saran dan masukan yang telah diberikan dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Wati Rahmi Ria S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik

penulis terimakasih banyak atas saran, bantuan serta motivasinya.

9. Seluruh Bapak/Ibu Pimpinan, dosen, Staf/Karyawan dan Keluarga Besar

Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pemikiran dan

ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

10. Bapak Suharta dan ibu Maryani terimakasih atas do’a, cinta dan kasih sayang

serta semua ilmu kehidupan yang telah bapak dan ibu berikan. Semoga Allah

SWT membalas setiap tetesan keringat, segala bentuk perhatian dan kasih

sayang yang melimpah dengan sebaik-baiknya berupa riddho dan kasih

(14)

keponakkanku Adelia Chalista Martha dan Carolina sabina Martha

terimakasih banyak atas bantuan, motifasi serta nasehatnya.

12. Pamanku, Nenek, Kakek, Bibik dan semua keluarga besarku terimakasih

banyak untuk semua kepercayaan, motivasi, harapan, dukungan, dan inspirasi

serta do’a yang diberikan selama ini kepada penulis.

13. Seseorang yang menemani dalam keadaan apapun Safa Aisyah Utami

terimakasih telah memberikan sumbangan pemikiran, arahan, do’a, dukungan,

kepercayaan, semangat, cinta, kasih sayang, dan kepedulian sehingga penulis

termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

14. Sahabat-sahabat senasip dan seperjuangan selama menempuh perkuliahan

Juli Ardila, Amirudin Suhendra, Fahrur Rozi, Jimmy Septian, M. Harris F,

M.Harry S, Dian Rama Nurari dan masih banyak yang lainnya, terimakasih

telah menjadi teman dan sahabat terbaik selama dibangku perkuliahan dan

kenangan persahabatan yang takkan pernah lupakan.

15. Teman-teman FH Unila’ 2011 Jurusan hukum Pidana serta semua pihak

yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas segala

kerjasama dan kebersamaanya selama 4 tahun perkuliahan.

16. Teman-teman KKN desa Kali Awi Indah terimakasih atas kerja samanya

selama 40 hari.

17. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang

(15)

semua, Amin.

Bandar Lampung, 20 September 2015 Penulis

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemeriksaan suatu perkara pidana dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya

adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang sah untuk mengungkap suatu perkara

pada tahapan pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan

maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. khususnya penyidik dalam

melakukan tugasnya harus meminta bantuan kepada ahlinya dalam bidang yang

tidak dikuasai. Salah satu bantuan itu dapat diperoleh dari keterangan saksi dan

keterangan ahli yang memang digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap

suatu kasus atau tindak pidana.1

Dalam mengungkap suatu perkara diperlukan proses Pemeriksaan untuk mencari

bukti yang merupakan bagian dari hukum acar pidana dimana tugas utama hukum

acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materiil atau kebenaran

yang selengkap-lengkapnya.kemampuan hukum acara pidana juga memiliki

keterbatasan. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangmampuannya di perlukan

1

(17)

ilmu pengetahuan lain di antaranya logika, psikologi, kriminologi dan hukum

kriminalistik.2

Kriminalistik dalam mendukung penegakan hukum acara pidana juga memperoleh

bantuan dari hasil temuan ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dengan ilmu

forensik. kata forensik berasal dari forensic (inggris) yang berarti suitable to

courts to judicature or to public discussion3. Ilmu forensik adalah ilmu

pengetahuan yang dapat memberikan keterangan atau kesaksian bagi peradilan

secara meyakinkan menurut kebenaran-kebenaran ilmiah yang dapat mendukung

pengadilan dalam menetapkan keputusannya4.

Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak kepolisian selaku aparat

penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang

dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus pemerkosaan. Kasus kejahatan

kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan

seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan kekerasan atau

ancaman kekerasan, sehingga penyidik membutuhkan bantuan keterangan ahli

dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari

dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa

keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan

korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah

dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan.

2

Firganefi dan ahmad irzal fardiansyah.Hukum dan kriminalistik. Bandarlampung. justice publisher.2014.Hlm. 23.

3webster

’s, Merriam. collegiate dictionary tenth edition.Hlm 456. 4

(18)

Mengungkap suatu kasus pemerkosaan pada tahap penyidikan akan dilakukan

serangkaian tindakan pemeriksaan oleh penyidik untuk mendapatkan buti-bukti

yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi. Adanya peranan ahli dalam

membantu penyidikan dalam memberikan keterangan medis mengenai korban

pemerkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada

diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak

pidana pemerkosaan. Keterangan dokter yang di maksud tersebut di tuangkan

secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang di sebut dengan

visum et repertum. Visum et repertumadalah laporan tertulis untuk peradilan yang

dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima

jabatan dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan

ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan

pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa

yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.5

Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas

suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai

peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan

selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang

dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil

5

(19)

yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan

diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.

