• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Luka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Luka"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Luka

Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan transport oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang ekstrim, injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Gitaraja, 2008; Potter & Perry, 2009) Pembagian luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan terbagi menjadi 2, yaitu:

2.1.1 Luka akut yaitu luka yang proses penyembuhannya sesuai dengan waktu pada konsep penyembuhan luka.

2.1.2 Luka kronik yaitu luka yang proses penyembuhannya gagal dan tidak sesuai dengan waktu pada konsep penyembuhan luka (Falabella & Kirsner, 2005; Gitaraja, 2008; Potter & Perry, 2009)

2.2 Proses Penyembuhan Luka

(2)

Proses penyembuhan luka ini terdiri dari 3 fase, yaitu: 2.2.1 Fase inflamasi/eksudasi

Fase inflamasi adalah fase pertama yang terjadi pada proses penyembuhan luka dimana vaskular dan seluler berespon terhadap terjadinya luka dengan tujuan untuk menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, mikroba, dan sel-sel mati. Fase inflamasi ini menyebabkan luka bersiap untuk melanjutkan proses penyembuhan berikutnya.

Pada awalnya rusaknya pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet untuk menutup pembuluh darah yang terbuka, juga menyebabkan vasokonstriksi sehingga perdarahan akan terhenti, periode ini berlangsung cepat sekitar 5-10 menit. Selanjutnya akan terjadi vasodilatasi akibat respon syaraf sensori dan juga akan mengeluarkan histamin, serotonin dan sitokin. Histamin sendiri selain mengakibatkan vasodilatasi juga akan meningkatkan permeabilitas vena sehingga cairan plasma akan berpindah ke daerah luka.

Peningkatan permeabilitas ini juga akan mengakibatkan terjadinya perpindahan sel leukosit ke area luka. Netrofil yang merupakan agen sel leukosit akan melakukan fagositosis benda asing dan bakteri selama 3 hari dan selanjutnya akan digantikan oleh makrofag.

(3)

melakukan angiogenesis atau pembentukan kapiler-kapiler baru. Secara klinis, tanda dan gejala terjadinya fase inflamasi ini adalah eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung 3 sampai 5 hari.

2.2.2 Fase proliferatif

Pada fase ini terjadi proses untuk memperbaiki dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan adanya pembelahan sel. Fibroblast memiliki peran yang sangat penting dalam proses penyembuhan yaitu bertanggung jawab dalam persiapan untuk menghasilkan struktur protein baru yang akan terlibat dalam proses rekonstruksi jaringan.

Fibroblast yang selama ini berada di jaringan penunjang menjadi aktif ketika terjadi luka kemudian fibroblast ini akan mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycan dan akan berperan dalam membentuk jaringan yang baru.

Kolagen merupakan cikal bakal munculnya jaringan baru. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang berada di jaringan baru disebut dengan jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas enzim-enzimnya disebut fibroplasia

(4)

dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factor).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi. Pada proses ini fibroblast akan mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF) dan berperan dalam merangsang mitosis sel epidermis. Proses ini dimulai dari pinggir luka dan akhirnya akan membentuk barier yang menutupi seluruh permukaan luka. Bersama-sama dengan kolagen pembentukan lapisan dermis semakin berkualitas dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.

Fibroblast akan merubah bentuknya menjadi myofibroblas dan memiliki kemampuan untuk melakukan kontraksi pada jaringan. Selanjutnya fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk. Fase ini akan berlangsung hingga 3 minggu. 2.2.3 Fase maturasi

Fase ini dimulai dari minggu ke 3 sejak luka dan akan berakhir sampai kurang lebih 1 tahun. Fase ini bertujuan agar dihasilkan jaringan baru yang kuat dan menyerupai jaringan yang dulu telah rusak.

(5)

Pembentukan dan pemecahan ini harus seimbang agar penyembuhan optimal terjadi. Bila pembentukan lebih banyak maka terjadi pembentukan penebalan jaringan parut, namun bila pemecahan yang lebih banyak maka kekuatan jaringan parut melemah dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh bila kontuinitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut yang kuat dan tidak mengganggu aktifitas yang normal (Gitaraja, 2008; Falabella & Kirsner, 2005; Black & Hawks,2009).

2.3 Luka Kaki Diabetik

Luka kaki diabetik merupakan salah satu dari banyaknya komplikasi kronik dari DM. Pengelolaannya sering tidak berhasil dan mengakibatkan hari perawatan semakin memanjang. Sering kali luka kaki diabetes ini berakhir pada kecacatan dan bahkan kematian. Maka, tidak heran luka kaki diabetes ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti oleh penderita DM

2.3.1 Etiologi luka kaki diabetik

(6)

bahwa etiologi terjadinya luka kaki diabetik adalah neuropati, iskemia dan neuroiskemia.

Neuropati merupakan faktor predisposisi terjadinya luka kaki diabetik yang memberikan efek pada sensori, motorik dan syaraf otonom. Kehilangan sensori akan mengakibatkan kehilangan perlindungan tubuh terhadap trauma fisik, kimia dan termal. Motor neuropati dapat menjadi penyebab deformitas pada kaki yang hasilnya adalah tekanan abnormal pada kaki. Syaraf otonom secara tipikal berhubungan dengan kulit kering yang mengakibatkan fisura, cracking dan kalus.

