• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I II III SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PEMENDAGRI No 13 TH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB I II III SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PEMENDAGRI No 13 TH"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan negara

haruslah melibatkan pemerintah daerah, karena kinerja dan pengelolaan keuangan daerah saat

ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi

dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas,

nyata, dan bertanggungjawab. Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (public money) secara baik merupakan issue utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah

secara ekonomis, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam pengelolaan keuangan daerah

telah diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun

2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah

serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata

Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah.

Keuangan Daerah haruslah dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Di sisi lain tuntutan

transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintah semakin meningkat pada era

reformasi saat ini, tidak terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah

Daerah. Transparansi dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana masyarakat dapat

mengetahui dengan jelas semua kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah

(2)

dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah

ditetapkan sebelumnya.

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota DKI Jakarta dilakukan secara profesional, terbuka, dan

bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan

daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan

pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan Undang-undang No. 17

Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi

menjadi Penyusunan dan Penetapan APBD, Pelaksanaan APBD, serta Pertanggungjawaban

Pelaksanaan APBD.

Pemerintah daerah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang

menggunakan sistem akuntansi yang diatur oleh pemerintah pusat dalam bentuk Undang

-Undang dan peraturan pemerintah yang bersifat mengikat seluruh pemerintah daerah. Dalam

sistem pemerintahan daerah terdapat 2 (dua) subsistem, yaitu Satuan Kerja Pengelola

Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Laporan keuangan

SKPD merupakan sumber untuk menyusun laporan keuangan SKPKD. Oleh karena itu setiap

SKPKD harus menyusun laporan keuangan sebaik mungkin.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis membatasi masalah pada

pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah Kota DKI Jakarta khususnya pada Biro Pendidikan

dan Mental Spiritual berdasarkan perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 bagi

(3)

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana

penerapan sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan Pemda DKI Jakarta berdasarkan

Permendagri No. 13 Tahun 2006.

1.4 Manfaat Penulisan

Penulis ingin menyampaikan manfaat dari penulisan makalah ini kepada pembaca

adalah sebagai bahan informasi dan pengetahuan tentang bagaimana sistem akuntansi

keuangan pemerintahan daerah berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang diterapkan

oleh Pemda DKI Jakarta.

BAB II

(4)

2.1 Sistem Informasi Akuntansi

Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) adalah serangkaian prosedur,mulai dari

proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan

dalam rangka pertanggungjawaban pelaksana APBD yang dapat dilakukan secara manual

atau menggunakan aplikasi komputer. SAPD memiliki beberapa karakteristik yang sama

dengan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP), yaitu:

a. Basis Akuntansi

SAPD menggunakan basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan basis akrual

untuk neraca. Dengan basis kas, pendapatan diakui dan dicatat pada saat kas diterima oleh

rekening Kas Daerah serta belanja diakui dan dicatat pada saat kas dikeluarkan dari

rekening Kas Daerah. Aset, kewajiban, dan ekuitas dana diakui dan dicatat pada saat

terjadinya transaksi, atau pada saat terjadinya atau kondisi lingkungan berpengaruh pada

keuangan pemerintah.

b. Sistem Pembukuan Berpasangan

Sistem pembukuan berpasangan (double entry system) didasarkan atas persamaan dasar akuntansi, yaitu : Aset = Utang + Ekuitas Dana. Setiap transaksi dibukukan dengan

mendebit suatu perkiraan dan mengkredit perkiraan yang lain.

SAPD sekurang-kurangnya meliputi prosedur akuntansi penerimaan kas, prosedur akuntansi

pengeluaran kas, prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah, dan prosedur akuntansi

selain kas. Seperti halnya SAPP, SAPD juga terdiri atas dua subsistem, yaitu :

1. Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah

Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh PPKD, yang akan mencatat

transaksi-transaksi yang dilakukan oleh level pemda, seperti pendapatan dana

(5)

keuangan, belanja tidak terduga,transaksi-transaksi pembiayaan, pencatatan investasi, dan

utang jangka panjang.

2. Sistem Akuntansi Satuan Kerja Perangkat Daerah

Sistem akuntansi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilaksanakan oleh Pejabat

Penatausahaan Keuangan (PPK) SKPD. Transaksi-transaksi yang terjadi di lingkungan

satuan kerja harus dicatat dan dilaporkan oleh PPK SKPD.

Dalam konstruksi keuangan negara, terdapat dua jenis satuan kerja, yaitu SKPD dan Satuan

Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah (SKPKD).

Pendapatan Belanja Pembiayaan

Satuan Kerja Pendapatan Pajak Belanja Pegawai

Pendapatan

Retribusi

Belanja Barang dan

Jasa

Lain-lain pendapatan

yang sah

Belanja Modal

Pemda Dana Perimbangan Belanja bunga,

subsidi, hibah,

bantuan sosial, bagi

hasil, bantuan

keuangan, belanja

tidak terduga

Penerimaan

Pembiayaan Lain-lain pendapatan

yang sah

Pengeluaran

Pembiayaan

2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 20013 pasal 3 meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas

(6)

penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan

APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah,

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan

daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. Pengelolaan keuangan daerah

harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien,

ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan,

kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Proses Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan/penyusunan

anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD merupakan rencana keuangan tahunan

pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,

dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Oleh karena itu APBD merupakan kesepakatan

bersama antara eksekutif dan legislatif yang dituangkan dalam peraturan daerah dan

dijabarkan dalam peraturan bupati. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada

RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan

bernegara. APBD mempunyai fungsi :

 Fungsi Otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk

melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan;

