BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan negara
haruslah melibatkan pemerintah daerah, karena kinerja dan pengelolaan keuangan daerah saat
ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi
dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas,
nyata, dan bertanggungjawab. Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (public money) secara baik merupakan issue utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah
secara ekonomis, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam pengelolaan keuangan daerah
telah diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun
2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Keuangan Daerah haruslah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Di sisi lain tuntutan
transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintah semakin meningkat pada era
reformasi saat ini, tidak terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah
Daerah. Transparansi dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana masyarakat dapat
mengetahui dengan jelas semua kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah
dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota DKI Jakarta dilakukan secara profesional, terbuka, dan
bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan
daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan
pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan Undang-undang No. 17
Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi
menjadi Penyusunan dan Penetapan APBD, Pelaksanaan APBD, serta Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD.
Pemerintah daerah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang
menggunakan sistem akuntansi yang diatur oleh pemerintah pusat dalam bentuk Undang
-Undang dan peraturan pemerintah yang bersifat mengikat seluruh pemerintah daerah. Dalam
sistem pemerintahan daerah terdapat 2 (dua) subsistem, yaitu Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Laporan keuangan
SKPD merupakan sumber untuk menyusun laporan keuangan SKPKD. Oleh karena itu setiap
SKPKD harus menyusun laporan keuangan sebaik mungkin.
1.2 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis membatasi masalah pada
pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah Kota DKI Jakarta khususnya pada Biro Pendidikan
dan Mental Spiritual berdasarkan perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 bagi
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
penerapan sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan Pemda DKI Jakarta berdasarkan
Permendagri No. 13 Tahun 2006.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulis ingin menyampaikan manfaat dari penulisan makalah ini kepada pembaca
adalah sebagai bahan informasi dan pengetahuan tentang bagaimana sistem akuntansi
keuangan pemerintahan daerah berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang diterapkan
oleh Pemda DKI Jakarta.
BAB II
2.1 Sistem Informasi Akuntansi
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) adalah serangkaian prosedur,mulai dari
proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan
dalam rangka pertanggungjawaban pelaksana APBD yang dapat dilakukan secara manual
atau menggunakan aplikasi komputer. SAPD memiliki beberapa karakteristik yang sama
dengan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP), yaitu:
a. Basis Akuntansi
SAPD menggunakan basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan basis akrual
untuk neraca. Dengan basis kas, pendapatan diakui dan dicatat pada saat kas diterima oleh
rekening Kas Daerah serta belanja diakui dan dicatat pada saat kas dikeluarkan dari
rekening Kas Daerah. Aset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat
terjadinya transaksi, atau pada saat terjadinya atau kondisi lingkungan berpengaruh pada
keuangan pemerintah.
b. Sistem Pembukuan Berpasangan
Sistem pembukuan berpasangan (double entry system) didasarkan atas persamaan dasar akuntansi, yaitu : Aset = Utang + Ekuitas Dana. Setiap transaksi dibukukan dengan
mendebit suatu perkiraan dan mengkredit perkiraan yang lain.
SAPD sekurang-kurangnya meliputi prosedur akuntansi penerimaan kas, prosedur akuntansi
pengeluaran kas, prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah, dan prosedur akuntansi
selain kas. Seperti halnya SAPP, SAPD juga terdiri atas dua subsistem, yaitu :
1. Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh PPKD, yang akan mencatat
transaksi-transaksi yang dilakukan oleh level pemda, seperti pendapatan dana
keuangan, belanja tidak terduga,transaksi-transaksi pembiayaan, pencatatan investasi, dan
utang jangka panjang.
2. Sistem Akuntansi Satuan Kerja Perangkat Daerah
Sistem akuntansi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilaksanakan oleh Pejabat
Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD. Transaksi-transaksi yang terjadi di lingkungan
satuan kerja harus dicatat dan dilaporkan oleh PPK SKPD.
Dalam konstruksi keuangan negara, terdapat dua jenis satuan kerja, yaitu SKPD dan Satuan
Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPKD).
Pendapatan Belanja Pembiayaan
Satuan Kerja Pendapatan Pajak Belanja Pegawai
Pendapatan
Retribusi
Belanja Barang dan
Jasa
Lain-lain pendapatan
yang sah
Belanja Modal
Pemda Dana Perimbangan Belanja bunga,
subsidi, hibah,
bantuan sosial, bagi
hasil, bantuan
keuangan, belanja
tidak terduga
Penerimaan
Pembiayaan Lain-lain pendapatan
yang sah
Pengeluaran
Pembiayaan
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 20013 pasal 3 meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas
penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan
APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan
daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. Pengelolaan keuangan daerah
harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien,
ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan,
kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Proses Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Oleh karena itu APBD merupakan kesepakatan
bersama antara eksekutif dan legislatif yang dituangkan dalam peraturan daerah dan
dijabarkan dalam peraturan bupati. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada
RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan
bernegara. APBD mempunyai fungsi :
Fungsi Otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan;
Fungsi Perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan;
Fungsi Pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan;
Fungsi Alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk
menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian;
Fungsi Distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2.2.1 Struktur APBD
Struktur APBD dalam keuangan daerah diklasifikasikan menurut urusan pemerintahan
dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan meliputi: Pendapatan Daerah
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa
pendapatan daerah adalah hak pemda yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran
dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan Daerah selanjutnya
dikelompokan atas : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapatan daerah yang sah. Akuntansi pendapatan SKPD dilakukan hanya untuk
mencatat pendapatan asli daerah (PAD) yang berada dalam wewenang SKPD. Dalam
pelaksanaan tugasnya, PPK mencatat pendapatan SKPD dalam buku jurnal khusus
pendapatan menggunakan dokumen sumber dari Bendahara Penerimaan berupa SPJ
penerimaan dan lampirannya. Pendapatan yang diterima oleh Bendahara Penerimaan
SKPD kemudian disetor kepada rekening Kas Daerah (Kasda). Belanja Daerah
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, Belanja Daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemda yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah meliputi seluruh pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran dan tidak diperoleh kembali pembayarannya oleh daerah.
Belanja daerah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu belanja tidak langsung dan
1. Belanja Tidak Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung ini terdiri dari
atas belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
2. Belanja Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri atas belanja
pegawai (honorarium/upah), belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Untuk kepentingan administratif, pengawasan, dan evaluasi, struktur APBD diklasifikasikan
menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan
urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan
pemerintah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Menurut Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 mengklasifikasikan urusan pemerintah menjadi 25 urusan wajib dan 8 urusan
pilihan pemerintah daerah. Urusan wajib mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
perumahan rakyat, penataan ruangan, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan
hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga
berencana dan keluarga sejahteran sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil menengah,
penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olahraga, kesatuan bangsa dan poltik dalam
negeri, pemerintahan umum, kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik,
arsip, dan komunikasi dan informatika. Sedangkan belanja mencakup pertanian, kehutanan,
energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan,
perindustrian, dan transmigrasi.
Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada
pemerintahan daerah yang terdiri atas DPRD, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Selain klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan dan organisasi, belanja
daerah juga dapat diklasifikasikan menurut fungsi, yang tujuannya adalah untuk keselarasan
dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara. Pengklasifikasian menurut fungsi ini terdiri
dari pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan, dan perlindungan sosial. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutupi defisit atau untuk
memanfaatkan surplus. Pembiayaan Daerah terdiri dari: Penerimaan Pembiayaan dan
Pengeluaran Pembiayaan. Jika APBD mengalami defisit, pemerintah dapat
menganggarkan penerimaan pembiayaan. Sebaliknya, pemerintah dapat menganggarkan
pengeluaran pembiayaan jika ada surplus. Penerimaan pembiayaan mencakup :
1. Sisa hasil perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA).
2. Pencairan dana cadangan.
3. Hasil penjualan kekayaan daerah terpisah.
4. Penerimaan pinjaman daerah.
5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
6. Penerimaan piutang daerah.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup :
1. Pembentukan dana cadangan.
2. Penerimaan modal (investasi) pemda.
3. Pembayaran pokok utang.
4. Pemberian pinjaman daerah.
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam
rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
Menurut Nordiawan (2007), anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
Penyusunan APBD berpedoman pada Rencana Kerja (Renja) Pemerintahan Daerah (RKPD)
dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya tujuan bernegara.
Setidaknya terdapat enam subproses dalam penyusunan APBD, yaitu :
1. Penyusunan KUA,
2. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS),
3. Penyiapan SE (Surat Edaran) Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD,
4. Penyusunan RKA SKPD,
5. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD,
6. Pembahasan Raperda APBD dan penyusunan Raper KDH Penjabaran APBD, evaluasi
serta penetapan Raperda APBD dan KDH Penjabaran APBD.
Berikut ini adalah Jadwal Penyusunan APBD berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 13 Tahun 2006.
NO URAIAN WAKTU KETERANGAN
APBD
1. Penyusunan RKPD Akhir Bulan Mei
2. Penyampaian Rancangan KUA (Kebijakan
Umum Anggaran) kepada Kepala Daerah Awal Bulan Juni 1 Bulan 3. Penyampaian Rancangan KUA dari Kepala
Daerah kepada DPRD Pertengahan Bulan Juli 3 Minggu 4.
