PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN
DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995
TENTANG PEMASYARAKATAN
TESIS
Oleh
GAYATRI RACHMI RILOWATI
077005009/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Σ Ε Κ
Ο Λ Α
Η
Π Α
Σ Χ
Α Σ Α Ρ ϑΑ
Ν
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN
DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995
TENTANG PEMASYARAKATAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
GAYATRI RACHMI RILOWATI
077005009/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS
PEMASYARAKATAN DI DALAM
UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
Nama Mahasiswa : Gayatri Rachmi Rilowati
Nomor Pokok : 077005009
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B. MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 27 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS
2. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum
3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum
ABSTRAK
Instansi pemasyarakatan termasuk dalam jajaran penegak hukum yang kedudukannya dapat disejajarkan dengan instansi kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan dalam suatu sistem penegakan hukum terpadu yang dikenal dengan istilah
Integrated Criminal Justice System, yang berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mempunyai tugas di bidang pembinaan, pembimbingan dan pengamanan warga binaan. Meskipun kedudukan instansi pemasyarakatan dalam sistem penegakan hukum terpadu sesuai KUHAP dapat disejajarkan dengan instansi penegak hukum lainnya, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya tidak satupun peraturan perundang-undangan yang berlaku (termasuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan) yang memberikan perlindungan hukum kepada instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukumnya, terutama dalam tugas koordinasi bersama dengan sesama instansi penegak hukum yang berwenang menurut KUHAP. Akibatnya adalah kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi yang terlemah dari segi perlindungan hukum dibandingkan dengan instansi penegak hukum lainnya. Lemahnya perlindungan hukum terhadap instansi pemasyarakatan dalam pelaksanaan tugas koordinasi bersama instansi penegak hukum lainnya terbukti dalam kasus dibebaskannya terpidana Adelin Lis dari Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan atas perintah resmi dari Jaksa eksekutor. Tindakan pembebasan tersebut mengakibatkan beberapa petugas pemasyarakatan yang terkait diperiksa oleh instansi kepolisian. Seharusnya petugas pemasyarakatan yang melaksanakan perintah resmi dari instansi yang berwenang dilindungi oleh hukum dan tidak dapat dipersalahkan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa sejauhmana perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di bidang penahanan baik di rumah tahanan (Rutan) maupun di lembaga pemasyarakatan (LP) dalam hubungan koordinasi tugas dengan aparat penegak hukum berwenang lainnya. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berasal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
instansi penegak hukum berwenang lainnya sehingga kedudukan instansi pemasyarakatan menjadi seimbang dengan instansi penegak hukum lainnya.
ABSTRACT
Correctional institution is part of law enforcer which its position is equal with the police department, office of the councel for the prosecution, and also the court in Integrated Criminal Justice System, according to the Regulation Number 12 Chapter 8 year 1995 about that correctional institution has duties in character building, mentoring and security precautions of members. Although the position of correctional institution in integrated criminal justice system is equal with other institutions, but in the executions of its duties, none of the prevail regulation (include the Regulation Number 12 year 1995 about correctional institution) insure of law protection especially in coordination duty along with other law enforcers based on KUHAP. Thus the position of correctional institution becomes the weakest from the protection to the correctional institution in execute of its coordination duties together with other law enforcers was showed in released of punished named Adelin Lis from Tanjung Gusta Correctional Institution Medan based legitimate order from executor prosecutor. The releasing action result in investigation of some officers of correctional institution by the police department. Logically there was a law protection to the correctional institution officer whom executed of legitimate order from the authority institution and could not be blamed for that affair.
This research has analytical descriptive characteristic that describes/explains and also analysis the range of law protection to the correctional institution officer that is insured by the Regulation Number 12 year 1995 about penal in arrest field which is in prison or in correctional institution in associate with duties coordination with other law enforcers. The research sort that is applied by using writing method with normative juridical (normative law research) approach that the research based on law norms that is contained in prevail law and regulation as a normative place to stand on which comes from general premise and ended is specific conclusion. Library research was used to populate the data to obtain theory concept of doctrine opinion or conceptual idea and prior research that has relation with this research object, in from of law and regulation and other scientific study.
Regulation Number 12 year 1995 about penal system does not fully guarantee for law protection for correctional institution officer in execution of law enforcement in arrest field, particularly in the coordination duty with other law enforcer institutions. Specific law and regulation that arrange distinctly about correctional institution officer authority in the relation with coordination duty with other law enforcers is need to be made, thus the position on correction institution becomes equal with other law enforcers.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“
Perlindungan Hukum Petugas Pemasyarakatan di dalam Undang-Undang RINomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan”.
Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini
tidak akan tersusun dengan baik dan selesai pada waktunya tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P Lubis,
DTM&H, Sp.A(K), Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B, M.Sc, Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr.
Bismar Nasution, SH, MH, dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum, Ibu
Dr. Sunarmi, SH, M.Hum atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana
USU.
2. Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku
Ketua Komisi, Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr, Sunarmi,
SH, M.Hum selaku Anggota Komisi, atas segala pengarahan, bimbingan dan
dorongan yang diberikan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian
tesis ini.
3. Dosen Pembanding yaitu Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum dan
Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, DFM, yang telah memberikan
4. Kepala BPSDM Departemen Hukum dan HAM RI, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara khususnya Bapak Untung
Sugiyono, Bc.IP, SH, MH yang telah memberikan kesempatan dan
kepercayaan kepada penulis untuk memperoleh beasiswa penuh dalam
mengikuti pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, juga
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan.
5. Bapak, Ibu seluruh pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah memberikan keterangan dan informasi berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.
6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan kelas khusus Hukum dan HAM.
7. Seluruh keluarga penulis, khususnya untuk anakku Bastanta Sena Patria dan
Egy Aginta Syahputra yang merupakan sumber semangat bagi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini. Teristimewa untuk mentariku, yang tidak pernah letih
mendampingi penulis dalam menghadapi masa sulit sehingga penulis tetap
tegar sampai saat ini.
Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi semua pihak yang berkepentingan. Namun penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada
kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang perlindungan hukum
terhadap petugas pemasyarakatan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarkatan.
Semoga Allas SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir dan batin
kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum wr, wb.
Hormat penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Gayatri Rachmi Rilowati, Amd, IP, SH
Tempat/Tgl Lahir : Banjarnegara/23 Oktober 1975
Agama : Islam
Pangkat : Penata (III/C)
NIP : 040070366
Jabatan : Kepala Kesatuan Pengamanan
Instansi : Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan
Pendidikan
1. SD tahun 1987
2. SMP tahun 1990
3. SMA tahun 1993
4. Akademi Ilmu Pemasyarakatan tahun 1996
5. S1 tahun 2001
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian... 13
D. Manfaat Penelitian... 14
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori... 15
2. Kerangka Konsepsi ... 21
G. Metode Penelitian... 24
1. Spesifikasi Penelitian ... 24
2. Sumber Data Penelitian... 25
3. Teknik Pengumpulan Data... 26
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG
PEMASYARAKATAN ... 28
A. Konsep Perlindungan Hukum... 28
B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan
Perundang-undangan ... 32
C. Perlindungan Hukum terhadap Petugas Pemasyarakatan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan ... 52
BAB III PELAKSANAAN KEDUDUKAN DAN FUNGSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS
PEMASYARAKATAN ... 62
A. Kedudukan dan Fungsi Pemasyarakatan Sebagai Bagian
dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu... 62
B. Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Petugas
Pemasyarakatan ... 76
C. Kedudukan dan Fungsi Perlindungan Hukum Bagi
Petugas Pemasyarakatan... 82
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI
KETIDAKJELASAN JAMINAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN .... 88
A. Pelaksanaan Tugas Perawatan Tahanan dan Pembinaan
Narapidana ... 88
B. Kebijakan-kebijakan yang Dilakukan dalam Pelaksanaan
Tugas Pemasyarakatan ... 109
C. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Ketidakjelasan Jaminan Perlindungan Hukum terhadap Petugas
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 125
A. Kesimpulan ... 125
B. Saran... 127
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kehidupan manusia baik dalam segi industri, ekonomi, politik,
sosial dan kebudayaan pada era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap
prikehidupan manusia sebagai makhluk pribadi (person) atau orang yang hidup, baik
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara secara
universal. Hal lain yang paling sering menjadi obyek yang mendapat perhatian besar
dan serius adalah masalah yang berkaitan dengan manusia yang mempunyai hak-hak
dasar yang merupakan hak mutlak yang harus dilindungi, dijaga, dan harus
dipertahankan, apalagi dalam suatu negara hukum.
Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari criminal justice
system secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang
digunakan untuk menanggulangi berbagai tindak kejahatan, sehingga hal tersebut
dapat tetap terjaga sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini
hanyalah salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana yang ada secara universal,
sehingga cakupan sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas yaitu:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas
c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi
lagi.142
Sebagai suatu sistem yang saling terkait, maka diharapkan adanya suatu
kerjasama yang terintegrasi di antara perangkat-perangkat yang terkait di dalamnya.
Jika terdapat kelemahan pada salah satu komponen yang ada di dalamnya, maka akan
sangat mempengaruhi kinerja komponen lain dalam suatu sistem yang terintegrasi itu,
bahkan kadang ada suatu kecenderungan yang kuat dalam suatu sistem peradilan
pidana itu untuk memperluas komponen sistemnya, dalam pengertian law
enforcement officer, yaitu sampai kepada pengacara atau advokat.143
Menurut Amir Syamsudin, penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari
pembicaraan atau pembahasan mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu
saja harus ada aktornya. Sejauh ini ditemukan dan dirasakan fakta adanya penegakan
hukum yang terus-menerus dilakukan, tetapi outputnya tidak memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat.