Peranan keterangan ahli untuk kelengkapan alat bukti yang berguna dalam

mengungkap tindak pidana, sangat membantu dalam usaha untuk menambah

keyakinan hakim dalam hal pengambilan keputusan. Apabila ditinjau dari hukum

acara pidana, maka peranan keterangan ahli diperlukan dalam setiap tahap proses

pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan dalam

membantu tugas – tugas baik dari penyidik, jaksa, maupun hakim terhadap suatu

perkara pidana seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana

pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana keasusilaan dan tindak pidana

kealpaan dan lain– lain. “Kondisi sekarang yang semakin modern, kebutuhan dari

orang ahli semakin diperlukan kehadirannya seperti dalam tindak pidana

penyelundupan, kejahatan komputer dan komponen canggih, kejahatan

perbankan, kejahatan korporasi, tindak pidana tentang hak atas kekayaan

intelektual (HAKI), tindak pidana uang palsu dan surat berharga, tindak pidana

narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) tindak pidana lingkungan hidup dan

lain-lain yang salah satu hal berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi industri perdagangan, komunikasi, informasi dan sebagainya”.6

pengusutan terhadap kasus dugaan Pemerkosaan oleh pihak Kepolisian telah

menunjukkan betapa penting peranvisum et repertum. Sebuah surat kabar memuat

berita mengenai kasus dugaan pemerkosaan yang terjadi di daerah Bandar

Lampung, yang membebaskan pelaku pemerkosaan karena kurangnya alat bukti

6

(20)

dari pihak korban dan melakukan visum et repertum pada beberapa tahun

kemudian.

Fungsi visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus Pemerkosaan

sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran

yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik.

Pembuktian terhadap unsur tindak pidana Pemerkosaan dari hasil pemeriksaan

yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil oleh

pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus pemerkosaan.

Kenyataannya, tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan

terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus

yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana pemerkosaan

tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya.

Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban

juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan.

Mengungkap kasus pemerkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian

selaku penyidik akan melakukan upaya- upaya lain yang lebih cermat agar dapat

ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.

Sehubungan dengan fungsi visum et repertum yang semakin penting dalam

pengungkapan suatu kasus pemerkosaan, pada kasus Pemerkosaan di mana

pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak

pidana pemerkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda

kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et

(21)

setelah terjadinya tindak pidana pemerkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan

yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana

pemerkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang

tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et

repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh

pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut

dan terungkap secara jelas tindak pidana pemerkosaan yang terjadi.

karena pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu

kasus pemerkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai di atas, hal

tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik

pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul Fungsi Visum Et Repertum

Pada Tahap Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan (Studi Di

Polresta Bandar Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang sebelumnya maka permasalahan yang

akan dibahas pada peneltian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana fungsi Visum Et Repertum pada tahap penyidikan dalam

mengungkap tindak pidana perkosaan ?

2. Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum

tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan

(22)

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah merupakan kajian dalam Hukum

Pidana yang mana membahas mengenai fungsi Visum Et Repertum pada

tahap penyidikan dalam mengungkap tindak pidana perkosaan. Ruang

lingkup penelitian yaitu di polresta Bandar Lampung,Penelitian dilaksanakan

pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami fungsiVisum et repertumdalam

mengungkap tindak pidana pemerkosaan.

2. Untuk mengetahui upaya yang ditempuh penyidik apabila hasilvisum et

repertum tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada

korban pemerkosaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran

materiil suatu kasus pemerkosaan.

2. Kegunaan Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian setidak-tidaknya ada 2 (dua) macam yaitu:7

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu

hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya.

Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu

perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara

7

(23)

pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh

dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan

membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil

tersebut. Di samping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi

pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai

penggunanan bantun tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat

visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu perkara pidana serta

menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum khususnya di dalam

Hukum Pidana, dalam rangka untuk memperjelas fungsi dan kedudukan

alat bukti berupa visum et repertum untuk mengungkap tindak pidana

perkosaan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan

Hukum Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan

masyarakat umum mengenai penerapan visum et repertum dalam

mengungkap tindak pidana pemerkosaan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relavan oleh peneliti.8

8

(24)

Dalam mengungkap suatu perkara di butuhkan bukti yang di gunakan guna

mendapatkan kebenaran materiil, dalam hal ini penyidik memerlukan bukti untuk

mengungkap tindak pidana perkosaan yang berdasarkan pasal 184 KUHAP yaitu :

