A B S T R A C T
STIMULUS FUNDS THE FISCAL INDEPENDENCE OF EQUALIZATION (LOCAL TAX) IN THE WAY KANAN, 2003-2010
From:
M. Reza Pratama Putra
Since Indonesia's economy gets monetary crisis in 1997 and the Government's failure to control the effective system of Government, the establishment of the autonomous region of discourse is increasingly growing. Discourse of the application of the second autonomous region realized effectively in 2004 with the enactment of law No. 32 of 2004 and Act No. 33 of 2004, which in principle govern conduct of local governance that favour the implementation of the principle of decentralization. The implementation of regional autonomy until today its implementation throughout the regencies and cities throughout Indonesia is developing towards that is getting better, but the reality shows that local governments can’t be completely separated from the Central Government in organizing the household area.
The issue raised in this study is whether the balance of Funds to stimulate Fiscal Independence (local tax) in the right Way in 2003-2010? The purpose of this study was to determine the ability of the equalization funds to stimulate local tax in the right Way in 2003% u2013 2010. As for the data analysis used in qualitative descriptive data analysis.
A B S T R A K
STIMULUS DANA PERIMBANGAN TERHADAP KEMANDIRIAN FISKAL (PAJAK DAERAH) DI KABUPATEN WAY KANAN 2003 - 2010
Oleh :
M. Reza Pratama Putra
Sejak perekonomian Indonesia di terpa krisis moneter tahun 1997 dan kegagalan pemerintah mengendalikan sistem pemerintahan yang efektif, wacana penetapan otonomi daerah semakin berkembang. Wacana penerapan otonomi daerah kedua terwujud efektif pada tahun 2004 dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004, yang pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini pelaksanaannya di seluruh kabupaten dan kota seluruh Indonesia berkembang kearah yang semakin baik, akan tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum dapat sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat di dalam mengatur rumah tangga daerah.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Apakah Dana Perimbangan dapat menstimulasi Kemandirian Fiskal (Pajak Daerah) di Kabupaten Way Kanan Tahun 2003-2010?” Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui kemampuan dana perimbangan yang dapat menstimulasi pajak daerah di Kabupaten Way Kanan tahun 2003 – 2010.
Sedangkan untuk analisis data digunakan analisis data secara deskriptif kualitatif.
upaya pajak. Kecenderungan ini menunjukkan ketergantungan pemerintah Kabupaten Way Kanan kepada pemerintah pusat masih tinggi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah mencoba memberlakukan
otonomi daerah pada beberapa kabupaten/kota di seluruh Indonesia, akan tetapi
pelaksanaannya terbentur dengan beberapa kendala sehingga otonomi daerah di
saat itu mengalami kegagalan. Di provinsi Lampung otonomi daerah di masa itu
hanya dicoba di kabupaten Lampung Selatan. Diawal pelaksanaan otonomi daerah
tahun 1999 itu didasarkan atas penetapan UU No 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah.
Sejak perekonomian Indonesia di terpa krisis moneter tahun 1997 dan kegagalan
pemerintah mengendalikan sistim pemerintahan yang efektif, wacana penetapan
otonomi daerah semakin berkembang. Wacana penerapan otonomi daerah kedua
terwujud efektif pada tahun 2004dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004
dan UU No.33 tahun 2004, yang pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah
propinsi sebagai koordinator. Sehingga daerah tidak lagi sekedar menjalankan
dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi sumber daya yang selama ini dimiliki
secara efektif dan efisien.
Adapun maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah pada prinsipnya
untuk memungkinkan daerah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri
agar berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
dalam rangka pelayanan kepada masyarakat serta pelaksanaan pembangunan
(Moneyzar Usman, 1997 :1) (dalam Ganie, 2004). Inti dari hakekat otonomi
adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih, 2003).
Pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini pelaksanaannya di seluruh kabupaten
dan kota seluruh Indonesia berkembang kearah yang semakin baik, akan tetapi
kenyataannya menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum dapat sepenuhnya
lepas dari pemerintah pusat di dalam mengatur rumah tangga daerah. Hal ini
tidak hanya terlihat dalam konteks kerangka hubungan politis dan wewenang
daerah, namun juga terlihat dalam hubungan keuangan pusat dan daerah
(Simanjuntak, 2001)
Sesungguhnya makna otonomi daerah adalah fenomena pemindahan tanggung
jawab dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintah daerah menjadi salah satu
komponen penting dalam proses pembangunan, sistem ini dikenal sebagai
desentralisasi. Desentralisasi membawa dampak yang berbeda bagi perekonomian
daerah. Desentralisasi dapat meningkatkan respon pemerintah daerah terhadap
penyediaan barang dan jasa publik di daerah dan kebijakan desentralisasi ini
Pemberdayaan sumber daya daerah yang tersedia harus ditingkatkan dan dikelola
secara professional dan komprehensif dan terintegrasi baik aspek perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi agar kemandirian pemerintah daerah dapat terwujud
secara dinamis dan bertanggung jawab agar terciptanya kesejahteraan masyarakat
di seluruh wilayah otonomi. Kemandirian daerah dapat diwujudkan dengan
adanya orientasi pembangunan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan nasional, karena pembangunan daerah turut menentukan berhasil
tidaknya pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus
mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung
operasionalisasi pembangunan daerah.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati
adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran
daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan
pencerminan kebijaksanaan dan program kegiatan dalam satu tahun anggaran
daerah dalam bentuk uang. Pengelolaan APBD dilaksanakan berdasarkan aturan
keuangan daerah yang tercermin dalam APBD tersebut merupakan motor
penggerak dalam kegiatan otonomi daerah, maupun penunjang bagi pelaksanaan
pembangunan sektoral yang dilaksanakan daerah (Supriatna, 1996 : 175 yang
Kabupaten Way Kanan adalah salah satu kabupaten yang berada di daerah
Provinsi Lampung. Kabupaten Way Kanan yang merupakan daerah pemecahan
baru dari kabupaten induknya (Kabupaten Lampung Utara) senantiasa terus
melakukan pembangunan untuk mengejar kemajuan pembangunan di kabupaten
lainnya. Sudah barang tentu dan selayaknya pemerintah Kabupaten Way Kanan
mengembangkan sumber daya sendiri dan mengurangi ketergantungan dari pusat.
Selain itu pemerintah kabupaten selayaknya sudah dapat mengelola keuangan
daerah dengan baik selain itu ada upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan
penerimaan daerah juga tidak menimbulkan distorsi pasar dan high cost economy.
Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan
penerimaan daerah harus diikuti dengan upaya untuk meningkatkan perlayanan
publik.
Pemerintah Kabupaten Way Kanan harus mampu menyelenggarakan
pemerintahan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam
melaksanakan pembangunan secara efektif dan efisien. Salah satu bentuk
penyelenggaraan itu dalam hal pengelolaan APBD. Sejak implementasi otonomi
yang luas dan desentralisasi yang sekarang dapat dinikmati oleh pemerintah
daerah kabupaten dan kota sehingga pemerintah daerah Kabupaten Way Kanan
dapat melakukan pembahuruan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
Tabel 1.Perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah Kabupaten Way Kanan 2011.
Dari Tabel 1. memperlihatkan perkembangan APBD Kabupaten Way Kanan
dalam kurun waktu 8 tahun yaitu dari periode 2003 – 2010 berfluktuasi dengan perkembangan tertinggi dari sebelumnya terjadi pada tahun 2008 sebesar 79,29
persen, dan perkembangan terendah dari tahun sebelumnya terjadi pada tahun
2004 sebesar 28,03 persen dengan rata-rata perkembangan sebesar 31,62 persen.
Penurunan perkembangan APBD yang sangat tajam terjadi pada tahun 2006 yaitu
sebesar -2,75.
Secara umum, penerimaan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dapat
bersumber dari pajak (taxes), retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan
Musgrave, 1991: 225). Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan
kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan
untuk memungut pajak dan retribusi (tax assignment) serta mempunyai
kewenangan yang lebih luas dalam pemungutan pajak (taxing power). Selain itu,
keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana
bagi APBD, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Tabel 2. Realisasi PAD Kabupaten Way Kanan Tahun 2003- 2010.
Tahun Pajak (Rp) Retribusi (Rp) Laba BUMD(Rp) 4AD Lain (Rp) 2003 14.296.330.014,30 8.412.866.452,80 260.000.000 757.473.088,48 2004 19.686.070.727,69 9.814.868.121.,50 643.804.291,29 1.641.540.633,82 2005 22.406.753.437,58 10.292.417.728 867.724.770,99 1.744.902.024,90 2006 22.304.069.191 10.498.676.576 1.871.141.919 2.815.688.056 2007 28.288.077.272 12.744.984.980 2.334.373.404 2.906.064.066,70 2008 26.975.594.010 11.088.122.062 2.196.129.542 5.877.413.556,16 2009 30.411.161.966,81 12.533.404.985 2.149.979.288 8.620.368.522,15 2010 39.265.916.881 14.414.767.716 2.509.144.000 8.936.020.117,96 Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Kabupaten Way Kanan 2011.
Tabel 2 diatas memperlihatkan realisasi masing-masing PAD yang terdiri dari
pajak, retribusi, Laba BUMD dan PAD lain yang syah. Dilihat dari data Tabel di
atas dari tahun 2003 hingga tahun 2010, pajak dan retribusi memegang peranan
penting karena merupakan bagian pendapatan yang menyumbangkan paling besar
dibandingkan dengan pendapatan lainnya dalam PAD Kabupaten Way Kanan.
Idealnya sumber PAD mampu menyumbangkan bagian terbesar dari seluruh
pendapatan daerah dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Hubungan
keuangan yang ideal akan dapat berlangsung apabila setiap tingkatan
pemerintahan bisa bebas menggunakan keuangannya untuk membiayai tugas,
wewenang, atau fungsi dari pemerintahan masing-masing. Hal ini berarti
seharusnya pendapatan yang berasal dari daerahnya sendiri menjadi sumber
pendapatan utama atau dengan kata lain pemberian dana dari pemerintah pusat
kurang penting. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut agar lebih jeli dan
peka dalam menggali dan mengolah sumber-sumber potensial daerahnya sehingga
Pendapatan Asli Daerah dapat meningkat.
Tabel 3 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah dan Transfer Pusat Kabupaten Way Kanan Tahun 2003-2010 2004 31.586.283.774,30 33,29 199.350.000.000 24,52 2005 35.500.797.961,47 12,39 240.050.000.000 20,42 2006 36.689.575.342,06 3,35 243.544.000.000 1,46 2007 46.073.499.722,70 25,58 268.151.000.000 10,10 2008 46.137.259.170,16 0,14 449.491.000.000 67,63 2009 53.714.914.761,96 16,42 498.467.000.000 10,90 2010 65.125.848.714,96 21,24 552.159.017.000 10,77
Rata-rata 16,06 20,83
Sumber : Dinas Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah Kabupaten Way Kanan 2011.
Tabel 3 memperlihatkan perkembangan PAD dan penerimaan Transfer Pusat
Kabupaten Way Kanan dalam kurun waktu 8 tahun yaitu tahun anggaran 2003
sampai tahun 2010 berfluktuasi. Perkembangan PAD tertinggi dari tahun
sebelumnya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 25,58 persen, dan
perkembangan terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,14 persen dengan
rata-rata perkembangan 16,06 persen. Perkembangan Transfer Pusat tertinggi dari
tahun sebelumnya terjadi pada tahun 2008 dan terendar terjadi pada tahun 2006
dengan rata-rata perkembangan 20,83 persen.
Dilihat dari Tabel 3 diatas keuangan Kabupaten Way Kanan kekurangan sumber
daya yang memadai untuk membiayai seluruh kebutuhan pengeluarannya, hal ini
dengan kontribusi transfer pusat (Tabel 3) Sedangkan dalam Struktur PAD
Kabupaten Way Kanan, masih didominasi oleh pajak daerah dan retribusi, hal ini
menunjukkan belum optimalnya peran BUMD dalam Penerimaan Kabupaten Way
Kanan sehingga keuangan pemerintah kabupaten masih sangat tergantung pada
dana transfer pusat. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Way Kanan masih
perlu meningkatkan pemasukannya sendiri; meningkatkan trasparansi,
akuntabilitas dan pengeluaran umum yang efisien; serta memperkuat
proses-proses penganggaran, pencatatan keuangan, pengadaan dan pemeriksaan.
Berdasarkan teori federalisme fiskal, transfer antar pemerintah dapat mengurangi
masalah yang berkaitan dengan desentralisasi, seperti kesenjangan daerah,
eksternalitas, dan rendahnya kualitas barang dan jasa publik di daerah (Oates,
1972). Dengan demikian, transfer pemerintah menjadi bagian penting dari proses
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal menciptakan atau mendelegasikan tax
base dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini akan meningkatkan kompetensi
dalam meningkatkan sisi keuangan daerah, namun dapat juga mengurangi insentif
dalam upaya perolehan pajak sehingga meningkatkan ketergantungan terhadap
pemerintah pusat dan memperburuk kesenjangan fiskal.