Kenapa hal ini terjadi? Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakan hukum
yang dilakoni selama ini. Salah satu penyebab utama adalah integritas penegak
hukum yang rendah.144
Ada empat faktor yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum
di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, Kedua, integritas penegak hukum
142 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi
Pertama (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1994), hal. 85.
143 Ibid.
144 Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara,
yang buruk, Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami
Pseudoreformatif Syndrome, dan Keempat, pertumbuhan hukum yang mandek.
Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber dari substansi
peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang
korup, dan budaya masyarakat yang buruk serta lemahnya kelembagaan hukum.145
Untuk mencapai suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu
menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat
maka diperlukan beberapa faktor.
1. Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif).
2. Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efisien dan efektif serta
transparan dan akuntabel.
3. Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional memiliki integritas
moral yang tinggi.
4. Adanya budaya yang yang menghormati, taat dan menunjang tinggi nilai-nilai
hukum dan HAM menegakkan supremasi hukum (rule of law)146.
Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas seperti dikemukakan di atas, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri”
artinya harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman dalam arti luas yaitu kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, maka “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana, artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu
145 Ibid.
146 Pakar Hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, Kapita Selekta
“kekuasaan penyidikan”, kekuasaan penuntutan”, “kekuasaan mengadili”, dan
“kekuasaan eksekusi pidana”, seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana (SPP) harus merdeka dan mandiri. Tidaklah ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu sub sistem (yaitu pada sub sistem “kekuasaan mengadili”).147
Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum
tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas aparat penegak
hukum itu sendiri. Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM)
kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen,
kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi hukum/perundang-undangan, dan
kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk budaya
hukum masyarakat). Dengan demikian upaya peningkatan kualitas aparat penegak
hukum/penegakan hukum harus mencakup keseluruhan aspek/kualitas yang
mempengaruhi kualitas penegakan hukum.
Pada prinsipnya dalam paham negara hukum “rechtstaat” terkandung asas
supremasi hukum (supremacy law) asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi
setiap orang (equality before the law) dan asas perlindungan terhadap hak asasi
manusia.148
Dalam KUHAP dimuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak
hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan bukan hanya untuk
147
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 35.
148 Marwan Efendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta:
menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina
suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling
mengawasi dalam “sistem checking” antara sesama mereka. Bahkan sistem ini bukan
hanya meliputi antara instansi pejabat lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum,
dan keluarga tersangka/terdakwa. Dengan adanya penggarisan penguasaan yang
berbentuk checking, KUHP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dalam
pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia:149
Pertama; built in control pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh
masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan
kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan
sendirinya ada pada struktur organisasi jawatan.
Kedua; demi tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi,
penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme
pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja. Karena dengan
mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang
terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk
mengembalikan penyimpangan tersebut ke arah tujuan dan sasaran yanga hendak
dicapai/sebenarnya.
Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang
dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem
149 Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum
pengawasan yang berbentuk “sistem checking” di antara sesama instansi. Malah
di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem
checking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini
berarti, masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar antara instansi
yang satu dengan yang lain, tidak ada yang berada di bawah atau di atas instansi yang
lain. Yang ada adalah “koordinasi pelaksanaan fungsi” penegakan hukum antara
instansi. Masing-masing melaksanakan ketentuan wewenang dan tanggung jawab
demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan
masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses
penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi dapat
mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan
hukum.150
Penekanannya dititik beratkan pada cita “cara pelaksanaan” aparat penegak
hukum terhadap setiap manusia yang berhadapan dengan mereka. Setiap manusia,
apakah dia tersangka atau terdakwa harus diperlakukan:
a. Sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri. Mereka
bukan benda mati atau hewan yang boleh diperlakukan sesuka hati, mereka
bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk
memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum.
150 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
b. Mereka harus diperlakukan dengan cara yang manusiawi dan beradab.
Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang
dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis, mereka adalah manusia
yang harus diakui dan dihargai:
1. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain
atau equal and dignitiy”.
2. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia
selebihnya atau equal protection on the law.
3. Mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, serta perlakuan keadilan
yang sama di bawah hukum (equal before the law and equal justice under
the law).151
Dengan landasan filosofis kemanusiaan diharapkan suatu penegakan hukum
yang luhur dan berbudi yang menempatkan kedudukan aparat penegak hukum
sebagai pengendali hukum demi mempertahankan perlindungan dan ketertiban
masyarakat pada suatu pihak, dan pada pihak lain menempatkan kedudukan
tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang berhak mempertahankan derajat
martabatnya di depan hukum, dan aparat penegak hukum harus melindungi hak
kemanusiaannya.
Budaya hukum merupakan unsur pendukung lain yang sangat erat kaitannya
dengan penegakan hak asasi manusia di era globalisasi.
Budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu unsur penting yang ada
dalam rangka penegakan hukum. Selain struktur dan substansi hukum, untuk
mengetahui mengapa legal culture sangat penting dalam menentukan suatu sistem
hukum dapat berjalan atau tidak sebagaimana diharapkan oleh para pembuat sistem
hukum tersebut, maka dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Lawrence.
