i
STUDI DESKRIPTIF SINDROM SARANG HAMPA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh : Vonny Permanasari Simon
NIM : 049114116
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.
(Filipi 1 : 22)
Karya ini kupersembahkan untuk :
Rekan seperjalananku, Yesus Kristus
Bapa, Mama dan Abangku tersayang
Teman-temanku tercinta
Almamaterku, Fakultas Psikologi USD
serta
Setiap orangtua yang merindukan anak-anaknya
karena terpisah oleh masa sarang hampa
“Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup.
Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.“
vi
Vonny Permanasari Simon Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua. Sindrom sarang hampa adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan maladaptif dari individu dewasa tengah sebagai orang tua ketika menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana terungkap melalui indikator emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri.
Penelitian dilakukan pada 107 orang tua yang memiliki usia dewasa tengah (41-60 tahun) dan memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar atau bekerja. Alat yang digunakan adalah Skala Sindrom sarang hampa (n = 24; Alpha rxx’ = 0.869). Hasil penelitian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, rata-rata subyek penelitian cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil mean teoritik > mean empirik yaitu 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Kedua, tidak ada perbedaan kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah, baik pria maupun wanita (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).
vii
ABSTRACT
The Descriptive Study of Empty Nest Syndrome Vonny Permanasari Simon
Faculty of Psychology
Sanata Dharma University Yogyakarta
The study was conducted with the goal to gain general description about the tendency level of empty nest syndrome which is experienced by middle adult people as parents. Empty nest syndrome is excessively negative and maladaptive response from middle adult people as parents when facing leaving period of last child from home, which is revealed from excessively negative emotions and maladjustment indicators.
This study was done to 107 parents who are in middle age category (41-60 years old) and have adult children who stay out of the home because of married or study or do some works. The instrument used was Empty nest syndrome Scale (Skala Sindrom sarang hampa) (n = 24; Alpha rxx’ = 0.869). The study resulted two conclusions. First, generally, subjects of the study tend to experience low empty nest syndrome. It was seen from the result of theoretic mean > empiric mean that is 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Second, there was no difference in the tendency of empty nest syndrome for middle adult people, nor men neither women (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Murah Hati yang memberikan
anugerah-Nya bagi penulis untuk berdinamika dengan skripsi ini. Skripsi berupa penelitian ini merupakan upaya penulis untuk mengetahui bagaimana gambaran kecenderungan orang tua yang bereaksi negatif berlebihan dan maladaptif ketika
anak-anaknya pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, belajar atau menikah. Momentyang sama ketika dialami oleh orang tua penulis karena penulis beserta kakak harus pergi meninggalkan rumah untuk belajar di propinsi lain. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Yesus Kristus yang telah setia dan selalu ada sebagai sumber kekuatan bagi hidup penulis (Segala pujian dan hormat hanya untuk-Mu!).
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi dan kegiatan akademik.
3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan tulus memberikan arahan, masukan dan waktu untuk memperbaiki skripsi ini, serta dorongan untuk menyelesaikannya.
x
semangat, waktu, pikiran dan tenaga kala penulis ingin berbagi dan berdiskusi tentang penyelesaian skripsi ini.
7. Bu Titik, Pak Didik, Pak Heri dan para dosen di Fakultas Psikologi USD yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di Fakultas ini.
8. Mas Doni, Pak Gie, Mas Gandung, Mas Muji dan Mbak Nanik yang membantu kegiatan akademik penulis dengan senyum dan keramahan. 9. Para orang tua yang menjadi subyek penelitian dan para sumber informasi
keberadaan para calon subyek penelitian dimana tanpa ketulusan bantuan dari Bapak/ Ibu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. 10. Bapak Corpanus Simon Benung dan Ibu Rennyati yang selalu
mendampingi dan menjadi kepanjangan cinta Tuhan yang tampak dalam hidup penulis.
11. Wahyu Yonan Permana Simon yang selalu memberi semangat, kehangatan dan sayang selama hidup penulis.
xi
inspirasiku untuk tetap sadar, Bu!”), Keluarga Yadi untuk pinjaman buku dan bantuan dalam mencarikan subyek penelitian, Keluarga Purnomo untuk ketulusan dan waktunya dalam membantu penulis mencari subyek hingga berlimpah.
13. Teman-teman wanitaku yang manis sekaligus kuat : Emma, Phi, Ndoz (Tanpa kalian kadang aku tak tahu siapa aku!), Ika, Uci, Ita, Kadex (Sungguh anugerah termanis bisa berdinamika dengan kalian!), Berta dan Kak Selvi (Terimakasih atas bantuannya menerjemahkan jurnal dan abstrak), Nana, Evi, Dani, Mbak Monik, Mbak Devi, Mbak Tiwu dan Andin (Kalian benar-benar membuktikan bahwa fakultas kita adalah keluarga.).
14. Kawan-kawan lelakiku yang bersemangat : Bondan (Terimakasih untuk sayangmu yang membingungkanku.), Dicto (That’s what friend are for!), Alm. Mas Antok (Terimakasih atas seluruh nuansamu!), Mas Adi (terimakasih Masnya! Kan ku ingat kalau mereka juga makan nasi jadi tak perlu gentar!), Kak Jo (terimakasih untuk saran judul seminar yang kemudian menjadi judul penelitian ini. Sapere Aude!), Ndus (Bang!), Rezwie (“Ke Jakarta aku kan kembali !”).
15. Anak-anak Sekolah Minggu, Pra Remaja dan Korempa GKI Prambanan. Tawa, tangis dan kebersamaan dengan kalian semua membuat penulis
menjadi pribadi yang semakin jauh lebih baik
.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….………. ii
HALAMAN PENGESAHAN……….……… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO……….…. ….. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……… v
ABSTRAK……….………. vi
ABSTRACT……….……... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii
KATA PENGANTAR………..….... ….. ix
DAFTAR ISI……….…... xiii
DAFTAR TABEL……….…... xvi
DAFTAR LAMPIRAN……….…....….. xvii
BAB I. PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Rumusan Masalah………... 5
C. Tujuan Penelitian……… 5
D. Manfaat Penelitian……….. 5
BAB II. LANDASAN TEORI………... 6
xiv
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Sindrom Sarang Hampa Pada Dewasa Tengah…………. 10
5. Dampak Sindrom Sarang Hampa Pada Perkawinan……….. 23
6. Dinamika Munculnya Sindrom Sarang Hampa………… 24
B. Pertanyaan Penelitian………... 27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………. 28
A. Jenis Penelitian……….. 28
B. Definisi Operasional……….. 29
C. Subyek Penelitian……….. 29
D. Metode Pengumpulan Data……… 30
E. Pertanggungjawaban Mutu………... 33
1. Validitas……… 33
2. Seleksi Item………... 34
3. Reliabilitas.……….. 36
F. Metode Analisis Data………. 37
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 38
A. Persiapan Penelitian………... 38
B. Pelaksanaan Penelitian……… 38
xv
1. Deskripsi Data Penelitian………... 40
2. Analisis Data Tambahan………... 42
D. Pembahasan………. 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….………… 48
A. Kesimpulan……….. 48
B. Saran……….... 48
DAFTAR PUSTAKA………... 50
xvi TABEL 1. Blue-printdan Susunan Item Skala
Sindrom Sarang Hampa………. 32
TABEL 2. Pemberian Skor Skala……… 33
TABEL 3. Sebaran Nomer Item yang Sahih dan Gugur Setelah Uji coba……….. 35
TABEL 4. Sebaran Item Skala Sindrom Sarang Hampa untuk Penelitian……… 36
TABEL 5. Deskripsi Subyek……….. 39
TABEL 6. Data Statistik Deskriptif……… 41
TABEL 7. Deskripsi Hasil Uji t Mean Teoritik dan Empirik……... 41
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman A. Tabulasi Data Item
a. Uji Coba………. 54
b. Penelitian Sesungguhnya (Try-out terpakai )………. 55
B. Uji Kesahihan Butir Item………. 56
Uji Reliabilitas……….. 58
C. Deskripsi Subyek………... 59
Data Penelitian……….. 60
D. Data (Tambahan) Uji t……….. 61
E. Instrumen Penelitian a. Skala Uji Coba……… 62
b. Skala Penelitian……….. 66
1
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Orang tua yang anaknya telah berusia 18 tahun atau memasuki masa
awal dewasa seringkali menyadari bahwa sebentar lagi anak tersebut akan
meninggalkan rumah. Hiedemann, dkk. (1998) mengatakan bahwa anak
yang memasuki masa dewasa terkadang dianggap sudah cukup
berpengalaman untuk meninggalkan rumah dan untuk berkuliah atau
bekerja. Hal itu membuat orang tua tidak memiliki anak-anak lagi di rumah
sehingga menandai awal periode sarang hampanya.
