• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI (Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI (Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali) SKRIPSI"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS

TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI

(Takhrij HaditsTentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)

SKRIPSI

Oleh :

AMINANTO

21105001

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Aminanto

NIM : 21105001

Jurusan : Syari’ah

Program studi : Ahwal al-Syakhshiyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 21 September 2011 Yang menyatakan,

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

KESULITAN SEBESAR APA PUN AKAN TERASA WAJAR bagi jiwa yang tetap melebihkan syukur daripada mengeluh.

PERSEMBAHAN

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Tiada sepatah kata pun yang pantas terucap selainalhamdulillahi rabbil

‘alamin, karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Telaah Terhadap Hadis-hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali (Takhrij Haditstentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syariah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan pengertian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si., selaku Kaprodi Ahwal Al-Syakhshiyyah yang dengan dukungan dan dorongan serta motivasi yang diberikannya kepada penulis untuk menyelesaikan studi S1, sehingga penulis mampu menyalakan api semangatnya kembali setelah redup beberapa waktu yang cukup lama karena sesuatu hal yang menghambat dalam penyelesaian studi penulis. 3. Ahmad Mutamassikin, S.Pd.I., seorang sahabat yang baik yang dengan

keikhlasan hatinya telah banyak membantu dalam pengetikan naskah skripsi ini.

(8)

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri, baik keterbatasan dalam hal ilmu pengetahuan, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan sarana prasarana. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Cukilan, 24 November 2011 Penulis,

(9)
(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah segala ketentuan dan kepastian mengenai segala yang terjadi di sekitar kita berdasarkan petunjuk Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Petunjuk inilah yang menjadi pedoman setiap mukmin yang muslim dalam upaya pengabdiannya kepada Allah SWT.

Petunjuk yang menjadi pedoman itu tidak memuat ketentuan-ketentuan segala aspek kehidupan. Ketentuan itu sebagian besar hanya memuat petunjuk global. Ketentuan-ketentuan yang tidak termuat dalam petunjuk Allah itu selanjutnya dijelaskan di dalam as-Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan yang pada hakekatnya merupakan petunjuk Allah juga. Selanjutnya sebagai bukti sifat hukum Islam yang dinamis (selalu bergerak dan berkembang) hukum Islam dikembangkan dalam bentuk Ijtihad, Ijma’, dan Qiyas dan lain-lain yang semuanya menuntut para para ulama mujtahid senantiasa memanfaatkan akal pikirannya hingga pendapat yang dihasilkannya menjadi sumber hukum pelengkap.

(12)

menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu, as-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an yang tidak atau kurang jelas serta penentu dari beberapa hukum yang tidak terdapat hukumnya di dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, apapun yang diberikan, dicontohkan, ataupun yang diucapkan oleh Rasulullah SAW harus diakui sebagai hukum Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 dan surat

an-Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa

yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.



Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah terkandung dalam Qur’an. Sunnah ada kalanya menjelaskan hhal yang belum jelas dalam al-Qur’an, membatasi hukum yang datang secara muthlaq, serta memberikan ketentuan khusus terhadap hukum yang datang secara umum. Demikian pula as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al-Qur’an. Oleh karena itu kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus didahulukan daripada yang menjelaskan.

(13)

dihadapanmu suatu persoalan? Mu’adz menjawab; aku akan memutuskan dengan Al-Qur’an. Rasulullah SAW berkata; jika engkau tidak dapatkan dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah. Nabi berkata; jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab; saya berijtihad dengan pikiran saya. Kemudian Rasulullah memukul dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan sikap yang disetujui Rasul-Nya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Begitulah kedudukan as-Sunnah dalam sistematika sumber hukum Islam. Namun demikian yang menjadi persoalan yang tidak asing lagi bagi umat Islam pada umumnya adalah mengenai shahih atau tidaknya suatu hadis. Dari sekian banyak hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tidak semuanya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum karena hanyalah hadis-hadis yang shahih saja yang boleh dijadikan pedoman atau dasar hukum suatu perkara.

Kadang kala ada dua atau bahkan beberapa hadits yang berbicara mengenai suatu perkara yang sama, namun dalam penetapan hukumnya hadits-hadits tersebut saling bertentangan. Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits yang mewajibkan keberadaannya, namun ada pula beberapa hadits yang membolehkan akad nikah tanpa wali.

(14)

terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan dianggap tidak sah. Itulah hukum yang berlaku dalam masyarakat kita bahkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini terbukti dengan adanya beberapa putusan Pengadilan Agama tentang Fasid Nikah karena tidak adanya wali (Ramulyo,2000:10).

Berawal dari membaca bukunya A.Hassan yang berjudul Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, penulis merasa terkejut sekali ketika mengetahui ada hadis-hadis yang menjadi dalil tentang kebolehan nikah tanpa wali. Menurut beliau, seorang wanita meskipun masih gadis berhak untuk menikahkan dirinya sendiri, dalam artian boleh melakukan ijab qabul sendiri, maupun ia dalam posisi menjadi wakil untuk orang lain.

(15)

Sebuah hadits yang sangat familier di kalangan masyarakat Muslim yang menjadi landasan bahwa nikah tidak sah tanpa wali salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

adil. Jika (wali-wali itu) berbantah, maka Sulthonlah yang menjadi

wali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Daruquthni dan Baihaqi)

Redaksi hadits tersebut di atas tidak menjelaskan bagi siapakah hukum itu diberlakukan, untuk perempuan janda ataukah perempuan yang masih gadis (bikr)? Dengan tidak adanya penjelasan, maka hadits tersebut sering digunakan sebagai landasan pendapat yang mewajibkan keberadaan wali baik bagi perempuan yang masih perawan (bikr)ataupun perempuan janda.

Pendapat tersebut dibantah oleh kelompok yang mengatakan bahwa wali itu wajib hukumnya dan menjadi syarat sah nikah hanya berlaku untuk perempuan yang masih perawan bukan perempuan janda. Hal itu berlandaskan pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 232:





(16)

orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.

Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa wanita janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Hak tersebut berupa hak untuk menentukan suami pilihannya dan juga hak untuk mengawinkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya tersebut. Adapun bunyi redaksi hadits yang digunakan sebagai dalilnya adalah sebagai berikut :

ﺎﮭﺗﺎﻤﺻ ﺎﮭﻧذاو ﺎﮭﺴﻔﻧ ﻲﻓ نذﺄﺘﺴﺗ ﺮﻜﺒﻟاو ﺎﮭﯿﻟو ﻦﻣ ﺎﮭﺴﻔﺘﺑ ﻖﺣا ﺐﯿﺜﻟا

Artinya: Perempuan yang janda itu lebih berhak (mengawinkan) dirinya daripada walinya: dan anak perawan itu dimintai idzinnya pada (mengawinkan) dirinya: dan idzinnya itu ialah diamnya. (H.S.R Muslim)

Ketika kita mendengar sebuah pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita sekalipun ia masih gadis atau perawan lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sehingga ia pun berhak menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya, apa reaksi yang muncul pada diri kita. Sudah barang tentu hal itu menjadi sesuatu yang aneh dan tentunya kita menolak pendapat tersebut sekuat tenaga dengan berdalil pada hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah wanita zina. Adapun bunyi redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut :

ةﺮﯾﺮھ ﻮﺑا لﺎﻗ

Artinya: “Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda tidak boleh

seorang wanita mengawinkan wanita lain dan tidak boleh seorang wanita mengawinkan dirinya sendiri karena hanyalah wanita zina

(17)

Namun bantahan kita pun ditentang oleh mereka yang mengatakan bahwa seorang perempuan meskipun perawan berhak mengawinkan dirinya dengan lelaki pilihannya sendiri tanpa perantaraan wali dengan berdalil pada hadits Nabi yang berbunyi :

Artinya: “Abu Buraidah berkata:” Telah datang seorang gadis kepada Rasulullah SAW maka dia berkata: “Sesungguhnya ayahku telah

mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya agar supaya

hilang kehinaannya sebab saya”. Maka Rasulullah SAW

menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis tadi. Dia

berkata: “Aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapi

aku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa

apapun bagi para bapak dari perkara ini.”

Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, yang masing-masing mempunyai dasar atau dalil, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar di benak kita mengenai pendapat manakah yang sesungguhnya benar dan pendapat manakah yang harus kita gunakan.

Perbedaan pendapat tersebut tidak seharusnya menjadikan umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus tetap bersatu meskipun berbeda pendapat satu sama lainnya dalam masalah furu’iyah, selama aqidah tetap satu. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron: 103

(18)

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Kita jadikan perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah tersebut sebagai rahmat karena hal itu berarti memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk menganut salah satu darinya sesuai dengan keyakinan dan kemantapan hati. Masing-masing mempunyai dasar/landasan yang digali dari sumber hukum Islam itu sendiri. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita mau dan mampu menggali hukum (istinbath hukum)langsung dari sumbernya, tidak hanyataqlidbelaka.

