• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAMPUKAH LAYANAN PRIMER MEMBERIKAN LAYANAN KESEHATAN JIWA YANG BERMUTU BAGI MASYARAKAT?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MAMPUKAH LAYANAN PRIMER MEMBERIKAN LAYANAN KESEHATAN JIWA YANG BERMUTU BAGI MASYARAKAT?"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Mampukah Layanan Primer Menyediakan Upaya Layanan Kesehatan Jiwa Yang Bermutu Bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa dan Masyarakat?

“Perspektif Tenaga Kesehatan dan Sumber Daya di Layanan Primer” Warih Andan Puspitosari*

Abstrak

Tingginya angka prevalensi gangguan jiwa dan besarnya beban kecacatan, tidak diimbangi dengan ketersediaan layanan yang mudah diakses oleh orang dengan gangguan jiwa. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya treatment gap pada orang dengan gangguan jiwa. Faktor penyebabnya antara lain adalah sumber daya di bidang kesehatan jiwa yang tersedia tidak mencukupi, tidak terdistribusikan secara merata dan tidak digunakan secara efisien sehingga akses terhadap layanan kesehatan jiwa menjadi sulit. Integrasi layanan kesehatan jiwa di layanan primer merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi masalah tersebut.

Integrasi layanan kesehatan jiwa di layanan primer menjadi kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa yang lebih mudah diakses. Berbagai regulasi yang bersifat international, regional maupun nasional telah dibuat dalam mendukung program untuk menurunkan treatment gap, penyediaan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan kontinyu, peningkatan upaya kesehatan jiwa melalui pemberdayaan masyarakat.

Pelaksanaan integrasi layanan kesehatan jiwa membutuhkan kesiapan sumber daya yang tersedia di layanan primer. Peningkatan kompetensi dokter adalah bagian penting yang harus diberikan sejak masa pendidikan, penambahan melalui pelatihan-pelatihan pada waktu praktek di layanan primer serta didukung dengan adanya kegiatan supervisi oleh tenaga perofesional di bidang kesehatan jiwa secara berkesinambungan. Peningkatan sumber daya lain seperti ketersediaan regulasi, psikotropika, anggaran serta sarana prasarana lain juga berperan penting dan telah mendapat peluang dalam pelaksanaan layanan kesehatan jiwa.

Layanan kesehatan jiwa di layanan primer adalah jawaban dari tersedianya layanan kesehatan jiwa yang mudah diakses oleh orang dengan gangguan jiwa yang akan menurunkan treatment gap. Dibutuhkan upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi dari sumber daya yang ada di layanan primer.

Kata kunci : layanan kesehatan jiwa, layanan primer, treatment gap

Abstract

The high prevalence and the magnitude of the burden of disability in Indonesia, are not offset by the availability of services accessible to people with mental disorders. This is evidenced by the high treatment gap in people with mental disorders. The reasons for this include the resources available are insufficient, inequitably distributed and inefficiently used. As a result, a large majority of people with mental disorders receive no care at all. The Integration of mental health services in primary care is one answer to solve the problem.

Integration of mental health services that are more accessible in a primary care becomes a community needs. The regulation of international, regional and national levels have been made to support programs to reduce the treatment gap, the provision of mental health services a comprehensive and continuous, mental health improvement efforts through community empowerment.

(2)

mental health profesional continuosly. Increased availability of other resources such a s regulation, psychotropic, budgets and other facilities also play an important role and has got a chance in the implementation of mental health services.