KUA disepakati antara Kepala Daerah dengan DPRD
Minggu Pertama Bulan
Juli 1 Minggu
Plafon Anggaran Sementara)
6. Penyampaian Rancangan PPAS ke DPRD Minggu Kedua Bulan Juli 3 Minggu
7. PPAS disepakati antara Kepala Daerah
dengan DPRD Akhir Buli Juli
8.
Penetapan Pedoman Penyusunan RKA –
SKPD oleh Kepala Daerah Awal Bulan Agustus 1 Minggu 9. Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD Minggu Pertama Bulan
Oktober
2 Bulan
10.
Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Kepala Daerah terhadap RAPBD
Paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal bulan Desember)
11. Penetapan hasil evaluasi 15 hari kerja (pertengah bulan Desember)
12.
Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan KDH tentang penjabaran APBD bila sesuai hasil evaluasi
Akhir Desember (31 Desember)
13. Penyempurnaan sesuai hasil evaluasi 7 hari kerja Akhir Bulan Desember
14. Pembatalan berdasarkan hasil evaluasi
7 hari kerja setelah hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri/Gubernur
15.
Penghentian dan pencabutan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang APBD bersama DPRD
7 hari kerja Awal Bulan Januari
16.
Penetapan keputusan pimpinan DPRD tentang penyempurnaan Peraturan Daerah APBD dan penyampaian hasil penyempurnaan berdasarkan hasil evaluasi
3 hari setelah keputusan ditetapkan
17.
Penetapan Peraturan Daerah APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD
31 Desember
18.
Penyampaian Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur
7 hari kerja
APBD
1.
Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur dalam hal DPRD tidak mengambil keputusan bersama terhadap Raperda tentang APBD sampai dengan batas waktu yang ditetapkan UU
Paling lama 15 hari setelah Raperda tidak disetujui DPRD (Pertengahan Bulan Desember)
2. Pengesahan Menteri Dalam Negeri/Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Kepala Daerah
Paling Lama 30 hari kerja (Pertengahan Bulan Januari)
1 (satu) Bulan
C. APBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRD
1.
Penyampaian Rancangan KUA dan PPAS kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur bagi daerah yang belum memiliki DPRD
Pertengahan Bulan Juni
2. Persetujuan Menteri Dalam Negeri/Gubernur Minggu Pertama Bulan
Juli 15 hari
3. Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD
30 hari kerja sejak KUA dan PPAS disahkan Menteri Dalam Negeri/Gubernur
Minggu Pertama Bulan Agustus
2.2.3 Penetapan APBD
Penetapan APBD dilaksanakan dengan melalui tiga tahap sebagai berikut:
Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda beserta
lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada masyarakat untuk
selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling lambat pada minggu
pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun anggaran yang
direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan keputusan bersama
bersangkutan dimulai. Atas dasar persetujuan bersama tersebut, kepala daerah
menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD yang harus disertai dengan
nota keuangan. Raperda APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang
telah disepakati bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan
kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur terkait.
Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan rancangan
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati.Walikota
harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja. Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan
kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta
untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini
sudah harus dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD tersebut.
Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD
Tahapan terakhir ini dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran
sebelumnya. Setelah itu Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD ini
disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal ditetapkan.
Dalam implementasinya penerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya
dibuktikan dengan adanya dokumen-dokumen tersebut, melainkan substansi dari dokumen
tersebut harus ada keselarasan antar dokumen-dokumen dengan memperhatikan indikator
SKPD seyogyanya terdapat keselarasan dalam pencapaian indikator kinerja yang termuat
dalam Renstra SKPD. Indikator kinerja Renja SKPD harus selaras dengan indikator-indikator
kinerja yang dituang dalam RKA SKPD. Keselarasan indikator kinerja secara otomatis akan
dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam dokumen perencanaan strategis
(Renstra SKPD) yang selanjutnya dituangkan dalam program dan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan SKPD.
Berikut ini adalah flowchart proses penyusunan dan penetapan APBD :
2.2.4 Pelaksanaan APBD
Azas umum pelaksanaan APBD telah diatur di dalam pasal 54 PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan pasal 122 Permendagri No. 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan
a. SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan
yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam
APBD;
b. Pelaksanaan belanja daerah, harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif,
efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah dikelola dalam APBD;
d. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah
wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
e. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;
f. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah
paling lama 1 (satu) hari kerja;
g. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap
pengeluaran belanja;
h. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran
tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD;
i. Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan
dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi
anggaran;
j. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
k. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan
lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD;
l. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah APBD ditetapkan dengan waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja, PPKD
(pejabat pengelola keuangan daerah) memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar
menyusun dan menyampaikan rancangan DPA-SKPD untuk masing-masing satuan kerja
perangkat daerah. Kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota. Rancangan DPA-SKPD, merinci
sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk
mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja serta
pendapatan yang diperkirakan. Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD yang
telah disusunnya kepada PPKD paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan
disampaikan.
