• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan HUkum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN

DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

TESIS

Oleh

GAYATRI RACHMI RILOWATI

077005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

Σ Ε Κ

Ο Λ Α

Η

Π Α

Σ Χ

Α Σ Α Ρ ϑΑ

Ν

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN

DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG PEMASYARAKATAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

GAYATRI RACHMI RILOWATI

077005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS

PEMASYARAKATAN DI DALAM

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

Nama Mahasiswa : Gayatri Rachmi Rilowati

Nomor Pokok : 077005009

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 27 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

2. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Instansi pemasyarakatan termasuk dalam jajaran penegak hukum yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan instansi kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yang dikenal dengan istilah

Integrated Criminal Justice System, yang berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mempunyai tugas di bidang pembinaan, pembimbingan dan pengamanan warga binaan. Meskipun kedudukan instansi pemasyarakatan dalam sistem penegakan hukum terpadu sesuai KUHAP dapat disejajarkan dengan instansi penegak hukum lainnya, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya tidak satupun peraturan perundang-undangan yang berlaku (termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan) yang memberikan perlindungan hukum kepada instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukumnya, terutama dalam tugas koordinasi bersama dengan sesama instansi penegak hukum yang berwenang menurut KUHAP. Akibatnya adalah kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi yang terlemah dari segi perlindungan hukum dibandingkan dengan instansi penegak hukum lainnya. Lemahnya perlindungan hukum terhadap instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas koordinasi bersama instansi penegak hukum lainnya terbukti dalam kasus dibebaskannya terpidana Adelin Lis dari Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan atas perintah resmi dari Jaksa eksekutor. Tindakan pembebasan tersebut mengakibatkan beberapa petugas pemasyarakatan yang terkait diperiksa oleh instansi kepolisian. Seharusnya petugas pemasyarakatan yang melaksanakan perintah resmi dari instansi yang berwenang dilindungi oleh hukum dan tidak dapat dipersalahkan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa sejauhmana perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di bidang penahanan baik di rumah tahanan (Rutan) maupun di lembaga pemasyarakatan (LP) dalam hubungan koordinasi tugas dengan aparat penegak hukum berwenang lainnya. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berasal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

(6)

instansi penegak hukum berwenang lainnya sehingga kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi seimbang dengan instansi penegak hukum lainnya.

(7)

ABSTRACT

Correctional institution is part of law enforcer which its position is equal with the police department, office of the councel for the prosecution, and also the court in Integrated Criminal Justice System, according to the Regulation Number 12 Chapter 8 year 1995 about that correctional institution has duties in character building, mentoring and security precautions of members. Although the position of correctional institution in integrated criminal justice system is equal with other institutions, but in the executions of its duties, none of the prevail regulation (include the Regulation Number 12 year 1995 about correctional institution) insure of law protection especially in coordination duty along with other law enforcers based on KUHAP. Thus the position of correctional institution becomes the weakest from the protection to the correctional institution in execute of its coordination duties together with other law enforcers was showed in released of punished named Adelin Lis from Tanjung Gusta Correctional Institution Medan based legitimate order from executor prosecutor. The releasing action result in investigation of some officers of correctional institution by the police department. Logically there was a law protection to the correctional institution officer whom executed of legitimate order from the authority institution and could not be blamed for that affair.

This research has analytical descriptive characteristic that describes/explains and also analysis the range of law protection to the correctional institution officer that is insured by the Regulation Number 12 year 1995 about penal in arrest field which is in prison or in correctional institution in associate with duties coordination with other law enforcers. The research sort that is applied by using writing method with normative juridical (normative law research) approach that the research based on law norms that is contained in prevail law and regulation as a normative place to stand on which comes from general premise and ended is specific conclusion. Library research was used to populate the data to obtain theory concept of doctrine opinion or conceptual idea and prior research that has relation with this research object, in from of law and regulation and other scientific study.

Regulation Number 12 year 1995 about penal system does not fully guarantee for law protection for correctional institution officer in execution of law enforcement in arrest field, particularly in the coordination duty with other law enforcer institutions. Specific law and regulation that arrange distinctly about correctional institution officer authority in the relation with coordination duty with other law enforcers is need to be made, thus the position on correction institution becomes equal with other law enforcers.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

Perlindungan Hukum Petugas Pemasyarakatan di dalam Undang-Undang RI

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”.

Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar

Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini

tidak akan tersusun dengan baik dan selesai pada waktunya tanpa bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P Lubis,

DTM&H, Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Prof. Dr. Ir. T.

Chairun Nisa B, M.Sc, Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr.

Bismar Nasution, SH, MH, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Ibu

Dr. Sunarmi, SH, M.Hum atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana

USU.

2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku

Ketua Komisi, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr, Sunarmi,

SH, M.Hum selaku Anggota Komisi, atas segala pengarahan, bimbingan dan

dorongan yang diberikan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian

tesis ini.