Iskemia berhubungan dengan sirkulasi yang buruk pada area perifer. Periperal arterial disease adalah salah satu contoh dari iskemia ini. Kondisi ini mengakibatkan hampir 50 % terjadinya luka kaki diabetik. Penyebab terakhir adalah neuroiskemia dimana kondisi ini adalah kombinasi dari neuropati dan iskemia.

2.3.2 Patofisiologi luka kaki diabetik

Kondisi hiperglikemia adalah awal dari terjadinya luka kaki diabetik. Hiperglikemia akan menstimulasi terjadinya peningkatan enzim aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Peningkatan kedua enzim ini akan meningkatkan terjadinya konversi glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Semakin banyak glukosa maka akan semakin banyak sorbitol dan fruktosa.

(7)

pada sistem syaraf. Penurunan konduksi ini akan sangat terasa pada area perifer.

Selain itu, peningkatan kadar gula tadi juga akan menipiskan cadangan nikotinamid adenin dinukleotid fosfat yang beradampak pada terjadinya vasokonstriksi permiten dan meningkatnya terjadinya oxodatif stress. Selajutnya oxidatif stress ini juga akan mengakibatkan abnormal glycation protein sel syaraf dan penurunan aktivasi proteinkinase C. Sehingga mengakibatkan disfungsi sel syaraf dan iskemia. Proses di atas akan mengakibatkan munculnya dua kondisi, yaitu neuropati dan iskemia, dimana kedua kondisi ini adalah etiologi dari luka kaki diabetik (Clayton dan Elasy, 2009).

2.3.3 Stadium luka kaki diabetes

Stadium Wagner (1987) untuk luka kaki diabetes sebagai berikut: 1. Superficial ulcer

Stadium 0: Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik tetapi dengan bentuk tulang yang menonjol

Stadium 1: Hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan kadang-kadang tampak tulang menonjol

2. Deep ulcer

Stadium 2: Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon (dengan goa)

(8)

3. Ganggren

Stadium 4: Ganggren sebagian, menyebar hingga sebagian jari kaki, kulit sekitarnya selulitis, ganggren lembab/kering

Stadium 5: Seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan ganggren. 2.3.4 Pengelolaan kaki diabetik dan luka kaki diabetik.

Luka pada kaki merupakan permasalahan yang sering terjadi bagi penderita DM. Hal ini terjadi akibat dari neuropati dan penyakit pembuluh darah perifer yang menghambat aliran darah ke perifer seperti pada kaki. Orang yang mengalami neuropati tidak mampu mendeteksi kerusakan pada kaki karena penurunan sensasi dan respon terhadap nyeri. Sehingga sangat beresiko terhadap terjadinya luka pada kaki.

DM juga mengganggu aliran darah di perifer. Buruknya sirkulasi di kaki mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan pada luka dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

Menurut Chadwick (2012) ada lima hal yang menjadi prinsip dalam pengelolaan kaki diabetik.

1. Pengelolaan yang holistik

(9)

2. Menurunkan tekanan

Menurunkan tekanan pada luka merupakan komponen kunci dalam perawatan luka. Peningkatan tekanan disekitar batas luka akan mengakibatkan pembentukan callus. Bila callus ini tidak ditangani akan memperlambat penyembuhan luka dan perawatan yang dilakukan tidak efektif. Edmonds, Foster dan Vowden (2004) menambahkan selain dari menurunkan tekanan, distribusi tekanan yang merata juga dapat dilakukan sebagai penanganan pada kaki diabetik.

3. Kontrol infeksi

Luka pada kaki diduga mengalami infeksi polimikrobial dan infeksi tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan. Infeksi merupakan alasan utama pelaksanaan amputasi pada pasien dengan luka kaki diabetik. The National Institute for Clinical Excellence (2004) dalam Chadwick (2012) merekomendasikan pasien dengan luka tidak sembuh dengan tanda-tanda infeksi aktif diberikan terapi antibiotic sistemik. Antibiotik dengan spektrum luas digunakan pertama kali untuk luka yang berkaitan dengan selulitis atau pus.

4. Revaskularisasi.

(10)

bersamaan dengan penurunan atau kehilangan sensasi. Oleh karena itu pengamatan terhadap iskemia perlu diperhatikan salah satunya melalui pengkajian. Pengkajian pembuluh darah seperti mengecek denyut nadi dorsalis pedis, jika tidak ditemukan denyut nadi maka pemeriksaan dengan ABPI (ankle brachial presssure index) perlu dilakukan

5. Debridement

Debridement adalah pengangkatan jaringan nekrotik atau jaringan mati dari luka dan sekitarnya agar jaringan sehat tidak tertutup.Selanjutnya proses penyembuhan luka akan lebih maksimal.

Menurut Gitaraja (2008) manajemen perawatan luka meliputi pencucian luka, debridemen, pemilihan bahan topical terapi.

1. Pencucian luka

Pencucian luka dilakukan untuk membuang jaringan nekrosis, meminimalisir cairan luka yang berlebihan, sisa balutan serta sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Pencucian luka ini menjadi sangat penting karena merupakan komponen mendasar dalam manajemen luka. Proses penyembuhan luka akan lebih baik bila lukanya dalam keadaan bersih.

(11)

terhadap jaringan, tidak menghambat fase penyembuhan luka serta tidak menyebabkan reaksi alergi atau mengubah flora normal di kulit. Teknik dalam pencucian luka yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan swabbing, scrubbing, showering (irigasi), hydrotherapy,whirlpool dan bathing.

