Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh:
A. Saiful Mu’minin
NIM: 109051000166
PRODI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
1. Skripsi ini merupakan hasilkarya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
marepakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sangsi yang beralku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
Jakarta, 2 April 2014
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil alamin, puji serta syukur kehadirat Allah SWT. berkat
nikmat-Nya yang tidak terhingga sehingga karya sederhana ini dapat terselesaikan
dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, berserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang setia hingga
akhir zaman.
Peneliti sangat ingin berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi dan mengajarkan penulis banyak hal.
Ucapan terimakasih tersebut terutama penulis haturkan bagi:
1. Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi. Bapak Dr. Suparto, M.Ed, M.A, Pudek I, Bapak Drs. Jumroni, M.Si,
Pudek II dan juga Bapak Drs.Sunandar, M.Ag, Pudek III.
2. Bapak Rachmat Baihaky, MA, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam,
dan Ibu Umi Musyarrofah, MA, Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
3. Ibu Siti Napsiyah, M.SW, Dosen Penasehat Akademik KPI E angkatan 2009,
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan proposal skripsi.
4. Siti Nurbaya, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktunya untuk membimbing peneliti dan memberikan masukan-masukan dalam
iii
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik
serta memberikan beragam ilmu sehingga peneliti menjadi manusia yang lebih
baik. Semoga ilmu-ilmu pada Dosen dibalas dengan pahala yang tak terhingga.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
membantu peneliti dalam hal administrasi selama perkuliahan dan penelitian
skripsi ini.
7. Orang tua tercinta Ayahanda Ahmad Nurhayat, Ibunda Roinah, sumber semangat,
atas dukungan dan kepercayaannya, sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi
ini dengan semangat. Kiranya peneliti tidak bisa membalas rasa cinta dan jerih
payah beliau dengan karya apapun, tetapi peneliti yakin dengan selesainya tugas
akhir ini bisa membuat mereka bangga terhadap anak laki-lakinya. Semoga ini
menjadi awal semangat untuk adai-adik saya, Musdhalifah yang sedang
menghadapi UN semoga lulus 100%, Hanif Amrullah semoga menjadi suksesi
kakaknya dalam mengarungi pendidikan dunia dan agama, putri kecil Zahwa
Aisyah, Kamilatul lailiyah, Tiara maharani, bagi penulis mereka adalah sumber
semngat
8. Kakek dan Nenek tercinta, Saudara-saudari kami lik Rikayah, lik Ulfatun, mang
Muhyidin, mang Khotimin, kang topic dan saudara-saudari yang tidak bisa tulis
satu persatu namanya, yang selalu bisa membuat peneliti menyadari jika bahagia
itu sederhana.
9. Permai-Ayu DKI Jakarta yang telah memberikan banyak pengalaman khususnya
dalam berorganisasi. Indrawan dan Indrawati, seluruh keluarga besar Permai-Ayu
iv
10.Sugawan/sugawati KMSGD Jakarta sebagai tempat berdiskusi dan berbagi
pengalaman dalm organisasi.
11.Teman-teman KPI angkatan 2009, khususnya kelas KPI E, Sadam, Ruli, Oki,
adharu dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga ini
menjadi awal kita untuk berkarya.
12.Teman-teman KKN PENA, Pintar, Edukatif, Nasionalis, dan agamis yang telah
memberikan kenangan dan kerja keras semmoga ilmu kita bermanfaat. Dan pihak
yang telah membantu suksesi program kami.
13.Terakhir, penulis mengucapkan terimaksih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Pada akhirnya dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap semoga karya
sederhana ini dapat bagi penulis dan pembaca. Dan semoga Allah SWT membalas
jasa baik yang telah diberikan dari berbagai pihak kepada penulis selama pembuatan
skripsi ini, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin yarabbal alamin.
Jakarta, 2 April 2014
v
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode penelitian ... 8
F. Kelemahan Penelitian ... 10
G. Tinjauan Pustaka ... 10
H. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II KAJIAN TEORI 1.1. Tinjauan Umum Tentang Film ... 13
1. Pengertian film ... 13
7. Unsur-unsur Pembentukan Film ... 25
vi
c. Metode Dakwah dengan hati ... 44
4. Film sebagai media dakwah ... 48
2.3. Analisis Semiotika ... 52
1. Konsep Semiotika ... 52
2. Konsep Semiotika Roland barthes ... 55
BAB III GAMBARAN UMUM 1. Sinopsis Cerita Film Hafalan Shalat Delisa ... 60
2. Pemain dalam Film Hafalan Shalat Delisa ... 63
3. Profil Film Hafalan Shalat Delisa ... 68
BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISIS DATA 1. Semiotika Film Hafalan Shalat Delisa... 74
2. Analisis Kontruksi Pesan Dakwah dalam Film Hafalan Shalat Delisa ... 98
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan dan Saran ... 103
2. Kesimpulan ... 103
3. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari
komunikasi. Komunikasi merupakan aktifitas dasar manusia dan menjadi bagian
yang sangat penting sebagai sarana interaksi satu sama lain. Era globalisasi saat
ini membuat masyarakat menjadi ketergantungan dengan media komunikasi.
Bahkan dalam sebuah riset mengatakan, maju tidaknya suatu negara ditandai
dengan penggunaan media komunikasi di negara tersebut. Media komunikasi
yang digunakan dalam hal ini adalah media massa baik itu media cetak maupun
elektronik.
Media massa sendiri merupakan sarana penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan dalam jumlah yang besar. Pesan sendiri dapat
berbentuk komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Dan pesan verbal yang
sering digunakan manusia dalam berkomunikasi baik melalui lisan maupun
tulisan. Komunikan dapat leluasa memilih bentuk pesan dan melalui media apa
pesan tersebut akan disampaikan.
Pada mulanya film merupakan salah satu bentuk media massa yang
dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan
dikala penat menghadapi aktifitas hidup sehari-hari1 Sejak saat itu, pertunjukan
film telah menjadi saluran pelarian dari masyarakat yang telah bekerja, terutama
didaerah perkotaan. Pada perkembangan selanjutnya film mulai beralih fungsi
1
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan masyarakat tetapi juga
menjadi wahana penerangan, edukasi dan transformasi nilai.2
Sebagai transformasi nilai film yang hadir dengan tampilan audiovisual
memberikan kesan tersendiri bagi penontonya, tampilan audiovisual berpengaruh
besar terhadap transformasi nilai baru bagi penontonya. Ditengah begitu derasnya
film-film yang miskin akan nilai trasedental dalam masyarakat, muncul beberapa
film yang serat dengan nilai yang memberikan kritik sosial.
Dakwah pada hakekatnya merupakan aktualisasi imani yang
dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia untuk mengikuti
(menjalankan) ajaran Islam melalui usaha mempengaruhi cara merasa, berfikir,
bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dalam rangka
mengusahakan terwujudnya ajaran islam dalam semua segi kehidupan dengan
menggunakan cara tertentu.3 Dalam era globalisasi sekarang ini, di mana alat-alat
elektronik semakin canggih, informasi masuk begitu cepat dan serba instan,
sehingga proses penyampaian Dakwah perlu menggunakan media penunjang
untuk mempermudah dalam penyampaian pesan dakwah kepada sasaran dakwah.
Media dakwah yang saat ini perlu dikembangkan adalah penggunaan
media elektronik, seperti, radio, Tv, film dan lain sebagainya. Melalui media
tersebut, pesan dakwah dapat disiarkan langsung atau melalui rekaman kaset
audio video atau audio visual, agar tujuan dakwah dapat tercapai secara efektif
dan efesien. Film diproduksi untuk memberikan hiburan, informasi edukasi, dan
2 Aep Kusnawan,
Komunikasi Penyiaran Islam, (bandung: Benang Merah Press, 2004), h.94.
3
persuasi kepada pemirsa. Hal ini sesuai dengan misi perfilman bahwa film
digunakan sebagai media edukatif untuk pembinaan masyarakat.4 Kelebihan
film sebagai media dakwah dapat dilihat dari segi sifatnya, audio visual yaitu
alat-alat yang dapat dioperasikan sebagai sarana penunjang untuk menyampaikan
pesan dakwah yang bisa di dengar sekaligus di lihat.5 Menilai film mempunyai
beberapa keunikan yaitu: Secara psikologis, penyuguhan secara hidup dan
tampak yang dapat berlanjut dengan animation (kegembiraan) memiliki
kecenderungan yang unik dalam keunggulan daya efektifnya terhadap penonton.
Media film yang menyuguhkan pesan hidup dapat mengurangi keraguan apa yang
disuguhkan (makna dari pesan itu sendiri) sehingga lebih mudah diingat dan
mengurangi kelupaan.
Kelebihan media film di atas menimbulkan adanya ketertarikan para
siniman muslim untuk menggunakannya sebagai sarana dakwah Islam. Perpaduan
antara kegiatan dakwah dan pemanfaatan film sebagai media diharapkan dakwah
Islam dapat diterima oleh masyarakat secara lebih luas dan menarik. Sehingga
muncul berbagai film dakwah. Film dakwah atau film Islam adalah film yang di
dalamnya mengandung nilai-nilai Islami, tidak harus dengan menayangkan
ayat-ayat Alqur’an, tetapi menggunakan pesan-pesan dan perilaku kehidupan
yang bernuansa dakwah.
Onong Effendi Uchjana, Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologi,( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), h. 212.
5 Moh . Aziz Ali,
menjauhkan kita kepada Allah). 6Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam
Al-Qur’an surat Ali Imron 104:
Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mecegah dari yang
munkar , merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S Ali Imron 104).
Film Hafalan Shalat Delisa merupakan film dengan latar belakang
ajaran Islam merupakan ajaran Rahmat Lil Al-Alamin, karena Islam sifatnya
mengayomi, melindungi, membuat damai, tidak mengekang, dan tidak membuat
takut. Film akan menjadi semakin penting sebagai media yang dapat
menyampaikan gambaran mengenai budaya muslim dalam rangka untuk
menghindari benturan dengan budaya dan peradaban lain. Sedangkan
pengkajian fotografi akan berpengaruh pada sudut-sudut pengambilan gambar
yang berefek kepada makna. Sementara pengkajian semiotika dipergunakan untuk
mendapatkan kedalaman makna sebuah realitas dan kemudian direduksi dalam
film. Sebab, pada dasarnya film adalah realitas yang didramatisir.7
Film Hafalan Shalat Delisa menceritakan tentang seorang gadis kecil,
bernama Delisa yang tinggal di sebuah desa kecil di pantai Aceh. Dia merupakan
anak bungsu dari empat bersaudara yaitu Fatimah, Aisyah dan Zahra dari keluarga
Abi Usman dan Ummi. Delisa sangat dekat dengan ibunya (Ummi) serta ketiga
6
Miftah Rakhmat, Catatan Kang Jalal, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 24. 7
kakaknya. Film ini diawali dengan sebuah cerita pada tanggal 26 Desember 2004.
Delisa bersama Ummi sedang bersiap untuk mengikuti ujian praktek shalat di
sekolahnya dan ketika itu juga tiba-tiba terjadi gempa. Gempa yang cukup besar
membuat ibu dan kakak-kakak Delisa ketakutan. Tiba-tiba Tsunami menghantam,
menggulung desa kecil mereka, sekolah mereka, dan tubuh kecil Delisa serta
ratusan ribu orang lainnya di Aceh dan berbagai pelosok pantai di Asia Tenggara
juga terhantam oleh Tsunami. Delisa berhasil diselamatkan oleh Prajurit Smith
salah satu relawan yang menolong bencana Tsunami. Selama dua hari Delisa
pingsan di cadas bukit dengan luka dikaki. Sayangnya, luka tersebut
mengakibatkan kaki kanan Delisa harus diamputasi. Penderitaan Delisa
menarik iba banyak orang. Prajurit Smith sempat ingin mengadopsi Delisa bila
dia hidup sebatang kara, tetapi Abi Usman berhasil menemukan Delisa.
Film Hafalan Shalat Delisa adalah sebuah film yang mengandung makna
besar dibalik bencana Tsunami yang di rasakan Delisa anak berusia 7 tahun. Dia
kehilangan keluarga, ibu, dan sebelah kakinya. Film ini memuat kisah tentang
keiklasan, kesabaran, dan kekuatan yang ditunjukkan oleh seorang anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis
tertarik untuk meneliti dan melaporkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Konstruksi Simbolik Dakwah bil-hal dalam Film hafalan Shalat Delisa”
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka
penulis membatasi penelitian Konstruksi Dakwah bil-hal pada film Hafalan
Shalat Delisa.
2. Rumusan Msalah
Berdasaran batasan masalah yang telah dipaparkan maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut: Bagaimana Konstruksi Dakwah bil-hal
dalam Film hafalan Shalat Delisa.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan
bagaimana Konstruksi Dakwah bil-hal dalam Film hafalan Shalat Delisa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu komunikasi, serta sebagai pengembangan tambahan referensi bahan
pustaka, khususnya penelitian tentang analisis dengan minat dalam kajian
dakwah melalui film dan semiotika, dalam penelitian ini bagaimana
2. Manfaat Praktis
Menumbuhkan pemahaman tentang arti penting sebuah film, tidak
hanya dari pesannya saja melainkan makna yang tersirat dibalik tanda
pesan film. Terutama pesan dakwah dalam film.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan kajian semiotika Roland Barthes,
penelitian ini bersifat kualitatif. Pendekatan menggunakan konsep
mythologies atau mitos. Roland Barthes menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara
konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Konsep pemikiran Barthes yang dikenal dengan Tatanan
Pertandaan (Order of Signification).
