• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan Di Kota Medan Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan Di Kota Medan Tahun 2008"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

DI KOTA MEDAN TAHUN 2008

T E S I S

Oleh

MONA SISKA YANI 067010013/KK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DI KOTA MEDAN TAHUN 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Dalam Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Program Studi Kesehatan Kerja Pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MONA SISKA YANI

067010013/KK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

MEDAN TAHUN 2008 Nama Mahasiswa : Mona Siska Yani

Nomor Pokok : 067010013

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.dr.Irma D.Roesyanto, SpKK (K)) (Ir.Kalsum, MKes) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi,MKM) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto SpKK. (K)

Anggota

: Ir. Kalsum, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR - FAKTOR RESIKO TERHADAP

KEJADIAN MELASMA PADA PEKERJA WANITA

PENYAPU JALAN DI KOTA MEDAN

TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

(6)
(7)

satu penyakit kulit akibat kerja. Melasma ini biasanya terjadi pada kulit wajah dan leher berupa flek-flek hitam dan terjadi akibat hiperpigmentasi. Secara medis melasma merupakan masalah kesehatan, dan secara estetika dapat merusak kecantikan wanita. Salah satu pekerja yang beresiko terhadap melasma adalah wanita pekerja penyapu jalan. Wanita pekerja penyapu jalan umumnya bekerja mulai jam 07.00wib pagi sampai menjelang siang dan mulai kembali jam 14.00 wib sampai sore. Umumnya wanita pekerja penyapu jalan bekerja di kota-kota besar, salah satunya kota Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan kejadian Melasma pada wanita pekerja penyapu jalan di Kota Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita pekerja penyapu jalan sebanyak 390 yang tersebar di 21 Kecamatan di Kota Medan dengan besar sampel 80 orang yang diambil dengan proporsional sampling to size. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan pemeriksaan dokter spesialis kulit dan dianalisis menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91,3% wanita pekerja penyapu jalan di Kota Medan mengalami Melasma. Hasil uji chi square menunjukkan variabel pemakaian hormonal (p=0,858), kehamilan (p=0,170), dan penggunaan obat-obatan (p=0,835) tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian melasma, namun variabel paparan sinar matahari (p=0,000), kosmetik (p=0,033), dan variabel penggunaan APD (p=0,013) berhubungan secara signifikan dengan kejadian melasma.

Disarankan kepada Dinas Kebersihan Kota Medan agar memberikan alat pelindung diri yang sesuai kepada wanita pekerja penyapu jalan, pemeriksaan secara berkala berkaitan dengan pekerjaan petugas wanita pekerja penyapu jalan, dan mengadakan sosialisasi pemakaian Alat Pelindung Diri.

(8)

Melasma (hyperpigmentation), one of the non-transmitted diseases, is a skin disease caused by working outdoor. Melasma usually occurs on the face and the neck in the forms of dark spots because of hyperpigmentation. Medically, melasma is a health problem and it can esthetically ruin the beauty of a women. One of the workers who is at risk of melasma is the women working as street cleaner/sweeper who usually work from 7 a.m. to before noon and the start again from 2 p.m. to the afternoon. In general, women street cleaner/sweeper works in big cities like Medan.

The purpose of this observational study with cross sectional approach is to examine the relationship between risk factor and the incidence of melasma in the women street cleaners/sweepers in Medan. The population of this study is all of the 390 women street cleaners/sweepers spread in 21 sub-districts in Medan and 80 of them were selected througt the proportional sampling technique to be the samples for this study. The data needed for this study were obtained through questionnaires distributed to the samples/respondents and the result of the examination done by dermatologists. The data obtained were then analyzed by means of Chi-square test with the level of confidence of 95% (p<0.05).

The results of these study shows that 91.3% of the women street cleaners/sweepers in Medan are suffering of hyperpigmentation. The results of Chi-square test reveals that the use of hormone (p=0.858), pregnancy (p=0.170), and drugs/medicine (p=0.835) do not have any significant relationship with the incidence of melasma, but being exposed to sunlight (p=0.000), cosmetics (=0.033), and using APD (self-protecting device) (p=0.013) have a significant relationship with the incidence of melasma.

Medan Hygiene Board is suggested to provide the women street cleaners/sweepers with proper self-protecting device (APD), to schedule a periodical health check-up according to their nature job, and to socialize how to use APD (self- protecting device).

(9)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena dengan

rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul

“Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita

Penyapu Jalan Di Kota Medan Tahun 2008” sebagai salah satu syarat dalam

menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-2 pada Program Magister Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga

kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, MSc. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM. selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

3. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto SpKK. (K) sebagai Ketua Komisi

Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran ditengah-tengah

kesibukannya.

4. Ir. Kalsum, MKes sebagai pembimbing atas saran-saran, bimbingan dan

(10)

6. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK sebagai Komisi pembanding yang banyak

memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini.

7. Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan yang memberi izin penelitian dan atas

informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian penulisan.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun dr. Waldy Saragih yang

memberi izin Tugas Belajar Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pasca Sarjana USU.

9. Yang tercinta orangtua saya Bahol Haque Yani dan Drg. Nurmala F. Sianturi

atas doanya.

10. Suami saya Ir. Reinhard F. Hutabarat dan anak - anak Sonny William J.

Hutabarat, dan Felix Nicholas Hutabarat, yang telah memberi semangat ,

inspirasi, dan doa selama menyelesaikan pendidikan Program Magister ini.

11. Pdp. Tohap Hutapea atas doa, dorongan semangat, dan perhatian rohaninya.

12. Seluruh Staf dosen dan administrasi Kekhususan kesehatan kerja Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran,

bimbingan dan arahan selama pendidikan.

Medan, Agustus 2008.

Penulis,

(11)

A. IDENTITAS

1. Nama : Mona Siska Yani

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Agama : Kristen Protestan

4.Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 18 Juli 1972

B. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD RK. Cinta Rakyat Perdagangan tahun 1978-1984

2. SMP RK. Cinta Rakyat Perdagangan tahun 1984-1987

3. SMA Immanuel Medan tahun 1987-1990

4. Fakultas Kedokteran USU tahun 1990-1998

5. Program Magister Kesehatan Kerja

Sekolah Pasca Sarjana USU tahun 2006-2008

C. RIWAYAT PEKERJAAN

1. Dokter PTT Puskesmas Benteng Bangka Belitung tahun 1998-2001

2. Dokter PTT Pustu Pujidadi Kodya Binjai tahun 2001

3. Dokter PTT Puskesmas Meranti Asahan tahun 2002

4. Dokter PNS RSUD Bengkalis tahun 2002-2004

5. Dokter PNS Puskesmas Muara Basung Bengkalis tahun 2004-2005

(12)

ABSTRAK ... i

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 24

3.3. Populasi dan Sampel ... 24

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 26

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 28

3.6. Metode Pengukuran ... 30

(13)

5.3. Hubungan Faktor Resiko Dengan Kejadian Melasma ... 49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

6.1. Kesimpulan ... 56

6.2. Saran ... 57

(14)

3.1 Perhitungan Jumlah Sampel di setiap Kecamatan di Kota Medan... 26

3.2 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Alat Ukur... 28

3.3 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 31

4.1 Disribusi Responden Berdasarkan Kejadian Melasma ... 36

4.2 Disribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden ... 37

4.3 Disribusi Responden Berdasarkan Faktor Resiko Melasma ... 39

4.4 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma ... 40

(15)

Nomor Judul Halaman

1 Skema Anatomi Kulit... 10

2 Melasma Pada Wajah... 13

(16)

1. Daftar Obat-Obatan dan Zat Kimia yang Menyebabkan

Hyperpigmentasi... 60

2. Jadwal Penelitian ... 62

3. Kuesioner Penelitian ... 63

4. Master Data Penelitian Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan Di Kota

Medan Tahun 2008... ... 67

5. Hasil Output Statistik ... 69

(17)

1.1.Latar Belakang

Penyakit akibat kerja merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat.

