EVALUASI KUALITAS PSIKOMETRIK
WECHSLER ADULT INTELLIGENCE SCALE (WAIS)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Silviana Yunita
089114069
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2012
iv
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Januari 2012
Penulis
vi
EVALUASI KUALITAS PSIKOMETRIK
WECHSLER ADULT INTELLIGENCE SCALE (WAIS)
Silviana Yunita
ABSTRAK
Evaluasi kualitas psikometrik Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) dilakukan untuk mengetahui kualitas aitem, melakukan estimasi reliabilitas, melakukan estimasi validitas dan memperbaharui norma WAIS yang digunakan Laboratorium Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini menggunakan data dokumentasi dari 522 subyek yang pernah mengikuti tes WAIS di Laboratorium Psikologi USD pada tiga tahun terakhir. Pengolahan data kualitas aitem dilakukan dengan menggunakan indeks diskriminasi aitem, koefisien alfa dan indeks kesukaran aitem. Perhitungan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik estimasi alpha Cronbach, perhitungan validitas dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori dan pembaharuan norma dengan teknik skor standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar aitem dalam subtes-subtes WAIS memiliki daya diskriminasi aitem yang rendah, menurunkan koefisien reliabilitas, serta memiliki indeks kesukaran aitem yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Selain itu, sebagian besar koefisien reliabilitas pada subtes-subtes WAIS termasuk dalam kategori rendah, sebagian validitas pada subtes-subtes WAIS kurang bisa dipertanggung jawabkan dan beberapa norma baru pada subtes-subtes WAIS berbeda dengan norma lama.
vii
EVALUATION OF PSYCHOMETRIC PROPERTIES TOWARD WECHSLER ADULT INTELLIGENCE SCALE(WAIS)
Silviana Yunita
ABSTRACT
Evaluation of psychometric properties toward Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) was done for determine the item statistics, reliability estimation, validity estimation and renew the norm, which were used in Laboratory of Psychology, Sanata Dharma University. This research used documented data which involved 522 subjects who became the subject of WAIS in Laboratory of Psychology, Sanata Dharma University for this last three years. Item statistics were analyzed with index of item discrimination, alpha coefficient and index of item difficulty. Reliability estimation was analyzed with alpha Cronbach technique, validity estimation was analyze with confirmatory factor analysis and the norms were renewed with standard score technique. The result showed that almost all of the items in WAIS’s subtest had a low index of item discrimination, decreased the reliability coefficient and had two kinds of index of item difficulty which are over high and over low. Beside that, almost all of WAIS’s subtests showed a low reliability, some of them had not fulfill the validity and some of WAIS’s subtests norm showed the differences with their previous norms.
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Silviana Yunita
Nomor Mahasiswa : 089114069
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Evaluasi Kualitas Psikometrik Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam Bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti Kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 31 Januari 2012 Yang menyatakan,
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan karena peneliti telah menyelesaikan karya ini dengan cukup baik. Pengalaman-pengalaman yang sangat berkesan selama masa kuliah kini ditutup dengan karya ini. Penulisan karya ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan, dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih secara khusus kepada:
1. Ibu Dr. Christina Siwi H., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
2. Bapak Agung Santoso, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. dan Ibu Agnes Endar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik.
4. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi. dan Ibu A. Tanti Arini, M.Si. selaku Dosen
Penguji yang banyak memberikan saran dan masukan sehingga kekurangan-kekurangan dari skripsi ini dapat diperbaiki.
5. Prof. Dr. A. Supratiknya, Dr. A. Priyono Marwan, S.J., Dr. T. Priyo
x
6. Papa dan Mama serta Maria yang selalu mendukungku.
7. Teman-teman tercinta yang berjuang bersama dari semeseter 1: Fla, Chike,
Stella. Thanks atas kebersamaan dalam merasakan susah senang kuliah. Love u sista!
8. Teman-teman Psikologi 2008: Noni, Pauline, Lita, Bora, Devi, Dian, Selly,
Valle, Dita, Dila, Stanley, Vincent, Jose, Anggita, Anggit, Matheus, Sita, Sari, Hesti, Ade, Dessy, Fanny, Lusi, Anis. God always bless you all guys! 9. Teman-teman Psikologi 2007: Kak Grace, Kak Ita, Kak Anggi, Kak Lily, Kak
Nia, Mas Putu terima kasih atas kebersamaan selama kuliah.
10. Teman-teman Divisi Training: Ci Yaya, Ko Herman, Mb. Matil, Mas Taman,
Mb. Via, Mb. Agnes, Mb. Wilis, Baskoro, Mb. Jenny dan Mb. Dora.
11. Teman-teman KKN di Kelompok I: Mb. Wini, Mb. Martha, Mb. Dyas, Mb. Keke.
12. Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Bu Nanik dan Pak Gie yang banyak
membantu dalam melaksanakan tugas-tugas fakultas. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membacanya. Kesalahan dan ketidaksempurnaan masih mungkin terjadi dalam karya ini. Terima kasih.
Yogyakarta, 31 Januari 2012
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
A. Inteligensi ... 8
1. Pengertian Inteligensi ... 8
xii
3. Tujuan Tes Inteligensi ... 12
B. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) ... 13
1. Sejarah WAIS ... 13
2. Tujuan WAIS ... 15
3. Subtes-subtes dalam WAIS ... 15
4. Kualitas Psikometrik WAIS ... 20
5. Adaptasi WAIS di Indonesia ... 22
C. Karakteristik Tes yang Baik ... 24
1. Perancangan ... 24
2. Kualitas Psikometrik ... 26
D. Norma ... 42
1. Pengertian ... 42
2. Pedoman Penyusunan Norma ... 43
3. Sampel Normatif ... 43
4. Langkah-langkah Pengembangan Norma ... 44
5. Teknik Tranformasi Skor ... 44
E. Kerangka Penelitian ... 47
F. Pertanyaan Penelitian ... 49
BAB III. METODE PENELITIAN ... 50
A.Jenis Penelitian ... 50
B. Identifikasi Variabel ... 50
C. Definisi Operasional ... 50
xiii
E. Metode Pengumpulan Data ... 52
F. Metode Analisis Data ... 53
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57
A. Orientasi Kancah ... 57
B. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 58
C. Hasil Analisis Umum ... 59
1. Analisis Aitem ... 59
2. Reliabilitas ... 60
3. Validitas ... 61
4. Norma ... 62
D. Hasil Analisis per Subtes ... 62
1. Subtes Informasi ... 62
2. Subtes Kosakata ... 70
3. Subtes Hitungan ... 78
4. Subtes Pemahaman ... 84
5. Subtes Kesamaan ... 91
6. Subtes Rentang Angka ... 97
7. Subtes Kelengkapan Gambar... 103
8. Subtes Susunan Gambar ... 110
9. Subtes Rancangan Balok ... 116
10. Subtes Perakitan Obyek ... 122
11. Subtes Simbol Angka ... 127
xiv
F. Keterbatasan Penelitian ... 132
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 134
A. Kesimpulan ... 134
B. Saran ... 136
DAFTAR PUSTAKA ... 137
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Pendidikan ... 51
Tabel 2. Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Umur ... 52
Tabel 3. Nilai Fit Indeks ... 54
Tabel 4. Norma WAIS ... 56
Tabel 5. Deskripsi Subtes Skala Verbal ... 57
Tabel 6. Deskripsi Subtes Skala Performansi ... 57
Tabel 7. Hasil Analisis Aitem ... 60
Tabel 8. Hasil Estimasi Reliabilitas ... 61
Tabel 9. Hasil Estimasi Validitas ... 61
Tabel 10. Hasil Perhitungan Norma ... 62
Tabel 11. Hasil Analisis Aitem Subtes Informasi ... 63
Tabel 12. Hasil Fit Indeks Subtes Informasi ... 66
Tabel 13. Norma Subtes Informasi ... 69
Tabel 14. Hasil Analisis Aitem Subtes Kosakata ... 71
Tabel 15. Hasil Fit Indeks Subtes Kosakata ... 75
Tabel 16. Norma Subtes Kosakata ... 77
Tabel 17. Hasil Analisis Aitem Subtes Hitungan ... 78
Tabel 18. Hasil Fit Indeks Subtes Hitungan... 81
Tabel 19. Norma Subtes Hitungan ... 83
Tabel 20. Hasil Analisis Aitem Subtes Pemahaman ... 85
xvi
Tabel 22. Norma Subtes Pemahaman ... 90
Tabel 23. Hasil Analisis Aitem Subtes Kesamaan ... 91
Tabel 24. Hasil Fit Indeks Subtes Kesamaan ... 94
Tabel 25. Norma Subtes Kesamaan ... 96
Tabel 26. Hasil Analisis Aitem Subtes Rentang Angka ... 97
Tabel 27. Hasil Fit Indeks Subtes Rentang Angka ... 100
Tabel 28. Norma Subtes Rentang Angka ... 102
Tabel 29. Hasil Analisis Aitem Subtes Kelengkapan Gambar ... 104
Tabel 30. Hasil Fit Indeks Subtes Kelengkapan Gambar ... 107
Tabel 31. Norma Subtes Kelengkapan Gambar ... 109
Tabel 32. Hasil Analisis Aitem Subtes Susunan Gambar ... 111
Tabel 33. Hasil Fit Indeks Subtes Susunan Gambar ... 113
Tabel 34. Norma Subtes Susunan Gambar ... 115
Tabel 35. Hasil Analisis Aitem Subtes Rancangan Balok ... 117
Tabel 36. Hasil Fit Indeks Subtes Rancangan Balok ... 119
Tabel 37. Norma Subtes Rancangan Balok... 121
Tabel 38. Hasil Analisis Aitem Subtes Perakitan Obyek ... 122
Tabel 39. Hasil Fit Indeks Subtes Perakitan Obyek ... 124
Tabel 40. Norma Subtes Perakitan Obyek ... 126
Tabel 41. Hasil Fit Indeks Subtes Simbol Angka ... 128
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Aitem Subtes Informasi ... 142
Lampiran 2. Reliabilitas Subtes Informasi ... 143
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas Subtes Informasi ... 147
Lampiran 4. Fit Index Subtes Informasi ... 149
Lampiran 5. Analisis Aitem Subtes Kosakata... 152
Lampiran 6. Reliabilitas Subtes Kosakata ... 153
Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Subtes Kosakata ... 159
Lampiran 8. Fit Index Subtes Kosakata ... 162
Lampiran 9. Analisis Aitem Subtes Hitungan... 165
Lampiran 10. Reliabilitas Subtes Hitungan ... 166
Lampiran 11. Hasil Uji Normalitas Subtes Hitungan ... 169
Lampiran 12. Fit Index Subtes Hitungan ... 171
Lampiran 13. Analisis Aitem Subtes Pemahaman ... 174
Lampiran 14. Reliabilitas Subtes Pemahaman ... 175
Lampiran 15. Hasil Uji Normalitas Subtes Pemahaman ... 178
Lampiran 16. Fit Index Subtes Pemahaman ... 180
Lampiran 17. Analisis Aitem Subtes Kesamaan ... 183
Lampiran 18. Reliabilitas Subtes Kesamaan ... 184
Lampiran 19. Hasil Uji Normalitas Subtes Kesamaan... 186
Lampiran 20. Fit Index Subtes Kesamaan ... 188
xviii
Lampiran 22. Reliabilitas Subtes Rentang Angka ... 192
Lampiran 23. Hasil Uji Normalitas Subtes Rentang Angka ... 195
Lampiran 24. Fit Index Subtes Rentang Angka ... 197
Lampiran 25. Analisis Aitem Subtes Kelengkapan Gambar ... 200
Lampiran 26. Reliabilitas Subtes Kelengkapan Gambar ... 201
Lampiran 27. Hasil Uji Normalitas Subtes Kelengkapan Gambar ... 203
Lampiran 28. Fit Index Subtes Kelengkapan Gambar ... 206
Lampiran 29. Analisis Aitem Subtes Susunan Gambar ... 209
Lampiran 30. Reliabilitas Subtes Susunan Gambar ... 210
Lampiran 31. Hasil Uji Normalitas Subtes Susunan Gambar ... 213
Lampiran 32. Fit Index Subtes Susunan Gambar... 215
Lampiran 33. Analisis Aitem Subtes Rancangan Balok ... 218
Lampiran 34. Reliabilitas Subtes Rancangan Balok ... 219
Lampiran 35. Hasil Uji Normalitas Subtes Rancangan Balok ... 223
Lampiran 36. Fit Index Subtes Rancangan Balok ... 225
Lampiran 37. Analisis Aitem Subtes Perakitan Obyek ... 228
Lampiran 38. Reliabilitas Subtes Perakitan Obyek... 229
Lampiran 39. Hasil Uji Normalitas Subtes Perakitan Obyek ... 230
Lampiran 40. Fit Index Subtes Perakitan Obyek ... 232
Lampiran 41. Hasil Uji Normalitas Subtes Simbol Angka ... 235
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Inteligensi merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia sebab inteligensi selalu berperan dalam semua aktivitas manusia (Suryobroto, 1984). Hal ini mendasari munculnya banyak pengukuran terhadap inteligensi pada anak-anak maupun pada orang dewasa. Salah satu dari sekian banyak tes inteligensi tersebut adalah Weschler Adult Intelligence Scale atau yang lebih dikenal dengan nama WAIS.
WAIS merupakan tes yang disusun oleh David Weschler, seseorang berkebangsaan Amerika. Awalnya, Weschler menyusun tes inteligensi bernama Weschler-Bellevue Intellegence Scale Form I (W-B) yang dipublikasikan pada tahun 1939. Alasan pengembangan skala W-B didasari kenyataan bahwa tes inteligensi yang digunakan orang dewasa pada waktu itu hanya merupakan perluasan saja dari tes inteligensi untuk anak-anak sehingga kurang menarik bagi orang dewasa. Weschler berharap skala W-B akan lebih cocok dan menarik bagi orang dewasa. Pada tahun 1947, Wechsler menambahkan bentuk kedua Weschler-Bellevue Intellegence Scale Form I, yaitu Weschler-Weschler-Bellevue Intellegence
Scale Form II. Revisi lengkap dan restandardisasi Form I dipublikasikan
2
Weschler Adult Intelligence Scale–Revised (WAIS-R) dan revisi terakhir
menjadi Weschler Adult Intelligence Scale-III (WAIS-III) yang dilakukan pada akhir tahun 1990-an (Anastasi & Urbina, 1997).
WAIS pada dasarnya digunakan untuk mengukur inteligensi umum pada orang dewasa dengan rentang usia 16 – 75 tahun. Tes ini dapat pula digunakan untuk melakukan diagnosa psikiatris, meliputi kerusakan otak, kemerosotan psikosis dan kesulitan emosional yang mempengaruhi fungsi intelektual (Anastasi & Urbina, 1997).
Materi dari WAIS sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu Tes Verbal dan Tes Performansi. Tes Verbal terdiri atas informasi, pengertian, hitungan, persamaan, rentangan angka dan perbendaharaan kata, sedangkan Tes Performansi terdiri dari simbol angka, melengkapi gambar, rancangan balok, mengatur gambar dan merakit obyek (Weschler dalam Psikodiagnostika, 1983).
sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap masa depan seseorang. Oleh karena itu, pengujian dari perspektif psikometris mutlak dilakukan.
Estimasi reliabilitas WAIS di Amerika dengan menggunakan metode split – half memperoleh koefisien reliabilitas untuk Tes Verbal antara 0,86
sampai 0,97, Tes Performansi antara 0,85 sampai 0,94, serta skala penuh antara 0,90 sampai 0,98 (Anastasi & Urbina, 1997). Perhitungan reliabilitas WAIS menggunakan metode re-test memperoleh koefisien reliabilitas tes verbal 0,96, tes performansi 0,91, serta skala penuh 0,96 (Gregory, 1943).
Perhitungan validitas WAIS dengan kriterion WAIS – R memperoleh koefisien validitas sebesar 0,93, dengan Weschler Intellegence Scale for Children-III (WISC-III) sebesar 0,88, dengan Standard Progressive
Matrices (SPM) senilai 0,64, serta dengan Stanford-Binet senilai 0,88 (Gregory, 1943). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa WAIS memang memiliki reliabilitas dan validitas yang baik.
4
pengadaptasian tersebut belum memenuhi persyaratan yang seharusnya dilakukan dalam mengadaptasi suatu tes dari luar negeri (Purwono, 2010).
Analisis kualitas psikometrik terhadap WAIS adaptasi UGM sendiri pernah dilakukan sebelumnya. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Syaffudin Azwar pada tahun 1996 hanya terbatas pada dua dari sebelas subtes yang ada, yakni subtes Informasi dan subtes Hitungan. Berdasarkan pengujian reliabilitas menggunakan teknik belah dua gasal-genap diperoleh koefisien reliabilitas subtes Informasi sebesar rxx’ = 0,3047, serta koefisien reliabilitas subtes Hitungan sebesar rxx’ = 0,488 (Azwar, 1996). Validasi WAIS juga pernah dilakukan dengan menggunakan teknik validitas kriteria, yaitu menghitung koefisien korelasi Tes WAIS dengan SPM. Koefisien korelasi yang didapatkan adalah antara 0,356 (Rahayu dalam Azwar, 1996). Penelitian tersebut tentu saja menunjukkan adanya kelemahan mendasar pada format dan aitem-aitem hasil alih bahasa tersebut dimana koefisien reliabilitas dan validitas termasuk dalam kategori rendah (Partosuwido dalam Azwar, 1996).
manusia pada zaman sekarang ini pun turut dipertanyakan. Hal ini diperkirakan akan mengganggu kualitas psikometrik tes tersebut.