 Fungsi Perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi

manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan;

 Fungsi Pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk

menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan;

 Fungsi Alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk

menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,

serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian;

 Fungsi Distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus

(7)

 Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat

untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

2.2.1 Struktur APBD

Struktur APBD dalam keuangan daerah diklasifikasikan menurut urusan pemerintahan

dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan meliputi:  Pendapatan Daerah

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa

pendapatan daerah adalah hak pemda yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran

dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan Daerah selanjutnya

dikelompokan atas : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain

Pendapatan daerah yang sah. Akuntansi pendapatan SKPD dilakukan hanya untuk

mencatat pendapatan asli daerah (PAD) yang berada dalam wewenang SKPD. Dalam

pelaksanaan tugasnya, PPK mencatat pendapatan SKPD dalam buku jurnal khusus

pendapatan menggunakan dokumen sumber dari Bendahara Penerimaan berupa SPJ

penerimaan dan lampirannya. Pendapatan yang diterima oleh Bendahara Penerimaan

SKPD kemudian disetor kepada rekening Kas Daerah (Kasda).  Belanja Daerah

Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah, Belanja Daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemda yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja daerah meliputi seluruh pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah

dalam satu tahun anggaran dan tidak diperoleh kembali pembayarannya oleh daerah.

Belanja daerah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu belanja tidak langsung dan

(8)

1. Belanja Tidak Langsung

Merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan

pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung ini terdiri dari

atas belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,

bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

2. Belanja Langsung

Merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan

program dan kegiatan. Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri atas belanja

pegawai (honorarium/upah), belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

Untuk kepentingan administratif, pengawasan, dan evaluasi, struktur APBD diklasifikasikan

menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan

urusan pemerintahan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Urusan

pemerintah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Menurut Permendagri Nomor 13

Tahun 2006 mengklasifikasikan urusan pemerintah menjadi 25 urusan wajib dan 8 urusan

pilihan pemerintah daerah. Urusan wajib mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,

perumahan rakyat, penataan ruangan, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan

hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga

berencana dan keluarga sejahteran sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil menengah,

penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan olahraga, kesatuan bangsa dan poltik dalam

negeri, pemerintahan umum, kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik,

arsip, dan komunikasi dan informatika. Sedangkan belanja mencakup pertanian, kehutanan,

energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan,

perindustrian, dan transmigrasi.

Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada

(9)

pemerintahan daerah yang terdiri atas DPRD, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dan

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Selain klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan dan organisasi, belanja

daerah juga dapat diklasifikasikan menurut fungsi, yang tujuannya adalah untuk keselarasan

dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara. Pengklasifikasian menurut fungsi ini terdiri

dari pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan

dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan, dan perlindungan sosial.  Pembiayaan Daerah

Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutupi defisit atau untuk

memanfaatkan surplus. Pembiayaan Daerah terdiri dari: Penerimaan Pembiayaan dan

Pengeluaran Pembiayaan. Jika APBD mengalami defisit, pemerintah dapat

menganggarkan penerimaan pembiayaan. Sebaliknya, pemerintah dapat menganggarkan

pengeluaran pembiayaan jika ada surplus. Penerimaan pembiayaan mencakup :

1. Sisa hasil perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA).

2. Pencairan dana cadangan.

3. Hasil penjualan kekayaan daerah terpisah.

4. Penerimaan pinjaman daerah.

5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman.

6. Penerimaan piutang daerah.

Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup :

1. Pembentukan dana cadangan.

2. Penerimaan modal (investasi) pemda.

3. Pembayaran pokok utang.

4. Pemberian pinjaman daerah.

(10)

APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan

kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada RKPD dalam

rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.

Menurut Nordiawan (2007), anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun sesuai

dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Penyusunan APBD berpedoman pada Rencana Kerja (Renja) Pemerintahan Daerah (RKPD)

dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya tujuan bernegara.

Setidaknya terdapat enam subproses dalam penyusunan APBD, yaitu :

1. Penyusunan KUA,

2. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS),

3. Penyiapan SE (Surat Edaran) Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan Rencana

Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD,

4. Penyusunan RKA SKPD,

5. Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD,

6. Pembahasan Raperda APBD dan penyusunan Raper KDH Penjabaran APBD, evaluasi

serta penetapan Raperda APBD dan KDH Penjabaran APBD.

Berikut ini adalah Jadwal Penyusunan APBD berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri

No. 13 Tahun 2006.

NO URAIAN WAKTU KETERANGAN

APBD

1. Penyusunan RKPD Akhir Bulan Mei

2. Penyampaian Rancangan KUA (Kebijakan

Umum Anggaran) kepada Kepala Daerah Awal Bulan Juni 1 Bulan 3. Penyampaian Rancangan KUA dari Kepala

Daerah kepada DPRD Pertengahan Bulan Juli 3 Minggu 4.

KUA disepakati antara Kepala Daerah dengan DPRD

Minggu Pertama Bulan

Juli 1 Minggu

(11)

Plafon Anggaran Sementara)

6. Penyampaian Rancangan PPAS ke DPRD Minggu Kedua Bulan Juli 3 Minggu

7. PPAS disepakati antara Kepala Daerah

dengan DPRD Akhir Buli Juli

8.

Penetapan Pedoman Penyusunan RKA –

SKPD oleh Kepala Daerah Awal Bulan Agustus 1 Minggu 9. Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD Minggu Pertama Bulan

Oktober

2 Bulan

10.

Pengambilan keputusan bersama DPRD dan Kepala Daerah terhadap RAPBD

Paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan (awal bulan Desember)

11. Penetapan hasil evaluasi 15 hari kerja (pertengah bulan Desember)

12.

Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan KDH tentang penjabaran APBD bila sesuai hasil evaluasi

Akhir Desember (31 Desember)

13. Penyempurnaan sesuai hasil evaluasi 7 hari kerja Akhir Bulan Desember

14. Pembatalan berdasarkan hasil evaluasi

7 hari kerja setelah hasil evaluasi dari Menteri Dalam Negeri/Gubernur

15.

Penghentian dan pencabutan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang APBD bersama DPRD

7 hari kerja Awal Bulan Januari

16.

Penetapan keputusan pimpinan DPRD tentang penyempurnaan Peraturan Daerah APBD dan penyampaian hasil penyempurnaan berdasarkan hasil evaluasi

3 hari setelah keputusan ditetapkan

17.

Penetapan Peraturan Daerah APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD

31 Desember

18.

Penyampaian Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur

7 hari kerja

(12)

APBD

1.

Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur dalam hal DPRD tidak mengambil keputusan bersama terhadap Raperda tentang APBD sampai dengan batas waktu yang ditetapkan UU

Paling lama 15 hari setelah Raperda tidak disetujui DPRD (Pertengahan Bulan Desember)

2. Pengesahan Menteri Dalam Negeri/Gubernur terhadap Rancangan Peraturan Kepala Daerah

Paling Lama 30 hari kerja (Pertengahan Bulan Januari)

1 (satu) Bulan

C. APBD BAGI DAERAH YANG BELUM MEMILIKI DPRD

1.

Penyampaian Rancangan KUA dan PPAS kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur bagi daerah yang belum memiliki DPRD

Pertengahan Bulan Juni

2. Persetujuan Menteri Dalam Negeri/Gubernur Minggu Pertama Bulan

Juli 15 hari

3. Penyampaian Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD

30 hari kerja sejak KUA dan PPAS disahkan Menteri Dalam Negeri/Gubernur

Minggu Pertama Bulan Agustus

2.2.3 Penetapan APBD

Penetapan APBD dilaksanakan dengan melalui tiga tahap sebagai berikut:

 Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD

Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda beserta

lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada masyarakat untuk

selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling lambat pada minggu

pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun anggaran yang

direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan keputusan bersama

(13)

bersangkutan dimulai. Atas dasar persetujuan bersama tersebut, kepala daerah

menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD yang harus disertai dengan

nota keuangan. Raperda APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang

telah disepakati bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh pemerintahan

kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur terkait.

 Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang

Penjabaran APBD

Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan rancangan

Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati.Walikota

harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari

kerja. Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan

kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta

untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak bertentangan dengan kepentingan

umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini

sudah harus dituangkan dalam keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota

paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD tersebut.

 Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD

Tahapan terakhir ini dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran

sebelumnya. Setelah itu Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD ini

disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja

setelah tanggal ditetapkan.

Dalam implementasinya penerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya

dibuktikan dengan adanya dokumen-dokumen tersebut, melainkan substansi dari dokumen

tersebut harus ada keselarasan antar dokumen-dokumen dengan memperhatikan indikator

(14)

SKPD seyogyanya terdapat keselarasan dalam pencapaian indikator kinerja yang termuat

dalam Renstra SKPD. Indikator kinerja Renja SKPD harus selaras dengan indikator-indikator

kinerja yang dituang dalam RKA SKPD. Keselarasan indikator kinerja secara otomatis akan

dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam dokumen perencanaan strategis

(Renstra SKPD) yang selanjutnya dituangkan dalam program dan kegiatan-kegiatan yang

dilaksanakan SKPD.

Berikut ini adalah flowchart proses penyusunan dan penetapan APBD :

2.2.4 Pelaksanaan APBD

Azas umum pelaksanaan APBD telah diatur di dalam pasal 54 PP No. 58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan pasal 122 Permendagri No. 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan

(15)

a. SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja daerah untuk tujuan

yang tidak tersedia anggarannya, dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya dalam

APBD;

b. Pelaksanaan belanja daerah, harus didasarkan pada prinsip hemat, tidak mewah, efektif,

efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan

pemerintahan daerah dikelola dalam APBD;

d. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah

wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

e. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali

ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;

f. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah

paling lama 1 (satu) hari kerja;

g. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap

pengeluaran belanja;

h. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran

tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD;

i. Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan

dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi

anggaran;

j. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

k. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan

lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD;

l. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien

dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setelah APBD ditetapkan dengan waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja, PPKD

(pejabat pengelola keuangan daerah) memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar

menyusun dan menyampaikan rancangan DPA-SKPD untuk masing-masing satuan kerja

perangkat daerah. Kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun dokumen pelaksanaan

(16)

anggaran yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota. Rancangan DPA-SKPD, merinci

sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk

mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja serta

pendapatan yang diperkirakan. Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD yang

telah disusunnya kepada PPKD paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan

disampaikan.

Khusus pada SKPKD (satuan kerja pengelola keuangan daerah) disusun DPA-SKPD

dan DPA-PPKD. DPA-SKPD memuat program/kegiatan, sedangkan DPA-PPKD digunakan

untuk menampung: (a). Pendapatan yang berasal dari dana perimbangan dan pendapatan

hibah; (b). Belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi

hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga; (c). Penerimaan pembiayaan dan

pengeluaran pembiayaan daerah.

TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) melakukan verifikasi rancangan

DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala DPA-SKPD yang bersangkutan. Verifikasi atas rancangan

DPA-SKPD, diselesaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja, sejak ditetapkannya

peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Berdasarkan hasil verifikasi, PPKD

mengesahkan rancangan DPA-SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah. DPA-SKPD yang

telah disahkan disampaikan kepala SKPD yang bersangkutan, kepada satuan kerja

pengawasan daerah (inspektorat), dan BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak

tanggal disahkan. DPA-SKPD, digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala

SKPD selaku pengguna anggaran/barang.

2.2.5 Penatausahaan Keuangan Daerah

Pada prinsipnya kegiatan tata usaha keuangan daerah dapat dibagi atas dua jenis, yaitu

Tata Usaha Umum dan Tata Usaha Keuangan.

1. Tata Usaha Umum adalah menyangkut kegiatan surat menyurat, mengagenda,

mengekspedisi, menyimpan surat-surat penting atau mengarsipkan kegiatan dokumentasi

(17)

2. Tata Usaha Keuangan adalah tata buku yang merupakan rangkaian kegiatan yang

dilakukan secara sistematis di bidang keuangan berdasarkan prinsip-prinsip,

standar-standar tertentu serta prosedur-prosedur tertentu sehingga dapat memberikan informasi

aktual di bidang keuangan.

Dokumen yang digunakan pada prosedur Penatausahaan Keuangan Daerah

berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keaungan

Daerah, diantaranya sebagai berikut : 1. Anggaran Kas

Yaitu dokumen perkiraan arus kas masuk yang bersumber dari penerimaan dan arus kas

keluar untuk mengatur ketersediaan dana yang cukup guna mendanai pelaksanaan

kegiatan dalam setiap periode.

2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD)

Yaitu dokumen yang memuat pendapatan, belanja dan pembiayaan yang digunakan

sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh pengguna anggaran. 3. Buku Kas Umum Daerah

Yaitu tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk

menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar pengeluaran

daerah.

4. Rekening Kas Umum Daerah;

Yaitu rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah

untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar

pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

(18)
(19)

Secara sederhana, perubahan APBD dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah

untuk menyesuaikan rencana keuangannya dengan perkembangan yang terjadi.

Perkembangan dimaksud bisa berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun

pengeluaran, atau sebaliknya.

Perubahan atas setiap komponen APBD memiliki latar belakang dan alasan berbeda.

Ada perbedaan alasan untuk perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran

belanja. Begitu juga untuk alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk

penerimaan pembiayaan berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang

memang menjadi salah satu alasan utama mengapa perubahan APBD dilakukan.

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 154, perubahan APBD dapat

dilakukan apabila terjadi :

a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;

b. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,

antar kegiatan, dan antar jenis belanja;

c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan

dalam tahun berjalan;

d. Keadaan darurat;

e. keadaan luar biasa.

2.2.6.1 Perubahan Atas Pendapatan

Terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme para pembuat

keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak jarang perubahan APBD

juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen daerah (DPRD). Anggaran

pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab,

diantaranya karena (a) tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan

(20)

target berdasarkan perkembangan terkini. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan mengapa

perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:

1. Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu

menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan

jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan

menambah penerimaan dalam kas daerah.

2. Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.

3. Jikadalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran

yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat

diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam

mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.

2.2.6.2 Perubahan Atas Alokasi Anggaran Belanja

Merupakan bagian terpenting dalam perubahan, khususnya pada kelompok belanja

langsung. Beberapa bentuk perubahan alokasi untuk belanja modal berrdasarkan

penyebabnya adalah:

1. Perubahan karena adanya varian SiLPA. Perubahan harus dilakukan apabila prediksi

atas SiLPA tidak akurat, yang bersumber dari adanya perbedaan antara SILPA 201a

definitif setelah diaudit oleh BPK dengan SiLPA 201b.

2. Perubahan karena adanya pergeseran anggaran (virement). Pergeseran anggaran dapat terjadi dalam satu SKPD, meskipun total alokasi untuk SKPD yang bersangkutan tidak

(21)

3. Perubahan karena adanya perubahan dalam penerimaan, khususnya pendapatan.

Perubahan target atas pendapatan asli daerah (PAD) dapat berpengaruh terhadap alokasi

belanja perubahan pada tahun yang sama. Dari perspektif agency theory, pada saat penyusunan APBD murni, eksekutif (dan mungkin juga dengan sepengetahuan dan/atau

persetujuan legislatif) target PAD ditetapkan di bawah potensi, lalu

dilakukan “adjustment” pada saat dilakukan perubahan APBD. 2.2.6.3 Perubahan Dalam Pembiayaan

Terjadi ketika asumsi yang ditetapkan pada saat penyusunan APBD harus direvisi.

Ketika besaran realisasi surplus/defisi dalam APBD berjalan berbeda dengan anggaran ayng

ditetapkan sejak awal tahun anggaran, maka diperlukan penyesuaian dalam anggaran

penerimaan pembiayaan, setidaknya untuk mengkoreksi penerimaan yang bersumber dari

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SiLPA).

SiLPA tahun berjalan merupakan SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan) tahun lalu. Oleh

karena itu, SiLPA merupakan penerimaan pada awal tahun berjalan. Namun, besaran yang

diakui pada saat penyusunan APBD masih bersifat taksiran, belum definitif, karena (a) pada

akhir tahun lalu tersebut belum seluruh pertanggungjawaban disampaikan oleh SKPD ke

BUD dan (b) BPK RI belum menyatakan bahwa jumlah SiLPA sudah sesuai dengan yang

sesungguhnya.

Selisih (variance) antara SiLPA dalam APBD tahun berjalan dengan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun sebelumnya merupakan angka yang menjadi salah satu

bahan untuk perubahan anggaran dalam tahun berjalan, terutama dalam bentuk penyesuaian

untuk belanja. Jika diterapkan konsep anggaran berimbang (penerimaan sama dengan

pengeluaran atau SILPA bernilai nol atau nihil), maka varian SiLPA akan menyebabkan

perubahan alokasi belanja.

2.2.7 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban atas kepengurusan sumber

(22)

disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku agar laporan keuangan tersebut dapat

dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya atau dibandingkan dengan

laporan keuangan entitas yang jelas. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran

Laporan realisasi anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber

daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan

perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Unsur yang

dicakup secara langsung oleh laporan realisasi anggaran terdiri dari pendapatan, belanja

transfer dan pembiayaan. 2. Neraca

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset,

kewajiban dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Aset adalah sumber ekonomi yang

dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan

dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh,

baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,

termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk menyediakan jasa bagi

masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan

budaya. Kewajiban adalah utang yang timbul dan peristiwa masa lalu yang

penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Ekuitas

Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan

kewajiban pemerintah. 3. Laporan Arus Kas

Laporan arus kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasional,

invenrasi aset non keuangan, pembiayaan, dan transaksi non anggaran yang

menggambarkan saldo awal,penerimaan,pengeluaran dan saldo akhir kas pemerintah

pusat/daerah selama periode tertentu. Unsur yang mencakup dalam laporan arus kas

(23)

memberikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas

selama suatu periode akuntansi dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan.

Penyajian Laporan Arus Kas memberikan informasi historis mengenai kemampuan dalam

memperoleh kas dan menilai penggunaan kas untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah

Daerah selama tahun anggaran.

4. Catatan atas Laporan Keuangan

Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian dari angka yang

tertera dalam laporan realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas. Catatan atas laporan

keuangan juga mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh

entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk

mengungkapkan di dalam Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan

yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.

Dengan basis CTA, untuk realisasi pendapatan, belanja, penerimaan dan pengeluaran

pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas, sedangkan untuk mencatat aset, kewajiban dan

ekuitas dicatat berdasarkan basis akrual. Dalam pelaksanaan basis pencatatan ini

dikembangkan teknik jurnal yang disebut jurnal korolari, dimana jurnal korolari ini tidak

ditemukan dalam akuntansi komersial.Dengan basis ini, pendapatan diakui pada saat diterima

pada rekening umum kas daerah (PSAP 02, paragraf 22). Sedangkan belanja diakui pada saat

terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum daerah (PSAP 02, paragraf 31).

2.2.8 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar

Akuntansi Pemerintahan maupun Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pemerintah daerah

berkewajiban untuk menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan dalam bentuk laporan

keuangan pemerintah daerah yang terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus

kas dan catatan atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah

(24)

Struktur pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBD selanjutnya disingkat PPA

menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011, diawali

dengan laporan realisasi semester pertama APBD yang disertai dengan prognosis untuk 6

(enam) bulan berikutnya dan selanjutnya laporan tahunan atau LKPD (Laporan Keuangan

Pemerintah Daerah) sebagaimana yang diatur di dalam BAB XII PPA. Lain halnya dengan PP

Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur PPA diawali dengan

LKPD sebagaimana yang diatur di dalam BAB IX PPA. Sedangkan UU Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, struktur PPA langsung pada

penyampaian ranperda tentang PPA.

UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir

dengan UU Nomor 9 Tahun 2015, PP Nomor 58 Tahun 2005, dan Permendagri Nomor 13

Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011,

menjadi pedoman di dalam proses penyampaian PPA. “Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) menyampaikan ranperda tentang PPA kepada DPRD dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir”.

Pengecualian dari ketentuan atas jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah

tahun anggaran berakhir, sebagaimana yang diatur dalam pasal 102 PP Nomor 58 Tahun 2005

dan pasal 299 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan

(25)

Ranperda tentang PPA dirinci dalam ranperkada tentang penjabaran PPA. Ranperkada

dilengkapi dengan lampiran terdiri dari: a. ringkasan laporan realisasi anggaran; dan b.

penjabaran laporan realisasi anggaran.

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah terakhir dengan

Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, “Ranperda tentang PPA memuat laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, serta dilampiri dengan laporan kinerja yang telah diperiksa BPK dan ikhtisar laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah”.

Lingkup, muatan dan lampiran dari LKPD dan ranperda tentang PPA berbeda-beda.

UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 9 Tahun 2015

mengatur lingkup, muatan dan lampiran berdasarkan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan, yakni standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual, sedangkan

PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah

terakhir dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2005

tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

dengan berlakunya PP 71 Tahun 2010.

Selanjutnya, ranperda tentang PPA dibahas kepala daerah bersama DPRD untuk

mendapat persetujuan bersama. Agenda pembahasan ranperda tentang PPA ditentukan oleh

DPRD. Persetujuan bersama ranperda dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan setelah tahun

anggaran berakhir atau persetujuan bersama terhadap ranperda tentang PPA oleh DPRD

paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak ranperda diterima. Atas dasar persetujuan bersama

kepala daerah menyiapkan ranperkada tentang penjabaran PPA.

Berikut ini adalah bagan alir siklus pelaporan pertanggungjawaban atas

(26)

Dan berikut ini adalah Jadwal Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD berdasarkan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006.

NO URAIAN WAKTU

KETERANGA

N

1. Penyusunan Laporan Realisasi Semester I

Minggu Kedua Bulan

Juni

2.

Penyampaian Laporan Realisasi Anggaran

Semester I dari Pengguna Anggaran ke PPKD

(Pejabat Pengelola Keuangan Daerah)

7 hari kerja setelah

Semester I berakhir

3.

Penyampaian hasil konsolidasi Laporan

Semester I oleh PPKD ke Sekretaris Daerah

selaku Koordinator Pengelolaan Keuda

Minggu Kedua Bulan

Juli

4.

Penyampaian Laporan Semester I dari

Sekretaris Daerah ke KDH

Minggu Ketiga Bulan

Juli

5.

Penyampaian Laporan Realisasi Semester I

dari KDH ke DPRD

Akhir Bulan Juli

6.

Penyampaian Laporan Keuangan SKPD

kepada Kepala Daerah melalui PPKD

2 Bulan Setelah Tahun

Anggaran Berakhir

(27)

7.

Konsolidasi laporan keuangan SKPD oleh

PPKD

3 Bulan Setelah Tahun

Anggaran Berakhir

Bulan Maret

8.

Penyampaian Laporan Keuangan Daerah ke

BPK

3 Bulan Setelah Tahun

Anggaran Berakhir

Akhir Maret

9. Pemeriksaan Laporan Keuangan oleh BPK

2 Bulan Setelah

Disampaikan

Bulan Mei

10.

Penyampaian Raperda pertanggungjawaban

yang telah diaudit BPK dari KDH kepada

DPRD

6 Bulan Setelah Tahun

Anggaran Berakhir

Akhir Bulan Juni

11.

Persetujuan DPRD terhadap Raperda

pertanggungjawaban yang telah diaudit BPK

1 Bulan Setelah

Disampaikan

Akhir Bulan Juli

2.2.9 Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah

Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar

Akuntansi Pemerintahan maupun Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pemerintah

melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah

daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal itu tercantum dalam

Pemendagri No. 13 Pasal 308.

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 meliputi pemberian pedoman,

bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan. Pemberian pedoman sebagaimana

dimaksud adalah mencakup perencanaan dan penyusunan APBD, pelaksanaan,

penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban keuangan daerah,

pemantauan dan evaluasi, serta kelembagaan pengelolaan keuangan daerah.

Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi mencakup perencanaan dan

penyusunan APBD, pelaksanaan, panatausahaan dan akuntansi keuangan daerah, serta

pertanggungjawaban keuangan daerah yang dilaksanakan secara berkala dan/atau

sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai

(28)

Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil

kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD, perangkat daerah, dan pegawai negeri sipil

daerah serta kepada bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) untuk kabupaten/kota

dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah. DPRD melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan sebagaimana dimaksud

bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian

sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD. Pengawasan

pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam rangka meningkatkan kinerja transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern

di lingkunganpemerintahan daerah yang dipimpinnya. Pengendalian intern sebagaimana

dimaksud merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai

mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan

keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya

peraturan perundang-undangan. Pengendalian intern sekurang-kurangnya memenuhi kriteria

sebagai berikut:

a. terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat;

b. terselenggaranya penilaian risiko;

c. terselenggaranya aktivitas pengendalian;

d. terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan

e. terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.

Penyelenggaraan pengendalian intern tersebut berpedoman pada ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2.2.10 Kerugian Daerah

Sesuai dengan peraturan perundangan yang telah ditetapkan baik dalam Standar

(29)

Pasal 315 bahwa setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum

atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan. Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena

perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya

secara langsung merugikan keuangan daerah, wajib mengganti kerugian tersebut.

Kepala SKPD dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa

dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun.

Kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala SKPD kepada kepala

daerah dan diberitahukan kepada BPK paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian

daerah itu diketahui. Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara,

pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum

atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 segera dimintakan

surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi

tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud. Jika surat keterangan

tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian

kerugian daerah, kepala daerah segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan

penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.

Dalam hal bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang

dikenai tuntutan ganti kerugian daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau

meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang

memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang

berasal dari bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang

bersangkutan. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar

ganti kerugian daerah menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan

pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri sipil bukan

(30)

bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal

dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang

berwenang mengenai adanya kerugian daerah.

Ketentuan penyelesaian kerugian daerah sebagaimana diatur dalam peraturan menteri

ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik daerah, yang berada dalam

penguasaan bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain yang

digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Ketentuan penyelesaian kerugian

daerah dalam peraturan menteri ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan daerah dan

badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, sepanjang tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah

ditetapkan untuk mengganti kerugian daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau

sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Putusan pidana atas kerugian

daerah terhadap bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara dan pejabat lain tidak

membebaskan yang bersangkutan dari tuntutan ganti rugi.

Kewajiban bendahara, pegawai negeri sipil bukan bendahara, atau pejabat lain untuk

membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak

diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian

tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.

Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila

dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsure pidana, BPK menindaklanjutinya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap

pegawai negeri sipil bukan bendahara ditetapkan oleh kepala daerah.Ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara tuntutan ganti kerugian daerah diatur dengan peraturan daerah dengan

berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

2.2.11 Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah

Menurut Pemendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 324, Pemerintah daerah dapat membentuk

(31)

a. menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum; dan

b. mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan

kepada masyarakat.

Instansi yang menyediakan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud antara lain

rumah sakit daerah, penyelenggara pendidikan, penerbit lisensi dan dokumen,penyelenggara

jasa penyiaran publik, penyedia jasa penelitian dan pengujian, serta instansi layanan umum

lainnya. Dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada

masyarakat antara lain instansi yang melaksanakan pengelolaan dana seperti dana bergulir

usaha kecil menengah, tabungan perumahan, dan instansi pengelola dana lainnya.

BLUD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa Kekayaan BLUD

merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan

sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan.

Pembinaan keuangan BLUD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan

oleh kepala SKPD yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan.

Pembinaan keuangan BLUD meliputi pemberian pedoman,bimbingan, supervisi pendidikan

dan pelatihan dibidang pengelolaan keuangan BLUD. Pembinaan teknis meliputi pemberian

pedoman, bimbingan,supervisi, pendidikan dan pelatihan dibidang penyelenggaraan program

dan kegiatan BLUD.

BLUD dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.

Seluruh pendapatan BLUD dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLUD yang

bersangkutan. Pedoman teknis mengenai pengelolaan keuangan BLUD diatur lebih lanjut

(32)

BAB III KRITISI KASUS

3.1 Struktur APBD

Pada Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Jakarta Biro Pendidikan dan Mental

Spiritual periode 30 Juni 2015, struktur APBD telah sesuai dengan Pemendagri No. 13 tahun

2006 pasal 22 Ayat 1 yaitu :

Struktur APBD merupakan kesatuan yang terdiri dari :

a. Pendapatan daerah ;

b. Belanja daerah ;

c. Pembiayaan daerah

Contoh kasus laporan keuangan yang kelompok kami analisa adalah laporan

keuangan Pemda DKI Jakarta Biro Pendidikan dan Mental Spiritual yang bukan merupakan

Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang tidak melakukan pemungutan Pendapatan Daerah

sehingga pendapatan daerahnya Rp. 0,- dan unsur pembiayaan daerah dalam Pemda DKI

Jakarta hanya dilaporkan pada Bendahara Umum Daerah sebagai SKPKD.

3.2 Penyususnan APBD

Merujuk pada Pemendagri No.13 Tahun 2006 Pasal 80 bahwa anggaran belanja

daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban pemerintah daerah sebagaimana

ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan sehingga dapat dilihat dari struktur

Dokumen Pelaksanaan Anggaran dan dapat dilihat juga dari Laporan Realisasi Anggaran.

Berdasarkan APBD Pemda DKI Jakarta Tahun 2015, pada Biro Pendidikan dan

Mental Spiritual terdapat anggaran belanja daerah senilai Rp. 6.627.537.608 untuk alokasi

sebagai berikut :

(33)

72.380.000,-2. Belanja Barang senilai Rp.

6.534.045.528,-3. Belanja Peralatan dan Mesin Rp.

21.112.080,-Kegiatan – kegiatan yang ada pada Biro Pendidikan dan Mental Spiritual merupakan

penjabaran dari rencana kerja SKPD tersebut. Pada tahun 2015 terjadi perselisihan antara

DPRD provinsi DKI dengan Pemda DKI yang berimbas pada ditolaknya APBD Pemda DKI

Jakarta tahun 2015 sehingga APBD DKI Tahun 2015 mengacu pada PAGU APBD DKI

Tahun 2014.

3.3 Penetapan APBD

Dengan ditolaknya RAPBD tahun 2015 oleh DPRD, maka untuk tahun 2015 Pemda

DKI Jakarta menerbitkan PERGUB (Peraturan Gubernur ) sebagai acuan yang mengatur

penggunakan APBD 2015. Hal ini sudah diatur dalam Pemendagri No.13 Tahun 2006 pasal

108 ayat 2 yang berbunyi :

“Apabila dalam batas waktu 30 hari kerja Menteri Dalam Negeri / Gubernur tidak

mengesahkan rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagai dimaksud pada ayat

1, kepala daerah menetapkan rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi

peraturan kepala daerah”.

3.4 Pelaksanaan APBD

Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental Spiritual

periode 30 Juni 2015 menunjukan realisasi pemakaian anggaran berdasarkan APBD tahun

2015 belanja daerah dengan penjabaran sebagai berikut :

a. Pendapatan Daerah

Biro Pendidikan dan Mental Spiritual Setda Provinsi DKI Jakarta bukan merupakan

UKPD yang melakukan pemungutan Pendapatan Daerah sehingga pendapatan - LRA sampai

(34)

0,-b. Belanja Daerah

Sesuai dengan ketetapan Pemendagri No. 13 Tahun 2006, belanja daerah diklasifikasikan

menjadi belanja operasi, belanja modal, belanja tak terduga, dan transfer (dicatat dalam

Laporan Realisasi Anggaran). Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI

Biro Pendidikan dan Mental Spiritual periode 30 Juni 2015 realisasi belanja daerah adalah

sebagai berikut :

- Nilai Realisasi Anggaran sampai dengan tanggal 30Juni 2015 sebesar Rp

3.716.664.088,- atau sebesar 56,08% dari nilai total anggaran sebesar Rp

6.627.537.608,-.

- Nilai Pertanggungjawaban Anggaran sampai dengan 30 Juni 2015 yaitu Rp

1.843.335.186,- atau sebesar 27,81%dari nilai total anggaran sebesar Rp

6.627.537.608,- serta Sisa kegiatan yang disetor ke Kas Daerah sampai dengan 30

Juni 2015 Sebesar Rp. 0,-.

- Nilai Pertanggungjawaban Anggaran sampai dengan 30 Juni 2015 yaitu Rp

1.843.335.186,- atau sebesar 27,81% dari nilai total anggaran sebesar Rp.

6.627.537.608,- serta Sisa kegiatan yang disetor ke Kas Daerah sampai dengan 30

Juni 2015 Sebesar Rp. 0,-.

- Total realisasi anggaran belanja barang berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran

Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental Spiritual periode 30 Juni 2015 seniai Rp.

1.813.782.531,- terdiri dari :

1. Beban persediaan senilai Rp.

134.595.345,-2. Beban jasa senliai Rp. 188.89134.595.345,-2.000,-

188.892.000,-3. Beban perjalanan dinas senilai Rp.

1.490.295.186,-Realiasi belanja daerah tersebut sesuai dengan anggaran belanja 2015 sesuai yang diatur

(35)

c. Surplus/Defisit

Surplus/defisit APBD diatur dalam Pemendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 55 s/d 58.

Merujuk pada Laporan Realisasi Anggaran Pemda DKI Biro Pendidikan dan Mental

Spiritual periode 30 Juni 2015 bahwa terjadinya defisit anggaran pada biro tersebut

dikarenakan anggaran pendapatan lebih kecil daripada anggaran belanja daerah. Nilai

defisit pada anggaran 2015 biro tersebut adalah Rp.

6.627.537.608,-3.5 Penatausahaan Keuangan Daerah

Pada Biro Pendidikan dan Mental Spiritual terdapat pejabat – pejabat yang

menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang

menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD. Hal tersebut telah

sesuai dengan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 184. Untuk pelaksanaan APBD kepala

daerah Pemda DKI ( Gubernur ) menetapkan :

a. Pejabat yang diberi wewenang menandatangani SPD, SPM, SP2D, dan SPJ.

b. Bendahara yang berfungsi untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran belanja.

c. Adanya PPK-SKPD yang diberi wewenang melaksanakan tugas fungsi tata usaha

keuangan pada SKPD.

3.6 Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

Dalam Pemendagri No. 13 Tahun 2006, kepala SKPD menyusun laporan realisasi

semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan

anggaran yang menjadi tanggungjawabnya. Laporan pertanggung jawaban pelaksanaan

APBD yang disiapkan oleh PPK-SKPD dan disampaikan kepada pejabat pengguna anggaran

untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama anggaran pendapatan dan belanja

(36)

dan Mental Spiritual telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pemakaian

dana APBD tiap semester per tahun sesuai ketetapan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal

290.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada laporan keuangan Biro Pendidikan & Mental Spritiual periode yang berakhir

pada tanggal 30 Juni 2015, penyusunan laporan keuangan tersebut telah sesuai dengan

Pemendagri No. 13 Tahun 2006, dimana struktur APBD pada Laporan Realisasi Anggaran

(37)

pendapatan pada Laporan Realisasi Anggaran biro tersebut dikarenakan Biro Pendidikan dan

Mental Spiritual yang bukan merupakan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang tidak

melakukan pemungutan dan unsur pembiayaan daerah dalam Pemda DKI Jakarta hanya

dilaporkan pada Bendahara Umum Daerah sebagai SKPKD.

Untuk RAPBD Pemda DKI Jakarta tahun 2015 ditolak oleh DPRD sehingga Pemda

DKI Jakarta menerbitkan PERGUB (Peraturan Gubernur ) sebagai acuan penyusunan APBD

2015. Pada Laporan Realisasi Anggaran Biro Pendidikan & Mental Spiritual terdapat defisit

anggaran senilai Rp.6.627.537.608,- dikarenakan adanya pendapatan daerah senilai

Rp.0,-Anggaran Belanja Daerah untuk Tahun Rp.0,-Anggaran 2015 Biro Pendidikan dan Mental Spiritual

Setda Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp6.627.537.608,-dengan Realisasi sampai dengan 30

Juni 2015 sebesarRp 3.716.664.088,- atau 56,08% dan realisasi pertanggungjawaban sebesar

Rp 1.843.335.186,- atau 27,81%.

Pada penatausahanaan keuangan daerah Biro Pendidikan dan Mental Spiritual

terdapat pejabat – pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang

berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas

pelaksanaan APBD. Hal tersebut telah sesuai dengan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal

184.

Berdasarkan Pemendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 290 bahwa Pemda DKI khususnya

Biro Pendidikan dan Mental Spiritual telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban

realisasi pemakaian dana APBD tiap semester per tahun.

4.2 Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan terkait kasus tersebut adalah Pemda DKI Jakarta

khususnya pada Biro Pendiidkan & Mental Spiritual dapat secara bijak memanfaatkan

(38)

anggaran belanja barang berdasarkan DPA, dikarenakan adanya kegiatan yang belum

dilaksanakan terutama untuk kegiatan yang terikat dengan waktupelaksanaan ibadah haji

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian Gulamhussen & Guerreiro (2009), ditemukan bahwa anggota Dewan Direksi yang berkewarganegaraan asing berpengaruh positif terhadap pengurangan biaya

Tidak jarang pula sejarah kini di gambarkan dalam bentuk film yang tayang di bioskop atau media sosial seperti youtube agar lebih memahami dan mengerti mengenai suatu

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar meliputi beberapa hal, menurut Suparyanto (2011), bahwa faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi

Memiliki gambaran dan pandangan baru secara jelas mengenai hubungan dan pengaruh dari pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, dan upah minimum provinsi terhadap tingkat

[r]

Penelitian ini menggambarkan bahwa pelaku usaha yang menguasai satu atau lebih tahapan vertikal akan mengarahkan pelaku usaha memiliki posisi dominan dan

Perubahan fisik yang dialami oleh mereka para penderita polio merupakan masalah berat yang harus dijalani mereka ketika dihadapkan dengan aktifitas yang dilakukan dilingkungannya,

Dalam melakukan pemberdayaan aktivis muda di Yogyakarta, SMI memberikan alat baca yang berbeda pada aktivis muda, negara diibaratkan dalam kondisi yang sakit parah dan