1. Alat bukti yang sah ialah :

a. Keterangan saksi ; b. Keterangan ahli ; c. Surat ;

d. Petunjuk ;

e. Keterangan terdakwa ;

2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana di atas, dapat

disimpulkan bahwa penyidik membutuhkan bantuan ahli untuk mengungkap

tindak perkosaan yaitu berupa keterangan ahli. Yang di maksud dengan

keterangan ahli menurut pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah :

“keterangan yang di berikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus hal

yang diperlukan untuk membuat tentang suatu perkara pidana guna kepentingan

pemeriksaan.”9

keterangan ahli disini adalah keterangan dokter, dalam hal ini Keterangan dokter

di tuangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang di

sebut denganvisum et repertum.

Visum et repertumadalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh dokter

berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter,

memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan ditemukan pada

benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan

9

(25)

keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan

sepanjang pemeriksaan tersebut.10

Untuk mempermudahkan menjawab permasalahan skripsi ini maka penulis

menggunakan undang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia, pasal 184 dan 133 KUHAP untuk mengetahui Fungsi Visum

Et Repertumpada tahap penyidikan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah

yang diteliti.

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Pelaku tindak pidana adalah seseorang yang melakukan tindak pidana

yang bersangkutan dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau

suatu yang tidak disengajakan seperti disyaratkan ole undang-undang telah

menimbulkan akibat yang tidak dilarang atau tindakan yang diwajibkan

oleh undang-undang.11

b. Visum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat oleh

dokter berdasarkan sumpah yang diucapkan pada waktu menerima jabatan

dokter, memuat pemberitaan tentang segala hal (fakta) yang dilihat dan

ditemukan pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan

10

Amri,Amir, loc. cit.

11

(26)

pengetahuan dan keterampilan yang sebaik-sebaiknya dan pendapat

mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut.

c. Putusan pidana adalah putusan yang mengandung pemidanaan yang di

jatuhkan kepada seorang oleh hakim karena terbukti melakukan tindak

pidana

d. Perkosaan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang diatur dalam pasal

285 KUHP yaitu, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia.12

D. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling

berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang Fungsi Visum Et repertum dalam mengungkap tindak

pidana pemerkosaan

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur

pengumpulan dan pengolahan data, serta tahap akhir berupa analisis data.

12

(27)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan

masalah, yaitu mengenai Apa yang menjadi faktor penghambat fungsi visum et

repertum dalam mengungkap tindak pidana perkosaan serta apa fungsi visum et

repertumitu sendiri dalam tahap penyidikan

V. PENUTUP

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Pidana

1. Hukum Pidana formil

Pembentuk Undang-Undang dalam berbagai perundang-undangan yang ada

menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar

feit”tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya

dimaksud dengan perkataan “tindak pidana”tersebut. Secara harfiah perkataan

“tindak pidana”dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang

dapat dihukum”.Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya

adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun

tindakan.

Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

negara. Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai definisi hukum

pidana sebagai berikut :

Menurut Wirjino Prodjodikor hukum pidana didefinisikan sebagai “merupakan

peraturan hukum mengenai pidana. Kata "pidana" diartikan sebagai "dipidanakan"

(29)

oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak

sehari-hari dilimpahkan.13

Sedangkan simsons memberikan definisi sebagai berikut : “Hukum pidana adalah

semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara yang

mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak

mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat

hukum itu, serta semua aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan

menjalankan pidana tersebut.14

Moeljatno menerjemahkan istilah “strafbaar feit” dengan perbuatan

pidana.Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan

tersebut.15

Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa dalam perundang-undangan formal

Indonesia, istilah “perisitiwa pidana” pernah digunakan secara resmi dalam

UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1).Secara substansif, pengertian dari istilah

“peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan

oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam.16

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :15

“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana.Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum)

13

Titik Triwulan Tutik, Pengantar ilmu Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2006, Hlm 20.

14

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, Hlm. 8.

15

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, Hlm. 97.

16

(30)

dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya

diharuskan oleh hukum).”17

Menurut Pompe, perkataan “tindak pidana”secara teoretis dapat dirumuskan

sebagai berikut :

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang

dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu

demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”16

Jonkers merumuskan bahwa :

“Tindak pidana sebagai perisitiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu

perbuatanyang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan.”18

Sebagaimana dasar-dasar dan aturan yang diadukan oleh hukum pidana,

menyebabkan hukum pidana dapat di pandang dari dua segi sebagai berikut :

a. Hukum pidana dalam arti obyektif (ius Poenale)

b. Hukum pidana dalam arti subyektif (Ius Puniendi)

Ius poenale adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau

keharusan-keharusan yang disertai ancaman pidana terhadap orang yang

melanggarnya. Ius poenale ini dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum

pidana formil.