M. Friedman, sebagai berikut:
Working legal system can be analyzed further into three kinds of components. Some are structural the institusion themselves, the from they take, the process that they perform: These are structure. Structure includes the number and the type of courts, presence of absence of constitusion, presence of absence of federalism pluralism, devision of power between judges legislator in various institusion, and the like. Other component are substantive, this is the out put side of the legal system. These are the laws them selvesthe rules doctrines, statutes, and decress to the extent they are actually used by the rules and ruled; And in addition, all other rules and the decisions which govern, whatever their formal statutes others elementsin in the systems are cultural. These are the values and attitudes whics binds the system together and wich determine the place of the legal system in culuire of a society as a whole. What kind of training and habbits do the lawyers and judges have…? What do people thing of law?, do groups or individual willingly go to court? For what pur posedo people turn of lawyers, for what purpose do they make of other officials and inter mediarries? Islam there respect for law, govertmen traditions? what Islam the relationship between class structure and the use of legal instutions? who prefers which kind of controls and why.”152
Suatu sistem hukum yang bekerja dapat dianalisa lebih lanjut dalam 3 (tiga)
komponen yakni: Pertama, struktural (structural) yaitu struktur atau bentuk lembaga
dan institusi dari sistem hukum tersebut dan proses yang mereka jalankan. Struktur
dapat berupa jumlah dan pengadilan yang ada. Kedua, substansi (substantif) di mana
dari hasil (output) dari suatu sistem hukum yang merupakan sistem hukum itu sendiri
152 Lawrence M. Friedman, Legal Culture and Social Development, Law and Society Review
yang terdiri dari aturan-aturan, doktrin sepanjang digunakan oleh yang mengatur dan
yang diatur. Ketiga, (cultural) atau kebudayaan yang merupakan nilai-nilai dan cara
pandang yang menyatukan sistem tersebut dan yang menentukan di mana sistem
hukum itu diletakkan dalam kebudayaan atau masyarakat secara keseluruhan, seperti
pendidikan dan kebiasaan apa yang dipunyai oleh para ahli hukum dan apa pendapat
masyarakat tentang hukum.153
Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan
hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara
individu pelanggar hukum dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya.154
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.155
Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaannya untuk mengembalikan warga
binaan pemasyarakatan kembali ketengah-tengah masyarakat dengan baik. Ada tiga
peran yang saling berkaitan dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam
proses pembinaan dan bimbingan tersebut yaitu, narapidana itu sendiri, masyarakat
dan petugas.156
153 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tanggal 17 April 2004.
154 Farhan Hidayat, Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat,
Warta Pemasyarakatan Nomor 19 Tahun VI September 2005, hal. 27.
155 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Menurut teori Leo Fonseka ada tiga pilar utama di dalam pembangunan
nasional yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Maka dengan sistem
pemasyarakatan Indonesia (sipasindo) juga ada tiga pilar utama di dalam
“membangun manusia mandiri”. Ketiga pilar tersebut adalah masyarakat, petugas
pemasyarakatan dan narapidana, di antara ketiganya harus saling terkait dan saling
menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada,
khususnya membangun manusia mandiri di lingkungan permasyarakatan “the more
internal balanced and independent the three are the better it is for the society”.157
Kualitas petugas termaksud di dalamnya kualitas kesejahteraan merupakan
satu hal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kinerja pemasyarakatan. Kualitas
petugas yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi, sebaliknya kualitas petugas
yang rendah berdampak pada buruknya kinerja organisasi.158
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan
yang adil yang layak dalam hubungan kerja.159
The Implementation Standard Minimum Rules For The Treatment of
Prisoners, menyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan
adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan
itu dengan hati nuraninya. Karena itu upaya yang harus ditempuh dalam manajemen
pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas
157 Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Warta Pemasyarakatan Nomor 25 Tahun
VIII-Juni 2007, hal. 26.
158 Adi Sujatno, Loct.cit, hal. 27
159 Lihat Pasal 28 d ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945,
yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses rekruitmen, pendidikan, dan
latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya.160
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung dengan sistem formal,
di mana pada intinya tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku.
Hak-hak penghuni yang dijamin undang-undang dijadikan modus/sarana terciptanya
kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant) dalam kondisi inilah
fungsi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk
mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang
terpuji.
Secara faktual kondisi ideal proses akomodasi yang berlangsung dengan
sistem formal yang pada intinya merupakan tukar menukar kepentingan dilandasi
aturan yang berlaku tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan, antara
lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan sisi lain adanya
kecenderungan status sosial ekonomi narapidana yang makin tinggi.161
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan hukum pidana atau asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitas, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.162
160 David J. Cooke, Pamela, Baldwin Jaqueline Howinson, Menyingkap Dunia Gelap Penjara
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 7.