Upaya pembangunan kesehatan yang meliputi pencegahan, pemeliharaan, pengobatan

dan rehabilitasi juga berlaku terhadap penanggulangan penyakit akibat kerja baik

pada pekerja yang formal maupun informal. Menurut Suma’mur (1995) penyakit

akibat kerja disebabkan oleh berbagai faktor pada pekerja faktor fisik seperti akibat

tekanan panas yang berlebihan, suhu yang tinggi, kelembaban, cahaya dan benturan,

faktor kimia, yaitu penggunaan bahan-bahan kimia atau paparan bahan kimia diatas

ambang batas seperti natrium, aluminium dan penggunaan bahan-bahan kimia lainnya

serta faktor biologis seperti parasit, paparan jamur dan lain sebagainya.

Salah satu penyakit yang termasuk penyakit akibat kerja adalah penyakit kulit

seperti melasma. Melasma atau flek pada wajah biasanya terjadi karena

meningkatnya pigmentasi pada bagian yang sering terpapar sinar matahari khususnya

pada wajah, dan berbentuk bercak gelap tidak beraturan pada kulit. Secara medis

melasma merupakan masalah kesehatan, dan secara estetika dapat merusak

kecantikan wanita.

Kelompok pekerja yang beresiko terhadap terjadinya melasma adalah pada

kelompok wanita pekerja peyapu jalan, hal ini karena mereka secara rutin terpapar

(18)

bahkan sampai sore. Mengingat melasma terjadi pada pekerja penyapu jalan, dan

bernaung dibawah otorisasi Dinas Kebersihan Daerah, maka dapat dikatakan menjadi

masalah kesehatan kerja. Literatur yang mengkaji tentang penyakit melasma relatif

sedikit, sehingga penyakit ini cenderung sangat sedikit diketahui oleh masyarakat ,

sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu

ditanggulangi, namun berdasarkan etiologi dan dampak yang ditimbulkan dari

penyakit melasma dimana terjadinya bercak-bercak kulit yang tidak beraturan,

berwarna hitam, sehingga secara estetika dapat menyebabkan gangguan psikologis

bagi masyarakat.

Menurut Ellyaningsih (2006), lebih dari 40 % wanita usia di atas 30 tahun

sangat rentan menderita melasma, dan 10 % lebih melasma dialami pria. Menurut

Fitzpatrick dan Rokhsar (2005), kasus melasma terbanyak diderita oleh wanita oleh

karena paparan sinar matahari di wajah, walaupun 10 % dari kasus terjadi pada pria.

Flek dapat terjadi pada berbagai kelompok masyarakat, dan suku, serta jenis kulit

manusia apa saja. Hasil penelitian Rahman, dkk. (2007) di Khasmir, bahwa 167

pasien yang dilakukan pemeriksaan kulit, 40,7% tergolong melasma, dan 62,3%

terjadi pada wanita dengan usia antara 13 sampai 60 tahun, dan disebabkan oleh

penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia dengan lama penggunaan

antara 3 bulan sampai 11 tahun.

Secara umum faktor resiko terhadap terjadinya penyakit adalah disebabkan

(19)

paparan sinar matahari, dan faktor kimia seperti paparan bahan-bahan kimia, serta

faktor manusia yaitu kebiasaan penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia

melebihi toleransi dan berlangsung lama, kebiasaan menggunakan alat kontrasepsi

yaitu jenis hormonal, penggunaan obat-obatan yang bersifat fototoksik, kehamilan

serta faktor genetik (Fitzpatrick, et al, 2005). Secara epidemiologi menurut Torok

(2006), melasma lebih dominan terjadi pada wanita dari pada laki-laki,

pekerja-pekerja yang terpapar dengan sinar matahari biasanya pada wajah, dan leher, dan

pada daerah tropis seperti Indonesia.

Menurut Graham, dkk (2005) sinar matahari diketahui sebagai pencetus utama

timbulnya melasma, sehingga kasus ini sering terjadi pada orang-orang yang biasa

terpajan sinar matahari. Pajanan sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses

melanogenesis yaitu pembentukan melanin yang menyebabkan hiperpigmentasi.

Penggunaan bahan kimia yang berlebihan baik dalam bentuk kosmetik, obat-obatan

juga menimbulkan efek samping bagi kulit, khususnya kulit muka, sehingga

berpotensi terhadap terjadinya melasma. Jenis bahan kimia tersebut seperti merkuri,

senyawa bismuth, fenol, hidrogen peroksida, hidrokinon dan asam azelat (Djuanda,

1993).

Salah satu pekerja yang beresiko terhadap kejadian melasma adalah penyapu

jalan. Secara umum rutinitas diawali dari jam 07.00 pagi sampai menjelang siang

yaitu berkisar jam 14.00 bahkan ada yang sampai sore, tergantung pada batas areal

(20)

mengarah pada hiperpigmentasi yang mencetus terjadinya melasma. Secara umum

pekerja penyapu jalan adalah wanita, dan mereka hanya menggunakan penutup

kepala untuk menghindari panas dan penutup mulut untuk antisipasi debu, sedangkan

wajah dan leher terkadang tidak ditutup, sehingga langsung terpapar dengan sinar

matahari.

Pekerja penyapu jalan umumnya juga ada di kota-kota besar, dengan

perkembangan pembangunan yang pesat, arus mobilitas penduduk yang tinggi

sehingga banyak pembangunan jalan raya. Mengingat kepentingan tata kota dan

keasrian kota, maka jalanan dan tempat-tempat umum harus dijaga kebersihannya,

untuk itu dinas kebersihan sebagai lembaga yang berwewenang untuk menjaga

kebersihan dan tata kota melakukan perekrutan tenaga penyapu jalan, dan umumnya

wanita.

Salah satu kota di Indonesia yang termasuk kota metropolitan adalah kota

Medan dan melalui dinas Kebersihan kota Medan juga merekrut tenaga penyapu

jalan. Berdasarkan data ketenagaan Dinas Kebersihan Kota Medan (2007), jumlah

tenaga penyapu jalan sebanyak 390 petugas yang tersebar di 21 kecamatan. Selama

ini mereka belum pernah dilakukan pemeriksaan kesehatannya, sehingga peneliti

tidak dapat memperoleh gambaran status kesehatan mereka khususnya penyakit

melasma.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, secara umum mereka mempunyai

(21)

penutup wajah ketika bekerja, hanya penutup kepala, kaki dan tangan, dan cenderung

terpapar sinar matahari secara langsung. Alasan yang mereka kemukakan hanya

untuk kepentingan ekonomi, dan tidak peduli terhadap kecantikan wajah, dan

menganggap bahwa gangguan kulit wajah masih belum merupakan gejala penyakit

yang menimbulkan kesakitan yang lama dan perlu diobati sedini mungkin.

Adapun beberapa faktor resiko terhadap kejadian melasma pada pekerja

wanita penyapu jalan di Kota Medan antara lain paparan sinar matahari dalam jangka

waktu yang lama, penggunaan kosmetik, penggunaan alat kontrasepsi khususnya

jenis hormonal, penggunaan obat-obatan, kehamilan, dan pemakaian Alat Pelindung

Diri yang tidak baik. Dampak negatif dari adanya gangguan kulit wajah dan leher

tersebut secara medis mengganggu kondisi kulit dan secara estetika menyebabkan

gangguan kecantikan dan kondisi psikologis wanita.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian tentang hubungan

faktor resiko dengan kejadian melasma menjadi penting dilakukan, mengingat

penyakit melasma merupakan salah satu masalah kesehatan yaitu gangguan kulit,

sehingga dapat dilakukan upaya-upaya peningkatan status kesehatan pekerja wanita

penyapu jalan di Kota Medan.

