RELASI RELAWAN DEMOKRASI DAN PEMILIH
PADA PEMILU TAHUN 20141
Muryanto Amin2
Pendahuluan
Relawan demokrasi dibutuhkan sebagai gerakan sosial untuk meningkatkan
partisipasi dan kualitas pemilih dalam menggunakan hak pilih di Pemilu 2014.
Melibatkan seluruh kelompok masyarakat sebagai pelopor (pioneer) demokrasi bagi
komunitasnya merupakan keharusan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan
kualitasnya. Masyarakat harus dijadikan mitra oleh penyelenggara pemilih dalam
menjalankan agenda sosialisasi dan pendidikan pemilih secara langsung mengikuti batas
kemampuannya. Bentuk peran serta masyarakat ini diharapkan mampu mendorong
tumbuhnya kesadaran tinggi serta tanggung jawab penuh masyarakat untuk menggunakan
haknya dalam pemilu secara optimal.
Relawan demokrasi harus bersedia bekerja untuk mengajak masyarakat agar ikut
berpartisipasi dalam kegiatan pemilu yang cenderung menurun. Tiga pemilu nasional
terakhir dan pelaksanaan pemilukada di berbagai daerah menunjukkan indikasi itu.
Pemilih yang hadir ke TPS, pada pemilu nasional misalnya, yaitu pemilu 1999 (92%),
pemilu 2004 (84%) dan pemilu 2009 (71%) menjadi salah satu tantangan yang dihadapi
dalam upaya untuk mewujudkan kesuksesan Pemilu 2014. Banyak faktor yang
menjadikan tingkat partisipasi mengalami kecenderungan penurunan, di antaranya adalah
jenuh dengan frekuensi penyelenggaraan pemilu yang tinggi, ketidakpuasan atas kinerja
sistem politik yang tidak memberikan perbaikan kualitas hidup, kelemahan administrasi
penyelenggaraan pemilu, adanya paham keagamaan anti demokrasi, dan melemahnya
kesadaraan masyarakat tentang pentingnya pemilu sebagai instrumen transformasi sosial,
dan lain sebagainya.
Relawan demokrasi diharapkan juga dapat meminimalisir adanya inflasi kualitas
memilih. Tanpa mengabaikan apresiasi kepada pemilih yang menggunakan hak pilihnya
1
Disampaikan pada acara pembekalan Peran Serta Relawan Demokrasi dalam Usaha Meningkatkan Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2014, penyelenggara KPU Provinsi Sumatera Utara, di Hotel Garuda Plaza, 31 Maret 2014.
secara cerdas, sebagian pemilih kita terjebak dalam pragmatisme. Tidak semua pemilih
datang ke TPS atas idealisme tertentu tetapi ada yang didasarkan pada kalkulasi untung
rugi yang sifatnya material, seperti mendapatkan uang dan barang-barang kebutuhan
hidup sehari-hari. Pragmatisme pemilih ini sebagian disumbang oleh tingkat literasi
politik yang relatif rendah, melemahnya kesukarelaan masyarakat (voluntarisme) dalam
agenda pencerdasan demokrasi, dan masifnya politik tuna ide dari kontestan pemilu.
Pemilu 2014 mesti menjadi titik balik persoalan partisipasi pemilih yang
sebelumnya ada. Angka partisipasi memilih harus meningkat dan inflasi kualitas memilih
harus dipulihkan. Oleh karena itu, harus ada gerakan massif yang mengajarkan bahwa
memilih adalah tindakan politik yang mulia. Penyelenggara pemilu bersama komponen
bangsa lainnya memiliki tanggung jawab yang besar untuk memastikan titik balik itu
terwujud.
Substansi Ayo Ikut Memilih
Jika merujuk pada Program Relawan Demokrasi yang digagas KPU, melibatkan
kelompok masyarakat yang berasal dari 5 (lima) segmen pemilih strategis yaitu pemilih
pemula, kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok
pinggiran. Para relawan demokrasi dibentuk di setiap segmen yang kemudian menjadi
penyuluh pada setiap komunitasnya. Segmentasi itu dilakukan dengan kesadaran bahwa
kelima segmen itu selalu menjadi sasaran strategis bagi semua kontestan pemilu karena
dari sisi kuantitas maupun pengaruhnya dapat menentukan dinamika sosial politik
berbangsa dan bernegara dalam konteks lokal.
Relawan Demokrasi diharapkan mampu menumbuhkan kembali kesadaran positif
terhadap pentingnya pemilu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menggerakkan
masyarakat di komunitas tempat tinggal dan aktivitas mereka agar mau menggunakan
hak pilihnya dengan bijaksana serta penuh tanggung jawab, sehingga partisipasi pemilih
Memahami Budaya Politik
Meningkatkan partisipasi pemilih dapat dilakukan dengan memahami budaya
politik Indonesia. Relawan demokrasi harus menyadari bahwa penyampaian, himbauan,
dan seruan untuk hadir di TPS dan memilih sesuai dengan kualitas calon yang dipilihnya
tidak jauh dari kebiasaan, nilai, dan kepercayaan para pemilih yang beragam. Harus ada
perubahan mendasar di tingkat paradigmatik agar masyarakat mau “membeli” apa yang
ditawarkan oleh Relawan Demokrasi. Salah satu variabel penting yang harus diperhatikan
adalah budaya politik itu.
Anderson menegaskan bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonial
atau klientilisme (pola relasi patron-klien).3 Pola relasi itu berlangsung atas dasar saling
menguntungkan melalui otoritas formal. Sang patron bertindak sebagai pengayom,
pelindung, atau penjamin eksistensi si klien. Sebaliknya, si klien berkewajiban menopang
eksistensi sang patron. Jika salah seorang di antara keduanya runtuh, maka yang lain ikut
runtuh. Pola itu berlangsung dalam praktek politik (memberikan dukungan pada salah
satu partai politik) sejak Orde Lama hingga jatuhnya Orde Baru.
Hingga proses reformasi dan konsolidasi demokrasi yang terjadi saat ini, relasi
politik yang tengah berlangsung belum mengalami perubahan yang signifikan ke arah
yang lebih baik.4 Justru yang terjadi, saat ini, adalah perubahan menjadi bentuk
neopatrimonialisme. Praktek neopatrimonialisme yang terjadi pola hubungan patron-klien
tidak hanya berlangsung atas dasar nilai-nilai tradisional dan primordial. Tetapi, pola
ketaatan klien kepada patron murni didasari atas motif-motif ekonomi dan pragmatisme
sosial. Oleh karena itu, terdapat pertimbangan rasional di balik pola relasi patron-klien.
Rasionalitas terkait dengan materi dan non materi yang didapatkan langsung
dalam relasi patron-klien tersebut. Praktek politik (memberikan dukungan pada pemilu)
juga berlangsung nyaris sempurna ketika segmentasi masyarakat yang lemah dimobilisasi
untuk memilih ataupun tidak memilih dalam Pemilu. Jika klien, secara rasional,
mendapatkan keuntungan langsung dari patron maka klien akan mengikuti arahan yang
disampaikan oleh patron.
3
Benedict R. O’ G. Anderson. 2006. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia. hal. 47-50.
Pemahaman budaya politik seperti itu, harus menjadi dasar bagi Relawan
Demokrasi untuk cermat mengantisipasinya agar tidak terjadi hubungan transaksional
pada kelompok masyarakat tertentu yang lemah. Relawan Demokrasi harus mendekati,
berdiskusi, dan bersepakat dengan para patron tentang pentingnya demokrasi dan pemilu.
Pentingnya partisipasi pemilih harus disampaikan kepada para patron untuk
meningkatkan kualitas pemilih sehingga persoalan komunitasnya dapat diakomodir oleh
para calon legislatif, presiden secara berkelanjutan. Sementara, tindakan transaksional
(berupa material) hanya dapat diperoleh pada saat itu, tidak untuk besok ataupun
seterusnya. Hitungan untung rugi selalu menjadi dasar dalam tindakan transaksional yang
mengarah pada degadrasi kualitas pemilu.
Jika merujuk pada segmentasi pemilih yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu
maka kelompok agama, kelompok perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok
pinggiran dapat didekati melalui patronnya. Relawan Demokrasi akan kesulitan jika
keempat segmentasi tersebut didatangi seluruhnya. Untuk kelompok agama, Relawan
Demokrasi dapat mengidentifikasi pemuka agama (ustad, pendeta, biksu, dan lain
sebagainya) untuk memberikan pemahaman bahwa para jemaahnya harus memilih sesuai
dengan kualitas yang dibutuhkan oleh kelompok tersebut.
Kelompok perempuan, biasanya menjadi segmen sasaran oleh para caleg maupun
tim sukses calon presiden. Kebanyakan pemilih perempuan dikenal sebagai pemilih loyal
dan sangat subjektif. Relawan demokrasi harus secara langsung bekerjasama dengan
aktivis perempuan membantu memberikan pemahaman pentingnya hadir di TPS dan
memilih sesuai dengan kualitas. Selain itu, relawan demokrasi juga dapat mendatangi
tempat-tempat yang selalu dikungjungi oleh perempuan misalnya pasar tradisional
maupun modern (mall dan pusat perbelanjaan). Menyampaikan dengan gaya komunikasi
yang baik seperti bahasa yang sederhana atau mudah dimengerti dan langsung pada
tujuan yang diinginkan.
Segmentasi penyandang disabilitas dan kelompok pinggiran, efektivitas
pendekatannya bisa dilakukan dengan pengurus organisasinya atau secara langsung
mendatangi konsentrasi kelompok tersebut. Materi yang perlu disampaikan adalah terkait
hak mereka dalam pemilu yang sama dengan warga masyarakat lainnya. Tetapi, cara
kelompok tersebut yang dapat mengubah mereka menjadi lebih baik jika mereka hadir di
TPS dan memberikan pilihan kepada caleg dan capres yang dapat mengatasi
permasalahan mereka.
Segmentasi Pemilih Muda
Pemilih muda adalah pemilih (orang yang memiliki hak untuk memberikan suara
dalam pemilihan umum) yang berusia antara 17 sampai dengan 29 tahun. Batasan usia ini
merujuk kepada batasan umur pemilih yang digunakan oleh lembaga-lembaga survey
internasional seperti The Pew Research Center dan Gallup. Jumlah pemilih muda pada
Pemilu 2014 diperkirakan berjumlah sekitar 53 jutaan. Jumlah ini setara dengan jumlah
pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif tahun
2009, yaitu sekitar 49 jutaan. Angka tersebut bahkan lebih dari dua kali lipat dari pada
jumlah suara yang diperoleh pemenang pemilu legislatif 2009, yaitu Partai Demokrat
yang memperoleh suara sebesar 21 jutaan. Angka-angka statistik ini memperlihatkan
betapa penting dan signifikannya suara para pemilih muda di Indonesia pada pemilu
tahun 2014 nanti. Karena mereka akan menentukan legitimasi siapapun partai politik
yang memenangkan pemilu.
Pemilih muda pada Pemilu 2014 adalah generasi baru pemilih yang memiliki
sifat/karakter, latar belakang, pengalaman dan tantangan yang berbeda dengan para
pemilih generasi sebelumnya. Sebagian besar diantara mereka adalah dari kalangan
bersekolah, berstatus ekonomi baik, dan umumnya tinggal di perkotaan atau sekitar
perkotaan. Mereka sangat tersentuh kemajuan teknologi informasi, mereka
menggunakan alat-alat teknologi canggih dengan baik, mulai dari handphone,
laptop,ipod, ipad, mereka juga menggunakan fasilitas dan jaringan sosial media, seperti
internet, twitter, facebook, linked, dan lain-lain dengan sangat baik.
Mereka sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal yang baru, kritis dan juga
mandiri. Mereka menghadapi tantangan yang luar biasa berat mulai dari perubahan
politik dan permasalahan dalam negeri yang tidak kunjung jelas arah penyelesaiannya
sampai dengan tekanan-tekanan globalisasi, perdagangan bebas, terorisme, intervensi
internasional, dan lain-lain. Perbedaan sifat/karakter, latar belakang, pengalaman dan
mempersiapkan pemilih muda yang cerdas, kritis dan berorientasi masa depan. Apalagi
mereka yang akan berada pada tampuk pimpinan pada saat Indonesia merayakan 100
tahun hari jadinya di tahun 2045. Apakah Indonesia masih ada di tahun tersebut
ditentukan oleh para pemilih muda di Pemilu 2014 ini. Pengaruh pemilih muda yang
penting dan signifikan pada Pemilu 2014 sudah disadari oleh para partai politik peserta
pemilu dan calon kandidatnya.
Bahkan perburuan suara pemilih muda sudah dimulai sejak pemilu kepala daerah
yang diselenggarakan dua tahun terakhir. Banyak sekali pemilu kepala daerah yang sudah
mulai memperhitungkan suara dari pemilih muda dalam proses kampanye mereka. Tidak
jarang berbagai cara dilakukan untuk bisa menghimpun suara mereka. Pendidikan politik
yang masih rendah di kalangan pemilih muda adalah sumber masalah yang utama.
Merujuk pada pengalaman masa lalu, tidak jarang dalam Pemilukada mereka diarahkan
kepada pasangan calon dengan membawa muatan-muatan atau jargon-jargon tertentu
dengan melalui perang iklan dan sosial media. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan
masa depan bangsa dan negara Indonesia dan untuk menjaga agar Pemilu 2014 dapat
berjalan dengan baik dan output pemilu memiliki legitimasi yang cukup untuk memimpin
pemerintahan, maka program pendidikan politik untuk para peilih muda Indonesia sangat
penting dan mendesak untuk dilakukan. Program pendidikan politik tersebut perlu
dilaksanakan dengan cara dan metode baru dengan materi dan kurikulum yang
disesuaikan dengan karakter, kebutuhan, kepentingan, minat dan tingkat pengalaman
serta pemahaman mereka tentang politik.
Penutup
Tugas dan tanggung jawab Relawan Demokrasi dalam usaha meningkatkan
partisipasi pemilih dan kualitasnya harus dilakukan secara terencara dilengkapi dengan
alat peraga yang unik. Penguasaan materi tentang apa itu politik, demokrasi, pemilu,
partai politik dan partisipasi menjadi suatu keharusan. Komunikasi yang baik sangat
memengaruhi pesan yang disampaikan diterima, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap
segmentasi kelompok yang menjadi target sasaran. Cara mendekati dan menghadapi
segmentasi kelompok tersebut harus bersifat adaptif dan terkoordinir agar pesan yang
Rasa suka menjadi salah satu ukuran dalam menjalankan tugas secara profesional.
Tentu saja unsur etika dan sopan santun harus dimaknai dalam kesuksesan menjalan
tugas sebagai Relawan Demokrasi. Sikap untuk tidak memaksa bahkan menggunakan
kekerasan sangat bertentangan dengan ajaran demokrasi. Kesemua prilaku tersebut akan
mendatangkan simpati. Pada dasarnya semua manusia senang bersimpati dan mendapat
simpatisan dan hal itu perlu dilakukan dua arah. Tidak hanya pengikut yang perlu
melakukan berbagai cara untuk mendapat simpati, sebagai pengikut kita pun perlu
berusaha menyukai pemimpin dan memahaminya. Seperti kata pepatah “give what you
want to receive”. Sikap ini berlaku untuk pemimpin dan yang dipimpin.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, R. O’ G. 2006. Java in a Time of Revolution: Occupation and
Resistance, 1944-1946. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia.
Case, William. 2002. Politics in Southeast Asia: Democracy or Less. Mitcaham. Surrey: