DI KOTA MEDAN TAHUN 2008
T E S I S
Oleh
MONA SISKA YANI 067010013/KK
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DI KOTA MEDAN TAHUN 2008
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Dalam Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Program Studi Kesehatan Kerja Pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MONA SISKA YANI
067010013/KK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
MEDAN TAHUN 2008 Nama Mahasiswa : Mona Siska Yani
Nomor Pokok : 067010013
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi : Kesehatan Kerja
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.dr.Irma D.Roesyanto, SpKK (K)) (Ir.Kalsum, MKes) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi,MKM) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc)
PANITIA PENGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto SpKK. (K)
Anggota
: Ir. Kalsum, M.Kes
PERNYATAAN
HUBUNGAN FAKTOR - FAKTOR RESIKO TERHADAP
KEJADIAN MELASMA PADA PEKERJA WANITA
PENYAPU JALAN DI KOTA MEDAN
TAHUN 2008
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
satu penyakit kulit akibat kerja. Melasma ini biasanya terjadi pada kulit wajah dan leher berupa flek-flek hitam dan terjadi akibat hiperpigmentasi. Secara medis melasma merupakan masalah kesehatan, dan secara estetika dapat merusak kecantikan wanita. Salah satu pekerja yang beresiko terhadap melasma adalah wanita pekerja penyapu jalan. Wanita pekerja penyapu jalan umumnya bekerja mulai jam 07.00wib pagi sampai menjelang siang dan mulai kembali jam 14.00 wib sampai sore. Umumnya wanita pekerja penyapu jalan bekerja di kota-kota besar, salah satunya kota Medan.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan kejadian Melasma pada wanita pekerja penyapu jalan di Kota Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita pekerja penyapu jalan sebanyak 390 yang tersebar di 21 Kecamatan di Kota Medan dengan besar sampel 80 orang yang diambil dengan proporsional sampling to size. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan pemeriksaan dokter spesialis kulit dan dianalisis menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 91,3% wanita pekerja penyapu jalan di Kota Medan mengalami Melasma. Hasil uji chi square menunjukkan variabel pemakaian hormonal (p=0,858), kehamilan (p=0,170), dan penggunaan obat-obatan (p=0,835) tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian melasma, namun variabel paparan sinar matahari (p=0,000), kosmetik (p=0,033), dan variabel penggunaan APD (p=0,013) berhubungan secara signifikan dengan kejadian melasma.
Disarankan kepada Dinas Kebersihan Kota Medan agar memberikan alat pelindung diri yang sesuai kepada wanita pekerja penyapu jalan, pemeriksaan secara berkala berkaitan dengan pekerjaan petugas wanita pekerja penyapu jalan, dan mengadakan sosialisasi pemakaian Alat Pelindung Diri.
Melasma (hyperpigmentation), one of the non-transmitted diseases, is a skin disease caused by working outdoor. Melasma usually occurs on the face and the neck in the forms of dark spots because of hyperpigmentation. Medically, melasma is a health problem and it can esthetically ruin the beauty of a women. One of the workers who is at risk of melasma is the women working as street cleaner/sweeper who usually work from 7 a.m. to before noon and the start again from 2 p.m. to the afternoon. In general, women street cleaner/sweeper works in big cities like Medan.
The purpose of this observational study with cross sectional approach is to examine the relationship between risk factor and the incidence of melasma in the women street cleaners/sweepers in Medan. The population of this study is all of the 390 women street cleaners/sweepers spread in 21 sub-districts in Medan and 80 of them were selected througt the proportional sampling technique to be the samples for this study. The data needed for this study were obtained through questionnaires distributed to the samples/respondents and the result of the examination done by dermatologists. The data obtained were then analyzed by means of Chi-square test with the level of confidence of 95% (p<0.05).
The results of these study shows that 91.3% of the women street cleaners/sweepers in Medan are suffering of hyperpigmentation. The results of Chi-square test reveals that the use of hormone (p=0.858), pregnancy (p=0.170), and drugs/medicine (p=0.835) do not have any significant relationship with the incidence of melasma, but being exposed to sunlight (p=0.000), cosmetics (=0.033), and using APD (self-protecting device) (p=0.013) have a significant relationship with the incidence of melasma.
Medan Hygiene Board is suggested to provide the women street cleaners/sweepers with proper self-protecting device (APD), to schedule a periodical health check-up according to their nature job, and to socialize how to use APD (self- protecting device).
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul
“Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita
Penyapu Jalan Di Kota Medan Tahun 2008” sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-2 pada Program Magister Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga
kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, MSc. sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM. selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
3. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto SpKK. (K) sebagai Ketua Komisi
Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran ditengah-tengah
kesibukannya.
4. Ir. Kalsum, MKes sebagai pembimbing atas saran-saran, bimbingan dan
6. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK sebagai Komisi pembanding yang banyak
memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan Tesis ini.
7. Kepala Dinas Kebersihan Kota Medan yang memberi izin penelitian dan atas
informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian penulisan.
8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun dr. Waldy Saragih yang
memberi izin Tugas Belajar Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Kekhususan Kesehatan Kerja Sekolah Pasca Sarjana USU.
9. Yang tercinta orangtua saya Bahol Haque Yani dan Drg. Nurmala F. Sianturi
atas doanya.
10. Suami saya Ir. Reinhard F. Hutabarat dan anak - anak Sonny William J.
Hutabarat, dan Felix Nicholas Hutabarat, yang telah memberi semangat ,
inspirasi, dan doa selama menyelesaikan pendidikan Program Magister ini.
11. Pdp. Tohap Hutapea atas doa, dorongan semangat, dan perhatian rohaninya.
12. Seluruh Staf dosen dan administrasi Kekhususan kesehatan kerja Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi pengajaran,
bimbingan dan arahan selama pendidikan.
Medan, Agustus 2008.
Penulis,
A. IDENTITAS
1. Nama : Mona Siska Yani
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Agama : Kristen Protestan
4.Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 18 Juli 1972
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD RK. Cinta Rakyat Perdagangan tahun 1978-1984
2. SMP RK. Cinta Rakyat Perdagangan tahun 1984-1987
3. SMA Immanuel Medan tahun 1987-1990
4. Fakultas Kedokteran USU tahun 1990-1998
5. Program Magister Kesehatan Kerja
Sekolah Pasca Sarjana USU tahun 2006-2008
C. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter PTT Puskesmas Benteng Bangka Belitung tahun 1998-2001
2. Dokter PTT Pustu Pujidadi Kodya Binjai tahun 2001
3. Dokter PTT Puskesmas Meranti Asahan tahun 2002
4. Dokter PNS RSUD Bengkalis tahun 2002-2004
5. Dokter PNS Puskesmas Muara Basung Bengkalis tahun 2004-2005
ABSTRAK ... i
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 24
3.3. Populasi dan Sampel ... 24
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 26
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 28
3.6. Metode Pengukuran ... 30
5.3. Hubungan Faktor Resiko Dengan Kejadian Melasma ... 49
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
6.1. Kesimpulan ... 56
6.2. Saran ... 57
3.1 Perhitungan Jumlah Sampel di setiap Kecamatan di Kota Medan... 26
3.2 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Alat Ukur... 28
3.3 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 31
4.1 Disribusi Responden Berdasarkan Kejadian Melasma ... 36
4.2 Disribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden ... 37
4.3 Disribusi Responden Berdasarkan Faktor Resiko Melasma ... 39
4.4 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma ... 40
Nomor Judul Halaman
1 Skema Anatomi Kulit... 10
2 Melasma Pada Wajah... 13
1. Daftar Obat-Obatan dan Zat Kimia yang Menyebabkan
Hyperpigmentasi... 60
2. Jadwal Penelitian ... 62
3. Kuesioner Penelitian ... 63
4. Master Data Penelitian Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja Wanita Penyapu Jalan Di Kota
Medan Tahun 2008... ... 67
5. Hasil Output Statistik ... 69
1.1.Latar Belakang
Penyakit akibat kerja merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat.
