• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI DESKRIPTIF SINDROM SARANG HAMPA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Vonny Permanasari Simon

NIM : 049114116

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah.

(Filipi 1 : 22)

Karya ini kupersembahkan untuk :

Rekan seperjalananku, Yesus Kristus

Bapa, Mama dan Abangku tersayang

Teman-temanku tercinta

Almamaterku, Fakultas Psikologi USD

serta

Setiap orangtua yang merindukan anak-anaknya

karena terpisah oleh masa sarang hampa

“Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup.

Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.“

(5)
(6)

vi

Vonny Permanasari Simon Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua. Sindrom sarang hampa adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan maladaptif dari individu dewasa tengah sebagai orang tua ketika menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana terungkap melalui indikator emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri.

Penelitian dilakukan pada 107 orang tua yang memiliki usia dewasa tengah (41-60 tahun) dan memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar atau bekerja. Alat yang digunakan adalah Skala Sindrom sarang hampa (n = 24; Alpha rxx’ = 0.869). Hasil penelitian menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, rata-rata subyek penelitian cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah. Hal ini terlihat dari hasil mean teoritik > mean empirik yaitu 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Kedua, tidak ada perbedaan kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah, baik pria maupun wanita (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).

(7)

vii

ABSTRACT

The Descriptive Study of Empty Nest Syndrome Vonny Permanasari Simon

Faculty of Psychology

Sanata Dharma University Yogyakarta

The study was conducted with the goal to gain general description about the tendency level of empty nest syndrome which is experienced by middle adult people as parents. Empty nest syndrome is excessively negative and maladaptive response from middle adult people as parents when facing leaving period of last child from home, which is revealed from excessively negative emotions and maladjustment indicators.

This study was done to 107 parents who are in middle age category (41-60 years old) and have adult children who stay out of the home because of married or study or do some works. The instrument used was Empty nest syndrome Scale (Skala Sindrom sarang hampa) (n = 24; Alpha rxx’ = 0.869). The study resulted two conclusions. First, generally, subjects of the study tend to experience low empty nest syndrome. It was seen from the result of theoretic mean > empiric mean that is 60 > 42.50 (p = 0.000 < 0.05). Second, there was no difference in the tendency of empty nest syndrome for middle adult people, nor men neither women (t = 0.741, p = 0.461> 0.05).

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Murah Hati yang memberikan

anugerah-Nya bagi penulis untuk berdinamika dengan skripsi ini. Skripsi berupa penelitian ini merupakan upaya penulis untuk mengetahui bagaimana gambaran kecenderungan orang tua yang bereaksi negatif berlebihan dan maladaptif ketika

anak-anaknya pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, belajar atau menikah. Momentyang sama ketika dialami oleh orang tua penulis karena penulis beserta kakak harus pergi meninggalkan rumah untuk belajar di propinsi lain. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini tidak mungkin dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Yesus Kristus yang telah setia dan selalu ada sebagai sumber kekuatan bagi hidup penulis (Segala pujian dan hormat hanya untuk-Mu!).

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan fasilitas-fasilitas dan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi dan kegiatan akademik.

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan tulus memberikan arahan, masukan dan waktu untuk memperbaiki skripsi ini, serta dorongan untuk menyelesaikannya.

(10)

x

semangat, waktu, pikiran dan tenaga kala penulis ingin berbagi dan berdiskusi tentang penyelesaian skripsi ini.

7. Bu Titik, Pak Didik, Pak Heri dan para dosen di Fakultas Psikologi USD yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di Fakultas ini.

8. Mas Doni, Pak Gie, Mas Gandung, Mas Muji dan Mbak Nanik yang membantu kegiatan akademik penulis dengan senyum dan keramahan. 9. Para orang tua yang menjadi subyek penelitian dan para sumber informasi

keberadaan para calon subyek penelitian dimana tanpa ketulusan bantuan dari Bapak/ Ibu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan skripsi ini. 10. Bapak Corpanus Simon Benung dan Ibu Rennyati yang selalu

mendampingi dan menjadi kepanjangan cinta Tuhan yang tampak dalam hidup penulis.

11. Wahyu Yonan Permana Simon yang selalu memberi semangat, kehangatan dan sayang selama hidup penulis.

(11)

xi

inspirasiku untuk tetap sadar, Bu!”), Keluarga Yadi untuk pinjaman buku dan bantuan dalam mencarikan subyek penelitian, Keluarga Purnomo untuk ketulusan dan waktunya dalam membantu penulis mencari subyek hingga berlimpah.

13. Teman-teman wanitaku yang manis sekaligus kuat : Emma, Phi, Ndoz (Tanpa kalian kadang aku tak tahu siapa aku!), Ika, Uci, Ita, Kadex (Sungguh anugerah termanis bisa berdinamika dengan kalian!), Berta dan Kak Selvi (Terimakasih atas bantuannya menerjemahkan jurnal dan abstrak), Nana, Evi, Dani, Mbak Monik, Mbak Devi, Mbak Tiwu dan Andin (Kalian benar-benar membuktikan bahwa fakultas kita adalah keluarga.).

14. Kawan-kawan lelakiku yang bersemangat : Bondan (Terimakasih untuk sayangmu yang membingungkanku.), Dicto (That’s what friend are for!), Alm. Mas Antok (Terimakasih atas seluruh nuansamu!), Mas Adi (terimakasih Masnya! Kan ku ingat kalau mereka juga makan nasi jadi tak perlu gentar!), Kak Jo (terimakasih untuk saran judul seminar yang kemudian menjadi judul penelitian ini. Sapere Aude!), Ndus (Bang!), Rezwie (“Ke Jakarta aku kan kembali !”).

15. Anak-anak Sekolah Minggu, Pra Remaja dan Korempa GKI Prambanan. Tawa, tangis dan kebersamaan dengan kalian semua membuat penulis

menjadi pribadi yang semakin jauh lebih baik

.

(12)
(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….………. ii

HALAMAN PENGESAHAN……….……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO……….…. ….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….……… v

ABSTRAK……….………. vi

ABSTRACT……….……... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii

KATA PENGANTAR………..….... ….. ix

DAFTAR ISI……….…... xiii

DAFTAR TABEL……….…... xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….…....….. xvii

BAB I. PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah………... 5

C. Tujuan Penelitian……… 5

D. Manfaat Penelitian……….. 5

BAB II. LANDASAN TEORI………... 6

(14)

xiv

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Sindrom Sarang Hampa Pada Dewasa Tengah…………. 10

5. Dampak Sindrom Sarang Hampa Pada Perkawinan……….. 23

6. Dinamika Munculnya Sindrom Sarang Hampa………… 24

B. Pertanyaan Penelitian………... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………. 28

A. Jenis Penelitian……….. 28

B. Definisi Operasional……….. 29

C. Subyek Penelitian……….. 29

D. Metode Pengumpulan Data……… 30

E. Pertanggungjawaban Mutu………... 33

1. Validitas……… 33

2. Seleksi Item………... 34

3. Reliabilitas.……….. 36

F. Metode Analisis Data………. 37

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 38

A. Persiapan Penelitian………... 38

B. Pelaksanaan Penelitian……… 38

(15)

xv

1. Deskripsi Data Penelitian………... 40

2. Analisis Data Tambahan………... 42

D. Pembahasan………. 44

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….………… 48

A. Kesimpulan……….. 48

B. Saran……….... 48

DAFTAR PUSTAKA………... 50

(16)

xvi TABEL 1. Blue-printdan Susunan Item Skala

Sindrom Sarang Hampa………. 32

TABEL 2. Pemberian Skor Skala……… 33

TABEL 3. Sebaran Nomer Item yang Sahih dan Gugur Setelah Uji coba……….. 35

TABEL 4. Sebaran Item Skala Sindrom Sarang Hampa untuk Penelitian……… 36

TABEL 5. Deskripsi Subyek……….. 39

TABEL 6. Data Statistik Deskriptif……… 41

TABEL 7. Deskripsi Hasil Uji t Mean Teoritik dan Empirik……... 41

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman A. Tabulasi Data Item

a. Uji Coba………. 54

b. Penelitian Sesungguhnya (Try-out terpakai )………. 55

B. Uji Kesahihan Butir Item………. 56

Uji Reliabilitas……….. 58

C. Deskripsi Subyek………... 59

Data Penelitian……….. 60

D. Data (Tambahan) Uji t……….. 61

E. Instrumen Penelitian a. Skala Uji Coba……… 62

b. Skala Penelitian……….. 66

(18)

1

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Orang tua yang anaknya telah berusia 18 tahun atau memasuki masa

awal dewasa seringkali menyadari bahwa sebentar lagi anak tersebut akan

meninggalkan rumah. Hiedemann, dkk. (1998) mengatakan bahwa anak

yang memasuki masa dewasa terkadang dianggap sudah cukup

berpengalaman untuk meninggalkan rumah dan untuk berkuliah atau

bekerja. Hal itu membuat orang tua tidak memiliki anak-anak lagi di rumah

sehingga menandai awal periode sarang hampanya.

Sarang hampa merupakan fase dalam siklus kehidupan keluarga yang

biasa atau normal dialami oleh orang tua pada masa tengah baya (Raup,

dkk., 1989). Dalam fase ini, anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di

rumah (Harkins dalam Dennerstein, dkk., 2002). Sebagian besar ahli

(sosiolog dan konselor) menyebut sarang hampa sebagai masa postparental

dimana orang tua ditinggalkan oleh anak-anaknya setelah bertahun-tahun

mendampingi mereka dalam masa pengasuhan (Raup, dkk., 1989; Warner &

Willis, 1991). Respon terhadap masa ini berbeda-beda untuk masing-masing

orang tua, sehingga pengalaman sarang hampa dapat menjadi pengalaman

yang diharapkan dan menyenangkan, namun dapat juga menciptakan

pengalaman yang menyakitkan. Orang tua yang merespon masa ini sebagai

(19)

2

Raup, dkk. (1989) menerangkan bahwa orang tua yang mengalami

sindrom sarang hampa distimulasi oleh reaksi-reaksi tentang kehilangan.

Kehilangan tersebut dapat dikaitkan dengan peran wanita dan pria sebagai

orang tua. Keterlibatan wanita dalam peran pengasuhan selama

bertahun-tahun dapat menjadikan peran tersebut sebagai fokus dalam kehidupannya.

Peran sebagai pencari nafkah dalam keluarga malah membuat pria hanya

memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan bersama dengan anak ketika masih

tinggal bersama di rumah. Peran-peran tersebut dapat memicu sindrom

sarang hampa karena orang tua mengalami kehilangan kesempatan untuk

bersama dengan anak.

Dalam sindrom sarang hampa ditemukan orang tua yang mengalami

emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri

(Raup, dkk., 1989). Emosi-emosi negatif yang berlebihan terlihat pada

kesedihan yang mendalam, kecemasan yang tak beralasan hingga depresi.

Kesulitan dalam menyesuaikan diri tampak ketika orang tua gagal

mengalihkan peran pengasuhannya ke peran-peran baru, tetap memandang

anaknya masih belum berpengalaman jika tanpa dirinya, sampai kurang

bergairah melakukan pekerjaan. Hal-hal tersebut dapat terlihat dalam hasil

wawancara Deutscher (dalam Warner & Willis, 1991) dengan seorang ibu

rumah tangga yang mengidentifikasikan dirinya pada anak. Ibu tersebut

berkata:

(20)

bermain kartu. Aku tidak memiliki pekerjaan tetapi aku tidak bisa mengambil beberapa pekerjaan.

Hasil wawancara yang diungkapkan Scher (1992) menunjukkan hal

serupa seperti di atas dimana seorang ayah berkata:

Aku berpikir telah melewati kehampaan dalam rumah kami dengan baik, namun aku tak henti-hentinya bersarang dan membeli sejumlah barang antik serta perkakas untuk rumahku. Aku berusaha untuk memenuhi sarang. Hal tsb tidak berhasil dan mahal. Aku tidak ingin anak perempuanku kembali, karena dia berada dimana dia harus berada. Apa yang aku inginkan adalah seluruh tahun-tahun indah dari pertumbuhannya dan kebersamaan kami.

Sindrom sarang hampa juga dapat memberikan pengaruh dalam hubungan

perkawinan. Menurut Santrock (1995) ketika terjadi sindrom sarang hampa,

kepuasan perkawinan akan mengalami penurunan karena orang tua

memperoleh kepuasan yang sesungguhnya dari anak-anak. Hal ini

dikarenakan orang tua terbiasa dan lebih dituntut untuk terlibat dalam

pengasuhan (Warner & Willis, 1991), sehingga orang tua merasa tidak

mendapatkan kepuasan pada pasangannya ketika masa pengasuhan beralih

ke masa sarang hampa. Oleh karena itulah, sindrom sarang hampa terkadang

dapat menimbulkan perceraian (Hoyer, dkk., 2003; Rybash, dkk., 1991;

Hiedemann, dkk., 1998).

Beberapa sumber penelitian yang digunakan peneliti cenderung

mengacu pada kebudayaan Barat. Individu pada masyarakat Barat

mengkonstruksikan dirinya sebagai individu yang mandiri. Sebaliknya,

individu pada masyarakat Timur (seperti subyek yang akan diteliti) merasa

terhubungkan dengan individu lain dan menjadi bagian dari konteks sosial,

(21)

4

bergantung (Markus dan Kiyatama dalam Wenzler-Cremer, H., 2004).

Hofstede (dalam Sarwono, 2006) juga mengungkapkan hal serupa dimana

masyarakat Timur cenderung lebih kolektivis daripada masyarakat Barat.

Hal ini tercermin pada perilaku masyarakat Timur yang lebih banyak

dipengaruhi oleh lingkungannya (keluarga, marga, organisasi, pandangan

publik).

Penjelasan perbedaan kebudayaan tersebut, bila dikaitkan dengan

sindrom sarang hampa, maka dapat memunculkan kemungkinan perbedaan

pengalaman. Sindrom sarang hampa yang memang biasa terjadi dalam

masyarakat Barat (Sexton dalam Sodders, 2001) dapat disebabkan oleh

ketidaklekatan individu secara emosi dalam kelompok masyarakatnya.

Adanya karakteristik budaya kemandirian atau keterpisahan pada

masyarakat Barat dapat membuat orang tua yang mengalami masa sarang

hampa merasa sendiri dan tidak dipedulikan oleh masyarakat sekitar,

sehingga memicu timbul dan meningkatnya sindrom sarang hampa.

Pada masyarakat Timur, adanya dukungan sosial dan saling

ketergantungan antar individu kemungkinan dapat membuat orang tua

mengalami hal yang berbeda seperti yang kebanyakkan terjadi dalam

masyarakat Barat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti hendak meneliti

mengenai kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami orang tua

(22)

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang

dialami individu dewasa tengah sebagai orang tua ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara umum

mengenai tingkat kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami

individu dewasa tengah sebagai orang tua.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Mengembangkan ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam

bidang perkembangan dengan bentuk memberikan sumbangan kajian

tentang sindrom sarang hampa.

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan dapat berguna bagi masyarakat supaya

segera mewaspadai, mengantisipasi dan menanggulangi sindrom sarang

(23)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SINDROM SARANG HAMPA

1. Saat Terjadinya Sindrom Sarang Hampa

Menurut Santrock (1995), keluarga pada kehidupan usia tengah

baya berada pada fase kelima dari siklus kehidupan keluarga. Fase yang

menghadirkan saat-saat seperti melepaskan anak-anak, memainkan peran

penting dalam menghubungkan antargenerasi (menjembatani

generasi-generasi) dan menyesuaikan diri dengan perkembangan perubahan hidup

pada usia tengah baya. Suatu permulaan dari masa dewasa tengah ialah

saat anak terakhir meninggalkan rumah. Hal tersebut menunjuk pada saat

berakhirnya peran pengasuhan dari orang tua (O’Connor, 2000). Fase

dari siklus kehidupan dewasa yang terjadi ketika anak-anak dewasa dan

tidak lagi tinggal di rumah inilah yang biasanya diistilahkan dengan

sarang hampa (Raup, dkk., 1989). Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa sindrom sarang hampa terjadi pada usia dewasa

tengah.

2. Pengertian Sindrom Sarang Hampa

Dennerstein, dkk. (2002) & Raup, dkk. (1989) mengemukakan

bahwa kebanyakan orang tua mengharapkan suatu peristiwa dimana

(24)

dinamakan sarang hampa ini diartikan sebagai fase dari siklus kehidupan

dewasa dimana anak-anak telah dewasa dan tidak lagi tinggal di rumah.

Sarang hampa memiliki bervariasi definisi, tetapi umumnya (lebih

netral) disebut dengan fase post-parenthood(periode postparental).

Raup, dkk. (1989) mengungkapkan istilah sarang hampa sebagai

kejadian transisional yang pendek atau keadaan siklus kehidupan yang

dapat disikapi sebagai tantangan perkembangan normatif. Periode

postparental sangat dapat dialami orang tua selama rentang 20 tahun

ketiga (umur 41-60 tahun) atau dimulai ketika anak terakhir

meninggalkan rumah untuk alasan apapun. Alasan-alasan yang biasanya

muncul adalah pergi belajar, pindah ke tempat tinggal yang terpisah atau

menikah (Satiadarma, 2006). Scher (1992) menambahkan alasan anak

meninggalkan rumah yaitu untuk mengikuti tuntutan kerja dan hidup

mandiri.

Sarang hampa menciptakan pilihan respon bagi yang

menjalankannya. Selain terkadang diinginkan, namun ketika periode

tersebut tercapai, perasaan kosong (Santrock, 1995) atau kehampaan dan

kehilangan dapat muncul dan menyusahkan. Sarang hampa yang tidak

diharapkan atau dipersiapkan atau dihadapi dengan suatu penyesuaian

mampu memunculkan stres pada orang tua. Hal-hal tersebut

menciptakan imej bagi sarang hampa sebagai suatu kemalangan (Raup,

(25)

8

3. Indikator Sindrom Sarang Hampa

Tingkatan dari sindrom dapat berkisar dari kesedihan ringan

sampai depresi yang drastis (Garris, 2004). Cushman (2005); Webber &

Delvin (2005) pun menjelaskan dinamika reaksi-reaksi orang tua ketika

anak-anak meninggalkan rumah. Hal yang wajar dialami orang tua,

seperti :

a. Merasakan kesedihan;

b. Menangis;

c. Menghabiskan waktu di dalam kamar tidur anak yang

meninggalkannya untuk berusaha merasakan kedekatannya.

Hal tersebut kemudian akan memicu munculnya sindrom sarang hampa

jika lebih dari seminggu masih terjadi reaksi :

a. Merasa bahwa kebergunaan hidup telah usai, atau

b. Menangis secara berlebihan, atau

c. Merasa sangat sedih dimana tidak mau bergaul atau bekerja.

Raup, dkk. (1989) pun menyebutkan bahwa dalam sindrom

sarang hampa didapatkan orang tua yang mengalami emosi-emosi

negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri (the plethora of

negative emotions and adjustment difficulties). Berdasarkan hal tersebut,

peneliti merumuskan indikator yang terkandung dalam sindrom sarang

hampa, yaitu :

(26)

Pada emosi-emosi negatif yang berlebihan, tercakup di

dalamnya adalah :

- kesedihan dan dukacita mendalam, - perasaan bersalah,

- penyesalan, - kecemasan,

- perasaan-perasaan tersebut jika berlangsung secara intens maka akan mampu memunculkan stres dan depresi (Fingerman dalam

Rini, 2004; Webber & Delvin, 2005).

b. Kesulitan menyesuaikan diri

Pada postparental maladjustment yang menjadi masalah

bukanlah sarang hampa, namun orang tualah yang hampa (Oliver

dalam Raup, dkk., 1989). Kehampaan tersebut berdasar pada rasa

ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan diri orang tua (Satiadarma,

2006), sehingga terwujud melalui kesulitan menyesuaikan diri,

seperti :

- kegagalan untuk mengalihkan diri dari peran pengasuhan ke peran-peran baru dalam kehidupan (dapat berupa peran kerja

maupun keterlibatannya dalam lingkungan),

- keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani

(27)

10

- kehilangan makna dan gairah hidup yang mencakup kehilangan mendalam dari tujuan dan identitas (Fingerman dalam Rini,

2004; Cushman, 2005).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindrom Sarang Hampa Pada Dewasa Tengah

Faktor-faktor yang mempengaruhi sindrom sarang hampa pada

dewasa tengah adalah sebagai berikut :

a. Jenis kelamin

Jenis kelamin memberi pengaruh terhadap munculnya

sindrom sarang hampa.

1) Pada pria disebabkan oleh :

a) Tradisi peran pria sebagai pencari nafkah keluarga

Bagi ayah yang bekerja, tradisi peran membuatnya

tetap di luar kehidupan anak-anaknya dan menjadi orang tua

yang membantu dari belakang (Scher, 1992). Hal ini tampak

ketika ayah dituntut berada di luar rumah untuk bekerja dan

pulang ke rumah hanya untuk istirahat. Peran tradisional serta

adanya kepentingan pemenuhan kepuasan untuk dorongan

kompetitif dari dalam diri pria membuat sebagian besar pria

mendefinisikan diri dalam pekerjaan dan lebih berorientasi

pada karir. Peran ini menimbulkan rasa bersalah dan

(28)

bersama dengan anak sebelum anak meninggalkan rumah

(Rubin dalam Papalia & Olds, 1986; Warner & Willis, 1991;

Clay, 2003).

b) Tidak adanya persiapan

Pria cenderung tidak memikirkan persiapan

perubahan, baik aktivitas maupun mental atau emosi untuk

menghadapi atau mengisi hari-hari ketika anak-anak

meninggalkan rumah. Hal tersebut dikarenakan pria kurang

memandang kepergian anak sebagai transisi yang besar

(DeVries dalam Clay, 2003).

c) Peran gender

Peran gender pria yang dimaksud yakni seperti

sedikitnya emosi, ketidakhadiran kepercayaan yang

mendalam dan kebutuhan untuk tampil kuat serta tidak

mudah luluh. Pria dituntut untuk sangat mengontrol

bagaimana dirinya harus bertindak agar tetap tampil kuat dan

lega walaupun sebenarnya sangat sedih, depresi dan

kehilangan pegangan hidup. Terkadang sebelum anak-anak

meninggalkan rumah, pria telah mencoba untuk

mempersiapkan diri bagi penderitaan kesendiriannya kelak.

Pria juga merasa bahwa dirinya cukup mampu menerima

kehampaan dalam rumahnya saat sarang hampa. Padahal

(29)

12

usaha pria menahan sakit dan kekurangmampuannya untuk

menerima bahwa dirinya ingin kembali mengalami

masa-masa selama anak di rumah (Scher, 1992).

2) Pada wanita dikarenakan oleh :

a) Sikap pada tradisi peran wanita dalam keluarga dan

masyarakat (Borland dalam Raup, dkk., 1989)

Peran wanita yang dimaksud adalah peran

pengasuhan. Wanita yang mengalami sindrom sarang hampa

biasanya memiliki sikap sangat tradisional terhadap peran ini.

Hal tersebut tampak pada wanita yang mendefinisikan dan

melibatkan dirinya dalam peran maternal (pengasuhan) serta

hidup berfokus secara eksklusif pada anak-anaknya (Sodders,

2001; Bart dalam Rybash, dkk., 1991) ketika mencapai

periode sarang hampa. Wanita yang demikian biasanya dalam

kesehariannya berada di rumah (DeVries dalam Clay, 2003)

dan mengorbankan kebutuhannya demi anak-anaknya.