6
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kualitas aitem pada WAIS adaptasi Universitas Gajah
Mada?
2. Bagaimana reliabilitas WAIS adaptasi UGM? 3. Bagaimana validitas WAIS adaptasi UGM?
4. Bagaimana standar norma yang dipakai oleh WAIS adaptasi UGM?
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritik
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi mengenai estimasi reliabilitas, estimasi validitas, dan kualitas aitem terhadap WAIS di Indonesia.
2. Manfaat praktis
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Inteligensi
1. Pengertian Inteligensi
Spearman dan Wynn Jones mengemukakan bahwa manusia
memiliki kekuatan dalam pikiran yang dianggap sebagai sumber
pengetahuan sejati. Kekuatan dalam bahasa Yunani disebut nous,
sedangkan penggunaan kekuatan disebut noesis. Dalam bahasa Latin,
noesis disebut intelligentia yang kemudian dialihbahasakan di
Indonesia menjadi inteligensi (Azwar, 1996).
Ada beberapa pengertian inteligensi yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh. Spearman pada tahun 1904 mengemukakan bahwa
inteligensi adalah sebuah kemampuan umum yang melibatkan eduksi
dan korelasi. Teori yang terkenal dari Spearman adalah faktor G
(kemampuan umum) dan faktor S (kemampuan khusus). Faktor G
inilah yang dianggapnya sebagai inteligensi yakni energi mental yang
menentukan kinerja, sedangkan faktor S lebih berkaitan dengan
ketrampilan (Gregory, 1996).
Pandangan lain mengenai inteligensi datang dari Binet dan Simon
yang memandang inteligensi sebagai kemampuan untuk menilai,
memahami dan menalar dengan baik (Gregory, 1996). Berbeda dengan
inteligensi merupakan kapasitas untuk membuat konsep-konsep dan
memahami signifikansinya (Azwar, 1996; Cohen & Swedlik, 2005;
Gregory, 1996).
Sedikit berbeda dengan para pendahulunya, Stoddard dan Gardner
memandang inteligensi sebagai kemampuan atau ketrampilan untuk
mengatasi masalah. Secara lebih mendalam, Gardner juga membagi
inteligensi menjadi sembilan kategori antara lain linguistik,
matematis-logis, ruang, kinestetik-badani, musikal, interpersonal, intrapersonal,
eksistensial dan lingkungan (Azwar, 1996; Gregory, 1996). Beberapa
tokoh seperti Pintner, Thurstone, Weschler, Piaget dan Sternberg juga
memiliki kesepakatan tersendiri mengenai definisi inteligensi dengan
berpendapat bahwa inteligensi merupakan kemampuan individu untuk
beradaptasi dengan baik terhadap situasi baru dalam hidupnya
(Gregory, 1996).
Raymond Cattel memberikan sedikit warna baru dalam definisi
inteligensi, ia membagi inteligensi dalam dua tipe yakni fluid
intelligence dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan
inteligensi non-verbal dan relatif bebas dari pengaruh budaya.
Inteligensi tipe ini berkaitan dengan kapasitas untuk belajar dan
menyelesaikan masalah (Gregory, 1996). Sedangkan crystallized
intelligence merupakan inteligensi yang berkaitan dengan budaya dan
digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut
10
yang nantinya dapat diukur menggunakan tes-tes inteligensi yang kita
kenal saat ini seperti tes Binet dan WAIS (Gregory, 1996).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat diartikan
bahwa inteligensi merupakan kapasitas untuk belajar dari pengalaman,
beradaptasi dengan lingkungan dan memecahkan masalah. Selain itu,
inteligensi juga dapat dilihat dalam beberapa kapasitas di berbagai
bidang antara lain linguistik, matematis-logis, ruang, kinestetik-badani,
musikal, interpersonal, intrapersonal dan eksistensial.
2. Pengukuran Inteligensi
Salah satu asesmen dalam psikologi klinis yang digunakan untuk
membedakan individu adalah asesmen inteligensi. Hal ini dilakukan
karena fungsi mental setiap individu berbeda satu sama lain. Masalah
muncul ketika ada pertanyaan tentang bagaimana cara mengukur
inteligensi (Sundberg, Winebarger, & Taplin, 2007).
Alfred Binet menganggap inteligensi sangat berpengaruh dalam
perkembangan psikologi klinis sehingga ia mengembangkan alat ukur
kemampuan mental kompleks untuk anak normal dan anak yang
mengalami gangguan mental. Melalui alat ukur tersebut, psikologi
klinis dapat melihat perbedaan individual melalui pengukuran fungsi
mental setiap individu (Gregory, 1996).
Tes inteligensi individual yang pertama dikembangkan oleh Alfred
dalam mengkonstruksi tes ini adalah konsep perbedaan usia dan
konsep kemampuan mental umum yang diperkenalkan oleh Spearman.
Pada konsep perbedaan usia, Binet berpendapat bahwa anak-anak
yang lebih tua memiliki kapabilitas yang lebih besar dari anak yang
lebih muda. Maka dari itu, ia mengestimasi kemampuan anak lepas
dari usia kronologisnya. Binet juga mengenalkan konsep usia mental
yang berfungsi untuk melihat kesesuaian usia kronologis dengan
performansi seseorang pada suatu tes atau subtes tertentu. Skala-skala
Binet mengalama revisi sebanyak enam kali dari tahun 1908 hingga
tahun 1986 (Gregory, 1996). Pada revisi terakhir, skala Binet
menghilangkan skala usia, menggunakan skor standard dan hanya
terdiri dari 15 subtes yang dikelompokkan dalam empat bidang, yakni
penalaran verbal, penalaran visual, penalaran kuantitatif dan ingatan
jangka pendek (Cohen & Swedlik, 2005; Gregory, 1996).
David Weschler memulai penyusunan alat tes pada tahun 1932
(Gregory, 1996). Ia membuat alat tes berdasarkan rujukan divisi
psikiatri di rumah sakit Bellevue, New York. Skala yang dibuat
Weschler berpedoman pada Army Alpha & Betha serta Skala Binet
(Gregory, 1996). Namun, Weschler kurang sependapat dengan Binet
dalam beberapa hal. Weschler menilai aitem-aitem tes Binet yang
kurang sesuai untuk orang dewasa dan terlalu menekankan pada
kecepatan sehingga akan menghambat orang yang sudah tua. Weschler
12
dapat mengukur pengetahuan umum, pemahaman kuantitatif,
kemampuan berbahasa, ingatan dan penilaian sosial (Cohen &
Swedlik, 2005). Maka dari itu, Weschler bertekad merancang aitem
untuk orang dewasa, menambah skala performansi, mengurangi
penekanan pada pertanyaan-pertanyaan dengan batas waktu pendek,
menggunakan metode baru untuk memperoleh IQ dan menggunakan
skala poin. Penambahan skala performansi bertujuan untuk mengatasi
bias bahasa, budaya dan latar belakang pendidikan dalam pengukuran
inteligensi (Gregory, 1996).
3. Tujuan Tes Inteligensi
Tes inteligensi secara umum memiliki tujuan untuk
memprediksi performansi individu di masa yang akan datang,
menetapkan posisinya berdasarkan kemampuan kognitif dan
memberikan perlakuan bagi individu. Selain itu, ada beberapa tes
inteligensi seperti Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) yang
mampu memberi informasi klinis melalui diagnosa psikiatris.
Diagnosa psikiatris dalam WAIS dianggap mampu untuk
mengobservasi kerusakan otak, kemerosotan psikosis, dan kesulitan
emosional yang dapat mempengaruhi sejumlah fungsi intelektual lebih
daripada yang lain (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik,
Kesimpulan yang didapat dari berbagai penjelasan di atas, inteligensi
merupakan suatu konsep yang menggambarkan kapasitas untuk belajar
dari pengalaman, beradaptasi dengan lingkungan dan memecahkan
masalah. Inteligensi menjadi penting untuk diketahui karena dapat
digunakan untuk memprediksi performansi individu di masa yang akan
datang, menetapkan posisinya berdasarkan kemampuan kognitif dan
memberikan perlakuan bagi individu. Maka dari itu, beberapa peneliti
tertarik untuk menciptakan alat ukur inteligensi yang paling
menggambarkan inteligensi manusia.
B. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
1. Sejarah WAIS
Pada tahun 1939, David Wechsler memperkenalkan versi pertama
tes inteligensi yang dirancang khusus untuk digunakan bagi orang
dewasa yang bernama Wechsler-Bellevue Intelligence Scale (W-B)
(Anastasi & Urbina, 1997). Sepuluh tahun kemudian, Wechsler
menerbitkan skala inteligensi untuk anak-anak yang dikembangkan
berdasar isi skala W-B. Skala ini diberi nama Wechsler Intelligence
Scale for Children (WISC). WISC terdiri dari dua sub bagian, yakni
Verbal (V) dan Performance (P) (Anastasi & Urbina, 1997).
Pada tahun 1974, WISC direvisi dan diluncurkan dengan nama
baru, yakni WISC-R (R adalah revised). Wechsler terus menyusun
14
sehingga lahirah Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) pada tahun
1955. Revisi terhadap WAIS sendiri telah dilakukan dan diterbitkan
pertama kali pada tahun 1981 dengan nama WAIS-R (Anastasi &
Urbina, 1997).
Ada tiga macam skala Wechsler (Anastasi & Urbina, 1997):
a. WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) di tahun
1949. Banyak soal diambil langsung dari tes orang dewasa.
WISC third edition untuk usia 6-16 tahun 11 bulan.
b. WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) di tahun 1955.
Untuk usia 16-75 tahun.
c. Wechsler Preeschool and Primary Scale of
Intelligence-Revised tahun 1989. Tes ini untuk rentang usia 3-7 tahun 3
bulan.
Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R diterbitkan tahun
1974 dan dimaksudkan untuk mengukur inteligensi anak-anak usia 6
sampai dengan 16 tahun. WISC-R terdiri atas 12 subtes yang dua
diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan
penggantian subtes (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik,
2. Tujuan WAIS
WAIS digunakan untuk mengukur inteligensi umum dan
diagnosa psikiatris pada orang dewasa. Diagnosa psikiatris dalam
WAIS dianggap mampu untuk mengobservasi kerusakan otak,
kemerosotan psikosis, dan kesulitan emosional yang dapat
mempengaruhi sejumlah fungsi intelektual lebih daripada yang lain.
Weschler dan para psikolog klinis lainnya berpendapat bahwa sebuah
analisis atas kinerja relatif individu pada berbagai subtes berbeda
dianggap dapat mengungkapkan gangguan-gangguan psikiatris yang
spesifik (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
3. Subtes-subtes dalam WAIS
Subtes-subtes dalam WAIS terdiri atas dua bagian yakni skala
verbal dan skala performansi. Skala verbal terdiri atas subtes
Informasi, Rentang Angka, Kosakata, Hitungan, Pemahaman, dan
Kesamaan, sedangkan skala performansi terdiri atas subtes
Kelengkapan Gambar, Susunan Gambar, Rancangan Balok, Perakitan
Objek, dan Simbol Angka. Secara lebih terperinci, tujuan dan isi
masing-masing subtes skala Verbal (Azwar, 1996) adalah sebagai
16
a. Informasi
Subtes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan umum,
proses belajar dan memori. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan individu dalam mengerjakan subtes ini
antara lain ketertarikan, pendidikan, latar belakang budaya dan
ketrampilan membaca. Subtes ini berisi 29 pertanyaan tentang
pengetahuan umum yang dianggap dapat diperoleh subyek dari
pengalaman sehari-hari subyek. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
disusun menurut taraf kesukaran yang semakin meningkat
(Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
b. Rentang Angka
Subtes ini bertujuan untuk mengukur memori jangka
pendek, perhatian dan encoding yang merupakan proses perubahan
sesuatu dari di lingkungan menjadi kode-kode tertentu dalam
bentuk representasi mental. Tester menyajikan subtes ini dengan
mengucapkan rangkaian angka-angka yang terdiri dari atas 3
sampai 9 angka yang secara lisan, kemudian meminta subyek
untuk mengulang penyebutan angka tersebut dalam urutan yang
benar. Pada bagian kedua subtes ini, tester menyebutkan rangkaian
angka yang lain dan subyek diminta mengulang penyebutan dalam
urutan yang terbalik (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik,
c. Kosakata
Subtes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan umum.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam
mengerjakan subtes ini adalah faktor pendidikan dan faktor
budaya. Testee diminta untuk mendefinisikan 40 kata dari yang
termudah hingga yang tersulit. Tester menyebutkan secara lisan
kata yang disajikan pada kartu kecil dan subyek diminta
mendefinisikannya (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik,
2005).
d. Hitungan
Subtes ini bertujuan untuk mengukur kemampuan
berhitung, kesiapan dan konsentrasi serta memori pendengaran
jangka pendek. Dalam subtes ini, terdapat problem hitungan yang
setaraf dengan soal hitungan di sekolah dasar. Empat belas soal
hitungan diberikan secara lisan dan harus dijawab oleh subyek
dengan cara lisan pula (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen &
Swedlik, 2005).
e. Pemahaman
Subtes ini bertujuan untuk mengukur pemahaman sosial,
kemampuan untuk mengatur serta menerapkan pengetahuan dan
memahami hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari seperti “common sense”. Subtes ini terdiri atas 14 soal yang
18
pada situasi tertentu, mengapa aturan tertentu harus diikuti, apa arti
peribahasa tertentu, dan sebagainya (Anastasi & Urbina, 1997;
Cohen & Swedlik, 2005).
f. Kesamaan
Subtes kesamaan bertujuan untuk mengukur kemampuan
individu dalam menganalisa hubungan dan menggunakan pola
pikir logis serta kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Ada 13
soal yang menghendaki subyek untuk menyatakan pada hal apakah
dua benda memiliki kesamaan. Misalnya: “Apa persamaan macan
dan singa?” (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
Penjelasan setiap subtes skala performansi adalah sebagai berikut:
a. Kelengkapan Gambar
Subtes ini digunakan untuk mengukur kemampuan persepsi
visual, kesiapan, memori, konsentrasi, kemampuan membedakan
dan perhatian terhadap detil. Ada 21 kartu yang masing-masing
berisi gambar berbeda. Pada setiap gambar terdapat bagian penting
yang sengaja dihilangkan. Subyek diminta untuk menyebutkan
bagian yang hilang tersebut (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen &
Swedlik, 2005).
b. Susunan Gambar
Subtes ini digunakan untuk mengukur kemampuan
memahami situasi, perhatian, konsentrasi, dan kemampuan untuk
delapan seri cerita gambar yang masing-masing terdiri atas
beberapa kartu yang disajikan dalam urutan tidak teratur. Subyek
diminta mengatur kartu-kartu tersebut dalam urutan yang benar
sehingga menunjukkan jalan cerita yang logis (Anastasi & Urbina,
1997; Cohen & Swedlik, 2005).
c. Rancangan balok
Subtes ini digunakan untuk mengukur ketrampilan persepsi
motorik, kecepatan psikomotorik, serta kemampuan analisis dan
sintesis. Keberhasilan individu dalam mengerjakan subtes ini
dipengaruhi oleh kemampuan membedakan warna, toleransi
terhadap kegagalan dan fleksibiltas dalam memecahkan masalah.
Tes terdiri dari suatu seri pola yang masing-masing tersusun atas
pola merah-putih. Setiap macam pola diberikan di atas kartu
sebagai soal. Untuk setiap macam pola, subyek diminta menirunya
dengan menggunakan beberapa buah balok kecil berukuran 2.5 x
2.5 cm yang sisi-sisinya dicat merah, putih, dan merah-putih
(Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
d. Perakitan Objek
Subtes ini digunakan untuk mengukur kemampuan
memahami suatu pola, memadukan ketrampilan serta kecepatan
psikomotorik. Peralatan tes terdiri atas potongan-potongan lengkap
bentuk benda yang sering daitemui dalam kehidupan sehari-hari.
20
Subyek diminta menyusun potongan-potongan membentuk gambar
yang utuh dari benda yang dimaksudkan. Empat macam bentuk
benda disajikan dalam urutan kesukaran yang semakin meningkat
(Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
e. Simbol Angka
Subtes ini digunakan untuk mengukur kecepatan
pemrosesan kognitif. Dalam subtes ini, terdapat 9 angka yang
masing-masing mempunyai simbol tersendiri. Subyek diminta
menulis simbol untuk masing-masing angka di bawah deretan
angka yang tersedia sebanyak yang dapat dilakukan dalam waktu
90 detik (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen & Swedlik, 2005).
4. Kualitas Psikometrik WAIS
Estimasi reliabilitas WAIS di Amerika dengan menggunakan
metode split – half memperoleh koefisien reliabilitas untuk Tes Verbal
antara 0,86 sampai 0,97, Tes Performansi antara 0,85 sampai 0,94,
serta skala penuh antara 0,90 sampai 0,98 (Anastasi & Urbina, 1997).
Perhitungan reliabilitas WAIS menggunakan metode re-test
memperoleh koefisien reliabilitas tes verbal 0,96, tes performansi 0,91,
serta skala penuh 0,96 (Gregory, 1943).
Perhitungan validitas WAIS dengan kriterion WAIS – R
memperoleh koefisien validitas sebesar 0,93, dengan Weschler
Standard Progressive Matrices (SPM) senilai 0,64, serta dengan
Stanford-Binet senilai 0,88 (Gregory, 1943). Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa WAIS memang memiliki reliabilitas dan validitas
yang baik.
Norma WAIS didasarkan pada skala-skala Weschler
sebelumnya yang merujuk pada perubahan skor-skor mentah pada
masing-masing subtes ke dalam bentuk persentil dengan rata-rata 10
dan standar deviasi (SD) 3 (Anastasi & Urbina, 1997; Cohen &
Swedlik, 2005).
Standardisasi WAIS telah dilakukan pada 2450 subyek dengan
rentang usia 16 hingga 89 tahun yang dikumpulkan oleh U.S. Census
pada tahun 1955. Subyek-subyek dipilih dengan menggunakan
stratified sampling dengan kriteria jenis kelamin, etnis, tingkat
pendidikan dan daerah asal. Standardisasi sampel dilakukan dengan
cara membagi subyek-subyek dalam 10 kategori usia, yaitu 16-17,
18-19, 20-24, 25-29, 30-34, 35-44, 45-54, 55-64, 65-69 dan 70-75. Setelah
itu, norma WAIS dihitung dengan teknik skor standar untuk setiap
22
5. Adaptasi WAIS di Indonesia
WAIS digunakan di Indonesia sebagai tes inteligensi bagi
individu dengan rentang usia 16-75 tahun. Seluruh subtes WAIS telah
diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia untuk digunakan bagi subyek
yang berbahasa Indonesia. Usaha adaptasi ini baru terbatas pada alih
bahasa dan sedikit penyesuaian isi pertanyaan serta gambar-gambar
stimulusnya dengan harapan akan menjadi lebih cocok bagi budaya
Indonesia (Azwar, 1996).
Di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, adaptasi
tersebut dilakukan pada WAIS versi tahun 1955 dan belum disertai
dengan pengujian empiris yang seksama terhadap kualitas aitem yang
selesai dialihbahasakan. Norma konversi IQ yang digunakan masih
memakai norma asli WAIS (Azwar, 1996).
Laboratorium Psikologi di Universitas Sanata Dharma
menggunakan buku panduan WAIS yang diterbitkan oleh Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada. Pelaksanaan tes inteligensi dengan
urutan penyajian tes sebagai berikut, skala verbal terdiri atas subtes
Informasi, Pengertian, Berhitung, Persamaan, Rentangan Angka dan
Perbendaharaan Kata, selanjutnya skala performansi terdiri atas subtes
Simbol Angka, Melengkapi Gambar, Rancangan Balok, Mengatur
Gambar dan Merakit Obyek. Tiap subtes memiliki petunjuk, standar
pemberian nilai dan jumlah soal yang berbeda-beda. Maka dari itu, ada
Kesimpulan yang didapat dari berbagai penjelasan di atas, Wechsler
Adult Intelligence Scale (WAIS) merupakan salah satu tes inteligensi
individual bagi yang diciptakan oleh David Weschler. Tes yang
diperuntukkan bagi individu dengan rentang usia 16 hingga 75 tahun ini
terdiri atas dua skala, yakni skala verbal dan skala performansi. Skala
verbal terdiri atas subtes Informasi, Rentang Angka, Kosakata, Hitungan,
Pemahaman, dan Kesamaan, sedangkan skala performansi terdiri atas
subtes Kelengkapan Gambar, Susunan Gambar, Rancangan Balok,
Perakitan Objek, dan Simbol Angka. Norma WAIS didasarkan pada
skala-skala Wescheler sebelumnya dimana skor-skor mentah pada
masing-masing subtes diubah ke dalam bentuk persentil dengan rata-rata 10 dan
standar deviasi (SD) 3. Usaha pengadaptasian tes inteligensi ini di
Indonesia hanya terbatas pada alih bahasa dan sedikit penyesuaian gambar
serta stimulus-stimulusnya (Anastasi & Urbina, 1997; Azwar, 1996; Cohen
24
C. Karakteristik Tes yang Baik
Suatu tes akan berfungsi dengan baik apabila memiliki beberapa
persyaratan. Ada dua syarat yang harus diperhatikan dalam menilai suatu
tes, yakni perancangan serta kualitas psikometrik. Tes dipandang baik dari
segi perancangan apabila tes tersebut memiliki tujuan pengukuran yang
jelas, berisi hal-hal yang khusus dan terstandardisasi, serta memiliki
prosedur skoring yang terstandardisasi. Tes dianggap baik dari sisi kualitas
psikometrik apabila tes tersebut reliabel, valid dan memiliki aitem-aitem
yang baik (Friedenberg, 1995). Penjelasan lebih lanjut mengenai
syarat-syarat tes adalah sebagai berikut:
1. Perancangan
Suatu tes dipandang baik dari segi perancangan apabila tes tersebut
memiliki:
a. Tujuan yang jelas
Tes dianggap memiliki tujuan yang jelas apabila tes
tersebut memiliki tujuan mengenai apa yang hendak diukur, siapa
yang hendak mengerjakan tes tersebut serta bagaimana hasil tes
akan dipergunakan. Tujuan mengenai apa yang hendak diukur oleh
suatu tes merupakan salah satu bentuk domain. Domain dari sebuah
tes adalah pengetahuan, ketrampilan dan karakteristik kepribadian
dari seseorang (Friedenberg, 1995).
Selain domain tes, kita perlu memperhatikan sasaran
tes bagi anak-anak. Maka dari itu, penyusunan tes perlu
memperhatikan kemampuan serta keterbatasan pesertanya
(Friedenberg, 1995).
Suatu tes juga perlu memperhatikan bagaimana hasil tes
akan dipergunakan dengan menetapkan standar penyekoran.
Standar penyekoran ditentukan melalui perbandingan subyek
dengan kelompok subyek atau penyekoran secara individual. Ada
beberapa tes yang memerlukan perbandingan performansi tetapi
ada pula yang hanya mengukur tingkat performansi secara bebas
(Friedenberg, 1995; Gregory, 1996).
b. Isi yang spesifik dan terstandardisasi
Tes dianggap baik apabila memiliki isi yang spesifik dan
terstandardisasi. Isi suatu tes dikatakan spesifik apabila sesuai
dengan domain yang akan diukur. Tes yang terstandardisasi
merujuk ada kesamaan atribut atau pengetahuan yang dites bagi
seluruh subyek (Friedenberg, 1995).
c. Prosedur skoring yang terstandardisasi
Syarat lain dari tes yang baik adalah memiliki prosedur
skoring yang terstandardisasi. Prosedur skoring dapat dikatakan
terstandardisasi apabila seluruh subyek yang mengerjakan tes
mendapatkan cara pemberian skor yang sama. Ketentuan ini
26
standar penyekoran, namun sulit diterapkan pada tes-tes proyektif
(Friedenberg, 1995).
2. Kualitas Psikometrik
Kualitas Psikometrik merupakan syarat lain yang digunakan untuk
melihat suatu tes baik atau buruk. Ada tiga hal yang menjadi
karakteristik kualitas psikometrik, yaitu reliabilitas, validitas dan
kualitas aitem (Friedenberg, 1995).
a. Reliabilitas
Ada beberapa sumber eror dalam tes psikologis antara lain
variasi pada sebuah tes, sampel yang terstruktur dan variasi antar
tes (Nunnally, 1970). Sejumlah eror tersebut membuat
keterpercayaan pengukuran psikologis menjadi berkurang.
Estimasi reliabilitas dilakukan guna mengetahui apakah tes
menunjukkan keterpercayaan hasil ukur (Azwar, 1999).
Reliabilitas alat ukur dinyatakan dalam bentuk koefisien
korelasi. Angka atau koefisien korelasi yang menunjukkan
reliabilitas disebut koefisien reliabilitas (rxx’) (Supratiknya, 1998;
Gregory, 1996).
Ada tiga macam pendekatan reliabilitas (Azwar, 1997), yaitu:
1) Pendekatan tes ulang (test-retest method)
Pendekatan tes-ulang dilakukan dengan menguji
mengkorelasikan hasil-hasilnya. Reliabilitas bernilai 1.00
apabila skor tampak pada semua subyek dalam pengujian
pertama memiliki hubungan linear yang sempurna dengan skor
tampak dalam pengujian kedua (Allen & Yen, 1979;
Friedenberg, 1995; Supratiknya, 1997).
Kelemahan pendekatan ini adalah adanya carry over
effect antar pengetesan dimana pengetesan pertama
mempengaruhi pengetesan kedua. Hal ini disebabkan testee
masih mengingat jawaban-jawaban pada pengetesan pertama
sehingga terjadi overestimasi. Selain overestimasi, dampak lain
yang muncul apabila jarak pengetesan terlalu panjang adalah
munculnya underestimasi sebagai akibat perubahan jawaban
yang dipengaruhi suasana hati, terutama pada tes-tes
kepribadian (Allen dan Yen, 1979).
Selain carry over effect, ada kelemahan lain dari
pendekatan reliabilitas ini, yaitu adanya practice effect yang
berupa peningkatan kinerja testee pada pengetesan kedua. Hal
ini akan meningkatkan perolehan skor pada pengetesan kedua
dibandingkan pengetesan pertama sehingga koefisien
reliabilitas tes tersebut menjadi rendah (Allen dan Yen, 1979).
2) Pendekatan bentuk paralel (parallel-forms)
Koefisien reliabilitas bentuk paralel diperoleh dengan
28
diberikan pada kelompok subyek yang sama (Azwar, 1986).
Pendekatan reliabilitas tes paralel dilakukan dengan
memberikan dua tes yang dianggap sejajar pada kesempatan
(waktu) berbeda (Supratiknya, 1997).
Keterbatasan utama pendekatan ini terletak pada
sulitnya menyusun dua tes yang benar-benar sama dalam
tujuan ukur, batasan objek ukur dan operasionalisasinya,
indikator-indikator perilakunya, banyaknya aitem, format
aitem, taraf kesulitan aitem dan berbagai aspek tes lainnya
(Azwar, 1997).
3) Pendekatan konsistensi internal
Pendekatan konsistensi internal didasarkan pada
rata-rata korelasi antar aitem-aitem di dalam tes. Pendekatan ini
dilakukan dengan menggunakan satu tes yang dikenakan sekali
pada sekelompok subyek. Hal ini dilakukan guna menghindari
adanya carry over effect dan practice effect seperti yang terjadi
pada pendekatan-pendekatan sebelumnya. Dalam pendekatan
ini seakan-akan dilakukan pembelahan tes menjadi
bagian-bagian sebanyak aitemnya, sehingga setiap belahan terdiri
Ada dua cara dalam pendekatan konsistensi internal
yang paling banyak digunakan, yaitu:
a) Koefisien alpha
Koefisien alpha dari Cronbach adalah rumus dasar
untuk mencari estimasi reliabilitas konsistensi internal pada
kasus yang umum. Rumus ini dihitung berdasarkan varians
masing-masing aitem tes dan pada dasarnya merupakan
estimasi dari rata-rata koefisien belah dua. Reliabilitas
keseluruhan tes akan baik apabila pembagian (Y1 dan Y2)
benar-benar mencerminkan τ-equivalen. Begitu pula
sebaliknya apabila pembagian tes tidak seimbang, maka
koefisien alpha akan menunjukkan reliabilitas yang buruk
pula (Allen dan Yen, 1979; Azwar, 1997; Friedenberg,
1992).
b) Split half
Data pada teknik belah dua ini dihasilkan dari satu
kali pengetesan, kemudian aitem – aitem tes dibelah
menjadi dua bagian dimana masing – masing belahan
merupakan sejenis bentuk pengganti bagi yang lain. Berikut
merupakan cara – cara membelahnya (Allen dan Yen,
30
(1) Metode gasal – genap
Metode ini dilakukan dengan membelah tes
menjadi dua bagian melalui pengelompokkan aitem –
aitem yang bernomor urut gasal dan bernomor urut
genap. Setelah itu, dilakukan penghitungan korelasi
antara kedua skor tersebut. Metode ini dapat diterapkan
apabila soal berjumlah genap sehingga pembagiannya
dapat merata (Azwar, 1987; Supratiknya, 1998).
(2) Metode penggal tengah
Metode ini dilakukan dengan membagi tes
menjadi dua tengahan. Tengahan pertama dimulai dari
aitem bernomor urut satu sampai bernomor urut tengah;
tengahan kedua dimulai dari aitem bernomor urut
tengah sampai aitem bernomor urut terakhir. Setelah
membagi ke dalam dua tengahan, dilakukan
penghitungan korelasi antara kedua skor tersebut.
Metode penggal tengah memiliki kelemahan
yang disebabkan sebagian testee yang tidak selesai
mengerjakan seluruh tes sehingga skor pada bagian
pertama lebih tinggi daripada skor bagian kedua. Selain
itu, kelemahan yang lain adalah adanya practice effect,
skor bagian kedua lebih tinggi daripada skor bagian
pertama (Supratiknya, 1998).
(3) Metode “matched random subsets”
Metode ini dilakukan dengan menghitung taraf
kesulitan aitem (p) dan korelasi biserial atau point
biserial antara skor aitem dengan skor tes total (rit).
Setiap aitem diplot pada grafik, kemudian dilakukan
pemasangan antar aitem yang berdekatan untuk
menentukan skor atas dan skor bawah. Setelah itu,
penghitungan korelasi skor atas dengan skor bawah
dilakukan guna mendapatkan koefisien reliabilitas
(Supratiknya, 1998).
b. Validitas
Validitas suatu tes merupakan taraf sejauh mana skor murni
ditentukan oleh sifat-sifat yang relevan dengan tujuan tes
(Supratiknya, 1998). Suatu alat tes dapat dikatakan mempunyai
validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsinya
atau memberi hasil ukur yang sesuai dengan maksud
dilaksanakannya pengukuran tersebut (Azwar, 1999).
Ada tiga cara mengestimasi validitas tes yang sering
32
1) Validitas Isi
Validitas isi merupakan usaha untuk melihat
keterkaitan logis antara tujuan dari pengukuran dengan
prosedur untuk memperoleh skor (Kane dalam Santoso,
2010). Validasi isi dapat ditentukan melalui pendapat
profesional dalam proses telaah soal. Validitas isi dilakukan
untuk memberi definisi tentang universe of content
(Suryabrata, 1984).
Ada beberapa keberatan mengenai validitas isi
sebagai model untuk memvalidasi pengukuran (Santoso,
2010). Konsep validasi isi memiliki keterbatasan dalam hal
kemampuannya melingkupi konstruk-konstruk abstrak
khususnya di dunia psikologi, keterlibatan subyektivitas
dan bias konfirmatoris penilai (Kane dalam Santoso, 2010),
ketidakmampuan untuk memberikan bukti langsung terkait
dengan validitas tes sebagai keberatan utamanya (Messick
dalam Santoso, 2010), serta ketidakmampuan untuk
memberikan bukti validasi dari proses-proses kognitif yang
sesungguhnya terjadi saat pengerjaan tes (Emberston dalam
Ada dua macam tipe validitas isi, yaitu (Azwar,
1986):
a) Validitas muka (face validity)
Validitas muka tercapai apabila pemeriksaan
terhadap aitem-aitem tes memberi kesimpulan yang
lebih banyak diletakkan pada common sense atau akal
sehat bahwa tes tersebut mengukur aspek yang relevan.
Validasi didasarkan pada lay judgement dan dilakukan
oleh orang awam akan psikologi, terutama calon subyek
yang hendak dites (Allen dan Yen, 1979).
b) Validitas logis (logical validity)
Validitas logis digunakan untuk melihat apakah
aitem-aitem mempunyai kaitan logis dengan definisi
atributnya. Tipe validitas ini dianggap lebih mendalam
dibanding validitas muka (Allen dan Yen, 1979).
2) Validitas Konstruk
Validitas konstruk merujuk pada sejauh mana suatu tes
mengukur konstruk teoritis atau sifat yang hendak diukur
(Supratiknya, 1998). Ada dua metode yang diakui oleh para
ahli di bidang ini, yaitu (Allen dan Yen, 1979):
a) Validitas faktorial
Validitas faktorial adalah bentuk validitas konstruk
34
1979). Penerapan analisis faktor didasarkan pada
anggapan meski perilaku manusia itu sangat banyak
ragamnya, namun perilaku yang sangat beragam itu
didasari oleh sejumlah terbatas faktor saja. Validitas ini
secara praktis mudah dilakukan tetapi secara konseptual
membutuhkan penguasaan teoritis yang kuat tentang
atribut yang hendak diukur (Supratiknya, 1998).
Analisis faktor dapat menemukan (mendefinisikan)
faktor-faktor yang mendasari perilaku yang beragam.
Hal yang dilakukan biasanya adalah untuk mencari
apakah pola muatan faktor yang diketemukan mirip
(merefleksikan sampai batas tertentu) dengan teori yang
mendasarinya. Peran ilmuwan menjadi penting karena
pendapat profesional (professional judgement)
menentukan makna dari proses validitas (Hair,
Anderson, Tatham, dan Black, 1995).
Analisis faktor memiliki dua bentuk, yaitu
konfirmatori dan eksploratori (Hair, Anderson, Tatham,
dan Black, 1995). Analisis faktor konfirmatori
bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keakurasian
prediksi-prediksi faktor-faktor yang dimiliki oleh
sebuah tes. Cara yang digunakan dalam analisis ini
dan variabel-variabel tes memiliki kesesuaian atau
sejalan dengan sebuah pola prediksi tertentu yang ingin
diungkap dari konstrak teoritisnya. Analisis faktor
eksploratori digunakan untuk mencari struktur
kesalinghubungan antara variabel dan sebagai metode
untuk mengurangi jumlah data yang dianalisis. Jumlah
hasil faktor yang dihasilkan biasanya lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah variabel yang diteliti
(Hair, Anderson, Tatham, dan Black, 1995).
b) Validitas Multisifat - Multimetode
Pengukuran validitas yang dikembangkan oleh
Campbell dan Fiske pada tahun 1959 ini dihitung
dengan mengkorelasikan dua atau lebih sifat melalui
dua metode atau lebih. Dasar pemikiran proses validasi
ini adalah bahwa suatu tes harus berkorelasi tinggi
dengan variabel yang secara teori berkorelasi tinggi
serta tak berkorelasi dengan variabel lain yang secara
teori tidak berkorelasi (Allen & Yen, 1979).
3) Validitas berdasar Kriteria
Validitas berdasar kriteria digunakan untuk melihat
sejauhmana hasil pengukuran dengan menggunakan alat tes
36
adalah tingkah laku tertentu yang hendak diprediksikan
dengan menggunakan skor-skor tes tersebut. Validitas
berdasar kriteria ditunjukkan dengan korelasi antara skor
pada alat yang dipersoalkan dengan skor pada alat yang
dijadikan kriteria, sehingga menghasilkan koefisien
validitas (Allen dan Yen, 1979; Supratiknya, 1998).
Validitas berdasar kriteria ini memiliki kelemahan
utama berupa kesulitan untuk menentukan atau menemukan
kriteria yang dianggap layak. Kriteria harus merupakan
phasil pengukuran yang reliabel dan valid (Santoso, 2010).
Validitas berdasar kriteria ini dibedakan menjadi
dua (Allen & Yen, 1979), yaitu:
a) Validitas saat sama (concurrent validity)
Validitas saat sama digunakan ketika skor tes
dan skor kriteria diperoleh dalam waktu yang relatif
sama (Allen & Yen, 1979).
b) Validitas prediktif (predictive validity)
Validitas prediktif menggunakan skor tes untuk
memprediksi perilaku. Validitas ini digunakan ketika
pengambilan skor kriteria tidak bersamaan dengan
c. Analisis Aitem
Tes dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsinya
dengan baik apabila mampu memberikan hasil ukur yang cermat
dan akurat sehingga tes tersebut dapat memberikan informasi yang
berguna. Maka dari itu, tes yang telah selesai disusun, masih perlu
diuji kualitas seluruh aitemnya secara empirik melalui analisis
aitem. Ada beberapa parameter yang digunakan dalam analisis
aitem (Azwar, 1987; Supratiknya, 1998):
1) Indeks Kesukaran Aitem
Indeks kesukaran aitem merupakan rasio antara subyek
yang menjawab aitem dengan benar dan banyaknya subyek
yang mengikuti tes dan memenuhi syarat disebut sebagai
indeks kesukaran aitem (Supratiknya, 1998). Indeks kesukaran
aitem dilambangkan oleh huruf p. Harga p berkisar antara 0
sampai 1. Semakin besar harga p, maka aitem yang
bersangkutan semakin mudah, dan sebaliknya, semakin kecil
harga p berarti aitem yang bersangkutan semakin sulit
(Supratiknya, 1998). Skor tes menghasilkan variabilitas
maksimum apabila tingkat kesulitan (p) dari semua aitem
berada di sekitar 0.50 (Anastasi & Urbina, 1997).
2) Indeks Daya Diskriminasi Aitem
Indeks daya diskriminasi aitem adalah kemampuan
38
kemampuan tinggi dan kelompok yang mempunyai
kemampuan rendah. Ada dua cara menentukan indeks
diskriminasi aitem, yaitu dengan melihat konsistensi antara
aitem dengan tes secara keseluruhan maupun dengan membagi
kelompok subyek yang telah diurutkan dari skor total tertinggi
ke terendah menjadi dua bagian (Allen & Yen, 1979;
Supratiknya, 1998).
Perhitungan indeks daya diskriminasi aitem dengan
melihat keselarasan atau konsistensi antara aitem dengan tes
secara keseluruhan bertujuan untuk memilih aitem-aitem yang
mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes
sebagai keseluruhan (Azwar, 1997). Prosedur pengujian
konsistensi aitem total akan menghasilkan koefisien korelasi
aitem total (rix). Semakin tinggi korelasi positif antara skor
aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi konsistensi antara
aitem tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti semakin
tinggi daya diskriminasinya. Bila koefisien korelasinya rendah
mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan
fungsi ukur tes dan daya diskriminasinya tidak baik.
Perhitungan indeks diskriminasi aitem juga dapat
dilakukan dengan membagi kelompok subyek yang telah
diurutkan dari skor total tertinggi ke terendah menjadi dua
rendah. Bagian pertama merupakan skor total tinggi sehingga
disebut bagian atas (U) dan bagian kedua merupakan bagian
bawah (L). Sampel dalam jumlah besar akan didistribusikan
secara normal dan digunakan dalam tes-tes yang dibakukan
adalah lazim untuk bekerja dengan 27% bagian atas dan 27%
bagian bawah dari distribusi kriteria (Anastasi & Urbina, 1998;
Supratiknya, 1998).
Daya diskriminasi yang baik terdapat pada aitem yang
tidak terlalu mudah dan juga tidak terlalu sukar, yaitu apabila
berkisar antara 0.30 sampai dengan 0.70. Semakin besar indeks
diskriminasi berarti aitem tersebut makin mampu membedakan
antara mereka yang menguasai materi yang diujikan dan
mereka yang tidak menguasai materi yang diujikan (Allen &
40
3) Efektivitas Distraktor
Efektivitas distraktor menunjukkan sejauh mana
distraktor yang merupakan pilihan jawaban selain kunci telah
melakukan fungsi sebagaimana mestinya atau tidak.
Efektivitas distraktor diperiksa untuk melihat apakah semua
distraktor telah dipilih oleh lebih banyak subyek kelompok
rendah, sedangkan subyek kelompok tinggi hanya sedikit yang
memilihnya. Analisa efektivitas distraktor dapat dilihat dengan
dua kriteria berikut:
a) Jumlah pemilih distraktor pada kelompok rendah lebih
banyak daripada kelompok tinggi. Kriteria ini berkaitan
dengan daya diskriminasi aitem.
b) Ada pemilih untuk setiap alternatif jawaban. Distraktor yang
tidak ada pemilihnya dimungkinkan karena distraktor
tersebut tampak jelas sebagai pilihan yang salah (Azwar,
1987; Supratiknya, 1998).
4) Koefisien Alfa
Koefisien Alfa merupakan fungsi langsung dari jumlah
aitem serta besarnya interkorelasi antar-aitem. Hal ini
membuat koefisien alfa dapat dinaikkan dengan menambah
jumlah aitem maupun meningkatkan besarnya interkorelasi.
Fungsi dari koefisien ini adalah untuk menetapkan konsistensi
pengujian koefisien Alfa dilakukan dengan menghitung dan
menggugurkan aitem yang menurunkan koefisien reliabilitas
hingga tidak ada lagi aitem yang menurunkan koefisien
reliabilitas(Prakosa, 1998).
Ada dua syarat dalam menentukan apakah suatu tes tergolong baik
atau tidak, yakni dari segi perancangan dan kualitas psikometrik. Tes
dipandang baik dari segi perancangan apabila tes tersebut memiliki tujuan
pengukuran yang jelas, berisi hal-hal yang khusus dan terstandardisasi,
serta memiliki prosedur skoring yang terstandardisasi. Tes dianggap baik
dari sisi kualitas psikometrik apabila tes tersebut telah lolos dari pengujian
42
D. Norma
1. Pengertian
Hasil dari tes psikologis yang paling mendasar adalah skor
kasar. Skor kasar akan bermakna apabila diubah ke beberapa bentuk
skor yang diperoleh berdasarkan perbandingan standarisasi atau norma
kelompok. Sebagian besar tes psikologis baru dapat diinterpretasi
setelah membandingkan hasil kerja individu dengan norma kelompok.
Ada beberapa macam norma kelompok antara lain peringkat
persentil, age equivalent, grade equivalent, dan skor standar. Namun
secara umum, norma didasarkan pada kesamaan usia, peringkat dan
jenis kelamin (Gregory, 1996).
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa norma merupakan
klasifikasi evaluatif yang relevan dari proses penerjemahan skor hasil
tes yang telah dikonversikan. Setelah melihat penjelasan di atas, maka
penyusunan norma perlu dilakukan dengan hati-hati harus ada
penelitian berkelanjutan guna meninjau apakah norma tersebut masih
2. Pedoman Penyusunan Norma
Ada lima inti pedoman menyusun norma (Conrad dan Schrader
dalam Suryobroto, 1987), yaitu:
a. Karakteristik yang diukur oleh tes hendaklah memungkinkan
penentuan urutan subyek dalam satu continuum dari rendah ke
tinggi.
b. Tes yang digunakan harus mencerminkan definisi operasional
karakteristik yang dipersoalkan, sehingga semua tes yang
dimaksudkan untuk mengukur karakteristik itu akan menghasilkan
urutan individu yang serupa.
c. Sebaran yang dihasilkan oleh tes, dari yang terendah sampai ke yang
tertinggi, hendaknya mengevaluasi karakteristik psikologis yang
sama.
d. Kelompok yang digunakan sebagai dasar penyusunan statistik
deskriptif harus sesuai dengan tes dan tujuan tes.
e. Data hendaknya tersedia untuk kelompok-kelompok yang relevan,
sehingga memungkinkan perbandingan antar individu atau antar
kelompok yang cukup berarti.
3. Sampel normatif
Sampel merupakan basis norma, maka sampel harus dipilih
secara representatif dari populasi dimana tes itu dirancang. Apabila
norma dengan kesalahan sampel besar akan memiliki nilai yang kecil
44
merupakan kebutuhan untuk menetapkan populasi spesifik, dimana
norma-norma itu dapat digeneralisasikan (Anastasi, 1997).
4. Langkah-Langkah Pengembangan Norma
Ada beberapa langkah dalam mengembangkan norma tes
(Supratiknya, 1998):
a. Menyelidiki distribusi skor tes dari kelompok norma atau sampel
standardisasi tertentu.
b. Menyelidiki tendensi sentral dan variabilitas distribusi skor tes
tersebut.
c. Mentranformasikan skor-skor tes dengan teknik tranformasi skor
tertentu dan menyusun norma berdasar pada skor-skor yang telah
ditranformasikan tersebut.
5. Teknik Tranformasi Skor
a. Persentil
Persentil digunakan untuk menunjukkan presentase
orang-orang yang memiliki skor dibawah skor mentah khusus dalam
standarisasi sampel (Gregory, 1996). Persentil dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Keterangan :
Pn = Persentil ke – n
Bb = Batas bawah nyata interval kelas yang
mengandung Pn
N = Jumlah sampel standardisasi
= Frekuensi kumulatif di bawah interval kelas
Fkb = Frekuensi di bawah interval kelas
Fd = Frekuensi dalam interval
i = Lebar interval kelas
b. Skor standar
Skor standar menunjukkan jarak individu dari rata-rata dalam
kaitan dengan simpangan baku dari distribusi. Pemberian nilai
dengan menggunakan skor standar dilakukan dengan menghitung
mean dan deviasi standar distribusi skor (Azwar, 1987; Gregory,
1996).
c. Skor T
Skor T merupakan salah satu skor standar dengan rata-rata 50
dan standar deviasi (SD) 10. Skor ini biasanya digunakan dalam
tes-tes kepribadian (Gregory, 1996).
d. Skala Stanines, Sten dan C
Stanine adalah semacam skor standar yang membagi distribusi
frekuensi skor ke dalam sembilan bagian. Pada skala stanine, seluruh
46
dari skor stanine terletak pada angka 5 dan standar deviasi pada
angka 2. Sedikit berbeda dengan skala stanine, skala sten terdiri dari
10 unit angka dengan lima angka atas dan lima angka bawah. Selain
stanine dan sten, ada satu skala lain bernama skala C yang memiliki
konsep serupa. Skala yang disusun oleh Guilford dan Fruchter ini
terdiri dari 11 unit. Seiring perkembangan zaman, skala sten dan C
sudah jarang digunakan, sedangkan stanine masih digunakan
(Azwar, 1987; Gregory, 1996).
Norma dapat disusun dari sampel yang merepresentasikan populasi
calon pengguna suatu tes. Norma mengindikasikan perbandingan
performansi individu dengan kelompoknya. Maka dari itu, norma harus
terus diperbaharui dan disusun agar suatu tes tetap berdaya guna. Proses
pembaharuan dan penyusunan norma harus didasarkan pada pedoman dan
langkah-langkah yang telah ditetapkan. Adapun beberapa teknik
pengubahan skor yang telah dikenal seperti persentil, skor standar, skor T
E. Kerangka Penelitian
Weschler Adult Intelligence Scale (WAIS) merupakan tes inteligensi
untuk orang dewasa yang berusia 16 hingga 75 tahun. Sebagai tes
inteligensi, WAIS akan menghasilkan angka yang disebut IQ. Ketepatan
diagnosis dan prediksi IQ akan sangat tergantung pada kemampuan WAIS
sebagai alat ukur indikator perilaku yang signifikan dan luas (Anastasi,
1997). Berdasarkan analisis kualitas psikometri, suatu tes dapat
menjalankan fungsi sebagaimana mestinya apabila ia reliabel, valid, dan
memiliki kualitas aitem yang baik (Supratiknya, 1998). Apabila WAIS
tidak memenuhi kualitas psikometri tersebut maka akan berakibat pada
kesalahan prediksi IQ (Murtini, 1990). Kesalahan prediksi IQ akan
memunculkan diagnosa inteligensi yang menyesatkan apabila digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan terhadap masa depan seseorang.
Oleh karena itu, pengujian dari perspektif psikometris mutlak dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin meneliti kualitas psikometrik
dalam tes WAIS melalui kualitas aitem, reliabilitas, validitas dan norma.
Perhitungan kualitas aitem digunakan untuk melihat apakah aitem-aitem
dalam Tes WAIS masih menjalankan fungsinya dengan baik, sedangkan
perhitungan reliabilitas bertujuan untuk melihat keterpercayaan tes
tersebut. Selain itu, perhitungan validitas juga dibutuhkan untuk
menentukan apakah subtes-subtes WAIS ini benar-benar mengukur apa
yang seharusnya diukur, sedangkan perhitungan norma dilakukan untuk
48
Perhitungan kualitas aitem terhadap seluruh subtes WAIS perlu
dilakukan karena penelitian sebelumnya hanya meneliti dua subtes dari
sebelas subtes yang ada. Perhitungan kualitas aitem dilakukan untuk
melihat apakah aitem-aitem dalam tes tersebut masih dapat dipercaya
penggunaannya dan untuk mengetahui apakah aitem-aitem dalam subtes
WAIS terlalu sulit atau terlalu mudah. Selain itu, perhitungan kualitas
aitem juga ingin melihat apakah aitem tersebut menjalankan fungsinya
dengan baik atau tidak.
Perhitungan reliabilitas akan digunakan untuk melihat keterpercayaan
yang dimiliki WAIS adaptasi. Reliabilitas akan dihitung menggunakan
estimasi konsistensi internal dengan teknik koefisien alpha Cronbach. Hal
ini berbeda dengan estimasi-estimasi reliabilitas WAIS yang dilakukan
pada penelitian sebelumnya karena reliabilitas teknik koefisien alpha
Cronbach akan menghasilkan estimasi reliabilitas yang lebih konstan
dibandingkan teknik gasal genap maupun penggal tengah yang hanya
membelah tes menjadi dua bagian. Selain itu, perhitungan reliabilitas
dengan metode tes re-test tidak dilakukan karena peneliti tidak melakukan
tes ulang pada kelompok subyek tersebut.
Perhitungan validitas WAIS dilakukan untuk mengetahui apakah tes
inteligensi ini benar-benar mengukur apa yang seharusnya di ukur. Peneliti
ingin mencoba menggunakan estimasi validitas faktorial dimana hal ini
berbeda penelitian-penelitian sebelumnya yang mengestimasi validitas