1.2.Permasalahan

Melasma merupakan salah satu masalah kesehatan, dan umumnya terjadi pada

(22)

yang mengalami gangguan kulit dengan gejala-gejala bercak kecoklatan, dan bercak

kehitaman di wajah yang tidak merata yang mirip dengan gejala melasma, dan

umumnya mereka tidak menggunakan alat pelindung diri, sehingga peneliti dapat

mengambil masalah tentang apakah faktor paparan sinar matahari, penggunaan

obat-obatan, kosmetik, kehamilan, kontrasepsi hormonal, dan pemakaian APD

berhubungan dengan terjadinya melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di kota

Medan.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor resiko

(paparan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kosmetik, kehamilan, kontrasepsi

hormonal, dan pemakaian APD) dengan kejadian melasma pada pekerja wanita

penyapu jalan di Kota Medan

1.4.Hipotesis Penelitian

Faktor resiko (paparan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kosmetik,

kehamilan, kontrasepsi hormonal, dan pemakaian APD) berhubungan dengan

kejadian melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di Kota Medan

1.5.Manfaat Penelitian

(23)

melasma, sehingga dapat diambil kebijakan untuk melakukan penyuluhan dan

pemberian alat pelindung diri.

2. Sebagai penambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi

pengembangan ilmu atau penelitian selanjutnya.

3. Menambah wawasan penulis dalam aplikasi keilmuan di bidang Kesehatan

(24)

2.1 Kulit Anatomi Kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari

pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas

ukurannya, yaitu 15 % dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75 m². Rata-rata tebal

kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis

(0,5 mm) terdapat di penis.

Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan

jaringan subkutis ( lihat gambar 1).

Epidermis

Epidermis terbagi atas empat lapisan :

1. lapisan basal atau stratum germinativum

2. lapisan malpighi atau stratum spinosum

3. lapisan granular atau stratum granulosum

4. lapisan tanduk atau stratum korneum

Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan

granular yaitu stratum lusidum atau lapisan sel-sel jernih. Lapisan basal terdiri dari

satu lapis sel-sel yang kuboid yang tegak lurus terhadap dermis. Di dalam sel

(25)

hitam. Sel-sel basal ini tersusun sebagai tiang pagar (palisade). Lapisan basal

merupakan lapisan paling bawah dari epidermis dan berbatas dengan dermis. Dalam

lapisan basal terdapat juga melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang

mengandung melanin. Melanosit berasal dari bagian neural embrio. Melanin

berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari. Semua ras mempunyai jumlah

melanosit yang sama. Perbedaan warna kulit bergantung pada kegiatan melanosit.

Lapisan malpighi merupakan lapisan epidermis yang paling tebal dan kuat.

Terdiri dari sel-sel poligonal yang di lapisan atas menjadi lebih gepeng. Lapisan

granular terdiri dari satu sampai empat baris sel-sel berbentuk intan,berisi butir-butir

(granul) keratohialin yang basofilik. Lapisan tanduk terdiri dari 20-25 lapis sel-sel

tanduk tanpa inti, gepeng, tipis dan mati. Pada permukaan lapisan sel-sel mati

terus-menerus mengelupas tanpa terlihat. Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin,

kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku.

Dermis

Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan di atas

jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang di lapisan atas terjalin

rapat (pars papilaris), sedangkan di bagian bawah terjalin lebih longgar (pars

reticularis). Lapisan pars reticularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut,

(26)

Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis)

Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung di bawah dermis. Batas

antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak adalah liposit

yang banyak mengandung lemak. Jaringan subkutan mengandung saraf, pembuluh

darah, dan limfe, kandung rambut, dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat

kelenjar keringat. Fungsi jaringan subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap

trauma, dan tempat penumpukan energi

Rambut

KULIT

Kelenjar Sebaseus

Gambar 1. Skema Anatomi Kulit ( Harahap M, 2000)

Syaraf Sensorial Epidermis

Syaraf

Dermis

Jaringan Subkutaneus Pemb. Darah Kapiler

Arteri Otot

(27)

Fungsi Kulit

Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh

dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai :

1. Pelindung

Jaringan tanduk sel-sel epidermis paling luar membatasi masuknya benda-benda

dari luar dan keluarnya cairan berlebihan dari tubuh. Melanin yang memberi

warna pada kulit melindungi kulit dari akibat buruk sinar ultra violet.

2. Pengatur suhu

Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan

suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan

terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat, sehingga suhu panas dapat

dijaga tidak terlalu panas.

3. Penyerap

Kulit dapat menyerap bahan-bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut dalam

lemak, tetapi air dan elektrolit sukar masuk melalui kulit. Zat-zat yang larut dalam

lemak lebih mudah masuk ke dalam kulit dan masuk peredaran darah, karena

dapat bercampur dengan lemak yang menutupi permukaan kulit, Masuknya

zat-zat tersebut melalui folikel rambut dan hanya sedikit sekali yang melalui muara

(28)

4. Indera Perasa

Indera perasa di kulit terjadi karena rangsangan terhadap saraf sensoris dalam

kulit. Fungsi indera perasa yang pokok yaitu merasakan nyeri, perabaan, panas,

dan dingin.

5. Fungsi Pergetahan

Kulit diliputi oleh dua jenis pergetahan, yaitu sebum dan keringat. Getah sebum

dihasilkan oleh kelenjar sebaseus dan keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat.

Sebum adalah sejenis zat lemak yang membuat kulit menjadi lentur.

2.2 Melasma Definisi Melasma

Melasma adalah hipermelanosis yang tidak merata terutama pada muka,

berwarna coklat muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya

simetrik. Melasma atau flek pada wajah biasanya terjadi karena meningkatnya

pigmentasi pada bagian yang sering terpapar sinar matahari. Melasma berbentuk

bercak gelap tidak beraturan pada kulit. Paparan sinar matahari meningkatkan

aktivitas dan jumlah melanosit, sel yang memproduksi melanin. Hasilnya produksi

(29)

Gambar 2. Melasma Pada Wajah

Etiologi

Melasma yang dahulu disebut kloasma umumnya lebih banyak pada wanita

dan penduduk yang tinggal di daerah tropis. Melasma disebabkan peningkatan jumlah

dan aktivitas melanosit. Faktor-faktor yang berperan :

1. obat-obatan, misalnya : kloroquin, klorpromazin, anti epilepsi.

2. hormon, misalnya : Melanosit Stimulating Hormon (M.S.H), ACTH,

estrogen, dan progesterone.

3. sinar ultraviolet

(30)

5. bahan kimia yang bersifat iritasi atau fotosensitasi (dalam kosmetik)

(Djuanda, A, dkk,1993).

Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagai faktor, terutama oleh pigmen

melanin. Melanosis adalah kelainan pada proses pembentukan pigmen melanin kulit

yang dibagi lagi menjadi hipermelanosis dan hipomelanosis.

Fitzpatrick membaginya dalam:

a. hipomelanosis/amelanosis

b. hipermelanosis coklat

c. hipermelanosis abu-abu.

Perbedaan kedua golongan hipermelanosis tersebut terletak pada distribusi

melanin dalam kulit. Pada hipermelanosis coklat melanin letaknya lebih dangkal, dan

pada hipermelanosis abu-abu, melanin letaknya dalam.

Klasifikasi

Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis, berdasarkan

distribusi bercaknya yaitu :

1. pola sentrofasial (63% , terdapat pada kening, hidung, dagu, dan di atas

bibir)

2. pola malar (21 % , terdapat pada hidung dan pipi)

3. pola mandibular (16 %, terdapat pada dagu)

Ada kalanya dada depan dan lengan bagian belakang luar dapat juga terkena

(31)

Dari gambaran sinar wood, melasma diklasifikasikan berdasarkan tipenya

yaitu :

1. tipe epidermal

2. tipe dermal

3. tipe campuran.

Pemeriksaan Klinis

Secara klinis, tipe epidermal mempunyai batas-batas yang jelas, sedangkan

tipe dermal atau campuran mempunyai rupa seperti bercak yang timbul. Tipe

epidermal dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan tipe dermal lebih kelihatan

dibawah sinar wood. Kebanyakan penderita didapati distribusi melanin berada di

lapisan basal epidermis dan dermis (Lapeere, H, et al, 2008).

