• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Syaikh Quro dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat Abad XV M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Syaikh Quro dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat Abad XV M"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Indonesia adalah tema yang menarik banyak kalangan, yaitu Sejarawan, Budayawan, Sosiolog, Antropolog dan bahkan Politisi. Persoalan masuknya Islam ke Indonesia adalah “masalah klasik” yang belum selesai di perbincangkan, persoalan ini telah mendorong para Sejarawan mengemukakan berbagai temuannya yang kemudian di kukuhkan sebagai teori.

Masuknya Islam ke wilayah Indonesia oleh MC. Rikclefs disebut sebagai “ suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas”.1 Pendapat Ricklefs itu, menurut Didin Saepudin, bisa jadi karena masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak sulit untuk disimpulkan.2 Sedangkan Menurut Ricklefs sendiri bahwa kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering sangat tidak informatif. 3 Adapun secara umum menurut Ricklefs ada dua proses mengenai penyebaran agama Islam di Indonesia. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang Asing ( Arab, India, Cina dll.) yang

1

MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Pernerjemah, Dharmono Hardjowidjono, ( Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press 2005), hal. 3.

2

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, hal. 225.

3

(2)

telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya. 4

Pengungkapan kembali berbagai temuan dan data sejarah seputar kehadiran Islam di Indonesia masih layak di kemukakan, meskipun hanya bersifat deskriptif. Dilihat dari segi kedatangan Islam, ada tiga teori besar mengenai masuknya Islam ke Nusantara atau Indonesia yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam bukunya Jaringan Ulama.

Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau

tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd (1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Sedangkan Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang di anut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai Sumber datangnya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum Muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya Orang-orang Arab “tanpa menunjuk asal di Timur-Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India.” 5

Kedua : teori yang mengatakan Islam di Indonesia atau Nusantara berasal dari India. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada 1872. Berdasarkan terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaeman,

4

Ibid. hal. 4

5

(3)

Marcopolo dan Ibnu Battuta.Ia menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Oleh karena itu Nusantara, menurut teori ini menerima Islam dari India. Sedangkan mengenai waktu pada teori tidak menyebutkan secara pasti, namun prediksi waktu yakni pada abad XII, sebagai periode yang mungkin sebagai awal Penyebaran Islam di Nusantara.

Ketiga: teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh) dikembangkan Fatimi. Dia mengutip keterangan Tome Pires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka, bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan bahwa Islam pertama kali muncul di Semenanjung Melayu. Yakni dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, lalu melalui Kanton, Pharang (Vietnam, Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurut Fatimi terjadi pada abad ke 11 M. masa ini dibuktikan dengan di temukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leren Gresik6

Masih berkaitan dengan kedatangan Islam ke Nusantara, Wan Hussein Azmi menambahkan satu lagi teori bahwa Islam datang dari Cina. Ia mengutip teori Emanuel Godinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada 1613 M. “sesungguhnya Aqidah Muhammad telah di terima di Pattani dan Pam di

6

(4)

pantai timur kemudian diterima dan dikembangkan Paramesyawara pada 1411 M.7

Sementara itu ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A. Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat perkiraan bahwa Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam Ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara. Selama ini katanya arus Islamisasi yang di kenal hanya berasal dari dua tempat yaitu Gujarat dan Timur-Tengah. “ munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan Khazanah Kesejarahan kita.”8

Sementara itu Prof . Hembing Wijayakusuma dalam kata pengantar buku Laksamana Cheng-Ho menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran, dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan dan pertanian bagi daerah yang di kunjunginya. Cheng- Ho juga memiliki peran besar dalam membentuk Masyarakat Muslim Tionghoa dan membangun hubungan diplomatik dan persahabatan antara Tiongkok dan Masyarakat Indonesia serta dengan Masyarakat dunia lainya.9.

Seiring berjalannya waktu peta penyebaran agama Islam di Indonesia Abad 15 menunjukkan jaringan yang luas hampir di seluruh pulau besar di

7

A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung : Al-Ma’rif 1993), hal. 180.

8

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah. hal. 227.

9

(5)

Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NusaTenggara, Maluku dan Papua. Keberhasilan penyebaran Islam ini selain oleh Para Ulama sendiri juga atas dukungan politik dan kekuasaan Raja / Sultan yang turut menyebarkanya. Faktor lain dari keberhasilan penyebaran Islam adalah Agama Islam yang bersifat Universal, Konprehensif dan Rahmatan lil ‘alamin.10

Di wilayah Jawa Barat penyebaran Agama Islam dirintis oleh seorang Ulama yang bernama Syaikh Mursyadatillah atau Syaikh Qurotul’ai, (Syaikh Hasanudin).11 Syaikh Quro merupakan tokoh penting penyebar agama Islam di Jawa Barat, karena sebelumnya wilayah Jawa barat berada dalam kerajaan Hindu Tarumanagara (395-628 M), Sunda dan Galuh (628-1357 M), Pajajaran Pakuan (1357-1521 M). kerajaan Sumedanglarang (1580-1608 M) 12

Syaikh Quro adalah putra Ulama besar Mekah yang menyebarkan Agama Islam di Campa (Kamboja). Ayahnya bernama Syaikh Yusuf Siddik, seorang ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaludin serta Syaikh Jalaludin Ulama besar Mekah, bahkan menurut sumber lainnya garis keturunannya itu sampai kepada Syayidina Hussen bin Syaidina Ali ra. Dan Siti Fatimah Rasulullah SAW.13

Pada tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan Laksamana Sam Po Bo untuk memimpin Armada Angkatan Lautnya dan

10

Fauzan Al- Anshari, Garis-Garis Besar Syariat Islam, (Jakarta : Khairul Bayan 2003), Cet ke 1, hal. 3.

11

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab, Karawang, di Karawang, 21 Desember. 2010

12

Yunus Suherman, Sejarah Perntisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda, , (Bandung Pustaka 1995, . Cet, ke-2, hal . 5-15.

13

(6)

mengerahkan 63 buah kapal dengan prajuritnya yang berjumlah hampir 27.800 orang untuk menjalin persahabatan dengan Kesultanan Islam. Dalam rombongan Armada Angkatan laut Tiongkok itu di ikut sertakan Syaikh Hasanuddin atau Syaikh Quro dari Campa untuk mengajar agama Islam di kesultanan Malaka.14

Setelah Syaikh Quro menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga, Pesambangan dan Japura melalui Pelabuhan Muara Jati,Cirebon untuk menyebarkan agama Islam. Pada waktu itu Jawa Barat masih di kuasai Negeri Padjajaran yang masih menganut Agama Hindu, Raja Padjajaran bernama Prabu Anggalarang rupanya mencemaskan kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan Syaikh Quro, Sehingga dimintanya agar penyebaran Agama Islam yang di lakukan Syaikh Quro di hentikan. Perintah itu di patuhi oleh Syaikh Quro lalu beliaupun kembali lagi ke Malaka.15

Beberapa waktu kemudian Syaikh Quro membulatkan tekadnya untuk kembali ke wilayah kerajaan Hindu Pajajaran. Perjalanan Rombongan Syaikh Quro melewati laut Jawa kemudian memasuki Muara Kali Citarum yang pada waktu itu Muara Citarum ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang keluar masuk wilayah Pajajaran. Selesai menelusuri kali Citarum ini akhirnya rombongan Perahu Syaikh Quro singgah di Pura Dalem atau Pelabuhan Karawang. Kedatangan Ulama Besar ini diterima baik oleh petugas pelabuhan

14

Atja. Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Bandung : Proyek Permuseuman, Jawa Barat, 1986, hal. 31. Laksamana Te-Ho kemungkinan adalah Laksamana Cheng-Te-Ho yang di sertai Ma-Huan dan Feh- Tsin, keduanya pandai berbhasa Arab dan telah beragama Islam.