Upaya pembangunan kesehatan yang meliputi pencegahan, pemeliharaan, pengobatan
dan rehabilitasi juga berlaku terhadap penanggulangan penyakit akibat kerja baik
pada pekerja yang formal maupun informal. Menurut Suma’mur (1995) penyakit
akibat kerja disebabkan oleh berbagai faktor pada pekerja faktor fisik seperti akibat
tekanan panas yang berlebihan, suhu yang tinggi, kelembaban, cahaya dan benturan,
faktor kimia, yaitu penggunaan bahan-bahan kimia atau paparan bahan kimia diatas
ambang batas seperti natrium, aluminium dan penggunaan bahan-bahan kimia lainnya
serta faktor biologis seperti parasit, paparan jamur dan lain sebagainya.
Salah satu penyakit yang termasuk penyakit akibat kerja adalah penyakit kulit
seperti melasma. Melasma atau flek pada wajah biasanya terjadi karena
meningkatnya pigmentasi pada bagian yang sering terpapar sinar matahari khususnya
pada wajah, dan berbentuk bercak gelap tidak beraturan pada kulit. Secara medis
melasma merupakan masalah kesehatan, dan secara estetika dapat merusak
kecantikan wanita.
Kelompok pekerja yang beresiko terhadap terjadinya melasma adalah pada
kelompok wanita pekerja peyapu jalan, hal ini karena mereka secara rutin terpapar
bahkan sampai sore. Mengingat melasma terjadi pada pekerja penyapu jalan, dan
bernaung dibawah otorisasi Dinas Kebersihan Daerah, maka dapat dikatakan menjadi
masalah kesehatan kerja. Literatur yang mengkaji tentang penyakit melasma relatif
sedikit, sehingga penyakit ini cenderung sangat sedikit diketahui oleh masyarakat ,
sehingga seolah-olah bukan merupakan suatu masalah kesehatan yang perlu
ditanggulangi, namun berdasarkan etiologi dan dampak yang ditimbulkan dari
penyakit melasma dimana terjadinya bercak-bercak kulit yang tidak beraturan,
berwarna hitam, sehingga secara estetika dapat menyebabkan gangguan psikologis
bagi masyarakat.
Menurut Ellyaningsih (2006), lebih dari 40 % wanita usia di atas 30 tahun
sangat rentan menderita melasma, dan 10 % lebih melasma dialami pria. Menurut
Fitzpatrick dan Rokhsar (2005), kasus melasma terbanyak diderita oleh wanita oleh
karena paparan sinar matahari di wajah, walaupun 10 % dari kasus terjadi pada pria.
Flek dapat terjadi pada berbagai kelompok masyarakat, dan suku, serta jenis kulit
manusia apa saja. Hasil penelitian Rahman, dkk. (2007) di Khasmir, bahwa 167
pasien yang dilakukan pemeriksaan kulit, 40,7% tergolong melasma, dan 62,3%
terjadi pada wanita dengan usia antara 13 sampai 60 tahun, dan disebabkan oleh
penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia dengan lama penggunaan
antara 3 bulan sampai 11 tahun.
Secara umum faktor resiko terhadap terjadinya penyakit adalah disebabkan
paparan sinar matahari, dan faktor kimia seperti paparan bahan-bahan kimia, serta
faktor manusia yaitu kebiasaan penggunaan kosmetik yang mengandung bahan kimia
melebihi toleransi dan berlangsung lama, kebiasaan menggunakan alat kontrasepsi
yaitu jenis hormonal, penggunaan obat-obatan yang bersifat fototoksik, kehamilan
serta faktor genetik (Fitzpatrick, et al, 2005). Secara epidemiologi menurut Torok
(2006), melasma lebih dominan terjadi pada wanita dari pada laki-laki,
pekerja-pekerja yang terpapar dengan sinar matahari biasanya pada wajah, dan leher, dan
pada daerah tropis seperti Indonesia.
Menurut Graham, dkk (2005) sinar matahari diketahui sebagai pencetus utama
timbulnya melasma, sehingga kasus ini sering terjadi pada orang-orang yang biasa
terpajan sinar matahari. Pajanan sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses
melanogenesis yaitu pembentukan melanin yang menyebabkan hiperpigmentasi.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan baik dalam bentuk kosmetik, obat-obatan
juga menimbulkan efek samping bagi kulit, khususnya kulit muka, sehingga
berpotensi terhadap terjadinya melasma. Jenis bahan kimia tersebut seperti merkuri,
senyawa bismuth, fenol, hidrogen peroksida, hidrokinon dan asam azelat (Djuanda,
1993).
Salah satu pekerja yang beresiko terhadap kejadian melasma adalah penyapu
jalan. Secara umum rutinitas diawali dari jam 07.00 pagi sampai menjelang siang
yaitu berkisar jam 14.00 bahkan ada yang sampai sore, tergantung pada batas areal
mengarah pada hiperpigmentasi yang mencetus terjadinya melasma. Secara umum
pekerja penyapu jalan adalah wanita, dan mereka hanya menggunakan penutup
kepala untuk menghindari panas dan penutup mulut untuk antisipasi debu, sedangkan
wajah dan leher terkadang tidak ditutup, sehingga langsung terpapar dengan sinar
matahari.
Pekerja penyapu jalan umumnya juga ada di kota-kota besar, dengan
perkembangan pembangunan yang pesat, arus mobilitas penduduk yang tinggi
sehingga banyak pembangunan jalan raya. Mengingat kepentingan tata kota dan
keasrian kota, maka jalanan dan tempat-tempat umum harus dijaga kebersihannya,
untuk itu dinas kebersihan sebagai lembaga yang berwewenang untuk menjaga
kebersihan dan tata kota melakukan perekrutan tenaga penyapu jalan, dan umumnya
wanita.
Salah satu kota di Indonesia yang termasuk kota metropolitan adalah kota
Medan dan melalui dinas Kebersihan kota Medan juga merekrut tenaga penyapu
jalan. Berdasarkan data ketenagaan Dinas Kebersihan Kota Medan (2007), jumlah
tenaga penyapu jalan sebanyak 390 petugas yang tersebar di 21 kecamatan. Selama
ini mereka belum pernah dilakukan pemeriksaan kesehatannya, sehingga peneliti
tidak dapat memperoleh gambaran status kesehatan mereka khususnya penyakit
melasma.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, secara umum mereka mempunyai
penutup wajah ketika bekerja, hanya penutup kepala, kaki dan tangan, dan cenderung
terpapar sinar matahari secara langsung. Alasan yang mereka kemukakan hanya
untuk kepentingan ekonomi, dan tidak peduli terhadap kecantikan wajah, dan
menganggap bahwa gangguan kulit wajah masih belum merupakan gejala penyakit
yang menimbulkan kesakitan yang lama dan perlu diobati sedini mungkin.
Adapun beberapa faktor resiko terhadap kejadian melasma pada pekerja
wanita penyapu jalan di Kota Medan antara lain paparan sinar matahari dalam jangka
waktu yang lama, penggunaan kosmetik, penggunaan alat kontrasepsi khususnya
jenis hormonal, penggunaan obat-obatan, kehamilan, dan pemakaian Alat Pelindung
Diri yang tidak baik. Dampak negatif dari adanya gangguan kulit wajah dan leher
tersebut secara medis mengganggu kondisi kulit dan secara estetika menyebabkan
gangguan kecantikan dan kondisi psikologis wanita.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian tentang hubungan
faktor resiko dengan kejadian melasma menjadi penting dilakukan, mengingat
penyakit melasma merupakan salah satu masalah kesehatan yaitu gangguan kulit,
sehingga dapat dilakukan upaya-upaya peningkatan status kesehatan pekerja wanita
penyapu jalan di Kota Medan.