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Film Hafalan Shalat Delisa,
sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah Pesan Dakwah Bil-hal
dalam Film Hafalan Shalat Delisa.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh dari rekaman video original
visual atau gambar dari potongan-potongan adegan (scene) yang
diperlukan untuk penelitian.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur. Literatur yang
mendukung data primer, seperti kamus, internet, artikel Koran, buku-buku
yang berhubungan dengan Film, Dakwah Bil-hal, Dakwah melaui Film,
catatan kuliah dan sebagainya.
4. Teknik penelitian
Teknik penelitian ini terdiri atas dua, yaitu:
a. Observasi teks dengan melakukan pengamatan8 secara langsung dan
tidak terikat terhadap objek penelitian dan unit analisis dengan cara
menonton dan mengamati teliti dialog-dialog, serta adegan-adegan dalam
film Hafalan Shalat Delisa. Kemudian mencatat, memilih dan
menganalisanya sesuai dengan model penelitian yang digunakan.
b. Studi komunikasi (document research), yaitu penulis mengumpulkan
data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur yang relevensinya
dengan materi penelitian untuk selanjutnya dijadikan bahan argumentasi,
seperti DVD film, arsip, majalah, surat kabar, catatan perkuliahan, internet
dan lain-lain.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis semiotika
model Rolland Barthes, membuat sebuah model sitematis dalam
8
menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih
tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap. Signifikasi tahap
pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi,yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Sedangkan signifikasi kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth).9
F. Kelemahan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti akui banyak kekurangan, kelemahan
dalam penulisan, kurang mendalam dalam melakukan analisis, dikarenakan
berbagai aspek yang kurang mendukung dan juga tidak mendapatkan respon
positif atas surat izin riset yang peneliti ajukan. sulitnya akses masuk menuju
Production house.
G. Tinjauan Pustaka
Adapun skripsi lain yang menjadi acuan penulis yaitu skripsi berjudul
ANALISIS SEMIOTIK FILM CIN(T)A KARYA SAMMARIA
SIMANJUNTAK yang merupakan hasil penelitian mahasiswa Komunikasi
Penyiaran Islam (KPI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nurlaelatul Fajriah.
9
M. Fikri Ghazali. NIM : 206051003915 Analisis semiotik terhadap film 3
DOA 3 CINTA Penulis menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan
semiotik yang dikembangkan oleh pemikir Perancis, Roland Barthes. Pendekatan
semiotik ala Roland Barthes ini memberi titik tekan pada makna denotatif,
konotatif.
Walaupun dalam penelitian ini penulis berkiblat pada skripsi di atas, tetap
penelitian yang dilakukan penulis berbeda. Objek penelitian penulis adalah segala
sesuatu yg berhubungan dengan dakwah dalam film, dengan menggunakan
pendekatan analisis semiotika Roland Barthes. Film ini sengaja diambil penulis
karena belum banyak mahasiswa yang meneliti Film ini. Sehingga, penelitian
yang penulis lakukan diharapkan dapat menambah referensi penelitian film. Film
ini yang akan penulis teliti ini diangkat dari novel dengan judul yang sama.
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai
Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masala, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kajian Teor,
Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN TEORI : Pada bab ini penulis akan menguraikan Film yang
terdiri dari Pengertian Film, Fungsi Film, Jenis-jenis Film, Sejarah Film,
Komunikasi dalam film, Film dalam kajian analisis semiotika. Dakwah yang terdi
dari Pengertian dakwah, Metode Dakwah, Film sebagai media dakwah dan
Analisis Semiotik yang terdiri dariDefinisi Analisis Semiotika, Konsep Semiotika
BAB III GAMBARAN UMUM : Dalam bab ini penulis akan memaparkan
mengenai Sinopsis Cerita Film Hafalan Shalat Delisa dan Pemain dalam film
Hafalan Shalat Delisa.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA : Dalam bab ini, penulis membahas
tentang Representasi Dakwah dalam Film Hafalan Shalat Delisa Kajian Semiotika
Rolland Barthes dan Analisis Pesan Dakwah dalam Film Hafalan Shalat Delisa.
BAB V PENUTUP : Bab terakhir ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berati panggilan,
ajakan, atau seruan. Dalam ilmu tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk
isim masdar sedangkan bentuk fi’il-nya adalah yang berarti
memanggil, mengajak, atau menyeru. Menurut Awaludin Pimay, secara
etimologis kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata yad’u (fi’il
mudhari) dan da’a (fi’il madhi) yang artinya adalah memanggil, mengundang,
mengajak, menyeru, mendorong. Kata dakwah dirujukan pada ayat-ayat
Al-Qur’an yang didalamnya menggunakan kata dakwah (Sulthon, 2003: 4), yaitu:
Al-Qur’an surat Ali imron ayat 104.
Artinya: ”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mecegah dari yang
Al-Qur’an surat Yunus ayat 25.
Artinya: “Allah menyeru / mengajak menuju ke Negara yang selamat”. Dan
menunjuki orang orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus.
Secara terminologi, pengertian dakwah tidak ditunjukkan secara
eksplisit oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu, umat Islam memiliki
kebebasan merujuk perilaku tertentu yang intinya adalah mengajak kepada
kebaikan dan melaksanakan ajaran Islam sebagai kegiatan dakwah. Dalam
kaitan dengan itu, maka muncullah beberapa definisi dakwah Sebagai
berikut:
Syekh Ali Makhfud dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin,
mengatakan dakwah adalah “ mendorong manusia untuk berbuat kebajikan
dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan
mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat” Toha Yahya Oemar, mengatakan bahwa dakwah adalah:
“Mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka dunia
dan akhirat” Esensi dakwah adalah segala bentuk aktivitas penyampaian
ajaran Islam kepada orang lain dengan berbagai cara yang bijaksana untuk
terciptanya individu dan masyarakat yang menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dalam semua lapangan kehidupan.
Dari definisi dakwah tersebut, dalam penelitian ini definisi yang
Islam kepada orang lain dengan berbagai cara yang bijaksana untuk
terciptanya individu dan masyarakat agar menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dan menjauhi larangannya dalam semua lapangan kehidupan
agar memperoleh kehidupan dunia dan akhirat.
2. Dasar Hukum Dakwah
Dakwah merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim. Kewajiban ini sudah tercermin dari
konsep amar ma’ruf nahi munkar yakni perintah mengajak masyarakat
melakukan kebaikan sekaligus mengajak mereka untuk meninggalkan dan
menjauhkan diri dari kejahatan. Dakwah hukumnya adalah wajib dengan
dasar-dasar yang termaktub dalam firman Allah dan Hadits Nabi. Allah
berfirman dalam al- Qur’an: Perintah berdakwah yang ditujukan kepada para
utusan Allah tercantum dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 67:
Artinya: Hai Rasul sampaikan lah apa yang diturunkan kepadamu dari
tuhanmu. Dan jika kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
Perintah dakwah yang ditujukan kepada umat Islam secara umum
tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125:
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan berbantahlah kepada mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.
3. Metode Dakwah
Pengertian metode dakwah sebagai mana telah diungkapkan
terdahulu adalah metode yang dilalui seorang da’i dalam menyampaikan
dakwahnya atau metode yang dipakai dalam penerapan pendekatan
dakwah. Secara etimologis dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da’a,
yang diartikan sebagai mengajak/menyeru.10 Setelah mendata seluruh kata
dakwah dapat didefinisikan bahwa dakwah Islam adalah sebagai kegiatan
mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah
untuk meniti jalan Allah dan istiqoamah dijalaNya serta berjuang bersama
meninggikan agama Allah. Oleh karena itu, secara terminologis pengertian
10
dakwah dimaknai dari aspek positif ajakan tersebut, yaitu ajakan kepada
kebaikan dan keselamatan dunia akhirat.
Metode dakwah adalah cara mencapai tujuan dakwah, untuk
mendapatkan gambaran tentang prinsip-prinsip metode dakwah harus
mencermati firman Allah Swt: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. (Q.S. An-Nahl 16: 125)
Dari ayat tersebut dapat difahami prinsip umum tentang metode
dakwah Islam yang menekankan ada tiga prinsip umum metode dakwah
yaitu ; Metode hikmah, metode mau’izah khasanah, meode mujadalah
billati hia ahsan, banyak penafsiran para Ulama “terhadap tiga prinsip
metode tersebut antara lain :
1. Metode hikmah menurut Syeh Mustafa Al-Maroghi dalam tafsirnya
mengatakan bahwa hikmah yaitu; Perkataan yang jelas dan tegas
disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran, dan dapat
menghilangkan keragu-raguan.
2. Metode mau‟izah khasanah menurut Ibnu Syayyidiqi adalah memberi
ingat kepada orang lain dengan pahala dan siksa yang dapat
menaklukkan hati.
3. Metode mujadalah dengan sebaik-baiknya menurut Imam Ghazali
dalam kitabnya Ikhya Ulumuddin menegaskan agar orang-orang yang
melakukan tukar fikiran itu tidak beranggapan bahwa yang satu
sebagai lawan bagi yang lainnya, tetapi mereka harus menganggap
saling tolong-menolong dalam mencapai kebenaran. Demikianlah
antara lain pendapat sebagaian Mufassirin tentang tiga prinsip metode
tersebut.
Imam Muslis berkata “Siapa di antara kamu melihat kemunkaran,
ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya,
jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah
selemah-lemah iman. (H.R. Muslim).
Dari arti hadist tersebut terdapat tiga tahapan metode yaitu ;
1. Metode dakwah bil-hal
Dakwah bil hal merupakan dakwah yang lebih menekankan
pada perbuatan nyata, bukan hanya sekedar “slogan” untuk
melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar saja. Dakwah ini akan
menjadi efektif jika komunikator (mubaligh) mampu menunjukan
perbuatannya terhadap kata-kata yang disampaikan kepada
komunikan (mad’u).
2. Metode dakwah dengan lisan (billisan)
Dakwah bil lisan merupakan sistem dakwah yang dilakukan
melalui ceramah, khutbah dan lain sebagainya. Dakwah bil lisan
adalah proses penyampaian informasi melalui lisan, kajian yang
dilakukan merupakan ibadah praktis, konteks kajian terprogram
disampaikan dengan metode dialog. Dengan menggunakan
kata-kata yang lemah lembut, yang dapat difahami oleh mad’u, bukan
dengan kata-kata yang keras danmenyakitkan hati.
Metode dakwah dengan hati adalah dalam berdakwah hati
tetap ikhlas, dan tetap mencintai mad‟u dengan tulus, apabila suatu
saat mad‟u atau objek dakwah menolak pesan dakwah yang
disampaikan, mencemooh, mengejek bahkan mungkin memusuhi
dan membenci da‟I atau muballigh, maka hati da’i tetap sabar,
tidak boleh membalas dengan kebencian, tetapi sebaliknya tetap
mencintai objek, dan dengan ikhlas hati da’i hendaknya
mendo’akan objek supaya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Selain dari metode tersebut, metode yang lebih utama lagi adalah
bil uswatun hasanah, yaitu dengan memberi contoh prilaku yang baik
dalam segala hal. Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW banyak
ditentukan oleh akhlaq beliau yang sangat mulia yang dibuktikan dalam
realitas kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Seorang muballigh harus
menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehar-hari. Dakwah
merupakan kewajiban umat Islam, lebih-lebih mereka yang telah memiliki
pengetahuan agama Islam, menurut batas kemampuan masing-masing.
Dakwah adalah upaya menyampaikan ajaran agama Islam oleh seseorang
atau kelompok orang kepada seseorang atau sekelompok orang agar
mereka meyakini dan memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan
benar. Jadi dalam dakwah yang menjadi tujuan adalah perubahan
keyakinan, pengetahuan dan perilaku sasaran dakwah yang sesuai dengan
ajaran Islam.
Dakwah bil-hal sebenarnya bukanlah merupakan istilah baru dalam
maupun hadits dan juga sirah Nabi. Dari sumber-sumber tersebut
kemudian muncul penterjemahan baik dalam dataran normatif maupun
empirik. Ada beberapa pengertian tentang dakwah bil-hal. Secara harfiah
dakwah bil-hal berarti menyampaikan ajaran Islam dengan amaliah
nyata,11 dan bukan tandingan dakwah bil-lisan tetapi saling melengkapi
antara keduanya. Dalam pengertian lebih luas dakwah bil-hal,
dimaksudkan sebagai keseluruhan upaya mengajak orang secara
sendiri-sendiri maupun berkelompok untuk mengembangkan diri dan masyarakat
dalam rangka mewujudkan tatanan sosial, ekonomi dan kebutuhan yang
lebih baik menurut tuntunan Islam, yang berarti banyak menekankan pada
masalah kemasyarakatan seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan
dengan wujud amal nyata terhadap sasaran dakwah12. Sementara itu ada
juga yang menyebut dakwah bil-hal dengan istilah dakwah bil-Qudwah
yang berarti dakwah praktis dengan cara menampilkan akhlaq karimah.13
Sejalan dengan ini seperti apa yang dikatakan oleh Buya Hamka bahwa
akhlaq sebagai alat dakwah, yakni budi pekerti yang dapat dilihat orang,
bukan pada ucapan lisan yang manis serta tulisan yang memikat tetapi
dengan budi pekerti yang luhur.14
Berpijak dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa dakwah
bil-hal mempunyai peran dan kedudukan penting dalam dakwah bil-lisan.
Dakwah bil-hal bukan bermaksud mengganti maupun menjadi
11
Lihat Masdar F. Mas'udi, "Mukaddimah : Dakwah, Membela Kepentingan Siapa?",dalam Majalah Pesantren, No. 4 Vol. IV jakarta : P3M, 1987), h.2.
12
Harun Al-Rasyid dkk, Pedoman Pemerintahan Dakwah Bil-Hal, Jakarta: Depag RI, 1989), h.10.
13
Anwar Masy'ari, Butir-butir Problematika Dakwah Islamiyah,(Surabaya: Bina llnuj, 1993), h.205.
14
perpanjangan dari dakwah bil-lisan, keduanya mempunyai peran penting
dalam proses penyampaian ajaran Islam, hanya saja tetap dijaga isi
dakwah yang disampaikan secara lisan itu harus seimbang dengan
perbuatan nyata da'i.15 Dalam hal ini peran da'i akan menjadi sangat
penting, sebab da'i yang menyampaikan pesan dakwah kepada jama'ah
akan disorot oleh umat sebagai panutan. Apa yang ia katakan dan ia
lakukan akan ditiru oleh jama'ahnya. Itulah sebabnya apa yang ia katakan
harus sesuai dengan apa yang ia perbuat, jika tidak maka da'i akan menjadi
cemoohan umat dan lebih dari itu ia berdosa besar dan pada gilirannya dia
akan ditinggalkan oleh jamaahnya.
Dalam ayat lain masih banyak yang memberi kontribusi
pelaksanaan dakwah bil-hal. Di samping ayat al-Qur'an dalam hadits
Rasulullah banyak yang memberikan dasar bagi dakwah bil-hal seperti
hadits di bawah ini : "Dari Anas ra. Berkata: Tidak pernah Rasulullah saw.
dimintai sesuatu melainkan pasti ia membeilikannya. Sungguh telah
datang seorang peminta kepadanya, maka diberinya kambing yang berada
di antara dua bukit, maka ia kembali kepada kaumnya dan mengajak
mereka "Hai kaumku, segeralah kamu masuk Islam, karena Muhammad
memberi kepada seseorang yang sama sekali tidak k hawatir habis atau
menjadi miskin". Sesungguhnya dahulu orang masuk Islam karena ingin
15
dunia tetapi tidak lama kemudian tumbuh kecintaannya Islam melebihi
semua kekayaan dunia.16
Dalam hadist ini terdapat dorongan yang kuat agar kaum muslimin
membela (rnembantu) saudara-saudaranya yang lemah, dengan cara
mengetuk pintu hati setiap orang yang memiliki perasaan dan berkeinginan
baik.17 Menurut Jamaludin Al-Qasimi,18 kalimat membantu yang lemah
adalah membantu membebaskan orang muslim yang lemah dan sedang
menghadapi masalah kesulitan serta menjaganya dari ancaman musuh.
Masalah yang dihadapi berhubungan dengan kesusahan hidup baik bersifat
materi maupun non materi. Pernyataan ini diperkuat dengan pemyataan
Rasulullah dalam sebuah hadits: "Orang Islam itu bersaudara, maka
janganlah seorang Islam menganiaya saudaranya dan jangan
membiarkannya tersiksa. Barang siapa memenuhi hajat saudaranya, maka
Allah akan memenuhi hajatnya. Barang siapa yang membantu mengatasi
kesulitan orang lain maka Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitan di
hari kiamat dan siapa menutu pintu seorang muslim niscaya Allah
menutupinya dihari kiamat. Dalam hadits ini jelas sekali bahwa
membiarkan sesama muslim teraniaya adalah berdosa dan membantu
mereka keluar dari persoalan adalah ibadah yang bernilai dakwah,
Termasuk membantu saudara kita dalam mengatasi kesulitan juga
mempunyai nilai ibadah yang berkonotasi dakwah. Dalam surat al-Isra'
ayat 84 Allah berfirman : “Katakanlah Tiap-tiap orang berbuat menurut
16
Husen Madhal, Hadits II, (Yogyakarta: Fakullas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga, 1995),h. 216.
17
Al-Qur'an dan Tafsirnya, (yogyakarta: Univereitas Islam Indonesia, 1991), h.229. 18
keadaannya masing-masing maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya”.
Pesan moral yang terkandung dalam film ini juga tergolong ke
dakwah bil-hal dikarenakan dalam dakwah bil-hal juga terdapat nilai-nilai
positif. Istilah pesan dalam bahasa Inggris message berasal dari kata latin
yaitu message yang bersumber dari kata yang berarti perintah, nasehat,
permintaan, kata-kata, lambang, ide, amanat yang harus disampaikan atau
dilakukan kepada orang lain.19 Akan tetapi, pengertian pesan yang
dipaparkan di atas bersifat mendasar, dalam arti kata bahwa pesan itu
adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat pengantar yang dapat
menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif yaitu
pesan-pesan berjalan dengan struktur yang melalui komunikator dan diterima
oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan
keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain.20
Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu
efektifitas suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain
komunikator dan komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa
adanya komunikasi pesan, maka tidak pernah terjadi komunikasi yang
jelas antar manusia.21
19
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. Ke-9, h. 76.
Menurut beberapa ahli, pesan mempunyai macam-macam arti.
Pesan dapat diartikan sebagai lambang, ide, kata, atau isi pernyataan.
Menurut Hoeta Soehoet, pesan adalah isi pernyataan yaitu hasil
penggunaan akal budi yang disampaikan manusia kepada manusia lain.
Artinya berfungsi untuk mewujudkan isi pernyataan dari bentuknya yang
abstrak menjadi konkret. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan,
meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan dapat disimpulkan bahwa
pesan merupakan suatu isi pernyataan yang mendatangkan makna dan
respon tertentu. Sebenarnya suatu pesan tidak hanya sebatas menstimulasi
emosi khalayak. Pesan dapat pula dikatakan persuasif manakala
menyentuh rasio khalayak. Bahkan pesan yang disampaikan tidak hanya
menyentuh ratio khalayak tapi juga dapat mengajak khalayak untuk
menjadi sesuatu yang lebih baik.
Dengan demikian pesan akan dapat menghasilkan respon tertentu
seandainya dirancang dengan baik. Untuk itu pesan hendaknya
mengoptimalkan lambang komunikasi yang tersedia (verbal, non-verbal
dan paralinguistik) yang disesuaikan dengan topik yang dikomunikasikan.
Saluran komunikasi yang digunakan dan khalayak yang dituju. Selain itu,
pesan yang dirancang biasanya merupakan refleksi dari prilaku khalayak
yang dituju, sehingga diharapkan merupakan hasil pengkondisian dari
sumber. Dalam penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan pada khalyak
adalah pesan yang mengandung nilai-nilai moral. Pesan moral merupakan
perbuatan dan kelakuan yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada
penontonnya.
Sebagaimana tema, pesan moral hanya dapat ditangkap melalui
penafsiran cerita. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk praktis mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap,
tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sutradara atau pembuat film ini
menyampaikan semua hal tersebut di atas melalui penampilan tokoh-tokoh
cerita.
Sebenarnya yang dimaksud dengan moral menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.22 Dan menurut istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat,
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau
buruk.23
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang
mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus tidak
dilakukan. Seseorang akan bertindak dengan alasan-alasan tertentu dan
tidak dikendalikan oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus
rasional, alasannya pun harus operatif. Jadi, tidak sekedar rasional semata.
Pada intinya, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk yang
22
W.J, S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Rajawali Press, 1980), cet.II, h. 654
23
bermoral.24 Menurut pandangan Rest, moralitas mencakup makna yang
begitu luas, antara lain:
a. tingkah laku membantu orang lain
b. tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial
c. timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya
d. penalaran tentang keadilan
e. memperhatikan kepentingan orang lain.
4. Film sebagai media dakwah
Pada masa kehidupan Nabi Muhammad saw, media yang paling
banyak digunakan adalah media audiatif; yakni menyampaikan dakwah
dengan lisan. Namun tidak boleh dilupakan bahwa sikap dan perilaku Nabi
juga merupakan media dakwah secara visual yaitu dapat dilihat dan ditiru
oleh objek dakwah. Sejarah dakwah kemudian mencatat bukan hanya
perkembangan materi dan objek dakwah, melainkan juga mencari
media-media dakwah yang efektif. Ada berupa media-media visual, audiatif,
audiovisual, buku, radio, televisi, drama dan sebagainya.25 Termasuk juga
internet dan film.
Film hadir dalam bentuk penglihatan dan pendengaran. Melalui
pendengaran dan penglihatan inilah, film memberikan
pengalaman-pengalaman baru kepada para penonton. Pengalaman itu menyampaikan
24
Cheppy Haricahyono, Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Pres, 1995), h.67.
25
berbagai nuansa perasaan dan pemikiran kepada penonton. Selanjutnya,
film sebagai media komunikasi dapat berfungsi pula sebagai media
dakwah, yaitu media untuk mengajak kepada kebenaran dan kembali
menginjakkan kaki di jalan Allah. Film juga tidak terkesan menggurui.
Film mempunyai kelebihan bermain pada sisi emosional, ia mempunyai
pengaruh yang lebih tajam untuk memainkan emosi pemirsa. Berbeda
dengan buku yang memerlukan daya fikir aktif, penonton film cukup
bersikap pasif. Hal ini dikarenakan film adalah sajian siap untuk dinikmati.
film akan menjadi semakin penting sebagai media yang dapat
menyampaikan gambaran mengenai budaya muslim, paling tidak untuk
menghindari benturan dengan budaya dan peradaban lain. Dan film dapat
dijadikan sebagai duta.26
Film itu seperti diketahui merupakan salah satu acara yang
ditayangkan televisi. Terdapat beberapa pesan moral yang dapat diangkat
atau diambil maknanya dari tayangan-tayangan film yang disesuaikan
dengan alur atau jalan cerita dari isi film tersebut. Sebab film memberikan
peluang untuk terjadinya peniruan apakah itu positif ataupun negatif.
Dikarenakan dampak yang ditimbulkan lewat acara-acara film begitu besar
maka sungguh pas dan tepat jika proses dakwah pun dilakukan melalui
film-film yang bertemakan dakwah. Salah satu film yang memberikan
pesan dakwah adalah Kiamat Sudah Dekat. Salah satu fungsi film yang
ditayangkan oleh televisi yaitu sebagai alat komunikasi. Sebab komunikasi
adalah salah satu faktor yang penting bagi perkembangan hidup manusia
26
sebagai makhluk sosial. Tanpa mengadakan komunikasi individu tidak
mungkin dapat berkembang dengan normal dalam lingkungan sosialnya.
Oleh karena tak ada manusia individu yang berkembang tanpa komunikasi
dengan manusia individu yang lainnya. Sejak manusia dilahirkan, oleh
tuhan diberinya kemampuan-kemampuan dasar untuk berkomunikasi
denngan orang lain atau dengan situasi lingkungan dengan menggunakan
berbagai macam media yang salah satunya melalui acara-acara yang
ditayangkan oleh televisi.
Dengan melihat permasalahan di atas maka bisa dikatakan bahwa
komunikasi dakwah lewat film bisa mempengaruhi kondisi psikologis
pemirsa yang menyaksikannya sehingga dapat menerima ajaran-ajaran
Islam. Hal ini sesuai dengan sasaran dakwah yang menjadi tujuan dakwah
yaitu :" Amar ma'ruf nahi Munkar".27
Media komunikasi visual merupakan alat komunikasi yang dapat
digunakan dengan menggunakan indra penglihatan dalam menangkap
datanya.28 Jadi matalah yang paling berperan dalam pengembangan
dakwah. Media komunikasi yang berwujud alat yang menggunakan
penglihatan sebaai pokok persoalannya terdiri dari jenis alat komunikasi
yang sangat komplit.
Media film slide berupa rekaman gambar pada film positif yang
telah diprogram sedemikian rupa sehingga hasilnya sesuai dengan apa
yang telah diprogramkan. Drs.Slamet Muhiamin Abda dalam
27
http://elmubarok.blogspot.com/2009/12/peran-film-sebagaimediadakwah. diakses tanggal 20 Desember 2013.
28
bukunya Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah,mengatakan pengoprasian
film slide melalui proyektor film slide yang kemudian gambarnya
diprokyesikan pada screen (layar).29 Adapun kelebihah film slide antara
lain,mampu memberikan gambaran yang cukup jelas cepat kepada
audiensi tentang informasi yang disampaikan oleh seorang juru
dakwah,dan film slid dapat dipakai berulang-ulang sesuai dengan yang di
inginkan.
Film adalah salah satu media audiovisual yang merupakan salah
satu perangkat komunikasi yang dapat ditangkap baik melaui indra
pendengar, maupun penglihatan. Film sangat memikat komunikannya
karena operasionalisasi dari film itu didahului oleh adanya periapan yang
sanggat cukup matang, seperti adanya: naskah cerita, scenario,
shooting dan acting dari pemeran utama dan yang lainnya. Dakwah
melalui film memang akan lebih efektif dibandingkan dengan media
lainnya. Sebab penyajiannya dapat diatur dalam berbagai bentuk dan
variasi sehingga kesannya tidak seperti menggurui. Pengaruh dakwah
melalui film dapat dilihat sejauhmana film memberikan kesan terhadap
menonton. Selain itu, terpulang kepada penonton sejauhmana penonton
mengambil dan menaplikasikan apa yang mereka tonton.
29
B. Tinjauan Umum Tentang Konstruksi
1. Konstruksi
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat
pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan
hidup yang berbudaya modern Konstruktivisme merupakan landasan
berfikir, pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat
belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan
pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori Konstruktivisme adalah
sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin
belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini
memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri
kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan
guna mengembangkan dirinya sendiri.30
30
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang
bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang
baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini
menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih
dinamis.
Perspektif konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang
manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan,
dan bagaimana seseorang menjadi „tahu’ dan berpengetahuan, menjadi
perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya perspektif ini
mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada
absolute, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple
perspective) bukan hanya satu perspektif saja. Hal ini berarti, bahwa
pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi
dengan lingkungan dan orang lain.31
Perspektif konstruktivisme ini sering kali diperbandingkan dengan
perspektif tradisional objektivis, yang beranggapan bahwa pengetahuan
merupakan suatu objek di luar manusia, yang mempunyai sifat objektif
dengan struktur tertentu yang jelas. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam, karena
konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung
31
dari sisi mana dilihatnya. Sehingga untuk memahami perspektif
konstruktivisme dengan utuh maka perlu untuk membahas dua sisi bentuk
konstruktivisme yaitu konstruktivisme individual dan konstruktivisme
sosial.32
2. Komunikasi dalam film
Sebelum lebih dalam berfokus pada film doku-drama, perlu
dituliskan mengenai peranan film sebagai salah satu media komunikasi
massa di Indonesia. Peranan film sebagai media komunikasi massa sudah
muncul sejak berdirinya Indonesia. Namun pasca Dekrit Presiden Juli
1959, komunikasi massa mengalami massa peralihan. Peralihan yaitu
antara komunikasi massa liberalis yang ingin ditinggalkan, menuju pada
komunikasi massa sosialis yang merupakan harapan selanjutnya.
Keberadaan komunikasi massa, termasuk film, pada akhirnya terombang –
ambing. Akan tetapi, keberadaan film sebagai komunikasi massa pun
dipertegas dalam Ketetapan MPRS/ No. II/ MPRS/ 1960, yang dituliskan
bahwa film bukanlah semata – mata barang dagangan, tapi juga
merupakan alat pendidikan dan penerangan (dalam Lee, 1965: 149). Tentu
film yang diharapkan dalam MPRS ini adalah film sebagai media untuk
membentuk masyarakat Indonesia yang sosialis, seperti yang menjadi
orientasi negara.
Harapan Ketetapan MPRS agar film menjadi penggerak massa
yang mendukung pembangunan, nampaknya tidak terkabul. Masih banyak
32
film Indonesia pada masa itu yang komersil, yang merupakan sisa – sisa
faham kapitalis – liberalis. Demi mendapat keuntungan semata, kualitas
film pun rendah, tak diperhatikan oleh sang pembuat. Hakikat film sebagai
media komunikasi massa (alat penerangan dan alat pendidikan) menjadi
„kabur’.
Permasalahan ini kemudian diatasi pemerintah dengan
mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965, tentang “Pembinaan
Perfilman”. Penetapan Presiden ini mengatur tentang film, agar film
menjadi pendukung dan penyebar ideologi – ideologi negara.33 Peraturan
ini secara implisit menetapkan film agar menjadi media kampanye negara.
Tentu saja ini karena efektifnya film untuk menjangkau khalayak luas di
Indonesia.
Undang – Undang yang mengatur perfilman Indonesia saat ini pun
masih menghendaki bahwa film sebagai media komunikasi massa, yaitu
Undang – Undang RI No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman (yang
merupakan produk Orde Baru dan masih menjadi pro kontra atas
relevansinya untuk masa reformasi ini). Dalam pasal 5, dituliskan bahwa:
“Film sebagai media komunikasi massa pandang – dengar mempunyai
fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan,
dan ekonomi”. Dalam Undang – Undang ini jelas bahwa pemerintah
menginginkan film yang tidak hanya komersil, tetapi juga media
pendidikan dan media untuk mengembangkan kebudayaan bangsa
Indonesia.
33Oey Hong Lee, “Publisistik Film”
Keberadaan film sebagai media komunikasi massa, seperti yang
diharapkan oleh pemimpin terdahulu, kurang mendapat perhatian dari
pembuat – pembuat film saat ini. Film Indonesia saat ini masih seragam,
mengikuti arus yang diinginkan oleh pasar. Di dalam film tersebut, jarang
ditemukan unsur edukasi atau ajaran nilai – nilai sosial. Tahun 2007,
Indonesia penuh dengan film horor yan bisa dibilang horor tanggung.
Horor kemudian diikuti dengan komedi–seks. Dennis McQuail
berpendapat bahwa film memiliki kemampuan untuk mengantar pesan
secara unik.34 Kemampuan film inilah yang diabaikan oleh pembuat film
Indonesia kebanyakan, yang hanya mengikuti arus. Pesan – pesan yang
harusnya bisa disampaikan melalui film yang mengandung nilai estetika,
tidak dimunculkan oleh para pembuat film.
Keberadaan film sebagai media massa yang dapat mempengaruhi
pola pikir dan tingkah laku khalayak, didukung oleh beberapa teori. Teori
tersebut antara lain adalah agenda setting theory oleh Maxwell McCombs
dan Donald L. Shaw, serta teori tentang psikologi yaitu social learning
theory oleh Albert Bandura. Kedua teori ini menjelaskan tentang
hubungan linier antara film dengan khalayaknya.
Dalam hal ini, film mempunyai kemampuan untuk mengarahkan
dan menuntun perhatian masyarakat pada peristiwa tertentu. Dengan
agenda-agendanya ini, film berpotensi untuk memasukkan unsur
pendidikan, nilai sosial, pengetahuan sejarah, dan pengetahuan
kebudayaan di dalamnya. Dengan pemasukan unsur – unsur tersebut, dapat
34
membentuk pemikiran masyarakat yang kritis dan berwawasan. Laiknya
film menggunakan kelebihannya ini karena sosialisasi tentang nilai – nilai
sosial dalam kehidupan masyarakat tidak hanya tanggung jawab keluarga
dan lingkungan sekitar, tapi juga tanggung jawab dari film yang memiliki
agenda dalam penceritaannya, dan audiencedapat berpotensi untuk
mengikuti agenda media tersebut.