2. Debridement

Debridement adalah sebuah tindakan pengangkatan jaringan nekrotik yang ada pada luka. Jaringan nekrotik adalah jaringan mati akibat degradasi enzim secara progresif sehingga terjadi perubahan morfologi pada jaringan tersebut, hal ini merupakan respon yang normal dari tubuh terhadap jaringan yang rusak.

Jaringan nekrotik dibedakan menjadi 2 bentuk:

a. Eschar yang berwarna hitam, keras serta dehidrasi impermeabel dan lengket pada permukaan luka

b. Slough basah, kuning berupa cairan dan tidak lengket pada luka

(12)

3. Penggunaan bahan topikal

Tindakan terakhir dalam manajemen perawatan luka adalah menggunakan bahan topikal terapi. Memilih balutan yang tepat dapat mempromosikan penyembuhan luka lebih baik, sehingga kemampuan untuk memilih balutan sangat penting demi penyembuhan luka tepat waktu, efektif dan efisien.

Tujuan pemilihan balutan antara lain untuk membuang jaringan nekrotik dan benda asing, balutan dapat mengontrol kejadian infeksi dan juga melindungi luka dari trauma dan invansi bakteri. Tujuan berikutnya adalah untuk mempertahankan kelembaban luka sehingga dapat mempromosikan proses penyembuhan luka. Balutan juga dapat mengabsorbsi cairan luka yang berlebihan dan menyokong autolytic debridement.

2.4 Wound Bed Preparation

2.4.1 Pengertian wound bed preparation.

Menurut Falanga (2000) wound bed preparation muncul sebagai element yang penting untuk memperoleh keuntungan maksimal dari produk perawatan luka lanjut saat ini. Secara sederhana diartikan bahwa kita tidak bisa mengobati luka yang persiapan dasar lukanya buruk dengan berbagai macam terapi apapun kecuali dengan terlebih dahulu mempersiapkan dasar luka.

(13)

mengevaluasi atau menyingkirkan hambatan luka sehingga luka mengikuti proses penyembuhan yang semestinya. Hal ini akan memandu kita untuk mengembangkan strategi pengobatan yang sesuai baik kepada pasien itu sendiri dan juga penyebab terjadinya luka.

Wound bed preparation ini bermaksud untuk menyediakan lingkungan yang sesuai untuk proses penyembuhan luka. Jadi semua komponen yang mengganggu proses penyembuhan harus disingkirkan terlebih dahulu (Collier, 2003)

2.4.2 Komponen wound bed preparation

Felcher (2005); Halim, Khoo dan Mat Saad (2012) mengatakan untuk membantu klinisi dalam memahami pendekatan wound bed preparation ini, sebuah kerangka kerja yang disingkat dengan TIME dikembangkan. Jadi, dalam wound bed preparation ini terdiri dari 4 komponen yaitu

T: Tissue (jaringan) I: Infection atau inflamasi

M: Moisture imbalance (ketidakseimbangan kelembaban) E: Edge (pinggir luka)

(14)

1. Manajemen jaringan nekrotik

T yang ada dalam TIME berhubungan dengan tampilan fisik dari dasar luka. Tampilan dasar luka bisa berwarna hitam atau jaringan nekrotik, warna kuning atau slough dan juga warna merah atau jaringannya sudah bergranulasi dan epitelisasi. (Fletcher, 2005)

Jaringan nekrotik yang menempel pada luka akan mengganggu klinisi untuk mengkaji kedalaman luka dan kondisi luka. Sehingga pengkajian luka seringkali tidak tepat akibat jaringan nekrotik menghalanginya. Observasi dari luar terlihat luka sudah menghitam saja, padahal dibagian dalam atau dibawah jaringan nekrotik sudah bermunculan underminning yang juga berkontribusi dalam menghambat proses penyembuhan luka.

Hal lain yang terjadi akibat jaringan nekrotik ini adalah jaringan nekrotik menjadi tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Koloni bakteri di jaringan nekrotik dapat memproduksi metaloproteinase yang memberikan efek negatif terhadap komponen matriks ekstraselular selama proses penyembuhan (Halim, Khoo dan Mat Saad, 2012).

(15)

sel yang menghambat proses penyembuhan sehingga dapat menurunkan kontaminasi luka dan kerusakan jaringan. Tujuan dari manajemen jaringan ini adalah untuk mengembalikan dasar luka yang viabel dengan fungsi matriks ekstraseluler yang optimal. Manajemen jaringan yang dimaksud dalam pembahasan ini sering kita kenal dengan istilah debridement.

2. Pemulihan keseimbangan bakteri

I dari akronim TIME dimaksudkan kepada infeksi atau inflamasi. Bagi paraktisi, kemampuan untuk membedakan inflamasi akut yang normal dan keadaan infeksi lainnya karena pengelolaannya cukup berbeda. Inflamasi merupakan respon normal tubuh ketika terjadi cedera pada jaringan tubuh. Respon ini bertujuan untuk melindungi atau memperbaiki kerusakan. Hal ini ditandai dengan panas, kemerahan, nyeri dan bengkak yang juga merupakan tanda-tanda klasik dari terjadinya infeksi. Untuk dapat membedakan keduanya dibutuhkan pemahaman terhadap proses penyembuhan luka dan memastikan tanda serta gejala yang normalnya muncul pada masing-masing tahap penyembuhan luka.