1.2.Permasalahan
Melasma merupakan salah satu masalah kesehatan, dan umumnya terjadi pada
yang mengalami gangguan kulit dengan gejala-gejala bercak kecoklatan, dan bercak
kehitaman di wajah yang tidak merata yang mirip dengan gejala melasma, dan
umumnya mereka tidak menggunakan alat pelindung diri, sehingga peneliti dapat
mengambil masalah tentang apakah faktor paparan sinar matahari, penggunaan
obat-obatan, kosmetik, kehamilan, kontrasepsi hormonal, dan pemakaian APD
berhubungan dengan terjadinya melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di kota
Medan.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor resiko
(paparan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kosmetik, kehamilan, kontrasepsi
hormonal, dan pemakaian APD) dengan kejadian melasma pada pekerja wanita
penyapu jalan di Kota Medan
1.4.Hipotesis Penelitian
Faktor resiko (paparan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kosmetik,
kehamilan, kontrasepsi hormonal, dan pemakaian APD) berhubungan dengan
kejadian melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di Kota Medan
1.5.Manfaat Penelitian
melasma, sehingga dapat diambil kebijakan untuk melakukan penyuluhan dan
pemberian alat pelindung diri.
2. Sebagai penambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi
pengembangan ilmu atau penelitian selanjutnya.
3. Menambah wawasan penulis dalam aplikasi keilmuan di bidang Kesehatan
2.1 Kulit Anatomi Kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 15 % dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75 m². Rata-rata tebal
kulit 1-2 mm. Paling tebal (6mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis
(0,5 mm) terdapat di penis.
Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan
jaringan subkutis ( lihat gambar 1).
Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan :
1. lapisan basal atau stratum germinativum
2. lapisan malpighi atau stratum spinosum
3. lapisan granular atau stratum granulosum
4. lapisan tanduk atau stratum korneum
Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan
granular yaitu stratum lusidum atau lapisan sel-sel jernih. Lapisan basal terdiri dari
satu lapis sel-sel yang kuboid yang tegak lurus terhadap dermis. Di dalam sel
hitam. Sel-sel basal ini tersusun sebagai tiang pagar (palisade). Lapisan basal
merupakan lapisan paling bawah dari epidermis dan berbatas dengan dermis. Dalam
lapisan basal terdapat juga melanosit. Melanosit adalah sel dendritik yang
mengandung melanin. Melanosit berasal dari bagian neural embrio. Melanin
berfungsi melindungi kulit terhadap sinar matahari. Semua ras mempunyai jumlah
melanosit yang sama. Perbedaan warna kulit bergantung pada kegiatan melanosit.
Lapisan malpighi merupakan lapisan epidermis yang paling tebal dan kuat.
Terdiri dari sel-sel poligonal yang di lapisan atas menjadi lebih gepeng. Lapisan
granular terdiri dari satu sampai empat baris sel-sel berbentuk intan,berisi butir-butir
(granul) keratohialin yang basofilik. Lapisan tanduk terdiri dari 20-25 lapis sel-sel
tanduk tanpa inti, gepeng, tipis dan mati. Pada permukaan lapisan sel-sel mati
terus-menerus mengelupas tanpa terlihat. Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin,
kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku.
Dermis
Dermis atau korium merupakan lapisan di bawah epidermis dan di atas
jaringan subkutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang di lapisan atas terjalin
rapat (pars papilaris), sedangkan di bagian bawah terjalin lebih longgar (pars
reticularis). Lapisan pars reticularis mengandung pembuluh darah, saraf, rambut,
Jaringan Subkutan (Subkutis atau Hipodermis)
Jaringan subkutan merupakan lapisan yang langsung di bawah dermis. Batas
antara jaringan subkutan dan dermis tidak tegas. Sel-sel yang terbanyak adalah liposit
yang banyak mengandung lemak. Jaringan subkutan mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfe, kandung rambut, dan di lapisan atas jaringan subkutan terdapat
kelenjar keringat. Fungsi jaringan subkutan adalah penyekat panas, bantalan terhadap
trauma, dan tempat penumpukan energi
Rambut
KULIT
Kelenjar SebaseusGambar 1. Skema Anatomi Kulit ( Harahap M, 2000)
Syaraf Sensorial Epidermis
Syaraf
Dermis
Jaringan Subkutaneus Pemb. Darah Kapiler
Arteri Otot
Fungsi Kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan tubuh
dengan lingkungan. Fungsi kulit adalah sebagai :
1. Pelindung
Jaringan tanduk sel-sel epidermis paling luar membatasi masuknya benda-benda
dari luar dan keluarnya cairan berlebihan dari tubuh. Melanin yang memberi
warna pada kulit melindungi kulit dari akibat buruk sinar ultra violet.
2. Pengatur suhu
Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan
suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan
terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat, sehingga suhu panas dapat
dijaga tidak terlalu panas.
3. Penyerap
Kulit dapat menyerap bahan-bahan tertentu seperti gas dan zat yang larut dalam
lemak, tetapi air dan elektrolit sukar masuk melalui kulit. Zat-zat yang larut dalam
lemak lebih mudah masuk ke dalam kulit dan masuk peredaran darah, karena
dapat bercampur dengan lemak yang menutupi permukaan kulit, Masuknya
zat-zat tersebut melalui folikel rambut dan hanya sedikit sekali yang melalui muara
4. Indera Perasa
Indera perasa di kulit terjadi karena rangsangan terhadap saraf sensoris dalam
kulit. Fungsi indera perasa yang pokok yaitu merasakan nyeri, perabaan, panas,
dan dingin.
5. Fungsi Pergetahan
Kulit diliputi oleh dua jenis pergetahan, yaitu sebum dan keringat. Getah sebum
dihasilkan oleh kelenjar sebaseus dan keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat.
Sebum adalah sejenis zat lemak yang membuat kulit menjadi lentur.
2.2 Melasma Definisi Melasma
Melasma adalah hipermelanosis yang tidak merata terutama pada muka,
berwarna coklat muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya
simetrik. Melasma atau flek pada wajah biasanya terjadi karena meningkatnya
pigmentasi pada bagian yang sering terpapar sinar matahari. Melasma berbentuk
bercak gelap tidak beraturan pada kulit. Paparan sinar matahari meningkatkan
aktivitas dan jumlah melanosit, sel yang memproduksi melanin. Hasilnya produksi
Gambar 2. Melasma Pada Wajah
Etiologi
Melasma yang dahulu disebut kloasma umumnya lebih banyak pada wanita
dan penduduk yang tinggal di daerah tropis. Melasma disebabkan peningkatan jumlah
dan aktivitas melanosit. Faktor-faktor yang berperan :
1. obat-obatan, misalnya : kloroquin, klorpromazin, anti epilepsi.
2. hormon, misalnya : Melanosit Stimulating Hormon (M.S.H), ACTH,
estrogen, dan progesterone.
3. sinar ultraviolet
5. bahan kimia yang bersifat iritasi atau fotosensitasi (dalam kosmetik)
(Djuanda, A, dkk,1993).
Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagai faktor, terutama oleh pigmen
melanin. Melanosis adalah kelainan pada proses pembentukan pigmen melanin kulit
yang dibagi lagi menjadi hipermelanosis dan hipomelanosis.
Fitzpatrick membaginya dalam:
a. hipomelanosis/amelanosis
b. hipermelanosis coklat
c. hipermelanosis abu-abu.
Perbedaan kedua golongan hipermelanosis tersebut terletak pada distribusi
melanin dalam kulit. Pada hipermelanosis coklat melanin letaknya lebih dangkal, dan
pada hipermelanosis abu-abu, melanin letaknya dalam.
Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis, berdasarkan
distribusi bercaknya yaitu :
1. pola sentrofasial (63% , terdapat pada kening, hidung, dagu, dan di atas
bibir)
2. pola malar (21 % , terdapat pada hidung dan pipi)
3. pola mandibular (16 %, terdapat pada dagu)
Ada kalanya dada depan dan lengan bagian belakang luar dapat juga terkena
Dari gambaran sinar wood, melasma diklasifikasikan berdasarkan tipenya
yaitu :
1. tipe epidermal
2. tipe dermal
3. tipe campuran.