Pembantu Diagnosis

a. Pemeriksaan Histopatologik Terdapat 2 tipe hipermelanosis :

1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan

suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai

stratum korneum ; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah

melanosit ,sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada

keratinosit dan sel-sel stratum korneum.

2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah

(32)

b. Pemeriksaan mikroskop elektron

Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas

melanosit meningkat.

c. Pemeriksaan dengan sinar Wood

1. Tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontras 2. Tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontras

3. Tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak

4. Tipe tidak jelas : dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan

dengan sinar biasa jelas terlihat (Djuanda, A, dkk, 1993).

2.3 Faktor Resiko Melasma

Faktor resiko terjadinya melasma yaitu :

1. Paparan Sinar Matahari (Ultra Violet)

Sinar matahari sering disebut dengan sinar ultra violet (UV). Indonesia merupakan

negara tropis yang hampir sepanjang tahun disinari matahari.

Radiasi Ultra Violet terbagi dalam:

1. Radiasi UV-C (200-290 nm).

Radiasi ini tidak ditemukan dalam spectrum sinar matahari pada permukaan

bumi karena disaring oleh ozon dan air. Disebut juga radiasi germisidal

karena dapat membunuh mikroorganisme. Radiasi ini adalah UV gelombang

(33)

sesuai dengan panjang gelombang yang diemisi oleh lampu merkuri

bertekanan rendah (lampu germisid) sebagai sumber radiasi UV-C.

2. Radiasi UV-B (290-320 nm).

Merupakan bagian radiasi UV-B dengan keaktifan biologis tertinggi pada

sinar matahari dan penyebab reaksi eritema setelah paparan dengan matahari.

Disebut juga UV gelombang tengah atau sumber UV radiation.

3. Radiasi UV-A (320-400nm).

Panjang gelombang terpanjang dari spectrum UV ini mempunyai efek

biologis kurang dari UV-B, tetapi gelombang UV-A dapat memacu

menyebarkan sebagian eritema akibat matahari. Nama lain UV-A ialah radiasi

UV gelombang panjang, radiasi UV karena dekat dengan sinar hitam (black

light) karena tidak terlihat.

DNA menyerap ultra violet terbanyak pada panjang gelombang 280 nm.

UV-B merupakan penyebab kerusakan biokemikal yang paling potensial. Efek buruk

sinar UV dipengaruhi oleh faktor individu, frekuensi dan lama pajanan serta

intensitas radiasi sinar UV. Reaktifitas individu terhadap sinar UV tergantung pada

warna kulit konstitutif serta tipe kulit yang diturunkan secara genetik.

Pigmentasi akibat UV terjadi terutama akibat radiasi UV-A pada individu

yang telah mempunyai pigmentasi. Pigmentasi akibat UV yang menyebabkan tanning

dinamakan facultative skin color.

(34)

waktu 5-10 menit setelah paparan dan menghilang dalam beberapa menit sampai

beberapa hari tergantung dosis UV dan jenis kulit individu. Tanning yang cepat tidak

memberikan fotoproteksi dan tidak menaikkan tingkat melanin epidermal. Dan ini

hanya terjadi oleh penyinaran UV-A (Park, Hee-Young, et al, 2008).

Tanning reaksi lambat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah paparan UV. Ini

disebabkan oleh UV-B dan UV-A. Puncaknya antara 10 hari sampai 4 minggu

tergantung dosis UV dan jenis kulit individu, dan menghilang dalam beberapa

minggu. Secara histologi terjadi peningkatan melanosit epidermal, melanosit dendrit

dan perpindahan melanosome ke keratinosit, dan terjadi melanisasi yang meningkat

dari melanosome individu.

Melagenesis merupakan proses yang dipengaruhi oleh panjang gelombang.

UV-A akan menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan basal. UV-B

menyebabkan pigmentasi yang gelap terbatas pada lapisan epidermis, sedangkan

pigmentasi akibat UV-C ringan sekali (Park, Hee-Young, et al, 2008).

2. Kehamilan

Selama kehamilan, peningkatan pigmentasi terjadi pada 90 % wanita dan kebanyakan

lebih ditonjolkan pada tipe kulit yang lebih gelap. Bercak pigmentasi yang menetap

seperti nevi dan ephelides menjadi berwarna lebih gelap. Juga jaringan parut baru

sering kelihatan lebih gelap.

Area yang mempunyai pigmen normal seperti puting susu, areola mamae dan

(35)

Dalam kelompok kecil wanita hamil, hiperpigmentasi terjadi di ketiak atau paha atas

bagian dalam. Melasma atau sering disebut topeng kehamilan terjadi pada 50 %

wanita hamil (Lapeere, H, et al, 2008).

3. Kontrasepsi Hormonal

Kulit dan bagian-bagiannya seperti folikel rambut dan kelenjar keringat sangat

bergantung pada steroid seks. Estrogen dan androgen sangat berperan terhadap proses

pigmentasi dan pertumbuhan rambut. Pil kontrasepsi meningkatkan aliran darah kulit

sekitar 10 %. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh hormon estrogen dan androgen.

Melasma atau sering juga disebut kloasma, yaitu berupa munculnya warna

kuning kecoklatan pada daerah pipi, hidung, dagu atau mulut sering ditemukan pada

penggunaan kontrasepsi jangka panjang, Kelainan ini lebih sering ditemukan pada

penggunaan pil dengan dosis estrogen tinggi.

4. Kosmetik (zat kimia) dan Obat-obatan

Daftar obat-obatan dan zat kimia yang menyebabkan hiperpigmentasi sangatlah

banyak dan tetap bertambah terus. Zidovudine yang telah dipakai pada pasien AIDS

(Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah salah satu obat yang masuk dalam

daftar obat-obatan yang menyebabkan hiperpigmentasi belakangan ini.

Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh agen toksik, atau obat-obatan

dianggap 10-20 % dari semua kasus hiperpigmentasi yang diperoleh. Obat-obatan

yang berhubungan dengan sistem saraf pusat, obat-obat antikanker, obat anti infeksi,

(36)

Berikut daftar obat-obatan dan zat kimia yang dapat menyebabkan hiperpigmentasi

atau melasma (lihat lampiran).

2.4 Upaya Pencegahan dan Pengobatan Melasma

Prinsip pengobatan melasma adalah mengendalikan faktor-faktor penyebab dan menghilangkan melanin serta memutus rantai pembentukan melanin. Pengaruh

buruk sinar matahari dapat dilakukan dengan pemakaian tabir surya baik berupa krim

maupun tabir surya fisik berupa payung, topi, kerudung, maupun penutup muka.

Epidermal pigmentasi lebih sensitif pada pengobatan topikal dari pada

dermal pigmentasi. Hipopigmentasi agents seperti hidrokuinon, tretinoin krim, asam

azelaik, rusinol dan asam kojic dapat menolong dalam jangka waktu yang lama.

Formula Kligman adalah kombinasi yang populer dari hidrokuinon, tretinoin, dan

kortikosteroid topikal ringan. Pengelupasan kulit secara kimia dan terapi laser dapat

menolong pengobatan melasma, tapi dapat juga mengakibatkan hiperpigmentasi

lanjut yang tidak diinginkan. Kadang-kadang melasma hilang perlahan setelah

penghentian pemakaian hormonal, dan perlu berhati-hati menghindari paparan sinar

matahari (Lapeere, H, et al, 2008).

Sudah banyak dikenal senyawa yang dapat mempengaruhi proses pigmentasi

melanin, antara lain senyawa merkuri, senyawa bismuth, fenol, hidrogen peroksida,

hidrokinon, dan asam azaleat. Pemakaian obat pemutih yang mengandung merkuri

(37)

adalah iritasi dan kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi pasca inflamasi.