(16)

rentang dari kontaminasi, kolonisasi, kolonisasi kritis hingga infeksi invasif.

Mengenali kolonisasi kritik merupakan hal yang penting karena pada level ini proses penyembuhan luka mulai tertunda, kejadian ini terjadi sebelum infeksi invasif terjadi. Kolonisasi kritik maksudnya adalah terdapatnya mikroorganisme yang memulai terjadinya kerusakan jaringan lokal. Pada saat ini daya tahan tubuh pasien tidak mampu mempertahankan keseimbangan mikroorganisme. Tanda dan gejala yang muncul pada tahap ini seperti perubahan warna dasar luka, jaringan granulasi yang rapuh dan tidak sehat, bau yang tidak enak, peningkatan eksudat dan nyeri disekitar luka.

(17)

3. Meningkatkan keseimbangan kelembaban.

M dari akronim TIME bermaksud untuk meningkatkan keseimbangan kelembaban yang bertujuan untuk mendorong penyembuhan denga prinsip penyembuhan lukan dengan kelembaban. Luka yang kering dan dehidrasi dapat mengakibatkan nyeri dan gatal pada pasien. Luka kering juga dapat menghambat penyembuhan luka karena sel epitel tidak bisa berpindah melalui jaringan yang kering.

Kebanyakan luka memiliki derajat yang basah dikarenakan keberadaan eksudat. Hal ini merupakan fenomena yang normal pada semua jenis luka dan dengan berbagai etiologi. Produksi eksudat ini merupakan bagian dari proses inflamasi yang terjadi pada luka. Pada luka operasi produksi eksudat adalah hal normal pada 48 hingga 72 jam, namun secara umum bila eksudat yang dihasilkan banyak dan dalam tempo waktu yang panjang justru mengakibatkan keterlambatan penyembuhan luka.

(18)

Oleh karena itu keseimbangan kelembaban sangat diperlukan. Menurut Hofman (2007) untuk menciptakan keseimbangan kelembaban, maka penggunaan balutan yang tepat perlu diperhatikan. Balutan tersebut harus bersifat memberikan kelembaban bila luka kering dan menyerap kelembaban bila luka basah.

4. Perkembangan tepi luka

Perkembangan tepi luka dalam pengertian migrasi sel epidermis atau keratinosit dan kontraksi luka adalah satu dari indikator utama penyembuhan luka. Jika terjadi tahanan perkembangan, klinisi seharusnya kembali mempertimbangkan komponen yang dibahas sebelumnya (TIME), termasuk disfungsi seluler dan ketidakseimbangan biokimia adalah alasan yang paling mungkin penyebab kegagalan penyembuhan.

(19)

tepi luka. Secara mikroskopis, penuaan sel mungkin ada di tepi luka kronik yang dibutuhkan untuk mencapai penyembuhan. Dengan konsep lanjut tentang wound bed preparation dan dengan basis sains, klinisi dapat menyatakan masalah dan segera mengambil tindakan yang dibutuhkan (Halim, Khoo dan Mat Saad, 2012).

Observasi klinik

[image:19.595.86.530.389.726.2]

Untuk lebih sederhana, Fletcher (2005) menyimpulkan penjelasan wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME sebagaimana tabel 2.1 dibawah ini

Tabel 2.1 Wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME

Patofisiologi Tindakan wound bed preparation Efek tindakan wound bed preparation Hasil Tissue (jaringan)

Matriks yang cacat dan kerusakan sel

mengganggu penyembuhan

Debridement Restorasi dasar luka Dasar luka yang baik Infection atau inflamasi

Jumlah bakteri yang tinggi atau inflamasi yang memanjang. Peningkatan cytokines inflammatory,

penurunan growth factor Topical atau sistemik antimikroba Bakteri sedikit atau inflamasi terkontrol Keseimbang an bakteri Moisture imbalance Luka kering memperlambat migrasi sel epitel. Kelebihan cairan menyebabkan maserasi di batas luka

Mengaplikasikan balutan yang menjaga keseimbangan kelembaban

Migrasi sel epitel pulih Keseimbang an kelembaban Edge of wound Keratinosit tidak berpindah, sel luka tidak responsif dan ketidaknormalan matrix ekstraseluler atau ketidaknormalan Mengkaji kembali penyebab atau mengkoreksi kembali terapi Migrasi keratinosit dan sel luka responsif

(20)

2.4.3 Pengertian debridement

Debridement dipandang sebagai komponen yang esensial pada wound bed preparation yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk penyembuhan luka dengan memproduksi vaskularisasi yang baik dan meminimalkan eksudat (Fletcher, 2005; Kelly, 2010; Benbow, 2011; Mcintosh, 2009; Falanga et.al, 2008). Selain itu menurut Anderson (2006); Chadwick (2012) debridement merupakan tindakan untuk menyingkirkan jaringan terinfeksi atau benda lain dari luka.

2.4.4 Metode debridement

Jaringan nekrotik itu kering, teksturnya kasar dan warnanya hitam. Jika dan ketika jaringan nekrotik melunak maka akan mengubah warnanya menjadi coklat atau kuning atau abu-abu dan menjadi bersabut serta basah. Hal ini terjadi tergantung pada level kelembaban (Anderson,2006).