Hukum pidana materiil berisikan peraturan tentang :

a. Perbuatan yang diancam dengan hukuman ;

b. Mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana ;

c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan

17

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hlm. 49.

18

(31)

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Hukum pidana formil

adalah sejumlah peraturan tentang tata cara negara mempergunakan haknya untuk

melaksanakan pidana. Hukum pidana formil ini sering disebut hukum acara

pidana. Ius puniendi adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak

negara atau alat perlengkapan negara untuk mengancam atau mengenakan pidana

terhadap perbuatan tertentu. Mengancam pidana merupakan hak dari lembaga

legislatif. Sedangkan mengenakan pidana dilaksanakan oleh lembaga peradilan.

Terkait dengan ius poenale yang dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil dan

hukum pidana formil, masing-masing hukum pidana tersebut mempunyai bentuk

yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia

ketentuan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dan ketentuan perundangan lainnya mengenai tindak pidana

khusus, sedangkan hukum pidana formil di mana sebelumnya diatur dalam HIR

(Herziene Inlandsch Reglement) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

a. Pengertian Penyidik dan Fungsi Penyidikan

Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum pidana

substantif (materil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana. Mengenai

istilah hukum acara pidana, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :

“Istilah “hukum acara pidana“ sudah tepat dibanding dengan istilah “hukun proses

pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering

yang jika diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah

(32)

Law lebih tepat daripada istilah Belanda.Hanya karena istilah strafvordering

sudah memasyarakat, maka tetap dipakai.19

Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana tersebut, dapat

disimpulkan bahwa hukum acara pidana menetapkan aturan-aturan mengenai

bagaimana alat-alat negara, yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan, menegakkan dan menjalankan ketentuan hukum

pidana materiil.

Mengenai fungsi hukum acara pidana, hal ini dapat disimpulkan berdasarkan

pendapat Van Bemmelen yang mengemukakan sebagai berikut :20

“Bahwa pada pokoknya hukum acara pidanamengatur hal-hal :

a. diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan

pidana oleh alat-alat negara,

b. diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan tersebut ;

c. diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika

perlu untuk ditahan ;

d. dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh

pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan

membawa terdakwa ke hadapan hakim ;

e. menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti

tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan terdakwa serta untuk

menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib lainnya ;

19

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, Hlm. 2.

20

(33)

f. menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap

putusan yang diambil hakim ;

Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana di atas, dapat

disimpulkan bahwa fungsi pokok hukum acara pidana adalah sebagai berikut :

a. Mencari dan menemukan kebenaran.

b. Pengambilan putusan oleh hakim.

c. Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.

Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua

fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang

diperoleh melalui alat bukti, dari bahan bukti inilah hakim akan sampai kepada

putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.

Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana di mana ditegaskan

bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran

materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat

dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha

menemukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua

proses ini yaitu :

a) Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan

pada sidang pengadilan.

b) Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.

Pemeriksaan penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan adalah

serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya

(34)

berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya

benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaska

yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurangtelitian

dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi

nama baiknya.

Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti suatu perkara

pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan menjalani

pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas kebenaran

materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara pidana

tersebut.

Penulisan skripsi ini di mana permasalahan yang diangkat terkait dengan

ketentuan hukum acara pidana pada proses penyidikan, berikut ini paparan

mengenai pemeriksaan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan

KUHAP serta undang-undang yang terkait.

Mengenai yang dimaksud dengan penyidikan, berikut ini pengertian penyidikan

ditinjau secara etimologis dan berdasarkan definisi yuridis yang diberikan oleh

undang-undang :

Mengenai yang dimaksud dengan tindakan penyidikan berdasarkan definisi

yuridis, beberapa ketentuan perundang- undangan yang menyebutkan pengertian

penyidikan diantaranya KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 1 angka 13 Undang-undang Tahun 2002 No.2 tentang Kepolisian RI serta

(35)

penyidikan, dinyatakan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Berdasarkan pengertian dan rumusan yuridis di atas, dapat disimpulkan bahwa

tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti agar tindak

pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat diketahui dan ditemukan

pelaku tindak pidana tersebut.

Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah

mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang

sebenarnya. Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan mengenai fungsi

penyidikan sebagai berikut: “Fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis

reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas,

yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang

selengkap-lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi.21

Sedangkan R.Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan

sebagai berikut: “Sejalan dengan tuga Hukum Acara Pidana maka tugas

penyidikan perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut

fakta yang sebenar-benarnya. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan

bahwa fungsi penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan

bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu kebenaran materiil yang

21

(36)

diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana tertentu telah

dilakukan.