Hidrokinon dapat dikombinasi dengan asam vitamin A 0,05 % untuk mempercepat

keratinisasi. Bila diberi obat pemutih pada malam hari sebaiknya dipakai tabir

matahari (sun block), selama dan sesudah pengobatan untuk mencegah kekambuhan

(Djuanda, A, dkk, 1993).

Pengobatan terhadap melasma dapat juga dilakukan melalui terapi sinar laser,

pemakaian Hydroquinone (HQ) dengan konsentrasi 2-5 % sesuai dengan keadaan

klinis, topical retinoid, dan topical steroids (Torok, 2006).

Sedangkan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari paparan

sinar matahari secara langsung pada jam 10.00 sampai jam 15.00, namun tergantung

letak suatu tempat di permukaan bumi, menghindari penggunaan kosmetik dengan

kadar bahan kimia diatas toleransi kulit, serta penggunaan alat pelindung wajah dan

tubuh bagi pekerja dilapangan yang berpotensi terhadap paparan sinar matahari

secara langsung. Bagi ibu-ibu yang menderita melasma dianjurkan tidak lagi

memakai kontrasepsi hormonal baik berupa suntik maupun pil. Juga berhati-hati

terhadap pemakaian kosmetik yang dijual bebas di pasaran, dan mengkonsumsi

vitamin C dengan cukup.

2.5 Landasan Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka, maka peneliti dapat merumuskan beberapa

(38)

Penyakit melasma adalah salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada

kulit yang ditandai dengan adanya hipermelanosis yang tidak merata terutama pada

muka, berwarna coklat muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya

simetrik, dan terjadi karena meningkatnya pigmentasi pada bagian yang sering

terpapar sinar matahari (Djuanda, 1993).

Menurut Bustan (2000) faktor resiko penyakit tidak menular dapat

digolongkan menurut segi dari mana faktor resiko tersebut diamati, dan kestabilan

peranan faktor resiko. Dalam penelitian ini faktor resiko tersebut dilihat berdasarkan

faktor resiko yang diamati, yaitu terbagi atas:

1. Unchangeable risk factor, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah, seperti

genetik, umur, dan lain-lain;

2. Changeable risk factor, yaitu kebiasaan penggunaan kosmetik, kebiasaan

terpapar dengan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kebiasaan merokok,

(39)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor resiko

1. Paparan Sinar Matahari 2. Kehamilan

3. Hormonal 4. Kosmetik 5. Obat-obatan 6. Penggunaan APD

Kejadian Melasma

Karakteristik Pekerja 1. Umur

2. Pengetahuan 3. Masa kerja

(40)

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross

sectional, yaitu untuk menentukan hubungan antara faktor resiko (paparan sinar

matahari, kehamilan, kontrasepsi hormonal, kosmetik, obat-obatan, dan pemakaian

APD) dengan terjadinya penyakit melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di

Kota Medan dengan melakukan pengukuran sesaat.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dengan pertimbangan hasil

obervasi masih adanya pekerja wanita penyapu jalan yang memiliki gangguan kulit

dengan gejala mirip dengan melasma seperti bercak-bercak kecoklatan dan bercak

kehitaman diwajah, serta belum pernah dilakukan penelitian yang serupa dengan

pendekatan faktor resiko.

Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 6 (enam) bulan terhitung

mulai bulan Maret sampai Agustus 2008.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja penyapu jalan wanita di

(41)

penelitian ini adalah sebagian pekerja wanita penyapu jalan dengan besar sampel

diambil menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane sebagaimana

dikutip oleh Natoatmodjo, 2003, berikut ini:

)

Dimana : N = Besar populasi, yaitu sebanyak 390 orang

n = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)

Dengan perhitungan sebagai berikut :

)

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka jumlah sampel dalam

penelitian ini adalah sebanyak 80 wanita pekerja penyapu jalan yang tersebar di 21

Kecamatan di Kota Medan.

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara proporsional

sampling to size, yaitu mengambil sampel dengan menghitung proporsi jumlah

sampel disetiap kecamatan. Proporsi sampel dalam penelitian ini adalah perbandingan

jumlah sampel yang disebut dengan sample fraction (SF) dengan jumlah populasi,

yaitu (Nazir, 2004):

(42)

Maka jumlah sampel disetiap kecamatan diambil 20,5% dari jumlah populasi

yang ada, seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1. Perhitungan Jumlah Sampel di setiap Kecamatan di Kota Medan

No Kecamatan Jumlah

Petugas Perhitungan

Jumlah

Pengambilan sampel setiap kecamatan dengan jumlah yang telah ditentukan

seperti pada Tabel 3.1 di atas, dilakukan dengan simple random sampling, mengambil

sampel secara acak, dengan kriteria inklusi : masa bekerja lebih dari 1 tahun.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

(43)

pemeriksaan/diagnosis dokter spesialis kulit. Pengumpulan data berupa faktor resiko

menggunakan kuesioner. Sebelum kuesioner dipergunakan, terlebih dahulu dilakukan

pengujian terhadap 20 responden terhadap wanita pekerja penyapu jalan di kecamatan

Medan Baru untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur.

Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau nilai

yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara

mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel dengan

melihat nilai item corrected total correlation pada hasil uji reliability, dengan

ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya.

Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan

metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali

pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r Alpha > r tabel, maka dinyatakan

relialible.

Adapun hasil pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur jumlah responden

20 orang (df=n-1; df=20-1=19), pada taraf 5%, maka nilai r-tabel=0,445 untuk uji

validitas sedangkan untuk reliabilitas r-tabel=0,450, adalah seperti pada Tabel 3.2

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui pencatatan dokumen

(44)

Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Pertanyaan Faktor Risiko

P1 0,445 0,656 0,450 0,881 Valid dan Reliabel

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian terdiri atas variabel independen (variabel bebas) yaitu

paparan sinar matahari, kehamilan, obat-obatan, kontrasepsi hormonal, kosmetik, dan

pemakaian APD, sedangkan variabel dependen (terikat) yaitu kejadian penyakit

(45)

1. Variabel Independen

a. Paparan Sinar Matahari adalah terpaparnya responden dengan sinar matahari

secara langsung pada pukul 10 pagi sampai pukul 3 sore , pada anggota tubuh

mereka berdasarkan pengamatan peneliti, dan tidak dibawah naungan pohon

peneduh.

b. Kosmetik adalah suatu bahan berupa bedak atau krim wajah yang mengandung

bahan-bahan kimia tertentu yang dipakai oleh responden secara terus-menerus

selama bekerja.

c. Kontrasepsi Hormonal adalah alat kontrasepsi yang mengandung hormon

berupa pil, suntikan, maupun susuk yang digunakan oleh responden selama

bekerja.

d. Obat-obatan adalah obat-obatan oral tertentu yang dikonsumsi oleh responden

untuk terapi penyakit yang sedang dialaminya selama bekerja.

e. Kehamilan adalah kondisi hamil yang dialami responden selama bekerja.

f. Umur adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai dengan

penelitian dilakukan.

g. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden tentang kejadian

melasma, faktor resiko, dan upaya pencegahannya.

h. Penggunaan Alat Pelindung Diri adalah ada atau tidaknya pekerja wanita

penyapu jalan menggunakan APD berupa penutup wajah dan topi yang sesuai

(46)

2. Variabel Dependen

Kejadian melasma adalah suatu gangguan kesehatan kulit pekerja wanita

penyapu jalan yang ditandai bercak-bercak kecoklatan pada kulit wajah, dan bercak

kehitaman diwajah yang tidak beraturan, dan hasil diagnosis dokter spesialis kulit.

3.6 Metode Pengukuran

Pengukuran variabel independen dilakukan menggunakan skala nominal,

ratio dan ordinal berdasarkan kuesioner dan observasi, sedangkan pengukuran

variabel dependen menggunakan skala nominal berdasarkan observasi dan hasil

pemeriksaan dokter spesialis kulit. Untuk mengukur variabel pengetahuan diberikan

10 pertanyaan didasarkan pada skala Ordinal dengan alternatif jawaban : (1) Jika

responden menjawab jawaban benar diberi nilai 2 (dua), (2) Jika responden

menjawab jawaban salah diberi nilai 1 (satu). Kemudian dikategorikan menjadi:

1. Baik, jika responden memperoleh nilai 15-20.

2. Kurang, jika responden memperoleh nilai 10-14 (Riduan, 2005). Secara terperinci

(47)

Tabel 3.3 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen

Variabel Kategori Variabel Cara dan Alat Ukur

Skala Ukur Variabel Independen

Paparan Sinar Matahari 1.Ya 2. Tidak

Observasi Nominal

Kosmetik 1.Pakai 2. Tidak

Wawancara (Kuesioner)

Nominal

Hormonal 1.Pakai 2. Tidak

Wawancara (Kuesioner)

Nominal

Kehamilan 1.Ya 2. Tidak

Observasi Nominal

Umur - Wawancara

Kejadian Melasma 1.Ya 2.Tidak

Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat yaitu

melakukan analisis data berdasarkan distribusi frekuensi data terhadap variabel

independen dan dependen.

Kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat, yaitu melakukan analisis

(48)

mengetahui hubungan faktor resiko terhadap kejadian melasma pada pekerja wanita

penyapu jalan di Kota Medan.

Selanjutnya untuk melihat faktor paling dominan berhubungan dengan

kejadian melasma dilakukan pengujian dengan uji regresi linear berganda pada taraf

(49)

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Wilayah Kota Medan merupakan Ibukota provinsi Sumatera Utara. Kota

Medan adalah pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan serta perdagangan

dengan luas wilayah 165.100 Km2 dan terdiri dari 21 Kecamatan serta 151

Kelurahan. Terletak di pantai timur Sumatera dengan batas-batas sebagai

berikut : Sebelah Utara dibatasi oleh Selat Malaka; Sebelah Selatan dibatasi

oleh Kabupaten Deli Serdang; Sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Deli

Serdang dan Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Deli Serdang

Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan data dari

Kantor Statistik Kota Medan adalah 2.353.000 jiwa dengan kepadatan

penduduk rata-rata 8.431/Km2.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kebersihan Kota Medan

tahun 2007, jumlah pekerja penyapu jalan yang terdaftar adalah sebanyak 390

petugas yang tersebar di 21 kecamatan, dan berdasarkan catatan mereka belum

pernah dilakukan pemeriksaan kesehatannya.

Secara geografis Dinas Kebersihan Kotamadya Medan terletak di jalan

Pinang Baris nomer 114 Medan. Dinas Kebersihan adalah merupakan salah satu

(50)

yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan umum kebersihan kota

yang meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Penyapuan jalan-jalan protokol dan kolektor.

2. Pengumpulan sampah dari sumber ke TPS ( Tempat Pembuangan Sementara)

3. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

4. Pemusnahan sampah dan pengelolaan TPA.

5. Penyedotan Septictank.

6. Retribusi kebersihan (SK. Walikota Medan No. 10/2002 tentang tugas pokok

dan fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan).

(a). Visi dan Misi

Visi Dinas Kebersihan Kota Medan adalah terwujudnya Medan bersih yang

berwawasan lingkungan. Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan misi

sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur guna membentuk aparatur

dinas kebersihan berdedikasi tinggi dan profesional dalam pelayanan

kepada masyarakat.

2. Meningkatkan sarana dan prasarana kebersihan yang berteknologi

berdaya guna dan berhasil guna dalam penyapuan, pengumpulan,

pewadahan, pengangkutan dan pemusnahan sampah serta pengolahan

pemanfaatan sampah menjadi bernilai ekonomis, guna meningkatkan

(51)

3. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan meningkatkan

peran serta masyarakat untuk membayar retribusi pelayanan kebersihan

guna meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan.

(b). Petugas Penyapu Jalan

Petugas penyapu jalan Dinas Kebersihan Kota Medan diberi nama Melati,

dalam arti melati yang berwarna putih mengartikan hati seputih bunga melati

yang mempunyai ketulusan membersihkan jalan-jalan protokol dan kolektor

yang ada di Kota Medan. Mereka bertugas setiap hari Senin sampai Minggu,

tidak mempunyai hari libur. Petugas penyapu jalan ini di bawah pengawasan

bagian Operasional Dinas Kebersihan Kota Medan.

(1) Ruang Lingkup Kerja Petugas Penyapu Jalan Melati

Petugas penyapu jalan Melati setiap harinya melakukan penyapuan jalan sepanjang 2,5 km mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB

shift pertama dan pukul 11.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB shift kedua.

Petugas penyapu jalan Melati ini bertugas menyapu jalan protokol dan kolektor,

melakukan penyekraban pasir-pasir dan rumput-rumput yang tumbuh liar di

pinggir badan jalan protokol dan kolektor. Sampah hasil sapuan di kumpul

dalam wadah plastik sebelum diangkut oleh gerobak atau truk sampah Dinas

Kebersihan Kota Medan.

(2) Fasilitas yang di Dapat Oleh Petugas Penyapu Jalan Melati

(52)

1. Diberikan gaji/ upah kerja 30.000 rupiah per hari yang diberikan setiap bulan

2. Diberikan pakaian dinas berupa celana panjang berwarna coklat, kaos lengan

panjang berwarna kuning, topi pet berwarna coklat dan kuning, sepatu

hitam, masker hitam berbahan kain, dan sarung tangan.

3. Diberikan peralatan berupa sapu dan plastik tempat penampungan sampah.

4.2 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah salah satu langkah analisis dalam penelitian

yang bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel-variabel

penelitian baik variabel independen maupun dependen.

4.2.1 Kejadian Melasma

Kejadian melasma dilihat berdasarkan hasil observasi kulit dan diagnosa

dokter spesialis kulit. Variabel kejadian melasma ini dikategorikan menjadi

melasma dan tidak melasma. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1:

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Melasma

No Kejadian Melasma Jumlah

(orang)

Persentase (%) 1 Melasma 72 90,0

2 Tidak Melasma 8 10,0

Jumlah 80 100

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa dari 80 responden,

(53)

4.2.2 Karakteristik Responden

Variabel independen terdiri dari umur, masa kerja dan pengetahuan

responden tentang melasma. Hasil penelitian seperti pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden

No Karakteristik Reponden Jumlah

(orang)

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan

kelompok umur, diketahui mayoritas berusia antara 46-53 tahun, yaitu

sebanyak 39 orang (48,8%), disusul umur antara 38-45 tahun yaitu sebanyak 29

orang (36,3%).

Berdasarkan masa kerja, diketahui mayoritas bekerja sebagai tukang

sapu dengan masa kerja antara 25-35 tahun, yaitu sebanyak 29 orang (36,3%),

namun relatif sama antara masa kerja 3-13 tahun dan 14-24 tahun

(54)

Berdasarkan pengetahuan responden tentang melasma, gejala dan upaya

pencegahannya, diketahui mayoritas responden mempunyai pengetahuan

kategori kurang baik, yaitu sebanyak 65 orang (81,3%), sedangkan responden

dengan pengetahuan kategori baik hanya 15 orang (18,8%).

4.2.3 Faktor Resiko

Distribusi frekuensi berdasarkan faktor resiko terdiri dari paparan sinar

matahari, penggunaan kosmetik, penggunaan hormonal (alat kontrasepsi),

kehamilan, dan penggunaan obat-obatan, serta penggunaan alat pelindung diri.

Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan paparan sinar matahari

mayoritas responden terpapar sinar matahari ketika bekerja sebagai penyapu

jalan yaitu sebanyak 78 orang (97,5%), sedangkan yang tidak terpapar sinar

matahari hanya 2 orang (2,5%).

Berdasarkan penggunaan kosmetik, mayoritas responden menggunakan

kosmetik yaitu 48 orang (60%), sedangkan responden yang tidak menggunakan

kosmetik yaitu 32 orang (40%).

Berdasarkan penggunaan hormonal, mayoritas responden tidak

menggunakan alat kontrasepsi yaitu 62 orang (77,5%), sedangkan responden

yang menggunakan hormonal yaitu 18 orang (22,5%).

Berdasarkan status kehamilan, mayoritas responden tidak hamil yaitu 77

orang (96,3%) dan hanya 3 orang (3,8%) sedang hamil. Berdasarkan

(55)

yaitu 68 orang (85,0%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi

obat-obatan yaitu 12 orang (15,0%).

Berdasarkan kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD),

mayoritas responden tidak menggunakan APD ketika bekerja yaitu 71 orang

(88,8%), sedangkan responden yang menggunakan APD hanya 9 orang

(11,3%). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Resiko Melasma

(56)

4.3 Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang

bertujuan untuk melihat perbedaan proporsi hubungan antara variabel

independen dengan dependen, dan dapat diketahui hubungannya secara

signifikan melalui pengujian secara statistik, dengan menggunakan uji chi

square (p<0,05). Berdasarkan faktor resiko yang terdiri dari paparan sinar

matahari, penggunaan kosmetik, penggunaan hormonal, konsumsi obat-obatan,

kehamilan dan penggunaan APD. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma Kejadian Melasma

(57)

Dilihat di Tabel 4.4 di atas, berdasarkan paparan sinar matahari,

proporsi responden yang terjadi melasma 92,3% terpapar sinar matahari

dibandingkan dengan yang tidak terpapar 0%. Hasil uji chi square

menunjukkan hubungan signifikan antara paparan sinar matahari dengan

kejadian melasma (p=0,000).

Berdasarkan penggunaan kosmetik, proporsi responden yang terjadi

melasma 95,8% menggunakan kosmetik dibandingkan dengan responden yang

tidak menggunakan kosmetik yaitu 81,2%. Hasil uji chi square menunjukkan

hubungan signifikan antara kosmetik dengan kejadian melasma (p=0,033).

Berdasarkan penggunaan hormonal, proporsi responden yang terjadi

melasma 90,3% responden tidak menggunakan hormonal dibandingkan dengan

responden yang menggunakan hormonal yaitu 88,9%. Hasil uji chi square tidak

menunjukkan hubungan signifikan antara hormonal dengan kejadian melasma

(p=0,858).

Berdasarkan status kehamilan, proporsi responden yang terjadi melasma

90,9% responden tidak sedang hamil dibandingkan dengan responden yang

sedang hamil yaitu 66,7%. Hasil uji chi square tidak menunjukkan hubungan

signifikan antara kehamilan dengan kejadian melasma (p=0,170).

Berdasarkan penggunaan obat-obatan, proporsi responden yang terjadi

melasma 91,7% responden sedang mengkonsumsi obat-obatan dibandingkan

(58)

Hasil uji chi square tidak menunjukkan hubungan signifikan antara konsumsi

obat-obatan dengan kejadian melasma (p=0,835).

Berdasarkan penggunaan APD, proporsi responden yang terjadi

melasma 93,0% responden yang tidak menggunakan APD dibandingkan

dengan responden yang menggunakan APD yaitu 66,7%. Hasil uji chi square

menunjukkan hubungan signifikan antara penggunaan APD dengan kejadian

melasma (p=0,013).

4.4 Analisis Multivariat

Multivariat merupakan kelanjutan dari uji bivariat untuk mengetahui

faktor paling dominan dari variabel independen yang mempengaruhi kejadian

melasma pada wanita penyapu jalan. Uji yang dipergunakan adalah uji regresi

linear berganda mengingat variabel independen lebih dari dua dan variabel

dependennya merupakan data yang di dikotomi.

Berdasarkan hasil uji chi square pada analisis bivariat terdapat 3 (tiga)

variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian melasma, maka

ketiga variabel tersebut dilakukan pengujian secara bersama-sama dengan

(59)

Tabel 4.5. Hasil Uji Regresi Linear Berganda

No Variabel B p 1 Paparan Sinar Matahari 0,959 0,000* 2 Penggunaan Kosmetik 0,121 0,047* 3 Penggunaan APD - 0,49 0,168

Nilai Adjusted R 0,270 Konstanta 0,038

*) Signifikan pada taraf nyata 95% (p<0,05)

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, diketahui bahwa berdasarkan uji regresi

linear terhadap 3 (tiga) variabel penelitian dengan metode enter menunjukkan

bahwa terdapat dua variabel yang berhubungan dengan kejadian melasma yaitu

variabel paparan sinar matahari (p=0,000), dan variabel penggunaan kosmetik

(p=0,047). Berdasarkan variabel paling dominan dapat ditunjukkan oleh nilai B

tertinggi, yaitu pada variabel paparan sinar matahari dengan nilai B=0,959,

artinya kontribusi variabel paparan sinar matahari 95,9% berhubungan dengan

kejadian melasma pada wanita pekerja penyapu jalan.

4.5 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan pendekatan survai,

sehingga sulit untuk mengidentifikasi penyebab utama terhadap kejadian

melasma pada pekerja wanita penyapu jalan, namun peneliti mencoba

memperoleh informasi tersebut melalui telaah pustaka dan melakukan

kajian epidemiologis faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkan

(60)

2. Penelitian ini menggunakan sampel yang relatif sedikit mengingat waktu

dan kemampuan peneliti, sehingga tidak mampu mengakomodir secara

komprehensif variasi hasil penelitian pada wanita pekerja penyapu jalan

tentang faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya

(61)

5.1 Kejadian Melasma

Melasma adalah salah satu penyakit kulit yang tidak menular, dimana

terjadi hipermelanosis yang tidak merata terutama pada muka, berwarna coklat

muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya simetrik. Hasil

penelitian diketahui bahwa dari 80 responden, 72 responden (90,0%) terjadi

melasma dan hanya 8 responden (10,0%) tidak melasma. Keadaan ini

menunjukkan bahwa pekerja penyapu jalan merupakan pekerja yang beresiko

terhadap terjadinya melasma mengingat mereka terpapar dengan faktor resiko

baik secara permanen maupun secara temporer.

Menurut Djuanda (1993), bahwa kejadian melasma umumnya terjadi

pada wanita dan berada di daerah tropis karena daerah ini mempunyai intensitas

sinar matahari yang tinggi, dan ini merupakan salah salah satu faktor resiko

yang paling dominan mempengaruhi terjadinya melasma.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Graham, dkk (2005) sinar

matahari diketahui sebagai pencetus utama timbulnya melasma, sehingga kasus

ini sering terjadi pada orang-orang yang biasa terpajan sinar matahari. Pajanan

sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses melanogenesis yaitu

(62)

Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya melasma adalah

penggunaan bahan-bahan kimia yang terkandung dalam kosmetik atau bedak,

pemakaian alat kontrasepsi hormonal, kehamilan, dan konsumsi obat-obatan

yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh manusia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrick dan Rokhsar

(2005), kasus melasma terbanyak diderita oleh wanita oleh karena paparan sinar

matahari di wajah. Demikian juga dengan penelitian Rahman, dkk. (2007) di

Khasmir, bahwa 167 pasien yang dilakukan pemeriksaan kulit, 40,7% tergolong

melasma, dan 62,3% terjadi pada wanita dengan usia antara 13 sampai 60

tahun.

Kejadian melasma tersebut umumnya terjadi pada wajah dan leher.

Berdasarkan hasil observasi pada pekerja wanita penyapu jalan, umumnya

melasma terjadi pada wajah dibandingkan pada leher. Temuan Fitzpatrik, dan

Rookhsar (2005) melasma terjadi selain pada wajah dan leher juga terjadi pada

sisi wajah atau disebut mandibula (mandible), keseluruhan wajah (entire face)¸

dan dahi.