161 Ibid.
162 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan pidana terpadu (integrated
criminal justice system), dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem
kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.163
Mengingat tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan yang demikian
berat adalah suatu hal yang wajar apabila diciptakan peraturan sebagai payung hukum
bagi setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan sistem
pemasyarakatan. Tidak hanya hak-hak para tahanan dan narapidana yang harus
dilindungi, tetapi hak-hak dari para petugas pelaksana terutama hak untuk
mendapatkan perlindungan dan memperoleh kenyamanan dalam bekerja juga tidak
bisa diabaikan.
Perlindungan hukum bagi petugas pemasyarakatan merupakan hal yang
sangat esensial. Perlindungan yang dimaksud bukan berarti menyebabkan petugas
tersebut menjadi kebal hukum, akan tetapi bertujuan agar si petugas tersebut mampu
lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya dengan maksimal.
Perlindungan hukum tersebut juga merupakan suatu upaya bagi suatu instansi dalam
melindungi petugasnya dari kemungkinan intervensi terlalu jauh dari pihak lain.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan
dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana peraturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan
di dalam pelaksanaan tugas?
2. Bagaimana pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap
petugas pemasyarakatan?
3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan
hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap petugas
pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum
terhadap petugas pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan
perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui
sumbangsih pemikiran di bidang penegakan hukum khususnya mengenai
pemasyarakatan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam
penyusunan rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, penelitian mengenai analisis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang
sama.
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali
dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Di tengah kehidupan masyarakat yang bebas bergerak, ada sebagian anggota
masyarakat yang terkungkung hidup dalam suatu lembaga untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya karena anggota masyarakat tersebut telah melakukan tindak
pidana sehingga harus ditahan di Rumah Tahanan Negara dan menjalani pidana
di Lembaga Pemasyarakatan.
Kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah merupakan miniatur
dari kehidupan di dalam masyarakat dalam umumnya. Greenberg, di dalam bukunya
correction and punishment 1977 mengatakan bahwa penjara adalah miniatur
kehidupan nyata. Sementara itu menurut David J Ruthman keberadaan penjara adalah
sebuah tuntutan masyarakat agar masyarakat luar bisa bebas dari kejahatan.164
Dalam suasana di mana para penghuni mempunyai sikap tingkah laku serta
latar belakang kehidupan yang beraneka ragam, petugas meletakkan dirinya ditengah
kehidupan tersebut, untuk menyelaraskan, mencari harmoni, sehingga dapat
menerapkan suatu perlakuan (treatment) yang tidak bertentangan dengan martabat
kemanusiaan di samping itu petugas harus pula menyelaraskan tindakan, perlakuan
pembinaan yang sesuai dengan ketentuan hukum maupun keselarasan dengan
kehendak masyarakat.
164 Susy Susilawati, Penyimpangan Beberapa Norma Kehidupan Ditinjau dari Sudut
Sosiologi Hukum dalam Pelaksanaan Pengamanan/Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan,
All members of the personel shall at times so conduct themselves and perform
their duties as to influence the prisoners for good by their example and to command
their respect.165
Semua anggota personil harus selalu menjaga perilaku mereka dalam
melaksanakan tugas sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada narapidana
melalui contoh yang baik, dan untuk membangkitkan sikap menghargai mereka.
Perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana terpadu merupakan hal yang sangat esensial dalam menunjang
pelaksanaan tugas pada umumnya dan penegakan hukum pada khususnya.166
Di dalam sistem peradilan pidana ini terkandung gerak sistemik dari
komponen-komponen pendukungnya yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output)
yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana, yaitu sasaran jangka menengah
adalah pencegahan kejahatan serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah
kesejahteraan masyarakat.167
Pendekatan dengan teori sistem peradilan pidana dianggap perlu oleh karena
dalam hal penanganan tindak pidana tersebut keterkaitan dan keterpaduan dalam
setiap tahapan proses pemeriksaan mulai dari proses penyelidikan (kepolisian),
165
Lihat Pasal 48, Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisonners.
166 Didin Sudirman, Op.Cit, hal. 61.
167 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
penuntutan (kejaksaan), pemeriksaan persidangan (pengadilan), hingga pemindahan
(lembaga pemasyarakatan).168
Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice
system).169 Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi
fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan
yang diberikan Undang-Undang kepada masing-masing.
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.170
Sistem pemasyarakatan juga beranggapan bahwa hakekat perbuatan
melanggar hukum oleh Warga Binaan Pemasyarakatan adalah cerminan dari adanya
keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan
dengan masyarakat di sekitarnya.171
Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat menampilkan fungsi yang
diharapkan antara lain:172
a. Merupakan komunitas yang teratur dengan baik seperti: tidak membahayakan
nyawa, kesehatan dan integritas personal.