Mengenai arti kebenaran materiil yang ingin dicapai dalam pemeriksaan perkara

pidana, dalam Pedoman Kerja Reserse Kriminil diberikan penjelasan sebagai

berikut “Kebenaran materiil ini bukan berarti kebenaran mutlak, karena segala apa

yang telah terjadi (apabila jangka waktunya telah lama), maka tidak mungkin

kebenaran itu dapat dibuktikan dengan selengkap-lengkapnya. Tetapi yang

diartikan di sini ialah kenyataan yang sebenar-benarnya.

Tujuan pertama-tama dalam rangka penyidikan adalah mengumpulkan sebanyak

mungkin keterangan, bukti dan fakta-fakta yang benar mengenai peristiwa yang

terjadi. Berdasarkan atas fakta ini kemudian dicoba membuat gambaran kembali

apa yang terjadi. fakta-fakta yang masih kurang dicari untuk dilengkapi sehingga

gambaran peristiwa yang telah terjadi tersebut akhirnya menjadi lengkap.

b. Pejabat Penyidik, Tugas dan Kewenangannya

Mengenai pejabat yang berwenang melakukan tindakan penyidikan, Pasal 1 butir

1 KUHAP menyatakan bahwa : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”, hal ini disebutkan lebih lanjut

pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP yang juga menentukan bahwa penyidik adalah :

a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia ;

(37)

Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan mengenai syarat kepangkatan

pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983

tentang Pelaksanaan Undang-undang Hukum Acara Pidana, pada bab II pasal 2

ditentukan syarat kepangkatan Penyidik adalah sebagai berikut :

1. Penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat

Pembantu Letnan Dua Polisi; Sekarang dengan berdasarkan Surat

Keputusan No. Pol. : Skep/ 82 / VI/ 2000 tentang Penetapan Berlakunya

Kembali Penggunaan Pakaian Dinas Harian di Lingkungan POLRI pangkat

ini berubah menjadi Inspektur Polisi II (AIPDA Pol.).

b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang- kurangnya

berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan

dengan itu.

2. Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang

berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya

adalah penyidik. Kepangkatan ini sekarang berubah menjadi Inspektur Polisi

II.

Mengenai tugas penyidik, hal ini terkait dengan pengertian penyidikan

sebagaimana yang ditentukan secara yuridis dalam undang-undang. Berdasarkan

pengertian secara yuridis maka tugas seorang penyidik yaitu mencari serta

(38)

pidana, untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan guna menemukan

pelakunya.

Mengenai wewenang penyidik dalam melaksanakan tugasnya, hal ini mendapat

pengaturan baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Tahun 2002

Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 7 ayat (1)

KUHAP ditentukan mengenai wewenang penyidik, dimana disebutkan bahwa

karena kewajibannya penyidik mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pada Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan

tugasnya di bidang penegakan hukum pidana, Kepolisian Negara RI mempunyai

(39)

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,

b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidik

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan

d. Menyuruh berhenti orang yang di curigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi ;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

h. Mengadakan penghentian penyidikan ;

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak ;

k. Atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana ;

l. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ;

Mulai dilakukannya penyidikan suatu perkara yang merupakan tindak pidana oleh

penyidik diberitahukan kepada penuntut umum dengan diserahkannya Surat

(40)

KUHAP. Setelah bukti-bukti terkumpul dan yang diduga sebagai tersangkanya

telah ditemukan selanjutnya penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti

untuk dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata bukan merupakan tindak

pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan

tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum.

Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidikan dianggap selesai jika dalam

waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil penyidikan atau

apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan mengenai

hal tersebut dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penyidikan dianggap

selesai, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang

bukti kepada penuntut umum.

Pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan tahap awal dari keseluruhan

proses pidana. Tujuan penyidikan adalah untuk memperoleh keputusan dari

penuntut umum apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan

penuntutan. Proses pidana merupakan rangkaian tindakan pelaksanaan penegakan

hukum terpadu. Antara penyidikan dan penuntutan terdapat hubungan erat,

bahkan berhasil tidaknya penuntutan di sidang pengadilan tidak terlepas dari hasil

penyidikan.

2. Hukum Pidana Materiil

a. Pengertian Pemerkosaan

Hukum pidana materiil memberi pengaturan mengenai tiga hal pokok sebagai

berikut :

(41)

b. Mengatur pertanggungjawab terhadap hukum pidana

c. Hukuman apa yang dapat diajtuhkan terhadap orang-orang yang melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang.