Pengadopsian khalayak akan agenda dalam media massa juga
terdukung dengan teori pembelajaran sosial oleh Albert Bandura. Teori
pembelajaran sosial menerangkan bahwa seseorang belajar dari peniruan
dari hasil pengamatannya. Dalam hal ini, khalayak mengkonsumsi film,
yang kemudian secara tidak langsung terjadi suatu pengamatan. Contoh
dari teori ini adalah percobaan oleh Bandura dan Walters yang
mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku
agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya
melalui film atau bahkan film kartun.
10.Film dalam kajian analisis semiotika
Film dalam kajian nalisis semiotik
Film merupakan bidang yang amat relevan bagi analisis semiotik.
Seperti yang dikemukakan Art Van Zoest, film dibangun dengan tanda –
tanda semata. Tanda – tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda
dengan tanda – tanda fotografi statis, rangkaian tanda dalam film
menciptakan imajinasi atau sistem penandaan. Pada film digunakan tanda
yang dinamis pada sebuah film merupakan ikonis bagi realitas yang
dinotasikannya.35
Analisis semiotik pada film berlangsung pada teks yang merupakan
struktur dari produksi tanda. Bagian struktur penandaan dalam film
biasanya terdapat dalam unsur tanda paling kecil, dalam film disebut
scene. Scene dalam film merupakan satuan terkecil dari struktur cerita film
atau biasa disebut alur. Alur sendiri merupakan sejumlah motif satuan –
satuan fiksional terkecil yang terstruktur sedemikian rupa sehingga mampu
mengembangkan tema serta melibatkan emosi – emosi. Sebuah alur
biasanya mempunyai fungsi estetik pula, yakni menuntun dan
mengarahkan perhatian penonton ke dalam susunan motif-motif tersebut.
Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk
hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena
sistem tanda sifatnya sangat kontekstual dan bergantung pada
pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil
pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut
berada.36
Di dalam teori semiotika, proses pemaknaan gagasan, pengetahuan
atau pesan secara fisik disebut representasi. Secara lebih tepat ini
didefinisikan sebagai penggunaan tanda – tanda untuk menampilkan ulang
sesuatu yang dicerap, diindra, dibayangkan atau dirasakan dalam bentuk
35 Miftah, Rachmat
, Teknik praktis riset komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), h. 263.
36
fisik.37 Cerita pada film tidak saja berupa refleksi dari realitas kehidupan
masyarakat yang dipindahkan ke dalam seluloid semata, film juga menjadi
media representasi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini film
menghadirkan dan membentuk kembali realitas berdasarkan kode – kode,
konvensi – konvensi dan ideologi dari kebudayaan. Menurut Stuart Hall,
seperti dikutip Budi Irawanto, film sebagai sebuah konsep representasi
memiliki beberapa definisi fungsi, yaitu menunjuk, baik pada proses
maupun produksi pemaknaan suatu tanda. Representasi juga menjadi
penghubung makna dan bahasa dengan kultur. Lebih jauh lagi, makna
dikonstruksi oleh sistem representasi dan diproduksi melalui sistem bahasa
yang fenomenanya bukan hanya melalui ungkapan–ungkapan verbal tapi
juga visual.
2.3. Analisis Semiotika
1. Konsep Semiotika
Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk
pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa
sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang
berasal dari kata Yunani semeitika yang berarti “tanda” atau “sign” dalam
bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti:
bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.38
37
Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. Ke-2, h. 128.
38
Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda.
Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan
konvensi-konsensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut berarti.39 Dalam
pengertian yang hampir sama semiotika adalah studi tentang bagaimana
bentuk-bentuk simbolik diinterprestasikan. Kajian ilmiah mengenai
pembentukan makna.40 Secara substansial, semiotika adalah kajian yang
concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi media massa pada
dasarnya adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia
simbolik.41
Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena
berkembang sejak awal abad ke-20. Memang pada abad ke-18 dan ke-19
banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah
yang berkaitan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan
pengertian semiotik.42
Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdiand de Saussure di
dalam course in general linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.43 Sedangkan semiotika tidak
39
www.wikipedia.com, arti diakses pada 22 Oktober 2013. 40
James Lull, Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj). A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. Kel-1, h. 232.
41
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet-ke-4, h. 140.
42
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 81 43
hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan
yang mengikat mereka, tanda yang berhubungan secara keseluruhan.44
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat.
Latar belakang keilmuan Saussure adalah lingustik sedangkan Peirce
adalah filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi
(semiology).45 Ada dua gagasan besar tentang tanda yang umumnya
dijadikan dasar bagi penelitian semiotika, yakni gagasan tentang tanda
menurut Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce Filsuf
sekaligus ahli logika. Beberapa konsep dasar dari pemikiran Saussure dan
juga pengikutnya, termasuk Barthes, yaitu :
a). A signifier (significant) forma atau citra tanda tersebut, misalnya:
tulisan di kertas, atau suara di udara. Atau dengan kata lain, wujud fisik
dari tanda.
b). The signified (signifie) konsep yang direpresentasikan atau konsep
mental.46
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign).
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan
44
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, h. 123. 45
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual: Metode Analisis Tanda dan Makna Pada karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2008), ke-2, h. 11
46
sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang
bermakna” atau “coretan bermakna.47
Sementara itu. Charles Sanders
Peirce, manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.48 Peirce
dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan
teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri
dari: tanda (sign), acuan tanda objek, pengguna tanda (interpertant).
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek
adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda
yang ada dibenak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang,
maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut.49
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan
di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat panyai Atlantik
di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi
Saussurean.50 Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna
yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes
47
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64. 48
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 16.
49
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Sesuatu Pengantar, h. 115 50
meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of
signification”.51
Two orders of singnification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan
pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi,
dan second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama
mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang
disebut makna denotasi.52
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antra tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang
eksplisit, langsung , dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang
di dalamnya beroperasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.53
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes :
51
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268 52
M. Atonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi, h. 56 53
Tommy, Semiotika Budaya, h. 94.
1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri
atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut
merupakan unsur material: hanya jika kita mengenal tanda “singa” barulah
konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi
mungkin.54 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar
memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah
sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semilogi Saussure,
yang berhenti pada penandanaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan
denotasi sering dijelaskan dalam isitlah tingkat representasi. Secara
ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut.55
a. Denotasi adalah interaksi antara singnifier dan signified dalam sign, dan
antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan
perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya
mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka
dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut
makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti
makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna
54
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 55