• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Unsur-unsur Pembangun Prosa Fiksi 1. Tokoh - Septi Yuliana Bab II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. Unsur-unsur Pembangun Prosa Fiksi 1. Tokoh - Septi Yuliana Bab II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Elemen-elemen pembangun prosa fiksi, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita merupakan hal-hal yang akan diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya, mencangkupkan tokoh dan latar. Karena tokoh dan latar di sini mempengaruhi perubahan perwatakan tokoh dan perkembangan cerita.

Setiap kajian memerlukan teori yang dianggap tepat dan sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam penelitian ini karya sastra (novel) menitikberatkan pada masalah patologi sosial. Untuk mendeskripsikan bagaimana patologi sosial yang terdapat dalam novel peneliti menentukan tokoh utama yang paling sering melakukan patologi sosial. Selain itu peneliti juga melihat latar sebagai pendukung bagaimana proses patologi itu berlangsung.

Sesuai rumusan masalah yang akan dibahas dalam bagian landasan teori ini berisikan beberapa teori yang digunakan peneliti untuk menganalisis data yang di dalam novel yakni 1. Unsur-unsur pembangun prosa fiksi, berupa tokoh, penokohan, dan latar, 2. Psikologi sastra, 3. Psikologi behaviorisme, 4. Patologi sosial.

A. Unsur-unsur Pembangun Prosa Fiksi

1. Tokoh

(2)

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan Wellek dan Warren (1995:19) mengungkapkan bahwa seorang tokoh dalam novel berbeda dengan tokoh syarah/ tokoh yang hidup. Tokoh novel muncul dari kalimat-kalimat yang mendeskripsikannya, dan dari kata-kata yang diletakkan di bibirnya oleh si pengarang. Di luar karyanya, tokoh itu tidak mempunyai masa lalu dan kontuinitas hidup.

Aminuddin (1995:79-83) menyatakan bahwa tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh pembantu, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan pemunculannya dalam cerita. Selain itu dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarang, dan untuk tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah orang atau pelaku yang ditampilkan dalam sebuah cerita atau karya sastra yang memiliki peranan yang sangat penting. Karena sebuah cerita tidak mungkin berjalan apabila tidak ada tokoh di dalamnya yang membuat cerita tersebut hidup dan menarik.

(3)

dapat ditentukan paling tidak dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan makna atau tema. Kedua tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema. Ketiga, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan (Sayuti, 2000:74).

Menurut Nurgiyantoro (2007:176-178) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan berdasarkan beberapa hal meliputi:

a. Berdasarkan peranannya dalam suatu cerita, maka tokoh cerita dapat dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya sebagai pelengkap saja.

b. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, harapan-harapan pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.

c. Berdasarkan perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua, yaitu tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat (compleks karakter). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat tertentu saja. Sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang memiliki kompleksitas yang diungkap dari berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

(4)

watak tokoh. Misalnya, seorang tokoh dalam sebuah cerita oleh pengarangnya digambarkan sebagai tokoh yang memiliki mata yang selalu kemerah-merahan, berkulit kasar, dengan tubuh kurus kering yang terlihat kusam karena tidak pernah mandi. Dengan melihat gambaran-gambaran tokoh tersebut, seorang pembaca sudah dapat mengetahui bagaimana perwatakan yang dimiliki tokoh tersebut. Sedangkan dalam cara yang kedua, yakni cara dramatik, keadaan dan watak dari tokoh tidak diuraikan secara langsung, tetapi melalui hal-hal yang lain seperti: dengan cara melukiskan keadaan sekitar tempat tinggal tokoh, dengan cara melukiskan jalan pikiran dan perasaan tokoh, dengan cara melukiskan perbuatan tokoh, dengan cara melihat bagaimana tokoh lain berbicara/ pendapat dari tokoh lain, dengan cara melihat reaksi tokoh lain dan dengan cara melihat bagaimana seorang tokoh mereaksi tokoh lain.

Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan tersebut, tidak akan begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan sarana yang menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan artistik, kehadiran, dan penghadiran tokoh-tokoh cerita haruslah juga dipertimbangkan dan tidak lepas dari tujuan tersebut. Masalah penokohan dalam sebuah karya satra tak semata-matahanya berhubungan dengan maslah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadiran secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan.

2. Penokohan

(5)

sedangkan “penokohan” menunjuk pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi

diri tokoh yang ada.

