ABSTRAK
P
PEENNEERRAAPPAANNKKEEAADDIILLAANNRREESSTTOORRAATTIIFF P
PAADDAAPPRROOSSEESSPPEENNYYIIDDIIKKAANNPPEERRKKAARRAAPPIIDDAANNAAAANNAAKK (
(SSttuuddiiddiiKKeeppoolliissiiaannRReessoorrKKoottaaBBaannddaarrLLaammppuunngg))
Oleh :
Y
Yuurriiss SSeettiiaa NNiinnggssiihh AAbbdduuhh
Penegakan hukum pada anak harus mengedepankan kesejahteraan anak dan perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari penjatuhan sanksi penjara. Hal ini berarti penanganan masalah pidana yang melibatkan anak tidak selalu mengacu pada hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat, melainkan ikut serta mempertimbangkan aspek pelajaran dan pengalaman yang akan berguna bagi perkembangan positif psikologis anak. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengapa diperlukan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak, bagaimanakah penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung, dan apa yang menjadi hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif, empiris, dan menggunakan data primer serta data sekunder. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis kualitatif yang merupakan rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan dianalisis dengan cara pikir yang deskriptif. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif yang bersifat khusus ke umum dengan penalaran yang logis.
Hasil penelitian adalah perlunya penerapan keadilan restoratif agar upaya penyelesaian lebih difokuskan pada pemulihan atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut, bukan pembalasan bagi pelaku. Praktik penyidikan tindak pidana oleh penyidik Polri dengan mengimplementasikan konsep keadilan restoratif melalui diversi. Diversi dilakukan dengan adanya diskresi kepolisian dalam pelaksanaan penegakan hukum. Hambatan dalam penerapan keadilan restoratif adalah tidak adanya payung hukum yang mengatur dan menjadi landasan legitimasi serta tidak adanya prosedur atau mekanisme yang formal-prosedural dalam mengambil keputusan pada proses penyidikan apakah berdasarkan konsep keadilan restoratif, kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural, tidak semua pihak yang bersengketa memiliki itikad baik untuk menyelesaikan masalah di luar pengadilan melalui proses mediasi.
Y
YuurriissSSeettiiaaNNiinnggssiihhAAbbdduuh h tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sambil menunggu berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan hendaknya dalam konteks pembaruan hukum pidana, penggunaan kebijakan penal saat ini dalam penanganan proses anak yang bermasalah dengan hukum haruslah dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan stigmatisasi bagi anak.
D
DAAFFTTAARR IISSII
LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK
LEMBAR PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR
Hlm
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12
D. Kerangka Teori dan Konseptual... 13
E. Sistematika Penulisan... 20
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Keadilan Restoratif... 23
B. Pengertian Anak... 27
C. Pengertian Tindak Pidana... 31
D. Pengertian Diversi... 32
E. Dasar Hukum Perlindungan Anak... 33
F. Fungsi Penyidikan Oleh Polri... 35
G. Pengaturan terhadap Anak yang melakukan Tindak Pidana... 39
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 44
B. Sumber dan Jenis Data... 44
C. Penentuan Narasumber... 47
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden... 50
B. Urgensi Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses
Penyidikan Perkara Pidana Anak... 58
C. Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses Penyidikan
Perkara Pidana Anak di Polresta Bandar Lamp... 66
D. Hambatan Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses
Penyidikan Perkara Pidana Anak di Polresta Bandar Lampung... 76
V. PENUTUP
A. Kesimpulan... 83
B. Saran... 84
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat
dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus
mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak, kemudian juga dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
disingkat dengan UUPA), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak yang mengemukakan asas-asas umum perlindungan anak,
yaitu perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran
2
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang
akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang. Masa kanak-kanak
merupakan periode penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan
pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak,
kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar mereka kelak memiliki
kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.1
Mengingat pentingnya peran anak bagi keberlangsungan hidup manusia berbangsa
dan bernegara, maka amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat (2)
menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang
serta berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskrimininasi.2
Menyadari kedudukan anak sebagai generasi penerus bangsa, maka semua pihak
harus selalu berupaya melindungi anak agar tidak menjadi korban kekerasan, atau
terjerumus dalam melakukan perbuatan yang tidak terpuji dan melanggar hukum.
Kurang lebih 4.000 anak diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan
ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan,
baik dari pengacara maupun dinas sosial daerah setempat. Dengan demikian, tidak
1
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm 11.
2
3
mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah
tahanan atas tindak pidana yang dilakukan.
Sebagai contoh sepanjang tahun 2012 tercatat dalam statistik kriminal Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) terdapat lebih dari 12.566 anak yang
disangka sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak
didik dari tahun per tahun cenderung bertambah. Pada tahun 2008 berjumlah
1.867, pada tahun 2009 berjumlah 2.023, pada tahun 2010 berjumlah 2.356, pada
tahun 2011 berjumlah 2.726, pada tahun 2012 berjumlah 3.211 tahanan anak di
[image:11.595.112.518.408.589.2]rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.3
Tabel 1. Statistik Kriminal Anak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Tahun 2012 No Jenis Anak dalam Rutan/Lapas Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012
1 Anak di Lapas
1.064 1.189 1.461 1.881 2.017
2 Anak di Rutan
803 1.014 895 845 1.194
JUMLAH 1.867 2.203 2.356 2.726 3.211
Selama tahun 2012 di Propinsi Lampung anak yang berkonflik dengan hukum
setidaknya ada 115 kasus. Dari 115 kasus, 64,3 persen atau 74 kasus, anak-anak
terlibat dalam kasus pencurian dan 16,1 persen atau 15 kasus, anak-anak terlibat
dalam kasus narkoba. Selain itu juga terdapat 6,8 persen atau sembilan kasus
3
4
anak-anak yang terlibat dalam kasus penganiayaan. Sedangkan untuk kasus
[image:12.595.114.513.195.338.2]pemerkosaan terdapat delapan kasus atau 6 persen.4
Tabel 2. Statistik anak yang berkonflik dengan hukum di Propinsi Lampung Tahun 2012
No Jenis Kasus Banyaknya Kasus Persentase
1 Pencurian 74 64,3 %
2 Penyalahgunaan Narkoba 15 16,1 %
3 Penganiayaan 9 6,8 %
4 Pemerkosaan 8 6,0 %
5 Lainnya 9 6,8 %
JUMLAH 115 100%
Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap
pendapat anak, maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar
mekanisme pidana atau biasa disebut diversi, karena lembaga pemasyarakatan
bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam lembaga
pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak.5
Barda Nawawi Arief6 dalam bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
berpendapat:
“tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan
4
http://lampung.tribunnews.com/2013/01/01/kasus_anak, diakses pada hari Minggu tanggal 3 Februari 2013 pukul 20.15 WIB
5
Supeno, Kriminalisasi Anak : Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm 12.
6
5
penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Disamping itu penegakan hukum pada anak harus mengedepankan kesejahteraan anak dan perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk menghindari penjatuhan sanksi penjara.”7
Hal ini berarti penanganan masalah pidana yang melibatkan anak tidak selalu
mengacu pada hukuman atas kesalahan yang telah diperbuat, melainkan ikut serta
mempertimbangkan aspek pelajaran dan pengalaman yang akan berguna bagi
perkembangan positif psikologis anak. Kekhususan penanganan masalah
kenakalan anak tersebut karena disamping kenakalan anak merupakan perbuatan
anti sosial yang dapat meresahkan masyarakat, persoalan penanganan anak yang
diduga melakukan tindak pidana adalah gejala umum yang harus diterima sebagai
fakta sosial.
Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur
secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak
Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyatakan:
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia
untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
7
6
Perlindungan Anak, dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut
mengatur hak-hak anak yang berupa hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan,
hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi,
berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Sistem Peradilan Anak di Indonesia bertumpu pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sementara menunggu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang baru
akan berlaku terhitung mulai tanggal 30 Juli 2014 setelah diundangkan pada
tanggal 30 Juli 2012.8 Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif.”
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, penyelesaian perkara anak yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memiliki berbagai
kelemahan, khususnya menyangkut pengaturan tentang perkara pemidanaan,
dimana pengaruh aliran klasik paradigma keadilan retributive (pembalasan)
sebagai tujuan pemidanaan masih tampak sangat melekat. Sehingga penerapan
pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak mengurangi jumlah
tindak pidana yang dilakukan anak dan tidak mencegah anak melakukan tindak
pidana.9
8
http://www.kemendagri.go.id/news/2012/07/04/uu-sistem-peradilan-anak-akhirnya-disahkan-dpr, diakses pada hari Minggu tanggal 24 Maret 2013 pukul 19.00 WIB.
9
7
Salah satu bentuk penanganan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum
(selanjutnya disebut ABH) diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa
penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. Peraturan ini sesuai dengan Convention of The Right of The Child
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak dengan menyatakan
bahwa proses hukum dilakukan sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang
paling singkat dan layak.