168 Ibid.
169
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 90.
b. Kondisinya tidak menambah kesulitan yang dialami narapidana akibat
pemidanaan.
c. Aktivitas di dalamnya sebanyak mungkin membantu kembali ke masyarakat
setelah menjalani pidananya.173
Kenyataan menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum sepenuhnya
mampu menunjukkan fungsi yang ideal. Berbagai aspek dan kondisi dalam Lembaga
Pemasyarakatan sangat potensial menimbulkan pelanggaran HAM, antara lain over
kapasitas, kualitas penghuni yang berubah dari kejahatan transnasional, dan
terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.174
Petugas pemasyarakatan adalah abdi Negara dan abdi masyarakat, yang dalam
pelaksanaan tugasnya wajib menghayati dan mengamalkan tugas-tugas pembinaan
pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan
pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna. Petugas harus
173
Membuat Standard-standard Bekerja, Sebuah Buku Panduan Internasional Mengenai Praktek Pemenjaraan yang Baik (Penal Reform International), hal. 13.
Contoh prinsip fundamental dalam SMR termaksud sebagai berikut:
a. Penjara harus merupakan komunitas yang teratur dengan baik, sebagai contoh, haruslah merupakan tempat yang tidak membahayakan nyawa, kesehatan, dan integritas personal; b.Penjara haruslah merupakan tempat dimana tidak ditunjukkan diskriminasi dalam
penanganan tahanan;
c. Ketika pengadilan menjatuhkan bagi seorang pelanggar hukum dengan pemenjaraan, maka akan menghasilkan sebuah hukuman yang secara ekstrim menyusahkan dan tak terelakkan. Kondisi penjara tidak boleh menambah berat kesulitan ini;
d.Aktivitas penjara haruslah terfokus sebanyak mungkin dalam membantu para tahanan untuk dapat kembali ke masyarakat setelah menjalani hukumannya. Karena alasan ini, aturan dan rezim penjara tidaklah boleh membatasi kebebasan. Kontak sosial dan kemungkinan pengembangan personal para tahanan lebih dari yang dibutuhkan. Aturan dan rezim penjara haruslah kondusif untuk penyesuaian dan integrasi dalam kehidupan masyarakat normal.
174 http://www.Google, Perlindungan Hukum, Suaeb, Penyiksaan dan Perlakuan atau
memiliki kemampuan profesional dan moral.175 Dalam melaksanakan kewajiban
mereka, para petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat
manusia, menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang.176
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(Rechgerechtigheid), kepastian hukum (Rechtszekerheid), dan kemanfaatan
(Rechtsutiliteit).177
Unsur-unsur sistem hukum menurut Lawrence Friedman yaitu:
1. Substance (substansi hukum).
2. Structure (struktur hukum).
3. Culture (budaya hukum).178
Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang
berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan
perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book) tetapi juga
ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan
oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu. Misalnya keputusan-keputusan yang
mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Struktur dari sistem hukum
terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan
175 Adi Sujatno, Op.Cit, hal. 18.
176 Lihat Pasal 2 Aturan Tingkah Laku Bagi Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for
Law Enforcement Officials).
177
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85.
178 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum Kelas Pararel A dan B
dan upaya-upaya hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan
penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya.
Suatu unsur yang sangat penting dalam struktur hukum adalah, bagaimana
agency-agency/organ-organ/pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi struktural
tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Budaya hukum
menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi
persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap
hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari
atau disalah gunakan.
Penegakan hukum dan ketertiban terkait erat dengan profesionalisme lembaga
orang-orang yang berada pada sistem peradilan dan hukum di Indonesia.179
Cukup lama sebagian masyarakat merasakan dan mengalami kasus-kasus
ketidak adilan pada sistem peradilan. Tidak sedikit pihak yang memanfaatkan
kelemahan-kelemahan sistem yang saat ini berlaku. Untuk itu, pengabdian para
penegak hukum yang bersih dan tulus perlu ditingkatkan agar benteng keadilan ini
benar-benar mampu menjalankan peranannya sesuai dengan tuntutan rakyat.
Sebaliknya perlu tindakan yang tegas dan keras bagi mereka yang sengaja melanggar
dan menyelewengkan hukum.
Dalam pemikiran sociological Jurisprudence, Roscoe Pound (1870 – 1964),
ditegaskan bahwa kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.180
Pound melihat dan memahami hukum sebagai pengatur dan pendamai dari
konflik keinginan. Hukum merupakan alat untuk mengontrol keinginan sesuai dengan
prasyarat kepatuhan sosial.181
Pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan
digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan, bahwa hukum itu
mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat (menjamin adanya
ketertiban dan kepastian) dan sarana perubahan masyarakat.182
Menurut Andi Matalatta hukum mempunyai peranan yang penting serta
mempunyai arti sangat strategis dalam semua aspek kehidupan, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. “Oleh karena itu, hukum harus dibangun agar dapat
menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat”.183
2. Kerangka Konsepsi
Petugas Pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan
tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.184
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana adalah bagian integral dalam tata peradilan terpadu (Integrated
Criminal Justice System).185
180 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 298.