15

(7)

Karawang dan di izinkan untuk mendirikan Musholla yang digunakan juga untuk tempat belajar mengaji dan tempat tinggal. 16

Pada masa itu daerah Karawang sebagian besar masih merupakan hutan belantara serta daerah yang di kelilingi oleh rawa-rawa. Hal ini menjadikan dasar pemberian nama Karawang, yang berasal dari Bahasa Sunda yaitu Ka-rawa-an yang memiliki arti tempat atau daerah yang berawa-rawa. Keberadaan daerah Karawang telah di kenal sejak masa kerajaan Padjajaran yang berpusat di Bogor, karena pada masa itu, Karawang merupakan satu-satunya jalur lalu lintas yang sangat penting sebagai jalur Transfortasi hubungan antara kedua Kerajaan besar yakni Kerajaan Pakuan Padjajaran dengan Kerajaan Galuh Pakuan yang berpusat di Ciamis.17

Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam menyebarkan agama Islam, beliau berjasa dalam usaha Islamisasi Pemerintahan Kerajaan Padjajaran (Raja Prabu Siliwangi) sehingga memudahkan penyebaran agama Islam di Jawa Barat.18 Selain itu peranan Sosial lainnya beliau, membangun Lembaga pendidikan yaitu Pesantren Quro yang sekarang telah berubah menjadi Masjid Agung Karawang19 adapun peranan dalam hal Keagamaan yakni Syaikh Quro menyebarkan dakwah Islam kepada Masyarakat Jawa Barat, sehingga merubah

16

Ibid., hal 5

17

Pemda Karawang, Sejarah Singkat Hari jadi Kabupaten Karawang berikut Silsilah dan Urutan para Bupatinya, 2009, ha.l 3-4.

18

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab, Karawang, Karawang, 21 Desember 2010.

19

(8)

keyakinan mereka dari Masyarakat yang berkeyakinan Hindu dan Budha menjadi Masyarakat yang Islami.20

Pengungkapan sejarah peranan Sosial Ulama dalam perjalanan menyebarkan agama Islam di Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat Abad XV merupakan hal yang langka. maka perlu suatu pengungkapan sejarah, atau usaha untuk merekontruksi masa silam sebagai suatu ingatan kolektif.

Ahli Sejarah Ahmad Mansur Suryanegara mengatakan bahwa menoleh kembali ke masa lalu,bertujuan untuk memahami masa yang akan datang, yang merupakan tiga dimensi waktu yang selalu berkaitan dan akan menemukan informasi pengalaman yang lebih teruji.21

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis akan mencoba untuk membahas dan meneliti tentang Peranan Syaikh Quro (Hasanudin) dalam Penyebaran agama Islam yang di tuangkan dalam skripsi yang berjudul “ Peranan Syaikh Quro Dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat Abad XV M”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan pokok yang dibahas oleh penulis, ialah Peranan Syaikh Quro dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat Abad XV M. Untuk itu pelacakan atas peristiwa-peristiwa serta penjabaran permasalahan tersebut, akan dibantu melalui pertanyaan utama sebagi berikut :

2020

Wawancara pribadi. Habib Saleh, Al- Habsyi, Pengajar Sejarah/Sejarawan Kab, Karawang, Karawang, 21 Desember 2010.

21

(9)

1. Bagaimana kondisi Masyarakat Jawa Barat Sebelum datangnya agama Islam?

2. Bagaimana Sejarah awal Penyebaran agama Islam di Jawa Barat abad XV?

3. Bagaimana Peranan Syaikh Quro dalam sejarah penyebaran agama Islam di Jawa Barat?

2. Pembatasan Masalah

Banyaknya permasalahan yang telah diidentifikasi di atas, membuat penulis membatasi permasalahan hanya kepada:

1. Kondisi Masyarakat Jawa Barat Pra- Islam

2. Sejarah Awal Penyebaran Islam di Jawa Barat Abad XV

3. Peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagi berikut :

1. Secara akademis, untuk mengungkapkan Sejarah Masuk dan Berkembangnya agama Islam di Tatar Sunda abad XV sekarang wilayah Jawa Barat.

(10)

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk mengungkap Sejarah Islam di Jawa Barat yang masih belum terungkap.

2. Memberikan data mengenai Sejarah Islam di Jawa Barat kepada generasi muda khususnya karena generasi muda Jawa Barat pada umumnya tidak mengetahui Sejarah Islam daerahnya sendiri.

3. Memperkaya khazanah historiografi Indonesia.

D. Metodologi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu di tempuh melalui metode penelitian sejarah. adapun metode penelitian dalam skripsi ini meliputi teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan data yang biasa di istilahkan dengan Heuristik, Kritik, Iinterpretasi, dan Histiografi22

1. Heuristik: Proses pencarian dan pengumpulan sumber, yaitu sumber tulisan dan sumber lisan, Sumber-sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder.

2. Kritik sumber: ini dilakukan setelah sumber sejarah terkumpul, tahapan ini dilakukan untuk memperoleh keabsahan sumber, dalam hal ini yang di uji adalah keabsahan tentang keaslian sumber (otensitas) yang dilakukan melalui kritik eksteren. Sedangkan melaui kritik intern, akan di uji keabsahan tentang kesahihan sumber

22

(11)

(kredibilitas), apakah isinya sebuah pernyataan, fakta-fakta dan apakah kejadian atau peristiwanya dapat di percaya.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah atau disebut juga analisis sejarah, analisis sejarah ini bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah,

4. Historiografi: merupakan fase akhir dalam metode penelitian sejarah, yang meliputi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.

Mengacu kepada definisi Dudung Abdurahman tentang empat kegiatan dalam metode penelitian sejarah, maka penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data.

(12)

Tradisional Propinsi Jawa Barat, untuk mengetahui kondisi Masyarakat Jawa Barat Pra – Islam selain dari buku-buku. Narasumber yang kedua yakni Habib Saleh Al-Habsyi, pada tanggal 21 Desember 2010 di Karawang, beliau adalah pengajar sekaligus Sejarawan kabupaten Karawang, penulis melakukan wawancara dengan beliau untuk mengetahui sejarah dan peranan Syaikh Quro dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat abad XV. Metode sejarah lisan ini dipergunakan sebagai metode pelengkap terhadap bahan dokumenter (Buku-buku dan Naskah-naskah).

(13)

Kepurbakalaan Kesejarahan dan Nilai Tradisional, di Gedung Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat Jl. Dipati Ukur No. 48 Bandung.

Perpustakan Universitas Pajajaran. Jl. Raya Bandung- Sumedang Km. 21, Jatinangor Sumedang. Perpustakan Musium Sri Baduga. Jl. BKR. No. 185 Regol, Bandung Selatan. Selain metode Library Research, penulis juga menggunakan metode Field Research dengan mengunjugi tempat petilasan Syaikh Quro yang berada di Kp. Pulobata, Desa. Pulokalapa, Kecamatan. Lemah Abang, Kabupaten. Karawang, Propinsi Jawa Barat. juga penulis mengunjungi Masjid Agung Karawang yang konon disitulah Pesantren Quro berada yang sekarang di alih fungsikan menjadi Masjid Agung Karwang. Setelah data-data tersebut diperoleh, lalu penulis menghimpunnya, dan tentunya setelah melalui proses seleksi guna di jadikan rujukan utama dalam menulis tema yang akan dibahas.

2. Pengolahan dan Klarifikasi Data

(14)

3. Analisa dan Kritik Sumber

Setelah proses klarifikasi data dilakukan, tahap berikutnya adalah melakukan kritik sumber yakni: melalui menganalisa sumber-sumber yang didapat dengan pembacaan secara kritis, untuk kemudian dilakukan interpretasi terhadapnya, sedangkan Analisa data dilakukan secara deskriftif

4. Menyusun Data menjadi sebuah Tulisan

Setelah data-data yang sudah tersedia diproses secara akurat, melalui tahapan-tahapan di atas, maka tahap terakhir adalah menyusun data-data tersebut ke dalam sebuah kisah atau tulisan yang utuh. Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa secara umum teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada buku pedoman akademik yang di terbitkan UIN Syarf Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penulis belum menemukan begitu banyak buku yang mengupas secara khusus dan komprehensif tentang sosok Syaikh Quro dalam Perananya menyebarkan agama Islam, tetapi setidaknya penulis menemukan dua buah buku yang didalamnya terdapat pembahsan mengenai Syaikh Quro, yang pertama buku yang berjudul : Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul’ain, buku ini terbitan dari Kepala Desa setempat yang

(15)

Kabupaten. Karawang. Propinsi. Jawa Barat. buku ini hanya sedikit pembahsan tentang Syaikh Quro, karena memang buku ini adalah buku Ikhtisar sejarah Syaikh Quro, selebihnya Isi dari buku ini adalah pembahsan mengenai Doa-doa dan panduan mengenai Tawasul di tempat petilasan Syaikh Quro.