Ketentuan hukum pidana materiil ini diatur dalam KUHP serta ketentuan

perundang-undangan lainnya tentang tindak pidana khusus. Terhadap isi hukum

pidana materiil yang menentukan mengenai bentuk perbuatan yang dapat diancam

pidana serta pertanggungjawabannya hal ini mempunyai fungsi yang sangat

penting dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum bagi

masyarakat. Pengaturan yang jelas dan tegas mengenai suatu perbuatan yang

dapat diancam pidana dalam suatu perundang-undangan, memberi jaminan dan

perlindungan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang aparat hukum

yang dapat saja melanggar dan merampas hak masyarakat.

Salah satu jenis perbuatan yang apabila dilakukan diancam dengan pidana atau

disebut juga tindak pidana yang diatur dalam KUHP adalah tindak pidana

pemerkosaan. Terkait dengan perbuatan pemerkosaan sebagai suatu tindak pidana,

berikut ini uraian mengenai pengertian pemerkosaan serta pengaturan tindak

pidana pemerkosaan dalam KUHP.

Kejahatan pemerkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata

pemerkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan

kekerasan atau menggagahi” Berdasarkan pengertian tersebut maka Pemerkosaan

mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual

(sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak

(42)

Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan “perkosaan adalah seorang pria

yang memaksa pada seorang wanita yang bukan isterinya untuk melakukan

persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan

kemaluan pria telah masuk kedalam lubang kemaluan seorang wanita kemudian

mengeluarkan air mani”. Sedangkan P.A.F. Lamintang dan Djisman samosir

berpendapat bahwa “perkosaan adalah perbuatan seseorang yang dengan

kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan persetubuhan diluar ikatan

perkawinan dengan dirinya”.22

Berdasarkan pengertian pemerkosaan tersebut di atas, menunjukkan bahwa

pemerkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki

terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu

seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum

melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal

ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan pemerkosaan

sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya

dalam hukum pidana materiil yang berlaku.

b. Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam Kuhp

Mengenai tindak pidana pemerkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur

mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam Pasal 285 KUHP.

Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan,

22

(43)

diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua

belas tahun.23

a. Perbuatannya : memaksa,

b. Caranya :

1) dengan kekerasan,

2) dengan ancaman kekerasan;

c. Bersetubuh dengan dia.

Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:

a. Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan

yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu,

agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan

atau sama dengan kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian ini pada

intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau

bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.

Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa :

“perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan

sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”

Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan

dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa”

bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam

pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin,

23

(44)

walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita

adalah wanita itu sendiri.24

b. Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285

disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman

kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang

sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP

yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan:

“Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan

menggunakan kekerasan.” Beberapa pakar memberikan pengertian

kekerasan sebagai berikut :

Menurut R.Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan

jasmani yang tidak kecil secara tidak sah”. Sedangkan Satochid

mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas

digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.

Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan

dalam Pasal 285 sebagai berikut: “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya

berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk

mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang

besar, kekuatan badan dimana dapat mengakibatkan bagi orang lain itu

menjadi tidak berdaya secara fisik”.25 Sifat kekerasan itu sendiri adalah

abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada

bermacam-macam yang tidak terbatas.

24

Ibid, Hlm. 63.

25

(45)

Menurut Adami Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu:

“ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya

juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa

perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih

besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera

dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan

hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku”. Kekerasan atau ancaman

kekerasan pada Pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan

bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk

berbuat lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara

kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal,

dan karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi

sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari

perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman

kekerasan tersebut.26

c. Menurut M.H.Tirtamidjaja, “mengadakan hubungan kelamin” atau

“bersetubuh” berarti persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan

perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak

perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.27

B.PengertianVisum et Repertum

Pengertian harafiahvisum et repertumberasal dari kata “Visual” yaitumelihat dan

“Repertum” yaitu melaporkan. Berarti, “apa yang dilihat dan ditemukan”,

26

Ibid, Hlm. 65.

27

(46)

sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter ahli

forensik yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan

diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain,

kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat

dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis, sebagaimana yang

tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan).

Visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat

berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti

hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan

pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.28

Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai

disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran

Kehakiman, Prof.Sutomo Tjokronegoro mendefinisikan bahwa yang dimaksud

dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk

kepentingan pengadilan. Artinya, bahwa ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman

sangat berperan dalam membantu pihak kepolisian, kejaksaan,dan kehakiman,

dalam segala soal yang hanyalah dapat dipecahkan dengan ilmu kedokteran

kehakiman.29

Tugas dari Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik

kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) dalam mengungkapkan suatu perkara yang

berkaitan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang. Dengan

28

Soeparmono, Kedokteran Forensik di Indonesia, 2002, Hlm. 98.