Sindrom sarang hampa yang dialami wanita dengan

sikap seperti disebutkan di atas dapat semakin kuat dengan

tidak tersedianya peran alternatif. Wanita ini biasanya tidak

menyiapkan atau mengalihkan diri ke dalam peran baru

sebagai pengganti peran pengasuhan. Munculnya isu-isu

kehidupan lain yang dialami bersamaan waktu dengan

(30)

sindrom ini. Di sisi lain, Schmidt, dkk. (2004) menambahkan

bahwa depresi yang dapat terjadi pada transisi menopause

(salah satu isu kehidupan usia dewasa tengah) kurang

berhubungan dengan sindrom sarang hampa.

Faktor lain yang dapat memperkuat sindrom sarang

hampa bagi wanita yang memiliki sikap sangat tradisional

pada peran wanita dan khususnya pada wanita yang menunda

masa kelahiran anak sampai usia lanjut yaitu adanya

perbedaan tantangan. Penundaan tersebut salah satunya

disebabkan oleh kepentingan karir, sehingga saat periode ini

terjadi tantangan yang berkaitan dengan periode sarang

hampa telah mengalami perubahan.

b) Persepsi diri

Sindrom sarang hampa biasanya terjadi pada wanita

yang menganggap dirinya memiliki peran sentral dalam

kehidupan anak-anak selama puluhan tahun (Rini, 2004). Hal

ini berdampak pada bagaimana wanita memandang

kemandirian dan kedewasaan anaknya pada periode sarang

hampa (Dennerstein, dkk., 2002). Persepsi wanita pada anak

dapat mengarah pada ketidakmampuan anak untuk hidup

(31)

14

c) Tidak adanya persiapan

Wanita memiliki kecenderungan untuk tergantung

dengan orang lain dimana dalam hal ini adalah anak

(Weissman & Klerman dalam Paludi, 2002). Masa sarang

hampa terjadi setelah anak-anak tergantung beberapa tahun

kepada orang tua (Troll dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993).

Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum anak

meninggalkan rumah, ibu dan anak mengalami adanya

hubungan saling ketergantungan. Saat anak meninggalkan

rumah, anak cenderung menjadi mandiri, namun ibu

mengalami ketidaksiapan untuk menjadi mandiri.

d) Peran kerja

Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa wanita tengah

baya yang identitasnya tidak terkait langsung dengan peran

pengasuhan cenderung tidak mengalami sindrom sarang

hampa. Wanita tersebut biasanya mengembangkan peran

alternatif bersamaan waktu dengan menurunnya peran

pengasuhan. Peran sebagai ibu tetap yang utama dan

kehilangan peran tersebut akan memberi pengaruh pada

penyesuaian terhadap periode posparental. Di sisi lain,

pengaruh kebermaknaan nilai peran kerja sebagai alternatif

(32)

diri yang mempengaruhi penyesuaian pada periode

postparental.

Wanita yang telah lebih dulu berpengalaman bekerja

sebelum kelahiran anak atau yang melanjutkan untuk bekerja

selama masa pengasuhan atau yang kembali bekerja setelah

anak dewasa, lebih mudah menghadapi transisi sarang

hampa. Baruch & Barnett (dalam Santrock 1995) pun

menuturkan bahwa pekerjaan memainkan peranan penting

dalam banyak kesehatan psikologis wanita. Hal ini tampak

ketika wanita yang relatif telah bebas dari tanggungjawab

peran pengasuhan memilih untuk bekerja. Wanita yang

bekerja dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (faktor

pendapatan), terhindar dari kebosanan dan kesepian serta

mencapai ketertarikan pada minat yang baru.

Kondisi di atas menyebabkan ibu yang bekerja kurang

mengalami perasaan hampa ketika anak meninggalkan rumah

(Cushman, 2005). Powell (dalam Raup, dkk., 1989)

menegaskan bahwa wanita yang tidak bekerja sangat rentan

pada sindrom sarang hampa. Kemudian bertahap adalah

wanita yang bekerja paruh waktu dan yang memiliki

kerentanan terendah pada sindrom sarang hampa adalah

wanita yang bekerja full-time.

(33)

16

Pencapaian pendidikan berpengaruh secara signifikan

pada resiko bubarnya perkawinan. Lillard & Waite (dalam

Hiedemann, dkk., 1998) mengutarakan hal serupa dimana

wanita yang lulus kuliah (bergelar) dapat mengurangi

resikonya terhadap bubarnya perkawinan. Wanita yang telah

lulus kuliah juga memiliki prospek (harapan ke depan)

pekerjaan yang lebih baik daripada mereka yang

berpendidikan kurang setara.

Hal tersebut dapat diartikan bahwa wanita yang telah

lulus kuliah cenderung lebih mungkin memiliki pandangan

yang luas akan pilihan kesempatan dalam hidupnya sehingga

lebih mampu menghadapi permasalahan. Jika hal tersebut

dikaitkan dengan individu yang mengalami sarang hampa,

maka individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi

(dalam hal ini telah lulus kuliah) cenderung mampu

melewatinya dengan baik. Individu akan cenderung

menerima dan menyesuaikan pola hidup yang berubah serta

memilih untuk mengganti kehilangan yang dialaminya

dengan hal-hal yang membangun. Santrock (1995)

memberikan pilihan pada wanita yang mengalami masa

sarang hampa seperti memilih kembali ke sekolah atau

mengikuti program pelatihan untuk memperbaharui beberapa

(34)

b. Status perkawinan

Status perkawinan memberikan pengaruh saat mengalami

sarang hampa. Raup, dkk. (1989) mengatakan bahwa pengalaman

sarang hampa sebagai orang tua tunggal karena bercerai cukup

berbeda dari seseorang yang tinggal dalam situasi berpasangan. Hal

tersebut tampak ketika terjadi depresi yang cenderung akan memicu

sindrom sarang hampa. Pasangan yang tetap bertahan dalam

perkawinannya memiliki taraf depresi terendah daripada pasangan

yang bercerai dimana menunjukkan taraf depresi tertinggi, terutama

bagi wanita (Sodders, 2001; Ebersole dalam Craig, 1980). Hal ini

juga dikemukakan oleh Robins, dkk. (dalam Hoyer, dkk., 2003)

dimana individu yang menikah mengalami tingkat depresi yang lebih

rendah daripada individu yang memiliki status perkawinan lain

(bercerai, kumpul kebo, atau tidak pernah menikah).

Peran pasangan selama masa dewasa tengah yang lebih

mementingkan rasa aman, kesetiaan, dan daya tarik emosional antara

yang satu dengan yang lain mampu menjadikan hubungan suami-istri

ke arah persahabatan (Santrock, 1995). Masa sarang hampa membuat

suami dan istri memiliki semakin banyak waktu untuk dihabiskan

bersama dan kembali menjadi saling bergantung satu sama lain. Hal

ini menjadikan periode postparental mendukung pembangunan

(35)

18

kepuasan perkawinan secara bertahap meningkat (Rollins & Feldman

dalam Kail & Wicks-Nelson, 1993).

Di sisi lain, bagi individu dewasa tengah yang pasangannya

meninggal atau diceraikan pasangannya biasanya memiliki masalah

kesulitan dalam menyesuaikan diri, terutama bagi wanita (Hurlock,

1991). Wanita tersebut mengalami rasa kesepian yang mendalam,

masalah seksual, ekonomi dan sosial. Kehidupan sosial individu

dewasa tengah yang sama seperti kehidupan individu dewasa awal

yakni berorientasi terhadap pasangan, membuat wanita yang

menjanda semakin mengalami kesulitan dalam menjalani pola

hidupnya. Berdasarkan hal tersebut, datangnya masa sarang hampa

terutama bagi janda atau orang tua tunggal akan dapat membuatnya

semakin merasa sendiri dan mengalami kekacauan dalam pola

hidupnya, sehingga dapat memicu timbulnya sindrom sarang hampa.

c. Kebudayaan

Peneliti menyadari perbedaan kebudayaan antara Barat dan

Timur yang timbul dalam sebagian besar sumber wacana yang

digunakan dan subyek penelitian. Sebagian besar sumber wacana

yang dipakai peneliti adalah berdasar pada kebudayaan Barat,

sedangkan subyek penelitian berada dalam kebudayaan Timur. Hal

ini membuat keterlibatan teori kebudayaan diperlukan sebagai

kerangka untuk memahami kecenderungan sindrom sarang hampa

(36)

Geertz, H. (1961) menekankan bahwa keluarga dalam

beberapa masyarakat adalah suatu jembatan antara individu dan

kebudayaannya. Dalam hal ini, masyarakat Barat dan Timur

memiliki kebudayaan yang berbeda (individualisme dan

kolektivisme), sehingga mampu mempengaruhi kecenderungan nilai

dan sikap yang berbeda pula bagi individu di keluarga dalam

menghadapi kepergian anak dari rumah. Individualisme dan

kolektivisme digunakan peneliti karena menjadi salah satu struktur

atau kerangka dasar yang bersifat universal dan berfungsi sebagai

teori sederhana untuk menjelaskan perbedaan antar bangsa atau

kelompok masyarakat di dunia (Greenfield dalam Supratiknya, 2005

& 2006). Matsumoto, dkk. (1997) juga menyatakan bahwa

individualisme dan kolektivisme adalah suatu dimensi yang telah

digunakan secara teoritis dan empiris untuk menjelaskan dan

memprediksi persamaan dan perbedaan lintas budaya.