Buku yang kedua berjudul: Sejarah dan Peranan Masjid Agung Karawang dalam Pembinaan Uumat yang Beriman dan Bertakwa, buku ini

terbitan dari Dewan Keluarga Masjid Agung Karawang, dalam buku ini terdapat beberapa pembahasan mengenai sejarah Syaikh Quro dan Perjalanan Dakwah beliau, yang terdapat di bab II dalam buku ini, akan tetapi sebenarnya isi buku ini tidak secara Khusus membahas tentang Syaikh Quro, karena subtansi isi buku ini yakni mengenai sejarah dan peranan masjid Agung karawang itu sendiri.

Selain dari pada itu penulis tidak menemukan skripsi atau tesis yang membahas tentang Syaikh Quro dan peranannya dalam menyebarkan Islam, yang mana hal ini menjadi motivas tersendiri buat penulis menjadikan pembahsan tentang Syaikh Quro dan peranannya dalam menyebarkan Islam sebagai judul skripsi.

F. Landasan Teori

(16)

yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang di kaji. .23 Dengan demikian pemakaian suatu teori dalam pengkajian suatu peristiwa sejarah sangat di tentukan dari sudut mana kita memandang peristiwa tersebut. Oleh karena itu dalam Studi ini digunakan sudut pandang sosial keagamaan, maka landasan teori yang di pakai dalam penelitian ini yakni teori Sosiologi Agama dari Max Weber, yang berpendapat bahwa: Agama mempengaruhi pandangan hidup manusia terhadap masyarakat. 24 Mengacu kepada teori tersebut maka dalam ajaran agama Islam, bahwa agama dipandang sebagai pengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan baik, (fungsi akan keadilan, kedamaian, kesejahteraan Jasmani dan rohani).25 Sehingga dengan demikian Peranan Sosial Keagamaan Syekh Quro dalam penyebaran agama Islam di Jawa Barat abad XV M. merupakan peranan yang cukup signifikan dan memberikan sumbangan suatu suri teladan yang baik bagi generasi sekarang sebagai suatu metode dan saluran dalam menyebarkan agama Islam.

Peranan Syaikh Quro dalam hal keagamaan yakni Ia seorang Ulama, dimana posisi Ulama adalah sebagai pewaris Nabi dalam menyebarkan dakwah Islam, Ulama menjalankan fungsi-fungsi Kenabian, seperti Pendidik untuk menyempurnakan Akhlaq Al-Karimah di kalangan Masyarakat, berdakwah untuk mengajak orang-orang agar berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Selanjutnya Peranan Syaikh Quro dalam hal Sosial yakni Ia adalah Seorang

23

Sartono Kartodidjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, ( Jakarta: Gramedia 1993) , hal. 2.

24

Syamsudin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997), hal. 91.

25

(17)

Pendidik, karena Syaikh Quro terus berusaha menumbuhkan perasaan di kalangan Masyarakat akan pentingnya pendidikan, dan bukti kongkritnya yakni Syaikh Quro mendirikan Lembaga Pendidikan yaitu Pesantren Quro. Selain itu peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam menyebarkan agama Islam di Jawa Barat adalah implementasi ajaran agama Islam yaitu: melalui saluran Pernikahan, yang mana dalam sejarah perjalanan agama Islam di Jawa Barat , ternyata pernikahan juga merupkan perkara yang turut mempercepat proses penyebaran Islam karena disamping sebagai reproduksi keturunan juga menarik jiwa lain untuk menganut Islam.

G. Sistematika Penyusunan

Untuk mendapat gambaran dan memudahkan telaah terhadap skripsi ini penulis membagi skripsi ini ke dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan sebagaimana telah dibahas, di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penyusunan.

(18)

Bab ketiga, menjelaskan tentang Sejarah Penyebaran Islam di Jawa barat, dimana akan diawali dengan pembahsan tentang teori masuknya Islam ke Nusantara, para penyebar Islam, selanjutnya tentang sejarah awal masuknya Islam di Jawa Barat.

Bab keempat, memaparkan tentang peranan Syaikh Quro dalam menyebarkan Islam di Jawa Barat Abad 15, dimana pembahasanya diawali dari Asal usul Syaikh Quro, perjalanan penyebaran Islam Syaikh Quro, serta peranan Sosial Keagamaan Syaikh Quro dalam Penyebaran agama Islam di Jawa Barat Abad XV M.

(19)

BAB II

GAMBARAN UMUM JAWA BARAT

A. Letak Geografis Jawa Barat

Bumi Jawa Barat merupakan bagian dari Sunda Islands, yang luas wilayahnya hampir sepertiga dari Pulau Jawa, terjadi setelah munculnya Benua Asia. Sebutan Sunda Islands, maksudnya tentu saja adalah Kepulauan Sunda. Hal tersebut masih sejalan dengan peta yang di buat Portugis dan Belanda di masa silam yang membagi Nusantara menjadi dua Gugusan Kepulauan, yaitu Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda kecil.26

Jawa Barat secara Geografis terletak di antara 5°50 – 7°50 LS dan 104°48 – 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian Barat dan DKI Jakarta di Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah Barat berbatasan dengan Propinsi Banten dan Selat Sunda. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.

Kondisi Geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan Utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan Selatan berbukit-bukit

26

(20)

dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan Tengah27

Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki Alam dan Pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian. Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9 0 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.28

B. Sejarah Singkat Jawa Barat Pra Islam

Sejarah mengemukakan bahwa sejak berabad-abad lamanya di Pulau Jawa berdiri Kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama Hindu dan Budha. Meski demikian, Kerajaan yang berdasarkan agama Budha tidak ditemukan di Jawa Barat. Sedangkan Kerajaan yang berdasarkan agama Hindu yang ada di Jawa Barat telah bediri sejak Abad ke –IV atau tahun 358 M. Umumnya wilayah pemerintahnya kecil, sistem pemerintahannya masih sederhana, Raja-rajanya kurang terkenal, satu dan lainnya juga kurang erat hubungannya, serta peninggalan-peninggalannya sedikit yang bisa dilihat sampai saat ini.29

27

Pemerintah Daerah Tingkat I Prponsi Jawa Barat, Selayang Pandang Propinsi Jawa Barat, (Bappeda : 2006), Cet. Ke – 1, hal. 5.

28

Ibid., hal. 6.

29

(21)

Secara berturut-turut dibawah ini akan dipaparkan sepintas kerajaan-kerajaan Hindu tersebut:

1. Kerajaan Salakanagara, Raja yang terkenal adalah Dewawarman, tahun 130-358 M. pusat kerajaannya dekat Muara Sungai Citarum.

2. Kerajaan Tarumanegara, Raja yang pertama adalah Jayasingawarman (menantu Raja terakhir Salakanagara), tahun 358-669 M. Pusat kerajaan diperkirakan Prasaba di Sundapura (Bekasi). Raja yang terkenal adalah Mulawarman.

3. Kerajaan Kendan, tahun 526-612 M, pusat kerajaan di wilayah kecamatan Cicalengka Kabupaten Bandung, Raja yang terkenal adalah Prabu Resi Guru Manikmaya, menantu Suryawarman dari Raja Tarumanagara ke-VII. Kerajaan Kendan ini merupakan cikalbakal berdirinya kerajaan Galuh.

4. Kerajaan Galuh, tahun 612-852 M. pusat kerajaan di karang Kamulian Ciamis. Pusat kerajaan Galuh berpindah-pindah dan terakhir dekat kota kecamatan Kawali kabupaten Ciamis hingga awal abad ke-15. Didirikan oleh Wretitandayun Putra bungsu Kandihawan dari Raja Kendan terakhir.. Kandihawan bergelar Raja Resi Dewaraja yang juga adalah pembuat Sanghyang Watang Ageung berupa naskah suci yang dijadikan

undang-undang kerajaan Galuh.

(22)

Prabu Tarusbawa Darmawaskita menantu dari Raja Linggawarman Raja Tarumanegara terakhir. Dan dari Citarum ke timur adalah kerajaan Sunda Galuh, tahun 852-1333 M. Pusat kerajaan di Purabasa Pakuan Bogor, merupakan gabungan kerajaan Sunda dan Galuh, daerah kekuasaan mencangkup seluruh wilayah jawa Barat yang mempersatukan adalah Prabu Gajah Kulon (menantu Sangwelangan buyutnya Raja Manarah dari kerajaan Galuh). Prabu Gajah kulon disebut juga Rakean Wuwus.

6. Kerajaan Kawali, tahun 1333-1475 M. pusat kerajaan di kawali, Raja pertama Prabu Ajiguna Linggawisesa menantu dari Prabu Linggadewata Raja Sunda ke-28. Pada tahun 1475-1482 wilayah kerajaan kembali di bagi menjadi dua.

1. Kerajaan Sunda Pakuan. Pusat kerajaan di Pakuan, sebagai Rajanya yaitu Susuk Tunggal atau Sanghaliwungan anaknya Prabu Niskala Wastukancana dari premeswari Dwi Larasakarti. Batas wilayahnya dari sungai Citarum ke Barat.

2. Kerajaan Galuh Pakuan. Pusat kerajaan masih di Kawali, sebagai Raja adalah Prabu Dewa Niskala anaknya prabu Niskala Wastukancana dari Premeswari Putri Mayang Sari, batas wilayahnya dari sungai Citarum ke timur.

(23)

adalah Sri Baduga Maha Raja atau terkenal dengan sebutan Prabu Siliawangi. Keraton Pajajaran terkenal karena besar dan megah dinamai Sri Bima Untarayana Mandura Suradipati. Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaaan terbesar yang terakhir yang bercorak Hindu di Jawa Barat dan selanjutnya wilayah Jawa Barat masuk kedalam kekuasaan Mataram serta pengaruh Cirebon sangat mendominasi dalam penyebaran agama Islam di wilayah ini.30

C. Kondisi Sosial, Keagamaan Masyarakat Jawa Barat Pra Islam

Telah menjadi hal yang umum diketahui bahwa sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat sunda khususnya telah memiliki bentuk kepercayaan. Bentuk kepercayaan yang pertama yang mereka kenal adalah kepercayaan terhadap Roh-Roh nenek Moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap kekuatan Alam yang ada pada Benda-benda (dinamisme)31. Kepercayaan tersebut mencapai bentuk nyata pada jaman Neolithikum dan jaman perunggu-besi, pada waktu kehidupan masyarakat telah mulai menetap dan telah berlaku budaya bercocok tanam (mulai 1500 S.M.).32

Hal tersebut dapat dilihat dari peninggalan-peninggalannya berupa megalith (kebudayaan Batu besar) seperti tugu-tugu tegak (menhir), meja batu

30

Hoesein Djajadiningrat, “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cirebon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya” Dalam Masa Awal Kerajaan Cirebon, Jakarta : Bharata, 1973, hal. 23-40.

31

Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010.

32

(24)

(dolmen) kubur-kubur, dan punden yang ditemukan di beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Lebak (Banten Selatan) Salak Datar, Cangkuk, Panggujangan (Leles- Garut), Cibuntu (kuningan), dan Cirebon.33

Perihal agama Masyarakat Jawa Barat atau penduduk Kerajaan Sunda, Sri Yoeliawati dalam masuk dan berkembangnya Agama Islam di Daerah Banten dan Sekitarnya menjelaskan sebagai berikut: pada abad-abad pertama Masehi, pengaruh India (Hindu-Budha) mulai masuk Indonesia. Tanah Sunda (Jawa Barat) pun tidak terlepas dari masuknya pengaruh India tersebut. Masuknya pengaruh Hindu di Tanah Sunda mulai terungkap dengan ditemukannya beberapa prasasti peninggalan Punawarman, seorang Raja dari kerajaan Tarumanegara, di Desa Tugu, sungai Ciareuteun, Muara Cianten, Kebon kopi, Jambu (Ciampea-Bogor). Dari beberapa Prasasti dapat diketahui bahwa agama Hindu telah menjadi agama resmi kerajaan Tarumanagara (Punawarman). Prasasti Ciareuteun secara lebih jelas menyebutkan bahwa Punawarman adalah penganut agama Hindu aliran Waisnawa (menyembah Dewa Wisnu) termasuk pemujaan terhadap Surya atau

mazhab Saura.34.

Namun demikian, hal tersebut tidak serta merta berarti keseluruhan penduduk kerajaan Tarumanagara (Punawarman) memeluk agama Hindu. Dilihat dari seluruh Prasasti peninggalannya, dapat diketahui bahwa Purnawarman adalah penganut agama yang telah menyatu dengan kepercayaan pribumi. Prasasti tersebut merupakan bentuk penghormatan bagi Arwah Raja yang telah meninggal.

33

Ibid., hal. 52.

34

(25)

Kemudian penempatan Prasasti di sungai-sungai juga merupakan tradisi leluhur Masyarakat Sunda khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.35

Dari uraian tersebut dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa Waisnawa merupakan mazhab pertama agama Hindu yang berkembang di Jawa Barat. Hal tersebut di dukung dengan penemuan dua patung Wisnu Cibuaya di Karawang, yang pada saat itu termasuk dalam wilayah kerajaan Tarumanagara. Begitu juga dengan daerah-daerah lainnya seperti di Talaga dengan penemuan patung Wisnu Taraju, di indramayu dengan penemuan benda Laksmi (sakti wisnu) dari kerajaan Tarumanaga sendiri.36 Selanjutnya kerajaan Tarumanagara terpecah menjadi kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan sejak itu upacara ke- Hinduan dengan pemujaan kepada Wisnu terus mengalami pemudaran. Aliran tersebut kian di desak oleh aliran Syiwa dan Buddha (abad 14 Masehi).37

Lebih lanjut diuraikan; di Jawa Barat banyak di temukan patung-patung atau simbol-simbol pemujaan dewa Syiwa dalam berbagai bentuk sesuai fungsinya seperti Lingga-Yoni (Syiwa dan isterinya) Nandi (sapi tunggangan Syiwa), dan patung Syiwa Mahadewa. Selain itu berkembang agama Buddha. Hal itu terbukti dengan ditemukannya patung-patung Buddha dibeberapa daerah di Jawa Barat. 38

Pengaruh agama Hindu di Jawa Barat begitu kuat sehingga naskah Sewaka Dharma (kropak 408) yang juga disebut Serat Dewa Buddha (tahun 1357 Caka

35

Ali, Sedjarah Djawa Barat : Suatu Tanggapan, hal .58.

36

R. M. Eddy Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jawa Barat, DEPDIKBUD, 1977, hal. 43.

37

Saleh Danasasmita, Sejarah Jawa Barat : Rintisan Penelusuran Masa Silam Jilid ke- 3, Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi daerah Tingkat I Jawa Barat, .1983-1984, hal. 39.

38

(26)

atau 1453 Masehi), masih menyebut nama-nama dewa Hindu seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kowera, dan Indra. Carita Parahyangan juga secara jelas menyebut semangat ke- Hinduan, ditambah dengan

adanya Prasasti Sanghyang Tapak ( 1030 Caka) yang dikeluarkan oleh Sri Jayabhupati yang juga memperlihatkan pengaruh Hindu yang tertanam sejak jaman Tarumanegara pada awal abad ke-5 Masehi.39

Namun, Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 406) juga menyebut keberadaan pengaruh Hindu dan unsur ajaran Buddhisme telah bercampur dengan kepercayaan setempat, dimana masyarakat sunda lebih menjujung tinggi roh leluhur yaitu Hyang.40 Apabila Agama Orang Pajajaran telah bersendikan Hyang atau Batara Seda Niskala dan menempatkan dewa-dewa terpenting agama Hindu di bawahnya, maka itu berarti agama Hindu telah kehilangan vitalitasnya. Sisa-sisa agama itu mungkin dianggap tradisi tanpa dikaitkan lagi dengan India. Hindu sebagai agama di kukuhkan oleh Dewawarman I (730 M), akhirnya berkembang menjadi “Varietas lokal” setelah kontak keagamaan Jawa Barat – India terputus. Sejak abad ke 14 Masehi, agama tersebut telah tertelan oleh unsur - unsur asli kepercayaan penduduk.41

Uraian di atas menunjukan kepercayaan asli Masayarakat Jawa Barat Pra Islam yaitu Animisme - Dinamisme yang bercampur dengan unsur-unsur India (Hindu-Budha). Unsur leluhur masih tampak jelas sehingga Wangsakerta dan

39

Saleh Danasasmita, Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat Galunggung ( transkip dan terjemahan), Bandung : Sundanologi & Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat, Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1987, hal. 65-66.