Sebagian peraturan yang berkaitan dengan penahanan ABH sebenarnya sudah
berupaya menerapkan keadilan restoratif, walaupun belum secara komprehensif.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak ABH yang melakukan kejahatan ringan
kemudian dipenjara, seperti kasus Raju yang menghebohkan dunia hukum anak di
Indonesia pada tahun 2008. Anak yang saat itu berusia 8 (delapan) tahun tersebut
ditahan selama 19 (sembilan belas) hari untuk menjalani proses hukum yang
menimbulkan trauma berat. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera
Utara itu sebenarnya sudah prosedural, sesuai dengan ketentuan hukum peradilan
anak yang berlaku, namun tetap memancing protes keras dari para pemerhati anak
Indonesia yang mengganggap proses peradilan sangat mengganggu mental dan
8
Kasus yang mencerminkan penegakan hukum secara alternatif (non litigasi)
adalah kasus pertengkaran anak sekolah sebagai akibat dari tawuran yang terjadi
di Bandar Lampung pada tanggal 14 Desember 2012. Pada kasus ini, kepolisian
melakukan mediasi guna menyelesaikan perkara. Mediasi merupakan proses
negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial)
dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka
memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim
atau arbiter, mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa
antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak mengusahakan kepada
mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka
tanpa harus melanjutkan proses hukum ke tingkat pengadilan.
Kasus lain yang terjadi di Bandar Lampung terhadap seorang anak bernama Heri
(16) dan Hendri (15) yang keduanya merupakan teman sekelas di salah satu
Sekolah Negeri di Kota Bandar Lampung, yang disangka sebagai pelaku atas
tindakan penganiayaan terhadap teman sepermainan bernama Muslim (13) di
sebuah bangunan kosong di wilayah Tanjung Karang Barat, Kota Bandar
Lampung.
Pada hari Sabtu siang sepulang sekolah, ketiga anak tersebut terlibat adu mulut
disertai dengan pertengkaran setelah ketiganya bermain sepakbola. Heri yang
tidak terima setelah wajahnya terkena bola tanpa sengaja akibat lemparan Muslim,
langsung memukul tubuh dan wajah Muslim dengan keras. Melihat hal ini, Hendri
yang berada tidak jauh dari Heri turut serta memukul dan menendang bagian
9
luka lebam. Melihat korbannya pingsan, Heri dan Hendri lalu melarikan diri
pulang ke rumahnya masing-masing tanpa peduli keadaan korban.10
Adapun korban ditemukan oleh Siswandi (16) yang tidak lain adalah kakak
kandung dari korban yang secara tidak sengaja melintas di tempat kejadian
perkara. Siswandi pun membawa adiknya pulang ke rumah dalam keadaan siuman
setelah hampir 1 (satu) jam berusaha menyadarkan adiknya dari jatuh pingsan.
Lalu korban ditemani oleh kedua orangtuanya melaporkan Heri dan Hendri ke
Polresta Bandar Lampung dengan tuduhan penganiayaan ringan dengan ancaman
kurungan 4-5 tahun sesuai dengan Pasal 351 KUHP, Pasal 351 jo 352 KUHP, dan
Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak. Tak butuh waktu lama bagi
aparat Polresta Bandar Lampung, Heri dan Hendri ditangkap di rumahnya
masing-masing pada hari Minggu pagi pukul 08.30 WIB tanpa perlawanan untuk
dipenjarakan ke dalam tahanan Polresta Bandar Lampung.
Tersangka Heri dan Hendri terlihat sangat shock dalam proses penyidikan
sehingga tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan dari penyidik. Penyidik
Polresta Bandar Lampung berupaya melakukan mediasi penal untuk mewujudkan
paradigma keadilan restoratif dalam menyelesaikan perkara ini. Mediasi penal ini
sesuai dengan maksud dan tujuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yaitu demi yang terbaik bagi anak. Hasil mediasi
tersebut dituangkan dalam suatu kesepakatan damai antar kedua belah pihak serta
menyetujui kesepakatan bahwa kasus tersebut tidak akan dilanjutkan ke tingkat
pengadilan. Pada akhirnya perdamaian dapat tercapai melalui proses mediasi
10
10
tanpa harus menghukum berat pelaku penganiayaan karena pelaku masih dalam
kategori anak di bawah umur. Keuntungan mediasi tersebut dapat menjadi ujung
tombak dalam reformasi hukum di Indonesia karena selaras, sesuai dengan
budaya Indonesia, yang mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam
menyelesaikan segala masalah yang menguntungkan baik dari pihak pelaku
maupun korban.
Kasus di atas dapat dijadikan contoh akan perubahan paradigma tentang keadilan
dalam hukum pidana merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini.
Sistem peradilan anak harus berlandaskan pada keadilan retributive (menekankan
keadilan pada pembalasan) dan restitutive (menekankan keadilan atas dasar
pemberian ganti rugi) yang bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore)
perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi
anak, korban dan lingkungannya.