Masyarakat Barat memiliki karakteristik individualisme.

Individualisme adalah perasaan tidak tergantung pada suatu bentuk

dari kebersamaan yang tercermin pada pembentukan keluarga batih,

kebutuhan akan kebebasan dan otonomi individu (Göregenli, 1997).

Individualisme memiliki kecenderungan perilaku seperti

mengutamakan pengembangan aneka potensi pribadi serta

mementingkan kemandirian dan ketidaktergantungan (Triandis, dkk.

(37)

20

memunculkan sarang hampa bahkan sindrom sarang hampa yang

memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat (Sexton dalam

Sodders, 2001).

Di sisi lain, masyarakat Timur berkarakteristik kolektivisme.

Kolektivisme adalah suatu perasaan tergantung dalam keluarga,

kerabat, struktur, organisasi dan sistem sosial yang tampak dalam

keluarga besar, keintegritasan dengan keluarga, dukungan sosial dan

saling ketergantungan (Göregenli, 1997). Masyarakat Indonesia

sebagai bagian dari masyarakat Timur, pada umumnya diasumsikan

berorientasi kolektivistik (Supratiknya, 2006). Hal tersebut tampak

dalam kecenderungan perilaku khas seperti mengutamakan integritas

atau keutuhan keluarga, kehangatan, saling ketergantungan, saling

memberikan dukungan dan saling menjaga perasaan.

Raup, dkk. (1989) mengungkapkan bahwa fenomena sarang

hampa kurang relevan atau kurang berpengaruh bagi cakupan

keluarga besar terlebih yang memiliki status sosioekonomi yang

tergolong rendah. Bagi peneliti, masyarakat Indonesia yang

berkebudayaan kolektivis cenderung terkait dengan hal tersebut. Di

Indonesia biasanya tinggal beberapa kepala keluarga dalam satu

rumah yang tercakup dalam keluarga besar. Hal tersebut membuat

keterlibatan hubungan antara generasi yang muda dan tua tetap

terjalin. Indonesia juga tergolong sebagai negara berkembang dimana

(38)

membuat keterlibatan orang lain (seperti anggota keluarga besar,

tetangga dan teman) untuk membantu kehidupannya sehingga

tercipta rasa kekeluargaan pula.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dapat menutup

kemungkinan munculnya periode sarang hampa di Indonesia. Di sisi

lain, jika periode sarang hampa terjadi, orang tua cenderung tidak

akan merasa sendirian karena masyarakat (anggota keluarga lain

dalam keluarga besarnya, tetangga, anggota komunitas, dll) akan

cenderung memberikan kepeduliannya. Hal yang bercorak

kolektivistik inilah yang membuat masyarakat Indonesia masih dapat

mengharapkan dan menerima bantuan dari keluarga dan saudara

untuk meringankan beban psikis maupun fisiknya. Di pihak lain,

pengaruh globalisasi yang berorientasi pada kebudayaan Barat telah

masuk ke Indonesia, maka memungkinkan kecenderungan perubahan

sistem kekeluargaan yang dapat mengarah pada munculnya sarang

hampa bahkan sindrom sarang hampa di Indonesia.

d. Hubungan dengan anak

Derajat kedekatan hubungan individu (orang tua dan anak)

mempengaruhi kadar sindrom sarang hampa. Makin dekat hubungan

seorang individu dengan individu lainnya, makin besar peluang

munculnya sindrom sarang hampa dan jika sindrom ini muncul,

makin besar pula kecenderungan intensitasnya (Satiadarma, 2006).

(39)

22

dapat berlaku bagi sebagian orang tua yang tinggal sangat dekat

dengan anak-anaknya serta yang menitikberatkan kepuasan

perkawinannya pada anak-anak dan bukan pada pasangan.

e. Peran-peran dalam keluarga

Individu dewasa tengah sebagai orang tua yang mengalami

sindrom sarang hampa juga berperan sebagai ayah dan ibu di dalam

keluarga. Peran-peran tersebut menimbulkan perbedaan

kecenderungan situasi yang menyebabkan munculnya sindrom

sarang hampa. Hal ini tampak dalam pernyataan Papalia & Olds

(1986) sebagai berikut :

1) Ayah

Peran pria sebagai pencari nafkah keluarga membuat pria

dewasa tengah yang berperan sebagai ayah seringkali mengalami

penyesalan ketika anak-anak meninggalkan rumah. Hal ini

dikarenakan sebelumnya ayah tidak memiliki kesempatan untuk

menghabiskan banyak waktu dan melakukan banyak hal dengan

anak-anak.

2) Ibu

Tuntutan masyarakat yang membuat ibu mendefinisikan

diri dalam peran maternal dapat membuat ibu mengalami

sindrom sarang hampa (Rybash, dkk., 1991). Ibu juga seringkali

tidak memiliki perencanaan dan belum siap pada sarang hampa.

(40)

juga menjadikan ibu enggan pada pencapaian tujuannya, merasa

bersalah tentang performansinya sebagai ibu dan kurangnya

tanggungjawab (DeVries dalam Clay, 2003).

3) Orang tua

Individu dewasa tengah yang berperan sebagai ayah dan

ibu seringkali mengalami kekecewaan dan perasaan bersalah

karena menganggap anak-anaknya belum mampu atau gagal

untuk menjadi mandiri dan dewasa.

5. Dampak Sindrom Sarang Hampa Pada Perkawinan

Menurut Santrock (1995), ketika terjadi sindrom sarang hampa,

kepuasan perkawinan akan mengalami penurunan karena orang tua

memperoleh kepuasan yang sesungguhnya dari anak-anak. Hal ini

didukung oleh tingkat komunikasi dan persahabatan antara suami dan

istri yang cenderung mengalami penurunan. Pasangan yang kurang

terlibat dalam aktivitas bersama biasanya juga memandang perkawinan

secara negatif. Hal ini dikarenakan orang tua terbiasa dan lebih dituntut

untuk terlibat dalam pengasuhan (Warner & Willis, 1991). Oleh karena

itulah, sindrom sarang hampa terkadang dapat menimbulkan perceraian

(Hoyer, dkk., 2003; Rybash, dkk., 1991). Hiedemann, dkk. (1998) juga

mengemukakan bahwa durasi perkawinan yang berkaitan dengan

investasi yang diperoleh selama perkawinan sampai pada awal periode

(41)

24

terjadi jika kekayaan dari masing-masing orang tua (suami dan istri)

disatukan untuk investasi anak-anak dan bukan untuk perkawinannya

sendiri.

6. Dinamika Munculnya Sindrom Sarang Hampa

Respon maladaptif (ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri)

dari orang tua pada transisi postparental yang distimulasi oleh

reaksi-reaksi tentang kehilangan disebut sindrom sarang hampa (Raup, dkk.,

1989). Peran kehilangan diidentifikasi sebagai pemicu yang

mempercepat secara signifikan timbulnya sindrom ini. Rasa kehilangan

muncul karena orang tua memberikan sejumlah besar tahun-tahunnya

untuk menjalankan peran parenting-nya, sehingga kepergian anak

meninggalkan kehampaan yang besar bagi keseharian orang tua.