40

Ibid., hal. 74.

41

(27)

Pleyte menyatakan bahwa pemelukan agama Hindu hanya berlaku di kalangan Keraton dan sementara rakyat banyak tetap setia kepada agama leluhurnya, yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang atau pitarapuja.42 Masuknya agama Hindu tidak mengubah tatanan sosial yang telah ada dan pengaruhnya dapat dikatakan sebagai lapisan yang sangat tipis, kemudian terjadi percampuran antara yang sudah ada dengan yang datang kemudian.43 Demikian juga benda-benda peninggalannya seperti Candi-candi, Patung-patung, Prasasti-prasasti, Ukiran-ukiran cenderung menonjolkan sifat-sifat budaya Indonesia yang dilapisi unsur Hindu-Buddha . hal itu dapat diketahui dari berbagai penemuan di Jawa, Sumatera dan Bali, atau Patung-patung corak Pajajaran yang menunjukan sifat budaya sebelum pengaruh budaya India masuk ke Indonesia.44

Pada umumnya, penduduk kerajaan pra- Islam di Indonesia menggantungkan kehidupan mereka dari Pertanian (Perladangan). Demikan juga mayoritas Masyarakat Jawa Barat pra- Islam mereka hidup dari Pertanian (Perladangan).45 Pada umumnya, manusia ladang bertempat tinggal di ladangnya masing-masing sehingga mereka hidup terpencil dari para peladang lainnya. Hal ini menyebabkan taraf kebersamaan Masyarakat ladang lebih longgar. Kehidupan di ladang akan membentuk manusia yang berwatak ladang, ciri yang paling menonjol dari Masyarakat itu ialah selalu berpindah tempat, yang secara langsung turut mempengaruhi bentuk bangunan tempat tinggal mereka. Untuk Masyarakat

42

Ibid., hal. 39.

43

Ashari, Sejarah Seni dan Budaya Jawa Barat I, 1977, hal.71.

44

Ibid., hal . 35.

45

(28)

yang selalu berpindah tempat, yang diperlukan sebagai tempat tinggal ialah bangunan yang sederhana.

Dengan memperhatikan pola hidup seperti itu, barangkali dapatlah di mengerti, apa sebabnya di daerah Jawa Barat sedikit sekali di temukan prasasti atau Naskah Sastra46, karena kebiasaan menulis bukanlah ciri utama Masyarakat ladang apalagi usaha-usaha untuk mendirikan bangunan yang tahan zaman seperti Candi atau Istana misalnya.47

Selain pertanian dan perladangan, Masyarakat Jawa Barat pra- Islam memiliki penghidupan lain yaitu Perniagaan atau Perdagangan melalui Pelabuhan. Hal tersebut terungkap dari keberadaan Masyarakat Sunda yang mengenal dasa dan Calagra serta Beya (Retribusi) yang di pungut di tempat-tempat tertentu (pelabuhan, Muara Sungai,dan tempat-tempat penyebrangan) 48

Pelabuhan-Pelabuhan yang ada di Jawa Barat pada waktu itu adalah pertama Pelabuhan Bantam Pelabuhan dagang, kedua Pelabuhan ke arah Japara

Pontang yang kurang ramai dari Banten, ketiga pelabuhan Cigede ( merupakan cabang Muara Cisadane), keempat adalah Tangerang dengan Pelabuhan yang serupa seperti Pelabuhan yang sebelumnya, kelima adalah Pelabuhan Kalapa yang bagus sekali dan pelabuhan terpenting dan terbaik dari semuanya, disinilah berlangsung perdagangan paling ramai dan kesanalah mereka semuanya berlayar dari Sumatera,Palembang, Laue (di mulut sungai Kapuas Kalimantan),

46

Wawancara pribdi, Drs. Iwa Kartiwa. Kepala Seksi. Sejarah dan Nilai Tradisional, pada Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Di Bandung, Tanggal 4 Oktober 2010.

47

Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 32.

48

(29)

Tanjungpura, Malaka, Makasar, Jawa dan Madura serta banyak tempat lain. Keenam pelabuhan Cimanuk disinilah ujung kerajaan, pelabuhan Cimanuk

memiliki perdagangan yang baik dan para orang Jawa pun berdagang disana, disamping itu pelabuhan ini merupakan sebuah kota yang besar dan bagus.49

Bagi masyarakat yang berdiam di pesisir lebih-lebih di kota pelabuhan, pada umumnya mereka menunjukan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang, yang disebabkan percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar.50 Dari pelayaran dan perdagangan dapat diketahui struktur sosial, hubungan satu dengan lain dan wibawa yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan.51

Dalam menentukan Lapisan-lapisan Masyarakat berdasarkan status sosial pada saat itu tidak mudah karena kurangnya Sumber Sejarah yang mengenai hal itu. tetapi menurut Uka Tjandrasasmita, bahwa penggolongan Masyarakat kota pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan yang becorak Islam di Indonesia dapat di bagi atas :

a. Golongan raja-raja dan keluarganya b. Golongan Elit

c. Golongan non Elit d. Golongan Budak

Penggolongan semacam ini berlaku juga di Jawa Barat, menurut Drs. Iwa Kartiwa bahwa penggolongan Masyarakat Sunda pada waktu itu terbagi atas :

49

Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda sebelum Islam, Data Naskah Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 34-35.

50

Uka Tjandrasasmita, (ed), Sejarah Nasional Indonesia, ( jakarta : Balai Pustaka, 1984), Cet. Ke 4, jilid, 3, hal. 173.

51

(30)

a. Golongan Raja

b. Golongan Pejabat atau alat Negara c. Golongan Rohaniawan dan Cendikiawan

d. Golongan Rakyat biasa (Petani yang mempunyai sawah dan Nelayan yang mempunyai perahu

e. Golongan Buruh atau kuli.52

52

(31)

BAB III

SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI JAWA BARAT

A. Teori Masuknya Islam ke Nusantara

Istilah Nusantara digunakan untuk menyebut wilayah yang sekarang di sebut Kepulauan yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam. Pada waktu itu wilayah tersebut menyatu, karena belum terbentuk Negara-negara seperti sekarang ini. Dengan demikian, bila disebutkan Islam masuk Nusantara berarti Islam masuk ke wilayah yang sekarang dalam Negara-negara Asia Tenggara.53

Masuknya Islam ke wilayah Indonesia oleh MC. Rikclefs disebut sebagai “ suatu Proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, namun juga yang paling tidak jelas”.54 Pendapat Ricklefs itu menurut Didin Saepudin, bisa jadi karena masuknya Islam ke Indonesia menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan para ahli dan telah diperdebatkan oleh para ilmuan, namun agak sulit untuk disimpulkan.55 Menurut Ricklefs kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering sangat tidak informatif. 56 Adapun secara umum menurut Ricklefs ada dua proses mengenai penyebaran agama Islam di Indonesia. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya.

53

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Mimbar Agama dan Budaya , Vol.23, No 3, 2006, hal. 225.

54

MC. Ricklefs, A History of Modern Indonesia, Pernerjemah, Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press 2005), hal. 3.

55

Didin Saepudin, Proses Islamisasi Penduduk Indonesia dalam Perspektif Sejarah, hal. 225.

56

(32)

Proses kedua, orang-orang Asing ( Arab, India, Cina dll.) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara tetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya. 57

Dalam uraian di bawah ini penulis akan mengungkapkan tiga teori tentang masuknya Islam di Indonesia yang di kemukakan oleh Azyumardi Azra di dalam buku Jaringan Ulama.

Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam langsung dari Arab, atau

tepatnya Hadramaut. Beberapa tokoh yang mengusung teori ini adalah Crawfurd (1820), keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab. Sedangkan Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir yang bermazhab Syafi’i, sama seperti yang di anut kaum Muslimin Nusantara umumnya. Teori ini juga di pegang oleh Neiman dan De Holander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir, sebagai Sumber datanganya Islam, sebab Muslim Hadramaut adalah pengikut Mazhab Syafi’i seperti juga kaum muslimin Nusantara. Sedangkan Veth hanya Orang-orang Arab “ tanpa menunjuk asal di Timur- Tengah maupun kaitannya dengan Hadramaut, Mesir atau India. 58

Sedangkan Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini diantranya adalah Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Al - Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan bahwa aspek-aspek atau karakteristik internal Islam harus menjadi perhatian

57

Ibid. hal. 4

58

(33)

penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur -unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Al –Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang di identifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang di nyatakan berasal dari India oleh sarjana barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur- Tengah atau setidaknya Persia.59

Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula dalam Seminar” Sejarah Masuk masuknya Islam di Indonesia” pada tahun 1962. bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak Abad Ke -7 dan berasal dari Arabia. Pendapat ini di dasarkan pada berita Cina yang menyebutkan bahwa pada Abad ke- 7 terdapat sekelompok orang yang di sebut Ta-shih yang bermukim di kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa ( 654/655 M) . sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab.60

Kedua, teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara dari India. Teori

ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel pada 1872. Berdasarkan terjemahan perancis tentang catatan perjalanan Sulaeman, Marcopolo, dan Ibnu battuta, Ia menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara di sebarkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu Nusantara, menurut teori ini menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam

59

Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan kebudayaan Melayu, Bandung ; Mizan, 1997, hal. 54.

60

(34)

di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukan secara menyakinkan dilihat dari segi pembawanya. namun Pijnapel mengemukakan bahwa Islam di Nusantara bersal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnapel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara di sebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakikatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. 61

Pendukung lain dari teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal disana sebagai pedagang, perantara dalam perdagangan timur tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah kata Hourgronje datang ke dunia Melayu – Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya.62 Mengenai waktu kedatangannya, Hourgronje tidak menyebutkan secara pasti . Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang yang di pandang sebagi tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke 12 sebagai periode yang paling mungkin sebagi awal penyebaran Islam di Nusantara.63

Dukungan yang cukup Argumentatif atas teori India di sampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia dengan jelas menyebutkan bahwa Gujarat sebagai Negeri

61

Alwi bin Thahrir Al- Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera, 2001, hal.83.

62

Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara, hal.40.

63

(35)

asal Islam masuk ke Nusantara. Pendapatnya di dasarkan pada argument bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara – Camabay (Gujarat) – Timur Tengah – Erofa. Argumentasi ini di perkuat dengan pengamatannya terhadap nisan makam Nusantara yang di perbandingkan dengan nisan-nisan makam di Wilayah Gujarat. Relief nisan-nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (pasai), Al –Malik al- Saleh (wafat 1297) menurut pengamatan Stutterheim bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapatdi Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.64

Teori yang di kemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette , sarjana asal Belanda. Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822 H/ 1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Camabay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut menyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India . dengan demikian Islam di Indonesia, menurutnya, bersal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini di kenal dengan “ teori batu nisan”65

Ketiga, teori yang menyatakan bahawa Islam datang dari Benggali (Kini

Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh S.Q Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan

64

Azra, Jaringan Ulama Timur- Tengah dan Nusantara, hal. 25.

65

(36)

demikian. Tome pires berpendapat bahwa kebanyakan orang-orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini dikembangkan oleh Fatimi. bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Melayu yakni dari arah timur pantai bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya terjadi pada abad ke- 11 M. Masa ini di buktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H. atau 1082 M di Leran Gresik.

Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India. Fatimi menentang keras pendapat itu, menurutnya bahwa menghubung-hubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu niasan Al-Malik Al- Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujrat. Ia berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti di datangkan dari Benggal bukan dari Gujarat. Analisis ini di pergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada pendapat Fatimi, bahwa perbedaan Mazhab Fiqih yang di anut Muslim Nusantara yaitu Mazhab Syafi’i yang berbeda dengan Mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab Fiqih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.66

66

(37)

Masih berkaitan dengan kedatangan Islam ke Nusantara, Wan Husein Azmi menambahkan satu teori lagi bahwa Islam datang dari Cina. Ia mengutip teori Emanuel Godinho de Eradie seorang ilmuan Spanyol yang menulis pada 1613 M, “ Sesungguhnya Aqidah Muhammad telah di terima di Pattani dan Pam di pantai Timur kemudian di terima dan di kembangkan Paramesywara pada 1411 M.67

Sementara itu ekspedisi Laksamana Cheng-Ho yang memasuki Nusantara menimbulkan dugaan bahwa Islam bisa di mungkinkan datang melalui Cina. A. Dahana, Guru besar studi Cina, Universitas Indonesia (UI) Depok, berpendapat perkiraan bahwa Cheng-Ho juga menyebarkan Islam dalam Ekspedisinya tidak mengada-ada. Fakta ini bisa di telusuri dari faktor Tionghoa dalam Islamisasi Asia Tenggara. Selama ini katanya arus Islamisasi yang di kenal hanya berasal dari dua tempat yaitu Gujarat dan Timur Tengah. “ munculnya teori tentang peran warga Tionghoa dalam penyebaran Islam di Nusantara merupakan proses pengayaan khazanah kesejarahan kita.”68

Prof. Hembing Wijayakusama dalam kata pengantar buku Laksamana Cheng-Ho menyatakan bahwa Cheng-Ho berjasa besar dalam penyebaran agama Islam, pembauran dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang perdagangan, dan pertanian bagi daerah yang dikunjunginya. Cheng-Ho juga lanjut Hembing, memiliki peran besar dalam membentuk Masyarakat Muslim

67

A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993, hal. 180.

68

(38)

Tionghoa dan membangun hubungan Diplomatik dan persahabatan antara Negara Tiongkok dan masyarakat Indonesia serta dengan masyarakat dunia lainnya.69

Slamet Mulyana, ahli sejarah, seperti yang di kutip Azyumardi Azra, juga menyinggung kemungkinan Islam di Nusantara “bersal dari Cina.”70 Hubungan antara Nusantara dan Cina lanjut Azra sudah terjalin sejak masa pra- Islam, sehingga meninggalkan berbagai jejak historis penting. Sumber-sumber Cina bahkan memberi informasi-informasi yang cukup penting tentang Nusantara, termasuk pada masa-masa awal kedatangan Islam di Nusantara . Riwayat perjalanan pendeta pengembara terkenal I-Tsing yang singgah di pelabuhan Sribuzza (Sriwijaya) pada 671 telah mencatat kehadiran orang-orang Arab dan Persia disana. Riwayat pengembara Chau Ju Kua juga memberitakan tentang adanya koloni Arab di Pesisir Barat Sumatera, yang paling mungkin di Barus. Sumber-sumber Cina ini sangat penting, tetapi masalahnya adalah sulitnya mengidentifikasi nama-nama (orang dan tempat) yang mereka sebutkan dengan nama-nama yang di kenal dalam Sejarah Nusantara.71

B. Para Penyebar Agama Islam

Persoalan penerimaan Islam oleh penduduk Nusantara atau yang disebut pula conversion to Islam menjadi topik yang penting diperbincangan. Persoalan ini tidak dapat di lepaskan dari peran penting para pembawa Islam itu sendiri.. Sebagaimana teori kedatangan Islam, persoalan golongan pembawa Islam ke

69

Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng-Ho,Misteri perjalanan Muhibah di Nusantara, (Jakarta : Pustaka Popular Obor 2005), hal. xxxii.

70

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia. 2002, hal. 167 .

71

(39)

Nusantara juga dapat di jelaskan setidaknya melalui tiga teori. Teori-teori tersebut sebenarnya menyangkut para pembawa (Da’i) Islam Asia Tenggara, akan tetapi di harapkan dapat membantu memahami persoalan Islam di Nusantara.72

Dilihat dari sudut pandang keyakinan seorang Muslim, menyebarkan agama adalah suatu kewajiban. Oleh karena itu, setiap Muslim adalah dai, penyebar keyakinannya. Hal ini dilandasi setidaknya oleh sabda Nabi SAW yang menyebutkan “sampaikanlah sesuatu dariku walau satu ayat” inilah salah satu konsep dasar dakwah dalam Islam yang menyebabkan setiap Muslim, sampai pada batas tertentu dapat menjadi Da’i. sementara itu, teori-teori yang hendak di jelaskan disini merupakan kerangka metodologis untuk melihat bagaimana sesungguhnya proses penyebaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pembawa Islam tersebut. Dari teori-teori ini pula dapat dilihat latar belakang para Da’i tersebut, apakah pedagang, kaum Sufi, atau memang sebagai Da’i.

Pertama, adalah teori yang menekankan para pedagang. Keberadaan mereka yang telah melembagakan diri mereka di beberapa wilayah Indonesia, menikah dengan beberapa penguasa lokal, dan yang telah menyumbangkan peran diplomatik serta pergaulan internasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir, itu semua menjadi petunjuk adanya Islamisasi di wilayah Nusantara. Mereka tidak hanya berdagang dan bersosialisasi tetapi juga terlibat dalam penyebaran Islam. Teori ini sangat berkaitan dengan teori pertama kedatangan Islam yang menyatakan bahwa Islam telah hadir di wilayah Nusantara sejak abad ke-7 . kenyataan bahwa kontak dagang wilayah Nusantara dengan

72

(40)

Timur tengah telah terjadi sejak sebelum abad ke-7, sehingga memungkinkan wilayah ini disinggahi pula oleh para pedagang Arab yang telah memeluk Islam pada atau setelah abad ke-7.73

Menyangkut teori pertama, perlu di beri penjelasan mengapa para pedagang tersebut juga mengajarkan Islam, para pedagang Muslim Asing yang datang ke Asia Tenggara, juga memperkenalkan Islam untuk mendapatkan keunggulan Ekonomi dan politik di kalangan Masyarakat Pribumi. Menurut kerangka pemikiran ini, diantara beberapa perkara yang diperkenalkan para pedagang Muslim kepada masyarakat pribumi adalah terutama tentang keuntungan-keuntungan Syariat Islam mengenai perdagangan, kejujuran dalam timbangan misalnya, sehingga mereka dapat mengambil keuntungan ekonomi secara maksimal. Dengan melakukan hal semacam ini mereka bukan saja memberikan landasan bagi perdagangan pribumi, tetapi juga sekaligus membatasi adanya pilihan terhadap agama-agama lain. Islam dengan demikian menjadi pilihan Masyarakat Pribumi, dan karenanya Islam dapat di terima.74

Kedua, adalah teori yang menjelaskan peran para Da’i atau kaum Sufi, atau yang disebut oleh sebagian Orientalis sebagai kaum Misionari, dari Gujarat, Benggal, dan Arabia. Kedatangan para Sufi bukan hanya sebagai Guru, tetapi sekaligus juga sebagai pedagang dan politisi yang memasuki lingkungan Istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki perkampungan di wilayah pedalaman. Teori ini sangat tepat apabila di letakan pada konteks perkembangan Islam di Nusantara, setidaknya sejak abad ke – 11, mengingat

73

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 85-86.

74

(41)

persebaran Sufisme ke luar wilayah utama dunia Islam (Timur-Tengah), atau pembentukan jaringan internasional Sufisme- “tarekat Tasawuf “ 75 . penyebaran Islam melalui tasawuf lebih mudah di terima oleh bangsa Indonesia terutama untuk orang-orang yang sebelumnya mempunyai dasar-dasar ajaran ketuhanan.76

Dari sudut pandang teori ini dapat di jelaskan bahwa Islam yang datang ke Nusantara di pandang oleh beberapa pengamat memiliki kesamaan bentuk dengan sifat Mistik dan Sinkretis kepercayaan Nenek Moyang setempat. Kesamaan bentuk ini di pandang sebagai faktor lain yang menyebabkan Islam di wilayah ini cepat diterima dan menjadi dominan , peran kaum Sufi lebih besar di banding peran pedagang muslim dalam proses ini.77 Azyumardi Azra mengutip pendapat A.H. Johns, menyatakan bahwa para Sufi pengembara adalah kelompok yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya terjadi sejak abad 13 M. Faktor utama keberhasialan perpindahan agama penduduk kepada Islam adalah kemampuan kaum Sufi ketika menyajikan Islam dalam kemasan atraktif dan menarik, khususnya dengan menekankan beberapa kesamaan kepercayaan dan praktik keagamaan lokal dengan Islam, atau kontinuitasnya, ketimbang perubahannya.78

Ketiga, adalah teori yang lebih menekankan pada makna Islam bagi Masyarakat umum dari pada elite pemerintah. Islam telah menyumbangkan sebuah landasan ideologi kedalam kehidupan masyarakat. Landasan ideologi tersebut berlaku bagi kebijakan individual, bagi solidaritas kaum tani dan

75

Azra, (Ed). Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hal. XXV.

76

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 115.

77

Saefullah, Islamisasi di Indonesia. Telaah Seputar Masuknya Islam, hal .85.

78

(42)

komunitas pedagang, dan bagi integrasi kelompok parokial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar. Teori ini tentu tidak berlaku bagi proses Islamisasi sebelum invasi Barat ke wilayah Nusantara, yakni sebelum pendudukan Portugis atas Malaka pada 1511 M, yang di pandang sebagai awal munculnya kolonialisme Barat di Nusantara. 79

Berdasrkan teori ini dapat di jelaskan pula bahwa kehadiran para penjajah merangsang terjadinya proses Islamisasi dan intensifikasi lebih lanjut di Nusantara, terutama sejak awal abad ke 16 M. masyarakat Nusantara yang bukan hanya terpisah-pisah secara geografi oleh gugusan berbagai pulau, tetapi juga memiliki perbedaan sosial dan kultural, mendapati Islam sebagai satu wadah yang dapat menyatukan mereka dan memberika identitas diri kepada mereka. Bagi mereka, penjajah dipandang sebagai kafir. Dalam konteks menghadapi penjajah, Islam memberikan identitas diri dan mengintegrasikan masyarakat pribumi dari berbagai kalangan, baik kaum tani, maupun pedagang. Islam bagi mereka yakni masyarakat pribumi menjadi semacam defence mechanism (mekanisme pertahanan diri) dalam menghadapi penjajahan dan penindasan kaum kolonialis.80

Berdasarkan teori-teori yang di kemukakan diatas, terlihat dengan jelas bahwa tidak ada sebuah proses tunggal bagi penyebaran Islam di Nusantara, dan tidak ada pula sumber tunggal mengenai hal ini.81

C. Sejarah Awal Masuknya Islam di Jawa Barat

79

Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, hal. 316.

80

Azra, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara, hal. XiX.

81

(43)

Di Jawa barat terdapat gambaran situasi dan kondisi sosial, poltik, ekonomi dan kebudayaan masa pra- sejarah yang selanjutnya mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan dari India sehingga timbul dan berkembang kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Budha di Tatar Sunda sejak awal Abad ke-5 sampai akhir Abad ke- 16 M. kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan itulah yang di hadapi menjelang kedatangan dan penyebaran Islam di Tatar Sunda.82

Di Tatar Sunda berdasar sumber sejarah lokal, konon pemeluk agama Islam yang pertama kali di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa adalah putra kedua Prabu Guru Panggandiparamarta JayadewaBrata atau Sang Buni Sora penguasa kerajan Galuh. Dia memilih hidupnya sebagai Saudagar besar sehingga banyak berpergian ke daerah atau negeri lain. Seperti ; Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Sri Langka, India, Persia, bahkan Arab pernah dikunjunginya. Di Negara-negara itu Ia menjalin persahabatandan persaudaraan sehingga banyak sahabat dan perkenalannya, baik sesama Niagawan maupun Pejabat setempat.

Di Gujarat, India, Ia mempunyai sahabat sekalipun rekanya berniaga bernama Muhammad. Muhammad mempunyai anak gadis bernama Farhana, dan Bratalegawa menjatuhkan pilihannya kepada gadis itu untuk dijadaikan istri. Bratalegawa kemudian memeluk agama Islam, kawin dengan Farhanah, lalu

82

(44)

mereka kedua menunaikan ibadah Haji ke Mekah, dan Bratalegawa berganti nama menjadi Haji Baharuddin Al jawi.83

Dari Mekah mereka kembali ke Galuh, Negara asal Bratalegawa. Disana mereka mengunjingi Ratu Banawati, Adik bungsunya yang sudah menjadi Istri salah satu seorang Raja bawahan Galuh. Mereka membujuk Banawati agar mau memeluk agama Islam, tetapi tidak berhasil. Kemudian mereka pindah ke Cirebon Girang, tempat kakak laki-lakinya berkuasa. Upaya mengajak kakaknya memeluk agama Islam juga gagal. Kegagalan itu tidak sampai menyebabkan putusnya hubungan darah mereka. Dan Haji Baharuddin tetap memberikan bantuan kepada kedua saudaranya jika diperlukan. Di Galuh mereka tercata sebagai orang Islam dan haji pertama oleh karena itu Ia kemudian dikenal dengan gelarnya Haji Purwa Galuh atau Haji Purwa saja: Purwa berati pertama.84

Bila kisah Haji Purwa ini di jadikan titik tolak masuknya Islam di Jawa Barat, hal ini mengandung arti bahwa pertama, agama Islam yang pertama kali masuk ke Jawa Barat berasal dari Makah (teori Arab) yang dibawa oleh pedagang (Bratalegawa). Kedua , pada tahap awal kedatangannya, agama Islam tidak hanya menyentuh daerah Pesisir Utara Tatar Sunda, namun diperkenalkan juga di daerah perdalaman. Akan tetapi agama itu tidak segera menyebar secara luas dimasyarakat. Hal ini disebabkan tokoh penyebarnya belum banyak dan pengaruh Hindu dari kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda Pajajaran terhadap Masyarakat setempat masih kuat.85

83

Ayatrohaedi, Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda berdasarkan Naskah-Naskah “Panitia Wangsakerta Cirebon, Jakarta: Pustaka jaya, 2001, hal.131.