5.2 Karakteristik Individu 5.2.1 Umur

Secara epidemiologi, umur merupakan salah satu faktor resiko terhadap

(63)

menunjukkan bahwa pekerja penyapu jalan umum sudah berusia 46-53 tahun

(48,8%), hal ini diduga bahwa wanita seusia tersebut jarang mempunyai

lowongan pekerjaan yang sepadan dengan usianya, kecuali mereka sudah

mempunyai investasi pada masa mudanya, namun ada kecenderungan mereka

tergolong pada masyarakat dengan golongan ekonomi rendah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrik, dan Rookhsar

(2005), bahwa kejadian melasma terjadi pada usia 36-60 tahun, namun berbeda

dengan penelitian Tucker, et.al, (2006) bahwa kejadian melasma atau

melanoma lebih dominan terjadi pada wanita usia <55 tahun (71,1%)

dibandingkan dengan usia antara 55-64 tahun (14,8%).

5.2.2 Masa Kerja

Masa kerja adalah jumlah tahun responden bekerja sebagai penyapu

jalan dan merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian melasma.

Mengingat bahwa mayoritas responden yang terjadi melasma, mempunyai masa

kerja yang lebih dari 3 tahun, maka hal ini mencerminkan bahwa semakin lama

responden bekerja sebagai penyapu jalan, maka semakin beresiko terhadap

kejadian melasma

Responden dengan masa kerja yang melebihi dari 1 tahun sering

terpapar secara langsung dengan faktor-faktor yang menyebabkan melasma

khususnya sinar matahari, hal ini memudahkan peneliti untuk dapat melihat

(64)

Oleh sebab itu penelitian ini memakai kriteria inklusi masa kerja lebih dari 1

tahun.

5.2.3 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu bagian integral dari individu,

termasuk pekerja penyapu jalan. Pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan

indikator-indikator pemahamannya tentang melasma, dampak dan upaya

pencegahannya. Hasil penelitian menunjukkan 81,3% responden mempunyai

pengetahuan kategori kurang, artinya pekerja penyapu jalan tidak mengetahui

secara keseluruhan tentang penyakit melasma, baik dari segi pengertian

melasma, penyebab melasma, serta hubungan penyakit melasma ini dengan

paparan sinar matahari, kehamilan, pemakaian kontrasepsi hormonal,

pemakaian kosmetik, pemakaian obat-obatan oral, dan pemakaian Alat

Pelindung Diri.

Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang

semakin kecil resikonya terhadap kejadian melasma. Sebab mereka yang

memahami tentang melasma akan berupaya melakukan hal-hal yang dapat

mencegah terjadi melasma pada wajah maupun leher ketika bekerja seperti

menutupi wajah, sering membersihkan wajah atau upaya preventif lainnya.

Menurut Natoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat H.L Blum

(1984), bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi salah satunya oleh pengetahuan,

(65)

perubahan perilaku seseorang, demikian juga dengan pengetahuan tentang

melasma dan upaya pencegahannya.

5.3 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma 5.3.1 Paparan Sinar Matahari dengan Kejadian Melasma

Paparan sinar matahari satu sisi memberikan manfaat bagi makhluk

hidup namun disisi lain juga berdampak negatif terhadap kesehatan makhluk

hidup. Paparan sinar matahari merupakan faktor resiko terhadap kejadian

melasma. Menurut pajanan sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses

melanogenesis yaitu pembentukan melanin yang menyebabkan hiperpigmentasi

dan mengarah pada melasma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 92,3% responden yang terpapar

sinar matahari mengalami melasma dibandingkan responden yang tidak

terpapar sinar matahari secara langsung 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa

sinar matahari dapat menyebabkan terjadinya flek diwajah, leher maupun

anggota tubuh lain yang mengarah pada gejala-gejala melasma, dan hasil uji chi

square juga menunjukkan ada hubungan signifikan antara paparan sinar

matahari dengan kejadian melasma (p=0,000), artinya semakin lama pekerja

penyapu jalan terpapar secara langsung dengan sinar matahari maka akan

semakin beresiko terhadap kejadian melasma.

(66)

berladang tanpa menggunakan penutup wajah dan anggota tubuh terjadi flek

hitam diwajah, dan bercak yang menyebar, dan hasil diagnosa positif melasma,

hal ini terjadi karena mereka secara permanen terpapar dengan sinar matahari

mulai pagi sampai menjelang sore. Dalam penelitian ini pekerja penyapu jalan

umumnya bekerja mulai jam 5.30 sampai jam 17.00 sore sehingga frekuensi

mereka terpapar dengan sinar matahari sangat tinggi sehingga sangat beresiko

terhadap terjadinya melasma.

Juga mengingat semenjak dua dekade terakhir ini, lapisan ozon di

stratosphere yang berfungsi untuk menyaring radiasi ultraviolet sudah semakin

menipis dan mengakibatkan radiasi ultraviolet yang sampai di bumi

intensitasnya semakin tinggi dan berdampak cukup serius terhadap makhluk

hidup dibumi khususnya terhadap kesehatan kulit para pekerja wanita penyapu

jalan yang setiap hari kulitnya selalu terpapar oleh sinar matahari.

5.3.2 Penggunaan Kosmetik dengan Kejadian Melasma

Penggunaan kosmetik pada pekerja penyapu jalan adalah untuk

menutupi wajah dari paparan sinar matahari langsung, selain sebagai bagian

dari merawat kecantikan. Hasil penelitian menunjukkan selama bekerja

menyapu jalan 60,0% responden menggunakan kosmetik dengan berbagai jenis

seperti bedak putih, pelembab. Dilihat dari proporsi terhadap kejadian melasma,

95,8% menggunakan kosmetik dibandingkan dengan responden yang tidak

(67)

karena dengan penggunaan kosmetik yang sarat dengan bahan kimia mencetus

peningkatan pigmen kulit (hiperpigmentasi) yang disebabkan oleh agen toksik

dalam kosmetik. dan hasil penelitian ini didukung oleh uji chi square yang

menunjukkan ada hubungan signifikan antara kosmetik dengan kejadian

melasma (p=0,033), artinya semakin sering wanita pekerja penyapu jalan

menggunakan kosmetik maka semakin beresiko terhadap kejadian melasma.

Secara proporsi hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrick,

dan Rookhsar (2005), bahwa dari sepuluh responden yang diperiksa

melasmanya, secara keseluruhan menggunakan kosmetik wajah. Penggunaan

kosmetik secara permanen baik sedang atau tidak bekerja akan menimbulkan

perubahan warna kulit wajah, dan jika kosmetik tersebut mengandung bahan

kimia yang tidak dapat ditoleransi oleh kulit wajah seperti kosmetik yang

mengandung bahan pewangi / fragrance, akan menyebabkan hiperpigmentasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aristizabal, A,et.al (2005)

tentang faktor resiko terjadinya melasma di Medeline Colombia dengan

pendekatan case control, ditemukan responden yang menggunakan kosmetik

mempunyai pengaruh terhadap kejadian melasma dengan nilai p=0,029;Odss

Ratio 3,69, artinya wanita yang mengalami melasma 3,9 kali pada wanita yang

menggunakan kosmetik dibandingkan wanita yang tidak menggunakan

Gambar

Gambar 1. Skema Anatomi Kulit ( Harahap M, 2000)
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel  3.1. Perhitungan Jumlah Sampel di setiap Kecamatan di Kota Medan
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan partisipasi

Penelitian ini menggunakan rancangan Cross Sectional Studi yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian musculoskeletal disorders pada

Penelitian yang dilakukan peneliti bersifat analitik dengan desain Cross Sectional, untuk mengetahui faktor resiko anemia pada ibu hamil di Desa Tanjung Medan tahun

Penelitian yang dilakukan peneliti bersifat analitik dengan desain Cross Sectional , untuk mengetahui faktor resiko anemia pada ibu hamil di Desa Tanjung Medan tahun

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui hasil pemeriksaan Pap Smear, diagnosis serta

Hasil penelitian didapatkan bahwa ada 57 klien ( 72,2%) memiliki hipertensi yang menderita stroke dan ada hubungan antara faktor resiko hipertensi dengan

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk menganalisa perbedaan tingkat stres, pola makan dan kejadian