Nurgiyantoro (2007:163) menjelaskan bahwa, penokohan dalam cerita dapat disajikan melaui dua metode, yaitu metode langsung (analitik) dan metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik pelukisan tokoh yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang diri tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, bahkan ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjuk dirinya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap, dan peristiwa yang terjadi.

Penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu. Menurut Boulton dalam Aminuddin (1995:79) penokohan adalah cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup dalam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya. Sedangkan menurut Jones dalam Nurgiyantoro (2007:165) penokohan adalah pelukisan gambar yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

(6)

a. Teknik Ekspositori (penjelasan)

Dalam teknik eksipotori, yang sering disebut sebagai teknik analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kehadirannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Bahkan sering dijumpai dalam suatu karya fiksi, belum lagi kita pembaca akrab berkenalan dengan tokoh cerita itu, informasi kedirian tokoh tersebut justru telah lebih dahulu kita terima secara lengkap. Hal semacam itu biasanya terdapat pada tahap perkenalan. Pengarang tidak hanya memperkenalkan latar dan suasana dalam rangka “menyituasikan” pembaca, melainkan juga data-data kedirian

tokoh cerita.

Dengan demikian teknik ekspositori merupakan penggambaran tokoh melalui teknik langsung. Memberikan uraian, deskripsi atau penjelasan tentang karakter tokoh dengan cara yang tidak berbelit-belit. Pembaca tidak perlu menafsirkan sendiri tentang sikap, watak, ciri fisik, dan lain-lain, karena pengarang biasanya sudah memperkenalkan kedirian tokoh secara rinci.

b. Teknik Dramatik

(7)

tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Dalam karya fiksi yang baik, kata-kata, tingkah laku, dan kejadian-kejadian yang diceritakan tidak sekedar menunjukan perkembangan plot saja. Melainkan juga sekaligus menunjukan sifat kedirian masing-masing tokoh pelakunya. Dengan cara itu cerita akan menjadi efektif, berfungsi ganda, dan sekaligus menunjukan keterkaitan yang erat antara berbagai unsur fiksi.

Menurut Tjahjono (1988:138) teknik dramatik dalam melukiskan tokoh-tokohnya tidak dengan cara menganalisis langsung, tatapi melalui hal-hal lain. Teknik dramatik ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu:

1) Dengan cara melukiskan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama. 2) Dengan cara melukiskan keadaan sekitar tempat tokoh itu tinggal.

3) Dengan cara melukiskan jalan pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.

4) Dengan cara melukiskan perbuatan-perbuatan tokoh-tokoh tersebut.

Jadi dengan demikian teknik dramatik merupakan teknik penggambaran tokoh secara tidak langsung. Pengarang melukiskan tokoh dengan cara menunjukkan kediriannya melalui berbagai aktivitas, tingkah laku, kata-kata, juga melalui peristiwa yang terjadi. Pengarang membiarkan pembaca yang mendeskripsikan sendiri bagaimana karakter tokoh.

3. Latar atau Setting

(8)

Stanton juga menjelaskan bahwa kadang-kadang kita menemukan bahwa latar secara langsung mempengaruhi tokoh, dan kadang-kadang dapat menjelaskan tema. Dalam banyak cerita latar dapat menggugah nada emosi di sekeliling tokoh. Istilah lain nada emosi ini adalah atmosfer. Baik atmosfer yang mencerminkan emosi tokoh ataupun merupakan bagian dari dunia di sekeliling tokoh.

Menurut Nurgiyantoro (2007:227) latar cerita dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

c. Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian, merasa dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, di samping

dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis, sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.

(9)

B. Psikologi Sastra

Hartoko dalam Noor (2007:92) memamparkan bahwa psikologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi.

Psikologi dan sastra merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda, tetapi keduanya memiliki titik kesamaan yaitu keduanya berbicara tentang manusia dan saling interaksi. Dengan demikian, jelaslah bahwa antara psikologi dan sastra mempunyai keterkaitan. Hal ini dikarenakan karya sastra dianggap sebagai hasil kreatifitas dan ekspresi pengarang. Sedangkan psikologi dianggap dapat membantu seseorang pengarang dalam hal mengentalkan kepekaannya kepada kenyataan, mempertajam pengakuan pengamatan dan memberi kesempatan untuk menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya. Ini berarti psikologi dapat digunakan oleh pengarang untuk memilih karakter tokoh serta kejiwaan tokoh dalam cerita yang dikisahkan sehingga karakter yang ditampilkan mendukung jalannya cerita (Wellek dan Warren, 1995:108).