Sindrom sarang hampa tidak mempengaruhi orang tua dengan cara yang

sama. Diagnosis sindrom sarang hampa (empty nest syndrome) didapat

dari orang tua yang relatif mengalami emosi-emosi negatif yang

berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri.

Menurut Rosen (dalam Satiadarma, 2006); Clay (2003) & Scher

(1992) sindrom sarang hampa adalah sindrom yang muncul pada

sejumlah orang tua akibat adanya perasaan kehilangan dan krisis

identitas yang dialami setelah anak-anak meninggalkan rumah untuk

hidup memisahkan diri dari orang tua. Kehilangan yang dimaksud bukan

(42)

juga mampu memunculkan kehilangan dari mimpi dan sejarah yang

pernah anak hadirkan dan tujuan hidup dari orang tua.

Setelah anak-anak meninggalkan rumah, orang tua merasa tidak

lagi bermakna bagi anak-anak yang telah dewasa dan mampu mandiri,

bahkan jauh lebih mampu daripada dirinya. Hal ini memunculkan

perasaan ditelantarkan (kesedihan karena tidak dibutuhkan lagi) yang

menimbulkan krisis identitas diri pada sejumlah orang tua (Coles dalam

Satiadarma, 2006). Selain itu, kepergian anak dari rumah juga dapat

menimbulkan perasaan terancam untuk status mereka sebagai orang tua.

Hal ini disebabkan oleh hilangnya keberdayaan orang tua seperti

berkurangnya atau bahkan lepasnya kendali terhadap kehidupan anak.

Webber & Delvin (2005) pun mengatakan bahwa sindrom sarang

hampa terkait dengan kondisi psikologis atau emosional dari orang tua

ketika ditinggalkan anak. Hal serupa dinyatakan Raup, dkk. (1989)

bahwa terdapat reaksi patologis dari depresi yang terjadi pada periode

postparental, sehingga sindrom sarang hampa dapat dikatakan

mengandung penyimpangan emosi. Hal ini diuraikannya melalui

perasaan sedih (Parker, 2002; Sexton dalam Sodders, 2001; Scher, 1992)

maupun dukacita mendalam yang dialami orang tua ketika anak

meninggalkan rumah (Huffman, dkk., 1997). Simtom-simtom patologi

lain termasuk depresi (Clay, 2003) dan dysphoria (depresi disertai

(43)

26

Sindrom sarang hampa juga dikaitkan dengan perasaan bersalah

(Sodders, 2001). Perasaan bersalah biasanya tertuju pada “ketepatan”

ketrampilan pola asuh orang tua dalam menyiapkan anak-anak ke masa

dewasa. Hal tersebut berdampak pada orang tua yang akan terlalu

memperhatikan kesejahteraan anak sebagai dewasa muda atau seorang

yang belum berpengalaman, sehingga malah akan mendatangkan

perasaan-perasaan cemas, kalut, khawatir dan stres untuk dirinya (Raup,

dkk., 1989; Scher, 1992). Perasaan menyesal juga dialami oleh orang

tua, terutama ayah yang menghabiskan waktunya untuk bekerja di luar

rumah selama anak masih berada di rumah (Clay, 2003; Rubin dalam

Papalia & Olds, 1986 dan Warner & Willis, 1991).

Oliver (dalam Raup, dkk., 1989) menerangkan bahwa dalam

postparental maladjustment, yang menjadi masalah bukanlah sarang

hampa, namun orang tualah (terutama wanita) yang hampa dimana

merasakan kebergunaan diri untuk hidup telah selesai. Hal ini biasanya

dikarenakan kegagalan orang tua untuk menyesuaikan diri pada pola

hidup baru. Pola hidup yang sebelumnya selama bertahun-tahun relatif

tidak mengalami perubahan, namun kemudian menjadi tidak seimbang

akibat ketidakadaan anak. Kondisi tersebut tampak pada orang tua yang

mengalami kegagalan dalam mengalihkan dirinya pada peran-peran baru

dalam kehidupan. Penyesuaian keluarga dalam periode ini salah satunya

dipengaruhi oleh faktor yang sangat signifikan yaitu penyesuaian

(44)

(proses dimana kaum muda beralih ke dalam masa dewasa dan keluar

dari keluarga asalnya). Adaptasi parental ke periode postparental

berkisar dari keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak

sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani

hidup mandiri dan menjalani perkembangan serta pembaharuan di

perkawinan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sindrom sarang

hampa pada dewasa tengah adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan

maladaptif dari individu dewasa tengah sebagai orang tua ketika

menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana terungkap

melalui indikator emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan

menyesuaikan diri. Alasan anak-anak meninggalkan rumah biasanya adalah

untuk pergi belajar atau bekerja atau menikah, sehingga anak hidup mandiri

dan bertempat tinggal terpisah dengan orang tuanya. Individu dewasa tengah

tersebut berumur 41 sampai dengan 60 tahun dan tinggal di rumah tanpa

kehadiran anak-anaknya.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan inti dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat

kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami individu dewasa tengah

(45)

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan (pemaparan sesuatu yang tersirat dari

(46)

B. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi). Penyusunan definisi operasional diperlukan karena akan menunjuk pada alat pengambil data mana yang cocok untuk digunakan dalam penelitian (Suryabarata, 1998). Definisi sindrom sarang hampa adalah suatu respon negatif yang berlebihan dan maladaptif dari orang tua ketika menghadapi periode kepergian anak terakhir dari rumah dimana sesungguhnya kepergian anak terakhir dari rumah merupakan periode yang normal dalam siklus kehidupan. Alasan anak-anak meninggalkan rumah biasanya adalah untuk pergi belajar atau bekerja atau menikah, sehingga anak hidup mandiri dan bertempat tinggal

terpisah dengan orang tuanya.

Pengukuran sindrom sarang hampa diungkap melalui dua indikator yaitu emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri. Kedua indikator tersebut digunakan sebagai skala sindrom sarang hampa. Skor rendah mengindikasikan bahwa sindrom sarang hampa cenderung rendah, sebaliknya skor tinggi berarti subyek penelitian memiliki sindrom sarang hampa yang cenderung tinggi.

C. SUBYEK PENELITIAN

(47)

30

penelitian ini adalah individu dewasa tengah yang berperan sebagai orang tua berusia 41 sampai dengan 60 tahun dan memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar (sekolah) atau bekerja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Borland (dalam Raup, dkk., 1989) bahwa periode postparental sangat dapat terjadi selama rentang 20 tahun ketiga, yaitu umur 41-60 tahun. Individu yang dimaksud di atas juga berwarganegara dan bertempat tinggal di Indonesia karena mengarah pada masyarakat yang berkebudayaan kolektivistik. Terakhir, individu tersebut tinggal berlainan propinsi dengan anaknya untuk membatasi jarak tempat tinggal sehingga akan membuat orang tua-anak sangat jarang untuk bertemu.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala berisi pernyataan-penyataan yang terkait dengan sindrom sarang hampa. Skala ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan sindrom sarang hampa yang dialami oleh individu dewasa tengah. Skala disusun oleh peneliti berdasarkan indikator dari sindrom sarang hampa yakni emosi-emosi negatif yang berlebihan dan kesulitan menyesuaikan diri. Indikator tersebut terurai sebagai berikut :

1. Emosi-emosi negatif yang berlebihan

Pada emosi-emosi negatif yang berlebihan, tercakup di dalamnya adalah :

(48)

b. perasaan bersalah, c. penyesalan, d. kecemasan, e. stres dan depresi

2. Kesulitan menyesuaikan diri

Dalam indikator kesulitan menyesuaikan diri tampak :

a. kegagalan untuk mengalihkan diri dari peran pengasuhan ke peran-peran baru dalam kehidupan (dapat berupa peran-peran kerja maupun keterlibatannya dalam lingkungan),

b. keengganan dan atau penolakan untuk memandang anak sebagai pribadi yang memiliki kemampuan potensial dalam menjalani kemandiriannya,

c. kehilangan makna dan gairah hidup yang mencakup kehilangan mendalam dari tujuan dan identitas.