Mental health services in prima ry care is the answer of the availability of mental health services accessible to people with mental disorders, it will reduce the treatment gap. That efforts are needed to increase the capacity and competence of existing resources in primary care

Keywords: mental health services, primary care, treatment gap

* Staf Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

I. Pendahuluan

Gangguan jiwa memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan telah menjadi masalah kesehatan secara global. Menurut The World Hea lth Report tahun 2001, gangguan jiwa dan perilaku diperkirakan terjadi pada 25% penduduk pada suatu saat dalam hidupnya, sedangkan di Asia Tenggara diperkirakan terjadi pada sepertiga dari populasi.1 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Indonesia memiliki angka prevalensi gangguan jiwa cukup besar.yaitu 6% untuk gangguan mental emosional (gejala depresi dan anxietas) pada orang yang berusia ≥15 tahun dan gangguan jiwa berat (Psikosis) 0,17%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 14 juta jiwa penderita gangguan mental emosional dan 400.000 gangguan psikosis di Indonesia.2

Gangguan jiwa memang bukan penyebab kematian secara langsung, yang ditunjukkan dengan rendahnya angka mortalitas dini atau year of life lost (YLLs). Namun demikian Data Beban Penyakit Dunia (Global Burden Disease) yang dilansir World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa gangguan jiwa menyumbang proporsi beban kecacatan (Global Burden Disease) paling besar yaitu 13%.3,4

(3)

Besarnya treatment gap ini antara lain disebabkan oleh sumber daya di bidang kesehatan jiwa yang tersedia tidak mencukupi, tidak terdistribusikan secara merata dan tidak digunakan secara efisien sehingga akses terhadap layanan kesehatan jiwa menjadi sulit.5 Integrasi layanan kesehatan jiwa di layanan primer merupakan salah satu jawaban dalam mengatasi besarnya treatment gap orang dengan gangguan jiwa. Ketersediaan layanan kesehatan jiwa di layanan primer menjadi langkah awal yang mendasar dalam mengatasi orang dengan gangguan jiwa secara lebih mudah dan lebih cepat.1

II. Upaya Layanan Kesehatan Jiwa di Layanan Primer 1. Angka Gangguan Jiwa di Layanan Primer

Menurut The World Health Report tahun 2001, 24% dari pasien yang mengunjungi dokter di layanan primer adalah penderita gangguan jiwa, 69% diantaranya datang dengan keluhan-keluhan fisik dan ternyata tidak ditemukan gangguan fisiknya.1 Penelitian lain menunjukkan bahwa lebih dari 1/2 orang dengan masalah kesehatan jiwa, mencari perawatan masalah kesehatan jiwanya kepada dokter layanan primer.6 World Health Organization-Psychiatric Prevalence in General Health Care (WHO-PPGHC) juga menyebutkan bahwa kurang lebih 2/3 pengunjung layanan primer menunjukkan satu gejala psikiatrik dan 1/4 diantaranya memiliki diagnosis gangguan psikiatrik berdasarkan ICD X.7

Salah satu penelitian yang di lakukan di Jawa Barat pada tahun 2002 (point prevalence; unpublished), juga menunjukkan hasil yang mendukung penelitian-penelitian international sebelumnya, bahwa 36% pasien yang datang berobat ke puskesmas (layanan primer) mengalami gangguan kesehatan jiwa.8

2. Integrasi Layanan Kesehatan Jiwa di Layanan Primer

(4)

menjadi kebijakan regional ASEAN yang telah disepakati bersama oleh tiap negara anggota, dengan membuat target dan indikator kinerja ASEAN melalui ASEAN Mental Health Taskforce.9

Di Indonesia, amanah untuk melaksanakan integrasi layanan kesehatan jiwa dalam pelayanan kesehatan umum di Puskesmas dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dalam pasal 34.11 Undang-Undang ini merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan tugas negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi (to respect, to protect and to fulfill) hak masyarakat, di bidang kesehatan jiwa. Hal ini telah ditindak lanjuti dengan adanya kebijakan nasional yang tercantum dalam Peta Strategis, Rencana Aksi Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019, lampiran RPJMN 2015-2019, dan Standar Pelayanan Minimal di Provinsi dan Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan tahun 2015-2019.10 Regulasi-regulasi tersebut diharapkan menjadi pegangan bagi semua pihak untuk semakin memenuhi kebutuhan layanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.

Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan secara global yang terjadi di negara berkembang lainnya yaitu keterbatasan sumber daya di bidang kesehatan jiwa. Penguatan dan pemanfaatan sumber daya yang telah dimiliki secara optimal menjadi sangat penting. Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer adalah ujung tombak layanan kesehatan di masyarakat, yang dimiliki oleh seluruh kecamatan di Indonesia.12 Dengan demikian Puskesmas memiliki peran yang sangat penting dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa yang paling dekat dan mudah diakses oleh semua masyarakat. Puskesmas memiliki kewajiban dalam memenuhi hak dan kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan termasuk kesehatan jiwa. Hal ini harus didukung dengan kebijakan yang sesuai, fasilitas sarana prasarana termasuk ketersediaan obat, serta penguatan kapasitas sumber daya manusia secara optimal, yang telah dituangkan dalam Peta Strategi Kesehatan Jiwa Masyarakat 2015-2019. Peta Strategi Kesehatan Jiwa masyarakat ini merupakan skema perumusan mengenai kesehatan jiwa untuk mengimplementasikan aksi-aksi strategi dalam mendukung promosi kesehatan jiwa, prevensi terhadap gangguan jiwa, serta kurasi dan rehabilitasi yang akan menjadi acuan dalam melaksanakan progran kesehatan jiwa di masyarakat.9

(5)

kesehatan jiwa saling mempengaruhi, 3). Kesenjangan pengobatan gangguan jiwa yang sangat besar, 4). Layanan primer mudah diakses oleh masyarakat, 5). Layanan jiwa di layanan primer menunjukkan penghormatan hak asasi manusia, menurunkan stigma dan diskriminasi, 6). Biaya terjangkau dan efektif, 7). Memberikan outcome yang baik terutama jika terhubung dengan baik pada layanan sekunder dan masyarakat.4

Integrasi tersebut memberikan banyak keuntungan, diantaranya adalah: 1). mengurangi stigma bagi pasien dan keluarga, 2). meningkatkan akses layanan kesehatan jiwa, 3). mendukung manajemen holistik komorbiditas gangguan mental pada penyakit kronis termasuk HIV/AIDS, kanker, diabetes, dan TBC, 4). meningkatkan upaya pencegahan dan deteksi dini gangguan mental (terutama yang datang dengan keluhan fisik), 5). pengobatan yang lebih baik dan berkesinambungan pada gangguan jiwa, 6). biaya pasien-ditanggung lebih rendah (misalnya transportasi ke rumah sakit dan hilangnya produktivitas di kerabat yang menghabiskan waktu menemani pasien), 7). komunikasi lebih mudah dengan penyedia layanan kesehatan, 8). meningkatkan integrasi sosial (keterlibatan masyarakat), 9). perlindungan hak asasi manusia, 10). meningkatkan kapasitas keseluruhan sistem kesehatan untuk menangani masalah kesehatan mental.8

3. Kesiapan Layanan Primer dalam Layanan Kesehatan Jiwa

Mendiskusikan tentang kemampuan layanan primer dalam upaya kesehatan jiwa selalu memunculkan pendapat pro dan kontra, apakah layanan primer mampu melakukannya. Banyak pendapat yang beredar secara luas bahwa perbaikan dalam kesehatan mental membutuhkan teknologi yang canggih dan staf yang sangat ahli/spesialis. Padahal kenyataannya, kebanyakan dari kondisi mental dapat ditangani oleh penyelenggara layanan kesehatan non-spesialis. Melihat latar belakang yang telah diuraikan di atas, tidak diragukan lagi bahwa layanan kesehatan jiwa di layanan primer menjadi kebutuhan yang harus diupayakan yang tentu saja harus diikuti dengan peningkatan kapasitas sistem layanan primer.5