(19)

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, maka selanjutnya akan dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan? 2. Kitab-kitab hadits apa saja yang membicarakan tentang keabsahan nikah

tanpa wali?

3. Bagaimana telaahsanadhadits tentang keabsahan nikah tanpa wali? 4. Bagaimana telaahmatanhadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali adalah sebagai berikut :

1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yakni UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Mengetahui serta mengkaji kitab-kitab hadits yang memuat hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali.

3. Mempelajari serta memahami sebab munculnya hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali, kapan dan di manakah hadits tersebut muncul, bagaimanakah situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu sehingga berlaku hukum perkawinan yang sah tanpa wali.

(20)

kesimpulannya dapat atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pedoman hukum.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pengayaan pemahaman tentang studisanadhadits

2. Wawasan yang lebih luas kepada umat Islam mengenaimatanhadits. 3. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum

munakahat.

E. Metode Penelitian

Ibrahim (2005:25-26) menjelaskan bahwa penggunaan metode merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang berlaku agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan terkait karena memiliki nilai ilmiah di bidangnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

(21)

menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Menurut Zed (2004:1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya”.

2. Pendekatan

Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum, dan sejarah munculnya hukum (Soekanto&Mamudji,1995:13-14). Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis menelaah kitab-kitab hadits sebagai sumber hukum Islam yang berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan keabsahan nikah tanpa wali, juga mengenai sejarah munculnya hadits tersebut.

(22)

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitan ini terdapat dua macam jenis data, yaitu:

a. Data Primer, ialah data yang diperoleh dari kitab-kitab hadits yang memuat masalah keabsahan nikah tanpa wali.

b. Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer tesebut (Soemitro,1990:53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku dan informasi-informasi dari berbagai media mengenai wali nikah, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, dan KHI.

4. Langkah-Langkah Penelitian

Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian takhrij haditsini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan hadits yang digunakan sebagai landasan/dalil tentang keabsahan nikah tanpa wali.

2. Menelusuri hadits tersebut dengan CD Maktabah Syamilah

3. Mengecek kembali hadits dalam kitab aslinya, jika keterangan yang ada pada CD Maktabah Syamilah tidak cocok, maka dicari potongan hadits tersebut di dalam kamus hadits Mu’jam Mufahrus li alfadh al-hadits an-Nabawi karya Wensic dan Muhammad Fuad Abdul Baqi. 4. Petunjuk dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di dalam kitab

(23)

5. Setelah ditemukan hadits yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan sanad.

6. Meneliti atau menelaah otentitas hadits di dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnyamuttashil(bersambung) ataukahmunqa thi’(terputus).

7. Menentukan kualitas para perawi hadits berdasarkan telaah sanad. 8. Menelaah matan hadits dari semua jalur periwayatan yang ada untuk

mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam penulisan matan hadits.

9. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadits untuk menentukan bisa atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pegangan hukum.

10. Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadits tersebut, agar terdapat kepastian hukum mengenai masalah keabsahan nikah tanpa wali.

5. Analisa Data.

(24)

periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya. Selain itu penulis juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya hadits tersebut, untuk mendapatkan kepastian hukum apakah boleh atau tidak pelaksanaan nikah tanpa wali. Adapun prosedur penelitian yang penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian tersebut di atas.

Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan dengan menggunakan metode analisa takhrij hadits. Sehingga penulis harus menelaah hadits terkait di dalam kitab-kitab hadits yang telah diakui oleh dunia Islam (mu’tabaroh). Penulis juga memaparkan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu wali nikah menurut fiqh dan perundang-undangan seperti UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai landasan dasar hukum Islam di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam khususnya mengenai penerapan hukum perwalian dalam pernikahan hingga menimbulkan masalah yang kontroversial.