Hubungan antara dana perimbangan/transfer antar pemerintah dengan upaya
perolehan pajak daerah memiliki dua efek, yaitu transfer dapat berpengaruh positif
atau negatif terhadap upaya perolehan pajak daerah. Kedua efek tersebut
Pertama, berdasarkan asumsi maksimisasi manfaat yang rasional (rational benefit
maximization) disebutkan bahwa transfer mengurangi upaya perolehan pajak
daerah karena adanya efek subtitusi. Pemerintah daerah mensubtitusi biaya pajak
yang mahal dengan transfer yang diberikan pemerintah daerah. Pendekatan
dengan teori ini mengasumsikan bahwa pengeluaran daerah tetap. Dalam kasus
ini. Pemerintah daerah hanya merelokasi sumber penerimaan daerah dengan
memilih sumber penerimaan dengan biaya yang murah (Peterson,1997).
Kedua, berdasarkan teori the flypaper effect yang menyimpulkan bahwa
pengeluaran pemerintah daerah akan semakin besar jika pendanaannya berasal
dari transfer pemerintah pusat dibandingkan dengan pendanaan yang berasal dari
Penerimaan Asli Daerah. Ketika pengeluaran semakin besar maka kesenjangan
fiskal juga semakin besar. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah
akan meningkatkan pinjaman daerah atau memungut pajak tambahan sebagai
sumber pendanaan (hines dan Thaler, 1995).
Upaya pajak (tax effort) seringkali diidentikkan dengan tekanan fiskal (fiscal
Stress). Otonomi daerah ditunjukkan untuk meningkatkan kemandirian daerah,
yang di indikasikan dengan meningkatnya pendapatan sendiri (PAD). Pemerintah
cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan
daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004 yang dikutip dalam Adi, 2008). Upaya
pajak (Tax Effort) adalah peningkatan pajak daerah yang diukur melalui
perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber- sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Tax
daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam
pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah
dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk menelaah
stimulus dari dana perimbangan dengan kemandirian fiskal ( upaya perolehan
pajak daerah) di Kabupaten Way Kanan dengan judul penelitian: “Stimulus Dana Perimbangan terhadap Kemandirian Fiskal (Pajak Daerah) di Kabupaten Way Kanan Tahun 2003-2010”.
B. Identifikasi Masalah
Terdapat kewenangan yang dimiliki ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan
peningkatan kemandirian daerah (Sidik, 2002). Daerah diharapkan mengalami
percepatan pertumbuhan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Untuk
itu, pemerintah daerah seyogyanya lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan
kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai
potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu,2000;
Mardiasmo,2002 dan Wong,2004). Peningkatan pertumbuhan ekonomi lebih
cepat terwujud dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja (kemampuan)
keuangan daerah. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus
mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi
lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Apakah Dana Perimbangan dapat menstimulasi Kemandirian Fiskal (Pajak
Daerah) di Kabupaten Way Kanan Tahun 2003-2010?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kemampuan dana perimbangan yang dapat menstimulasi pajak
daerah di Kabupaten Way Kanan tahun 2003 – 2010
D. Kerangka Pemikiran
Otonomi Daerah adalah menyerahkan kewenangan untuk mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahan kepada daerah. Otonomi daerah memberikan
kesempatan kepada aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk
berpartisipasi di dalam merencanakan dan melaksankan berbagai kebijaksanaan
pembangunan tanpa harus diarahkan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian
pembangunan daerah lebih berorintasi pada kebutuhan bukan didasarkan kepada
kemauan yang menjadi landasan pembangunan daerah.
Suatu daerah untuk dapat menjalankan hak otonominya harus memiliki
kemampuan ekonomi serta kemungkinan pengembangan untuk dapat mendukung
pelaksanaan tugas-tugas pembangunan di daerah, termasuk di dalamnya
pembiayaan pembangunan sesuai dengan prinsip ekonomi. Kemampuan ekonomi
sangat menentukan bagi kelangsungan daerah agar tidak selalu tergantung dan
Sumber-sumber keuangan daerah dikelompokkan dalam dua kelompok utama,
yaitu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber non Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yaitu dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Menurut UU No.34 Tahun 2004, PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber
dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan bernegara,
terutama dalam pelaksanaan pelayanan umum yang lebih baik dan proses
pengambilan keputusan yang lebih demokratis. Dengan dilaksanakannya
desentralisasi, maka terjadi proses pelimpahan kewenangan kepada tingkat
pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak
(taxing power), membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memilih
Kepala Daerah, serta adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat
kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Implikasi langsung pelaksanaan
pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah untuk membiayai tugas dan
tanggung jawab daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanime transfer dana dari APBN
dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan
ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan
stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan kebijakan
desentralisasi fikal diharapkan akan menciptakan pemertaan kemampuan
keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom sehingga kemandirian
daerah pun dapat tercipta.
Transfer dana dari pemerintah pusat merupakan sumber penerimaan penting bagi
propinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini dikarenakan tingkat penerimaan di
daerah masih relatif rendah dibandingkan dengan penerimaan pemerintah pusat.
Namun keterbatasan penerimaan tersebut, pemerintah daerah dihadapkan dengan
besarnya tingkat pengeluaran untuk membiayai berbagai kebutuhan di tingkat
daerah sehingga terjadi ketimpangan antara besarnya penerimaan dan pengeluaran
daerah. Besarnya kebutuhan fiskal daerah hanya ditopang dengan minimnya
potensi fiskal di daerah.
Pada dasarnya pemerintah daerah dihadapkan pada persoalan tingginya kebutuhan
fiskal daerah (fiscal need) sementara kapasitas fiskal daerah tidak mencukupi. Hal
ini menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal (Mardiasmo, 2002:147). Transfer
dari pemerintah di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota merupakan satu cara
Berbagai tujuan dari transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
antara lain:
1. Membiayai seluruh atau sebagian biaya penyediaan jasa-jasa pelayanan
atau program-program pembangunan yang kepentingannya bersifat
nasional.
2. Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan program-program
pembangunan dan pelayanan sesuai dengan kebijakan nasional.
3. Merangsang pertumbuhan ekonomi daerah serta mengurangi ketimpangan
antar daerah.
4. Mengendalikan pengeluaran daerah agar sesuai dengan kebijakan dan
standar nasional.
5. Menjaga standar penyediaan jasa-jasa dan mengusahakannya agar lebih
merata.
6. Mengembangkan daerah-daerah yang kapasitas fiskalnya rendah agar
penerimaan langsung daerah meningkat.
Dalam menciptakan kemandirian daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu
menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli
Daerah sehingga ketergantungan pada transfer dari pemerintah pusat akan
semakin dibatasi setiap tahunnya. Oates (1995) memberikan alasan kenapa
pemerintah daerah harus mengurangi ketergantungan ini:
1. Transfer pusat biasanya disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga
otonomi relative bersifat kompromis, terlebih bila dana transfer merupakan
2. Ketergantungan pada transfer justru mengurangi kreatifitas lokal untuk
mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.
Upaya pajak (tax effort) merupakan aspek yang relevan bila dikaitkan dengan
tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian
daerah seringkali diukur dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah, dimana
pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD yang memberikan
kontribusi yang sangat besar.
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah derah. Pajak ini dalah
salah satu penyumbang yang cukup besar dalam PAD. Untuk mengurangi
ketergantungan pada transfer pemerintah pusat, pemerintah Kabupaten Way
Kanan perlu menelusuri upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas finansialnya
dengan mengembangkan basis pajak, meningkatkan pengumpulan pajak dan
retribusi, merasionalkan pengeluaran, mempromosikan kemitraan
swasta-pemerintah dalam menyediakan pelayanan dan menggunakan lahan sebagai
sumber daya yang penting dan merestrukturisasi kesulitan BUMD dan instansi
layanan publik pemerintah lainnya agar lebih Profitable dan meningkatkan cost
recovery untuk pelayanan sehingga dapat membantu Peningkatan PAD dan
membangun mekanisme keuangan Kabupaten Way Kanan yang berkelanjutan.
Optimalisasi penerimaan pajak atau upaya fiskal (Fiscal Effort) yang
memperlihatkan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dalam peningkatan pajak hendaknya didukung dengan upaya pemerintah
Kabupaten Way Kanan dalam meningkatkan pelayanan publik masyarakat
berlebihan justru akan semakin membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi
daerah dan mengancam perekonomian makro.
Dilihat dari data yang ada menunjukkan bahwa nominal PAD Kabupaten Way
Kanan terus menerus meningkat dari tahun 2003 hingga tahun 2010. Tetapi
kontribusi PAD yang dari tahun ke tahun ini mengalami peningkatan belum
mampu mengimbangi Dana Perimbangan/ transfer pusat (DAU dan DAK).
Kondisi ini menggambarkan bahwa selama ini Dana Perimbangan selama 8 tahun
belum mampu merubah kemandirian fiskal dan ini dapat disebabkan belum
optimalnya upaya fiskal (fiscal effort) pemerintah Kabupaten Way Kanan dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah
1. Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (dalam
perkembangannya kedua regulasi ini diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004
dan UU No. 34 tahun 2004.
Menurut Syaukani, 2001 mendefinisikan otonomi daerah adalah membawa
pemerintah lebih dekat kepada rakyat, sehingga kualitas pelayanan pemerintah
untuk melayani kebutuhan masyarakat lebih mengena.
Definisi Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi (Suparmoko, 2001) adalah
kecenderungan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Daerah Otonomi adalah kesatuan masyarakat secara hukum dengan batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
Definisi Otonomi Daerah (Widjaja, 1998) adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara
maka hubungan yang serasi antara pusat dan dan daerah atas dasar keutuhan
negara kesatuan diarahkan pada pelaksanaan otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab. Otonomi bersifat luas berarti keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintah yang mencakup wewenang semua bidang
pemerintah kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain, yang akan ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Otonomi daerah bersifat nyata artinya bahwa keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah dibidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang didaerah serta didasarkan
pada tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin
daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya
sendiri.
Otonomi daerah yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung
jawaban sebagai Konsekuensi pemberian hak kepada daerah dalam wujud tugas
dan wewenang yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
B. Teori Desentralisasi
Desentralisasi diperkenalkan sebagai obat untuk mengatasi kegagalan dan
ketidakmampuan pemerintah pusat menjalankan fungsinya dalam aspek politik,
ekonomi, sosial dan ideologi. Desentralisasi tidak hanya dijadikan untuk
menampung masalah perbedaan budaya tetapi juga digunakan untuk
mempertinggi demokrasi, mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
efisiensi pemerintahan dan memfasilitasi modernisasi (sidik, 2007).
Desentralisasi bernilai karena menawarkan pilihan yang lebih luas bagi
masyarakat dalam hal pelayanan publik dan pilihan pajak ketika memutuskan
untuk tinggal di suatu daerah (Tiebout, 1956). Hal ini terjadi karena desentralisasi
menempatkan alokasi proses pengambilan keputusan semakin dekat dengan
orang-orang di daerah. Desentralisasi akan mengembangkan tanggung jawab
pemerintah daerah terhadap masyarakat di daerahnya karena pemerintah daerah
lebih mengetahui masalah dan kebutuhan di daerah daripada pemerintah pusat.
Berdasarkan pasal 1 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan social dan
ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political
decentralization), administrative (administrative decentralization), fiskal (fiscal
decentralization), dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke
daerah dalam mengontrol sumber keuangan, baik dalam bentuk pengeluaran
maupun penerimaan daerah. Bentuk desentralisasi fiskal dapat dikelompokkan
menjadi: (1) Pembiayaan secara mandiri melalui retribusi daerah; (2) co financing,
melalui bentuk partisipasi dalam penyediaan pelayanan dan infrastruktur publik;
(3) meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak daerah; (4) transfer dana dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk tujuan umum atau tujuan yang lebih
spesifik; (5) otorisasi pinjaman daerah dengan adanya jaminan peminjaman.
1. Desentralisasi Fiskal di Indonesia
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila
pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat
kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka
mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik
yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan
Pajak, pinjaman, maupun subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat (sidik,2002).
Tujuan utama implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia adalah:
daya
3. Mempertinggi akuntabilitas, meningkatkan transparansi, memperluas
partisipasi, dan melanjutkan proses demokrasi
4. Mengurangi kesenjangan fiskal dan menjamin pelayanan dasar umum
5. Memperbaiki kesejahteraan sosial
6. Mendukung stabilitas ekonomi makro.
2. Konsep Kesenjangan Fiskal
Struktur dan jenis belanja daerah, aktifitas yang membutuhkan sumber daya, serta
pemicu biaya perlu dipertimbangkan dalam menentukan kebutuhan daerah, sebab
setiap daerah membutuhkan dana untuk membiayai hal-hal sebagai berikut:
A. Penyelenggaraan pemerintahan khususnya belanja administrasi umum.
Biaya untuk keperluan tersebut mencakup keseluruhan biaya yang diperlukan
agar organisasi pemerintah daerah dapat berjalan secara efektif dan efisien
dalam memberikan pelayanan kepada publik. Komponen biaya ini terdiri:
a. Belanja pegawai, yakni biaya yang dikeluarkan berupa uang tunai
yang dibayarkan kepada pegawai daerah otonom. Belanja pegawai
ini terdiri dari gaji dan tunjangan lainnya,tunjangan beras,uang
lembur,upah pegawai harian tetap,biaya pengobatan dan perawatan
pegawai,dan belanja pegawai lain-lain.
b. Belanja Barang/Jasa, yakni semua pengeluaran yang dilakukan
untuk ongkos kantor, pembelian inventaris kantor, biaya
dapur rumah sakit, pembelian obat-obatan, pembelian bahan
laboratorium, pembelian bahan percontohan, dan lain-lain.
c. Belanja Pemeliharaan mencangkup semua pengeluaran yang
dilakukan dalam ragka pemeliharaan gedung kantor, pemeliharaan
rumah dinas, asrama, mess, dan sebagainya. Pemeliharaan
kendaraan dinas kepala daerah, pemeliharaan kendaraan dinas
lainnya, pemeliharaan inventaris kantor, dan lain-lain.
d. Belanja Perjalanan Dinas, yakni biaya perjalanan dinas, biaya
perjalanan dinas tetap, biaya perjalanan dinas pindah, biaya
pemulangan pegawai yang dipesiunkan, biaya perjalanan dinas
lainnya.
Besar kecilnya biaya penyelenggaraan pemerintahan dan atau
belanja administrasi umum tidak dapat dikaitkan dengan jumlah
pegawai karena akan mendorong pemerintah daerah untuk
berlomba mengangkat atau menambah jumlah pegawai tanpa
melakukan analisis kebutuhan. Agar ukuran dan aktivitas
organisasi pemerintah daerah tidak membengkak serta untuk
mendorong efisiensi, setiap daerah perlu didorong untuk
merampingkan organisasi sesuai dengan standar dan atau
kebutuhan pelayanan pada masyarakat.
B. Biaya Pemeliharaan Fasilitas Publik. Biaya ini mencangkup keseluruhan
biaya yang dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas operasi untuk menjaga
belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas.
Berbeda dengan biaya sebelumnya, biaya ini tidak terkait dengan jumlah
pegawai maupun ukuran organisasi. Biaya ini jugs diidentifikasi tidak terkait
secara nyata dengan luas wilayah, karena belum tentu daerah yang mempunyai
wilayah yang cukup luas juga menyediakan fasilitas yang banyak. Standar
fasilitas publik umumnya memang ditentukan berdasarkan fasilitas yang
banyak, tetapi secara riil standar tersebut tidak pernah dipenuhi.
Belanja pemeliharaan mempunyai hubungan langsung dengan volume
aktivitas pemeliharaan yang dipicu oleh volume dan jumlah aktiva atau
kekayaan tetap (fasilitas publik) berwujud yang dipunyai oleh daerah, antara
lain: jalan, jembatan, saluran irigasi atau pengairan, luas lahan milik daerah
(yang memerlukan pemeliharaan), jumlah dan kapasitas kesehatan, jumlah dan
kapasitas pendidikan.
C. Belanja Pembangunan merupakan pengeluaran-pengeluaran yang bukan
saja ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah, tetapi juga
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Secara ringkas, pengeluaran
pembangunan mencangkup pengeluaran-pengeluaran untuk:
e. Sarana dan prasarana ekonomi, seperti pengeluaran untuk
pembangunan jalan raya, pelabuhan, kapasitas listrik, energi dan
lain-lain.
f. Peningkatan sumberdaya manusia: pendidikan, kesehatan dan
pengembangan kehidupan beragama.
h. Peningkatan kapasitas pemerintah: anggaran pengembangan
aparatur pemerintah.
Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: belanja modal aparatur dan
belanja modal publik. Dalam terminology ekonomi publik besarnya belanja
pembangunan mengindikasikan besarnya investasi pemerintah.
C. Upaya Fiskal (Fiscal Effort)
Definisi upaya fiskal (fiscal effort) adalah suatu usaha yang dilakukan dalam
menggali potensi fiskal untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai
kebijakan fiskal.
Potensi fiskal merupakan kemampuan daerah dalam menghimpun dana melalui
sumber-sumber yang sah. Potensi fiskal daerah tercermin dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan
lain-lain.
Definisi kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) adalah suatu kebijakan ekonomi dalam
rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal lebih
menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Daerah berkewajiban mensukseskan pembangunan daerah dan harus mampu
mengandalkan pendapatan daerahnya terutama yang berasal dari PAD sehingga
membantu dana yang diperoleh dari pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan
anggaran pendapatan daerah.
Instrument kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang
berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas mengubah tarif pajak yang
berlaku akan berpengaruh terhadap ekonomi, misalnya jika pajak diturunkan
maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output, dan begitu pun sebaliknya.
Upaya menghimpun PAD harus diimbangi dengan upaya peningkatan kualitas
pelayanan kepada masyarakat. Upaya peningkatan pendapatan daerah sebisa
mungkin dilakukan tanpa meningkatkan tarif, melainkan upaya intensifikasi dan
ekstensifikasi sumber pendapatan daerah.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya peningkatan PAD ini
diharapkan tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru, contoh: perda yang
bermasalah. Peraturan daerah yang dinilai bermasalah kebanyakan berlandaskan
pada upaya menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Cara menaikkan
pendapatan dengan cepat melalui diterbitkannya retribusi daerah pada jangka
panjang malah akan menurunkan pendapatan tersebut.
D. Keuangan Daerah
Sesuai dengan ketentuan pasal 101 hingga pasal 104 UU No. 33 Tahun 2004
yang berhubungan erat dengan pengelolaan keuangan daerah.
Keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola mulai
dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi
berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang
diwujudkan dalam bentuk APBD (Supriatna, 1996 : 174) (dalam Ganie, 2004).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005, pengertian Keuangan
Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Terdapat beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam pengertian keuangan daerah
diatas, istilah tersebut adalah :
1. Hak daerah adalah hak untuk memungut pajak Daerah dan retribusi daerah
serta melakukan pinjaman. Berbagai pajak daerah dan retribusi daerah
selanjutnya akan menjadi bagian dari pendapatan daerah dalam rangka
untuk membiayai belanja daerah.
2. Kewajiban daerah adalah kewajiban daerah untuk menyelenggarakan
urusan Pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat Daerah (DPRD) menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan denganprinsip otonomi seluas-luasnya
Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya , melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem
Informasi Keuangan Daerah baik pusat maupun daerah dalam rangka menunjang
perumusan kebijakan fiskal secara nasional serta meningkatkan transparansi
akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi.
Dasar hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdiri
dari tiga azas, yaitu azas dentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Gambar 1
Kerangka Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Hubungan Fungsi Pusat – Daerah
Sumber: Pelengkap Buku Pegangan 2007. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah.Departemen Keuangan.
Kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber pajak
(tax objects) dan tingkat hasil dari object tersebut. Tingkat hasil tersebut
ditentukan oleh sejauhmana sumber pajak (tax bases) responsive terhadap
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi obyek pengeluaran seperti inflasi,
pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan
berkorelasi dengan tingkat pelayanan yang baik secara kuantitatif dan kualitatif
(Davey, 1989;41).
Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki suatu daerah akan
menentukan tingkat kemampuan keuangannya. Setiap daerah mempunyai potensi
pendapatan yang berbeda karena perbedaan kondisi ekonomi, sumber daya alam,
besaran wilayah, tingkat pengangguran dan jumlah penduduk.
E. Dana Perimbangan
Menurut Pasal 1 UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa dana perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dalam Bab VI UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diatur mengenai dana perimbangan.
perimbangan akan dijelaskan pada sub bab berikut.
A. Dana Bagi Hasil
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat da Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dalam pasal 11 UU No. 33 Tahun 2004 disebutkan
bahwa DBH bersumber dari pajak dan Sumber Daya Alam (SDA).
DBH ditujukan untuk merespon aspirasi daerah dalam upaya meningkatkan akses
dan kontrol terhadap sumber penerimaan penting daerah. Seperti diketahui banyak
daerah yang memiliki sumber daya alam dan sumber pajak yang potensial merasa
tidak di untungkan dengan potensi penerimaan yang mereka miliki karena pusat
lebih dominan dalam mengatur penerimaan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah
pusat mengatur kebijakan mengenai dana bagi hasil antara pusat dan daerah agar
tidak merasa dirugikan. DBH juga dapat membantu peningkatan peneriman
daerah karena masyarakat lebih peduli untuk membayar pajak jika mereka yakin
Bagi Hasil Pajak adalah pembagian seluruh atau sebagian hasil penerimaan pajak
dari suatu tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkatan
pemerintahan di bawahnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Bagi Hasil Pajak bersumber dari:
1. Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu
pajak penghasilan terutang oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
2. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, yaitu pajak penghasilan yang dipotong
oleh pemberi kerja atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak
orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa
dan kegiatan yang dilakukan.
3. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29, yaitu pajak penghasian
yang dikenakan kepada badan hukum wajib pajak atau lembaga wajib
pajak.
4. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB).
5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) yang meliputi DBH SDA
Pertambangan Migas, DBH SDA Pertambangan Umum, DBH SDA Kehutanan,
dan DBH SDA Perikanan masih mengalami beberapa masalah. Masalah yang
timbul dalam penyaluran DBH SDA adalah adanya keterlambatan penetapan
bagian daerah oleh menteri keuangan, antara lain disebabkan oleh adanya
akibat adanya pemekaran kabupaten atau kota baru sehingga terjadi perubahan
batasan geologis yang diperlukan pusat dalam penetapan daerah penghasil.
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pemerintah pusat yang
penggunaannya diserahkan secara penuh kepada pemerintah daerah. Berdasarkan
Pasal 1 UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 33
Tahun 2004 dijelaskan bahwa Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disebut
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka desentralisasi. DAU dialokasikan kepada setiap daerah
dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Kebijakan jumlah total DAU setiap tahun dipengaruhi oleh penerimaan dalam
negeri, proporsinya berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 ditetapkan
sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri. Namun dalam masa transisi
diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2004 proporsi DAU disepakati 25,5% dari
penerimaan dalam negeri netto, yaitu penerimaan dalam negeri dikurangi jumlah
DBH dan jumlah Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR). Selanjutnya
jumlah total DAU dibagikan kepada propinsi dan kabupaten/kota secara
Dalam Pasal 39 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Dana Alokasi
Khusus (DAK) dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah.
Dalam pengertian DAK disebutkan bahwa daerah yang menerima DAK
merupakan daerah tertentu. Dalam penentuan daerah tertentu ini, disebutkan
sejumlah kriteria yang terpenuhi oleh suatu daerah untuk menerima alokasi DAK.
Kriteria tersebut secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Proses penentuan daerah penerima
DAK berdasarkan kriteria ditunjukkan pada Gambar 2.
Sumber: Pelengkap Buku Pegangan 2007. Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah.Departemen Keuangan.
Daerah yang layak mendapatkan alokasi DAK adalah:
1. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah dibawah rata-rata
nasional;
2. Daerah yang termasuk otonomi khusus dan daerah tertinggal;
3. Daerah yang memiliki IFW lebih besar dari satu. (Pelengkap Buku
Pegangan 2008 : III-89)
F.Transfer Pusat Ke Daerah
Dasar pemikiran transfer dari pemerintah pusat ke daerah menurut World Bank
Institute, yaitu adanya masalah kesenjangan fiskal vertikal (antara pusat dan
daerah); adanya kesenjangan fiskal horizontal (antar tingkat pemerintahan yang
sama); eksternalitas (inter-jurisdictional spillovers); melaksanakan tujuan nasional
di tingkat daerah; dan membayar program nasional yang diimplementasikan
kepada pemerintah daerah.
Adapun karakteristik sistem transfer yang baik menurut World Bank Institute,
yaitu: mempertahankan otonomi anggaran daerah; mencukupi penerimaan daerah;
dijadikan insentif yang sesuai untuk daerah; mencapai pemerataan dan keadilan;
stabilitas;transparansi dan sederhana.