29

(47)

bantuan Ilmu Kedokteran Kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang

hendak diambil oleh badan peradilan menjadi obyektif berdasarkan apa yang

sesungguhnya terjadi.

Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi

tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau

meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan

diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah

visum et repertum.

Dari pengertianvisum et repertumtersebut diatas, dapat disimpulkan bahwavisum

et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan

dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi

dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses

peradilan.

C. Jenis Visum et Repertum dan Kedudukan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperlukan

untuk kepentingan peradilan, visum et repertumdigolongkan menurut obyek yang

diperiksa sebagai berikut :

a. Visum et repertumuntuk orang hidup.

Jenis ini dibedakan lagi dalam :

1) Visum et repertumbiasa.Visum et repertum ini diberikan kepada pihak

peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan

(48)

2) Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan

apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum

dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh

dibuatkan visum et repertum lanjutan.

3) Visum et repertum lanjutan . Dalam hal ini korban tidak memerlukan

perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter

lain, atau meninggal dunia.

b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan visum et

repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan

permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan

bedah mayat (outopsi).

c. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat

setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.

d. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat Setelah dokter

selesai melaksanakan penggalian jenazah.

e. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat

pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit

jiwa.

f. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti

yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya

darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.

g. Dalam penulisan skripsi ini, visum et repertum yang dimaksud adalah

(49)

berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana

Pemerkosaan.

Dalam KUHAP tidak terdapat satu pasal pun yang secara eksplisit memuat

perkataan visum et repertum. Hanya didalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350

pada Pasal 1 dinyatakan bahwavisum et repertumadalah suatu keterangan tertulis

yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada

benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara

pidana.

KUHAP tidak pula menjelaskan secara langsung mengenai kedudukan visum et

repertum sebagai alat bukti. Perihal apa yang dimaksud dengan alat bukti yang

sah, disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) :

Alat bukti yang sah ialah :

a. keterangan saksi ;

b. keterangan ahli ;

c. surat ;

d. petunjuk ;

e. keterangan terdakwa.

Apabila ditinjau dari ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang

merupakan satu-satunya ketentuan yang memberikan definisi visum et repertum,

maka sebagai alat bukti visum et repertum termasuk alat bukti surat karena

keterangan yang dibuat oleh dokter dituangkan dalam bentuk tertulis. Menurut

(50)

yang dibuat atas sumpah jabatan yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga

surat tersebut mempunyai keontetikan sebagai alat bukti.30

Di samping ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang menjadi dasar

hukum kedudukan visum et repertum, ketentuan lainnya yang juga memberi

kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti surat yaitu Pasal 184 ayat (1)

butir c KUHAP mengenai alat bukti surat serta Pasal 187 butir c yang menyatakan

bahwa : “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) butir c, dibuat atas

sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : c. Surat keterangan dari

seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu

keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.”

Dengan demikian berdasarkan pengertian yuridis dari visum et repertum yang

diberikan oleh Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 maka kedua pasal KUHAP

tersebut telah memberi kedudukan visum et repertum sebagai suatu alat bukti

surat dalam pemeriksaan perkara pidana.

D. Fungsi Visum et Repertum Dalam Proses Penanganan Perkara Pidana Serta Dasar Hukum Penggunaannya Oleh Penyidik Menurut KUHAP

Mengenai fungsi visum et repertum dalam proses penanganan perkara, sebelum

membahas bagaimana fungsi tersebut, berikut ini yang dimaksud dengan arti kata

“fungsi”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “fungsi” diartikan sebagai

“seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan

dalam masyarakat”. Sedangkan kata “fungsi” diartikan yaitu “bagian dari tugas

yang harus dijalankan”. Kata “fungsi” diartikan proses, cara, perbuatan

memahami, perilaku yang diharapkan dan diikatkan dengan kedudukan seseorang.

30

(51)

Berdasarkan definisi-definisi diatas, diterapkan dengan fungsi visum et repertum,

maka dapat disimpulkan bahwa fungsi visum et repertum yaitu bagian dari tugas,

cara, proses, yang dapat diikatkan pada visum et repertum menurut

kedudukannya. Apabila meninjau fungsi visum et repertum dalam penanganan

suatu perkara, khususnya dalam penulisan skripsi ini, maka hal ini mempunyai

arti yaitu tugas, cara,proses, yang dapat dilakukan dan atau diberikan oleh visum

et repertum dalam kedudukannya pada proses penyidikan suatu tindak pidana

pemerkosaan.