Khusus pada SKPKD (satuan kerja pengelola keuangan daerah) disusun DPA-SKPD
dan DPA-PPKD. DPA-SKPD memuat program/kegiatan, sedangkan DPA-PPKD digunakan
untuk menampung: (a). Pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan
hibah; (b). Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi
hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; (c). Penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan daerah.
TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) melakukan verifikasi rancangan
DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala DPA-SKPD yang bersangkutan. Verifikasi atas rancangan
DPA-SKPD, diselesaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja, sejak ditetapkannya
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Berdasarkan hasil verifikasi, PPKD
mengesahkan rancangan DPA-SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah. DPA-SKPD yang
telah disahkan disampaikan kepala SKPD yang bersangkutan, kepada satuan kerja
pengawasan daerah (inspektorat), dan BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal disahkan. DPA-SKPD, digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala
SKPD selaku pengguna anggaran/barang.
2.2.5 Penatausahaan Keuangan Daerah
Pada prinsipnya kegiatan tata usaha keuangan daerah dapat dibagi atas dua jenis, yaitu
Tata Usaha Umum dan Tata Usaha Keuangan.
1. Tata Usaha Umum adalah menyangkut kegiatan surat menyurat, mengagenda,
mengekspedisi, menyimpan surat-surat penting atau mengarsipkan kegiatan dokumentasi
2. Tata Usaha Keuangan adalah tata buku yang merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis di bidang keuangan berdasarkan prinsip-prinsip,
standar-standar tertentu serta prosedur-prosedur tertentu sehingga dapat memberikan informasi
aktual di bidang keuangan.
Dokumen yang digunakan pada prosedur Penatausahaan Keuangan Daerah
berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keaungan
Daerah, diantaranya sebagai berikut : 1. Anggaran Kas
Yaitu dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan arus kas
keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan
kegiatan dalam setiap periode.
2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD)
Yaitu dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan
sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran. 3. Buku Kas Umum Daerah
Yaitu tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk
menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar pengeluaran
daerah.
4. Rekening Kas Umum Daerah;
Yaitu rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah
untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar
pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah
untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi.
Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun
pengeluaran, atau sebaliknya.
Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda.
Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran
belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk
penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang
memang menjadi salah satu alasan utama mengapa perubahan APBD dilakukan.
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 154, perubahan APBD dapat
dilakukan apabila terjadi :
a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,
antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun berjalan;
d. Keadaan darurat;
e. keadaan luar biasa.
2.2.6.1 Perubahan Atas Pendapatan
Terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat
keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD
juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran
pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab,
diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan
target berdasarkan perkembangan terkini. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa
perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
1. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu
menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan
jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan
menambah penerimaan dalam kas daerah.
2. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
3. Jikadalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran
yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat
diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam
mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
2.2.6.2 Perubahan Atas Alokasi Anggaran Belanja
Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja
langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan
penyebabnya adalah:
1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi
atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a
definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.
2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak
3. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan.
Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi
belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau
persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu
dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD. 2.2.6.3 Perubahan Dalam Pembiayaan
Terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus direvisi.
Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng
ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran
penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).
SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh
karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang
diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada
akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke
BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang
sesungguhnya.
Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu
bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian
untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan
pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan
perubahan alokasi belanja.
2.2.7 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kepengurusan sumber
disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku agar laporan keuangan tersebut dapat
dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau dibandingkan dengan
laporan keuangan entitas yang jelas. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan realisasi anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber
daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan
perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Unsur yang
dicakup secara langsung oleh laporan realisasi anggaran terdiri dari pendapatan, belanja
transfer dan pembiayaan. 2. Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset,
kewajiban dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Aset adalah sumber ekonomi yang
dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan
dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk menyediakan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan
budaya. Kewajiban adalah utang yang timbul dan peristiwa masa lalu yang
penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Ekuitas
Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan
kewajiban pemerintah. 3. Laporan Arus Kas
Laporan arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasional,
invenrasi aset non keuangan, pembiayaan, dan transaksi non anggaran yang
menggambarkan saldo awal,penerimaan,pengeluaran dan saldo akhir kas pemerintah
pusat/daerah selama periode tertentu. Unsur yang mencakup dalam laporan arus kas
memberikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas
selama suatu periode akuntansi dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan.