Pemeriksaan Klinis
Secara klinis, tipe epidermal mempunyai batas-batas yang jelas, sedangkan
tipe dermal atau campuran mempunyai rupa seperti bercak yang timbul. Tipe
epidermal dapat dilihat dengan mata telanjang, sedangkan tipe dermal lebih kelihatan
dibawah sinar wood. Kebanyakan penderita didapati distribusi melanin berada di
lapisan basal epidermis dan dermis (Lapeere, H, et al, 2008).
Pembantu Diagnosis
a. Pemeriksaan Histopatologik Terdapat 2 tipe hipermelanosis :
1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan
suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai
stratum korneum ; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah
melanosit ,sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada
keratinosit dan sel-sel stratum korneum.
2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah
b. Pemeriksaan mikroskop elektron
Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan aktivitas
melanosit meningkat.
c. Pemeriksaan dengan sinar Wood
1. Tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontras 2. Tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontras
3. Tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak
4. Tipe tidak jelas : dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan
dengan sinar biasa jelas terlihat (Djuanda, A, dkk, 1993).
2.3 Faktor Resiko Melasma
Faktor resiko terjadinya melasma yaitu :
1. Paparan Sinar Matahari (Ultra Violet)
Sinar matahari sering disebut dengan sinar ultra violet (UV). Indonesia merupakan
negara tropis yang hampir sepanjang tahun disinari matahari.
Radiasi Ultra Violet terbagi dalam:
1. Radiasi UV-C (200-290 nm).
Radiasi ini tidak ditemukan dalam spectrum sinar matahari pada permukaan
bumi karena disaring oleh ozon dan air. Disebut juga radiasi germisidal
karena dapat membunuh mikroorganisme. Radiasi ini adalah UV gelombang
sesuai dengan panjang gelombang yang diemisi oleh lampu merkuri
bertekanan rendah (lampu germisid) sebagai sumber radiasi UV-C.
2. Radiasi UV-B (290-320 nm).
Merupakan bagian radiasi UV-B dengan keaktifan biologis tertinggi pada
sinar matahari dan penyebab reaksi eritema setelah paparan dengan matahari.
Disebut juga UV gelombang tengah atau sumber UV radiation.
3. Radiasi UV-A (320-400nm).
Panjang gelombang terpanjang dari spectrum UV ini mempunyai efek
biologis kurang dari UV-B, tetapi gelombang UV-A dapat memacu
menyebarkan sebagian eritema akibat matahari. Nama lain UV-A ialah radiasi
UV gelombang panjang, radiasi UV karena dekat dengan sinar hitam (black
light) karena tidak terlihat.
DNA menyerap ultra violet terbanyak pada panjang gelombang 280 nm.
UV-B merupakan penyebab kerusakan biokemikal yang paling potensial. Efek buruk
sinar UV dipengaruhi oleh faktor individu, frekuensi dan lama pajanan serta
intensitas radiasi sinar UV. Reaktifitas individu terhadap sinar UV tergantung pada
warna kulit konstitutif serta tipe kulit yang diturunkan secara genetik.
Pigmentasi akibat UV terjadi terutama akibat radiasi UV-A pada individu
yang telah mempunyai pigmentasi. Pigmentasi akibat UV yang menyebabkan tanning
dinamakan facultative skin color.
waktu 5-10 menit setelah paparan dan menghilang dalam beberapa menit sampai
beberapa hari tergantung dosis UV dan jenis kulit individu. Tanning yang cepat tidak
memberikan fotoproteksi dan tidak menaikkan tingkat melanin epidermal. Dan ini
hanya terjadi oleh penyinaran UV-A (Park, Hee-Young, et al, 2008).
Tanning reaksi lambat terjadi dalam waktu 3-4 hari setelah paparan UV. Ini
disebabkan oleh UV-B dan UV-A. Puncaknya antara 10 hari sampai 4 minggu
tergantung dosis UV dan jenis kulit individu, dan menghilang dalam beberapa
minggu. Secara histologi terjadi peningkatan melanosit epidermal, melanosit dendrit
dan perpindahan melanosome ke keratinosit, dan terjadi melanisasi yang meningkat
dari melanosome individu.
Melagenesis merupakan proses yang dipengaruhi oleh panjang gelombang.
UV-A akan menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada lapisan basal. UV-B
menyebabkan pigmentasi yang gelap terbatas pada lapisan epidermis, sedangkan
pigmentasi akibat UV-C ringan sekali (Park, Hee-Young, et al, 2008).
2. Kehamilan
Selama kehamilan, peningkatan pigmentasi terjadi pada 90 % wanita dan kebanyakan
lebih ditonjolkan pada tipe kulit yang lebih gelap. Bercak pigmentasi yang menetap
seperti nevi dan ephelides menjadi berwarna lebih gelap. Juga jaringan parut baru
sering kelihatan lebih gelap.
Area yang mempunyai pigmen normal seperti puting susu, areola mamae dan
Dalam kelompok kecil wanita hamil, hiperpigmentasi terjadi di ketiak atau paha atas
bagian dalam. Melasma atau sering disebut topeng kehamilan terjadi pada 50 %
wanita hamil (Lapeere, H, et al, 2008).
3. Kontrasepsi Hormonal
Kulit dan bagian-bagiannya seperti folikel rambut dan kelenjar keringat sangat
bergantung pada steroid seks. Estrogen dan androgen sangat berperan terhadap proses
pigmentasi dan pertumbuhan rambut. Pil kontrasepsi meningkatkan aliran darah kulit
sekitar 10 %. Penyakit kulit dapat disebabkan oleh hormon estrogen dan androgen.
Melasma atau sering juga disebut kloasma, yaitu berupa munculnya warna
kuning kecoklatan pada daerah pipi, hidung, dagu atau mulut sering ditemukan pada
penggunaan kontrasepsi jangka panjang, Kelainan ini lebih sering ditemukan pada
penggunaan pil dengan dosis estrogen tinggi.
4. Kosmetik (zat kimia) dan Obat-obatan
Daftar obat-obatan dan zat kimia yang menyebabkan hiperpigmentasi sangatlah
banyak dan tetap bertambah terus. Zidovudine yang telah dipakai pada pasien AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah salah satu obat yang masuk dalam
daftar obat-obatan yang menyebabkan hiperpigmentasi belakangan ini.
Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh agen toksik, atau obat-obatan
dianggap 10-20 % dari semua kasus hiperpigmentasi yang diperoleh. Obat-obatan
yang berhubungan dengan sistem saraf pusat, obat-obat antikanker, obat anti infeksi,
Berikut daftar obat-obatan dan zat kimia yang dapat menyebabkan hiperpigmentasi
atau melasma (lihat lampiran).
2.4 Upaya Pencegahan dan Pengobatan Melasma
Prinsip pengobatan melasma adalah mengendalikan faktor-faktor penyebab dan menghilangkan melanin serta memutus rantai pembentukan melanin. Pengaruh
buruk sinar matahari dapat dilakukan dengan pemakaian tabir surya baik berupa krim
maupun tabir surya fisik berupa payung, topi, kerudung, maupun penutup muka.
Epidermal pigmentasi lebih sensitif pada pengobatan topikal dari pada
dermal pigmentasi. Hipopigmentasi agents seperti hidrokuinon, tretinoin krim, asam
azelaik, rusinol dan asam kojic dapat menolong dalam jangka waktu yang lama.
Formula Kligman adalah kombinasi yang populer dari hidrokuinon, tretinoin, dan
kortikosteroid topikal ringan. Pengelupasan kulit secara kimia dan terapi laser dapat
menolong pengobatan melasma, tapi dapat juga mengakibatkan hiperpigmentasi
lanjut yang tidak diinginkan. Kadang-kadang melasma hilang perlahan setelah
penghentian pemakaian hormonal, dan perlu berhati-hati menghindari paparan sinar
matahari (Lapeere, H, et al, 2008).