F. Penegasan Istilah

(25)

1. Takhrij hadits

Kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata kerja kharraja-yukharriju-takhrij yang berarti mengeluarkan. Dengan demikian, istilah takhrij hadits berarti mengeluarkan hadits dalam arti menelusuri hadits-hadits dalam kitab-kitab hadits-hadits yang membicarakan masalah terkait. 2. Wali

Dalam Kamus Arab-Indonesia kata wali merupakan bentukmufrad (kata tunggal) dari kata jama’ auliya’ yang berarti: yang kasih, kawan, sahabat, yang menolong, yang berbuat kebaikan (Yunus,1990:507). Dengan demikian istilah wali nikah diberikan pada orang yang berbuat kebaikan karena mau mengasihi dan menolong seseorang, yakni menikahkannya. Selain itu, istilah wali nikah lazimnya diartikan sebagai orang yang berhak menikahkan. Pengartian semacam itu tidak sesuai dengan arti kata sebenarnya.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika dimaksud adalah sebagai berikut :

(26)

Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis yang meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

Bab III pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari penelitian hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Bab ini berisi tentang rangkaian sanad dan tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, serta kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga ini.

Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al-wurud, kandungan hukum, dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab keempat.

(27)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian kajian pustaka ini, penulis akan membahas tentang penelitian takhrij hadits dan ilmu-ilmu pendukungnya, serta membahas pula mengenai masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

A. StudiTakhrij Hadits

Jumhur ulama’ ahli hadis mengklasifikasikan hadis menjadi tiga kategori, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian hadis menjadi tiga macam ini dikarenakan pada dasarnya hadis itu adakalanyamaqbul(diterima) dan adakalanya mardud (ditolak). Hadis yang maqbul ada kalanya diterima karena memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna, dan ada kalanya diterima karena memenuhi syarat tetapi kurang sempurna. Hadis maqbulyang memenuhi syarat untuk diterima secara sempurna disebut hadis shahih, hadis maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima tetapi kurang sempurna disebut hadis hasan, sedangkan hadismardud(ditolak) adalah hadis dha’if (Al-Maliki, 2006:50).

(28)

Ulama’ mutaakhirin membagi ilmu hadis menjadi dua bagian, yaitu ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya (Suparta, 2002:24). Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah bagaimana cara menerima hadis, menyampaikannya kepada orang lain, dan memindahkan atau membukukannya. Adapun fungsi atau menfaat mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi SAW.

Sedangkan yang dimaksud ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi. Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut ilmu ushul al-hadits. Obyek pembahasan ilmu hadis dirayah adalah keadaan para perawi dan keadaan marwinya (yang diriwayatkan).

(29)

Dengan melihat uraian ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, tergambarlah adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadis tentu ada kaidah-kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya kepada pihak lain. Sejalan dengan perkembangan ilmu Hadis Riwayah, ilmu Hadis Dirayah juga berkembang menuju kesempurnaanya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin ilmu Hadis Riwayah berdiri sendiri tanpa ilmu Hadis Dirayah, begitu pula sebaliknya.

Dari ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, pada perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadis lainnya, seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh ar-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud al hadits, dan ilmu mukhtalif al-hadits.

Selanjutnya penulis akan membahas cabang-cabang ilmu hadis tersebut dalam kajian sanad dan matan hadis yang keduanya merupakan unsur pokok dari hadis itu sendiri.

1. Studi Sanad

Kata Sanad berasal dari bahasa arab yang berarti sandaran atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian karena hadits bersandar kepada sanad. Secara istilah sanad berarti silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits yang menyampaikannya kepada matan hadits

(30)

memenuhi kriteria hadits shahih, yaitu bersambung sanadnya, dan diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad. Jika sanadnya tidak bersambung atau ada salah satu perawi yang tidak adil dan dhabit maka suatu hadis tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.

Dalam studi sanad ini, ilmu yang dibutuhkan adalah Ilmu Rijal Al Hadits. Ilmu Rijal Al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis. Dalam perkembangannya, ilmu ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, ilmu al-jarh wa al-ta’dil dan ilmu tarikh ar- ruwat.

a. IlmuAl-Jarh wa Al-Ta’dil

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu untuk mengetahui kapasitas para perawi adil atau tidakkah, dhabit atau tidakkah, dan cacat atau tidakkah dalam penilaian para ulama ahli hadis.

As-Shiddiqy (1993:358) mendefinisikan al-jarh wa al-ta’dil

sebagai berikut:

ىواﺮﻟا ﮫﺑ بﺎﻌﯾ ﺎﻣ ﺮﻛذ ﻮھ حﺮﺠﻟا

Artinya :“Al-jarh ialah menyebutkan sesuatu yang dengan karenanya perawi tercatat (menampakkan keaiban yang dengan

keaiban itu tertolaklah riwayat)”.