Demi kepentingan terbaik bagi anak sudah selayaknya aparat penegak hukum
menerapkan pendekatan restorative justice/keadilan restoratif mulai saat ini.
Dibutuhkan koordinasi menyelutuh antar aparat penegak hukum agar terwujudnya
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) untuk
menyamakan persepsi dalam penanganan ABH. Dibutuhkan kesadaran dari aparat
penegak hukum dalam menerapkan keadilan restoratif lebih menggunakan moral
justice (keadilan menurut nurani) dan memperhatikan social justice (keadilan
masyarakat) selain wajib mempertimbangkan legal justice (keadilan berdasarkan
perundang-undangan) sehingga tercapainya presice justice (penghargaan tertinggi
11
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk karya ilmiah dan menuangkan ke dalam Tesis dengan
judul: “Penerapan Keadilan Restoratif pada Proses Penyidikan Perkara Pidana
Anak (Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung).”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Mengapa diperlukan penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan
perkara pidana anak?
b. Bagaimanakah penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara
pidana anak di Polresta Bandar Lampung?
c. Apa yang menjadi hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses
penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung?
2. Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam kajian hukum pidana. Adapun ruang lingkup ilmu
dalam penelitian ini tentang penerapan Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan
dengan hukum peradilan anak. Substansi penelitian berkaitan dengan penerapan
keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara pidana anak. Lokasi penelitian
12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui perlunya penerapan keadilan restoratif dalam proses
penyidikan perkara pidana anak.
b. Untuk memahami penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan
perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.
c. Untuk mengetahui hambatan dalam penerapan keadilan restoratif pada proses
penyidikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kegunaan sebagai berikut:
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan, khususnya mengenai penerapan keadilan restoratif untuk
menyelesaikan perkara pidana anak di Polresta Bandar Lampung, hambatan
penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak di
Polresta Bandar Lampung, dan perlunya penerapan keadilan restoratif dalam
proses penyidikan perkara pidana anak.
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbang saran dan
pemikiran kepada institusi kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya
serta praktisi hukum dan akademisi tentang penerapan keadilan restoratif
13
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu
teori dengan faktor‐faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah
tertentu. Arti teori adalah sebuah kumpulan proposisi umum yang saling berkaitan
dan digunakan untuk menjelaskan hubungan yang timbul antara beberapa variabel
yang diobservasi. Teori selalu berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan
proposisi. Secara defenitif, teori harus berlandaskan fakta empiris karena tujuan
utamanya adalah menjelaskan dan memprediksikan realitas. Suatu penelitian
dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan peneliti dalam upaya
menjelaskan fenomena yang diteliti.
Kerangka pemikiran adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan
hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh
peneliti.11 Adapun yang menjadi kerangka pemikiran dalam penelitian ini
mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Anak perlu penanganan khusus dalam perkara pidana
b. Teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah yaitu teori mediasi
penal (penyelesaian perkara di luar pengadilan) oleh Barda Nawawi Arief,
teori Reintregative Scheme tentang keadilan testoratif oleh John Braithwaite,
dan teori faktor penghambat penegakan hukum oleh Soerjono Soekanto.
11
14
c. Semua teori tersebut akan digunakan dalam pembahasan guna mengetahui
penerapan keadilan restoratif dalam proses penyidikan perkara pidana anak.
Penanganan perkara anak harus memperhatikan kepentingan anak dan sesuai
dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional maupun
internasional untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak. Indonesia
sudah memiliki aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi
hak-hak anak antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Perlindungan ini tidak hanya berlaku bagi anak yang berperilaku baik saja, tetapi
juga bagi anak-anak yang melakukan tindak·pidana termasuk pada anak yang
dijatuhi sanksi penjara pendek (kurang dari satu tahun penjara) karena perbuatan
yang dilakukan adalah pencurian yang nilai ekonomisnya kecil, penganiayaan
ringan atau perkelahian antar anak yang berakibat luka ringan.
Penjatuhan pidana penjara hanya bertujuan untuk penjeraan saja, pembinaan
kemandirian (pemberian keterampilan) yang dilakukan selama di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) seringkali tidak tercapai, karena pada saat anak tengah
menjalani proses pembinaan masa pidana penjaranya telah habis, sehingga
keterampilan yang diberikan tidak tuntas. Sebagai ilustrasi, diambil hasil
penelitian di Lapas Kelas I Bandar Lampung, pada bulan Januari tahun 2007
sampai dengan bulan Desember 2012 ada 51 (lima puluh satu) orang napi anak
15
variasi hukuman penjara antara 5-11 bulan penjara. Selama di Lapas anak-anak
hanya memperoleh pembinaan kepribadian, seperti pembinaan keagamaan dan
disiplin saja, sedang pembinaan kemandirian yang diperlukan tidak diperoleh.
Kecenderungan meningkatnya jumlah anak pelaku tindak pidana ringan atau
kerugian yang diakibatkan relatif kecil seperti pencurian, umumnya terjadi di
Indonesia, termasuk di wilayah Bandar Lampung. Keadaan ini makin
mengindikasikan penjatuhan sanksi penjara pendek pada anak pelaku tindak
pidana ringan tidak bermanfaat. Hal lain yang perlu diperhatikan, di daerah atau
propinsi yang belum memiliki Lapas Anak, pelaksanaan pidana penjara bagi anak,
dicampur dengan narapidana dewasa. Kondisi seperti ini bisa menjadi proses
belajar yang salah (faulty learning) bagi anak, karena ada proses prisonisasi pada
anak.
Prisonisasi menurut Clemmer dalam buku Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana oleh Barda Nawawi Arief12,
adalah proses belajar seorang narapidana tentang sub kultur atau sistem sosial
informal yang ada dalam penjara. Dalam proses prisonisasi ini, narapidana baru
harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat
narapidana dan yang dipelajari adalah kepercayaan, perilaku dan tata nilai dalam
masyarakat narapidana di penjara. Proses prisonisasi yang diterima dan dialami
oleh narapidana anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan ini akan
berdampak negatif bagi perkembangan perilaku anak.
12
16
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Teori mediasi penal (penyelesaian perkara di luar pengadilan) oleh Barda
Nawawi Arief.13 Mediasi penal (penalmediation) sering juga disebut dengan
berbagai istilah, antara lain mediation in criminal cases atau mediation in
penal matters. Karena mediasi penal mempertemukan antara pelaku tindak
pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan
istilah Victim-Offender Mediation (VOM). Mediasi penal merupakan salah
satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa
dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution. ADR pada
umumnya digunakan di lingkungan kasus perdata, tidak untuk
kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan
di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun pada umumnya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata,
namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar
pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui
mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di
dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah
adat). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak
ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang
secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme
13
17
hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang
berlaku.
b. Teori John Braithwaite14, yang dikenal dengan sebagai Reintregative Scheme.
Restorative Justice berdasarkan pada prinsip-prinsip due process model, yang
sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk
diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, hingga vonis pengadilan, hak
untuk membela diri dan mendapatkan hukuman yang proporsional dengan
kejahatan yang dilakukannya. Kepentingan korban juga sangat diperhatikan
yang diterjemahkan melalui mekanisme kompensasi atau ganti rugi, dengan
tetap memperhatikan hak-hak asasi anak yang disangka telah melakukan
pelanggaran hukum pidana.
c. Teori faktor penghambat penegakan hukum oleh Soerjono Soekanto15,
sebagai berikut :
1) Faktor hukumnya sendiri
Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif.
2) Faktor penegak hukum
Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
3) Faktor sarana atau fasilitas
Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya.
14
DS. Dewi, Fatahilla A.Syukur, Op.Cit., hlm 14-15. 15
18
4) Faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
5) Faktor kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Secara yuridis normatif pada Pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengatur 2 (dua) jenis perlakuan hukum
yang bisa dikenakan pada anak pelaku tindak pidana yaitu sanksi pidana dan
sanksi tindakan. Sanksi tindakan sebenarnya lebih tepat diterapkan pada anak
pelaku tindak pidana ringan, karena pelaku tidak harus menghuni Lapas, sehingga
terhindar dari dampak negatif sanksi penjara. Hal ini sejalan dengan model baru
dalarn sistem penghukuman yang bersifat restoratif. Model penghukuman ini
sangat tepat digunakan dalam penanganan pada pelanggar berusia muda/dibawah
umur.
Restorative justice, dianggap sebagai model penghukuman modern dan lebih
manusiawi bagi model penghukuman terhadap anak. Prinsip restorative justice
merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan
dengan pendekatan keadilan. Konsep dasar yang melatarbelakangi prinsip
keadilan restoratif adalah adalah teori John Braithwaite, yang dikenal dengan
sebagai Reintregative Scheme. Restorative Justice berdasarkan pada
prinsip-prinsip due process model, yang sangat menghormati hak-hak hukum
19
hingga vonis pengadilan, hak untuk membela diri dan mendapatkan hukuman
yang proporsional dengan kejahatan yang dilakukannya. Kepentingan korban juga
sangat diperhatikan yang diterjemahkan melalui mekanisme kompensasi, dengan
tetap memperhatikan hak-hak asasi anak yang disangka telah melakukan
pelanggaran hukum pidana. Berdasarkan alasan di atas, perlu dilakukan kajian
ilmiah tentang rekonseptualisasi penerapan sanksi selain sanksi penjara bagi anak
dengan memperhatikan aspek mendidik daripada aspek pembalasan.
2. Konseptual
a. Penerapan adalah penerapan adalah hal, cara atau hasil.16
b. Keadilan restorative adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Dipihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir yang
baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
dan pekerja hukum.17
c. Proses adalah runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.18
d. Penyidikan adalah Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
16
Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa. Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 1996, hlm. 1487.
17
Eva Achjani Zulfa, Definisi Keadilan Restoratif, http://evacentre.blogspot.com/2009 /11/ definisi-keadilan-restoratif.html, diakses pada tanggal 6 September 2013.
18
20
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 ayat
(2) KUHAP).
e. Perkara adalah masalah atau persoalan. 19
f. Tindak pidana, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana barang siapa
melanggar larangan tersebut. 20
g. Anak (khususnya sebagai subyek hukum dalam tinjauan pidana anak) adalah
seseorang yang sudah berusia 8 tahun namum belum mencapai usia 18 tahun
dan selama dalam rentang waktu umur dimaksud belum pernah menikah.
(Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
kemudian telah diubah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No:
1/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 sehingga norma batasan usia
anak yang dapat diproses hukum pidana adalah dalam rentang umur 12 tahun
sampai dengan 18 tahun, namun norma ini baru berlaku efektif sebagai
hukum positif – normatif adalah sejak tanggal 24 Februari 2011 sehingga
dalam konsteks penelitian ini tetap menggunakan dasar Pasal 1 ayat (1) UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
E. Sistematika Penulisan
Untuk memahami isi penelitian ini, maka penulisannya dibagi dalam V (lima) Bab
secara berurutan yang hubungannya saling berkaitan serta dapat memberikan
gambaran secara utuh hasil penelitian secara rinci sebagai berikut :
19
www. Artikata.com 20
21
I. PENDAHULUAN
Penulis berusaha untuk memberikan gambaran awal tentang penelitian yang
meliputi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka teori dan konseptual, serta sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Memuat tentang kerangka landasan teori yang digunakan sebagai dasar dalam
menganalisis masalah yang akan dibahas. Bab ini juga memuat pengertian
keadilan restoratif, dasar hukum perlindungan anak, dan penyelesaian perkara
anak di luar pengadilan.
III METODE PENELITIAN
Bab ini menyajikan metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan dan
pengolahan data, yang merupakan bahan dalam penulisan ini meliputi
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel,
metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang
penerapan keadilan restoratif pada proses penyidikan perkara anak, upaya
Polresta Bandar Lampung dalam menangani hambatan penerapan keadilan
restoratif pada proses penyidikan perkara anak serta menghubungkan fakta
22
V PENUTUP
Merupakan bab terkait dalam penulisan penelitian hukum ini yang meliputi
kesimpulan dan saran yang dapat membantu para pihak yang memerlukan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Keadilan Restoratif
1. Teori Restorative Justice
Pada tahun 1980an, John Braithwaite21 dalam buku Mediasi Penal: Penerapan
Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A.
Syukur, memperkenalkan sistem penghukuman dengan pendekatan restorative
justice, karena terinspirasi oleh masyarakat Maori dalam menangani
penyimpangan di lingkungan mereka, yang menekankan penyelesaian masalah
dengan melibatkan masyarakat dan petinggi masyarakat setempat untuk
menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Tony Marshall22 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, memberikan
definisi dari restorative justice sebagai “proses yang melibatkan semua pihak
yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang
bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan
menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.”
21
DS. Dewi, Fatahilla A.Syukur, Op. Cit., hlm 19. 22
24
Sedangkan Marian Liebmann23 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan
Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A.
Syukur, secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem
hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan
masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau
tindakan kejahatan lebih lanjut.”
James Dignan, mengutip Van Ness dan Strong24 dalam buku Mediasi Penal :
Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia oleh DS. Dewi,
Fatahilla A. Syukur, menjelaskan bahwa restorative justice pada mulanya
berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang
berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif,
yang penekanan utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang
mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan „keadilan distributif‟, yang
penekanan utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga
adalah „keadilan restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi.
Eglash dianggap sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut
dengan pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya
dari tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan,
baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk mengamankan
reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar.
23
Ibid., hlm 20. 24
25
2. Konsep Restorative Justice
Restorative Justice concept atau konsep keadilan restoratif merupakan sebuah
konsep keadilan bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga
dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan
menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki
kehidupan bermasyarakat. Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran
yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan
pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.
Wright25 dalam buku Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan
Anak Indonesia oleh DS. Dewi, Fatahilla A. Syukur, menjelaskan bahwa konsep
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran
keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku
(baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu
disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan
pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila
diperlukan. Indonesia telah memberlakukan konsep keadilan restoratif dalam
proses peradilan anak. Hal tersebut lebih menjamin terpenuhinya rasa keadilan
antara korban dan pelaku. Dalam pembahasan mengenai penerapan keadilan
restoratif pada proses penyidikan perkara anak oleh penyidik Polri, teori utama
yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman26
di mana dalam bukunya yang berjudul “The Legal System A
25
Ibid., hlm 21-22. 26
26
Social Science Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas
perangkat struktur hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur
hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem
hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang
terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat
pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara
evolusi maupun revolusi.
Analisis yuridis terhadap keadilan restoratif, dapat juga dilakukan melalui
pendekatan legal system (sistem hukum) yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman.27 Sistem hukum harus memuat Substantive Law, Legal Structure, dan
Legal Culture. Secara substansi hukum keadilan restoratif diatur dalam kerangka
hukum internasional dan hukum nasional. Ketiga komponen ini mendukung
berjalannya sistem hukum disuatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan
sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan
sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi
baik itu secara evolusi maupun revolusi.
Menurut Lawrence M. Friedman28 dalam buku Sistem Hukum : Perspektif Ilmu
Sosial menyatakan bahwa tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya, sementara itu budaya hukum masyarakat tergantung kepada
budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan dan
27
Ibid., hlm 29. 28
27
kepentingan. Dalam pertanggungjawaban pidana, pelaku tindak kejahatan tidak
memiliki alasan pemaaf maupun alasan pembenar atas kesalahan yang dibuatnya.
B. Pengertian Anak
Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya Pengadilan Anak di Indonesia, apabila
ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” dimata hukum positif
Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau
person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di
bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).29
Pada tingkat Internasional, tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan
tentang anak:
Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia anatara lain : Srilanka mentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea mentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara ASEAN antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.30
Bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius
constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku
universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak, hal tersebut
dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu:
29
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm 23. 30
28
a. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pada Pasal 1 ayat (1) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam
perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan si anak belum pernah
kawin. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 8 tahun sampai 18
tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, maksudnya
tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinannya atau
perkawinanya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah
dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.
b. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Pada Pasal 1 ayat (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak menyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
d. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Pada Pasal 1 ayat (2) merumuskan anak adalah seseorang yang
belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.31 Batasan umur
ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata,
31
29
tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah
anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau
belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan
belum dewasa adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun
dan tidak atau belum pernah kawin.
e. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 KUHP
memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16
(enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara
pidana maka hakim boleh memerintahkan agar tersebut dikembalikan
kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak
dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada
pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45,
46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997.32
f. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pada
Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan
memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
g. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pada Pasal 330
KUH Perdata memberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan
tidak lebih dahulu telah kawin.
32
30
h. Menurut Hukum Adat Indonesia. Dalam hukum adat Indonesia maka
batasan untuk disebut anak bersifat pluralistic. Dalam artian kriteria untuk
menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka
ragam istilahnya. Misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”, “menek
bajang”, dan lain sebagainya.33
i. Menurut Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai
setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.34
Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan
usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status
hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau
menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.35
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa
seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan
perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.
33
Paulus Hadisuprapto, Op. Cit, hlm 6. 34
Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2000, hlm 21.
35
31
C. Pengertian Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah terjemahan dari Bahasa Belanda strafbaar-feit atau
juga disebut delict. Menurut Simons36 dalam buku Teknik Perumusan Perbuatan
Pidana dan Asas-Asas Umum oleh Osman Simanjuntak, strafbaar-feit adalah
perbuatan (handeling) yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Menurut Van Hammel37 dalam buku Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan
Asas-Asas Umum oleh Osman Simanjuntak, strafbaar-feit adalah kelakuan orang
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana
(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Hal ini lebih dipertegas dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan
atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari
perbuatan itu.
Hezewinkel Suringa38 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana oleh PAF
Lamintang mendefinisikan strafbaar-feit sebagai suatu perilaku manusia yang
pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu
dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
36
Osman Simanjuntak, Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Asas-Asas Umum, Jakarta, 2003, hlm 167.
37
Ibid., hlm 167. 38
32
Menurut Pompe39 dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana oleh PAF Lamintang,
strafbaar-feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
D. Pengertian Diversi
Menurut Eriyantow Wahid40 dalam buku Keadilan Restoratif dan Peradilan
Konvensional dalam Hukum Pidana, diversi adalah pengalihan penanganan
kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan
atau tanpa syarat. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari
efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan
sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari
oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau diskresi.
Dengan penerapan konsep diversi, bentuk peradilan formal akan lebih
mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak daripada tindakan
pemenjaraan.
Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal
sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan
perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana,
maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk
membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang
39
Ibid., hlm 200. 40
33
melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses
peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik
untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang
dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.
E. Dasar Hukum Perlindungan Anak
Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu kepada
peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum nasional
yang utama adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang berisi antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak,
hak-hak anak, kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.
Disamping Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, terkait dengan perlindungan
terhadap anak telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
34
Lebih lanjut disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2010-2014 berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan perlindungan anak sebagai berikut:
a. Meningkatkan akses terhadap layanan pemenuhan hak tumbuh kembang
anak, termasuk pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif.
b. Meningkatkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi.
c. Meningkatkan kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Masih lemahnya
kualitas dan kuantitas kelembagaan berperan dalam pencapaian pembangunan
perlindungan anak yang belum optimal yang ditunjukkan dengan: (a) masih
terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak
konsisten dengan KHA dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang
berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; dan (b)
belum terbentuknya kelembagaan perlindungan anak yang komprehensif dan
menjangkau semua wilayah, serta (c) masih lemahnya mekanisme
pengawasan dan pendataan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
35
F. Fungsi Penyidikan oleh Polri
Menurut Mahmud Mulyadi41dalam bukunya “Kepolisian dalam Sistem Peradilan
Pidana” bahwa pihak Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem
peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan
dan peranan kepolisian kelihatannya lebih besar bila dibandingkan dengan
komponen lainnya, sehingga kepolisian disebut sebagai The Gate Keeper of
Criminal Justice karena kepolisian merupakan sub sistem yang secara langsung
berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat.
Fungsi Kepolisian (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI) adalah fungsi pemerintahan negara dibidang:
1. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
2. Penegakan hukum,
3. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI) adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi:
1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, 2. tertib dan tegaknya hukum,
3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman, 4. dan pelayanan kepada masyarakat,
5. serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
41
36
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Repulik
Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, menyebutkan:42
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
42
37
f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khususnya penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidna sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Fungsi Kepolisian sebagai Penyelidik dalam Pasal 1 KUHAP ayat (1) dan (4),
menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai
penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat (4) KUHAP dinyatakan bahwa
penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Yang dimaksud dengan
penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam KUHAP.43
Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi
hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang
mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,
43
38
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan
pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut
Umum.
Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP walaupun
menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik, yang
artinya memeriksa, meneliti. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 KUHAP yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa definisi sebagai berikut:
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut
undang-undang ini.” Dalam organisasi kepolisian, istilah yang umum digunakan
adalah reserse. Tugasnya meliputi penerimaan laporan dan pengaturan serta
menyetop orang yang dicurigai untuk diperiksa. Jadi penyelidikan ini tindakan
untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara
pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen maka penyelidikan ini
maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang
berarti mencari kebenaran.44
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing
(Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia).
KUHAP Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 memberikan definisi
sebagai berikut:
44
39
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”45
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas,
karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi manusia.
Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai
berikut:46
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik
2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik 3. Pemeriksaan ditempat kejadian
4. Pemanggilan tersangka dan terdakwa 5. Penahanan sementara
6. Penggeledahan
7. Pemeriksaan atau interogasi
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat) 9. Penyitaan
10. Penyampingan perkara
11. Pelimpahan perkara pada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
G. Pengaturan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana
1. Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak
Hak-hak anak dalam proses penuntutan47 menurut Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum
Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru, meliputi ; menetapkan masa
45
Ibid., hlm. 120. 46
Ibid., hlm. 120 47
40
tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang
dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan
ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan
rehabilitasi.
Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan48 menurut Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi
Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru adalah sebagai berikut;
hak untuk mendapatkan keringanan masa/waktu penahanan, hak untuk mengganti
status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi
tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari
ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk
mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk
didampingi oleh penasehat hukum.
Hak-hak anak dalam proses persidangan49 menurut Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku Perumusan Harmonisasi Hukum
Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru antara lain; hak untuk
memperoleh pemberitahuan datang ke sidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP),
hak untuk menerima surat panggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal
146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51
hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53,
Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau
mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP).
48
Ibid., hlm 5. 49
41
Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku50 menurut
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kehakiman dalam buku
Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KU