181 Loc.Cit.
182 Loc.Cit. hal. 199.
183 Andi Matalatta, Tingkatkan Profesionalisme Aparatur Hukum, Pidato Pada Upacara
Pemberian Remisi di LP Cipinang pada Tanggal 17 Agustus 2008.
184 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Narapidana adalah terpidana yang mengalami pidana hilang kemerdekaan
di LAPAS. 186
Tahanan adalah setiap orang yang dimasukkan ke dalam rumah tahanan
(Rutan) karena disangka/diduga melakukan tindak pidana guna kepentingan proses
hukum (penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan), namun kasusnya
belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap dari pengadilan.187
Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada petugas pemasyarakatan
di bidang hukum pidana dalam melaksanakan tugas penegakan hukum.188
Pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan, dan
petugas pemasyarakatan, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu rangkaian
proses penegakan hukum.
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem
terpadu” (Integrated Criminal Justice System). Sistem terpadu tersebut diletakkan
di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” diantara aparat penegak hukum
sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing.189
Menurut M. Yahya Harahap kegiatan “sistem peradilan” didukung empat
fungsi utama yaitu:190
186 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 187
Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi, Op.Cit, hal. 40.
188 Ibid, hal. 41.
a. Fungsi pembuatan Undang-Undang (law making function).
b. Fungsi penegakan hukum (law enforcement function).
c. Fungsi pemeriksaan persidangan peradilan.
d. Fungsi memperbaiki terpidana.
Penegakan hukum ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order),
mempunyai tujuan objektif:
1. Penegakan hukum secara aktual (the actual enforcement law) meliputi tindakan:
a. Penyelidikan – Penyidikan (investigation).
b. Penangkapan (arrest) – penahanan (detention).
c. Persidangan pengadilan (trial) dan
d. Pemidanaan (punishment) – Pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku
individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender).
2. Efek preventif (preventive effect)
Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat)
melakukan tindak pidana, meliputi fungsi:
1. Fungsi pemeriksaan sidang pengadilan (function of adjudication).
Fungsi ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang
dilaksanakan oleh jaksa penuntut umum dan hakim serta pejabat pengadilan
terkait.
2. Fungsi memperbaiki terpidana (the function of correction). Fungsi ini meliputi
aktifitas, pelayanan sosial, dan lembaga kesehatan mental. Tujuan umum semua
lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana
kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and
productive life).
G. Metode Penelitian
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran
dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta masalah penelitian,
sangat ditentukan metode yang digunakan dalam penelitian, dapat dikutip pendapat
Soerjono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut:
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.191
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Soerjono Soekanto
mengemukakan, “penelitian deskriptif analitis” adalah penelitian yang bertujuan
untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistemik, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan fenomena yang diselidiki.192
Penelitian ini hanya menggambarkan situasi atau keadaan yang terjadi
terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi
kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu kualifikasi tanpa
secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.
Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif
yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif ini
menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data
didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang
tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat
teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan
terhadap masalah yang dihadapi. Selanjutnya penelitian mengumpulkan dan
mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:193
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan, yaitu Undang-Undang
RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,
Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
193 Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Bahan/Sumber Informasi Dapat Merupakan
Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tertier. Bambang Waluyo,
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar,
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.194
3. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan
data akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui literatur, yakni
dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang pemasyarakatan dan
peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul, di mana pada penelitian ini digunakan metode
normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari
peraturan-peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif sedangkan kualitatif,
dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas dan
informasi-informasi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat
194 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja
menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan
BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PETUGAS PEMASYARAKATAN DI DALAM UNDANG-UNDANG RI NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
A. Konsep Perlindungan Hukum
Asas-asas perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan harus
bersumber dari Pancasila sebagai landasan idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas
konstitusional (struktural), dan Undang-Undang sebagai asas operasional (teknis).
Asas-asas tersebut memiliki tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang
abstrak.195 Dalam Pancasila konsep perlindungan hukum mempunyai landasan idiil
(filosofis) hukumnya pada sila ke 5 yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di dalamnya
terkandung suatu “hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality)
di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian
subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.
Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum maka pemilik hak memiliki kekuatan
untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.196
Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan/
tuntutan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak
195
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 14-18.
196 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif, Terjemahan Raisul
hukum.197 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia
tanpa kecuali berhak memperoleh keadilan. Petugas pemasyarakatan sebagai aparatur
negara yang melaksanakan pembinaan yang melaksanakan pembinaan dan
pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, juga berhak memperoleh keadilan
dalam konteks perlindungan hukum tersebut. Konsep perlindungan hukum juga
memperoleh landasan konstitusional (struktural) dalam pembukaan UUD 1945 pada
alinea ke 4 (setelah empat kali mengalami amandemen) yang menyatakan sebagai
berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi atau keadilan sosial……”
Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi
lahirnya konsep perlindungan hukum yaitu kata “segenap bangsa” dan kata
“melindungi”. Dari dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap
bangsa tanpa terkecuali, baik laki-laki ataupun perempuan, orang kaya atau miskin,
orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, anggota TNI/Polri, Jaksa,
Hakim, Pengacara, Petugas pemasyarakatan termasuk seluruh lapisan masyarakat
dalam melaksanakan kegiatan/pekerjaan/tugas sehari-hari.198 Perlindungan hukum
bagi seluruh lapisan masyarakat terdiri dari dua bagian besar yaitu:199
197
Ibid.