Penyajian Laporan Arus Kas memberikan informasi historis mengenai kemampuan dalam
memperoleh kas dan menilai penggunaan kas untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah
Daerah selama tahun anggaran.
4. Catatan atas Laporan Keuangan
Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang
tertera dalam laporan realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas. Catatan atas laporan
keuangan juga mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh
entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk
mengungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan
yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.
Dengan basis CTA, untuk realisasi pendapatan, belanja, penerimaan dan pengeluaran
pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas, sedangkan untuk mencatat aset, kewajiban dan
ekuitas dicatat berdasarkan basis akrual. Dalam pelaksanaan basis pencatatan ini
dikembangkan teknik jurnal yang disebut jurnal korolari, dimana jurnal korolari ini tidak
ditemukan dalam akuntansi komersial.Dengan basis ini, pendapatan diakui pada saat diterima
pada rekening umum kas daerah (PSAP 02, paragraf 22). Sedangkan belanja diakui pada saat
terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum daerah (PSAP 02, paragraf 31).
2.2.8 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan maupun Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pemerintah daerah
berkewajiban untuk menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan dalam bentuk laporan
keuangan pemerintah daerah yang terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas dan catatan atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah
Struktur pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD selanjutnya disingkat PPA
menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, diawali
dengan laporan realisasi semester pertama APBD yang disertai dengan prognosis untuk 6
(enam) bulan berikutnya dan selanjutnya laporan tahunan atau LKPD (Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah) sebagaimana yang diatur di dalam BAB XII PPA. Lain halnya dengan PP
Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur PPA diawali dengan
LKPD sebagaimana yang diatur di dalam BAB IX PPA. Sedangkan UU Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, struktur PPA langsung pada
penyampaian ranperda tentang PPA.
UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir
dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, PP Nomor 58 Tahun 2005, dan Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011,
menjadi pedoman di dalam proses penyampaian PPA. “Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) menyampaikan ranperda tentang PPA kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir”.
Pengecualian dari ketentuan atas jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
tahun anggaran berakhir, sebagaimana yang diatur dalam pasal 102 PP Nomor 58 Tahun 2005
dan pasal 299 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
Ranperda tentang PPA dirinci dalam ranperkada tentang penjabaran PPA. Ranperkada
dilengkapi dengan lampiran terdiri dari: a. ringkasan laporan realisasi anggaran; dan b.
penjabaran laporan realisasi anggaran.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, “Ranperda tentang PPA memuat laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah diperiksa BPK dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah”.
Lingkup, muatan dan lampiran dari LKPD dan ranperda tentang PPA berbeda-beda.
UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015
mengatur lingkup, muatan dan lampiran berdasarkan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan, yakni standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual, sedangkan
PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah
terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
dengan berlakunya PP 71 Tahun 2010.
Selanjutnya, ranperda tentang PPA dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk
mendapat persetujuan bersama. Agenda pembahasan ranperda tentang PPA ditentukan oleh
DPRD. Persetujuan bersama ranperda dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan setelah tahun
anggaran berakhir atau persetujuan bersama terhadap ranperda tentang PPA oleh DPRD
paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak ranperda diterima. Atas dasar persetujuan bersama
kepala daerah menyiapkan ranperkada tentang penjabaran PPA.
Berikut ini adalah bagan alir siklus pelaporan pertanggungjawaban atas
Dan berikut ini adalah Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006.
NO URAIAN WAKTU
KETERANGA
N
1. Penyusunan Laporan Realisasi Semester I
Minggu Kedua Bulan
Juni
2.
Penyampaian Laporan Realisasi Anggaran
Semester I dari Pengguna Anggaran ke PPKD
(Pejabat Pengelola Keuangan Daerah)
7 hari kerja setelah
Semester I berakhir
3.
Penyampaian hasil konsolidasi Laporan
Semester I oleh PPKD ke Sekretaris Daerah
selaku Koordinator Pengelolaan Keuda
Minggu Kedua Bulan
Juli
4.
Penyampaian Laporan Semester I dari
Sekretaris Daerah ke KDH
Minggu Ketiga Bulan
Juli
5.
Penyampaian Laporan Realisasi Semester I
dari KDH ke DPRD
Akhir Bulan Juli
6.
Penyampaian Laporan Keuangan SKPD
kepada Kepala Daerah melalui PPKD
2 Bulan Setelah Tahun
Anggaran Berakhir
7.
Konsolidasi laporan keuangan SKPD oleh
PPKD
3 Bulan Setelah Tahun
Anggaran Berakhir
Bulan Maret
8.
Penyampaian Laporan Keuangan Daerah ke
BPK
3 Bulan Setelah Tahun
Anggaran Berakhir
Akhir Maret
9. Pemeriksaan Laporan Keuangan oleh BPK
2 Bulan Setelah
Disampaikan
Bulan Mei
10.
Penyampaian Raperda pertanggungjawaban
yang telah diaudit BPK dari KDH kepada
DPRD
6 Bulan Setelah Tahun
Anggaran Berakhir
Akhir Bulan Juni
11.
Persetujuan DPRD terhadap Raperda
pertanggungjawaban yang telah diaudit BPK
1 Bulan Setelah
Disampaikan
Akhir Bulan Juli
2.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah
Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan maupun Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pemerintah
melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah
daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal itu tercantum dalam
Pemendagri No. 13 Pasal 308.
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 meliputi pemberian pedoman,
bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan. Pemberian pedoman sebagaimana
dimaksud adalah mencakup perencanaan dan penyusunan APBD, pelaksanaan,
penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban keuangan daerah,
pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan pengelolaan keuangan daerah.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi mencakup perencanaan dan
penyusunan APBD, pelaksanaan, panatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, serta
pertanggungjawaban keuangan daerah yang dilaksanakan secara berkala dan/atau
sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai
Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil
kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, perangkat daerah, dan pegawai negeri sipil
daerah serta kepada bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) untuk kabupaten/kota
dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah. DPRD melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan sebagaimana dimaksud
bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian
sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan
pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam rangka meningkatkan kinerja transparansi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern
di lingkunganpemerintahan daerah yang dipimpinnya. Pengendalian intern sebagaimana
dimaksud merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai
mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan
keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya
peraturan perundang-undangan. Pengendalian intern sekurang-kurangnya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat;
b. terselenggaranya penilaian risiko;
c. terselenggaranya aktivitas pengendalian;
d. terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan
e. terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.
Penyelenggaraan pengendalian intern tersebut berpedoman pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2.2.10 Kerugian Daerah
Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar
Pasal 315 bahwa setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum
atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya
secara langsung merugikan keuangan daerah, wajib mengganti kerugian tersebut.
Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa
dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.
Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala SKPD kepada kepala
daerah dan diberitahukan kepada BPK paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian
daerah itu diketahui. Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara,
pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 segera dimintakan
surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi
tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud. Jika surat keterangan
tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian
kerugian daerah, kepala daerah segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan
penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Dalam hal bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang
dikenai tuntutan ganti kerugian daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau
meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang
memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang
berasal dari bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang
bersangkutan. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar
ganti kerugian daerah menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan
pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri sipil bukan
bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal
dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang
berwenang mengenai adanya kerugian daerah.
Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam peraturan menteri
ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik daerah, yang berada dalam
penguasaan bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang
digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Ketentuan penyelesaian kerugian
daerah dalam peraturan menteri ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan daerah dan
badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah
ditetapkan untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Putusan pidana atas kerugian
daerah terhadap bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara dan pejabat lain tidak
membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan ganti rugi.
Kewajiban bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain untuk
membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian
tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila
dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsure pidana, BPK menindaklanjutinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap
pegawai negeri sipil bukan bendahara ditetapkan oleh kepala daerah.Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
2.2.11 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
Menurut Pemendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 324, Pemerintah daerah dapat membentuk
a. menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum; dan
b. mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan
kepada masyarakat.
Instansi yang menyediakan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud antara lain
rumah sakit daerah, penyelenggara pendidikan, penerbit lisensi dan dokumen,penyelenggara
jasa penyiaran publik, penyedia jasa penelitian dan pengujian, serta instansi layanan umum
lainnya. Dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada
masyarakat antara lain instansi yang melaksanakan pengelolaan dana seperti dana bergulir
usaha kecil menengah, tabungan perumahan, dan instansi pengelola dana lainnya.
BLUD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Kekayaan BLUD
merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan
sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan.
Pembinaan keuangan BLUD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan
oleh kepala SKPD yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan.
Pembinaan keuangan BLUD meliputi pemberian pedoman,bimbingan, supervisi pendidikan
dan pelatihan dibidang pengelolaan keuangan BLUD. Pembinaan teknis meliputi pemberian
pedoman, bimbingan,supervisi, pendidikan dan pelatihan dibidang penyelenggaraan program
dan kegiatan BLUD.
BLUD dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
Seluruh pendapatan BLUD dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLUD yang
bersangkutan. Pedoman teknis mengenai pengelolaan keuangan BLUD diatur lebih lanjut
BAB III KRITISI KASUS
3.1 Struktur APBD
Pada Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Jakarta Biro Pendidikan dan Mental
Spiritual periode 30 Juni 2015, struktur APBD telah sesuai dengan Pemendagri No. 13 tahun
2006 pasal 22 Ayat 1 yaitu :
Struktur APBD merupakan kesatuan yang terdiri dari :
a. Pendapatan daerah ;
b. Belanja daerah ;
c. Pembiayaan daerah
Contoh kasus laporan keuangan yang kelompok kami analisa adalah laporan
keuangan Pemda DKI Jakarta Biro Pendidikan dan Mental Spiritual yang bukan merupakan
Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang tidak melakukan pemungutan Pendapatan Daerah
sehingga pendapatan daerahnya Rp. 0,- dan unsur pembiayaan daerah dalam Pemda DKI
Jakarta hanya dilaporkan pada Bendahara Umum Daerah sebagai SKPKD.
3.2 Penyususnan APBD
Merujuk pada Pemendagri No.13 Tahun 2006 Pasal 80 bahwa anggaran belanja
daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan sehingga dapat dilihat dari struktur
Dokumen Pelaksanaan Anggaran dan dapat dilihat juga dari Laporan Realisasi Anggaran.
Berdasarkan APBD Pemda DKI Jakarta Tahun 2015, pada Biro Pendidikan dan
Mental Spiritual terdapat anggaran belanja daerah senilai Rp. 6.627.537.608 untuk alokasi
sebagai berikut :
72.380.000,-2. Belanja Barang senilai Rp.
6.534.045.528,-3. Belanja Peralatan dan Mesin Rp.
21.112.080,-Kegiatan – kegiatan yang ada pada Biro Pendidikan dan Mental Spiritual merupakan
penjabaran dari rencana kerja SKPD tersebut. Pada tahun 2015 terjadi perselisihan antara
DPRD provinsi DKI dengan Pemda DKI yang berimbas pada ditolaknya APBD Pemda DKI
Jakarta tahun 2015 sehingga APBD DKI Tahun 2015 mengacu pada PAGU APBD DKI
Tahun 2014.
3.3 Penetapan APBD
Dengan ditolaknya RAPBD tahun 2015 oleh DPRD, maka untuk tahun 2015 Pemda
DKI Jakarta menerbitkan PERGUB (Peraturan Gubernur ) sebagai acuan yang mengatur
penggunakan APBD 2015. Hal ini sudah diatur dalam Pemendagri No.13 Tahun 2006 pasal
108 ayat 2 yang berbunyi :
“Apabila dalam batas waktu 30 hari kerja Menteri Dalam Negeri / Gubernur tidak
mengesahkan rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagai dimaksud pada ayat
1, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi
peraturan kepala daerah”.
3.4 Pelaksanaan APBD
Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental Spiritual
periode 30 Juni 2015 menunjukan realisasi pemakaian anggaran berdasarkan APBD tahun
2015 belanja daerah dengan penjabaran sebagai berikut :
a. Pendapatan Daerah
Biro Pendidikan dan Mental Spiritual Setda Provinsi DKI Jakarta bukan merupakan
UKPD yang melakukan pemungutan Pendapatan Daerah sehingga pendapatan - LRA sampai
0,-b. Belanja Daerah
Sesuai dengan ketetapan Pemendagri No. 13 Tahun 2006, belanja daerah diklasifikasikan
menjadi belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga, dan transfer (dicatat dalam
Laporan Realisasi Anggaran). Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI
Biro Pendidikan dan Mental Spiritual periode 30 Juni 2015 realisasi belanja daerah adalah
sebagai berikut :
- Nilai Realisasi Anggaran sampai dengan tanggal 30Juni 2015 sebesar Rp
3.716.664.088,- atau sebesar 56,08% dari nilai total anggaran sebesar Rp
6.627.537.608,-.
- Nilai Pertanggungjawaban Anggaran sampai dengan 30 Juni 2015 yaitu Rp
1.843.335.186,- atau sebesar 27,81%dari nilai total anggaran sebesar Rp
6.627.537.608,- serta Sisa kegiatan yang disetor ke Kas Daerah sampai dengan 30
Juni 2015 Sebesar Rp. 0,-.
- Nilai Pertanggungjawaban Anggaran sampai dengan 30 Juni 2015 yaitu Rp
1.843.335.186,- atau sebesar 27,81% dari nilai total anggaran sebesar Rp.