3. Dosen Pembanding yaitu Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan

Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, DFM, yang telah memberikan

(9)

4. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI, Kepala Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung

Sugiyono, Bc.IP, SH, MH yang telah memberikan kesempatan dan

kepercayaan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa penuh dalam

mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, juga

kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan.

5. Bapak, Ibu seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu

yang telah memberikan keterangan dan informasi berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.

6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan kelas khusus Hukum dan HAM.

7. Seluruh keluarga penulis, khususnya untuk anakku Bastanta Sena Patria dan

Egy Aginta Syahputra yang merupakan sumber semangat bagi penulis dalam

menyelesaikan tesis ini. Teristimewa untuk mentariku, yang tidak pernah letih

mendampingi penulis dalam menghadapi masa sulit sehingga penulis tetap

tegar sampai saat ini.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi semua pihak yang berkepentingan. Namun penulis menyadari bahwa tulisan ini

masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada

kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang perlindungan hukum

terhadap petugas pemasyarakatan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarkatan.

Semoga Allas SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir dan batin

kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum wr, wb.

Hormat penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Gayatri Rachmi Rilowati, Amd, IP, SH

Tempat/Tgl Lahir : Banjarnegara/23 Oktober 1975

Agama : Islam

Pangkat : Penata (III/C)

NIP : 040070366

Jabatan : Kepala Kesatuan Pengamanan

Instansi : Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan

Pendidikan

1. SD tahun 1987

2. SMP tahun 1990

3. SMA tahun 1993

4. Akademi Ilmu Pemasyarakatan tahun 1996

5. S1 tahun 2001

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian... 24

1. Spesifikasi Penelitian ... 24

2. Sumber Data Penelitian... 25

3. Teknik Pengumpulan Data... 26

(12)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG

PEMASYARAKATAN ... 28

A. Konsep Perlindungan Hukum... 28

B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan

Perundang-undangan ... 32

C. Perlindungan Hukum terhadap Petugas Pemasyarakatan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ... 52

BAB III PELAKSANAAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS

PEMASYARAKATAN ... 62

A. Kedudukan dan Fungsi Pemasyarakatan Sebagai Bagian

dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu... 62

B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Petugas

Pemasyarakatan ... 76

C. Kedudukan dan Fungsi Perlindungan Hukum Bagi

Petugas Pemasyarakatan... 82

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI

KETIDAKJELASAN JAMINAN PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN .... 88

A. Pelaksanaan Tugas Perawatan Tahanan dan Pembinaan

Narapidana ... 88

B. Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan dalam Pelaksanaan

Tugas Pemasyarakatan ... 109

C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Ketidakjelasan Jaminan Perlindungan Hukum terhadap Petugas

(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran... 127

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan manusia baik dalam segi industri, ekonomi, politik,

sosial dan kebudayaan pada era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap

prikehidupan manusia sebagai makhluk pribadi (person) atau orang yang hidup, baik

sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara secara

universal. Hal lain yang paling sering menjadi obyek yang mendapat perhatian besar

dan serius adalah masalah yang berkaitan dengan manusia yang mempunyai hak-hak

dasar yang merupakan hak mutlak yang harus dilindungi, dijaga, dan harus

dipertahankan, apalagi dalam suatu negara hukum.

Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari criminal justice

system secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang

digunakan untuk menanggulangi berbagai tindak kejahatan, sehingga hal tersebut

dapat tetap terjaga sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini

hanyalah salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana yang ada secara universal,

sehingga cakupan sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas yaitu:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas

(15)

c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi

lagi.142

Sebagai suatu sistem yang saling terkait, maka diharapkan adanya suatu

kerjasama yang terintegrasi di antara perangkat-perangkat yang terkait di dalamnya.

Jika terdapat kelemahan pada salah satu komponen yang ada di dalamnya, maka akan

sangat mempengaruhi kinerja komponen lain dalam suatu sistem yang terintegrasi itu,

bahkan kadang ada suatu kecenderungan yang kuat dalam suatu sistem peradilan

pidana itu untuk memperluas komponen sistemnya, dalam pengertian law

enforcement officer, yaitu sampai kepada pengacara atau advokat.143

Menurut Amir Syamsudin, penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari

pembicaraan atau pembahasan mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu

saja harus ada aktornya. Sejauh ini ditemukan dan dirasakan fakta adanya penegakan

hukum yang terus-menerus dilakukan, tetapi outputnya tidak memberikan rasa

keadilan kepada masyarakat.

Kenapa hal ini terjadi? Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakan hukum

yang dilakoni selama ini. Salah satu penyebab utama adalah integritas penegak

hukum yang rendah.144

Ada empat faktor yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum

di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, Kedua, integritas penegak hukum

142 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi

Pertama (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994), hal. 85.

143 Ibid.

144 Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara,

(16)

yang buruk, Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami

Pseudoreformatif Syndrome, dan Keempat, pertumbuhan hukum yang mandek.

Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber dari substansi

peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang

korup, dan budaya masyarakat yang buruk serta lemahnya kelembagaan hukum.145

Untuk mencapai suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu

menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat

maka diperlukan beberapa faktor.

1. Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif).

2. Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efisien dan efektif serta

transparan dan akuntabel.

3. Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional memiliki integritas

moral yang tinggi.

4. Adanya budaya yang yang menghormati, taat dan menunjang tinggi nilai-nilai

hukum dan HAM menegakkan supremasi hukum (rule of law)146.

Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas seperti dikemukakan di atas, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri”

artinya harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman dalam arti luas yaitu kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana, artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu

145 Ibid.

146 Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Kapita Selekta

(17)

“kekuasaan penyidikan”, kekuasaan penuntutan”, “kekuasaan mengadili”, dan

“kekuasaan eksekusi pidana”, seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana (SPP) harus merdeka dan mandiri. Tidaklah ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu sub sistem (yaitu pada sub sistem “kekuasaan mengadili”).147

Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum

tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas aparat penegak

hukum itu sendiri. Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM)

kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen,

kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi hukum/perundang-undangan, dan

kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk budaya

hukum masyarakat). Dengan demikian upaya peningkatan kualitas aparat penegak

hukum/penegakan hukum harus mencakup keseluruhan aspek/kualitas yang

mempengaruhi kualitas penegakan hukum.

Pada prinsipnya dalam paham negara hukum “rechtstaat” terkandung asas

supremasi hukum (supremacy law) asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi

setiap orang (equality before the law) dan asas perlindungan terhadap hak asasi

manusia.148

Dalam KUHAP dimuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak

hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan bukan hanya untuk

147

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 35.

148 Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta:

(18)

menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina

suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling

mengawasi dalam “sistem checking” antara sesama mereka. Bahkan sistem ini bukan

hanya meliputi antara instansi pejabat lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum,

dan keluarga tersangka/terdakwa. Dengan adanya penggarisan penguasaan yang

berbentuk checking, KUHP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dalam

pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia:149

Pertama; built in control pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh

masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan

kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan

sendirinya ada pada struktur organisasi jawatan.

Kedua; demi tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi,

penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme

pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja. Karena dengan

mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang

terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk

mengembalikan penyimpangan tersebut ke arah tujuan dan sasaran yanga hendak

dicapai/sebenarnya.

Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang

dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem

149 Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum

(19)

pengawasan yang berbentuk “sistem checking” di antara sesama instansi. Malah

di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem

checking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini

berarti, masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar antara instansi

yang satu dengan yang lain, tidak ada yang berada di bawah atau di atas instansi yang

lain. Yang ada adalah “koordinasi pelaksanaan fungsi” penegakan hukum antara

instansi. Masing-masing melaksanakan ketentuan wewenang dan tanggung jawab

demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan

masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses

penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi dapat

mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan

hukum.150

Penekanannya dititik beratkan pada cita “cara pelaksanaan” aparat penegak

hukum terhadap setiap manusia yang berhadapan dengan mereka. Setiap manusia,

apakah dia tersangka atau terdakwa harus diperlakukan:

a. Sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri. Mereka

bukan benda mati atau hewan yang boleh diperlakukan sesuka hati, mereka

bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk

memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum.

150 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan

(20)

b. Mereka harus diperlakukan dengan cara yang manusiawi dan beradab.

Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang

dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis, mereka adalah manusia

yang harus diakui dan dihargai:

1. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain

atau equal and dignitiy”.

2. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia

selebihnya atau equal protection on the law.

3. Mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, serta perlakuan keadilan

yang sama di bawah hukum (equal before the law and equal justice under

the law).151

Dengan landasan filosofis kemanusiaan diharapkan suatu penegakan hukum

yang luhur dan berbudi yang menempatkan kedudukan aparat penegak hukum

sebagai pengendali hukum demi mempertahankan perlindungan dan ketertiban

masyarakat pada suatu pihak, dan pada pihak lain menempatkan kedudukan

tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang berhak mempertahankan derajat

martabatnya di depan hukum, dan aparat penegak hukum harus melindungi hak

kemanusiaannya.

Budaya hukum merupakan unsur pendukung lain yang sangat erat kaitannya

dengan penegakan hak asasi manusia di era globalisasi.

(21)

Budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu unsur penting yang ada

dalam rangka penegakan hukum. Selain struktur dan substansi hukum, untuk

mengetahui mengapa legal culture sangat penting dalam menentukan suatu sistem

hukum dapat berjalan atau tidak sebagaimana diharapkan oleh para pembuat sistem

hukum tersebut, maka dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Lawrence.