Menurut Abdul Mun’ im Idries sebagai surat keterangan tertulis yang berisi hasil

pemeriksaan seorang Dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu

perkara pidana, makavisum et repertummempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai alat bukti yang sah.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) jo Pasal

187 huruf c.

2. Bukti penahanan tersangka.

Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan

tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti

yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat

tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban. Visum et

repertum yang dibuat oleh Dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai

pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.

3. Sebagai bahan pertimbangan hakim.

Meskipun bagian kesimpulanvisum et repertumtidak mengikat hakim, namun

(52)

adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping

itu Bagian Pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang

bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh Dokter. Dengan demikian dapat

dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi hakim yang sedang menyidangkan

perkara tersebut.

Karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil,

maka setiap masalah yang berhubungan dengan perkara pidana tersebut harus

dapat terungkap secara jelas. Demikian halnya dengan visum et repertum yang

dibuat oleh Dokter spesialis forensik atau atau Dokter ahli lainnya, dapat

memperjelas alat bukti yang ada bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Sehubungan dengan hakekat pemeriksaan perkara pidana adalah mencari

kebenaran materiil maka kemungkinan menghadapkan Dokter untuk membuat

visum et repertumadalah suatu hal yang wajar demi kepentingan pemeriksaan dan

pembuktian.

Mengenai dasar hukum fungsi visum et repertum dalam fungsinya membantu

aparat penegak hukum menangani suatu perkara pidana, hal ini berdasarkan

ketentuan dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dipergunakannya bantuan

tenaga ahli untuk lebih memperjelas dan mempermudah pengungkapan dan

pemeriksaan suatu perkara pidana.

Ketentuan dalam KUHAP yang memberi dasar hukum bahwa pada tahap

(53)

keterangan ahli yang diberikan oleh Dokter pada visum et repertum yang

dibuatnya atas pemeriksaan barang bukti, adalah sebagai berikut :

a) Pasal 7 KUHAP mengenai tindakan yang menjadi wewenang Penyidik,

khususnya dalam hal mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

pemeriksaan perkara.

b) Pasal 120 KUHAP. Pada ayat (1) pasal ini disebutkan: “Dalam hal

penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang

yangmemiliki keahlian khusus.”

c) Pasal 133 KUHAP dimana pada ayat (1) dinyatakan : “Dalam hal penyidik

untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan

tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli

kepada ahli kedokterankehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.

Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan :

“Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan

luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”

Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan Dokter dalam memberikan bantuan

keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana, hal ini tercantum dalam Pasal 179

KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan : “Setiap orang yang diminta

pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya

(54)

Bantuan Dokter untuk proses peradilan dapat diberikan secara lisan (berdasar

Pasal 186 KUHAP), dapat juga secara tertulis (berdasar pasal 187 KUHAP).

Bantuan Dokter untuk proses peradilan baik secara lisan ataupun tertulis

semuanya termasuk dalam Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diatas, maka baik tindakan

Dokter dalam membantu proses peradilan (dimana dalam hal ini tindakan

membuatvisum et repertumuntuk kepentingan penanganan perkara tindak pidana

). Maupun tindakan penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kewenangan formal, karakteristik SIKD, peranan manajerial pengelola keuangan daerah dan kewenangan informal

Untuk 3 kasus tsunami lintas samudera yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu Tohoku 2011, Sumatra 2012, dan Iquique-Chili 2014, hasil-hasil analisis grafis adalah time delay

Pemasakan Pencampuran II Mustard Pencampuran III Kuning telur Pencampuran IV Minyak zaitun, cuka apel Pengisian Jar Steril Mayonaise..  Minyak na*ati yang #ipakai yaitu minyak

Dikhawatirkan usaha yang ada akan kalah bersaing dengan UKM di daerah lain yang mana pemerintah daerahnya telah memiliki database pusat- pusat informasi

Skripsi ini bermanfaat bagi penulis setelah dilakukannya pengkajian dan penelitian, penulis dapat menambah pengalaman dan pengetahuan serta wawasan dalam meningkatkan kualitas

Pada Provinsi Jawa Barat, total penguasaan lahan pada tahun 2013 baik lahan pertanian maupun bukan pertanian oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan cukup tinggi yaitu

Desain grafis adalah salah satu bentuk dari komunikasi visual yang bertujuan untuk menyampaikan pesan dan informasi yang berupa ide, kreasi dan susunan

Walaupun interaksi antara ruang, frekuensi, dan volume penyiraman tidak memberikan pengaruh terhadap tinggi tanaman, tetapi dengan uji Tukey (taraf 5%) menunjukkan bahwa pada