(6)

kerja sama dalam proses yang panjang, 8). koordinator dalam sistem layanan kesehatan, 9). kolaborasi dengan instansi non kesehatan, instansi pemerintah dan swasta, 10). penyiapan sumber daya manusia dan keuangan.4

Dua hal penting yang sering menjadi bahan diskusi panjang tentang kemampuan layanan primer adalah tentang kesiapan tenaga kesehatan dan sumber daya lain di puskesmas dalam layanan kesehatan jiwa.

a. Kesiapan Tenaga Kesehatan

Salah satu faktor penting dalam integrasi layanan kesehatan jiwa di layanan primer adalah kapasitas sumber daya manusia.4 Dalam Undang-Undang Kesehatan Jiwa dikatakan bahwa sumber daya manusia di bidang Kesehatan Jiwa adalah tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan Jiwa.11 Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 5 tahun 2014, tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas terdiri dari 1). dokter atau dokter layanan primer, 2) dokter gigi, 3). Perawat, 4). Bidan, 5), tenaga kesehatan masyarakat, 6), tenaga kesehatan lingkungan, 7), ahli teknologi laboratorium medik, 8). tenaga gizi, 9). tenaga kefarmasian.12 Tenaga kesehatan di Puskesmas dapat ditingkatkan kompetensinya dalam masalah kesehatan jiwa dan saling berkolaborasi dalam layanan kesehatan jiwa.

Dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan merupakan tenaga medis yang tidak bisa bekerja sendiri dalam upaya kesehatan jiwa di Puskesmas. Dokter memegang peran penting mengingat penegakan diagnosis gangguan jiwa berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa hanya bisa dilakukan oleh 1). dokter umum, 2). psikolog, 3). dokter spesialis kedokteran jiwa.11 Dokter layanan primer sebagai gate keeper diharapkan mampu untuk menjadi leader dalam layanan kesehatan termasuk kesehatan jiwa yang bermutu di Puskesmas. Hingga saat ini masih selalu menjadi tema diskusi yang menarik apakah dokter di layanan primer mampu memberikan layanan kesehatan jiwa. Dengan dukungan regulasi dan upaya peningkatan kapasitas maka dokter layanan primer bisa memberikan layanan kesehatan jiwa, diantaranya adalah:

1) Adanya Kesesuaian Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)

(7)

tatalaksananya secara tuntas di layanan primer. Seharusnya SKDI disusun sejalan dengan kebutuhan masyarakat dalam layanan kesehatan termasuk kesehatan jiwa. Masih menjadi catatan bahwa dalam SKDI tahun 2012, diagnosis gangguan jiwa yang memiliki nilai kompetensi 4 adalah gangguan Insomnia dan Somatisasi.13

Sementara hasil penelitian secara global menunjukkan bahwa gangguan jiwa yang banyak ditemukan di layanan primer adalah gangguan Depresi dan Anxietas.4 Penelitian lain bahwa 10- 16% dari pasien perawatan primer memenuhi kriteria untuk diagnosis Depresi.14 Penelitian lain berkaitan dengan Anxietas menjelaskan bahwa kebanyakan pasien dengan gangguan anxietas mencari dan menerima perawatan kesehatan mental di layanan kesehatan primer. 15

Gangguan psikotik juga penting untuk bisa diberikan tatalaksana di Puskesmas karena merupakan gangguan kronis yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang dan menyebabkan disabilitas berat bagi penderita, serta sering membuat pasien dan keluarga sering mendapatkan stigma dan diskriminasi. Ketersediaan tatalaksana di layanan primer menjadi kunci keberlanjutan tatalaksana pasien psikotik jangka panjang. Sehingga psikotik merupakan salah satu gangguan yang dicantumkan dalam Panduan Praktik Klinik bagi Dokter di Layanan Primer. 16

Dengan demikian seharusnya SKDI memberikan nilai kompetensi yang tinggi untuk gangguan-gangguan tersebut, agar setiap dokter yang baru lulus telah memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di layanan primer, tanpa harus menjalani pelatihan.

2). Adanya Upaya Peningkatan Kompetensi dengan Pelatihan

Masalah yang sekarang dihadapi adalah kompetensi lulusan dokter

yang dianggap belum cukup dalam memberikan layanan kesehatan jiwa di

layanan primer. Perlu dipahami bahwa Standar Kompetensi Dokter Indonesia

(SKDI) merupakan standar minimal kompetensi lulusan dan bukan merupakan

standar kewenangan dokter layanan primer.15 Dengan demikian, kompetensi

dalam layanan kesehatan jiwa ketika dokter melakukan praktek di layanan

primer, bisa terus ditingkatkan dengan pelatihan-pelatihan.5,16

(8)

Upaya peningkatan kompetensi tersebut didukung dengan adanya salah

satu indikator dalam Peta Strategis Kesehatan Jiwa Masyarakat yaitu jumlah

tenaga kerja yang terlatih di bidang kesehatan jiwa, sehingga

pelatihan-pelatihan akan menjadi program yang berkesinambungan.9 Tersusunnya

Kurikulum dan Modul Pelatihan Kesehatan Jiwa bagi Dokter dan Perawat Puskesmas menjadi acuan dalam pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan di Puskesmas.10

3). Tersedianya Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter Layanan Primer Panduan Praktik Klinis (PPK) Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer telah disusun untuk menjadi acuan bagi Dokter dalam memberikan pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer baik milik pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan sekaligus menurunkan angka rujukan.16 Gangguan psikiatri yang disusun dalam Panduan Praktik Klinik adalah gangguan Insomnia (sesuai dengan nilai kompetensi 4 yang ada dalam SKDI), Gangguan Campuran Cemas dan Depresi (berdasar dengan banyaknya jumlah kasus yang ada di masyarakat) serta gangguan psikotik (sebagai gangguan yang memiliki dampak/risiko yang besar).16 Dengan tercantumnya ketiga diagnosis tersebut dalam PPK, maka artinya gangguan-gangguan tersebut harus diberikan tatalaksananya oleh dokter di layanan primer.

4). Terlaksananya Supervisi oleh Profesional Kesehatan Jiwa

(9)

b. Kesiapan Sumber Daya Lain

Kesiapan sumber daya manusia harus didukung dengan ketersediaan sumber daya lain dalam integrasi layanan kesehatan jiwa di Puskesmas. Sesuai dengan Permenkes no 5 tahun 2014, Puskesmas memiliki upaya kesehatan masyarakat esensial dan upaya pengembangan.12 Tidak masuknya program kesehatan jiwa dalam upaya kesehatan masyarakat esensial, seringkali menjadi alasan mengapa layanan kesehatan jiwa tidak bisa dilaksanakan di Puskesmas. Padahal upaya kesehatan jiwa di Puskesmas bisa dilaksanakan secara terintegrasi dalam upaya kesehatan masyarakat esensial yang ada, juga bisa menjadi program tersendiri dalam upaya kesehatan pengembangan.8

Masalah lain yang sering menjadi hambatan adalah ketersediaan anggaran dalam pelaksanaan program kesehatan jiwa di Puskesmas. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam masalah kesehatan jiwa.9 dengan demikian, anggaran program kesehatan jiwa memiliki peluang untuk diupayakan oleh pemerintah daerah. Apalagi dengan masuknya kesehatan jiwa dalam Standar Pelayanan Minimal di Provinsi dan Kabupaten/Kota Bidang Kesehatan tahun 2015-2019, maka pemerintah daerah diharapkan akan memberikan perhatian khusus tentang masalah kesehatan jiwa.10 Peluang pembiayaan juga dimungkinkan juga dengan menggunakan dana BOK (Bantuan Operasional Kegiatan) yang salah satunya bisa digunakan untuk program kesehatan jiwa.

(10)

Daftar Pustaka

1. World Health Organization (WHO). 2001. The World Health Report : Mental Health: New Understanding, New Hope. WHO Press. Geneva.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta. 3. Whiteford, H. A., Degenhardt, L., Rehm, J. & Baxter, A. J. 2013. Global burden of

disease attributable to mental and substance use disorders: findings from the Global Burden of Disease Study 2010. The Lancet, Volume 382, pp. 1575-1586.

4. Greenhalgh, Trisha. 2009. WHO/WONCA report Integrating Mental Health in Primary Care: A Global Perspective. London Journal of Primary Care; 2:81–2

5. WHO, mhGAP Intervention Guide for mental, neurological and substance use disorders in non-specialized health settings, 2010, WHO Press, World Health Organization, 20 Avenue Appia, 1211 Geneva 27, Switzerland

6. Kessler RC, Merikangas KR, Wang PS. 2007. Prevalence, comorbidity, and service utilization for mood disorders in the United States at the beginning of the

twenty-first century. Annu Rev Clin Psychol. 3:137–58.

7. Waitzkin, Howard; Getrich, Christina; Heying, Shirley ; Rodrı´guez, Laura; Parmar, Anita; Willging, Cathleen; Yager, Joel; Santos, Richard. 2011. Promotoras as Mental Health Practitioners in Primary Care: A Multi-Method Study of an Intervention to Address Contextual Sources of Depression. J Community Health 36:316–331

8. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. 2006. Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta

9. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. 2015. Peta Strategi Kesehatan Jiwa Masyarakat 2015-2019. Jakarta

10.Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI. 2015. Kurikulum dan Modul Pelatihan : Peningkatan Ketrampilan Kesehatan Jiwa Bagi Dokter di Puskesmas. Jakarta

11.Undang Undang Republik Indonesia tentang Kesehatan Jiwa. 2014. Jakarta

12.Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta

13.Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta 14.Serrano-Blanco A, Palao DJ, Luciano JV, Pinto-Meza A, Luján L, Fernández A,

Prevalence of mental disorders in primary care: Results from the diagnosis and treatment of mental disorders in primary care study (DASMAP). Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 2010;45:201–10

15.Wang PS, Aguilar-Gaxiola S, Alonso J, et al. Use of mental health services for anxiety, mood, and substance disorders in 17 countries in the WHO world mental health surveys. Lancet. 2007; 370:841–850. [PubMed: 17826169]

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tabel 18 diperlihatkan hasil pengukuran harmonisa arus dan tegangan pada tanggal 19 Juli 2016 dari waktu masing-masing pada saat pengukuran.. Bila mengacu

Usulan yang dilakukan yaitu merancang ulang kursi penonton, kursi drum, dan meja 1 (3 alternatif), perancangan layout dan analisis Ruang Konser (10 alternatif)

Rajah 6 : Perbezaan ketumpatan konkrit terhadap konkrit berlainan nisbah rekabentuk setelah 28 hari Rajah 7 dan Rajah 8 menunjukkan kesan nisbah air-simen terhadap pekali

Setelah itu, skenario 4 peramalan debit coba dilakukan dengan data asli yang diasumsikan bila data asli yang dimiliki tidak sampai 10 tahun, hal ini digunakan untuk mengecek berapa

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No Kep./25/M.PAN/2/2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat, menyatakan bahwa: “Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)

1) Setiap awal pembelajaran, peserta didik harus membaca teks yang tersedia di buku teks pelajaran Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Kelas XII. 2) Peserta didik

Hasil analisis dengan matriks SWOT dan QSPM, diperoleh alternatif strategi yang dapat diimplementasikan, yaitu memanfaatkan kemajuan TI, seperti website dan

Tid Refund Marital Status Taxable Income Cheat 1 Yes Single 125K No 2 No Married 100K No 3 No Single 70K No 4 Yes Married 120K No 5 No Divorced 95K Yes 6 No Married 60K No 7