Ratna (2004:61) berpendapat bahwa pendekatan psikologi sastra pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra.

Unsur-unsur psikologi (kejiwaan) tokoh dapat berupa konflik batin, kepribadian ganda, deviasi tingkah laku, perubahan karakter, gejolak emosi, dan lain-lain (Noor, 2007: 94).

(10)

dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Keempat mempelajari dampak sastra kepada pembaca (psikologi pembaca).

Keterkaitan karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, menurut Endraswara (2003:97-99) bahwa psikologi dan sastra memiliki hubungan secara tidak langsung dan fungsional. Pertautan tidak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama, yaitu kehidupan manusia, sedangkan pertautan fungsional karena psikologi dan sastra sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif. Selanjutnya Endaswara mengatakan bahwa sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukan kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pengarang tetap sering memanfaatkan hukum-hukum psikologi untuk menghidupkan karakter-karakter tokohnya.

Psikologi satra merupakan ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat Dianalisis konflik batin. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya satra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis dalam karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan.

(11)

hakikatnya, karya satra memberikan pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi,dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike.

Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan satra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsure-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004:343).

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan kedalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusi itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diivestasikan.

C. Psikologi Behaviorisme

Behaviriosme merupakan orientasi teoritis yang didasarkan pada premis bahwa psikologi ilmiah harus berdasarkan studi tingkah laku yang teramati (observeable behavior). Para ahli behavioristik kurang memiliki perhatian terhadap struktur

(12)

Skinner sebagai pelopor Behaviriosme memahami dan mengontrol tingkah laku memakai teknik analisis fungsional tingkah laku (functional analysis of behavior): suatu analisis tingkah laku dalam bentuk hubungan sebab akibat,

bagaimana suatu respon timbul mengikuti stimuli atau kondisi tertentu. Menurutnya analisis fungsional akan menyingkap bahwa penyebab terjadinya tingkah laku sebagian besar berada di event antesedennya atau berada di lingkungan. Apabila penyebab, atau stimulus yang menjadi peristiwa yang mendahului suatu respon dapat dikontrol, itu berarti telah dapat dilakukan tindak kontrol terhadap suatu respon. Tidak ada gunanya memahami manusia terlepas dari lingkungannya, atau menarik kesimpulan mengenai peristiwa yang terjadi di dalam diri organisme dalam rangka memahami dan mengontrol tingkah laku, karena hubungan antara peristiwa di dalam dengan tingkah laku tidak pernah didukung oleh data yang objektif (Alwisol, 2009:321).

Skinner bekerja dengan tiga asumsi dasar, yaitu:

1. Tingkah laku itu mengikuti hukum tertentu (behavior is lawful). Ilmu adalah usaha untuk menemukan keteraturan, menunjukan bahwa peristiwa tertentu berhubungan secara teratur dengan peristiwa lain.

2. Tingkah laku dapat diramalkan (behavior can be predicted). Ilmu bukan hanya menjelaskan, tetapi juga meramalkan. Bukan hanya menangani peristiwa masa lalu tetapi juga masa yang akan datang. Teori yang berdaya guna adalah yang memungkinkan dapat dilakukannya prediksi mengenai tingkah laku yang akan datang dan menguji prediksi itu.

(13)

Skinner bukan hnya ingin tahu bagaimana terjadinya tingkah laku, tetapi dia sangat berkeinginan untuk memanipulasinya.

Skinner tidak tertarik dengan variabel struktural dari kepribadian. Menurutnya, mungkin dapat diperoleh ilusi yang menjelaskan dan memprediksi tingkah laku berdasarkan faktor- faktor tetap dalam kepribadian, tetapi tingkah laku hanya dapat diubah dan dikontrol dengan mengubah lingkungan. Jadi Skinner lebih tertarik dengan aspek yang berubah-ubah dari kepribadian alih-alih aspek struktur yang tetap. Unsur kepribadian yang dipandangnya relative tetap adalah tingkah laku itu sendiri. Ada dua klasifikasi tipe tingkah laku:

a. Tingkah laku Responden (respondent behavior)

Tingkah laku responden adalah respon tingkah laku yang dibangkitkan atau dirangsang oleh stimulus tertentu. Tingkah laku responden ini wujudnya adalah refleks.