Berbagai tujuan dari transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
atau program-program pembangunan yang kepentingannya bersifat
nasional.
2. Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan program-program
pembangunan dan pelayanan sesuai dengan kebijakan nasional.
3. Merangsang pertumbuhan ekonomi daerah serta mengurangi ketimpangan
antar daerah.
4. Mengendalikan pengeluaran daerah agar sesuai dengan kebijakan dan
standar nasional.
5. Menjaga standar penyediaan jasa-jasa dan mengusahakannya agar lebih
merata.
6. Mengembangkan daerah-daerah yang kapasitas fiskalnya rendah agar
penerimaan langsung daerah meningkat.
7. Membantu daerah untuk mengatasi keadaan darurat.
Beberapa alasan ekonomi perlunya dilakukan transfer dari pusat ke daerah:
1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertical.
2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal
3. Adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan
minimum di setiap daerah.
4. Untuk mengatasi persolan yng timbul dari melimpahnya efek pelayanan
Secara umum terdapat dua jenis transfer pemerintah pusat ke daerah, yaitu
transfer yang bersyarat (conditional grants) dan transfer yang tidak bersyarat
(unconditional grants).
Transfer yang bersyarat merupakan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat
ke pemerintahan daerah namun diatur pengelolaannya oleh pemerintah pusat.
Jenis transfer ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Matching Grants
Matching Grants merupakan transfer dana yang diberikan sesuai dengan
dana yang diperlukan pemerintahan daerah. Matching grants terbagi dua
macam, yaitu matching closed-ended grants dan matching opened-ended
grants. Dalam kasus matching closed-ended grants, pemerintah pusat
menentukan jumlah dana maksimum yang akan diberikan pada pemerintah
daerah.
b. Nonmatching Grants
Nonmatching Grants merupakan transfer dana dari pusat ke daerah yang
besarnya tetap dan dana tersebut harus digunakan untuk tujuan tertentu
yang telah disepakati bersama, misalnya untuk menyediakan barang dan
jasa publik.
Sedangkan transfer yang tidak bersyarat merupakan transfer yang diberikan oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pengelolaannya diserahkan
pendapatan antar daerah.
G. Pengertian dan Konsep Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber penerimaan utama di tiap tingkat pemerintahan,
termasuk pemerintah daerah. Pajak daerah menjadi sumber dana utama bagi
daerah.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 34 Tahun 2000, selain transfer
antar pemerintah, pemerintah daerah dapat meningkatkan PAD dari berbagai
sumber termasuk pajak daerah. Menurut UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa pajak daerah adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Menurut Adam Smith dalam Suparmoko (1999: 97) bahwa dalam sistem
perpajakan pada umumnya ada empat aturan :
1. Prinsip kesamaan / keadilan yaitu beban pajak harus sesuai dengan
kemampuan relative bagi setiap wajib pajak.
2. Prinsip kepastian yaitu pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti bagi setiap
wajib pajak, sehingga wajib pajak akan dengan senang hati membayar
pajak.
4. Prinsip ekonomi yaitu pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang
seminimal mungkin.
Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungsi budgeter
dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi
kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Sementara fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai
alat untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar
rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor
dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam
rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
Beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian
kewenangan perpajakan kepada tingkat pemerintahan pusat, propinsi dan
kabupaten/kota (Teresa Ter-Minassian, 1997), yaitu :
1 Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok
untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat.
2 Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu
mobile karena akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarif
pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.
kena pajak atau beban pajak tinggi ke daerah yang tidak kena pajak
atau beban pajaknya rendah.
3 Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah,
seharusnya diserahkan kepada pemerintah pusat.
4 Pajak daerah seharusnya visible, artinya pajak seharusnya jelas bagi
pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5 Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk
daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar
pajak dengan pelayanan yang diterima.
6 Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang
memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertical yang besar.
Hasil peneriman harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak
terlalu berfluktuasi.
7 Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi
secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi
jumlah pembayar pajak, penegakan hukum (law-enforcement) dan
komputerisasi.
8 Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan
manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
Karakteristik pajak daerah yang baik menurut UU No. 34 tahun 2000 adalah:
1 Pajak harus cocok dijadikan sebagai pajak daerah, misalnya tax base
harus jelas berada di wilayah pemerintah daerah dan berkaitan dengan
aktivitas ekonomi di daerah tersebut.
2 Harus diterima secara politik di tingkat nasional maupun daerah.
3 Tidak tumpang tindih dalam penetapan tax base agar tidak terjadi
double taxation.
4 Terdapat kebijaksanaan untuk menghindari tingkat pajak yang terlalu
tinggi yang dapat menciptakan distorsi ekonomi, melemahkan sumber
penerimaan, dan menimbulkan masalah administratif.
5 Tidak terlalu sensitif terhadap fluktuasi ekonomi yang akhirnya
membahayakan stabilitas fiskal.
6 Biaya yang dikeluarkan harus lebih rendah dari besarnya penerimaan
yang akan diperoleh.
7 Tidak merugikan kebijakan ekonomi nasional.
8 Tidak mengubah alokasi sumber daya antar pemerintah daerah.
9 Beban pajak harus dapat diterima,dari sisi penanggung pajak maupun
dampak pajak secara umum.
10 Tidak bersifat regresif.
11 Tidak terdiskriminasi antar bagian masyarakat.
2000, informasi mengenai jenis dan tarif pajak propinsi dan kabupaten/kota dapat
dilihat di Tabel 4.
Tabel 4. Jenis Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota
No. Jenis Pajak Tarif Pajak Keterangan I Pajak Propinsi
1.1 Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
2.5 Pajak Penerangan Jalan 10% 2.6 Pajak Pengambilan Bahan
dibebankan pada pajak pengambilan dan pemanfatan air bawah tanah yaitu sebesar 20 %,
sedangkan pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor
sama-sama memiliki tarif sebesar 5%. Dan jika dilihat dari pajak kabupaten/ kota, tarif
tertinggi dibebankan kepada pajak hiburan yaitu sebesar 35%, yang kemudian tertinggi
kedua dibebankan pada reklame sebesar 25%. Tarif terendah dibebankan pada pajak
hotel, restauran dan pajak penerangan jalan yang masing-masing dikenakan tarif sebesar
III. METODE PENELITIAN
A. Data dan Sumber Data
Penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bukti,
catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan
maupun yang tidak dipublikasikan secara time series yaitu meliputi APBD dan
PDRB Kabupaten Way Kanan. Sumber data penelitian merupakan subyek dari
mana data diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder yang merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Sumber data diperoleh
dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Way Kanan
dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Way Kanan serta sumber-sumber lain yang
berhubungan dengan objek penelitian ini.
B. Metode Memperoleh Data
1. Penelitian Lapangan
Penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan data-data secara langsung dari
instansi yang berhubungan dengan objek penelitian ini, dalam hal ini adalah Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Way Kanan dan data dari
Selain itu dari dokumentasi, yaitu pengumpulan data dengan cara mencatat
dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang terdapat pada kantor atau lokasi
penelitian sebagai pelengkap data yang telah dikumpulkan.
2. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini adalah dengan cara mempelajari tulisan-tulisan, literatur dan buku
yang terkait dengan tulisan ini.
C. Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif artinya
dengan alat analisis ini data-data yang terkumpul akan didiskripsikan
permasalahan, tujuan dan kesimpulan dari hasil penelitian. Analisis deskriptif
yaitu menampilkan data dalam bentuk tabel dan deskripsikan dalam bentuk narasi
serta menafsirkan dan memberikan gambaran kesesuaian antara fakta dengan teori
dan peraturan yang berkaitan dengan tulisan ini atau sebagaimana adanya secara
utuh.
D. Gambaran Umum
1. Aspek Geografis dan Aspek Demografis
Kabupaten Way Kanan adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi
Lampung, dimana kabupaten ini merupakan pecahan dan pemekaran dari
Kabupaten Lampung Utara sebagai Kabupaten induknya.
Pemerintah Kabupaten Way Kanan menjadi kabupaten yang devinitif dan
dengan tanggung jawab rentang kendali menyangkut sistim pemerintahan dan
birokrasi yang sama dengan kabupaten induknya.
Secara administrative, Kabupaten Way Kanan memiliki 14 kecamatan dan 98
kelurahan dengan luas administrative yang dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 5. Luas Kabupaten Way Kanan dan Jumlah Kelurahan Per Kecamatan
No. Kecamatan Luas (Km2) Kelurahan/Desa
1 Banjit 331,6 20
Blambangan Umpu adalah ibu kota dari Kabupaten Way Kanan, sebagai pusat ibu
kota pemerintahan tersentralisasi di kota inWilayah Kota Way Kanan merupakan,
Sebagai pusat ibu kota Blambangan Umpu letak strategisnya dapat di jangkau
melalui jalur transportasi jalan raya dan dengan transportasi angkutan kereta api.
Kegiatan perekonomian masyarakatnya sebagian kecil berada pada usaha di sektor
jasa, perdagangan dan pegawai, dan sebgian besar masyarakatnya bekerja pada
Dilihat dari segi tata ruang dan tata guna tanah yang ada maka lahan yang tersedia
di Kabupaten Way Kanan dapat digunakan untuk: Pemukiman, perkantoran,
pasar, perusahaan, industri, jasa sosial, pendidikan dan olahraga serta dapat
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Dari luas wilayah Kabupaten Way Kanan sebesar 392.163 Ha digunakan untuk
bermacam- macam lahan, untuk perkampungan, pertanian, hutan, rawa,
perusahaan , lokasi industri, jasa lainnya dan tanah kosong (Tabel 5)
Tabel 6. Luas Penggunaan Tanah di Kabupaten Way Kanan 2010
No Penggunaan Tanah %Luas (Ha)
sebesar 47,9 persen. Sedangkan lahan yang paling sedikit digunakan adalah rawa
STIMULUS DANA PERIMBANGAN TERHADAP
KEMANDIRIAN FISKAL (PAJAK DAERAH) DI KABUPATEN
WAY KANAN 2003 - 2010
(Skripsi)
Oleh :
Nama : M. Reza Pratama Putra
NPM : 0641021044
Jurusan : Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan Konsentrasi : Ekonomi Publik
Dosen Pembimbing : Yourni Atmaja, SE., M.Si.
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih. Bapekki Depkeu. September 2010
Adi, Priyo Hari. 2006. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah,
Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah Studi pada Kabupaten dan Kota se JawaBali.Jurnal Kritis: Univeritas Kristen SatyaWacana Salatiga.
Adi, Priyo Hari, dan Harianto. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Jurnal Kritis: Univeritas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Adi, Priyo Hari, dan Harianto. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Jurnal Kritis: Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Badan Pusat Statistik. 2009. Kabupaten Way Kanan Dalam Angka 2010
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Keuangan Daerah Provinsi Lampung. 2010
Boediono. 1999. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE. Yogyakarta
Brata, Aloysius Gunadi. 2004. Komposisi Penerimaan sektor Publik Dan
Pertumbuhan Ekonomi Regional. Lembaga Penelitian UniversitasAtma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta
Darwanto. 2007. Pengaruh pertumbuhan PAD, Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Septembet 2010.
Holtz-Eakin, Doglas, Harvey S, & Schuyley Tilly. 1994. Intertempora Analysis of State An Local Government Spending: Theory and Tests. Journal of Urban Economics 35:159-174
Kuncoro, Mudrajat.2004. Otonomi dan Keuangan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Erlangga. Jakarta
Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China, Economic Development and Cultural Change Chicago. Vol 49.
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta
Suparmoko D. 2002. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta
Suparmoko, D. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Andi. Yogyakarta
Supendi. 2007. Analisis Pengaruh Efesiensi dan Efektif Dalam Pemgalokasian APBD Terhadap Kinerja Pemerintah Kabupaten Tanggamus. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
Todaro, P Michael. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta
Widjaja, HAW. 2005. Penyelenggaran Otonomi di I ndonesia Dalam Rangka
Sosialisai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta
Yani, Ahmad. 2002. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Yustikasari, Yulia, dan Darwanto. 2007. Pengaruh Perumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Jurnal Kritis: Univeritas Gadjah Mada Yogyakarta.
Peraturan pemerintah No.53 Tahun 2009. tentang Dana Alokasi Umum Provinsi, Kabupaten dan Kota
Peraturan pemerintah No.84 Tahun 2001 tentang Perubahan atas PP No.104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
Pemendagri No.13 Tahun 2003. tentang Belanja Daerah. Jakarta
Undang-undang RI No.32 Tahun 2004. tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang RI No.33 Tahun 2004. tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
“ Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telah di buat
dengan sungguh-sungguh dan tidak merupakan tindak penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya
sanggup menerima hukuman/sanksi sesuai peraturan yang berlaku “.
Bandar Lampung, 21 Februari 2013 Penulis,