M. Friedman, sebagai berikut:

Working legal system can be analyzed further into three kinds of components. Some are structural the institusion themselves, the from they take, the process that they perform: These are structure. Structure includes the number and the type of courts, presence of absence of constitusion, presence of absence of federalism pluralism, devision of power between judges legislator in various institusion, and the like. Other component are substantive, this is the out put side of the legal system. These are the laws them selvesthe rules doctrines, statutes, and decress to the extent they are actually used by the rules and ruled; And in addition, all other rules and the decisions which govern, whatever their formal statutes others elementsin in the systems are cultural. These are the values and attitudes whics binds the system together and wich determine the place of the legal system in culuire of a society as a whole. What kind of training and habbits do the lawyers and judges have…? What do people thing of law?, do groups or individual willingly go to court? For what pur posedo people turn of lawyers, for what purpose do they make of other officials and inter mediarries? Islam there respect for law, govertmen traditions? what Islam the relationship between class structure and the use of legal instutions? who prefers which kind of controls and why.”152

Suatu sistem hukum yang bekerja dapat dianalisa lebih lanjut dalam 3 (tiga)

komponen yakni: Pertama, struktural (structural) yaitu struktur atau bentuk lembaga

dan institusi dari sistem hukum tersebut dan proses yang mereka jalankan. Struktur

dapat berupa jumlah dan pengadilan yang ada. Kedua, substansi (substantif) di mana

dari hasil (output) dari suatu sistem hukum yang merupakan sistem hukum itu sendiri

152 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Social Development, Law and Society Review

(22)

yang terdiri dari aturan-aturan, doktrin sepanjang digunakan oleh yang mengatur dan

yang diatur. Ketiga, (cultural) atau kebudayaan yang merupakan nilai-nilai dan cara

pandang yang menyatukan sistem tersebut dan yang menentukan di mana sistem

hukum itu diletakkan dalam kebudayaan atau masyarakat secara keseluruhan, seperti

pendidikan dan kebiasaan apa yang dipunyai oleh para ahli hukum dan apa pendapat

masyarakat tentang hukum.153

Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan

hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara

individu pelanggar hukum dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya.154

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.155

Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaannya untuk mengembalikan warga

binaan pemasyarakatan kembali ketengah-tengah masyarakat dengan baik. Ada tiga

peran yang saling berkaitan dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam

proses pembinaan dan bimbingan tersebut yaitu, narapidana itu sendiri, masyarakat

dan petugas.156

153 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tanggal 17 April 2004.

154 Farhan Hidayat, Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat,

Warta Pemasyarakatan Nomor 19 Tahun VI September 2005, hal. 27.

155 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

(23)

Menurut teori Leo Fonseka ada tiga pilar utama di dalam pembangunan

nasional yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Maka dengan sistem

pemasyarakatan Indonesia (sipasindo) juga ada tiga pilar utama di dalam

“membangun manusia mandiri”. Ketiga pilar tersebut adalah masyarakat, petugas

pemasyarakatan dan narapidana, di antara ketiganya harus saling terkait dan saling

menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada,

khususnya membangun manusia mandiri di lingkungan permasyarakatan the more

internal balanced and independent the three are the better it is for the society”.157

Kualitas petugas termaksud di dalamnya kualitas kesejahteraan merupakan

satu hal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kinerja pemasyarakatan. Kualitas

petugas yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi, sebaliknya kualitas petugas

yang rendah berdampak pada buruknya kinerja organisasi.158

Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan

yang adil yang layak dalam hubungan kerja.159

The Implementation Standard Minimum Rules For The Treatment of

Prisoners, menyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan

adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan

itu dengan hati nuraninya. Karena itu upaya yang harus ditempuh dalam manajemen

pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas

157 Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Warta Pemasyarakatan Nomor 25 Tahun

VIII-Juni 2007, hal. 26.

158 Adi Sujatno, Loct.cit, hal. 27

159 Lihat Pasal 28 d ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945,

(24)

yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses rekruitmen, pendidikan, dan

latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya.160

Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung dengan sistem formal,

di mana pada intinya tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku.

Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang dijadikan modus/sarana terciptanya

kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant) dalam kondisi inilah

fungsi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk

mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang

terpuji.

Secara faktual kondisi ideal proses akomodasi yang berlangsung dengan

sistem formal yang pada intinya merupakan tukar menukar kepentingan dilandasi

aturan yang berlaku tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan, antara

lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan sisi lain adanya

kecenderungan status sosial ekonomi narapidana yang makin tinggi.161

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan hukum pidana atau asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitas, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.162

160 David J. Cooke, Pamela, Baldwin Jaqueline Howinson, Menyingkap Dunia Gelap Penjara

(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 7.

161 Ibid.

162 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT Refika

(25)

Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan pidana terpadu (integrated

criminal justice system), dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem

kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.163

Mengingat tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan yang demikian

berat adalah suatu hal yang wajar apabila diciptakan peraturan sebagai payung hukum

bagi setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan sistem

pemasyarakatan. Tidak hanya hak-hak para tahanan dan narapidana yang harus

dilindungi, tetapi hak-hak dari para petugas pelaksana terutama hak untuk

mendapatkan perlindungan dan memperoleh kenyamanan dalam bekerja juga tidak

bisa diabaikan.

Perlindungan hukum bagi petugas pemasyarakatan merupakan hal yang

sangat esensial. Perlindungan yang dimaksud bukan berarti menyebabkan petugas

tersebut menjadi kebal hukum, akan tetapi bertujuan agar si petugas tersebut mampu

lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya dengan maksimal.

Perlindungan hukum tersebut juga merupakan suatu upaya bagi suatu instansi dalam

melindungi petugasnya dari kemungkinan intervensi terlalu jauh dari pihak lain.

(26)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan

dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana peraturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan

di dalam pelaksanaan tugas?

2. Bagaimana pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap

petugas pemasyarakatan?

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan

hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap petugas

pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum

terhadap petugas pemasyarakatan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan

perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun

(27)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui

sumbangsih pemikiran di bidang penegakan hukum khususnya mengenai

pemasyarakatan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam

penyusunan rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap

hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera

Utara, penelitian mengenai analisis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang

sama.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali

dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara

(28)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Di tengah kehidupan masyarakat yang bebas bergerak, ada sebagian anggota

masyarakat yang terkungkung hidup dalam suatu lembaga untuk mempertanggung

jawabkan perbuatannya karena anggota masyarakat tersebut telah melakukan tindak

pidana sehingga harus ditahan di Rumah Tahanan Negara dan menjalani pidana

di Lembaga Pemasyarakatan.

Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur

dari kehidupan di dalam masyarakat dalam umumnya. Greenberg, di dalam bukunya

correction and punishment 1977 mengatakan bahwa penjara adalah miniatur

kehidupan nyata. Sementara itu menurut David J Ruthman keberadaan penjara adalah

sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luar bisa bebas dari kejahatan.164

Dalam suasana di mana para penghuni mempunyai sikap tingkah laku serta

latar belakang kehidupan yang beraneka ragam, petugas meletakkan dirinya ditengah

kehidupan tersebut, untuk menyelaraskan, mencari harmoni, sehingga dapat

menerapkan suatu perlakuan (treatment) yang tidak bertentangan dengan martabat

kemanusiaan di samping itu petugas harus pula menyelaraskan tindakan, perlakuan

pembinaan yang sesuai dengan ketentuan hukum maupun keselarasan dengan

kehendak masyarakat.

164 Susy Susilawati, Penyimpangan Beberapa Norma Kehidupan Ditinjau dari Sudut

Sosiologi Hukum dalam Pelaksanaan Pengamanan/Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan,

(29)

All members of the personel shall at times so conduct themselves and perform

their duties as to influence the prisoners for good by their example and to command

their respect.165

Semua anggota personil harus selalu menjaga perilaku mereka dalam

melaksanakan tugas sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada narapidana

melalui contoh yang baik, dan untuk membangkitkan sikap menghargai mereka.

Perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem

peradilan pidana terpadu merupakan hal yang sangat esensial dalam menunjang

pelaksanaan tugas pada umumnya dan penegakan hukum pada khususnya.166

Di dalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari

komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output)

yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana, yaitu sasaran jangka menengah

adalah pencegahan kejahatan serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah

kesejahteraan masyarakat.167

Pendekatan dengan teori sistem peradilan pidana dianggap perlu oleh karena

dalam hal penanganan tindak pidana tersebut keterkaitan dan keterpaduan dalam

setiap tahapan proses pemeriksaan mulai dari proses penyelidikan (kepolisian),

165

Lihat Pasal 48, Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisonners.

166 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 61.

167 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

(30)

penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan persidangan (pengadilan), hingga pemindahan

(lembaga pemasyarakatan).168

Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice

system).169 Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi

fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan

yang diberikan Undang-Undang kepada masing-masing.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.170

Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa hakekat perbuatan

melanggar hukum oleh Warga Binaan Pemasyarakatan adalah cerminan dari adanya

keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan

dengan masyarakat di sekitarnya.171

Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat menampilkan fungsi yang

diharapkan antara lain:172

a. Merupakan komunitas yang teratur dengan baik seperti: tidak membahayakan

nyawa, kesehatan dan integritas personal.

168 Ibid.

169

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 90.

(31)

b. Kondisinya tidak menambah kesulitan yang dialami narapidana akibat

pemidanaan.

c. Aktivitas di dalamnya sebanyak mungkin membantu kembali ke masyarakat

setelah menjalani pidananya.173

Kenyataan menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum sepenuhnya

mampu menunjukkan fungsi yang ideal. Berbagai aspek dan kondisi dalam Lembaga

Pemasyarakatan sangat potensial menimbulkan pelanggaran HAM, antara lain over

kapasitas, kualitas penghuni yang berubah dari kejahatan transnasional, dan

terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.174

Petugas pemasyarakatan adalah abdi Negara dan abdi masyarakat, yang dalam

pelaksanaan tugasnya wajib menghayati dan mengamalkan tugas-tugas pembinaan

pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan

pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna. Petugas harus

173

Membuat Standard-standard Bekerja, Sebuah Buku Panduan Internasional Mengenai Praktek Pemenjaraan yang Baik (Penal Reform International), hal. 13.