84

Ibid., hal. 132.

85

(45)

Peran bangsa Arab dalam perniagaan di perairan Asia telah di kenal sejak Abad ke-4 Masehi. Pada abad ke-10 Masehi, Perniagaan Dunia Timur telah mereka kuasi . di sepanjang perjalanan, mereka mendirikan koloni-koloni sebagai tempat tinggal mereka, seperti di Pantai Utara Sumatera, Pelabuhan Kanton dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat terbuka kemungkinan apabila Haji Purwa, Saudagar dari Galuh yang hidup pada pertengahan Abad ke -15, telah di Islamkan pada waktu sedang berniaga, karena hubungan perdagangan Cina dengan Indonesia, India, Timur- Tengah, dan sebaliknya telah terjadi sejak awal abad Masehi.86

Lebih lanjut, Carita Purwaka Caruban Nagari menguraikan tentang Pada tahun (1416 Masehi), Angkatan laut Cina melakukan perjalanan keliling atas perintah Kaisar Cheng-tu atau Yeng-lo, Raja ketiga dari Dinasti Ming. Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng-Ho atau Sam-po Tay-Kam yang telah memeluk Agama Islam. Perjalanan tersebut juga disertai seorang juru tulis yang bernama Ma-huan. Armada tersebut terdiri dari 63 kapal dengan 27.800 prajurit. Tujuan utamanya adalah menjalin persahabatan dengan Raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Dalam armada ini terdapat Syaikh Hasanuddin. Mereka singgah di Pesambangan (Pelabuhan Muara Jati Cirebon). Ki Gedeng Jumanjati pada waktu itu Sebagai penguasa pelabuhan Muara jati, Ia bersahabat dengan para Ulama Islam yang berasal dari Mekah dan Campa, antara lain Syaikh Hasanudin

86

(46)

dari Campa87itulah beberapa kemungkinan terjadinya pengenalan Agama Islam pada Masyarakat Jawa Barat, yang mungkin pula selanjutnya diikuti dengan proses Islamisasi di daerah Jawa Barat, baik dari sumber-sumber Portugis maupun sumber-sumber tradisi. 88

Makin bertambah banyaknya saudagar dan tokoh-tokoh Islam yang berdatangan ke pelabuhan Muara jati (Cirebon), makin membuka kemungkinan masyarakat di daerah itu khususnya dan daerah-daerah Jawa Barat lain umumnya untuk dapat mengenal agama Islam, serta terjadinya proses Islamisasi di daerah tersebut. Dengan didukung oleh kekerabatan, sifat toleransi khususnya dalam kehidupan beragama, dan sifat masyarakat pantai yang lebih terbuka terhadap hal-hal baru pula memungkinkan terjadinya proses Islamisasi di daerah Jawa Barat.89

Sebagian besar Sumber-sumber Tradisi Cirebon selalu mengawali uraian tentang Islamisasi di daerah Jawa Barat dengan aktivitas Guru Agama Islam, yaitu Syaikh Quro di Karawang. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, nama asli Syaikh Quro Karawang adalah Syaikh Hasanudin. Ia adalah putera Syaikh Yusuf Shiddiq, seorang Ulama terkenal dari Campa.90

Sumber lain yang menunjukan datangnya Islam pertama kali di Jawa Barat adalah naskah Carita Ratu Carbon Girang Japura dan Singapura. Naskah ini antara lain mengkisahkan pada tahun 1418 M telah datang di Negeri Singapura (Wilayah

87

Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari : Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Bandung: Proyek Permuseuman Jawa Barat, 1986. hal 31. Laksamana Te-Ho kemungkinan adalah Laksamana Cheng-Ho yang di sertai Ma-Huan dan Feh- Tsin, keduanya pandai berbhasa Arab dan telah beragama Islam.

88

Edi S. Ekadjati, Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat” dalam Sejarah Jawa Barat dari Masa Pra sejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam, hal. 88

89

Ibid., hal .88.

90

(47)

Cirebon) rombongan pedagang dari Campa, dimana di dalamnya terdapat Syaikh Hasanuddin bin Yusuf Sidik seorang Ulama penyiar agama Islam. Kemudian setelah beberapa saat tinggal di Singapura, lalu Syaikh Hasanudin pergi lagi dan menetap di Karawang. Beliau mendirikan Pesantren Quro, sehingga Syaikh Hasanudin di kenal dengan nama Syaikh Quro91 Syaikh Quro adalah Ulama pertama yang mendirikan Pesantren di Jawa Barat pada tahun 1338 Caka (1416 Masehi.) di Pura Dalem Karawang. Ia bermaksud menyebarkan Agama Islam di pulau Jawa bagian Barat .92

91

Sri Mulyati, Carita Ratu Carbon Girang, Japura dan Singapura, transliterasi dan Terjemahan disertai kajian teks, Bandung : Museum Negeri Propinsi Jawa Barat “SRI BADUGA”, 1999), hal. 102.

92

(48)

BAB IV

PERANAN SYAIKH QURO DALAM MENYEBARKAN ISLAM

DI JAWA BARAT ABAD 15

A.Asal Usul Keluarga

Syaikh Quro adalah gelar yang di berikan oleh masyarakat pada waktu itu kepada seorang ulama besar yang bernama Syaikh Mursyahadatillah atau Syaikh Hasanuddin. Beliau adalah ulama yang arif dan bijaksana, keilmuannya yang dalam, serta beliau pun adalah seorang Hafidz Al-Quran, ahli mengaji atau Qiroat dengan suara yang sangat merdu, maka dari itulah beliaupun di gelari dengan sebutan Syaikh Quro.93

Syaikh Quro adalah putra ulama besar Mekah yang menyebarkan Agama Islam di Campa (Kamboja). Ayahnya bernama Syaikh Yusuf Siddik, seorang ulama besar di Campa, yang masih ada garis keturunan dengan Syaikh Jamaludin serta Syaikh Jalaludin ulama besar Mekah, bahkan menu

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukan peranan istri petani dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga di Desa Bojonggenteng Sukabumi Jawa Barat, baik secara langsung maupun tidak

(3) Peranan Sunan Pandhanarang dalam penyebaran agama Islam di daerah Klaten diantaranya adalah Sunan Pandhanarang telah menjaga masjid yang ada di gunung Jabalkat

Abdullah Zawawi Izhom dalam penyebaran Islam juga cukup signifikan, dan selama ini belum ada penelitian yang membahas tentang peran beliau dalam penyebaran agama Islam di

Sumbangan Syarif Hidayatullah dalam penyebaran ajaran Islam sangat besar. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai bidang.. kehidupan masyarakat yang telah mampu dirubah

Pada tabel 1 menunjukkan penyebaran jenis kapang nematofagus ternyata tidak merata dari ke tiga (3) daerah di Indonesia; Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara, ternyata

Tulisan ini memfokuskan pada peran yang dimainkan dari kekuatan kolaboratif ulama-umara dalam Islamisasi di Demak abad XV M., dengan mengambil Sultan Fattah dan Sunan

Hasyim Asy’ari dalam penyebaran Islam di Jawa tahun 1899-1947 ini, menggunakan metode penulisan yaitu menggunakan metode studi literatur yang meliputi

Penelitian yang berjudul ”Peranan Sektor Industri Agro dalam Perekonomian Jawa Barat: Suatu Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)” ini bertujuan untuk