Debridement pada luka dapat memfasilitasi dan melepaskan abses dan jaringan nekrotik. Ada beberapa metode debridement yang dikenal hingga saat ini, yaitu

1. Surgical debridement

(21)

2. Sharp debridement.

Menurut Chadwick (2012) sharp debridement dan surgical debridement dimasukkan dalam jenis yang sama. Namun menurut Anderson (2006) kedua debridemen ini dibedakan, karena surgical ini hanya bisa dilakukan oleh dokter karena membutuhkan tindakan anastesi, sedangkan sharp debridement bisa dilakukan oleh perawat yang sudah memiliki kualifikasi melakukannya. Secara garis besar surgical dan sharp debridement hampir sama dalam prosedurnya.

Pada sharp debridement ini memiliki kontraindikasi yaitu iskemia digit, pasien dengan gangguan pembekuan darah dan luka akibat keganasan. Selain itu nyeri merupakan masalah yang sering muncul dari tindakan ini karena tindakan dilakukan tanpa menggunakan anastesi (Anderson, 2006).

3. Chemical debridement.

(22)

4. Enzymatic debridement.

Kolagenase dapat digunakan dalam tindakan ini. Secara alamiah hadirnya enzim dapat menonaktifkan kolagen. Enzim ini diperoleh dari fermentasi Clostridium bistolytieum dan diaplikasikan ke jaringan yang ada di luka. Penggantian balutan mudah untuk dilakukan dan minimal nyeri (Chadwick, 2012). Menurut Benbow (2011) biaya untuk debridemen enzim ini cukup mahal.

5. Mekanikal debridement.

Metode debridement mekanikal yang paling sederhana adalah balutan basah ke kering, yang sudah umum digunakan. Proses pelaksanaannya adalah dengan menggunakan balutan kasa yang basah menutupi seluruh luka kemudian dibiarkan hingga kering. Jaringan nekrotik tersebut akan dengan sendirinya lepas dengan lengket ke kasa, maka jaringan nekrotik secara mekanik terlepas dari luka. Metode ini kemungkinan akan menyebabkan trauma pada jaringan yang sehat dan prosesnya juga dapat menimbulkan nyeri terutama bila lukannya bukan karena neuropati (Chadwick, 2012; Benbow, 2011; Anderson, 2006). 6. Biological debridement / larva therapy.

(23)

jaringan yang sehat. Selain itu sekresi dari larva ini memiliki efek proteolitik dan pergerakan fisik dari larva menstimulasi terbentuknya granulasi pada luka.

Larva ini diindikasikan untuk debridement luka yang ada slough atau jaringan nekrotik baik itu luka akut atau kronik. Kontraindikasi yang sering terjadi pada metode ini adalah penolakan dari pasien walaupun fenomena pasien semakin terbuka kepada metode ini (Chadwick, 2012; Benbow, 2011; Anderson, 2006).

2.4.5 Autolytic debridement. 1. Defenisi

Autolytic debridement adalah kemampuan tubuh itu sendiri untuk melisiskan atau memecah jaringan nekrotik dengan menggunakan enzim dan makrofag serta aktifitas dari sel darah putih (Collins, et.al, 2002; Benbow, 2011). Brown (2013) menambahkan autolytic debridement ini terjadi dimana tubuh memanfaatkan kelembaban untuk melepaskan jaringan mati.

(24)

2. Proses terjadinya autolytic debridement

Proses terjadinya autolytic debridement hanya bisa terjadi dalam keadaan lembab, lingkungan vaskular dan tergantung pada fungsi sistem imun yang optimal (Benbow, 2011). Lingkungan yang kelembabannya seimbang merupakan kunci dari keberhasilan autolytic debridement. Semakin seimbang kelembaban maka autolytic debridement akan semakin baik. Makrofag memproduksi kolagenase dan protease yang bertanggung jawab terhadap debridement melalui pemisahan dan pemecahan protein yang menjaga jaringan mati pada luka. Ketika protein terpecahkan maka jaringan mati akan terpisah dan terjadilah debridement. Proses ini juga distimulasi oleh neutropil yang akan meningkat ketika terjadi proses debridement (Anderson, 2006; Falabella & Kirsner, 2005).

(25)

Secara umum proses autolytic debridement ini akan terlihat dalam 72-96 jam jaringan eskar hitam akan berubah menjadi coklat atau abu-abu dan akhirnya menjadi jaringan slough kuning berserabut (Brown, 2013). Menurut Sussman & Bates-Jensen (2012) kerangka waktu dalam terjadinya autolytic debridement pada jaringan eskar dan slough adalah 14 hari.

3. Keuntungan dan kekurangan

Secara umum keuntungan dari autolytic debridement adalah nyeri minimal atau tanpa nyeri, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil yang diinginkan. Waktu yang lama tersebut juga memungkinkan akan terjadinya peningkatan infeksi pada luka (Benbow, 2011; Price & Young, 2012; ).

Vowden dan Vowden (2011) menyebutkan keuntungan lain dari autolytic debridement ini adalah dapat digunakan menjadi “maintenance” debridement. Selain itu dapat juga menjadi metode debridement pilihan ketika metode lain tidak dapat digunakan dalam luka tertentu. Kerugiannya juga berhubungan dengan proses yang membutuhkan waktu yang lama sehingga mengakibatkan maserasi di sekitar luka.

4. Outcome measureautolytic debridement

(26)

seperti autolytic debridement. Tiga karakteristik yang digunakan untuk mengevaluasi debridement ini diambil dari Pressure Sore Status Tools, yaitu jumlah jaringan nekrotik di luka, jenis jaringan nekrotik dan penempelan jaringan nekrotik (Sussman & Bates-Jensen, 2012; Sussman & Bates-Bates-Jensen, 1998)

Jumlah jaringan nekrotik

Jumlah jaringan nekrotik seharusnya akan berkurang secara progresif jika dilakukan penanganan yang tepat. Jumlah jaringan nekrotik ini dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu dengan pengukuran linear (mengukur panjang dan lebar jaringan nekrotik), pengkajian secara visual persentase dasar luka yang ditutupi oleh jaringan nekrotik, pengukuran linear (mengukur panjang dan lebar dari jaringan nekrotik), digital planimetry (mengukur area luka menggunakan analisis fotografi dan fotografi.

Penilaian persentase dasar luka yang tertutup oleh jaringan nekrotik dapat dilakukan dengan cara membagi dasar luka menjadi 4 kuadran. Pembagian ini seperti pemotongan kue pie menjadi 4 bagian, dimana masing-masing bagian sama dengan 25% luka. (Sussman & Bates-Jensen, 2012).

Penilaiannya dengan ukuran berikut ini: 1 = tidak terlihat

(27)

3 = 25 % - 50 % menutup dasar luka 4 = 50 % - 75 % menutup dasar luka 5 = > 75 % menutup dasar luka Jenis jaringan nekrotik

Jaringan nekrotik akan berubah seiring dengan peningkatan dan penyembuhan luka. Jaringan nekrotik akan berubah dari kering, eskar kering ke basah seperti slough dan akhirnya menjadi musinosa dan mudah lepas dari dasar luka

Penilaiannya dengan ukuran berikut: 1 = tidak ada

2 = putih/abu-abu 3 = slough kuning 4 = eskar lunak 5 = eskar keras

Penempelan jaringan nekrotik

(28)

jaringan nekrotik

Tipe

Debridement

(Sussman & Bates-Jensen, 1998; Sussman & Bates-Jensen, 2012).

[image:28.595.112.517.278.561.2]

Pada tabel berikut ini, Falanga et.al (2008) menyimpulkan berbagai metode debridement beserta kelebihan atau kekurangan yang dimiliki masing-masing metode tersebut

Tabel. 2.2 Pemilihan tipe dan metode debridement Contoh Kecepatan

pengangkatan jaringan Pemeliharaan jaringan yang sehat Kenyamanan Pasien Agen absorben Dextranomer

beads, beberapa balutan absorben

□ □□□□ □□□

Antiseptik Cadexomer iodine, Slow-release agent

□ □□□ □□

Autolytic Balutan oklusif

□ □□□□ □□□□

Biological Larva terapi □□□ □□□ □

Chemical Zinc chloride □□ □ □

Enzymatic Kolagenase □□□ □□□□ □□□□

Mekanikal Kasa

basah-kering

□□□ □□ □

Surgical/sharp Scalpel, curette

□□□□□ □ □

Keterangan: □ = minimal atau tidak; □□□□□ = Maksimal 2.5 Madu.

2.5.1 Pengertian madu.

(29)

diketahui. Catatan menunjukkan bahwa imperium yang zaman dahulu berkuasa sudah menggunakan madu sebagai antiseptik pada luka. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat dari zaman dahulu sudah sangat positif menganggap bahwa madu cocok untuk terapi pengobatan salah satunya untuk luka (Sharp, 2009).

Madu aslinya adalah nektar yang berubah menjadi larutan gula yang seperti agar-agar. Oleh lebah dikurangi kandungan airnya dan mengubahnya dari sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa digunakan sebagai enzim saliva lebah (Cray, 2010). Madu terdiri dari 20 % air dan sisanya adalah kandungan gula (Belcher, 2012). Kandungan gula tersebut sebagian besar terdiri dari fruktosa dan glukosa, sedangkan sebagian kecil lainnya terdiri dari disakarida, trisakarida dan oligosakarida (Sharp, 2009). Madu di Indonesia telah diatur melalui Standar Nasional Indonesia yaitu SNI 01-3545-2004. Standar Nasional Indonesia (SNI) madu ini merupakan Revisi SNI 01-3545-1994, Madu. Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 93S, Makanan dan Minuman. Adapun maksud dan tujuan penyusunan standar adalah sebagai acuan sehingga madu yang beredar di pasaran dapat terjamin mutu dan keamanannya (Badan Standar Nasional, 2004).

2.5.2 Kegunaan madu terhadap luka.

(30)

terhambat. Madu juga mengandung enzim glukosa oksidase dan katalase. Bila kedua enzim tersebut bersentuhan dengan eksudat luka akan menghasilkan hydrogen peroksida yang merupakan agen antimikroba pada luka (Sharp, 2009; Hampton, 2007; Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008; Song dan Salcido, 2010; Lee, Sinno dan Khachemoune, 2011). Selain penjelasan tersebut, antimikroba yang dimiliki madu merupakan multifaktorial sehingga sangat tidak memungkinkan bakteri akan resisten terhadap madu (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

Madu sebagai agen penyembuh luka merupakan fungsi dari penggunaan madu lainnya terhadap luka. Fungsi ini merupakan efek dari kandungan gula yang tinggi pada madu. 80 % kandungan madu adalah gula. Konsentrasi gula yang tinggi tersebut akan memberi sifat osmosis pada madu dan akan memberikan lingkungan dengan kelembaban yang seimbang pada luka. Lingkungan luka dengan keseimbangan kelembaban tersebut akan menstimulasi terjadinya autolytic debridement. Lingkungan luka dengan keseimbangan kelembaban ini juga akan menstimulasi terjadi granulasi dan epitelisasi pada luka (Sharp, 2009).

(31)

alasan yang menyebabkan pasien dan perawat berpersepsi positif terhadap penggunaan madu ini (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

Kegunaan madu diatas terhadap luka menimbulkan efek positif lainnya. Efek lanjutannya adalah meningkatnya kualitas hidup pasien, mental pasien yang positif. Khusus pada kasus malignansi terdapat dampak lain yaitu meningkatnya “time survival” pada pasien dengan ukuran luka yang berkurang akibat penggunaan madu dibanding dengan pasien yang ukuran lukanya tidak berkurang.

2.5.3 Sifat zat yang terkandung dalam madu.

Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu (Gheldof, Wang dan Engeseth, 2002; Gheldof dan Engeseth, 2002). Pada saat ini salah satu madu yang cukup dikenal luas dalam perawatan luka adalah Manuka Honey. Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi topikal karena kandungan nutrisi dan sifat madu.

1. Osmolaritas tinggi

(32)

cairan luka akan terlarut akibat kandungan gula yang tinggi pada madu, sehingga luka menjadi lembap dan hal ini dianggap baik untuk proses penyembuhan.

2. Hidrogen peroksida

Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen peroksida akan diproduksi. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase yang terkandung di dalam madu yangmemiliki sifat antibakteri. Proses ini tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan juga akan mengurangi bau yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak membahayakan kondisi luka (Molan,1992). Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan tergantung dari jenis dan sumber madu yang digunakan.

3. Aktivitas limfosit dan fagosit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah lymphosit B and lymphosit T dapat distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0.1%. Adanya aktivitas limfositdan fagosit ini menunjukkan respons kekebalan tubuh terhadap infeksi khususnya pada luka.

4. Sifat asam madu

(33)

penetrasi dan kolonisasi. Selain itu kandungan air yang terdapat dalam madu akan memberikan kelembapan pada luka. Hal ini sesuai dengan prinsip perawatan luka modern yaitu "Moisture Balance". Hasil penelitian Gethin, Seamus dan Ronan (2008) melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis (ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu dua minggu secara signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasidan epitelisasi pada luka.

2.5.3 Bukti keefektifan madu.

Menurut Belcher (2012) madu memiliki lima cara kerja inti, yaitu:

1. Anti mikroba: kandungan gula yang tinggi dan kandungan air rendah, membuat bakteri yang ada dalam luka kekurangan air untuk mempertahankan kehidupannya. Selain itu pH madu yang asam yaitu 3,5 sampai 4,5 juga menghambat pertumbuhan bakteri (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

2. Anti inflamasi: Kemampuan madu pada osmotik mengakibatkan madu mampu menarik getah bening dari sel dan menurunkan edema (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

(34)

disarankan bahwa madu akan mengaktifkan plasmin yang akan memecahkan ikatan jaringan nekrotik pada dasar luka.

4. Mendukung lingkungan luka yang lembab: Karena aktifitas osmotik madu dengan menarik cairan dari jaringan sekitarnya maka akan terjadi kelembaban pada permukaan luka.

5. Menurunkan bau tak sedap: Substansi dari bau tak sedap ini terdiri dari amonia, senyawa amino dan sulfur yang diproduksi ketika bakteri di dasar luka memetabolisme asam amino. Asam amino ini hasil dari penguraian serum dan jaringan protein pada jaringan nekrotik pada luka.

2.5.4 Aplikasi madu terhadap luka 1. Resiko dan keuntungan.

Selain seperti yang telah disebutkan diatas, kegunaan utama dari madu adalah biaya yang murah dan potensial untuk mempercepat penyembuhan luka. Resiko yang umum terjadi akibat pemakaian madu adalah rasa terbakar dan menyegat. Hal ini berhubungan dengan pH madu yang rendah. Resiko ini tidak relevan terhadap luka akibat neuropati seperti pada luka kaki diabetik karena kehilangan sensasi.

(35)

jarang. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan bakteri bersaing dengan flora norma, lingkungan yang asam, mengandung kelembaban yang tinggi dan kandungan gula kurang dari 56 %. Lagi pula, lebih dari 2000 laporan kasus penggunaan madu secara topikal dalam literatur medis belum pernah melaporkan infeksi karena spora-spora ini (Eddy, Gideonsen dan Mack, 2008).

2. Tipe madu yang dapat digunakan cara penggunaannya.

Menurut Eddy, Gideonsen dan Mack (2008) semua jenis madu dapat digunakan untuk perawatan luka. Madu dari berbagai sumber yang berbeda memiliki komponen antibakteri yang beragam pula. Misalnya seperti manuka honey atau jellybush dan jhambul honey dari India secara khusus menunjukkan kemampuan penekanan terhadap bakteri dalam uji coba in vitro. Terkadang ada juga madu yang memiliki efek toksik jika dimakan, namun untuk pemakaian luar tidak terjadi demikian.

(36)

Literatur medis melaporkan bahwa madu dapat digunakan sebanyak 1 hingga 4 kali dalam sehari. Namun tidak bukti yang mengatakan frekuensi penggantian balutan dengan madu ini. Sedangkan menurut uji coba Eddy, Gideonsen dan Mack (2008), balutan madu ini dapat diganti 2 kali sehari. Pemakaiannya dengan mengoleskan madu yang cukup untuk menutup seluruh permukaan luka dengan lapisan yang tebal pada sebuah kassa dan kemudian meletakkannya di atas luka, kemudian lekatkan lagi kassa dan membalut balutan tadi

Ada beberapa tips yang dapat dipakai saat merawat luka dengan terapi madu (Molan, 2001):

a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat yang keluar dari luka. Madu yang digunakan 20 ml pada 10 cm x 10 cm dressing

b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya madu terlarut dengan eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka, balutan dapat diganti dua kali seminggu supaya komponen antibakteri yang terkandung di dalam madu dapat terserap ke dalam jaringan luka.

(37)

luka. Hal ini tidak akan efektif untuk merangsang proses penyembuhan luka.

d. Gunakan balutan yang bersifat oklusif, yaitu menutup semua permukaan luka untuk mencegah madu meleleh keluar dari area luka.

e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparent film sebagai second dressing.

f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong), perlu lebih banyak madu untuk mencapai jaringan di dalamnya. Dasar luka harus diisi dengan madu sebelum ditutup dengan second dressing seperti kasa atau dressing pad lainnya.

g. Untuk memasukkan madu pada luka berkantong, sebaiknya gunakan kasa atau dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.

2.6 Comfort Theory.

(38)

Kenyamanan dibagi menjadi 3 tipe, yaitu relief, ease dan transcendence. Relief adalah keadaan dimana seseorang sudah memperoleh kebutuhan spesifiknya. Ease adalah keadaan seseorang yang tenang atau mencapai kepuasaan. Transcendence adalah keadaan dimana seorang individu mencapai penyelesaian masalah melebihi masalah yang ada (Kolcaba, 1991; Kolcaba, 1994).

Relief dalam penelitian ini adalah ketika seseorang telah memperoleh kebutuhan spesifiknya yaitu mendapatkan perawatan luka dengan madu. Ease dalam penelitian ini tercapai ketika seseorang telah merasakan dampak berupa kenyamanan fisik setelah dilakukan perawatan luka dengan madu, seperti terjadinya proses autolytic debridement yang berdampak terhadap penurunan jumlah eksudat dan juga bau. Transcendence dalam penelitian ini adalah ketika telah terjadinya penyembuhan luka sebagai indikator keberhasilan perawatan luka.

(39)

Konteks kenyamanan fisik dalam penelitian adalah ketika telah terjadinya autolytic debridement dengan hilangnya jaringan nekrotik sehingga menurunkan jumlah eksudat, proses infeksi ataupun bau yang tidak enak. Kenyamanan dalam konteks psikospritual merupakan dampak dari hilangnya bau atau eksudat berlebihan sehingga individu tersebut meningkat harga dirinya atau citra dirinya. Kenyamanan dalam konteks lingkungan merupakan dampak menurunya bau tidak sedap atau menurunnya eksudat sehingga berpengaruh terhadap respon sekitarnya. Kenyamanan dalam konteks sosial berkaitan dengan tetap berjalannya support system baik dari keluarga, teman dekat ataupun masyarakat sekitar. Gambar di bawah ini menggambarkan conceptual framework dari Teori Kenyamanan yang disusun oleh Kolcaba (1991)

Gambar 2.1 Conceptual framework comfort theory

(40)
[image:40.595.101.537.65.352.2]

Gambar 2.2 Aplikasi comfort theory pada perawatan luka dengan madu 2.7 Kerangka Konsep

Keterangan:

= Diteliti, = Tidak diteliti Gambar 2.3 Kerangka konsep.

Outcome measure sebelum tindakan Outcome measure setelah tindakan

Terapi madu Pemisahan dan

pemecahan protein di jaringan nekrotik Stimulasi makrofag Stimulasi prostease Stimulasi kolagenase Autolytic debridement Skala kenyamanan sebelum tindakan Skala kenyamanan setelah tindakan Luka kaki diabetik Luka kaki diabetik IMT Kadar glukosa Usia Perawatan luka dengan madu Dampak Moisture balance Aktifitas makrofag

Stimulasi kolagenase dan protease

Pemisahan dan pemecahan protein di jaringan nekrotik

[image:40.595.99.544.405.730.2]

Gambar

Tabel 2.1 Wound bed preparation sesuai dengan prinsip TIME
Tabel. 2.2 Pemilihan tipe dan metode debridement
Gambar 2.2 Aplikasi comfort theory pada perawatan luka dengan madu

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2013/2014 yaitu bulan Maret sampai April 2014. Penelitian pendidikan mengacu pada kalender akademik dan jadwal

(1) Disamping apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dianggap perlu,bahwa Warga Negara Indonesia atau Asing yang telah berjasa luar biasa dalam lapangan kemajuan

[r]

35 tumpukan kompos terdiri dari 7 hari pembuangan limbah organik pasar tradisional, per harinya ada 5 tumpukan kompos, kandungan N-total dari kompos yang dihasilkan lebih rendah

(*) tabel diatas hanya catatan hajatan dengan hiburan, hajatan tanpa hiburan tidak perlu meminta ijin ke desa, cukup sampai di Rw/Dusun saja.. Namun demikian, menurut informasi

Hasil penelitian Ryff dan Singer (1996) menunjukkan bahwa dibandingkan pria, wanita dari segala usia menilai dirinya lebih tinggi dalam hal memiliki hubungan