198 Lihat AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2002), hal. 31.
a. Perlindungan hukum aktif yang dimaksudkan sebagai upaya untuk
menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses
yang berlangsung secara wajar.
b. Perlindungan hukum pasif yang dimaksudkan mengupayakan pencegahan atas
upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.
Usaha mewujudkan perlindungan hukum ini termasuk di dalamnya adalah:
1) Mewujudkan ketertiban dan ketentraman.
2) Mewujudkan kedamaian sejati.
3) Mewujudkan keadilan bagi seluruh warga masyarakat.
4) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan
baik lahir maupun batin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial.
Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat merasa
yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada
kekuatan fisik maupun non fisik belaka.200 Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu “Segala daya upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan
masyarakat tanpa kecuali”.201 Kesewenang-wenangan bertindak dalam pergaulan
hidup di masyarakat merupakan musuh terbesar dari hukum yang bertujuan untuk
200
Dudu Dusuna, Mahjudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 26-27.
201 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
menciptakan perdamaian dan keamanan dalam masyarakat.202 Dengan terjadinya
kesewenang-wenangan dalam pergaulan hidup di masyarakat, maka perlindungan
hukum dalam praktek pelaksanaannya tidak berjalan secara efektif dan efisien.
Kesewenang-wenangan mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad) oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain dalam interaksi
sosial. Semakin tinggi frekuensi kesewenang-wenangan yang terjadi dalam
masyarakat maka semakin menipis kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai
suatu rangkaian peraturan yang mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia dalam
hidup bermasyarakat.
Perlindungan hukum dapat berlangsung efektif dan efisien apabila hukum
diposisikan sebagai panglima dalam suatu negara. Artinya hukum sebagai panglima
mengandung unsur supremasi hukum dalam praktek pelaksanaannya dan aparatur
penegak hukum menjadikan supremasi hukum sebagai landasan penyelenggaraan
negara termasuk memelihara dan melindungi hak-hak warga negaranya. Jhon Locke
menyatakan bahwa untuk menjadikan hukum sebagai supremasi dalam melindungi
hak-hak masyarakat dalam suatu negara harus berisi 3 unsur penting yaitu:203
a. Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat
menikmati hak azasinya dengan damai.
202 Koento Wibosono Siswonihardjo, Supremasi Hukum dalam Negara-negara Demokrasi
Menuju Indonesia Baru Kajian Filosofi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 67-69.
b. Adanya suatu badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau sesama anggota
masyarakat (horizontal dispute).
c. Masyarakat tidak lagi diperintah berdasarkan kediktatoran, tetapi
diperintah berdasarkan hukum.
Inti dari gagasan Jhon Locke ini menyiratkan bahwa penghormatan terhadap
supremasi hukum tercermin dari adanya hukum secara substantif (Law and paper)
dan kondisi hukum oleh badan-badan peradilan (Law in action). Suatu negara dapat
dikatakan negara hukum yang berhasil melaksanakan perlindungan hukum bagi
seluruh lapisan masyarakatnya apabila supremasi hukum telah dijadikan landasan
dalam penyelenggaraan negara, dan peraturan perundang-undangan tidak hanya
sebatas hukum yang dibuat secara teori di atas kertas, tetapi bagaimana hukum
tersebut telah dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
B. Perlindungan Hukum dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan
1. Perlindungan Hukum di dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia
Setiap tindakan atau perbuatan aparatur negara harus berdasarkan ketentuan
Undang-undang yang berlaku. Undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan
melanggar batas-batas tersebut.204 Tindakan/perbuatan aparatur negara yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu
kewenangan/kekuasaan yang sah dari aparatur negara dalam melaksanakan
tugasnya. Kewenangan/kekuasaan dari aparatur negara tersebut akan memperoleh
perlindungan hukum dari undang-undang yang berkaitan dengan tugas-tugas aparatur
negara tersebut. Perlindungan hukum terhadap tindakan/perbuatan aparatur negara
yang diberikan oleh undang-undang adalah yang berkaitan dengan tugas dan jabatan
sebagai penegak hukum untuk menjamin keamanan secara pribadi maupun
korps/kesatuan/instansi aparatur negara yang bersangkutan dari perlawanan/ tuntutan/
gugatan pihak manapun juga. Tindakan/perbuatan aparatur negara yang sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan tindakan/
perbuatan yang sah/legal dalam kaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan atau perbuatan
aparatur negara merupakan payung hukum yang melindungi aparatur negara tersebut
dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.205
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diundangkan pada tanggal 8 Januari 2002, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, merupakan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ini menggantikan
204 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),
hal. 22.