Sarang hampa merupakan fase dalam siklus kehidupan keluarga yang
biasa atau normal dialami oleh orang tua pada masa tengah baya (Raup,
dkk., 1989). Dalam fase ini, anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di
rumah (Harkins dalam Dennerstein, dkk., 2002). Sebagian besar ahli
(sosiolog dan konselor) menyebut sarang hampa sebagai masa postparental
dimana orang tua ditinggalkan oleh anak-anaknya setelah bertahun-tahun
mendampingi mereka dalam masa pengasuhan (Raup, dkk., 1989; Warner &
Willis, 1991). Respon terhadap masa ini berbeda-beda untuk masing-masing
orang tua, sehingga pengalaman sarang hampa dapat menjadi pengalaman
yang diharapkan dan menyenangkan, namun dapat juga menciptakan
pengalaman yang menyakitkan. Orang tua yang merespon masa ini sebagai
2
Raup, dkk. (1989) menerangkan bahwa orang tua yang mengalami
sindrom sarang hampa distimulasi oleh reaksi-reaksi tentang kehilangan.
Kehilangan tersebut dapat dikaitkan dengan peran wanita dan pria sebagai
orang tua. Keterlibatan wanita dalam peran pengasuhan selama
bertahun-tahun dapat menjadikan peran tersebut sebagai fokus dalam kehidupannya.
Peran sebagai pencari nafkah dalam keluarga malah membuat pria hanya
memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan bersama dengan anak ketika masih
tinggal bersama di rumah. Peran-peran tersebut dapat memicu sindrom
sarang hampa karena orang tua mengalami kehilangan kesempatan untuk
bersama dengan anak.
Dalam sindrom sarang hampa ditemukan orang tua yang mengalami
emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri
(Raup, dkk., 1989). Emosi-emosi negatif yang berlebihan terlihat pada
kesedihan yang mendalam, kecemasan yang tak beralasan hingga depresi.
Kesulitan dalam menyesuaikan diri tampak ketika orang tua gagal
mengalihkan peran pengasuhannya ke peran-peran baru, tetap memandang
anaknya masih belum berpengalaman jika tanpa dirinya, sampai kurang
bergairah melakukan pekerjaan. Hal-hal tersebut dapat terlihat dalam hasil
wawancara Deutscher (dalam Warner & Willis, 1991) dengan seorang ibu
rumah tangga yang mengidentifikasikan dirinya pada anak. Ibu tersebut
berkata:
bermain kartu. Aku tidak memiliki pekerjaan tetapi aku tidak bisa mengambil beberapa pekerjaan.
Hasil wawancara yang diungkapkan Scher (1992) menunjukkan hal
serupa seperti di atas dimana seorang ayah berkata:
Aku berpikir telah melewati kehampaan dalam rumah kami dengan baik, namun aku tak henti-hentinya bersarang dan membeli sejumlah barang antik serta perkakas untuk rumahku. Aku berusaha untuk memenuhi sarang. Hal tsb tidak berhasil dan mahal. Aku tidak ingin anak perempuanku kembali, karena dia berada dimana dia harus berada. Apa yang aku inginkan adalah seluruh tahun-tahun indah dari pertumbuhannya dan kebersamaan kami.
Sindrom sarang hampa juga dapat memberikan pengaruh dalam hubungan
perkawinan. Menurut Santrock (1995) ketika terjadi sindrom sarang hampa,
kepuasan perkawinan akan mengalami penurunan karena orang tua
memperoleh kepuasan yang sesungguhnya dari anak-anak. Hal ini
dikarenakan orang tua terbiasa dan lebih dituntut untuk terlibat dalam
pengasuhan (Warner & Willis, 1991), sehingga orang tua merasa tidak
mendapatkan kepuasan pada pasangannya ketika masa pengasuhan beralih
ke masa sarang hampa. Oleh karena itulah, sindrom sarang hampa terkadang
dapat menimbulkan perceraian (Hoyer, dkk., 2003; Rybash, dkk., 1991;
Hiedemann, dkk., 1998).
Beberapa sumber penelitian yang digunakan peneliti cenderung
mengacu pada kebudayaan Barat. Individu pada masyarakat Barat
mengkonstruksikan dirinya sebagai individu yang mandiri. Sebaliknya,
individu pada masyarakat Timur (seperti subyek yang akan diteliti) merasa
terhubungkan dengan individu lain dan menjadi bagian dari konteks sosial,
4
bergantung (Markus dan Kiyatama dalam Wenzler-Cremer, H., 2004).
Hofstede (dalam Sarwono, 2006) juga mengungkapkan hal serupa dimana
masyarakat Timur cenderung lebih kolektivis daripada masyarakat Barat.
Hal ini tercermin pada perilaku masyarakat Timur yang lebih banyak
dipengaruhi oleh lingkungannya (keluarga, marga, organisasi, pandangan
publik).
Penjelasan perbedaan kebudayaan tersebut, bila dikaitkan dengan
sindrom sarang hampa, maka dapat memunculkan kemungkinan perbedaan
pengalaman. Sindrom sarang hampa yang memang biasa terjadi dalam
masyarakat Barat (Sexton dalam Sodders, 2001) dapat disebabkan oleh
ketidaklekatan individu secara emosi dalam kelompok masyarakatnya.
Adanya karakteristik budaya kemandirian atau keterpisahan pada
masyarakat Barat dapat membuat orang tua yang mengalami masa sarang
hampa merasa sendiri dan tidak dipedulikan oleh masyarakat sekitar,
sehingga memicu timbul dan meningkatnya sindrom sarang hampa.
Pada masyarakat Timur, adanya dukungan sosial dan saling
ketergantungan antar individu kemungkinan dapat membuat orang tua
mengalami hal yang berbeda seperti yang kebanyakkan terjadi dalam
masyarakat Barat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti hendak meneliti
mengenai kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami orang tua
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang
dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara umum
mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami
individu dewasa tengah sebagai orang tua.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Mengembangkan ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam
bidang perkembangan dengan bentuk memberikan sumbangan kajian
tentang sindrom sarang hampa.
2. Manfaat Praktis
Penelitian diharapkan dapat berguna bagi masyarakat supaya
segera mewaspadai, mengantisipasi dan menanggulangi sindrom sarang
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SINDROM SARANG HAMPA
1. Saat Terjadinya Sindrom Sarang Hampa
Menurut Santrock (1995), keluarga pada kehidupan usia tengah
baya berada pada fase kelima dari siklus kehidupan keluarga. Fase yang
menghadirkan saat-saat seperti melepaskan anak-anak, memainkan peran
penting dalam menghubungkan antargenerasi (menjembatani
generasi-generasi) dan menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan hidup
pada usia tengah baya. Suatu permulaan dari masa dewasa tengah ialah
saat anak terakhir meninggalkan rumah. Hal tersebut menunjuk pada saat
berakhirnya peran pengasuhan dari orang tua (O’Connor, 2000). Fase
dari siklus kehidupan dewasa yang terjadi ketika anak-anak dewasa dan
tidak lagi tinggal di rumah inilah yang biasanya diistilahkan dengan
sarang hampa (Raup, dkk., 1989). Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa sindrom sarang hampa terjadi pada usia dewasa
tengah.
2. Pengertian Sindrom Sarang Hampa
Dennerstein, dkk. (2002) & Raup, dkk. (1989) mengemukakan
bahwa kebanyakan orang tua mengharapkan suatu peristiwa dimana
dinamakan sarang hampa ini diartikan sebagai fase dari siklus kehidupan
dewasa dimana anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah.
Sarang hampa memiliki bervariasi definisi, tetapi umumnya (lebih
netral) disebut dengan fase post-parenthood(periode postparental).
Raup, dkk. (1989) mengungkapkan istilah sarang hampa sebagai
kejadian transisional yang pendek atau keadaan siklus kehidupan yang
dapat disikapi sebagai tantangan perkembangan normatif. Periode
postparental sangat dapat dialami orang tua selama rentang 20 tahun
ketiga (umur 41-60 tahun) atau dimulai ketika anak terakhir
meninggalkan rumah untuk alasan apapun. Alasan-alasan yang biasanya
muncul adalah pergi belajar, pindah ke tempat tinggal yang terpisah atau
menikah (Satiadarma, 2006). Scher (1992) menambahkan alasan anak
meninggalkan rumah yaitu untuk mengikuti tuntutan kerja dan hidup
mandiri.
Sarang hampa menciptakan pilihan respon bagi yang
menjalankannya. Selain terkadang diinginkan, namun ketika periode
tersebut tercapai, perasaan kosong (Santrock, 1995) atau kehampaan dan
kehilangan dapat muncul dan menyusahkan. Sarang hampa yang tidak
diharapkan atau dipersiapkan atau dihadapi dengan suatu penyesuaian
mampu memunculkan stres pada orang tua. Hal-hal tersebut
menciptakan imej bagi sarang hampa sebagai suatu kemalangan (Raup,
8
3. Indikator Sindrom Sarang Hampa
Tingkatan dari sindrom dapat berkisar dari kesedihan ringan
sampai depresi yang drastis (Garris, 2004). Cushman (2005); Webber &
Delvin (2005) pun menjelaskan dinamika reaksi-reaksi orang tua ketika
anak-anak meninggalkan rumah. Hal yang wajar dialami orang tua,
seperti :
a. Merasakan kesedihan;
b. Menangis;
c. Menghabiskan waktu di dalam kamar tidur anak yang
meninggalkannya untuk berusaha merasakan kedekatannya.
Hal tersebut kemudian akan memicu munculnya sindrom sarang hampa
jika lebih dari seminggu masih terjadi reaksi :
a. Merasa bahwa kebergunaan hidup telah usai, atau
b. Menangis secara berlebihan, atau
c. Merasa sangat sedih dimana tidak mau bergaul atau bekerja.
Raup, dkk. (1989) pun menyebutkan bahwa dalam sindrom
sarang hampa didapatkan orang tua yang mengalami emosi-emosi
negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri (the plethora of
negative emotions and adjustment difficulties). Berdasarkan hal tersebut,
peneliti merumuskan indikator yang terkandung dalam sindrom sarang
hampa, yaitu :
Pada emosi-emosi negatif yang berlebihan, tercakup di
dalamnya adalah :
- kesedihan dan dukacita mendalam, - perasaan bersalah,
- penyesalan, - kecemasan,
- perasaan-perasaan tersebut jika berlangsung secara intens maka akan mampu memunculkan stres dan depresi (Fingerman dalam
Rini, 2004; Webber & Delvin, 2005).
b. Kesulitan menyesuaikan diri
Pada postparental maladjustment yang menjadi masalah
bukanlah sarang hampa, namun orang tualah yang hampa (Oliver
dalam Raup, dkk., 1989). Kehampaan tersebut berdasar pada rasa
ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan diri orang tua (Satiadarma,
2006), sehingga terwujud melalui kesulitan menyesuaikan diri,
seperti :
- kegagalan untuk mengalihkan diri dari peran pengasuhan ke peran-peran baru dalam kehidupan (dapat berupa peran kerja
maupun keterlibatannya dalam lingkungan),
- keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani
10
- kehilangan makna dan gairah hidup yang mencakup kehilangan mendalam dari tujuan dan identitas (Fingerman dalam Rini,
2004; Cushman, 2005).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindrom Sarang Hampa Pada Dewasa Tengah
Faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom sarang hampa pada
dewasa tengah adalah sebagai berikut :
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin memberi pengaruh terhadap munculnya
sindrom sarang hampa.
1) Pada pria disebabkan oleh :
a) Tradisi peran pria sebagai pencari nafkah keluarga
Bagi ayah yang bekerja, tradisi peran membuatnya
tetap di luar kehidupan anak-anaknya dan menjadi orang tua
yang membantu dari belakang (Scher, 1992). Hal ini tampak
ketika ayah dituntut berada di luar rumah untuk bekerja dan
pulang ke rumah hanya untuk istirahat. Peran tradisional serta
adanya kepentingan pemenuhan kepuasan untuk dorongan
kompetitif dari dalam diri pria membuat sebagian besar pria
mendefinisikan diri dalam pekerjaan dan lebih berorientasi
pada karir. Peran ini menimbulkan rasa bersalah dan
bersama dengan anak sebelum anak meninggalkan rumah
(Rubin dalam Papalia & Olds, 1986; Warner & Willis, 1991;
Clay, 2003).
b) Tidak adanya persiapan
Pria cenderung tidak memikirkan persiapan
perubahan, baik aktivitas maupun mental atau emosi untuk
menghadapi atau mengisi hari-hari ketika anak-anak
meninggalkan rumah. Hal tersebut dikarenakan pria kurang
memandang kepergian anak sebagai transisi yang besar
(DeVries dalam Clay, 2003).
c) Peran gender
Peran gender pria yang dimaksud yakni seperti
sedikitnya emosi, ketidakhadiran kepercayaan yang
mendalam dan kebutuhan untuk tampil kuat serta tidak
mudah luluh. Pria dituntut untuk sangat mengontrol
bagaimana dirinya harus bertindak agar tetap tampil kuat dan
lega walaupun sebenarnya sangat sedih, depresi dan
kehilangan pegangan hidup. Terkadang sebelum anak-anak
meninggalkan rumah, pria telah mencoba untuk
mempersiapkan diri bagi penderitaan kesendiriannya kelak.
Pria juga merasa bahwa dirinya cukup mampu menerima
kehampaan dalam rumahnya saat sarang hampa. Padahal
12
usaha pria menahan sakit dan kekurangmampuannya untuk
menerima bahwa dirinya ingin kembali mengalami
masa-masa selama anak di rumah (Scher, 1992).
2) Pada wanita dikarenakan oleh :
a) Sikap pada tradisi peran wanita dalam keluarga dan
masyarakat (Borland dalam Raup, dkk., 1989)
Peran wanita yang dimaksud adalah peran
pengasuhan. Wanita yang mengalami sindrom sarang hampa
biasanya memiliki sikap sangat tradisional terhadap peran ini.
Hal tersebut tampak pada wanita yang mendefinisikan dan
melibatkan dirinya dalam peran maternal (pengasuhan) serta
hidup berfokus secara eksklusif pada anak-anaknya (Sodders,
2001; Bart dalam Rybash, dkk., 1991) ketika mencapai
periode sarang hampa. Wanita yang demikian biasanya dalam
kesehariannya berada di rumah (DeVries dalam Clay, 2003)
dan mengorbankan kebutuhannya demi anak-anaknya.
Sindrom sarang hampa yang dialami wanita dengan
sikap seperti disebutkan di atas dapat semakin kuat dengan
tidak tersedianya peran alternatif. Wanita ini biasanya tidak
menyiapkan atau mengalihkan diri ke dalam peran baru
sebagai pengganti peran pengasuhan. Munculnya isu-isu
kehidupan lain yang dialami bersamaan waktu dengan
sindrom ini. Di sisi lain, Schmidt, dkk. (2004) menambahkan
bahwa depresi yang dapat terjadi pada transisi menopause
(salah satu isu kehidupan usia dewasa tengah) kurang
berhubungan dengan sindrom sarang hampa.
Faktor lain yang dapat memperkuat sindrom sarang
hampa bagi wanita yang memiliki sikap sangat tradisional
pada peran wanita dan khususnya pada wanita yang menunda
masa kelahiran anak sampai usia lanjut yaitu adanya
perbedaan tantangan. Penundaan tersebut salah satunya
disebabkan oleh kepentingan karir, sehingga saat periode ini
terjadi tantangan yang berkaitan dengan periode sarang
hampa telah mengalami perubahan.
b) Persepsi diri
Sindrom sarang hampa biasanya terjadi pada wanita
yang menganggap dirinya memiliki peran sentral dalam
kehidupan anak-anak selama puluhan tahun (Rini, 2004). Hal
ini berdampak pada bagaimana wanita memandang
kemandirian dan kedewasaan anaknya pada periode sarang
hampa (Dennerstein, dkk., 2002). Persepsi wanita pada anak
dapat mengarah pada ketidakmampuan anak untuk hidup
14
c) Tidak adanya persiapan
Wanita memiliki kecenderungan untuk tergantung
dengan orang lain dimana dalam hal ini adalah anak
(Weissman & Klerman dalam Paludi, 2002). Masa sarang
hampa terjadi setelah anak-anak tergantung beberapa tahun
kepada orang tua (Troll dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993).
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum anak
meninggalkan rumah, ibu dan anak mengalami adanya
hubungan saling ketergantungan. Saat anak meninggalkan
rumah, anak cenderung menjadi mandiri, namun ibu
mengalami ketidaksiapan untuk menjadi mandiri.
d) Peran kerja
Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa wanita tengah
baya yang identitasnya tidak terkait langsung dengan peran
pengasuhan cenderung tidak mengalami sindrom sarang
hampa. Wanita tersebut biasanya mengembangkan peran
alternatif bersamaan waktu dengan menurunnya peran
pengasuhan. Peran sebagai ibu tetap yang utama dan
kehilangan peran tersebut akan memberi pengaruh pada
penyesuaian terhadap periode posparental. Di sisi lain,
pengaruh kebermaknaan nilai peran kerja sebagai alternatif
diri yang mempengaruhi penyesuaian pada periode
postparental.
Wanita yang telah lebih dulu berpengalaman bekerja
sebelum kelahiran anak atau yang melanjutkan untuk bekerja
selama masa pengasuhan atau yang kembali bekerja setelah
anak dewasa, lebih mudah menghadapi transisi sarang
hampa. Baruch & Barnett (dalam Santrock 1995) pun
menuturkan bahwa pekerjaan memainkan peranan penting
dalam banyak kesehatan psikologis wanita. Hal ini tampak
ketika wanita yang relatif telah bebas dari tanggungjawab
peran pengasuhan memilih untuk bekerja. Wanita yang
bekerja dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (faktor
pendapatan), terhindar dari kebosanan dan kesepian serta
mencapai ketertarikan pada minat yang baru.
Kondisi di atas menyebabkan ibu yang bekerja kurang
mengalami perasaan hampa ketika anak meninggalkan rumah
(Cushman, 2005). Powell (dalam Raup, dkk., 1989)
menegaskan bahwa wanita yang tidak bekerja sangat rentan
pada sindrom sarang hampa. Kemudian bertahap adalah
wanita yang bekerja paruh waktu dan yang memiliki
kerentanan terendah pada sindrom sarang hampa adalah
wanita yang bekerja full-time.
16
Pencapaian pendidikan berpengaruh secara signifikan
pada resiko bubarnya perkawinan. Lillard & Waite (dalam
Hiedemann, dkk., 1998) mengutarakan hal serupa dimana
wanita yang lulus kuliah (bergelar) dapat mengurangi
resikonya terhadap bubarnya perkawinan. Wanita yang telah
lulus kuliah juga memiliki prospek (harapan ke depan)
pekerjaan yang lebih baik daripada mereka yang
berpendidikan kurang setara.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa wanita yang telah
lulus kuliah cenderung lebih mungkin memiliki pandangan
yang luas akan pilihan kesempatan dalam hidupnya sehingga
lebih mampu menghadapi permasalahan. Jika hal tersebut
dikaitkan dengan individu yang mengalami sarang hampa,
maka individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi
(dalam hal ini telah lulus kuliah) cenderung mampu
melewatinya dengan baik. Individu akan cenderung
menerima dan menyesuaikan pola hidup yang berubah serta
memilih untuk mengganti kehilangan yang dialaminya
dengan hal-hal yang membangun. Santrock (1995)
memberikan pilihan pada wanita yang mengalami masa
sarang hampa seperti memilih kembali ke sekolah atau
mengikuti program pelatihan untuk memperbaharui beberapa
b. Status perkawinan
Status perkawinan memberikan pengaruh saat mengalami
sarang hampa. Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa pengalaman
sarang hampa sebagai orang tua tunggal karena bercerai cukup
berbeda dari seseorang yang tinggal dalam situasi berpasangan. Hal
tersebut tampak ketika terjadi depresi yang cenderung akan memicu
sindrom sarang hampa. Pasangan yang tetap bertahan dalam
perkawinannya memiliki taraf depresi terendah daripada pasangan
yang bercerai dimana menunjukkan taraf depresi tertinggi, terutama
bagi wanita (Sodders, 2001; Ebersole dalam Craig, 1980). Hal ini
juga dikemukakan oleh Robins, dkk. (dalam Hoyer, dkk., 2003)
dimana individu yang menikah mengalami tingkat depresi yang lebih
rendah daripada individu yang memiliki status perkawinan lain
(bercerai, kumpul kebo, atau tidak pernah menikah).
Peran pasangan selama masa dewasa tengah yang lebih
mementingkan rasa aman, kesetiaan, dan daya tarik emosional antara
yang satu dengan yang lain mampu menjadikan hubungan suami-istri
ke arah persahabatan (Santrock, 1995). Masa sarang hampa membuat
suami dan istri memiliki semakin banyak waktu untuk dihabiskan
bersama dan kembali menjadi saling bergantung satu sama lain. Hal
ini menjadikan periode postparental mendukung pembangunan
18
kepuasan perkawinan secara bertahap meningkat (Rollins & Feldman
dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993).
Di sisi lain, bagi individu dewasa tengah yang pasangannya
meninggal atau diceraikan pasangannya biasanya memiliki masalah
kesulitan dalam menyesuaikan diri, terutama bagi wanita (Hurlock,
1991). Wanita tersebut mengalami rasa kesepian yang mendalam,
masalah seksual, ekonomi dan sosial. Kehidupan sosial individu
dewasa tengah yang sama seperti kehidupan individu dewasa awal
yakni berorientasi terhadap pasangan, membuat wanita yang
menjanda semakin mengalami kesulitan dalam menjalani pola
hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, datangnya masa sarang hampa
terutama bagi janda atau orang tua tunggal akan dapat membuatnya
semakin merasa sendiri dan mengalami kekacauan dalam pola
hidupnya, sehingga dapat memicu timbulnya sindrom sarang hampa.
c. Kebudayaan
Peneliti menyadari perbedaan kebudayaan antara Barat dan
Timur yang timbul dalam sebagian besar sumber wacana yang
digunakan dan subyek penelitian. Sebagian besar sumber wacana
yang dipakai peneliti adalah berdasar pada kebudayaan Barat,
sedangkan subyek penelitian berada dalam kebudayaan Timur. Hal
ini membuat keterlibatan teori kebudayaan diperlukan sebagai
kerangka untuk memahami kecenderungan sindrom sarang hampa
Geertz, H. (1961) menekankan bahwa keluarga dalam
beberapa masyarakat adalah suatu jembatan antara individu dan
kebudayaannya. Dalam hal ini, masyarakat Barat dan Timur
memiliki kebudayaan yang berbeda (individualisme dan
kolektivisme), sehingga mampu mempengaruhi kecenderungan nilai
dan sikap yang berbeda pula bagi individu di keluarga dalam
menghadapi kepergian anak dari rumah. Individualisme dan
kolektivisme digunakan peneliti karena menjadi salah satu struktur
atau kerangka dasar yang bersifat universal dan berfungsi sebagai
teori sederhana untuk menjelaskan perbedaan antar bangsa atau
kelompok masyarakat di dunia (Greenfield dalam Supratiknya, 2005
& 2006). Matsumoto, dkk. (1997) juga menyatakan bahwa
individualisme dan kolektivisme adalah suatu dimensi yang telah
digunakan secara teoritis dan empiris untuk menjelaskan dan
memprediksi persamaan dan perbedaan lintas budaya.
Masyarakat Barat memiliki karakteristik individualisme.
Individualisme adalah perasaan tidak tergantung pada suatu bentuk
dari kebersamaan yang tercermin pada pembentukan keluarga batih,
kebutuhan akan kebebasan dan otonomi individu (Göregenli, 1997).
Individualisme memiliki kecenderungan perilaku seperti
mengutamakan pengembangan aneka potensi pribadi serta
mementingkan kemandirian dan ketidaktergantungan (Triandis, dkk.
20
memunculkan sarang hampa bahkan sindrom sarang hampa yang
memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat (Sexton dalam
Sodders, 2001).
Di sisi lain, masyarakat Timur berkarakteristik kolektivisme.
Kolektivisme adalah suatu perasaan tergantung dalam keluarga,
kerabat, struktur, organisasi dan sistem sosial yang tampak dalam
keluarga besar, keintegritasan dengan keluarga, dukungan sosial dan
saling ketergantungan (Göregenli, 1997). Masyarakat Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat Timur, pada umumnya diasumsikan
berorientasi kolektivistik (Supratiknya, 2006). Hal tersebut tampak
dalam kecenderungan perilaku khas seperti mengutamakan integritas
atau keutuhan keluarga, kehangatan, saling ketergantungan, saling
memberikan dukungan dan saling menjaga perasaan.
Raup, dkk. (1989) mengungkapkan bahwa fenomena sarang
hampa kurang relevan atau kurang berpengaruh bagi cakupan
keluarga besar terlebih yang memiliki status sosioekonomi yang
tergolong rendah. Bagi peneliti, masyarakat Indonesia yang
berkebudayaan kolektivis cenderung terkait dengan hal tersebut. Di
Indonesia biasanya tinggal beberapa kepala keluarga dalam satu
rumah yang tercakup dalam keluarga besar. Hal tersebut membuat
keterlibatan hubungan antara generasi yang muda dan tua tetap
terjalin. Indonesia juga tergolong sebagai negara berkembang dimana
membuat keterlibatan orang lain (seperti anggota keluarga besar,
tetangga dan teman) untuk membantu kehidupannya sehingga
tercipta rasa kekeluargaan pula.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dapat menutup
kemungkinan munculnya periode sarang hampa di Indonesia. Di sisi
lain, jika periode sarang hampa terjadi, orang tua cenderung tidak
akan merasa sendirian karena masyarakat (anggota keluarga lain
dalam keluarga besarnya, tetangga, anggota komunitas, dll) akan
cenderung memberikan kepeduliannya. Hal yang bercorak
kolektivistik inilah yang membuat masyarakat Indonesia masih dapat
mengharapkan dan menerima bantuan dari keluarga dan saudara
untuk meringankan beban psikis maupun fisiknya. Di pihak lain,
pengaruh globalisasi yang berorientasi pada kebudayaan Barat telah
masuk ke Indonesia, maka memungkinkan kecenderungan perubahan
sistem kekeluargaan yang dapat mengarah pada munculnya sarang
hampa bahkan sindrom sarang hampa di Indonesia.
d. Hubungan dengan anak
Derajat kedekatan hubungan individu (orang tua dan anak)
mempengaruhi kadar sindrom sarang hampa. Makin dekat hubungan
seorang individu dengan individu lainnya, makin besar peluang
munculnya sindrom sarang hampa dan jika sindrom ini muncul,
makin besar pula kecenderungan intensitasnya (Satiadarma, 2006).
22
dapat berlaku bagi sebagian orang tua yang tinggal sangat dekat
dengan anak-anaknya serta yang menitikberatkan kepuasan
perkawinannya pada anak-anak dan bukan pada pasangan.
e. Peran-peran dalam keluarga
Individu dewasa tengah sebagai orang tua yang mengalami
sindrom sarang hampa juga berperan sebagai ayah dan ibu di dalam
keluarga. Peran-peran tersebut menimbulkan perbedaan
kecenderungan situasi yang menyebabkan munculnya sindrom
sarang hampa. Hal ini tampak dalam pernyataan Papalia & Olds
(1986) sebagai berikut :
1) Ayah
Peran pria sebagai pencari nafkah keluarga membuat pria
dewasa tengah yang berperan sebagai ayah seringkali mengalami
penyesalan ketika anak-anak meninggalkan rumah. Hal ini
dikarenakan sebelumnya ayah tidak memiliki kesempatan untuk
menghabiskan banyak waktu dan melakukan banyak hal dengan
anak-anak.
2) Ibu
Tuntutan masyarakat yang membuat ibu mendefinisikan
diri dalam peran maternal dapat membuat ibu mengalami
sindrom sarang hampa (Rybash, dkk., 1991). Ibu juga seringkali
tidak memiliki perencanaan dan belum siap pada sarang hampa.
juga menjadikan ibu enggan pada pencapaian tujuannya, merasa
bersalah tentang performansinya sebagai ibu dan kurangnya
tanggungjawab (DeVries dalam Clay, 2003).
3) Orang tua
Individu dewasa tengah yang berperan sebagai ayah dan
ibu seringkali mengalami kekecewaan dan perasaan bersalah
karena menganggap anak-anaknya belum mampu atau gagal
untuk menjadi mandiri dan dewasa.
5. Dampak Sindrom Sarang Hampa Pada Perkawinan
Menurut Santrock (1995), ketika terjadi sindrom sarang hampa,
kepuasan perkawinan akan mengalami penurunan karena orang tua
memperoleh kepuasan yang sesungguhnya dari anak-anak. Hal ini
didukung oleh tingkat komunikasi dan persahabatan antara suami dan
istri yang cenderung mengalami penurunan. Pasangan yang kurang
terlibat dalam aktivitas bersama biasanya juga memandang perkawinan
secara negatif. Hal ini dikarenakan orang tua terbiasa dan lebih dituntut
untuk terlibat dalam pengasuhan (Warner & Willis, 1991). Oleh karena
itulah, sindrom sarang hampa terkadang dapat menimbulkan perceraian
(Hoyer, dkk., 2003; Rybash, dkk., 1991). Hiedemann, dkk. (1998) juga
mengemukakan bahwa durasi perkawinan yang berkaitan dengan
investasi yang diperoleh selama perkawinan sampai pada awal periode
24
terjadi jika kekayaan dari masing-masing orang tua (suami dan istri)
disatukan untuk investasi anak-anak dan bukan untuk perkawinannya
sendiri.
6. Dinamika Munculnya Sindrom Sarang Hampa
Respon maladaptif (ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri)
dari orang tua pada transisi postparental yang distimulasi oleh
reaksi-reaksi tentang kehilangan disebut sindrom sarang hampa (Raup, dkk.,
1989). Peran kehilangan diidentifikasi sebagai pemicu yang
mempercepat secara signifikan timbulnya sindrom ini. Rasa kehilangan
muncul karena orang tua memberikan sejumlah besar tahun-tahunnya
untuk menjalankan peran parenting-nya, sehingga kepergian anak
meninggalkan kehampaan yang besar bagi keseharian orang tua.
Sindrom sarang hampa tidak mempengaruhi orang tua dengan cara yang
sama. Diagnosis sindrom sarang hampa (empty nest syndrome) didapat
dari orang tua yang relatif mengalami emosi-emosi negatif yang
berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri.
Menurut Rosen (dalam Satiadarma, 2006); Clay (2003) & Scher
(1992) sindrom sarang hampa adalah sindrom yang muncul pada
sejumlah orang tua akibat adanya perasaan kehilangan dan krisis
identitas yang dialami setelah anak-anak meninggalkan rumah untuk
hidup memisahkan diri dari orang tua. Kehilangan yang dimaksud bukan
juga mampu memunculkan kehilangan dari mimpi dan sejarah yang
pernah anak hadirkan dan tujuan hidup dari orang tua.
Setelah anak-anak meninggalkan rumah, orang tua merasa tidak
lagi bermakna bagi anak-anak yang telah dewasa dan mampu mandiri,
bahkan jauh lebih mampu daripada dirinya. Hal ini memunculkan
perasaan ditelantarkan (kesedihan karena tidak dibutuhkan lagi) yang
menimbulkan krisis identitas diri pada sejumlah orang tua (Coles dalam
Satiadarma, 2006). Selain itu, kepergian anak dari rumah juga dapat
menimbulkan perasaan terancam untuk status mereka sebagai orang tua.
Hal ini disebabkan oleh hilangnya keberdayaan orang tua seperti
berkurangnya atau bahkan lepasnya kendali terhadap kehidupan anak.
Webber & Delvin (2005) pun mengatakan bahwa sindrom sarang
hampa terkait dengan kondisi psikologis atau emosional dari orang tua
ketika ditinggalkan anak. Hal serupa dinyatakan Raup, dkk. (1989)
bahwa terdapat reaksi patologis dari depresi yang terjadi pada periode
postparental, sehingga sindrom sarang hampa dapat dikatakan
mengandung penyimpangan emosi. Hal ini diuraikannya melalui
perasaan sedih (Parker, 2002; Sexton dalam Sodders, 2001; Scher, 1992)
maupun dukacita mendalam yang dialami orang tua ketika anak
meninggalkan rumah (Huffman, dkk., 1997). Simtom-simtom patologi
lain termasuk depresi (Clay, 2003) dan dysphoria (depresi disertai
26
Sindrom sarang hampa juga dikaitkan dengan perasaan bersalah
(Sodders, 2001). Perasaan bersalah biasanya tertuju pada “ketepatan”
ketrampilan pola asuh orang tua dalam menyiapkan anak-anak ke masa
dewasa. Hal tersebut berdampak pada orang tua yang akan terlalu
memperhatikan kesejahteraan anak sebagai dewasa muda atau seorang
yang belum berpengalaman, sehingga malah akan mendatangkan
perasaan-perasaan cemas, kalut, khawatir dan stres untuk dirinya (Raup,
dkk., 1989; Scher, 1992). Perasaan menyesal juga dialami oleh orang
tua, terutama ayah yang menghabiskan waktunya untuk bekerja di luar
rumah selama anak masih berada di rumah (Clay, 2003; Rubin dalam
Papalia & Olds, 1986 dan Warner & Willis, 1991).
Oliver (dalam Raup, dkk., 1989) menerangkan bahwa dalam
postparental maladjustment, yang menjadi masalah bukanlah sarang
hampa, namun orang tualah (terutama wanita) yang hampa dimana
merasakan kebergunaan diri untuk hidup telah selesai. Hal ini biasanya
dikarenakan kegagalan orang tua untuk menyesuaikan diri pada pola
hidup baru. Pola hidup yang sebelumnya selama bertahun-tahun relatif
tidak mengalami perubahan, namun kemudian menjadi tidak seimbang
akibat ketidakadaan anak. Kondisi tersebut tampak pada orang tua yang
mengalami kegagalan dalam mengalihkan dirinya pada peran-peran baru
dalam kehidupan. Penyesuaian keluarga dalam periode ini salah satunya
dipengaruhi oleh faktor yang sangat signifikan yaitu penyesuaian
(proses dimana kaum muda beralih ke dalam masa dewasa dan keluar
dari keluarga asalnya). Adaptasi parental ke periode postparental
berkisar dari keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak
sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani
hidup mandiri dan menjalani perkembangan serta pembaharuan di
perkawinan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sindrom sarang
hampa pada dewasa tengah adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan
maladaptif dari individu dewasa tengah sebagai orang tua ketika
menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana terungkap
melalui indikator emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan
menyesuaikan diri. Alasan anak-anak meninggalkan rumah biasanya adalah
untuk pergi belajar atau bekerja atau menikah, sehingga anak hidup mandiri
dan bertempat tinggal terpisah dengan orang tuanya. Individu dewasa tengah
tersebut berumur 41 sampai dengan 60 tahun dan tinggal di rumah tanpa
kehadiran anak-anaknya.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pertanyaan inti dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat
kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan (pemaparan sesuatu yang tersirat dari
B. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi). Penyusunan definisi operasional diperlukan karena akan menunjuk pada alat pengambil data mana yang cocok untuk digunakan dalam penelitian (Suryabarata, 1998). Definisi sindrom sarang hampa adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan maladaptif dari orang tua ketika menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana sesungguhnya kepergian anak terakhir dari rumah merupakan periode yang normal dalam siklus kehidupan. Alasan anak-anak meninggalkan rumah biasanya adalah untuk pergi belajar atau bekerja atau menikah, sehingga anak hidup mandiri dan bertempat tinggal
terpisah dengan orang tuanya.
Pengukuran sindrom sarang hampa diungkap melalui dua indikator yaitu emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri. Kedua indikator tersebut digunakan sebagai skala sindrom sarang hampa. Skor rendah mengindikasikan bahwa sindrom sarang hampa cenderung rendah, sebaliknya skor tinggi berarti subyek penelitian memiliki sindrom sarang hampa yang cenderung tinggi.
C. SUBYEK PENELITIAN
30
penelitian ini adalah individu dewasa tengah yang berperan sebagai orang tua berusia 41 sampai dengan 60 tahun dan memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar (sekolah) atau bekerja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Borland (dalam Raup, dkk., 1989) bahwa periode postparental sangat dapat terjadi selama rentang 20 tahun ketiga, yaitu umur 41-60 tahun. Individu yang dimaksud di atas juga berwarganegara dan bertempat tinggal di Indonesia karena mengarah pada masyarakat yang berkebudayaan kolektivistik. Terakhir, individu tersebut tinggal berlainan propinsi dengan anaknya untuk membatasi jarak tempat tinggal sehingga akan membuat orang tua-anak sangat jarang untuk bertemu.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala berisi pernyataan-penyataan yang terkait dengan sindrom sarang hampa. Skala ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami oleh individu dewasa tengah. Skala disusun oleh peneliti berdasarkan indikator dari sindrom sarang hampa yakni emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri. Indikator tersebut terurai sebagai berikut :
1. Emosi-emosi negatif yang berlebihan
Pada emosi-emosi negatif yang berlebihan, tercakup di dalamnya adalah :
b. perasaan bersalah, c. penyesalan, d. kecemasan, e. stres dan depresi
2. Kesulitan menyesuaikan diri
Dalam indikator kesulitan menyesuaikan diri tampak :
a. kegagalan untuk mengalihkan diri dari peran pengasuhan ke peran-peran baru dalam kehidupan (dapat berupa peran-peran kerja maupun keterlibatannya dalam lingkungan),
b. keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani kemandiriannya,
c. kehilangan makna dan gairah hidup yang mencakup kehilangan mendalam dari tujuan dan identitas.
32
Penyebaran item disusun dengan menggunakan blue-print seperti terlihat dalam tabel 1 :
Tabel 1.
Blue-printdan Susunan Item Skala Sindrom Sarang Hampa
No. Indikator
Sindrom
Sarang
Hampa
Jenis Item Sebaran Item Item per Jenis Item Setuju). Subyek dapat merespon dengan memilih jawaban dan memberi tanda pada kolom SS, S, TS, atau STS menurut kesesuaian subyek terhadap pernyataan. Empat pilihan jawaban dalam skala ini merupakan modifikasi dari Skala Likert dimana meniadakan pilihan kategori jawaban tengah. Menurut Hadi (1991), hal ini didasarkan atas tiga hal yaitu:
memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya), bisa juga diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju pun tidak, atau bahkan ragu-ragu.
2. Jawaban tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah (central tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabannya, ke arah setuju atau tidak setuju.
3. Kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau tidak setuju. Jawaban tengah akan menghilangkan banyak data penelitian sehingga mengurangi banyaknya informasi yang dapat dijaring dari para responden.
Penilaian yang diberikan pada subyek untuk tiap item favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel 2 :
Tabel 2. Pemberian Skor Skala
Pilihan Jawaban Item Favorabel Item Unfavorabel
Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
E. PERTANGGUNGJAWABAN MUTU
1. Validitas
34
bahwa pengukuran itu mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya diantara subyek yang satu dengan yang lain. Uji validitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau oleh professional judgement
(Azwar, 2007c). Hal tersebut berarti bahwa semua item dalam skala penelitian ini dikoreksi oleh orang yang sudah ahli yaitu dosen pembimbing untuk memastikan bahwa item-item tersebut telah mencakup dan mewakili indikator yang hendak diukur.
2. Seleksi Item
dinyatakan gugur adalah item-item yang korelasi item-totalnya (rix) rendah yaitu < 0.30 (Azwar, 2007b).
Hasil uji coba item-item menunjukkan nilai korelasi item total berkisar antara -0.072 sampai dengan 0.612. Uji coba tersebut juga menghasilkan 24 item yang sahih dan 16 item yang gugur, seperti tampak pada tabel 3 :
Tabel 3.
Sebaran Nomer Item yang Sahih dan Gugur Setelah Uji coba
No. Indikator
Sindrom
Sarang
Hampa
Jenis Item Sebaran Item
36
(menggunakan tryout terpakai) menjadi seperti pada tabel 4, sebagai berikut :
Tabel 4.
Sebaran Item Skala Sindrom Sarang Hampa untuk Penelitian
No. Indikator Sindrom
Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya jika beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2007c). Menurut Hadi (1991), syarat reliabilitas (keandalan) suatu instrumen menuntut kemantapan, keajegan atau stabilitas hasil pengamatan dengan instrumen (pengukuran), seandainya barang atau orang atau apapun yang diamati dalam keadaan tidak berubah dalam kurun waktu amatan pertama dan kedua atau amatan-amatan selanjutnya.
mendekati angka 1.00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Data untuk menghitung koefisien reliabilitas tersebut didapat melalui pendekatan konsistensi internal dengan cara koefisien reliabilitas Alpha. Prosedur pendekatan tersebut dengan menyajikan satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subyek penelitian ( single-trial administration) (Azwar, 2007c). Perhitungan atas koefisien reliabilitas Alpha diperoleh melalui prosedur Cronbach Alpha dari program SPSS for windows versi 12 agar terlihat apakah konsistensi antar item terjadi dalam menjalankan fungsi ukurnya pada skala penelitian ini. Pada skala sindrom sarang hampa, pengukuran berdasarkan prosedur Cronbach Alpha menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0.869. Nilai koefisien reliabilitas tersebut menunjukkan bahwa skala sindrom sarang hampa dapat diandalkan sebagai alat ukur untuk tujuan pengambilan data penelitian ini.
F. METODE ANALISIS DATA
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan skala penelitian pada orang tua yang berusia 41 sampai dengan 60 tahun (usia dewasa tengah) dan
memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar (sekolah) atau bekerja. Skala tersebut disebar pada warga masyarakat di beberapa perumahan. Oleh karena itu, peneliti mengajukan surat keterangan penelitian sebagai surat pengantar dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma akan keberlangsungan penelitian dalam masyarakat. Surat keterangan penelitian bernomor 38b./D/KP/Psi/USD/ III/2009 telah disetujui oleh Dekan Fakultas sebagai surat pengantar peneliti.
B. PELAKSANAAN PENELITIAN
tinggal bersama dengan anak atau salah satu anaknya walaupun anak-anaknya yang lain telah meninggalkan rumah. Selain itu, peneliti lebih menemukan orang tua yang ditinggalkan anaknya dengan umur lebih dari 60 tahun.
Uji coba item-item dalam bentuk skala sindrom sarang hampa dilakukan pada tanggal 19 Maret 2009 sampai dengan 29 April 2009. Uji coba dilakukan pada orang tua-orang tua yang bertempat tinggal di Jakarta, Semarang, Klaten dan Yogyakarta. Skala yang disebarkan berjumlah 120 eksemplar dan yang kembali berjumlah 115 eksemplar. Dari 115 eksemplar terdapat 8 eksemplar yang tidak memenuhi syarat, sehingga data yang dianalisis berjumlah 107 eksemplar, atau dapat dikatakan bahwa subyek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 107 responden.
Deskripsi subyek dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5.
Deskripsi Subyek
Deskripsi Frekuensi
Jenis kelamin Wanita 61
Pria 46
Status perkawinan Bersama pasangan 99
Janda (suami meninggal) 8
Tinggal di rumah bersama Sendiri 5
40
C. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Data Penelitian
Hasil penelitian untuk analisa kecenderungan ditentukan dengan membandingkan antara mean teoritik dan mean empirik. Perhitungan data empirik dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 12, sedangkan perhitungan data teoritik dilakukan dengan
menghitung besarnya nilai-nilai berikut :
Xminimum teoritik : Skor paling rendah yang mungkin diperoleh subyek pada skala, yaitu 1
Xmaksimum teoritik : Skor paling tinggi yang mungkin diperoleh subyek pada skala, yaitu 4
Mean teoritik (µ) : Rata-rata teoritik dari skor maksimum dan skor minimum.
Bila dimasukkan dalam hitungan angka, maka diperoleh data sebagai berikut :
Xminimum teoritik : 24 x 1 = 24 Xmaksimum teoritik : 24 x 4 = 96 Mean teoritik (µ) : 96 + 24 = 60
Tabel 6.
Data Statistik Deskriptif
Statistik Teoritik Empirik
N 107 107
Skor Minimum 24 24
Skor Maksimum 96 62
Mean 60 42.50
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai mean teoritik lebih besar daripada nilai mean empirik (60 > 42.50). Hal tersebut berarti bahwa secara umum subyek penelitian cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah. Hasil perbedaan mean di atas kemudian diuji lagi melalui prosedur One-Sample Test dengan program SPSS for windows versi 12 untuk membuktikan bahwa mean teoritik secara signifikan lebih besar dari mean empiriknya. Tabel berikut ini merupakan hasil perhitungannya :
Tabel 7.
Deskripsi Hasil Uji t Mean Teoritik dan Empirik
Variabel Mean
Teoritik
Mean
Empirik
t Sig.
(2-tailed)
Sindrom sarang hampa 60 42.50 27.281 0.000
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai t sebesar
42
perbedaan yang signifikan antara mean teoritik dan empirik. Hal ini membuktikan bahwa secara signifikan mean teoritik lebih besar dari mean empirik, sehingga dapat dikatakan bahwa sindrom sarang hampa yang dialami subyek penelitian cenderung rendah secara signifikan.
2. Analisis Data Tambahan
Sebagai data tambahan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan dalam hal kecenderungan sindrom sarang hampa antara wanita dan pria dewasa tengah, maka digunakan t-Test(teknik uji t) dalam menganalisisnya. Hal ini peneliti lakukan mengingat adanya peran yang berbeda antara pria dan wanita dalam perkawinan termasuk pada hal pengasuhan anak. Sebelum melakukan analisis data dengan t-Test terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi untuk melihat normalitas
dan homogenitas dari data yang diperoleh. a. Uji Normalitas
menunjukkan probabilitas sebesar 0.217 (p > 0.05), sehingga dinyatakan disribusi skor adalah normal.
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas merupakan asumsi dalam uji beda yang harus dipenuhi dimana sampel-sampel yang diuji harus mempunyai varian yang sama. Pengambilan keputusan didasarkan pada nilai probabilitas (p). Jika p > 0.05 maka sampel-sampel memiliki varian yang sama (homogen), sebaliknya jika p < 0.05, maka sampel-sampel tidak homogen. Uji homogenitas variansi dilakukan dengan program SPSS for windows versi 12 yaitu melalui prosedur Independent Samples Test dengan melihat hasil Levene’s Test for Equality of Variancesnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok sampel memiliki varian yang sama (p > 0.05, dimana p = 0.212).
44
Tabel 8.
Deskripsi Hasil Uji t Jenis Kelamin
Variabel Jenis Kelamin Mean t
Sig.(2-tailed)
Sindrom
sarang hampa
Wanita 42.92 0.741 0.461
Pria 41.96
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil perhitungan perbedaan dengan uji t yaitu t sebesar 0.741 dan p sebesar 0.461. Oleh karena p > 0.05, maka berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecenderungan sindrom sarang hampa antara wanita dan pria dewasa tengah.
D. PEMBAHASAN
2001) bahwa sindrom sarang hampa memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat.
Subyek penelitian yang berada dalam wilayah Jakarta, Semarang, Klaten dan Yogyakarta termasuk sebagai masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Timur, pada umumnya diasumsikan berorientasi kolektivistik (Supratiknya, 2006). Kolektivisme adalah suatu perasaan tergantung dalam keluarga, kerabat, struktur, organisasi dan sistem sosial yang tampak dalam keluarga besar, dukungan sosial dan saling ketergantungan (Göregenli, 1997). Kecenderungan perilaku yang khas dari kolektivisme seperti saling ketergantungan dan saling memberikan dukungan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sedikitnya respon maladaptif subyek penelitian yang distimulasi oleh reaksi-reaksi tentang kehilangan ketika anak meninggalkan rumah kemungkinan dapat dikarenakan kepedulian dari masyarakat sekitarnya (anggota keluarga dalam keluarga besarnya, tetangga, anggota komunitas, dll). Lingkungan cenderung memberikan andil dalam kehidupan subyek penelitian ketika menjalani masa sarang hampa. Hal ini diperkuat melalui wawancara peneliti dengan subyek penelitian dimana anak dan orang tua masih mewujudkan saling ketergantungan dalam hal perhatian melalui komunikasi dan kunjungan.
46
penelitian serta hubungan kekeluargaan yang hangat dari para tetangga atau kelompok kemasyarakatan dengan subyek penelitian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Krisna (2005) dimana sistem kekeluargaan yang relatif erat tampak ketika masyarakat Indonesia mengalami hal yang kurang menyenangkan, dalam hal ini sindrom sarang hampa. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang masih dapat mengharapkan dan menerima bantuan dari keluarga dan saudara untuk meringankan beban psikis dan fisik. Penjelasan ini diperkuat berdasarkan data deskripsi subyek dimana jumlah subyek penelitian yang tinggal di rumah bersama dengan orang lain lebih banyak daripada yang tinggal sendiri (102 > 5). Keberadaan orang lain yang dimaksud adalah hadirnya pasangan, orang tua, pembantu rumah tangga, saudara dan anak-anak kos.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata subyek dalam penelitian
ini cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah.
2. Tidak ada perbedaan kecenderungan sindrom sarang hampa antara
wanita dan pria dewasa tengah.
B. SARAN
1. Saran berkaitan dengan manfaat penelitian
Orang tua yang mengalami masa sarang hampa diharapkan dapat
mempersiapkan, menggunakan dan memaknai masa ini secara positif
dan realistis. Hal tersebut diawali dengan memandang masa ini sebagai
hal yang wajar terjadi serta dapat menerima dan menyesuaikan pola
hidup yang berubah. Penyesuaian diri dalam pola hidup dapat dilakukan
dengan membaharui kembali hubungan dengan pasangan atau anggota
keluarga lain, beralih ke peran kerja, penekunan diri pada hobi dan minat
baru, perhatian pada generasi yang lebih muda serta berkecimpung
dalam kegiatan kemasyarakatan. Orang tua yang mengalami sindrom
sarang hampa bila perlu juga disarankan untuk meminta bantuan pada
Lingkungan masyarakat yang tinggal berdampingan maupun
memiliki hubungan dengan orang tua yang mengalami masa sarang
hampa juga diharapkan tetap melestarikan budaya kolektivis.
Masyarakat dapat melibatkan orang tua yang mengalami masa sarang
hampa dalam kegiatan kebersamaan. Dalam kegiatan tersebut, dukungan
masyarakat diharapkan dapat membuat orang tua tidak merasa sendirian
dan tetap merasa berguna bagi orang lain.
2. Saran berkaitan dengan kelanjutan penelitian
Peneliti melihat adanya kekurangan dalam penelitian ini,
sehingga menganjurkan peneliti selanjutnya untuk lebih banyak
mendapatkan sumber wacana tentang sindrom sarang hampa agar
memperoleh kajian yang lebih luas dan mendalam. Peneliti selanjutnya
juga diharapkan dapat memperoleh sampel yang lebih banyak agar
generalisasi pada masyarakat yang berkebudayaan kolektivisme lebih
akurat. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menguji
faktor-faktor lain yang kemungkinan berkaitan dengan sindrom sarang hampa,
seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan atau pembagian
masa dewasa tengah (usia awal dan akhir dari dewasa tengah). Peneliti
juga mengingatkan peneliti selanjutnya agar dapat mengambil sampel
yang seimbang jika nantinya akan dilakukan pembagian kelompok untuk
50
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2007a). Metode Penelitian. Edisi 1, cetakan VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2007b). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 1, cetakan IX. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2007c). Reliabilitas dan Validitas. Edisi 3, cetakan VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Clay, R.A. (2003). An empty nest can promote freedome, improved relationships.
Monitor on Psychology, Vol. 34, No. 4.
Craig, G. J. (1980). Human Development (2nd ed.). New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Cushman, F. (2005). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Retrieved November 22, 2007, from www.psychologytoday.com
Dennerstein, L., Dudley, E., Guthrie, J. (2002). Empty nest or revolving door? A prospective study of women’s quality of life in midlife during the phase of children leaving and re-entering the home. Psychological Medicine, Vol. 32, Issues 3, 545-550.
Garris. (2004). The empty nest names. Retrieved November 26, 2008, from www.ucumberlands.edu
Geertz, H. (1961). The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. Glencoe: The Free Press of Glencoe, Inc.
Göregenli, M. (1997). Individualist-collectivist tendencies in a Turkish sample.