Sudah banyak dikenal senyawa yang dapat mempengaruhi proses pigmentasi
melanin, antara lain senyawa merkuri, senyawa bismuth, fenol, hidrogen peroksida,
hidrokinon, dan asam azaleat. Pemakaian obat pemutih yang mengandung merkuri
adalah iritasi dan kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi pasca inflamasi.
Hidrokinon dapat dikombinasi dengan asam vitamin A 0,05 % untuk mempercepat
keratinisasi. Bila diberi obat pemutih pada malam hari sebaiknya dipakai tabir
matahari (sun block), selama dan sesudah pengobatan untuk mencegah kekambuhan
(Djuanda, A, dkk, 1993).
Pengobatan terhadap melasma dapat juga dilakukan melalui terapi sinar laser,
pemakaian Hydroquinone (HQ) dengan konsentrasi 2-5 % sesuai dengan keadaan
klinis, topical retinoid, dan topical steroids (Torok, 2006).
Sedangkan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari paparan
sinar matahari secara langsung pada jam 10.00 sampai jam 15.00, namun tergantung
letak suatu tempat di permukaan bumi, menghindari penggunaan kosmetik dengan
kadar bahan kimia diatas toleransi kulit, serta penggunaan alat pelindung wajah dan
tubuh bagi pekerja dilapangan yang berpotensi terhadap paparan sinar matahari
secara langsung. Bagi ibu-ibu yang menderita melasma dianjurkan tidak lagi
memakai kontrasepsi hormonal baik berupa suntik maupun pil. Juga berhati-hati
terhadap pemakaian kosmetik yang dijual bebas di pasaran, dan mengkonsumsi
vitamin C dengan cukup.
2.5 Landasan Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka, maka peneliti dapat merumuskan beberapa
Penyakit melasma adalah salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada
kulit yang ditandai dengan adanya hipermelanosis yang tidak merata terutama pada
muka, berwarna coklat muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya
simetrik, dan terjadi karena meningkatnya pigmentasi pada bagian yang sering
terpapar sinar matahari (Djuanda, 1993).
Menurut Bustan (2000) faktor resiko penyakit tidak menular dapat
digolongkan menurut segi dari mana faktor resiko tersebut diamati, dan kestabilan
peranan faktor resiko. Dalam penelitian ini faktor resiko tersebut dilihat berdasarkan
faktor resiko yang diamati, yaitu terbagi atas:
1. Unchangeable risk factor, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah, seperti
genetik, umur, dan lain-lain;
2. Changeable risk factor, yaitu kebiasaan penggunaan kosmetik, kebiasaan
terpapar dengan sinar matahari, penggunaan obat-obatan, kebiasaan merokok,
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Faktor resiko
1. Paparan Sinar Matahari 2. Kehamilan
3. Hormonal 4. Kosmetik 5. Obat-obatan 6. Penggunaan APD
Kejadian Melasma
Karakteristik Pekerja 1. Umur
2. Pengetahuan 3. Masa kerja
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional, yaitu untuk menentukan hubungan antara faktor resiko (paparan sinar
matahari, kehamilan, kontrasepsi hormonal, kosmetik, obat-obatan, dan pemakaian
APD) dengan terjadinya penyakit melasma pada pekerja wanita penyapu jalan di
Kota Medan dengan melakukan pengukuran sesaat.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dengan pertimbangan hasil
obervasi masih adanya pekerja wanita penyapu jalan yang memiliki gangguan kulit
dengan gejala mirip dengan melasma seperti bercak-bercak kecoklatan dan bercak
kehitaman diwajah, serta belum pernah dilakukan penelitian yang serupa dengan
pendekatan faktor resiko.
Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 6 (enam) bulan terhitung
mulai bulan Maret sampai Agustus 2008.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja penyapu jalan wanita di
penelitian ini adalah sebagian pekerja wanita penyapu jalan dengan besar sampel
diambil menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane sebagaimana
dikutip oleh Natoatmodjo, 2003, berikut ini:
)
Dimana : N = Besar populasi, yaitu sebanyak 390 orang
n = Besar sampel
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)
Dengan perhitungan sebagai berikut :
)
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 80 wanita pekerja penyapu jalan yang tersebar di 21
Kecamatan di Kota Medan.
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara proporsional
sampling to size, yaitu mengambil sampel dengan menghitung proporsi jumlah
sampel disetiap kecamatan. Proporsi sampel dalam penelitian ini adalah perbandingan
jumlah sampel yang disebut dengan sample fraction (SF) dengan jumlah populasi,
yaitu (Nazir, 2004):
Maka jumlah sampel disetiap kecamatan diambil 20,5% dari jumlah populasi
yang ada, seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1. Perhitungan Jumlah Sampel di setiap Kecamatan di Kota Medan
No Kecamatan Jumlah
Petugas Perhitungan
Jumlah
Pengambilan sampel setiap kecamatan dengan jumlah yang telah ditentukan
seperti pada Tabel 3.1 di atas, dilakukan dengan simple random sampling, mengambil
sampel secara acak, dengan kriteria inklusi : masa bekerja lebih dari 1 tahun.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
pemeriksaan/diagnosis dokter spesialis kulit. Pengumpulan data berupa faktor resiko
menggunakan kuesioner. Sebelum kuesioner dipergunakan, terlebih dahulu dilakukan
pengujian terhadap 20 responden terhadap wanita pekerja penyapu jalan di kecamatan
Medan Baru untuk mengetahui validitas dan reliabilitas alat ukur.
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau nilai
yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara
mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel dengan
melihat nilai item corrected total correlation pada hasil uji reliability, dengan
ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya.
Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan
metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali
pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r Alpha > r tabel, maka dinyatakan
relialible.
Adapun hasil pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur jumlah responden
20 orang (df=n-1; df=20-1=19), pada taraf 5%, maka nilai r-tabel=0,445 untuk uji
validitas sedangkan untuk reliabilitas r-tabel=0,450, adalah seperti pada Tabel 3.2
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui pencatatan dokumen
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Pertanyaan Faktor Risiko
P1 0,445 0,656 0,450 0,881 Valid dan Reliabel
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel penelitian terdiri atas variabel independen (variabel bebas) yaitu
paparan sinar matahari, kehamilan, obat-obatan, kontrasepsi hormonal, kosmetik, dan
pemakaian APD, sedangkan variabel dependen (terikat) yaitu kejadian penyakit
1. Variabel Independen
a. Paparan Sinar Matahari adalah terpaparnya responden dengan sinar matahari
secara langsung pada pukul 10 pagi sampai pukul 3 sore , pada anggota tubuh
mereka berdasarkan pengamatan peneliti, dan tidak dibawah naungan pohon
peneduh.
b. Kosmetik adalah suatu bahan berupa bedak atau krim wajah yang mengandung
bahan-bahan kimia tertentu yang dipakai oleh responden secara terus-menerus
selama bekerja.
c. Kontrasepsi Hormonal adalah alat kontrasepsi yang mengandung hormon
berupa pil, suntikan, maupun susuk yang digunakan oleh responden selama
bekerja.
d. Obat-obatan adalah obat-obatan oral tertentu yang dikonsumsi oleh responden
untuk terapi penyakit yang sedang dialaminya selama bekerja.
e. Kehamilan adalah kondisi hamil yang dialami responden selama bekerja.
f. Umur adalah jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai dengan
penelitian dilakukan.
g. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden tentang kejadian
melasma, faktor resiko, dan upaya pencegahannya.
h. Penggunaan Alat Pelindung Diri adalah ada atau tidaknya pekerja wanita
penyapu jalan menggunakan APD berupa penutup wajah dan topi yang sesuai
2. Variabel Dependen
Kejadian melasma adalah suatu gangguan kesehatan kulit pekerja wanita
penyapu jalan yang ditandai bercak-bercak kecoklatan pada kulit wajah, dan bercak
kehitaman diwajah yang tidak beraturan, dan hasil diagnosis dokter spesialis kulit.