(49)

32

Penyebaran item disusun dengan menggunakan blue-print seperti terlihat dalam tabel 1 :

Tabel 1.

Blue-printdan Susunan Item Skala Sindrom Sarang Hampa

No. Indikator

Sindrom

Sarang

Hampa

Jenis Item Sebaran ItemItem per Jenis Item Setuju). Subyek dapat merespon dengan memilih jawaban dan memberi tanda pada kolom SS, S, TS, atau STS menurut kesesuaian subyek terhadap pernyataan. Empat pilihan jawaban dalam skala ini merupakan modifikasi dari Skala Likert dimana meniadakan pilihan kategori jawaban tengah. Menurut Hadi (1991), hal ini didasarkan atas tiga hal yaitu:

(50)

memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya), bisa juga diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju pun tidak, atau bahkan ragu-ragu.

2. Jawaban tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ke tengah (central tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabannya, ke arah setuju atau tidak setuju.

3. Kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat kecenderungan pendapat responden, ke arah setuju atau tidak setuju. Jawaban tengah akan menghilangkan banyak data penelitian sehingga mengurangi banyaknya informasi yang dapat dijaring dari para responden.

Penilaian yang diberikan pada subyek untuk tiap item favorabel dan unfavorabel dapat dilihat dalam tabel 2 :

Tabel 2. Pemberian Skor Skala

Pilihan Jawaban Item Favorabel Item Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

E. PERTANGGUNGJAWABAN MUTU

1. Validitas

(51)

34

bahwa pengukuran itu mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya diantara subyek yang satu dengan yang lain. Uji validitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau oleh professional judgement

(Azwar, 2007c). Hal tersebut berarti bahwa semua item dalam skala penelitian ini dikoreksi oleh orang yang sudah ahli yaitu dosen pembimbing untuk memastikan bahwa item-item tersebut telah mencakup dan mewakili indikator yang hendak diukur.

2. Seleksi Item

(52)

dinyatakan gugur adalah item-item yang korelasi item-totalnya (rix) rendah yaitu < 0.30 (Azwar, 2007b).

Hasil uji coba item-item menunjukkan nilai korelasi item total berkisar antara -0.072 sampai dengan 0.612. Uji coba tersebut juga menghasilkan 24 item yang sahih dan 16 item yang gugur, seperti tampak pada tabel 3 :

Tabel 3.

Sebaran Nomer Item yang Sahih dan Gugur Setelah Uji coba

No. Indikator

Sindrom

Sarang

Hampa

Jenis Item Sebaran Item

(53)

36

(menggunakan tryout terpakai) menjadi seperti pada tabel 4, sebagai berikut :

Tabel 4.

Sebaran Item Skala Sindrom Sarang Hampa untuk Penelitian

No. Indikator Sindrom

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya jika beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 2007c). Menurut Hadi (1991), syarat reliabilitas (keandalan) suatu instrumen menuntut kemantapan, keajegan atau stabilitas hasil pengamatan dengan instrumen (pengukuran), seandainya barang atau orang atau apapun yang diamati dalam keadaan tidak berubah dalam kurun waktu amatan pertama dan kedua atau amatan-amatan selanjutnya.

(54)

mendekati angka 1.00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Data untuk menghitung koefisien reliabilitas tersebut didapat melalui pendekatan konsistensi internal dengan cara koefisien reliabilitas Alpha. Prosedur pendekatan tersebut dengan menyajikan satu bentuk skala yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subyek penelitian ( single-trial administration) (Azwar, 2007c). Perhitungan atas koefisien reliabilitas Alpha diperoleh melalui prosedur Cronbach Alpha dari program SPSS for windows versi 12 agar terlihat apakah konsistensi antar item terjadi dalam menjalankan fungsi ukurnya pada skala penelitian ini. Pada skala sindrom sarang hampa, pengukuran berdasarkan prosedur Cronbach Alpha menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0.869. Nilai koefisien reliabilitas tersebut menunjukkan bahwa skala sindrom sarang hampa dapat diandalkan sebagai alat ukur untuk tujuan pengambilan data penelitian ini.

F. METODE ANALISIS DATA

(55)

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan skala penelitian pada orang tua yang berusia 41 sampai dengan 60 tahun (usia dewasa tengah) dan

memiliki anak dewasa yang meninggalkan rumah dengan alasan menikah atau belajar (sekolah) atau bekerja. Skala tersebut disebar pada warga masyarakat di beberapa perumahan. Oleh karena itu, peneliti mengajukan surat keterangan penelitian sebagai surat pengantar dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma akan keberlangsungan penelitian dalam masyarakat. Surat keterangan penelitian bernomor 38b./D/KP/Psi/USD/ III/2009 telah disetujui oleh Dekan Fakultas sebagai surat pengantar peneliti.

B. PELAKSANAAN PENELITIAN

(56)

tinggal bersama dengan anak atau salah satu anaknya walaupun anak-anaknya yang lain telah meninggalkan rumah. Selain itu, peneliti lebih menemukan orang tua yang ditinggalkan anaknya dengan umur lebih dari 60 tahun.

Uji coba item-item dalam bentuk skala sindrom sarang hampa dilakukan pada tanggal 19 Maret 2009 sampai dengan 29 April 2009. Uji coba dilakukan pada orang tua-orang tua yang bertempat tinggal di Jakarta, Semarang, Klaten dan Yogyakarta. Skala yang disebarkan berjumlah 120 eksemplar dan yang kembali berjumlah 115 eksemplar. Dari 115 eksemplar terdapat 8 eksemplar yang tidak memenuhi syarat, sehingga data yang dianalisis berjumlah 107 eksemplar, atau dapat dikatakan bahwa subyek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 107 responden.

Deskripsi subyek dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut : Tabel 5.

Deskripsi Subyek

Deskripsi Frekuensi

Jenis kelamin Wanita 61

Pria 46

Status perkawinan Bersama pasangan 99

Janda (suami meninggal) 8

Tinggal di rumah bersama Sendiri 5

(57)

40

C. HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Data Penelitian

Hasil penelitian untuk analisa kecenderungan ditentukan dengan membandingkan antara mean teoritik dan mean empirik. Perhitungan data empirik dilakukan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 12, sedangkan perhitungan data teoritik dilakukan dengan

menghitung besarnya nilai-nilai berikut :

Xminimum teoritik : Skor paling rendah yang mungkin diperoleh subyek pada skala, yaitu 1

Xmaksimum teoritik : Skor paling tinggi yang mungkin diperoleh subyek pada skala, yaitu 4

Mean teoritik (µ) : Rata-rata teoritik dari skor maksimum dan skor minimum.

Bila dimasukkan dalam hitungan angka, maka diperoleh data sebagai berikut :

Xminimum teoritik : 24 x 1 = 24 Xmaksimum teoritik : 24 x 4 = 96 Mean teoritik (µ) : 96 + 24 = 60

(58)

Tabel 6.

Data Statistik Deskriptif

Statistik Teoritik Empirik

N 107 107

Skor Minimum 24 24

Skor Maksimum 96 62

Mean 60 42.50

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai mean teoritik lebih besar daripada nilai mean empirik (60 > 42.50). Hal tersebut berarti bahwa secara umum subyek penelitian cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah. Hasil perbedaan mean di atas kemudian diuji lagi melalui prosedur One-Sample Test dengan program SPSS for windows versi 12 untuk membuktikan bahwa mean teoritik secara signifikan lebih besar dari mean empiriknya. Tabel berikut ini merupakan hasil perhitungannya :

Tabel 7.

Deskripsi Hasil Uji t Mean Teoritik dan Empirik

Variabel Mean

Teoritik

Mean

Empirik

t Sig.

(2-tailed)

Sindrom sarang hampa 60 42.50 27.281 0.000

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai t sebesar

(59)

42

perbedaan yang signifikan antara mean teoritik dan empirik. Hal ini membuktikan bahwa secara signifikan mean teoritik lebih besar dari mean empirik, sehingga dapat dikatakan bahwa sindrom sarang hampa yang dialami subyek penelitian cenderung rendah secara signifikan.

2. Analisis Data Tambahan

Sebagai data tambahan dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan dalam hal kecenderungan sindrom sarang hampa antara wanita dan pria dewasa tengah, maka digunakan t-Test(teknik uji t) dalam menganalisisnya. Hal ini peneliti lakukan mengingat adanya peran yang berbeda antara pria dan wanita dalam perkawinan termasuk pada hal pengasuhan anak. Sebelum melakukan analisis data dengan t-Test terlebih dahulu harus dilakukan uji asumsi untuk melihat normalitas

dan homogenitas dari data yang diperoleh. a. Uji Normalitas

(60)

menunjukkan probabilitas sebesar 0.217 (p > 0.05), sehingga dinyatakan disribusi skor adalah normal.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas merupakan asumsi dalam uji beda yang harus dipenuhi dimana sampel-sampel yang diuji harus mempunyai varian yang sama. Pengambilan keputusan didasarkan pada nilai probabilitas (p). Jika p > 0.05 maka sampel-sampel memiliki varian yang sama (homogen), sebaliknya jika p < 0.05, maka sampel-sampel tidak homogen. Uji homogenitas variansi dilakukan dengan program SPSS for windows versi 12 yaitu melalui prosedur Independent Samples Test dengan melihat hasil Levene’s Test for Equality of Variancesnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok sampel memiliki varian yang sama (p > 0.05, dimana p = 0.212).

(61)

44

Tabel 8.

Deskripsi Hasil Uji t Jenis Kelamin

Variabel Jenis Kelamin Mean t

Sig.(2-tailed)

Sindrom

sarang hampa

Wanita 42.92 0.741 0.461

Pria 41.96

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil perhitungan perbedaan dengan uji t yaitu t sebesar 0.741 dan p sebesar 0.461. Oleh karena p > 0.05, maka berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal kecenderungan sindrom sarang hampa antara wanita dan pria dewasa tengah.

D. PEMBAHASAN

(62)

2001) bahwa sindrom sarang hampa memang biasa terjadi dalam masyarakat Barat.

Subyek penelitian yang berada dalam wilayah Jakarta, Semarang, Klaten dan Yogyakarta termasuk sebagai masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Timur, pada umumnya diasumsikan berorientasi kolektivistik (Supratiknya, 2006). Kolektivisme adalah suatu perasaan tergantung dalam keluarga, kerabat, struktur, organisasi dan sistem sosial yang tampak dalam keluarga besar, dukungan sosial dan saling ketergantungan (Göregenli, 1997). Kecenderungan perilaku yang khas dari kolektivisme seperti saling ketergantungan dan saling memberikan dukungan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, sedikitnya respon maladaptif subyek penelitian yang distimulasi oleh reaksi-reaksi tentang kehilangan ketika anak meninggalkan rumah kemungkinan dapat dikarenakan kepedulian dari masyarakat sekitarnya (anggota keluarga dalam keluarga besarnya, tetangga, anggota komunitas, dll). Lingkungan cenderung memberikan andil dalam kehidupan subyek penelitian ketika menjalani masa sarang hampa. Hal ini diperkuat melalui wawancara peneliti dengan subyek penelitian dimana anak dan orang tua masih mewujudkan saling ketergantungan dalam hal perhatian melalui komunikasi dan kunjungan.

(63)

46

penelitian serta hubungan kekeluargaan yang hangat dari para tetangga atau kelompok kemasyarakatan dengan subyek penelitian. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Krisna (2005) dimana sistem kekeluargaan yang relatif erat tampak ketika masyarakat Indonesia mengalami hal yang kurang menyenangkan, dalam hal ini sindrom sarang hampa. Hal tersebut disebabkan oleh masyarakat Indonesia yang masih dapat mengharapkan dan menerima bantuan dari keluarga dan saudara untuk meringankan beban psikis dan fisik. Penjelasan ini diperkuat berdasarkan data deskripsi subyek dimana jumlah subyek penelitian yang tinggal di rumah bersama dengan orang lain lebih banyak daripada yang tinggal sendiri (102 > 5). Keberadaan orang lain yang dimaksud adalah hadirnya pasangan, orang tua, pembantu rumah tangga, saudara dan anak-anak kos.

(64)
(65)

48

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata subyek dalam penelitian

ini cenderung mengalami sindrom sarang hampa yang tergolong rendah.

2. Tidak ada perbedaan kecenderungan sindrom sarang hampa antara

wanita dan pria dewasa tengah.

B. SARAN

1. Saran berkaitan dengan manfaat penelitian

Orang tua yang mengalami masa sarang hampa diharapkan dapat

mempersiapkan, menggunakan dan memaknai masa ini secara positif

dan realistis. Hal tersebut diawali dengan memandang masa ini sebagai

hal yang wajar terjadi serta dapat menerima dan menyesuaikan pola

hidup yang berubah. Penyesuaian diri dalam pola hidup dapat dilakukan

dengan membaharui kembali hubungan dengan pasangan atau anggota

keluarga lain, beralih ke peran kerja, penekunan diri pada hobi dan minat

baru, perhatian pada generasi yang lebih muda serta berkecimpung

dalam kegiatan kemasyarakatan. Orang tua yang mengalami sindrom

sarang hampa bila perlu juga disarankan untuk meminta bantuan pada

(66)

Lingkungan masyarakat yang tinggal berdampingan maupun

memiliki hubungan dengan orang tua yang mengalami masa sarang

hampa juga diharapkan tetap melestarikan budaya kolektivis.

Masyarakat dapat melibatkan orang tua yang mengalami masa sarang

hampa dalam kegiatan kebersamaan. Dalam kegiatan tersebut, dukungan

masyarakat diharapkan dapat membuat orang tua tidak merasa sendirian

dan tetap merasa berguna bagi orang lain.

2. Saran berkaitan dengan kelanjutan penelitian

Peneliti melihat adanya kekurangan dalam penelitian ini,

sehingga menganjurkan peneliti selanjutnya untuk lebih banyak

mendapatkan sumber wacana tentang sindrom sarang hampa agar

memperoleh kajian yang lebih luas dan mendalam. Peneliti selanjutnya

juga diharapkan dapat memperoleh sampel yang lebih banyak agar

generalisasi pada masyarakat yang berkebudayaan kolektivisme lebih

akurat. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menguji

faktor-faktor lain yang kemungkinan berkaitan dengan sindrom sarang hampa,

seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan atau pembagian

masa dewasa tengah (usia awal dan akhir dari dewasa tengah). Peneliti

juga mengingatkan peneliti selanjutnya agar dapat mengambil sampel

yang seimbang jika nantinya akan dilakukan pembagian kelompok untuk

(67)

50

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2007a). Metode Penelitian. Edisi 1, cetakan VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2007b). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 1, cetakan IX. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2007c). Reliabilitas dan Validitas. Edisi 3, cetakan VII. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Clay, R.A. (2003). An empty nest can promote freedome, improved relationships.

Monitor on Psychology, Vol. 34, No. 4.

Craig, G. J. (1980). Human Development (2nd ed.). New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Cushman, F. (2005). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Retrieved November 22, 2007, from www.psychologytoday.com

Dennerstein, L., Dudley, E., Guthrie, J. (2002). Empty nest or revolving door? A prospective study of women’s quality of life in midlife during the phase of children leaving and re-entering the home. Psychological Medicine, Vol. 32, Issues 3, 545-550.

Garris. (2004). The empty nest names. Retrieved November 26, 2008, from www.ucumberlands.edu

Geertz, H. (1961). The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. Glencoe: The Free Press of Glencoe, Inc.

Göregenli, M. (1997). Individualist-collectivist tendencies in a Turkish sample.

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.Pemberian Skor Skala
Tabel 3.
Tabel 4.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Data flow diagram adalah representasi grafis dari suatu sistem yang menggambarkan komponen-komponen sebuah sistem, aliran data diantara komponen-komponen tersebut

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil