Penulis :
A
AbbdduullHHaammiidd,,AAgguussSSjjaaffaarrii,,AArreennaawwaattii,,GGaanndduunnggIIssmmaannttoo,, I
ImmaannMMuukkhhrroommaann,,IIppaahhEEmmaaJJuummiiaattii,,KKaanndduunnggSSaappttooNNuuggrroohhoo,,NNeekkaaFFiittrriiyyaahh,,
R
Raahhmmaawwaattii,,RRaannggggaaGG.. GGuummeellaarr,,RRiinnyyHHaannddaayyaannii,,TTiittiiSSttiiaawwaattii,,YYeenniiWWiiddyyaassttuuttii
Nugroho, Kandung Sapto dan Fuad, Anis BANTENESIA
Serang: FISIP Untirta Press, 2012 ix, 216 hlm, 21 cm
Hak Cipta 2012, FISIP Untirta Press
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Cetakan Pertama Februari 2012
2012
Kandung Sapto Nugroho & Anis Fuad BANTENESIA Desain cover oleh FISIP Untirta Press
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dicetak di Pandu Yudha Krisna Murti Offset
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ FISIP Untirta Press
Jl. Raya Jakarta Km. 4
Phone (0254) 280330 Ext 281254
Editor:
KANDUNG SAPTO NUGROHO ANIS FUAD
Penulis :
A
AbbdduullHHaammiidd,,AAgguussSSjjaaffaarrii,,AArreennaawwaattii,,GGaanndduunnggIIssmmaannttoo,, I
ImmaannMMuukkhhrroommaann,,IIppaahhEEmmaaJJuummiiaattii,,KKaanndduunnggSSaappttooNNuuggrroohhoo,,NNeekkaaFFiittrriiyyaahh,,
R
Raahhmmaawwaattii,,RRaannggggaaGG.. GGuummeellaarr,,RRiinnyyHHaannddaayyaannii,,TTiittiiSSttiiaawwaattii,,YYeenniiWWiiddyyaassttuuttii
Nugroho, Kandung Sapto dan Fuad, Anis BANTENESIA
Serang: FISIP Untirta Press, 2012 ix, 215 hlm, 21 cm
Hak Cipta 2012, FISIP Untirta Press
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++ Cetakan Pertama Februari 2012
Kandung Sapto Nugroho & Anis Fuad BANTENESIA Desain cover oleh FISIP Untirta Press
iii | B A N T E N E S i A
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat
Allah SWT yang terus memberikan rizki dan hidayah-Nya kepada kita
semua diberikan kecerahan dan keberkahan. Penyusun merasa sangat
bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas penyusunan buku
BANTENESiA guna menambah khasanah keilmuan dalam bidang ilmu
sosial, berguna juga bagi para pengambil kebijakan public sepertinya
lebih dikenal dengan istilah research based policy, karena ketika kebijakan
yang disusun tidak berdasarkan permasalahan yang benar maka
kebijakan akan gagal, sehingga sebelum sebuah kebijakan disyahkan
sebaiknya dikaji dengan riset atau kajian ilmiah, sehingga dapat
meminimalisir kegagalan sebuah kebijakan.
Buku ini merupakan publikasi dari hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oeh para dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang berisi lika-liku
masalah social yang terjadi di Banten. Penyusunan buku ini adalah
dalam rangka memberikan sumbang saran untuk perbaikan Banten ke
depan, karena pada dasarnya buku merupakan ruang diskusi terbuka
untuk memberikan sumbangan pemikiran dari akademisi yang akan
menempakan akademisi bukan hanya sebagai menara gading ilmu
iv|B A N T E N E S i A
seluruh stakeholders. Buku ini masih jauh dari sempurna, sehingga
kami tetap berupaya untuk membuka ruang kritik dan saran yang
membangun melalui media email; kandungsaptonugroho@gmail.com.
Terakhir semoga buku ini bermanfaat untuk Banten ke depan. Amin.
Februari 2012
v | B A N T E N E S i A
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR MATRIK ... xi
DAFTAR GRAFIK ... xii
POLITISASI BIROKRASI ERA PILKADA LANGSUNG Pengalaman Beberapa Daerah Oleh : Abdul Hamid ... 1
WAJAH PEMULUNG DI PROVINSI BANTEN Studi Kasus di TPS Desa Cilowong Oleh: Agus Sjafari ... 27
PERAN SOCIAL MEDIA NETWORKING FOR GOV 2.0 DI INDONESIA Oleh : Anis Fuad ... 53
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN RSUD SERANG PROVINSI BANTEN TAHUN 2010 Oleh: Arenawati ... 77
DASAWARSA BANTEN MEMBANGUN Sebuah Telaah Kritis Oleh : Gandung Ismanto ... 101
vi|B A N T E N E S i A
ANGGOTA DPRD PROVINSI BANTEN PERIODE 2009-2014 Studi Kasus Atas Dugaan Manipulasi Laporan Reses Anggota DPRD Provinsi Banten Tahun Kegiatan 2010
Oleh: Iman Mukhroman ... 121
ANALISIS LINGKUNGAN DALAM MENENTUKAN TUJUAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN
Oleh : Ipah Ema Jumiati ... 141
”PRESTASI” BANTEN DAN PANDANGAN POLITIK
MAHASISWA DALAM PEMILIHAN GUBERNUR BANTEN 2011 Oleh : Kandung Sapto Nugroho ... 185
PENGARUSUTAMAAN GENDER VERSUS JAWARA DI BANTEN Refleksi Empat Tahun Penerapan dan Problematika Program
Pengarusutamaan Gender di Provinsi Banten
Oleh : Neka Fitriyah ... 205
PROBLEMATIKA PENGELOLAAN ASSET DAERAH DAN PEMECAHANNYA DI KABUPATEN PANDEGLANG
Oleh : Rahmawati ... 233
PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN PADA MUATAN LOKAL DALAM PRESPEKTIF KOMUNIKASI ISTRUKSIONAL Studi Kasus Pelajaran Metode Penelitian Di SMA CMBBS
Pandeglang Banten
Oleh : Rangga Galura Gumelar ... 263
POLA MOBILITAS MAHASISWA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
vii | B A N T E N E S i A
PETA MASALAH ANAK JALANAN DAN MODEL PEMECAHANNYA BERBASIS PEMBERDAYAAN KELUARGA DI KOTA SERANG PROVINSI BANTEN
Oleh : Titi Stiawati ... 289
TINJAUAN FENOMENOLOGIS
PERAN STRATEGIS PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL DI PROVINSI BANTEN
Oleh : Yeni Widyastuti ... 311
viii|B A N T E N E S i A
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. The Public Private Continum ... 84
Gambar 2. Model Persepsi Kualitas Jasa ... 85
Gambar 3. Peta Problematik Pengarusutamaan Gender Di
Provinsi Banten ... 226
ix | B A N T E N E S i A
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kenyamanan Ruang
Tunggu ... 87
Tabel 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Kemampuan Memberikan
Jasa Yang Dapat Dipercaya ... 88
Tabel 3. Persepsi Masyarakat Terhadap Ketanggapan RSUD Serang
Dalam Menangani Pasien ... 89
Tabel 4. Persepsi Masyarakat terhadap Kompetensi yang dimiliki
Pegawai RSUD Serang ... 90
Tabel 5. Persepsi Masyarakat terhadap keramahan dari petugas
RSUD Serang ... 91
Tabel 6. Persepsi Masyarakat Atas Kejujuran Petugas RSUD
Serang ... 92
Tabel 7. Persepsi masyarakat terhadap keamanan tempat parkir di
RSUD Serang ... 93
Tabel 8. Persepsi masyarakat terhadap Keterjangkauan lokasi
RSUD ... 94
Tabel 9. Ketersampaian Informasi Yang Disampaikan Petugas
RSUD Serang ... 95
Tabel 10. Perhatian Petugas Terhadap Kebutuhan Pasien ... 96
Tabel 11. Kategorisasi Persepsi Masyarakat Terhadap Kualitas
x|B A N T E N E S i A
Tabel 12. Identifikasi Faktor Internal Dan Eksternal ... 164
Tabel 13. Pengukuran Strengths-Opportunities (SO) FISIP Untirta 172 Tabel 14. Pengukuran Weaknesses-Opportunities (WO) FISIP Untirta ... 174
Tabel 15. Pengukuran Strengths-Threaths (ST) FISIP Untirta... 175
Tabel 16. Pengukuran Weaknesses-Threats (WT) FISIP Untirta .... 177
Tabel 17. Perbandingan Human Development Index Provinsi Banten dengan HDI Nasional ... 188
Tabel 18. Tabulasi Silang Pilihan Politik Mahasiswa dengan Jenis Kelamin Responden ... 200
Tabel 19. Perencanaan Asset Daerah ... 252
Tabel 20. Penganggaran Asset Daerah ... 253
Tabel 21. Pengadaan Asset Daerah ... 253
Tabel 22. Penggunaan Asset Daerah ... 254
Tabel 23. Penatausahaan Asset Daerah ... 255
Tabel 24. Pemeliharaan Asset ... 257
Tabel 25. Pengendalian dan Pengawasan Asset ... 258
Tabel 26. Penghapusan Asset ... 260
Tabel 27. Pemindahtangan Asset ... 256
xi | B A N T E N E S i A
DAFTAR MATRIK
Matrik 1.Strengths Weaknesses Opportunites Threats ... 149
xii|B A N T E N E S i A
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Grafik Distribusi Frekuensi Total Nilai Jawaban Persepsi
Responden Terhadap Kualitas Pelayanan RSUD Serang ... 97
1 | B A N T E N E S i A
POLITISASI BIROKRASI ERA PILKADA LANGSUNG
Pengalaman Beberapa Daerah
Oleh: Abdul Hamid1
Pendahuluan
Wacana desentralisasi kerapkali mengikuti wacana demokrasi.
Karena itu ketika rezim otoriter Soeharto diruntuhaan oleh gerakan
massa setelah sebelumnya dihantam krisis ekonomi, maka wacana
desentralisasi mengikuti di belakangnya. Hal ini bisa dipahami karena
selama 32 tahun orde baru, negara dikelola secara terpusat. Daerah
diikat dengan jargon persatuan dan kesatuan. Dinamika politik
lokalpun amat tidak menarik karena hanya merupakan representasi
kepentingan Jakarta. Tak berhenti sebatas wacana, desentralisasi
menjadi kebijakan dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah dan UU 25 No. 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
1
2 | B A N T E N E S i A
Sejak itulah kemudian politik lokal di Indonesia menjadi fenomena
yang amat seksi bagi para pengamat dan akademisi. Selain hubungan
pusat-daerah yang terus menerus tarik menarik, kompetisi aktor-aktor
lokal dalam merebut kekuasaan merupakan tontonan yang seru.
Apalagi kemudian lahir UU No 32 Tahun 2004 yang memberi
kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara
langsung. Kompetisi antar aktor politik lokal berlangsung sengit untuk
memperebutkan sumber daya politik yang juga berarti akses ke sumber
daya ekonomi. Salah satu aktor yang amat penting diamati dan
nampaknya berperan penting dalam politik lokal adalah birokrasi
pemerintah daerah.
Birokrasi
Sejatinya birokrasi harusnya melayani masyarakat. Ia hadir dalam
masyarakat untuk melayani kompleksitas persoalan di masyarakat
modern. Secara ideal, Weber (dalam Thoha, 2003) misalnya menyajikan
beberapa ciri yang harus dimiliki birokrasi, yaitu:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh
jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan
pribadinya, termasuk keluarganya
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke
3 | B A N T E N E S i A
bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar
dan ada yang lebih kecil
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara
spesifik berbeda satu sama lainnya
4. Setiap jabatan mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
Uraian tugas masing-masing pejabat merupakan domain yang
menjai wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan
sesuai dengan kontrak
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya,
idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif
6. Setiap pejabat mempunyai gaji, termasuk hak untuk menerima
pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang
disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari
pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan
kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan
promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan
pertimbangan yang obyektif
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan
jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi
dan keluarganya
9. Setiap pejabat berada dibawah pengendalian dan pengawasan
4 | B A N T E N E S i A
Salah satu aspek yang penting agar birokrasi tampil professional
adalah dengan menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik.
Namun ini bukanlah hal mudah karena birokrasi justru dipimpin oleh
pemimpin politik. Birokrasi tidak hadir dalam ruang kosong. Bulat –
lonjong birokrasi banyak ditentukan oleh kekuasaan yang
memayunginya.
Netralitas menjadi hal yang paling sulit dilakukan oleh birokrasi.
Thoha (2003) mendefinisikan netralitas birokrasi sebagai suatu system
dimana birokrasi tidak akan berubah dalam melakukan pelayanan
pelayanan kepada masternya, biarpun masternya berganti dengan
master yang lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikitpun
walaupun masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelanan
berdasarkan profesionalisme, bukan karena kepentingan politik.
Birokrasi di Indonesia, sejatinya tak pernah netral dan tumbuh
menjadi birokrasi ideal seperti ciri di atas. Ia tumbuh dan berkembang
melayani kekuasaan sejak diciptakan di masa pra kolonial sampai era
reformasi. Birokrasi di Indonesia di awal pembentukannya memang
kepanjangan tangan pemerintah kolonial, bukan diciptakan untuk
melayani masyarakat. Pemerintah hindia belanda terkenal memakai
dual system pemerintahan, yakni BB dan kaum priyayi, penguasa lokal
dengan struktur pemerintahan yang disusun oleh Belanda. Sering
sistem pemerintahan kolonial ini disebut indirect rule, pemerintahan
5 | B A N T E N E S i A
Pangreh praja ini bukan merupakan korps pegawai yang seragam,
tapi terdiri dari penguasa lokal yang sejak abad ke-19 (1830) disusun
oleh Hindia Belanda. Dipertahankannya para penguasa bumiputera
oleh Hindia Belanda bukan karena alasan historis, yakni aliansi Priyayi
dengan VOC, tapi karena manfaat yang bisa diambil oleh dari priyayi
(Hok Ham, 2002).
Di masa kemerdekaan, pembentukan partai politik dengan
maklumat wakil presiden No x 1945, membuat elit politik terbelah
kedalam partai-partai politik. Elit yang menduduki jabatan politik di
pemerintahan lantas menggiring bawahannya di pemerintahan untuk
masuk ke golongan politik sang elit. Era orde lama merupakan masa
dimana birokrasi betul-betul terpolarisasi berdasarkan partai sang
pemimpin.
Setelah pemilihan umum 1955, gejala seperti itu semakin jelas.
Tidak jarang terjadi suatu departemen yang dipimpin oleh suatu
menteri dari partai tertentu, maka seluruh departemen mulai dari
tingkat pusat sampai ke desa menjadi sewarna politik menterinya.
Dahulu kementrian dalam negeri dari PNI, maka mulai dari pegawai di
kementrian sampai lurah dan kepala desa di Indonesia adalah berpartai
PNI. Demikian pula kementerian agama yang dipimpin oleh menteri
dari partai NU, maka mulai dari menteri, pejabat-pejabat di
kementerian agama, sampai ke kantor urusan agama (KUA) di
6 | B A N T E N E S i A
Hal yang sama terjadi di era orde baru. Pada masa tahun 1965
sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi anggota Golkar.
Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme KORPRI yang berafiliasi
ke Golkar. Mau tidak mau semua PNS menjadi anggota Golkar
meskipun hati nuraninya menolak. (Irsyam, 2001).
Paska jatuhnya Soeharto, ada beberapa aturan yang
mengharuskan PNS bersikap netral. BJ Habibie, Presiden pertama
setelah lengsernya Soeharto, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999,
yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai
politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU
Nomor 8 Tahun 1974. Tapi muncul juga kecenderungan parpolisasi
departemen seperti era orde lama. Sekjen yang seharusnya diisi birokrat
karier misalnya diisi oleh orang dekat partai seperti yang terjadi di
Departemen Kehutanan dan Perkebunan di era Kabinet Abdurahman
Wahid.
Contoh lain adalah dukung mendukung dalam pemilu dan
pemilihan Presiden 2004. Misalnya adalah beredarnya surat Wakil
Bupati Subang, Maman Yudia perihal dana sukses Mega-Hasyim yang
ditujukan kepada para pimpinan dinas/instansi/badan/kantor
se-Kabupaten Subang2 atau pengerahan kepala desa dan PNS oleh tim
kampanye Mega-Hasyim di Tabanan, Bali. 3.
2
Pikiran Rakyat, 17 Juni 2004
3
7 | B A N T E N E S i A
Jika selama ini kajian politisasi birokrasi lebih banyak bicara sekup
nasional, maka tulisan ini justru akan bicara tentang politisasi birokrasi
di daerah. Birokrasi di daerah mengalami politisasi yang cukup parah
semenjak otonomi daerah diberlakukan. Apalagi semenjak pemilihan
kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung. Terdapat
kecendrungan birokrasi dijadikan mesin politik. Hal ini tentu saja bisa
berdampak buruk kepada reformasi birokrasi yang berkeinginan
mendudukkan birokrasi pada tempatnya yang ideal, melayani
masyarakat. Tulisan ini memilih tidak menyajikan perdebatan teoritis,
tapi lebih mengetengahkan potret gamblang politisasi birokrasi secara
empiris dalam pilkada Banten 2007.
Pilkada Langsung
Pilkada langsung adalah upaya membangun demokrasi di level
lokal. Selama orde baru dan di awal reformasi kepala daerah dipilih
oleh DPRD dan kemudian ditetapkan oleh Pemerintah di atasnya.
Proses seperti ini pada prakteknya membuat pemilihan kepala daerah
menjadi tidak demokratis. Intervensi pusat kedalam proses pilkada
acapkali terjadi. Kasus terakhir yang menonjol nadalah pembatalan
penetapan Alzier sebagai Gubernur Provinsi Lampung oleh Megawati,
padahal yang bersangkutan mendapatkan suara mayoritas di DPRD.
Pemilihan Kepala daerah dirancang untuk mengembalikan
kedulatan rakyat. Rakyat bisa memilih langsung pemimpin yang
8 | B A N T E N E S i A
Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) adalah
pelaksanaan dari UU No. 32 tahun 2004 yang dioperasionalisasikan
melalui PP No. 6 tahun 2005. Pilkada langsung merupakan upaya
menjadikan pemimpin daerah dipilih langsung oleh masyarakat.
Sebelumnya, sesuai UU No. 5 1974 di era Soeharto dan UU No. 22 tahun
1999 di awal era reformasi, pemilihan dilakukan oleh DPRD.
Menurut Departemen Dalam Negeri (2005), ada beberapa alasan
mengapa pilkada langsung harus dilaksanakan, antara lain:
1. Pasal 6 A UUD 1945 presiden dan wapres dipilih langsung oleh
rakyat
2. Pasal 18 UUD 1945 Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara
Demokratis
3. Kepala Desa Dipilih Langsung Rakyat
4. Money Politics Lebih sulit dilakukan
5. Hubungan Checks and Balances Lebih Baik
6. Konstruksi Pemda sudah tidak Kondusif lagi untuk
menghadapi realitas persaingan
7. Kesamaan sistem dengan di Pusat
8. Lebih akuntabel, kepada rakyat
9. Stabilitas politik yang lebih kuat
Untuk mengikuti pilkada, seorang calon harus mendapatkan
dukungan partai politik atau gabungan partai politik. Dalam pasal 59
9 | B A N T E N E S i A
gabungan partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 15%
(lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas
persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan yang boleh mengajukan
calon kepala daerah. Sejak tahun 2008, calon perseorangan
diperbolehkan mengikuti pencalonan sebagai Kepala Daerah dengan
syarat dukungan dengan jumlah tertentu. Namun apakah pilkada
langsung serta merta membawa kebaikan bagi semua pihak?
Bagaimana dengan pengaruhnya terhadap birokrasi di daerah?
Pilkada dan Politisasi Birokrasi
Memenangi pilkada hanya butuh satu hal, yaitu dukungan
mayoritas pemilih. Partai politik sebagai kendaraan wajib dalam
Pilkada langsung seharusnya tampil sebagai mesin politik utama.
Namun, birokrasi – terutama bagi incumbent – adalah senjata yang
amat tangguh.
Dengan sisem yang hierarkis dan jangkauan sampai ke pelosok
dan tentu saja sumber daya yang berlimpah, siapapun yang menguasai
birokrasi memiliki potensi besar memenangi pilkada langsung. Apalagi
birokrasi masih sering dianggap dan menganggap dirinya di atas
masyarakat.
Mengamati pilkada di berbagai tempat di Indonesia, ada beberapa
bentuk politisasi birokrasi:
10 | B A N T E N E S i A
Menjelang pilkada, biasanya muncul berbagai bentuk dukungan
bagi incumbent. Di Depok, salah satu pola yang dilakukan adalah pola
kedekatan personal dan getok – tular. Seorang PNS yang menjadi tim
sukses akan mengajak jaringan pertemanannya menjadi tim sukses juga.
Namun hal ni bersifat tidak memaksa. Bisa dikatakan terdapat
kubu-kubu dukungan di tubuh birokrasi Kota Depok dalam menghadapi
Pilkada. Pejabat di level atas seperti di level Kepala Dinas sampai Camat
dan Lurah memiliki kecenderungan mendukung Badrul kamal.
Sedangkan PNS di level bawah terbelah antara mendukung Yuyun dan
Yus.4
Munculnya dukungan dari kalangan PNS ini bukan karena mobilisasi dari atasan, namun lebih karena ‚kesadaran‛ untuk mempertahankan jabatan dan meningkatkan karir. Karena itu banyak
PNS yang datang menghadap kepada kandidat untuk menyatakan
dukungan dan berharap diperhatikan karirnya jika si kandidat
memenangkan pilkada. Seorang pejabat di level kepala dinas bahkan
mengeluarkan dana pribadi seratusan juta rupiah dalam bentuk logistic
kampanye untuk keperluan pemenangan seorang kandidat5.
Hal ini diakui oleh seorang PNS di Kota Depok
Netralitas itu setipis kulit bawang. Gampang diucapkan, tapi sulit untuk dilaksanakan. PNS serba salah, netral salah, berpihak juga salah. Jika berpihak juga seperti berjudi, untung kalau yang didukung menang, kalau kalah, ya apes namanya6.
4
Wawancara konfidensial dengan dua orang PNS di Kota Depok.
5
Amri Yusra
6
11 | B A N T E N E S i A
PNS lain yang mengaku bersikap netral justru malah menyesal
karena tidak berpihak dalam Pilkada tahun 2005. Karirnya macet dan ia
menyaksikan bahwa birokrat yang pandai berpolitiklah yang karirnya
melaju. Padahal ia memiliki prestasi menonjol yang mengharumkan
nama Depok di tingkat Provinsi. Sikap frustasinya ditunjukkan dengan
mengajukan pindah ke daerah lain.7
Kasus yang cukup menonjol adalah sinyalemen keberpihakan
Camat Sukmajaya terhadap kandidat Incumbent. Camat Sukmajaya
mengadakan kegiatan gerak jalan pada tanggal 22 Mei 2005. Kegiatan
ini diikuti oleh Badrul Kamal dan dianggap sebagai kegiatan kampanye
terselubung oleh lawan-lawan politiknya. Diungkapkan juga bahwa
berbagai terdapat kegiatan pengarahan oleh Camat kepada RT/RW
untuk mendukung kandidat tertentu. 8
Dalam pelaksanaan kampanye, keberpihakan salah satu lurah juga
disinyalir terjadi. Kampanye pasangan Nur Mahmudi – Yuyun
Wirasaputra misalnya tak mendapatkan izin untuk dilakukan di
lapangan utama depan Kelurahan Pondok Petir. Hal ini dikarenakan
Lurah Pondok Petir, Anshari tak memberikan izin untuk menggunakan
lapangan tersebut. Padahal, sehari-hari lapangan itu biasa digunakan
untuk berbagai kegiatan, seperti pertunjukkan pasar malam atau
upacara hari besar nasioal di lingkungan Pondok Petir. Lurah Anshari diketahui luas warga pondok petir sebagai ‚tim sukses‛ Badrul Kamal.
7
Wawancara Konfidensial dengan seoran mantan PNS di Kota Depok
8
12 | B A N T E N E S i A
Akhirnya lokasi kampanye dipindahkan ke lahan kosong yang
direncanakan dibangun kompleks perumahan.9
Puncak persoalan politisasi birokrasi adalah ketika, para Lurah
menyatakan dukungannya terhadap Keputusan Pengadilan Tinggi Jawa
Barat yang memenangkan Badrul Kamal, calon Incumbent dalam
pemilihan Walikota Depok dan menolak keputusan Mahkamah Agung
yang menganulir putusan tersebut. Sikap dukung mendukung ini
memang muncul paska pilkada dalam konteks perselisihan hasil
pemilu.
Hal ini memancing polemik dan protes keras dari masyarakat sebab
Lurah berstatus pegawai negeri sipil yang tidak boleh berpolitik. Kasus
Depok menjadi menarik karena pemenang pilkada ternyata bukan
Badrul Kamal, melainkan Nur Mahmudi Ismail10.
Seorang Lurah lain bahkan menyampaikan bahwa Camat terlibat
dalam persoalan ini. Ia merasa dikorbankan oleh Camat selaku
atasannya. Mukri Sudana, Lurah Rangkapan jaya Baru menyampaikan.
Saya disuruh Camat datang ke Rumah makan (RM) Tirta Rasa Sawangan untuk menemui Zaenudin [lurah Mampang]. Terus terang saya ditelepon tiga kali yang meminta saya menemui Zaenudin di RM Tirta Rasa. Sesampainya di sana, selain Zaenudin sudah ada Lurah Tugu yakni Tb Asnawi dan Jamhurobi [lurah Sawangan Baru]. Saya hanya 20 menit di RM itu. Saya memang tanda tangan daftar hadir tapi saya tidak tahu apaapa kecuali hanya disuruh Pak Camat ke sana. Saat itu saya tanda tangan saja, apalagi
9
Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok. Badrul Kamal Menggugat, Nurmahmudi Menjawab. Depok: Harakatuna Publishing, 2006. p.29.
10
13 | B A N T E N E S i A
di lembaran kosong itu sudah ada tanda tangan Ali Amin [lurah Cipayungjaya] dan Mulyadi dari Ratujaya. Saya juga bertanya kok camat nggak ada tanda tangannya. Zaenudin bilang camat tanda tangannya di kelompok instansi dan dinas-dinas. Yang jelas saya merasa ditipu sama Pak Camat. Saya ingin berhadapan langsung dengan camat. Saya kecewa karena sebagai pemimpin ternyata mengorbankan anak buah. Saya nggak senang dengan pernyataan camat yang bersumpah tidak memprovokasi lurah, seperti diberitakan Monde. Munafik itu orang. Saya minta camat segera mengklarifikasi karena camat yang perintahkan para lurah. Saksinya banyak.11
Pernyataan terbuka dukung mendukung seperti yang dilakukan
lurah tersebut tentu saja menimbulkan beberapa masalah. Pertama,
pelanggaran terhadap netralitas sebagai PNS. Kedua, mempengaruhu
kualitas pelayanan publik, sulit untuk menghindari terjadinya
dskiriminasi pelayanan publik berdasarkan peta dukungan. Ketiga,
mempengaruhi hubungan kolegial lurah dengan PNS lain, hal ini bisa
memicu ketegangan, konflik atau bahkan tekanan kepada bawahan
sang lurah. Keempat, mempengaruhi pola hubungan lurah dengan
atasan, apalagi jika kemudian yang terjadi adalah pihak yang didukung
kalah, akan terjadi ketidakharmonisan hubungan dengan kepala daerah
terpilih. Kelima, ini yang paling berbahaya, pernyataan dukungan bisa
menjadi awal mobilisasi sumber daya yang dimiliki negara untuk
kepentingan pemenangan kandidat yang didukung.
2. Mobilisasi Sumber Daya Negara/ Daerah untuk Incumbent
11
14 | B A N T E N E S i A
Mobilisasi sumber daya yang paling lunak adalah pemasangan
spanduk bergambarkan calon – biasanya incumbent—di sudut-sudut
kota dan iklan di media massa. Spanduk dan iklan berisi
bermacam-macam pesan, mulai dari selamat idul fitri, selamat HUT RI, uraian
keberhasilan pembangunan sampai seruan anti narkoba. Tidak masalah
jika sang kandidat menggunakan uang pribadi. Tapi merupakan
masalah besar jika uang yang dipakai adalah uang APBD.
Dalam kasus pilkada Banten, Incumbent memiliki seorang tim
sukses yang mengoordinasi kalangan birokrasi untuk memberikan
kontribusi, ia dikenal sebagai ASDA IV atau ASDA swasta12. Lebih
spesifik sang ASDA IV melakukan intervensi di Biro Humas. Menurut
Bambang Santosa, Kabag Dokumentasi Biro Humas Pemprov Banten
membenarkan design iklan untuk media cetak bukan murni dari Biro Humas. Bambang Santoso mengatakan, ‛itu dari Pak Asda IV. Kami tidak bisa mengelak. Ibu kan Plt Gubernur Banten‛. Hal sama terjadi pada iklan kerja sama di 3 media cetak di Banten. Kerja sama itu mengekploitasi
Atut Chosiyah sebagai Plt Gubernur Banten. Pemanfaatan jaringan
birokrasi oleh LBB13 melalui Asda IV dilihat dari anggaran Biro Humas
Pemprov Banten tiba-tiba membengkak dari Rp 1,3 miliar yang
diajukan menjadi lebih Rp 2 miliar.
Sebagian besar anggaran itu untuk sosialisasi. "Semuanya didrop
dari atas, bukan inisiatif dari biro itu sendiri," kata pejabat di Pemprov
12
Sebutan ini dikenal luas di kalangan birokrat dan pengusaha. Sebetulnya ASDA (Asisten Daerah) di lingkungan Pemprov Banten hanya ada III, Asda I
13
15 | B A N T E N E S i A
Banten. Hal sama terjadi pada Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) dan
Biro Perekonomian yang membengkak 250 persen dari anggaran yang
diajukan. Sebagian besar anggaran itu untuk bantuan dan kegiatan
sosial yang bersifat pengumpulan massa. Pemasangan spanduk,
bilboard, iklan di media cetak dan elektronik justru tidak berurusan
dengan pejabat di lingkungan Pemprov Banten. Padahal semuanya
menggunakan logo dan mengatasnamakan Pemprov Banten.
Contohnya, spanduk Banten Gerbang Investasi yang marak di Cilegon,
ucapan hari raya dan sebagainya.14
Spanduk lain berusaha memunculkan image Rt. Atut Chosiyah
digambarkan sebagai ibu yang peduli AIDS, peduli Kesehatan anak
melalui kampanye PIN (Pekan Imunisasi Nasional) dan Banten Sehat
2010, Perempuan relijius dengan mengucapkan selamat perayaan hari
besar keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, Haji dan Kurban,
digambarkan pula sebagai pendukung kegiatan-kegiatan pemuda dan
pelajar seperti festival Rock se-Banten.
Pola yang lain adalah dengan memobilisasi sumber dana untuk kegiatan ‛sinterklas‛ incumbent atau bagi-bagi bantuan untuk masyarakat maupun LSM. Menjelang pilkada, dalam APBD Perubahan
2006, terdapat penambahan anggaran Biro Kesejahteraan Rakyat (Biro
Kesra) Rp 5,7 miliar untuk ormas dan profesi dengan alasan untuk
memenuhi 5.800 proposal dari masyarakat yang masuk ke Pemprov
14
16 | B A N T E N E S i A
Banten. Dalih ini menggamangkan masyarakat yang telah rela uangnya
dipotong pajak dan retribusi untuk dikumpulkan menjadi anggaran
pemerintah. Sebab sebelumnya, Biro Kesra memperoleh alokasi
anggaran Rp 64,5 miliar, di antaranya Rp 62,5 miliar untuk bantuan
organisasi kemasyarakatan dan profesi. Dengan dalih ini, tersirat dana
di Biro Kesra telah habis dibagi-bagikan.
Sementara, justru untuk kegiatan yang berhubungan langsung
dengan kesejahteraan masyarakat justru dikurangi. Dalam nota
disebutkan, anggaran beberapa kegiatan yang menyentuh langsung
masyarakat dipangkas. Salah satunya, anggaran program peningkatan
kesejahteraan pangan dan gizi dipangkas Rp 3,2 miliar, dari Rp 13
miliar menjadi Rp 9,8 miliar.
Demikian juga anggaran pembinaan dan pengembangan usaha
bidang kelautan dan perikanan dipangkas dari Rp 2 miliar menjadi Rp 1
miliar. Anggaran penanganan masalah kemiskinan juga dipangkas dari
Rp 3 miliar menjadi Rp 2 miliar, serta anggaran pendidikan dari sekitar
Rp 75 miliar menjadi Rp 72 miliar. Pemangkasan terbesar pada
anggaran pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan, dari Rp
9,7 miliar menjadi Rp 1,3 miliar15.
Di lapangan, berbagai kegiatan instansi pemerintah dibuat untuk
melambungkan popularitas Incumbent. Modusnya berupa pelibatan terjadi secara halus dalam bentuk kegiatan ‛Sinterklas‛. Dinas X misalnya membuat kegiatan safari pembangunan dengan kunjungan ke
15
17 | B A N T E N E S i A
beberapa lokasi yang dipetakan. Di lokasi Incumbent melakukan
pemberian bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Dana kegiatan tidak hanya diperoleh dari Dinas X tapi urunan dengan
instansi lain, setiap instansi menyumbang sekitar 10-25 juta rupiah.
Total uang yang dikeluarkan Dinas X hanya sekitar 150 juta rupiah.
Tapi karena dilakukan urunan dengan instansi lain, maka hasilnya
menjadi cukup signifikan. Menariknya, di desa-desa lokasi Safari
Pembangunan diklaim angka kemenagan mencapai 100% (seratus persen), ‛semua desa terpantau‛.16
Dalam Pilkada Kabupaten Tangerang tahun 2007, tercatat
beberapa kasus pemanfaatan fasilitas birokrasi, mulai dari pembagian
kompor gas dan minyak tanah yang diikuti kampanye incumbent,
ancaman penarikan tanah kuburan jika tak mendukung incumbent
sampai lomba ranking kemenangan incumbent di setiap TPS yang
disponsori Lurah Pamulang Timur Kabupaten Tangerang17.
3. Trend Rolling dan Mutasi Pra Pilkada
Hasil penelitian Hamid (2006) menemukan kasus yang cukup
menarik jelang pilkada Banten. Pada tahun 2005, ketika Atut menjadi
Plt Gubernur menggantikan Djoko yang diberhentikan Presiden karena
tersandung korupsi, hal utama yang dilakukan adalah mengganti
sekretaris daerah dari Chaeron Muchsin ke Hilman Nitiamidjaja dan
16
Wawancara konfidensial dengan Mr.X, pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten pada tanggal 10 Januari 2007
17
18 | B A N T E N E S i A
mencopot 12 pejabat eselon 2 di lingkungan pemerintah Provinsi
Banten. Pergantian yang dilaksanakan menjelang Pilgub langsung
menimbulkan banyak praduga bahwa itu adalah upaya Atut
membersihkan loyalis Djoko dan menjamin mesin birokrasi berpihak
padanya.
Persoalan ini sempat menjadi isu politik yang cukup kuat.
Duabelas pejabat yang diganti mengadu ke para politisi di DPRD.
Fraksi PKS bahkan membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus
ini yang hasil akhirnya merekomendasikan digunakannya hak
interpelasi anggota DPRD.
Hak interpelasi kemudian diusulkan oleh 18 anggota DPRD. Namun satu orang, Zainal Abidin Suja’i mencabut secara resmi usulannya sehingga tinggal 17 orang. Tapi kemudian upaya itu kandas.
Pasalnya dari 59 anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna
penyampaian hak interpelasi sebanyak 44 anggota menolak interpelasi
di lanjutkan dan hanya 15 anggota dewan yang setuju interpelasi
diteruskan.18
DPRD Banten memang mempertanyakan hal ini kepada Menpan.
Menpan baru memberikan jawaban tertulis pada tanggal 12 Maret 2007
dengan nomor B/589/M.PAN/3/2007 lalu, Intinya, pedoman
pembentukan satuan kerja di lingkungan pemerin-tah daerah harus
tetap mengacu pada PP No 8/2003 dan menganggap pembentukan Staf
18
19 | B A N T E N E S i A
Khusus Sekda di Provinsi Banten tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada19.
Sampai Bulan Maret 2007, jumlah pejabat Staf Khusus Sekda
Banten seluruhnya sebanyak 14 pejabat mereka adalah para pejabat
eselon II. Para pejabat ini sebagai sudah ada yang pensiun dan juga
kembali diangkat menjadi pejabat struktural dan sisanya masih menjadi
pejabat Staf Khusus
Nama-nama Pejabat Staf Khusus Sekda Pemprov Banten:
1. Edi Supadiono, dari Kabupaten Lebak, saat itu menjabat sebagai
Kepala Dinas PU Lebak kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.
2. Mudjio, tadinya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Pandeglang
kemudian menjadi Staf Khsus Sekda yang ditugaskan di Bapedda
Provinsi Banten, serta menjadi penasehat kebijakan internal di
biro-biro Pemprov Banten.
3. Ritongga, tadinya sebagai Kepala Bawasda Banten, kemudian masih
menjadi Staf Khusus Sekda.
4. Sartono, tadinya Kepala Dinas Peridustrian, Perdagangan dan
Koperasi, kemudian menjadi staf khsus Sekda yang ditugaskan
Badan Koordinasi Penanaman Modal daerah (BKPMD) Preovinsi
Banten.
19
20 | B A N T E N E S i A
5. Saefudin, tadinya menjabat sebagai Kepala Biro Organisasi,
kemudian menjadi Staf Khsus Sekda.
6. Rochimin Sasmita, tadinya sebagai kepala Dispenda Provinsi Banten,
setelah 2 tahun menjadi Staf Khusus Sekda, sekarang pensiun.
7. Dindin Safrudin, tadinya Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Banten, kemudian masih menjabat sebgaia Staf Khusus Sekda.
8. Bambang Iswaji, tadinya sebagai Kepala Badan Pendidikan dan
Pelatihan Banten, setelah satu tahun setengah menjadi Staf Khusus
Sekda kemudian menjabat eselon II di STPDN.
9. Syamsul Arief, tadinya sebagai Kepala Biro Hukum, kemudian
menjabat Staf Khusus Sekda.
10.Muhamad Arslan, tadinya sebagai Kepala Biro Ekonomi setelah
menjadi Staf Khusus Sekda selama satu tahun setengah, kemudian
menjabat sebagai kepala Dinas PU Kabupaten Serang.
11.Nandi Mulya, tadinya sebagai Kepala Biro Umum Banten, kemudian
menjadi Staf Khusus Sekda yang ditugaskan di Dispenda Banten.
12.Ubaidillah, tadinya kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten ,
kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.
13.Boy Tenjuri, tadinya Kepala Biro Administrasi Pembangunan,
kemudian menjadi Staf Khusus Sekda.
14.Heri Suhaeri, tadinya Kepala Biro Keuangan Banten, kemudian
21 | B A N T E N E S i A
15.Adang Kosasih, tadinya kela Biro Administrasi Pembangunan
Banten, kemudian menajdi Staf Khusus Sekda selama 2 bulan,
sekarang pensiun.
16.Harmin Lanjumin, tadinya Kepala Bapeda Banten, setelah menjadi
Staf Khusus Sekda selama 2 bulan, dan pada akhir bulan Februari,
Harmin Lanjumin meninggal dunia.
4. Trend Rolling dan Mutasi Paska Pilkada
Pilkada langsung tampaknya menjadi ajang uji loyalitas bagi
birokrat, sejauh mana mereka memiliki loyalitas terhadap sang
incumbent yang memang muncul menjadi pemenang. Hal ini terlihat
dari mutasi paska pilkada yang mengagetkan banyak pihak. Salah
satunya adalah, seorang camat di Kabupaten Pandeglang, tiba-tiba saja
melompat menjadi Kepala Biro Umum dan Perlengkapan di Provinsi
Banten. Diduga, sang camat sukses menjadi tim sukses Gubernur dalam
pilkada. Padahal secara eselon, Camat hanya eselon IIIB, sedangkan
Kepala Biro di tingkat Provinsi adalah eselon IIB.
Beberapa lama kemudian diadakan juga mutasi untuk pejabat
eselon III. Banyak pejabat eselon III yang bolak-balik dari jabatan
sebelumnya. Contohnya, Bambang Santoso yang sebelumnya menjabat
Kabag Dokumentasi Biro Humas dipindahkan ke Biro Promosi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata. Mutasi kali ini Bambang Santoso balik lagi
22 | B A N T E N E S i A
Hal serupa Erik Syahabudin dari Kabag di BPM dipindahkan jadi
Kabag Dikmenti Dinas Pendidikan Banten. Dia balik lagi ke BPM.
Contoh lainnya, Ajak Muslim dari Dinas Pendidikan ke BPM, balik lagi
ke Dinas Pendidikan Banten. Dari 104 pejabat eselon III tersebut, hampir
50 persen mengalami nasib serupa20.
Hal serupa terjadi di Depok. Sekitar 139 pegawai negeri sipil (PNS)
di pemerintahan kota Depok dimutasi oleh Wali Kota Depok
Nurmahmudi Ismail. Namun, mutasi eselon empat dan tiga ini tidak
berdasarkan pertimbangan Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat
(Baperjakat). Ketua Badan Pertimbangan yang juga Sekertaris Daerah
Winwin Winantika mengatakan, mutasi dilakukan sepenuhnya oleh
Wali Kota Depok tanpa melalui pertimbangan dirinya sebagai Ketua
Baperjakat. Seharusnya, dalam mutasi PNS apalagi untuk eselon empat
dan tiga, seharusnya Baperjakat dilibatkan. Badan ini akan
mempertimbangkan pangkat dan jabatan PNS dalam satu bagian
tersebut. Baik pangkat dan jabatan yang rendah atau tinggi. 21
Akibat dari politisasi birokrasi adalah munculnya fenomena
pembelahan di tubuh birokrasi. Pembelahan di tubuh birokrasi
didasarkan pada afiliasi politik yang berbeda-beda di tubuh birokrasi,
terutama jika kedua incumbent (Kepala Daerah dan wakil kepala
Daerah) maju secara bersamaan. Hal ini secara mencolok bisa kita
saksikan dalam kasus Pilkada Sulawesi Selatan. Birokrasi terbelah,
20
Lagi, Mutasi Pejabat Eselon III Diwarnai Kepentingan Politik Dan Kelompok, www.bantenlink.com, 3 Maret 2007
21
23 | B A N T E N E S i A
sebagian mendukung Amin Syam (Mantan Gubernur) dan sebagian
mendukung Syahrul Yasin Limpo (Mantan Wakil Gubernur).
Pembelahan ini mencoreng wajah birokrasi dan melukai
profesionalisme mereka. Apalagi sikap dukung mendukung
ditunjukkan dalam berbagai aksi demonstrasi dan mogok kerja.
Kesimpulan
Pada akhirnya bersikap netral bukan pilihan yang tepat walaupun
benar dalam perspektif keselamatan karir seorang birokrat. Sementara
berpihakpun seperti berjudi. Jika calon yang didukung menang karir
bisa meroket, jika kalah besar kemungkinan non job atau masuk kotak.
Apa yang terjadi di lapangan betul-betul menjungkirbalikkan
bagaimana seharusnya birokrasi yang ideal. Setiap pejabat seharusnya
diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya melalui ujian yang
kompetitif. Harusnya terdapat struktur pengembangan karier yang jelas
dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan
pertimbangan yang obyektif. Namun yang terjadi adalah hubungan
patron-client yang semakin menguat. Promosi karir bukan karena
kompetensi, tapi lebih karena jalinan hubungan politik dan kesediaan
memberikan loyalitas personal. Merit system tak berjalan, seorang
pejabat bisa terhenti kariernya seketika jika dianggap tak mampu
berjalan di jalur politik sang patron.
Birokrasi lokal terancam menjadi kerajaan dimana hubungan yang
24 | B A N T E N E S i A
Konsep abdi dalem jelas bukan konsep birokrasi modern, karena abdi
dalem mengabdi kepada Raja dan bukan kepada masyarakat. Birokrasi
kembali terjerembab kedalam keterpaksaan untuk masuk kedalam
wilayah politik. Yang paling dirugikan adalah masyarakat. Mereka
terpaksa mendapatkan pelayanan tidak maksimal atau bahkan
dialihkan haknya untuk aktivitas politik sang calon. Pilkada langsung
menjadi ancaman bagi reformasi birokrasi ketika kandidat memaksakan
dukungan dari kalangan birokrat. Lagi-lagi sejarah berulang, birokrasi
tersandera politik, hanya formatnya saja yang berbeda.
Daftar Pustaka:
Aditya Perdana (dkk), Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada: Studi Kasus
Kota Depok Dan Kabupaten Tangerang, Laporan Penelitan Strategis Nasional UI Tahun 2009
Hok Ham, Ong. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis
Nusantara. (Jakarta, Kompas, 2002)
Hamid, Abdul. Pilkada Gubernur Banten, Regenerasi Sebuah hegemoni dan
Kuburan Jago-jago Tua. 2007. Report Research Banten Institute and Center for Southeast Asian Studies Kyoto University
Iberamsjah dan Abdul Hamid, Pilkada Kota Depok, (Depok, Humas
Pemerintah Kota Depok: 2006)
Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok. Badrul Kamal Menggugat,
Nurmahmudi Menjawab. (Depok, Harakatuna Publishing: 2006)
Thoha, Miftah. Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta,PT. raja Grafindo
25 | B A N T E N E S i A
Irsyam, Mahrus. Reformasi Birokrasi, dari Politik ke Profesional, Republika,
Rabu, 14 Maret 2001
Bahan Sosialisasi Pilkada Langsung 2005, Departemen Dalam Negeri
www.bantenlink.com
www.radarbanten.com
www.dprdbanten.net
Koran Pikiran Rakyat
Koran Radar Banten
27 | B A N T E N E S i A
WAJAH PEMULUNG DI PROVINSI BANTEN
Studi Kasus di TPS Desa Cilowong
oleh : Agus Sjafari
Pendahuluan
Masyarakat sebagai sebuah sistem sosial ternyata memiliki
unsur-unsur yang berbeda jenis, berbeda fungsi, berbeda peran dan banyak
lagi perbedaan lainnya. Sebagai sebuah sistem, perbedaan diantara
unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan, memiliki hubungan, yang
akhirnya menciptakan sebuah satu kesatuan yang terintegrasi.
Secara lebih spesifik bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai
jenis fungsi dan peran yang dimainkan dan dimiliki oleh anggota
masyarakat, antara lain : peran sebagai dosen, pegawai negeri sipil,
pengusaha, pengamen, pekerja sek komersial sampai dengan pekerja
sebagai pemulung sampah.
Jenis pekerjaan yang terakhir di atas oleh sebagian kalangan
28 | B A N T E N E S i A
dikarenakan mulai dari performance dan lingkungan kerjanya di
tempat yang sangat kotor. Bayangkan saja bahwa lingkungan tempat
kerja para pemulung adalah lingkungan yang sarat dengan barang
bekas seperti halnya botol-botol bekas, mainan bekas, plastik bekas, kayu bekas, kerta serta apa saja yang identik dengan kategori ‚bekas‛.
Meskipun demikian, sejelek apapun atatus yang melekat pada diri
seorang pemulung, pada dasarnya jenis pekerjaan tersebut ternyata
sangat membantu masyarakat dilihat dari konteks sistem sosial.
Ternyata dengan berperannya seorang pemulung, segala bentuk
kotoran dan barang bekas rumah tangga dan pabrik-pabrik dapat
dimanfaatkan kembali. Karena dengan peran pemulung tersebut proses
daur ulang dapat berjalan. Tanpa adanya peran pumulung tersebut
maka segala bentuk kotoran dari barang-barang bekas tersebut akan
mengotori rumah tangga, kompleks-kompleks perumahan dan tidak
dapat dimanfaatkan kembali. Artinya teori tentang sistem sosial yang
mengatakan bahwa unsur-unsur dalam masyarakat tersebut memiliki
keterkaitan antara satu dengan yang lainnya ternyata terbukti melalui
contoh dari peran pemulung tersebut. Tanpa ada peran pemulung
tersebut, maka akan mengganggu terhadap kesatuan masyarakat
tersebut.
Salah satu yang sangat menarik dari peran pemulung tersebut
adalah bahwa pemulung pada dasarnya merupakan sebuah kelompok
29 | B A N T E N E S i A
tersebut. Adanya keterkaitan senasib dan sepenanggungan sebagai
pekerja dalam bidang yang sama, kemudian diantara mereka
membentuk kelompok-kelompok tersendiri. Di sisi lain yang
mendukung terciptanya kelompok-kelompok pemulung tersebut,
dikarenakan eksistensi manusia sebagai mahluk sosial.
Pemulung sebagai mahluk sosial, juga tidak bisa dilepaskan dari
orang-orang lain, khususnya teman – teman sejawat sebagai pemulung.
Mereka pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri-sendiri terlepas dari
orang lain. Segala kebutuhan yang mereka ingin dapat terpenuhi
melalui kerja sama dan interaksi dengan orang. Sebagai kelompok
informal, tentunya di dalamnya juga berlangsung adanya dinamika
kelompok. Artinya bahwa dalam kelompok tersebut berlaku beberapa
ciri atau karakteristik dari dinamika kelompok. Meskipun beberapa
karakteristik tersebut tidak seketat yang terjadi pada organisasi semi
formal atau organisasi formal pada umumnya. Oleh karena itu
sangatlah menarik untuk mengkaji kelompok informal pemulung
tersebut dalam perspektif dinamika kelompok, guna engetahui lebih
jauh tentang kelompok pemulung tersebut.
TPS Cilowong merupakan salah satu tempat pembuangan sampah
terbesar untuk wilayah Provinsi Banten. Karena merupakan TPS
terbesar itulah, kemudian menjadi daya tarik bagi para pemulung untuk
mengais mata pencahariannya melalui sampah tersebut. TPS tersebut
30 | B A N T E N E S i A
keluarganya. Sebagian besar dari mereka dengan dengan rela untuk
berkotor-kotoran dan mengais rejeki melalui barang-barang bekas
tersebut, kemudia masih berjuang untuk dapat mendapatkan hasil
pencariannya agar dapat dijual kepada pengepul masing-masing.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti, sekitar 100-an
pemulung yang menggantungkan hidupnya dengan tumpukan sampah
tersebut. Artinya bahwa tumpukan sampah yang menggunung tersebut
telah memberikan manfaat secara ekonomis kepada mereka. Hal yang
sangat menarik untuk dianalisis adalah bahwa sebagaian besar dari
mereka tetap hidup secara berkelompok, baik ketika mereka melakukan
aktivitas kerjanya maupun di tempat tinggalnya, yang sebagian besar
berstatus kontrakan.
Hal yang terpenting yang ingin di perdalam dalam penelitian ini
adalah beberapa aspek yang terkait dengan pemulung dan keluarganya
antara lain: kebutuhan bidang pendidikan, kondisi sosial budaya,
kondisi ekonomi, kebutuhan fisik keluarga, dan peran organisasi
eksternal dalam pemberdayaan pemulung dan keluarga. Melihat
kehidupan mereka yang begitu unik tersebut, maka penulis sangat
tertarik untuk mengkaji kehidupan kelompok informal para pemulung
tersebut dari perspektif beberapa kebutuhan yang melekat pada diri
31 | B A N T E N E S i A Memahami Kelompok
Manusia dilahirkan sebagai mahluk sosial (gregariousness) yang
mengalami perkembangan dari dependen – independen –
interdependen. Ketika lahir dan selama hidup manusia sangat
membutuhkan orang lain. Berdasarkan alasan tersebut akhirnya
manusia membentuk kelompok. Kelompok merupakan interaksi antar
anggota yang tersetruktur. Yang dimaksud dengan tersetruktur adalah
terpola, tertaur dan berkelanjutan. Selain itu terdapat aturan yang
berlangsung (Margono Slamet, 2006).
Sedangkan menurut Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968)
merupakan sekumpulan dari individu-individu yang melakukan
hubungan yang terus menerus dengan individu yang lain. Jenis
hubungan tersebut berwujud adanya kehendak, keinginan,
ketergantungan antar anggota dan sebagainya.
Setiap kelompok selalu mempunyai pemimpin, yang bertugas
menjaga keteraturan mencapai tujuan individu dan bersama supaya
sejalan. Hakikat pemimpin adalah kemampuan mempengaruhi orang
lain. Pemimpin pada dasarnya mampu meyakinkan orang lain Jadi
kepemimpinan adalah sifat-sifat dan kemampuan yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin (Gannon : 1979).
Kelompok adalah dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar
adanya kesamaan (tujuan, kebutuhan, minat, jenis) yang saling
32 | B A N T E N E S i A
bersama, dalam kurun waktu yang relatif panjang (Margono Slamet,
2006).
Lebih lanjut Margono Slamet (2006) menyatakan bahwa ciri-ciri
kelompok tersebut antara lain:
1. Terdiri atas individu-individu, tidak harus selalu homogen, bisa
beragam, tetapi mempunyai kerjasama, tujuan, kebutuhan, dan minat
yang sama.
2. Saling ketergantungan antar individu. Ada kebutuhan yang dapat diisi
atau dipenuhiatas kehadiran individu yang lain.
3. Partisipasi terus menerus dari individu. Ketika partisipasi dirasakan
sebagai suatu kebutuhan, bukan keterpaksaaan, ini terjadi bila dia
berpartisipasi bermanfaat untuk orang lain, begitu juga sebaliknya
apabila orang lain berpartisipasi dan merasakan manfaatnya.
4. Mandiri, yang dimaksud adalah bagaimana kelompok mengatur dan
mengarahkan diri sendiri. Kalau kelompok mengatur diri berarti
mengatur untuk mencapai kebutuhan anggota dan menggerakkan
untuk kebutuhan itu. Agar kelompok efektif maka harus berorientasi
kedalam, bukan keluar.
5. Ciri selektif. Selektif dalam keanggotaan, tujuan, dan kegiatan.
6. Keragaman yang terbatas, homogenitas yang akan dicapai. Makin
33 | B A N T E N E S i A Dinamika Kelompok
Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968) menyatakan bahwa “
Group dynamics is a field of inquiry dedicatd to advancing kenowledge about
the nature of groups, the laws of their development, and their interrelations
with individuals, other groups and larger institutions”.
Berdasarkan konsep di atas, pada dasarnya dinamika kelompok
merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan tentang keadaan dari
kelompok, perkembangan dari kelompok tersebut, hubungan individu
dalam kelompok tersebut serta hubungan dengan kelompok lain dalam
konteks yang lebih luas. Artinya bahwa dalam dinamika kelompok
mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan kelompok tersebut, baik
aspek yang bersifat internal dalam kelompok maupun aspek eksternal
dari kelompok tersebut, aspek individu dalam kelompok maupun aspek
dari kelompok itu sendiri.
Lebih lanjut Dorwin Cartwright & Alvin Zander (1968 : 23)
menyatakan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar mengenai dinamika
kelompok antara lain:
1. Bahwa keberadaan kelompok tidak bisa dihindari dan berada dimana-mana.
Artinya bahwa dalam komunitas manusia pasti akan membentuk
kelompok-kelompok baik kelompok dalam ukuran besar maupun
dalam ukuran kecil. Di sisi lain setiap manusia pasti akan
34 | B A N T E N E S i A
dapat mengatur setiap kebutuhan dan kepentingan dari setiap
individu;
2. Setiap kelompok akan mampu memobilisasi kekuatan yang mampu
memberikan efek yang sangat penting bagi setiap individu. Setiap individu
akan selalu mengidentifikasikan dengan kelompoknya, baik dalam
keluarganya, pekerjaannya, lingkungan sosial dan sebagainya.
Melalui kelompok, setiap individu akan meningkatkan kapasitas dan
kualitas individunya agar dapat berkembang menjadi lebih baik.
3. Setiap kelompok juga menciptakan sebuah konsekuensi yang baik maupun
yang jelek. Kompleksitas yang ada dalam setiap kelompok tentunya
memiliki konsekuensi terhadap hal-hal yang baik, tetapi di sisi lain
juga membawa konsekuensi yang jelek. Misalnya saja dalam
kelompok terdapat adanya interaksi, integrasi, konflik dan
sebagainya. Melalui kepemimpinan dan koordinasi yang baik,
kelompok tersebut mampu meminimalisasi hal-hal yang jelek dan
memaksimalkan hal-hal yang pisitif.
4. Melalui adanya pengertian yang baik dari dinamika kelompokmembawa
konsekuensi yang layak menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik
(kondusif). Melalui pengertian tentang dinamika kelompok , setiap
kelompok memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya,
selain itu melalui pengetahuan juga akan mampu merubah perilaku
35 | B A N T E N E S i A
memiliki kekuatan yang luar biasa untuk merubah perilaku individu
bahkan perilaku masyarakat (komunitas).
Perkembangan setiap kelompok yang dimulai dan didasari oleh
beberapa asumsi di atas semakin menempatkan kelompok tersebut
memiliki pengeruh yang besar terhadap setiap orang; memberikan
pengaruh terhadap setiap individu serta kelompok itu sendiri bahkan
terhadap masyarakat yang lebih luas.
Kelompok dibentuk untuk mempermudah anggota-anggota
mencapai sebagian apa yang dibutuhkan dan/atau dinginkan. Dengan
kesadaran semacam itu setiap anggota menginginkan dan akan
berusaha agar kelompoknya dapat benar-benar efektif dalam
menjalankan fungsinya, dengan meningkatkan mutu
interaksi/kerjasamanya dalam memanfaatkan segala potensi yang ada
pada anggota dan lingkungannya untuk mencapai tujuan kelompok.
Dinamika kelompok adalah suatau keadaan dimana suatu
kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang
terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku
kelompok dan anggota-anggotanya. Dinamika kelompok merupakan
tingkat kegiatan dan tingkat keefektifan kelompok dalam rangka
mencapai tujuannya (Slamet, 2006).
Lebih Lanjut Margono Slamet (2006) menyatakan bahwa dalam
psikologi sosial ada disebutkan kelompok mempunyai perilaku,
36 | B A N T E N E S i A
ini berfungsi sebagai sumber energi bagi kelompok yang bersangkutan.
Adanya keyakinan yang sama akan menghasilkan kelompok yang
dinamis.
Dari beberapa konsep tentang kelompok di atas menunjukkan
bahwa pemulung di TPS Cilowong merupakan sebuah kelompok yang
memiliki ciri – ciri dan karakteristik kelompok, meskipun belum secara
ideal mampu menerapkan ciri – ciri sebagai kelompok yang terorganisir
secara baik
Analisis Kebutuhan
Sebagai bagian dari entitas sosial, pemulung di TPS Cilowong tidak
terlepas dari beberapa kebutuhan dasar yang melekat pada dirinya.
Kebutuhan dasar tersebut antara lain: kebutuhan fisik dan non fisik
keluarga, kebutuhan ekonomi keluarga, kebutuhan pendidikan
keluarga, kebutuhan sosial, serta kebutuhan yang berhubungan dengan
peran lembaga eksternal yang mampu melakukan intervensi dalam
memperbaiki taraf hidup keluarganya. Sebagai penjelasannya dapat
dilihat dari uraian selanjutnya.
Kebutuhan Fisik Keluarga Pemulung
Gambaran secara umum mengenai kebutuhan fisik keluarga
pemulung ternyata menggambarkan kondisi fisik keluarga yang tidak
menkhawatirkan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi fisik rumah dan
37 | B A N T E N E S i A
Keluarga pemulung di TPS Cilowong seperti halnya dengan
keluarga lainnya membutuhkan rumah yang nyaman untuk bernaung.
Sebagian besar rumah – rumah keluarga pemulung sudah dapat
dikatakan permanen, dengan perincian antara lain memiliki tembok
batu bata, lantai sudah disemen dan belum dikramik, meskipun rumah
tersebut belum dikategorikan sebagai rumah yang bagus. Salah satu
kekurangan sebagai rumah yang sehat adalah bahwa sebagian besar
rumah keluarga pemulung belum memiliki dapur yang bersih dan
sarana MCK yang sesuai dengan standar kesehatan.
Meskipun konstruksi rumah sudah permanen, namun untuk bagian
dapur sebagian besar rumah keluarga pemulung masih beralaskan
tanah dan untuk memasak masih menggunakan tungku. Dapur bagi
keluarga pemulung dipersepsikan sebagai pelengkap dalam keluarga,
bagi mereka rumah hanya tempat berteduh dan tidur. Adapun alasan
menggunakan tungku dan kayu bakar dibandingkan dengan memasak
menggunakan kompor minyak tanah ataupun kompor gas adalah
sudah terbiasa, serta secara ekonomi lebih efisien. Mereka juga mudah
untuk memperoleh kayu bakar. Khusus terkait dengan kondisi fisik di
sekitar rumah seperti jalan, sumber air bersih, dan sarana kesehatan
dapat dijelaskan lebih lanjut.
Akses jalan raya ke Desa Cilowong tergolong sangat bagus dan
sangat mudah. Hal tersebut dikarenakan kondisi jalan yang sudah
38 | B A N T E N E S i A
hari. Letak TPS Cilowong sendiri bertempat di pinggir jalan raya. Untuk
jalan desa, khususnya di sekitar TPS Cilowong sudah cukup baik, hal
ini terlihat secara fisik sudah dilapis batu dan ada yang menggunakan
paving block. Meski kondisi jalan desa belum terlalu mulus namun
sangat mudah dijangkau. Berdasarkan informasi, bahwa
pembangunannya berasal dari dana PNPM Mandiri.
Hal yang memprihatinkan terkait dengan kondisi fisik sekitar
adalah terkait dengan kebutuhan akan air bersih. Adanya TPS Desa
Cilowong ternyata berdampak terhadap pencemaran sumber air bersih.
Pencemaran sumber air bersih yang paling parang adalah di Kampung
Pasir Gadung. Kondisi tersebut selama ini sudah ditanggulangi oleh PU
bekerjasama dengan PDAM dengan menyediakan air bersih untuk
memenuhi kebutuhan warga. Namun hal tersebut hanya dapat
dipergunakan untuk air minum, tetapi untuk kebutuhan mandi dan
memasak tidak terdapat air yang bersih. Sungai yang mereka gunakan
tidaklah jernih, sedangkan mereka tidak mempunyai sumur untuk
memenuhi keperluan sehari – hari. Satu – satunya sumber air bersih
bagi mereka adalah sumur bor (jetpump) yang jumlahnya hanya satu .
Untuk mengambil air dari sumur tersebut, mereka harus mengeluarkan
uang Rp. 3000/jam. Jumlah uang tersebut terkadang dirasa berat, dan
warga terpaksa berhutang dulu untuk mendapatkan air bersih tersebut.
Warga sebenarnya ingin sekali memiliki sumber air sendiri, akan tetapi
39 | B A N T E N E S i A
sedangkan untuk membuat sumur biasa dirasa percuma karena
penggalian harus sangat dalam mengingat tempat tinggal mereka
berada di dataran tinggi.
Kebutuhan Ekonomi Keluarga
Sebagian besar warga di Desa Cilowong menggantungkan
hidupnya pada TPS yang berada di Desa Cilowong. TPS Cilowong
ternyata memberikan penghidupan ekonomi yang menguntungkan
khususnya bagi warga yang berada di sekitar TPS tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari sebagian warganya yang bekerja sebagai pemulung.
Dengan penghasilan sekitar Rp. 400.000,- hingga Rp. 800.000,- perbulan
yang didapatkan, terlihat bahwa pekerjaan menjadi pemulung bukanlah
pekerjaan yang dianggap rendah, sebab penghasilannya dapat
digolongkan cukup lumayan meskipun belum dapat mencukupi
kehidupan sehari – hari warga setempat.
Kegiatan memulung yang dilakukan pemulung di Desa Cilowong
dimulai pada pukul 07.00 WIB dan berakhir pada pukul 16.00 WIB.
Prosesnya dimulai dari memilah sampah – sampah plastik, sampah
yang dipergunakan kembali dengan sampah – sampah lainnya. Sampah
yang laku dijual adalah sampah – sampah plastik yang dihargai Rp.200
hingga Rp.600 perkiogram dan sampah kabel yang bisa dihargai hingga
Rp.60.000 perkilogramnya. Sampah yang telah dipilih dibawa ke rumah
masing – masing atau ditinggalkan di dalah satu tempat di TPS tersebut
40 | B A N T E N E S i A
untuk dijual, pemulung membawa sampah – sampah tersebut ke
koperasi desa untuk dijual. Koperasi tersebut sangaja dibuat dan
dipimpin oleh Sekretaris Desa Cilowong dengan tujuan agar hasil kerja
pemulung dapat dihargai dengan pantas dan sampah tersebut juga
dapat didistribusikan dengan baik kepada pembeli. Pemulung tidak
perlu bunging untuk menjual barang hasil memulungnya sebab telah
disediakan koperasi ini yang dapat menampung barang hasil
pulungannya. Melalui koperasi ini, sampah – sampah tersebut dipilih
dan dijual kembali kepada perusahaan – perusahaan yang
membutuhkan di Serang dan Tangerang. Pemulung yang ada di Desa
Cilowong sebagian besar menjadi anggota yang didirikan pada tahun
2007. Selama ini koperasi pemulung tersebut masih belum berjalan
maksimal. Hal ini disebabkan karena banyaknya anggota koperasi yang
mangkir dan masih tersendat – sendat dalam membayar simpanan
wajib di koperasi tersebut.
Kualitas Pendidikan Keluarga Pemulung
Kegiatan pendidikan merupakan usaha terprogram melalui
seberapa lama keterlibatan dalam pengalaman belajar yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik
dalam memperbaiki kualitas diri, keluarga, dan masyarakat. Khusus
terkait dengan kualitas pendidikan pemulung dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori yaitu (1) Tingkat pendidikan formal; dan (2) Tingkat
41 | B A N T E N E S i A
Dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, sebagian besar
pemulung hanya mengenyam pendidikan formal sampai pada sekolah
SD dan paling tinggi SMP, bahkan banyak pula dari para pemulung
yang tidak mengenyam bangku sekolah atau pendidikan formal. Bagi
para pemulung yang berusia lanjut tidak mengenyam pendidikan
formal (tidak bersekolah), sedangkan anak – anak atau pemuda yang
tergolong produktif lebih beruntung dari orang tuanya sehingga
berkesempatan untuk mengenyam pendidikan meskipun pendidikan
rendah. Hanya sedikit pemulung yang mampu mengenyam pendidikan
sampai ke tingkat SMA.
Sedangkan untuk pendidikan non formal ternyata lebih tragis,
bahwa kebanyakan pemulung dan keluarga pemulung yang tidak
pernah mengikuti pelatihan – pelatihan baik yang terkait dengan
kegiatan mereka sebagai pemulung maupun pelatihan – pelatihan
lainnya yang mendukung. Pekerjaan sebagai pemulung merupakan
pekerjaan yang bersifat informasl yang tidak memiliki persyaratan
dalam bentuk pendidikan formal serta keahlian khusus. Meskipun
demikian mereka tetap membutuhkan pendidikan baik formal maupun
informal dengan maksud untuk meningkatkan kecerdasan mereka,
bahkan diharapkan dapat merubah nasib mereka agar tidak selamanya
menjadi pemulung.
Warga yang bekerja sebagai pemulung terdorong oleh keadaan