3.6 Metode Pengukuran
Pengukuran variabel independen dilakukan menggunakan skala nominal,
ratio dan ordinal berdasarkan kuesioner dan observasi, sedangkan pengukuran
variabel dependen menggunakan skala nominal berdasarkan observasi dan hasil
pemeriksaan dokter spesialis kulit. Untuk mengukur variabel pengetahuan diberikan
10 pertanyaan didasarkan pada skala Ordinal dengan alternatif jawaban : (1) Jika
responden menjawab jawaban benar diberi nilai 2 (dua), (2) Jika responden
menjawab jawaban salah diberi nilai 1 (satu). Kemudian dikategorikan menjadi:
1. Baik, jika responden memperoleh nilai 15-20.
2. Kurang, jika responden memperoleh nilai 10-14 (Riduan, 2005). Secara terperinci
Tabel 3.3 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen
Variabel Kategori Variabel Cara dan Alat Ukur
Skala Ukur Variabel Independen
Paparan Sinar Matahari 1.Ya 2. Tidak
Observasi Nominal
Kosmetik 1.Pakai 2. Tidak
Wawancara (Kuesioner)
Nominal
Hormonal 1.Pakai 2. Tidak
Wawancara (Kuesioner)
Nominal
Kehamilan 1.Ya 2. Tidak
Observasi Nominal
Umur - Wawancara
Kejadian Melasma 1.Ya 2.Tidak
Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat yaitu
melakukan analisis data berdasarkan distribusi frekuensi data terhadap variabel
independen dan dependen.
Kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat, yaitu melakukan analisis
mengetahui hubungan faktor resiko terhadap kejadian melasma pada pekerja wanita
penyapu jalan di Kota Medan.
Selanjutnya untuk melihat faktor paling dominan berhubungan dengan
kejadian melasma dilakukan pengujian dengan uji regresi linear berganda pada taraf
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Wilayah Kota Medan merupakan Ibukota provinsi Sumatera Utara. Kota
Medan adalah pusat pemerintahan, pendidikan, kebudayaan serta perdagangan
dengan luas wilayah 165.100 Km2 dan terdiri dari 21 Kecamatan serta 151
Kelurahan. Terletak di pantai timur Sumatera dengan batas-batas sebagai
berikut : Sebelah Utara dibatasi oleh Selat Malaka; Sebelah Selatan dibatasi
oleh Kabupaten Deli Serdang; Sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Deli
Serdang dan Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Deli Serdang
Pada tahun 2006 jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan data dari
Kantor Statistik Kota Medan adalah 2.353.000 jiwa dengan kepadatan
penduduk rata-rata 8.431/Km2.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kebersihan Kota Medan
tahun 2007, jumlah pekerja penyapu jalan yang terdaftar adalah sebanyak 390
petugas yang tersebar di 21 kecamatan, dan berdasarkan catatan mereka belum
pernah dilakukan pemeriksaan kesehatannya.
Secara geografis Dinas Kebersihan Kotamadya Medan terletak di jalan
Pinang Baris nomer 114 Medan. Dinas Kebersihan adalah merupakan salah satu
yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan umum kebersihan kota
yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
1. Penyapuan jalan-jalan protokol dan kolektor.
2. Pengumpulan sampah dari sumber ke TPS ( Tempat Pembuangan Sementara)
3. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
4. Pemusnahan sampah dan pengelolaan TPA.
5. Penyedotan Septictank.
6. Retribusi kebersihan (SK. Walikota Medan No. 10/2002 tentang tugas pokok
dan fungsi Dinas Kebersihan Kota Medan).
(a). Visi dan Misi
Visi Dinas Kebersihan Kota Medan adalah terwujudnya Medan bersih yang
berwawasan lingkungan. Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan misi
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur guna membentuk aparatur
dinas kebersihan berdedikasi tinggi dan profesional dalam pelayanan
kepada masyarakat.
2. Meningkatkan sarana dan prasarana kebersihan yang berteknologi
berdaya guna dan berhasil guna dalam penyapuan, pengumpulan,
pewadahan, pengangkutan dan pemusnahan sampah serta pengolahan
pemanfaatan sampah menjadi bernilai ekonomis, guna meningkatkan
3. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan meningkatkan
peran serta masyarakat untuk membayar retribusi pelayanan kebersihan
guna meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan.
(b). Petugas Penyapu Jalan
Petugas penyapu jalan Dinas Kebersihan Kota Medan diberi nama Melati,
dalam arti melati yang berwarna putih mengartikan hati seputih bunga melati
yang mempunyai ketulusan membersihkan jalan-jalan protokol dan kolektor
yang ada di Kota Medan. Mereka bertugas setiap hari Senin sampai Minggu,
tidak mempunyai hari libur. Petugas penyapu jalan ini di bawah pengawasan
bagian Operasional Dinas Kebersihan Kota Medan.
(1) Ruang Lingkup Kerja Petugas Penyapu Jalan Melati
Petugas penyapu jalan Melati setiap harinya melakukan penyapuan jalan sepanjang 2,5 km mulai pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 09.00 WIB
shift pertama dan pukul 11.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB shift kedua.
Petugas penyapu jalan Melati ini bertugas menyapu jalan protokol dan kolektor,
melakukan penyekraban pasir-pasir dan rumput-rumput yang tumbuh liar di
pinggir badan jalan protokol dan kolektor. Sampah hasil sapuan di kumpul
dalam wadah plastik sebelum diangkut oleh gerobak atau truk sampah Dinas
Kebersihan Kota Medan.
(2) Fasilitas yang di Dapat Oleh Petugas Penyapu Jalan Melati
1. Diberikan gaji/ upah kerja 30.000 rupiah per hari yang diberikan setiap bulan
2. Diberikan pakaian dinas berupa celana panjang berwarna coklat, kaos lengan
panjang berwarna kuning, topi pet berwarna coklat dan kuning, sepatu
hitam, masker hitam berbahan kain, dan sarung tangan.
3. Diberikan peralatan berupa sapu dan plastik tempat penampungan sampah.
4.2 Analisis Univariat
Analisis univariat adalah salah satu langkah analisis dalam penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel-variabel
penelitian baik variabel independen maupun dependen.
4.2.1 Kejadian Melasma
Kejadian melasma dilihat berdasarkan hasil observasi kulit dan diagnosa
dokter spesialis kulit. Variabel kejadian melasma ini dikategorikan menjadi
melasma dan tidak melasma. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1:
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Melasma
No Kejadian Melasma Jumlah
(orang)
Persentase (%) 1 Melasma 72 90,0
2 Tidak Melasma 8 10,0
Jumlah 80 100
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa dari 80 responden,
4.2.2 Karakteristik Responden
Variabel independen terdiri dari umur, masa kerja dan pengetahuan
responden tentang melasma. Hasil penelitian seperti pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden
No Karakteristik Reponden Jumlah
(orang)
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, menunjukkan bahwa berdasarkan
kelompok umur, diketahui mayoritas berusia antara 46-53 tahun, yaitu
sebanyak 39 orang (48,8%), disusul umur antara 38-45 tahun yaitu sebanyak 29
orang (36,3%).
Berdasarkan masa kerja, diketahui mayoritas bekerja sebagai tukang
sapu dengan masa kerja antara 25-35 tahun, yaitu sebanyak 29 orang (36,3%),
namun relatif sama antara masa kerja 3-13 tahun dan 14-24 tahun
Berdasarkan pengetahuan responden tentang melasma, gejala dan upaya
pencegahannya, diketahui mayoritas responden mempunyai pengetahuan
kategori kurang baik, yaitu sebanyak 65 orang (81,3%), sedangkan responden
dengan pengetahuan kategori baik hanya 15 orang (18,8%).
4.2.3 Faktor Resiko
Distribusi frekuensi berdasarkan faktor resiko terdiri dari paparan sinar
matahari, penggunaan kosmetik, penggunaan hormonal (alat kontrasepsi),
kehamilan, dan penggunaan obat-obatan, serta penggunaan alat pelindung diri.
Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan paparan sinar matahari
mayoritas responden terpapar sinar matahari ketika bekerja sebagai penyapu
jalan yaitu sebanyak 78 orang (97,5%), sedangkan yang tidak terpapar sinar
matahari hanya 2 orang (2,5%).
Berdasarkan penggunaan kosmetik, mayoritas responden menggunakan
kosmetik yaitu 48 orang (60%), sedangkan responden yang tidak menggunakan
kosmetik yaitu 32 orang (40%).
Berdasarkan penggunaan hormonal, mayoritas responden tidak
menggunakan alat kontrasepsi yaitu 62 orang (77,5%), sedangkan responden
yang menggunakan hormonal yaitu 18 orang (22,5%).
Berdasarkan status kehamilan, mayoritas responden tidak hamil yaitu 77
orang (96,3%) dan hanya 3 orang (3,8%) sedang hamil. Berdasarkan
yaitu 68 orang (85,0%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi
obat-obatan yaitu 12 orang (15,0%).
Berdasarkan kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (APD),
mayoritas responden tidak menggunakan APD ketika bekerja yaitu 71 orang
(88,8%), sedangkan responden yang menggunakan APD hanya 9 orang
(11,3%). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Resiko Melasma
4.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang
bertujuan untuk melihat perbedaan proporsi hubungan antara variabel
independen dengan dependen, dan dapat diketahui hubungannya secara
signifikan melalui pengujian secara statistik, dengan menggunakan uji chi
square (p<0,05). Berdasarkan faktor resiko yang terdiri dari paparan sinar
matahari, penggunaan kosmetik, penggunaan hormonal, konsumsi obat-obatan,
kehamilan dan penggunaan APD. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma Kejadian Melasma
Dilihat di Tabel 4.4 di atas, berdasarkan paparan sinar matahari,
proporsi responden yang terjadi melasma 92,3% terpapar sinar matahari
dibandingkan dengan yang tidak terpapar 0%. Hasil uji chi square
menunjukkan hubungan signifikan antara paparan sinar matahari dengan
kejadian melasma (p=0,000).
Berdasarkan penggunaan kosmetik, proporsi responden yang terjadi
melasma 95,8% menggunakan kosmetik dibandingkan dengan responden yang
tidak menggunakan kosmetik yaitu 81,2%. Hasil uji chi square menunjukkan
hubungan signifikan antara kosmetik dengan kejadian melasma (p=0,033).
Berdasarkan penggunaan hormonal, proporsi responden yang terjadi
melasma 90,3% responden tidak menggunakan hormonal dibandingkan dengan
responden yang menggunakan hormonal yaitu 88,9%. Hasil uji chi square tidak
menunjukkan hubungan signifikan antara hormonal dengan kejadian melasma
(p=0,858).
Berdasarkan status kehamilan, proporsi responden yang terjadi melasma
90,9% responden tidak sedang hamil dibandingkan dengan responden yang
sedang hamil yaitu 66,7%. Hasil uji chi square tidak menunjukkan hubungan
signifikan antara kehamilan dengan kejadian melasma (p=0,170).
Berdasarkan penggunaan obat-obatan, proporsi responden yang terjadi
melasma 91,7% responden sedang mengkonsumsi obat-obatan dibandingkan
Hasil uji chi square tidak menunjukkan hubungan signifikan antara konsumsi
obat-obatan dengan kejadian melasma (p=0,835).
Berdasarkan penggunaan APD, proporsi responden yang terjadi
melasma 93,0% responden yang tidak menggunakan APD dibandingkan
dengan responden yang menggunakan APD yaitu 66,7%. Hasil uji chi square
menunjukkan hubungan signifikan antara penggunaan APD dengan kejadian
melasma (p=0,013).
4.4 Analisis Multivariat
Multivariat merupakan kelanjutan dari uji bivariat untuk mengetahui
faktor paling dominan dari variabel independen yang mempengaruhi kejadian
melasma pada wanita penyapu jalan. Uji yang dipergunakan adalah uji regresi
linear berganda mengingat variabel independen lebih dari dua dan variabel
dependennya merupakan data yang di dikotomi.
Berdasarkan hasil uji chi square pada analisis bivariat terdapat 3 (tiga)
variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan kejadian melasma, maka
ketiga variabel tersebut dilakukan pengujian secara bersama-sama dengan
Tabel 4.5. Hasil Uji Regresi Linear Berganda
No Variabel B p 1 Paparan Sinar Matahari 0,959 0,000* 2 Penggunaan Kosmetik 0,121 0,047* 3 Penggunaan APD - 0,49 0,168
Nilai Adjusted R 0,270 Konstanta 0,038
*) Signifikan pada taraf nyata 95% (p<0,05)
Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, diketahui bahwa berdasarkan uji regresi
linear terhadap 3 (tiga) variabel penelitian dengan metode enter menunjukkan
bahwa terdapat dua variabel yang berhubungan dengan kejadian melasma yaitu
variabel paparan sinar matahari (p=0,000), dan variabel penggunaan kosmetik
(p=0,047). Berdasarkan variabel paling dominan dapat ditunjukkan oleh nilai B
tertinggi, yaitu pada variabel paparan sinar matahari dengan nilai B=0,959,
artinya kontribusi variabel paparan sinar matahari 95,9% berhubungan dengan
kejadian melasma pada wanita pekerja penyapu jalan.
4.5 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini merupakan penelitian sosial dengan pendekatan survai,
sehingga sulit untuk mengidentifikasi penyebab utama terhadap kejadian
melasma pada pekerja wanita penyapu jalan, namun peneliti mencoba
memperoleh informasi tersebut melalui telaah pustaka dan melakukan
kajian epidemiologis faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkan
2. Penelitian ini menggunakan sampel yang relatif sedikit mengingat waktu
dan kemampuan peneliti, sehingga tidak mampu mengakomodir secara
komprehensif variasi hasil penelitian pada wanita pekerja penyapu jalan
tentang faktor apa yang paling dominan mempengaruhi terjadinya
5.1 Kejadian Melasma
Melasma adalah salah satu penyakit kulit yang tidak menular, dimana
terjadi hipermelanosis yang tidak merata terutama pada muka, berwarna coklat
muda sampai coklat tua, berkembang lambat, dan umumnya simetrik. Hasil
penelitian diketahui bahwa dari 80 responden, 72 responden (90,0%) terjadi
melasma dan hanya 8 responden (10,0%) tidak melasma. Keadaan ini
menunjukkan bahwa pekerja penyapu jalan merupakan pekerja yang beresiko
terhadap terjadinya melasma mengingat mereka terpapar dengan faktor resiko
baik secara permanen maupun secara temporer.
Menurut Djuanda (1993), bahwa kejadian melasma umumnya terjadi
pada wanita dan berada di daerah tropis karena daerah ini mempunyai intensitas
sinar matahari yang tinggi, dan ini merupakan salah salah satu faktor resiko
yang paling dominan mempengaruhi terjadinya melasma.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Graham, dkk (2005) sinar
matahari diketahui sebagai pencetus utama timbulnya melasma, sehingga kasus
ini sering terjadi pada orang-orang yang biasa terpajan sinar matahari. Pajanan
sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses melanogenesis yaitu
Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya melasma adalah
penggunaan bahan-bahan kimia yang terkandung dalam kosmetik atau bedak,
pemakaian alat kontrasepsi hormonal, kehamilan, dan konsumsi obat-obatan
yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh manusia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrick dan Rokhsar
(2005), kasus melasma terbanyak diderita oleh wanita oleh karena paparan sinar
matahari di wajah. Demikian juga dengan penelitian Rahman, dkk. (2007) di
Khasmir, bahwa 167 pasien yang dilakukan pemeriksaan kulit, 40,7% tergolong
melasma, dan 62,3% terjadi pada wanita dengan usia antara 13 sampai 60
tahun.