Respon yang dihasilkan organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan respon itu. Tingkah laku ini bergantung pada reinforcement dan secara langsung merespon stimulus yang bersifat fisik. Setiap respon dirangsang oleh stimulus tertentu.

b. Tingkah laku Operan (operant behavior)

Tingkah laku operan adalah respon atau tingkah laku yang bersifat spontan (sukarela) tanpa stimulus yang mendorongnya secara langsung. Tingkah laku ini ditentukan atau dimodifikasi oleh reinforcement yang mengikutinya.

(14)

nama yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon yang akan dipakainya untuk menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon mana yang dipilih tergantung kepada efeknya terhadap lingkungan (yang tertuju kepadanya) atau konsekuensi yang mengikuti respon itu.

Kepedulian utama Skinner adalah mengenai perubahan tingkah laku. Jadi, hakekat teori Skinner adalah teori belajar, bagaimana individu menjadi memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu. Kehidupan terus- menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan organisme harus belajar merespon situasi baru itu memakai respon lama atau memakai respon yang baru dipelajari. Dia yakin bahwa kepribadian dapat dipahami dengan mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang terus menerus dengan lingkungannya (Alwisol, 2009: 322).

Selain itu, Skinner juga memiliki prinsip dasar tersendiri dalam kaitannya dengan tingkah laku manusia. Prinsip dasar itu adalah tingkah laku disebabkan dan dipengaruhi oleh variabel eksternal.

Skinner dalam Mcleish (1986:158-159) memulai karyanya dengan menerima asumsi-asumsi metode ilmiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku manusia. Hal ini yang mengkristalisasikan “behaviorisme radikal” menjadi gerakan sadar-diri. Prinsip-prinsip fundamental pandangan ini adalah:

a. Perilaku harus dipandang berketeraturan dan ditentukan oleh hukum kausalitas. Objek pengkajian ilmiah ialah memahami sebab dan akibat sehingga perilaku dapat diramalkan dan dirubah, jika perubahan itu diperlukan.

(15)

prosedur-prosedur ilmiah yang telah diterima, guna memahaminya. Kita harus menganggap bahwa hubungan-hubungan kausal yang telah ditemukan dalam ilmu-ilmu lain dapat diterapkan untuk mengkaji manusia, kecuali terdapat bukti yang bertentangan.

c. variabel yang dipilih untuk pengkajian haruslah dapat diamati. Variabel-variabel itu haruslah berkedudukan seperti metode dan teknik-teknik yang dipakai dalam sains (eksperimen dan observasi). Variabel-variabel tersebut secepatnya tersedia untuk analisis ilmiah dan terdapat diluar organisme. Variabel-variabel adanya di lingkungan terdekat, atau dalam lingkungan historis organisme.

d. Keadaan internal harus dipandang di bawah control kekuatan-kekuatan yang mengontrol perilaku yang tampak. “Keadaan internal” tidaklah menerangkan perilaku, dan harus dinyatakan tidak relevan sampai “keadaan internal” itu berada di bawah kontrol metode ilmiah.

D. Patologi Sosial

Kartono (2011:1) patologi sosial yaitu semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.

(16)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa patologi sosial adalah suatu kajian disorganisasi atau maladjustment yang di dalamnya dibahas tentang asal-usul dan sifat-sifatnya penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya manusia dalam hidup bermasyarakat seperti kemiskinan, kejahatan, pelacuran, kegilaan, perceraian dan sebagainya.

Masyarakat (societal) memiliki beberapa unsur yaitu moral, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, agama, kebudayaan, filsafat dan sebagainya. Dalam perubahan sosial yang cepat tiap unsur berjalan saling tidak serasi, saling tidak menyesuaikan diri. Ketidaksesuaian ini menimbulkan ketegangan sehingga individu mengalami kesulitan mengadakan penyesuaian diri dalam hubungan sosial. Maka kemiskinan, kejahatan, pelacuran, alkoholisme, kecanduan, perjudian, dan tingkah laku yang berkaitan dengan semua tadi dinyatakan sebagai gejala penyakit sosial.

Beberapa jenis tindak laku yang tergolong patologi sosial, yang erat kaitannya dengan pembangunan masyarakat pada umumnya dan kehidupan masyarakat bersama manusia pada khususnya. Dinyatakan dalam Kartono (2011:1) orang menyebut satu peristiwa sebagai penyakit sosial murni dengan ukuran moralistik. Maka, kemiskinan, kejahatan, pelacuran, alkoholisme, kecanduan, perjudian, dan tingkah laku yang berkaitan dengan semua peristiwa tadi dinyatakan sebagai gejala penyakit sosial. Namun, dalam hal ini hanya akan dibahas 3 jenis patologi sosial yaitu korupsi, pengedaran narkoba, dan penyimpangan seksual.

1. Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “corruption”, “corruption” (Inggris)

(17)

Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi. Salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri (Kartono, 2011: 80).

Hartanti (2008:8) korupsi secara harfiah merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan semacam kenyataan itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat, dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi, dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan kedalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya.

Selanjutnya Alatas dalam Chaerudin, dkk (2009:2-3) mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai berikut:

a. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak.

b. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.

c. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang.

(18)

e. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan.

f. Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.

g. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.

Makna korupsi, menurut umum, seperti : pejabat korup, dimaksudkan “apabila seorang pegawai negeri, menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi”. Juga perbuatan menawarkan jasa dan hadiah.

2. Narkotik

Narkotik ( narcotics-obat bius) adalah semua bahan obat yang mempunyai efek kerja yang bersifat membiuskan, menurunkan kesadaran (depressant), merangsang meningkatkan prestasi (stimulans), menagihkan ketergantungan (dependence), menghayalkan (halusinasi) (Simandjutak,1981 : 299-302)

Lebih lanjut Simandjutak menjelaskan ada beberapa nama yang digunakan untuk membedakan para pemakai obat-obatan, sebagai berikut:

a. Experimental users: (golongan yang mencoba-coba)

(19)

b. Sosial-recretional users (pemakai untuk sosial-rekreasi)

Pemakaiannya hanya mempergunakan obat untuk keperluan sosial dan rekreasi. Biasanya dilakukan bersama teman-teman untuk memperoleh kenikmatan. Penggunaan obat-obat ini hanya diwaktu-waktu tertentu saja.

c. Circumstantial-situasional users (pemakai karena situasi)

Mereka ini mempergunakan obat karena terdorong oleh sesuatu keadaan. Misalnya dipakai oleh atlet, supir mobil jarak jauh untuk mencegah mengantuk dan keletihan,pemain music, pemain sandiwara, serdadu dalam pertempuran. Tujuan mereka untuk memperbesar prestasi dan kemampuan mereka.

d. Intensified drug users (pemakai obat yang intensif)

Pada golongan ini pemakai obat bersifat kronis, sedikitnya sekali sehari, dengan maksud untuk melarikan diri dari problema kehidupan.

e. Compulsive drug users

Penggunaan obat pada golongan ini sangat sering, takarannya tinggi, dan tidak lagi dapat melepaskan dirinya dari pengaruh obat tanpa goncangan mental dan fisik.

Praktik penyebaran narkoba di Indonesia telah sampai di kalangan pelajar dan mahasiswa. Hal ini jelas sangat mengkhawatirkan. Pelajar dan mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa. Mereka seharusnya memiliki kebiasaann positif dalam mengisi kehidupan sehari-harinya. Pada kenyataannya, banyak dari mereka justru mengkonsumsi narkotik. Kebiasaan ini telah mendorong mereka untuk melakukan hal-hal negatif. Mereka lebih senang melawan, berkelahi, bahkan mencuri.

(20)

jaringan narkoba diatasnya. Mata rantai peredaran narkoba sulit untuk ditelusuri dan diputus. Kondisi demikian mengakibatkan peredaran narkoba akan selalu memakan korban-korban baru.

Menurut Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat), H. KRH Henry Yosodiningrat dalam Anggrahini (2007:31-32), sedikitnya lima orang meninggal dunia setiap hari di Indonesia karena mengonsumsi narkoba. Hal ini berarti dalam setahun kurang lebih ada 1.800 orang meninggal dunia akibat narkoba.

3. Penyimpangan seksual

Ketidakwajaran seksual (sexual perversion) itu mencangkup perilaku-perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan partner yang belum dewasa,dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secarra umum (Kartono,2009:227).

Kartono (2011:165) menyebutkan ada tiga hal yang menyebabkan penyimpangan perilaku seksual atau abnormalitas seksual yaitu:

a. Ada dorongan-dorongan seksual yang abnormal seperti pelacuran, dan perjinahan atau perselingkuhan.

b. Abnormalitas seks yang disebabkan adanya partner seks yang abnormal seperti homoseksualitas dan lesbian.

c. Abnormalitas seks dengan cara-cara yang abnormal dalam pemuasan dorongan seksualnya seperti onani dan masokhisme.

(21)

seksual yang berbeda. Pada umumnya, manusia memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, atau sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka biasa disebut kaum heteroseks. Namun, pada orang-orang tertentu orientasi seks semacam itu tidak ada atau berkadar kecil. Mereka lebih tertarik pada orang-orang sejenis. Bila pria, mereka tertarik pada sesama kaum Adam. Umumnya mereka disebut sebagai gay. Sebaliknya jika wanita tertarik pada sesama kaum hawa maka disebut kaum lesbian.

Selain homoseksual masih banyak lagi kasus penyimpangan perilaku seksual yang terjadi di masyarakat. Peneliti akan menguraikan lebih lanjut mengenai jenis dan faktor yang menyebabkan penyimpangan perilaku seksual, yaitu sebagai berikut:

1) Pelacuran atau Prostitusi

Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan WTS atau wanita tunasusila (Kartono, 2011 : 207).

Menurut Bonger dalam Simandjutak (1981:280) pelacuran ialah gejala kemasyarakatan, di mana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.

(22)

Dimasukkan dalam kategori pelacur ini ialah : pergundikan, loose married woman atau “tante girang”, penggali emas (gold digger), taxi girl atau gadis taksi,

call-girl (gadis panggilan). B-girl bar-girl (gadis bar), pramuria/hostess, gadis-gadis

juvenile delinguent, free girl atau gadis binal ( di Bandung mereka menamakan diri

sebagai “bagong lieur” atau Gongli) (Kartono, 2009: 233).

Pelacuran merupakan bentuk penyimpangan seksual, dengan pola organisasi implus-implus/dorongan seks yang tidak wajar, dan dorongan seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadian, sehingga relasi seks itu sifatnya impersonal, tanpa afeksi, dan emosi (kasih sayang) berlangsung cepat, tanpa mendapatkan orgasme dipihak wanita.

2) Homoseksual

Homoseksualitas ialah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama (Kartono, 2009:247).

Kartono (2009:248) menyebutkan teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksualitas, antara lain ialah:

(1) Faktor herediter berupa ketidakimbangan hormon-hormon seks.

(2) Pengaruh lingkungan yang tidak baik/tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal.

(3) Seseorang selalu mencari kepuasaan relasi homoseks, karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. (4) Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibunya,

(23)

Homoseksualitas pada pria bisa berlangsung dengan jalan memanipulasi alat alat kelamin parternya dengan memasukkan penis kedalam mulut, dan menggunakan bibir, lidah, dan mulut untuk menggelitik.

3) Lesbianisme

Kartono (2009:249) menyebutkan homoseksualitas dikalangan wanita disebut cinta lesbis atau lesbianisme.

Peristiwa perversi heteroseksual (perverse = salah bentuk ) berupa lesbianisme itu akan mengarah pada bentuk yang patologis. Menurut Kartono (2009: 250) gejala perversi antara lain disebabkan karena:

1) Wanita yang bersangkutan terlalu mudah menjadi jenuh dalam relasi heteroseksual dengan suaminya atau seorang pria.

2) Dan ia tak pernah merasakan orgasme.

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi metode Support Vector Machine dalam klasifikasi menghasilkan model klasifikasi yang baik, terbukti dengan capaian nilai akurasi dari model sebesar 92

accruals. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1) Apakah variabel financial stability yang mewakili perspektif tekanan memiliki pengaruh terhadap financial

Memberikan informasi promosi yang ada pada waktu tertentu dan tampilan yang berbeda untuk melihat menu makanan pada restoran “Tea Addict”, sehingga memudahkan

Berdasarkan hasil analisis, penerapan good governance dan total quality management memiliki pengaruh positif terhadap kinerja auditor internal pada PT.. Simas

Students can apply their understanding of less common financial concepts and terms to contexts that will be relevant to them as they move towards adulthood, such as bank

Dia memberikan yang terbaik kepada mereka yang menyerahkan pilihan kepada-Nya.” Yang pertama-tama harus kamu lakukan dalam mencari kehendak Tuhan adalah mengesampingkan kehendak

Purwiyatno Hariyadi hariyadi@seafast.org ITP530, Tahun 2015 ITP530 Jumlah penduduk Status Kesehatan Umum Status Kesehatan Individu yang sehat, aktif dan produktif Status

Ruang kelas sudah cukup besar sesuai dengan jumlah anak, hal ini tentu akan mendukung proses belajar mengajar, terdapat komunikasi yang efektif antara anak dengan guru