Contoh prinsip fundamental dalam SMR termaksud sebagai berikut:

a. Penjara harus merupakan komunitas yang teratur dengan baik, sebagai contoh, haruslah merupakan tempat yang tidak membahayakan nyawa, kesehatan, dan integritas personal; b.Penjara haruslah merupakan tempat dimana tidak ditunjukkan diskriminasi dalam

penanganan tahanan;

c. Ketika pengadilan menjatuhkan bagi seorang pelanggar hukum dengan pemenjaraan, maka akan menghasilkan sebuah hukuman yang secara ekstrim menyusahkan dan tak terelakkan. Kondisi penjara tidak boleh menambah berat kesulitan ini;

d.Aktivitas penjara haruslah terfokus sebanyak mungkin dalam membantu para tahanan untuk dapat kembali ke masyarakat setelah menjalani hukumannya. Karena alasan ini, aturan dan rezim penjara tidaklah boleh membatasi kebebasan. Kontak sosial dan kemungkinan pengembangan personal para tahanan lebih dari yang dibutuhkan. Aturan dan rezim penjara haruslah kondusif untuk penyesuaian dan integrasi dalam kehidupan masyarakat normal.

174 http://www.Google, Perlindungan Hukum, Suaeb, Penyiksaan dan Perlakuan atau

(32)

memiliki kemampuan profesional dan moral.175 Dalam melaksanakan kewajiban

mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat

manusia, menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.176

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan

(Rechgerechtigheid), kepastian hukum (Rechtszekerheid), dan kemanfaatan

(Rechtsutiliteit).177

Unsur-unsur sistem hukum menurut Lawrence Friedman yaitu:

1. Substance (substansi hukum).

2. Structure (struktur hukum).

3. Culture (budaya hukum).178

Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang

berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan

perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book) tetapi juga

ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan

oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu. Misalnya keputusan-keputusan yang

mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Struktur dari sistem hukum

terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan

175 Adi Sujatno, Op.Cit, hal. 18.

176 Lihat Pasal 2 Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for

Law Enforcement Officials).

177

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.

178 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum Kelas Pararel A dan B

(33)

dan upaya-upaya hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan

penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya.

Suatu unsur yang sangat penting dalam struktur hukum adalah, bagaimana

agency-agency/organ-organ/pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi struktural

tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Budaya hukum

menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi

persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap

hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran

sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari

atau disalah gunakan.

Penegakan hukum dan ketertiban terkait erat dengan profesionalisme lembaga

orang-orang yang berada pada sistem peradilan dan hukum di Indonesia.179

Cukup lama sebagian masyarakat merasakan dan mengalami kasus-kasus

ketidak adilan pada sistem peradilan. Tidak sedikit pihak yang memanfaatkan

kelemahan-kelemahan sistem yang saat ini berlaku. Untuk itu, pengabdian para

penegak hukum yang bersih dan tulus perlu ditingkatkan agar benteng keadilan ini

benar-benar mampu menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan rakyat.

Sebaliknya perlu tindakan yang tegas dan keras bagi mereka yang sengaja melanggar

dan menyelewengkan hukum.

Dalam pemikiran sociological Jurisprudence, Roscoe Pound (1870 – 1964),

ditegaskan bahwa kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.180

(34)

Pound melihat dan memahami hukum sebagai pengatur dan pendamai dari

konflik keinginan. Hukum merupakan alat untuk mengontrol keinginan sesuai dengan

prasyarat kepatuhan sosial.181

Pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan

digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan, bahwa hukum itu

mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya

ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat.182

Menurut Andi Matalatta hukum mempunyai peranan yang penting serta

mempunyai arti sangat strategis dalam semua aspek kehidupan, bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. “Oleh karena itu, hukum harus dibangun agar dapat

menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat”.183

2. Kerangka Konsepsi

Petugas Pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan

tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.184

Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam

tata peradilan pidana adalah bagian integral dalam tata peradilan terpadu (Integrated

Criminal Justice System).185

180 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 298.

181 Loc.Cit.

182 Loc.Cit. hal. 199.

183 Andi Matalatta, Tingkatkan Profesionalisme Aparatur Hukum, Pidato Pada Upacara

Pemberian Remisi di LP Cipinang pada Tanggal 17 Agustus 2008.

184 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

(35)

Narapidana adalah terpidana yang mengalami pidana hilang kemerdekaan

di LAPAS. 186

Tahanan adalah setiap orang yang dimasukkan ke dalam rumah tahanan

(Rutan) karena disangka/diduga melakukan tindak pidana guna kepentingan proses

hukum (penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan), namun kasusnya

belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan.187

Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada petugas pemasyarakatan

di bidang hukum pidana dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.188

Pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan

petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian

proses penegakan hukum.

Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem

terpadu” (Integrated Criminal Justice System). Sistem terpadu tersebut diletakkan

di atas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum

sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada

masing-masing.189

Menurut M. Yahya Harahap kegiatan “sistem peradilan” didukung empat

fungsi utama yaitu:190

186 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 187

Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi, Op.Cit, hal. 40.

188 Ibid, hal. 41.

(36)

a. Fungsi pembuatan Undang-Undang (law making function).

b. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function).

c. Fungsi pemeriksaan persidangan peradilan.

d. Fungsi memperbaiki terpidana.

Penegakan hukum ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order),

mempunyai tujuan objektif:

1. Penegakan hukum secara aktual (the actual enforcement law) meliputi tindakan:

a. Penyelidikan – Penyidikan (investigation).

b. Penangkapan (arrest) penahanan (detention).

c. Persidangan pengadilan (trial) dan

d. Pemidanaan (punishment) – Pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku

individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender).

2. Efek preventif (preventive effect)

Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat)

melakukan tindak pidana, meliputi fungsi:

1. Fungsi pemeriksaan sidang pengadilan (function of adjudication).

Fungsi ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang

dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan hakim serta pejabat pengadilan

terkait.

2. Fungsi memperbaiki terpidana (the function of correction). Fungsi ini meliputi

aktifitas, pelayanan sosial, dan lembaga kesehatan mental. Tujuan umum semua

lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana

(37)

kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and

productive life).

G. Metode Penelitian

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran

dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta masalah penelitian,

sangat ditentukan metode yang digunakan dalam penelitian, dapat dikutip pendapat

Soerjono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut:

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.191

1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Soerjono Soekanto

mengemukakan, “penelitian deskriptif analitis” adalah penelitian yang bertujuan

untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistemik, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan fenomena yang diselidiki.192

Penelitian ini hanya menggambarkan situasi atau keadaan yang terjadi

terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi

kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu kualifikasi tanpa

secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

(38)

Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif

yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui

pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini

menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data

didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang

tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat

teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan

terhadap masalah yang dihadapi. Selanjutnya penelitian mengumpulkan dan

mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:193

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan, yaitu Undang-Undang

RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

193 Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Bahan/Sumber Informasi Dapat Merupakan

Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tertier. Bambang Waluyo,

(39)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar

hukum serta bahan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar,

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.194

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan

data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui literatur, yakni

dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang pemasyarakatan dan

peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil

penelitian yang sudah terkumpul, di mana pada penelitian ini digunakan metode

normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari

peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif,

dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan

informasi-informasi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat

194 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja

(40)

menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan

(41)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

A. Konsep Perlindungan Hukum

Asas-asas perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan harus

bersumber dari Pancasila sebagai landasan idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas

konstitusional (struktural), dan Undang-Undang sebagai asas operasional (teknis).

Asas-asas tersebut memiliki tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang

abstrak.195 Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil

(filosofis) hukumnya pada sila ke 5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya

terkandung suatu “hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality)

di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian

subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.

Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum maka pemilik hak memiliki kekuatan

untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.196

Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan/

tuntutan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak

195

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 14-18.

196 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul

(42)

hukum.197 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia

tanpa kecuali berhak memperoleh keadilan. Petugas pemasyarakatan sebagai aparatur

negara yang melaksanakan pembinaan yang melaksanakan pembinaan dan

pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, juga berhak memperoleh keadilan

dalam konteks perlindungan hukum tersebut. Konsep perlindungan hukum juga

memperoleh landasan konstitusional (struktural) dalam pembukaan UUD 1945 pada

alinea ke 4 (setelah empat kali mengalami amandemen) yang menyatakan sebagai

berikut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial……”

Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi

lahirnya konsep perlindungan hukum yaitu kata “segenap bangsa” dan kata

“melindungi”. Dari dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap

bangsa tanpa terkecuali, baik laki-laki ataupun perempuan, orang kaya atau miskin,

orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, anggota TNI/Polri, Jaksa,

Hakim, Pengacara, Petugas pemasyarakatan termasuk seluruh lapisan masyarakat

dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan/tugas sehari-hari.198 Perlindungan hukum

bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari dua bagian besar yaitu:199

197

Ibid.

198 Lihat AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit

Media, 2002), hal. 31.

(43)

a. Perlindungan hukum aktif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk

menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses

yang berlangsung secara wajar.

b. Perlindungan hukum pasif yang dimaksudkan mengupayakan pencegahan atas

upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.

Usaha mewujudkan perlindungan hukum ini termasuk di dalamnya adalah:

1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman.

2) Mewujudkan kedamaian sejati.

3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat.

4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan

baik lahir maupun batin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial.

Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat merasa

yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada

kekuatan fisik maupun non fisik belaka.200 Dari uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu “Segala daya upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan

masyarakat tanpa kecuali”.201 Kesewenang-wenangan bertindak dalam pergaulan

hidup di masyarakat merupakan musuh terbesar dari hukum yang bertujuan untuk

200

Dudu Dusuna, Mahjudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 26-27.

201 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

(44)

menciptakan perdamaian dan keamanan dalam masyarakat.202 Dengan terjadinya

kesewenang-wenangan dalam pergaulan hidup di masyarakat, maka perlindungan

hukum dalam praktek pelaksanaannya tidak berjalan secara efektif dan efisien.

Kesewenang-wenangan mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam interaksi

sosial. Semakin tinggi frekuensi kesewenang-wenangan yang terjadi dalam

masyarakat maka semakin menipis kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai

suatu rangkaian peraturan yang mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia dalam

hidup bermasyarakat.

Perlindungan hukum dapat berlangsung efektif dan efisien apabila hukum

diposisikan sebagai panglima dalam suatu negara. Artinya hukum sebagai panglima

mengandung unsur supremasi hukum dalam praktek pelaksanaannya dan aparatur

penegak hukum menjadikan supremasi hukum sebagai landasan penyelenggaraan

negara termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negaranya. Jhon Locke

menyatakan bahwa untuk menjadikan hukum sebagai supremasi dalam melindungi

hak-hak masyarakat dalam suatu negara harus berisi 3 unsur penting yaitu:203

a. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat

menikmati hak azasinya dengan damai.

202 Koento Wibosono Siswonihardjo, Supremasi Hukum dalam Negara-negara Demokrasi

Menuju Indonesia Baru Kajian Filosofi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 67-69.

(45)

b. Adanya suatu badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang

timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota

masyarakat (horizontal dispute).

c. Masyarakat tidak lagi diperintah berdasarkan kediktatoran, tetapi

diperintah berdasarkan hukum.

Inti dari gagasan Jhon Locke ini menyiratkan bahwa penghormatan terhadap

supremasi hukum tercermin dari adanya hukum secara substantif (Law and paper)

dan kondisi hukum oleh badan-badan peradilan (Law in action). Suatu negara dapat

dikatakan negara hukum yang berhasil melaksanakan perlindungan hukum bagi

seluruh lapisan masyarakatnya apabila supremasi hukum telah dijadikan landasan

dalam penyelenggaraan negara, dan peraturan perundang-undangan tidak hanya

sebatas hukum yang dibuat secara teori di atas kertas, tetapi bagaimana hukum

tersebut telah dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.

B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan

1. Perlindungan Hukum di dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

Setiap tindakan atau perbuatan aparatur negara harus berdasarkan ketentuan

Undang-undang yang berlaku. Undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan

(46)

melanggar batas-batas tersebut.204 Tindakan/perbuatan aparatur negara yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu

kewenangan/kekuasaan yang sah dari aparatur negara dalam melaksanakan

tugasnya. Kewenangan/kekuasaan dari aparatur negara tersebut akan memperoleh

perlindungan hukum dari undang-undang yang berkaitan dengan tugas-tugas aparatur

negara tersebut. Perlindungan hukum terhadap tindakan/perbuatan aparatur negara

yang diberikan oleh undang-undang adalah yang berkaitan dengan tugas dan jabatan

sebagai penegak hukum untuk menjamin keamanan secara pribadi maupun

korps/kesatuan/instansi aparatur negara yang bersangkutan dari perlawanan/ tuntutan/

gugatan pihak manapun juga. Tindakan/perbuatan aparatur negara yang sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan tindakan/

perbuatan yang sah/legal dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatannya.

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan atau perbuatan

aparatur negara merupakan payung hukum yang melindungi aparatur negara tersebut

dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.205

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diundangkan pada tanggal 8 Januari 2002, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, merupakan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini menggantikan

204 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),

hal. 22.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, dalam perspektif lain Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu

Kegiatan pembinaan ini dilakukan dengan sistem pemasyarakatan yaitu dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari

Terbongkarnya beberapa pabrik dan laboratorium gelap narkotika oleh Badan Narkotika Nasional, Polri dan Instansi penegak hukum lainnya, mengindikasikan bahwa Indonesia

Penulisan ini diharapkan pula dapat menjadi bahan masalah bagi pemerintah dan instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum dan penyempurnaan hukum

Pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan warga binaan wanita dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang wanita juga, yang terdiri dari pembina pemasyarakatan, pengaman

Asimilasi merupakan hak bagi narapidana untuk memperoleh pembinaan berdasarkan pasal 14 huruf (j) UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, mengingat tidak semua

8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 184 dan saksi ahli merupakan kepentingan penegakan hukum serta keadilan lewat pemeriksaan atas diri korban suatu tindak pidana atau

Dalam prakteknya, bentuk pembinaan terhadap anak pidana yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas IIB Tanjung Pati adalah pembinaan secara umum yakni