6.627.537.608,- serta Sisa kegiatan yang disetor ke Kas Daerah sampai dengan 30
Juni 2015 Sebesar Rp. 0,-.
- Total realisasi anggaran belanja barang berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran
Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental Spiritual periode 30 Juni 2015 seniai Rp.
1.813.782.531,- terdiri dari :
1. Beban persediaan senilai Rp.
134.595.345,-2. Beban jasa senliai Rp. 188.89134.595.345,-2.000,-
188.892.000,-3. Beban perjalanan dinas senilai Rp.
1.490.295.186,-Realiasi belanja daerah tersebut sesuai dengan anggaran belanja 2015 sesuai yang diatur
c. Surplus/Defisit
Surplus/defisit APBD diatur dalam Pemendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 55 s/d 58.
Merujuk pada Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental
Spiritual periode 30 Juni 2015 bahwa terjadinya defisit anggaran pada biro tersebut
dikarenakan anggaran pendapatan lebih kecil daripada anggaran belanja daerah. Nilai
defisit pada anggaran 2015 biro tersebut adalah Rp.
6.627.537.608,-3.5 Penatausahaan Keuangan Daerah
Pada Biro Pendidikan dan Mental Spiritual terdapat pejabat – pejabat yang
menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang
menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD. Hal tersebut telah
sesuai dengan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 184. Untuk pelaksanaan APBD kepala
daerah Pemda DKI ( Gubernur ) menetapkan :
a. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD, SPM, SP2D, dan SPJ.
b. Bendahara yang berfungsi untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran belanja.
c. Adanya PPK-SKPD yang diberi wewenang melaksanakan tugas fungsi tata usaha
keuangan pada SKPD.
3.6 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Dalam Pemendagri No. 13 Tahun 2006, kepala SKPD menyusun laporan realisasi
semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan
anggaran yang menjadi tanggungjawabnya. Laporan pertanggung jawaban pelaksanaan
APBD yang disiapkan oleh PPK-SKPD dan disampaikan kepada pejabat pengguna anggaran
untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja
dan Mental Spiritual telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pemakaian
dana APBD tiap semester per tahun sesuai ketetapan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal
290.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada laporan keuangan Biro Pendidikan & Mental Spritiual periode yang berakhir
pada tanggal 30 Juni 2015, penyusunan laporan keuangan tersebut telah sesuai dengan
Pemendagri No. 13 Tahun 2006, dimana struktur APBD pada Laporan Realisasi Anggaran
pendapatan pada Laporan Realisasi Anggaran biro tersebut dikarenakan Biro Pendidikan dan
Mental Spiritual yang bukan merupakan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang tidak
melakukan pemungutan dan unsur pembiayaan daerah dalam Pemda DKI Jakarta hanya
dilaporkan pada Bendahara Umum Daerah sebagai SKPKD.
Untuk RAPBD Pemda DKI Jakarta tahun 2015 ditolak oleh DPRD sehingga Pemda
DKI Jakarta menerbitkan PERGUB (Peraturan Gubernur ) sebagai acuan penyusunan APBD
2015. Pada Laporan Realisasi Anggaran Biro Pendidikan & Mental Spiritual terdapat defisit
anggaran senilai Rp.6.627.537.608,- dikarenakan adanya pendapatan daerah senilai
Rp.0,-Anggaran Belanja Daerah untuk Tahun Rp.0,-Anggaran 2015 Biro Pendidikan dan Mental Spiritual
Setda Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp6.627.537.608,-dengan Realisasi sampai dengan 30
Juni 2015 sebesarRp 3.716.664.088,- atau 56,08% dan realisasi pertanggungjawaban sebesar
Rp 1.843.335.186,- atau 27,81%.
Pada penatausahanaan keuangan daerah Biro Pendidikan dan Mental Spiritual
terdapat pejabat – pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang
berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas
pelaksanaan APBD. Hal tersebut telah sesuai dengan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal
184.
Berdasarkan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 290 bahwa Pemda DKI khususnya
Biro Pendidikan dan Mental Spiritual telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban
realisasi pemakaian dana APBD tiap semester per tahun.
4.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan terkait kasus tersebut adalah Pemda DKI Jakarta
khususnya pada Biro Pendiidkan & Mental Spiritual dapat secara bijak memanfaatkan
anggaran belanja barang berdasarkan DPA, dikarenakan adanya kegiatan yang belum
dilaksanakan terutama untuk kegiatan yang terikat dengan waktupelaksanaan ibadah haji