Kejadian melasma tersebut umumnya terjadi pada wajah dan leher.
Berdasarkan hasil observasi pada pekerja wanita penyapu jalan, umumnya
melasma terjadi pada wajah dibandingkan pada leher. Temuan Fitzpatrik, dan
Rookhsar (2005) melasma terjadi selain pada wajah dan leher juga terjadi pada
sisi wajah atau disebut mandibula (mandible), keseluruhan wajah (entire face)¸
dan dahi.
5.2 Karakteristik Individu 5.2.1 Umur
Secara epidemiologi, umur merupakan salah satu faktor resiko terhadap
menunjukkan bahwa pekerja penyapu jalan umum sudah berusia 46-53 tahun
(48,8%), hal ini diduga bahwa wanita seusia tersebut jarang mempunyai
lowongan pekerjaan yang sepadan dengan usianya, kecuali mereka sudah
mempunyai investasi pada masa mudanya, namun ada kecenderungan mereka
tergolong pada masyarakat dengan golongan ekonomi rendah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrik, dan Rookhsar
(2005), bahwa kejadian melasma terjadi pada usia 36-60 tahun, namun berbeda
dengan penelitian Tucker, et.al, (2006) bahwa kejadian melasma atau
melanoma lebih dominan terjadi pada wanita usia <55 tahun (71,1%)
dibandingkan dengan usia antara 55-64 tahun (14,8%).
5.2.2 Masa Kerja
Masa kerja adalah jumlah tahun responden bekerja sebagai penyapu
jalan dan merupakan salah satu faktor resiko terhadap kejadian melasma.
Mengingat bahwa mayoritas responden yang terjadi melasma, mempunyai masa
kerja yang lebih dari 3 tahun, maka hal ini mencerminkan bahwa semakin lama
responden bekerja sebagai penyapu jalan, maka semakin beresiko terhadap
kejadian melasma
Responden dengan masa kerja yang melebihi dari 1 tahun sering
terpapar secara langsung dengan faktor-faktor yang menyebabkan melasma
khususnya sinar matahari, hal ini memudahkan peneliti untuk dapat melihat
Oleh sebab itu penelitian ini memakai kriteria inklusi masa kerja lebih dari 1
tahun.
5.2.3 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu bagian integral dari individu,
termasuk pekerja penyapu jalan. Pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan
indikator-indikator pemahamannya tentang melasma, dampak dan upaya
pencegahannya. Hasil penelitian menunjukkan 81,3% responden mempunyai
pengetahuan kategori kurang, artinya pekerja penyapu jalan tidak mengetahui
secara keseluruhan tentang penyakit melasma, baik dari segi pengertian
melasma, penyebab melasma, serta hubungan penyakit melasma ini dengan
paparan sinar matahari, kehamilan, pemakaian kontrasepsi hormonal,
pemakaian kosmetik, pemakaian obat-obatan oral, dan pemakaian Alat
Pelindung Diri.
Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang
semakin kecil resikonya terhadap kejadian melasma. Sebab mereka yang
memahami tentang melasma akan berupaya melakukan hal-hal yang dapat
mencegah terjadi melasma pada wajah maupun leher ketika bekerja seperti
menutupi wajah, sering membersihkan wajah atau upaya preventif lainnya.
Menurut Natoatmodjo (2003) yang mengutip pendapat H.L Blum
(1984), bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi salah satunya oleh pengetahuan,
perubahan perilaku seseorang, demikian juga dengan pengetahuan tentang
melasma dan upaya pencegahannya.
5.3 Hubungan Faktor Resiko dengan Kejadian Melasma 5.3.1 Paparan Sinar Matahari dengan Kejadian Melasma
Paparan sinar matahari satu sisi memberikan manfaat bagi makhluk
hidup namun disisi lain juga berdampak negatif terhadap kesehatan makhluk
hidup. Paparan sinar matahari merupakan faktor resiko terhadap kejadian
melasma. Menurut pajanan sinar matahari pada kulit akan menyebabkan proses
melanogenesis yaitu pembentukan melanin yang menyebabkan hiperpigmentasi
dan mengarah pada melasma.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 92,3% responden yang terpapar
sinar matahari mengalami melasma dibandingkan responden yang tidak
terpapar sinar matahari secara langsung 0%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sinar matahari dapat menyebabkan terjadinya flek diwajah, leher maupun
anggota tubuh lain yang mengarah pada gejala-gejala melasma, dan hasil uji chi
square juga menunjukkan ada hubungan signifikan antara paparan sinar
matahari dengan kejadian melasma (p=0,000), artinya semakin lama pekerja
penyapu jalan terpapar secara langsung dengan sinar matahari maka akan
semakin beresiko terhadap kejadian melasma.
berladang tanpa menggunakan penutup wajah dan anggota tubuh terjadi flek
hitam diwajah, dan bercak yang menyebar, dan hasil diagnosa positif melasma,
hal ini terjadi karena mereka secara permanen terpapar dengan sinar matahari
mulai pagi sampai menjelang sore. Dalam penelitian ini pekerja penyapu jalan
umumnya bekerja mulai jam 5.30 sampai jam 17.00 sore sehingga frekuensi
mereka terpapar dengan sinar matahari sangat tinggi sehingga sangat beresiko
terhadap terjadinya melasma.
Juga mengingat semenjak dua dekade terakhir ini, lapisan ozon di
stratosphere yang berfungsi untuk menyaring radiasi ultraviolet sudah semakin
menipis dan mengakibatkan radiasi ultraviolet yang sampai di bumi
intensitasnya semakin tinggi dan berdampak cukup serius terhadap makhluk
hidup dibumi khususnya terhadap kesehatan kulit para pekerja wanita penyapu
jalan yang setiap hari kulitnya selalu terpapar oleh sinar matahari.
5.3.2 Penggunaan Kosmetik dengan Kejadian Melasma
Penggunaan kosmetik pada pekerja penyapu jalan adalah untuk
menutupi wajah dari paparan sinar matahari langsung, selain sebagai bagian
dari merawat kecantikan. Hasil penelitian menunjukkan selama bekerja
menyapu jalan 60,0% responden menggunakan kosmetik dengan berbagai jenis
seperti bedak putih, pelembab. Dilihat dari proporsi terhadap kejadian melasma,
95,8% menggunakan kosmetik dibandingkan dengan responden yang tidak
karena dengan penggunaan kosmetik yang sarat dengan bahan kimia mencetus
peningkatan pigmen kulit (hiperpigmentasi) yang disebabkan oleh agen toksik
dalam kosmetik. dan hasil penelitian ini didukung oleh uji chi square yang
menunjukkan ada hubungan signifikan antara kosmetik dengan kejadian
melasma (p=0,033), artinya semakin sering wanita pekerja penyapu jalan
menggunakan kosmetik maka semakin beresiko terhadap kejadian melasma.
Secara proporsi hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fitzpatrick,
dan Rookhsar (2005), bahwa dari sepuluh responden yang diperiksa
melasmanya, secara keseluruhan menggunakan kosmetik wajah. Penggunaan
kosmetik secara permanen baik sedang atau tidak bekerja akan menimbulkan
perubahan warna kulit wajah, dan jika kosmetik tersebut mengandung bahan
kimia yang tidak dapat ditoleransi oleh kulit wajah seperti kosmetik yang
mengandung bahan pewangi / fragrance, akan menyebabkan hiperpigmentasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Aristizabal, A,et.al (2005)
tentang faktor resiko terjadinya melasma di Medeline Colombia dengan
pendekatan case control, ditemukan responden yang menggunakan kosmetik
mempunyai pengaruh terhadap kejadian melasma dengan nilai p=0,029;Odss
Ratio 3,69, artinya wanita yang mengalami melasma 3,9 kali pada wanita yang
menggunakan kosmetik dibandingkan wanita yang tidak menggunakan