راﺪﻣ ﻰھ ﻰﺘﻟا ﮫﺘﻟاﺪﻋ ﺐﺣﻮﺗ تﺎﻔﺼﺑ ىواﺮﻟا ﻒﺻو ﻮھ ﻞﯾﺪﻌﺘﻟا

(31)

Artinya : “At-ta’dil ialah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adil, yang

menjadi sumbu penerimaan riwayatnya”.

Menurut definisi para ulama’ ahli hadis ilmu Ilmu al-jarh wa al-ta’dildapat dirumuskan sebagai berikut:

ﻢﮭﯿﻛﺰﯾ وا ﻢﮭﯿﻨﺜﯾ ﺎﻤﻣ ﻢﮭﻧﺄﺷ ﻰﻓ درو ﺎﻣ ﺚﯿﺣ ﻦﻣ ةاوﺮﻟا ﻦﻋ ﺚﺤﺒﯾ ﻢﻠ

ﺔ ﺻ ﻮ ﺼ ﺨ ﻣ ظ ﺎ ﻔ ﻟ ﺄ ﺑ

Artinya: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan ataulafadz tertentu”.

Menurut Zuhri (1997:124), ungkapan atau lafadz yang biasa digunakan untu menilai adil (ta’dil) terhadap perawi sesuai tingkatannya adalah sebagai berikut :

1.

س ﺎ ﻨ ﻟ ا ﻖ ﺛ و ا ن ﻼ ﻓ

( polan orang paling terpercaya )

2.

ﺔ ﻘ ﺛ ﺔ ﻘ ﺛ ن ﻼ ﻓ

( polan bisa dipercaya, bisa dipercaya )

3.

ﺔ ﺠ ﺣ و أ ﺔ ﻘ ﺛ ن ﻼ ﻓ

( polan bisa dipercaya atau polan hujjah )

4.

ﮫﺑ سﺄﺑ ﻻ وأ قوﺪﺻ نﻼﻓ

( poaln jujur, polan tidak

mengapa )

(32)

Sedangkan kata yang biasa digunakan untuk mencela, mencacat, atau men-jarh perawi, menurut Zuhri (1997:125) adalah sebagai berikut :

1.

س ﺎ ﻨ ﻟ ا ب ﺬ ﻛ أ ن ﻼ ﻓ

( polan orang paling dusta )

2.

بﺬﻜﻟﺎﺑ ﻢﮭﺘﻣ نﻼﻓ

( polan tertuduh dusta )

3.

اﺪﺟ ﻒﯿﻌﺿ نﻼﻓ

( polan sangat lemah periwayatannya )

4.

ﻒﯿﻌﺿ نﻼﻓ

( poaln lemah periwayatannya)

5.

ﺔﺠﺤﺑ ﺲﯿﻟ نﻼﻓ

( polan bukan hujjah )

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini sangat penting untuk menetapkan atau memutuskan suatu hadis diterima(maqbul)atau ditolak(mardud). Apabila seorang perawi dipuji, maka hadis yang diriwayatkannya dapat diterima dan jika seorang perawi dicela atau dicacat maka hadis yang diriwayatkannya harus ditolak.

(33)

b. IlmuTarikh Al-Ruwat

Ilmu tarikh al-ruwat adalah ilmu untuk mengetahui biodata atau identitas para perawi yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadis. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui identitas diri para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa atau waktu mereka menerima hadits dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, dan lain sebagainya. Ilmu ini memfokuskan pembahasan dari sudut sejarah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.

Para ulama’ muhadditsin menggabungkan ilmu thabaqot al-ruwat ke dalam bagian dari ilmu tarikh al-ruwat. Thabaqah adalah suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan dalam umur dan isnadnya, yakni penerimaan hadis dari para gurunya.

Para perawi hadis berdasarkan thabaqahnya dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu para sahabat Nabi merupakan thabaqah rawi yang pertama,tabi’inmenempati thabaqah kedua, atba’ al-tabi’inthabaqah ketiga, atba’ atba’ al tabi’in thabaqah keempat, atba’ atba’ atba’ al tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini merupakan thabaqah para rawi sampai akhir masa periwayatan (Nuruddin, 1994:130)

(34)

Ufair ibn Ma’dan Al-Killa’iy bercerita: “Umar ibn Musa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid dan seraya ia berkata: ‘telah bercerita kepada kami guru kamu yang salih’ ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya, ‘siapa yang kamu maksud guru kami yang salih iu? Sebutlah namanya agar kami mengetahuinya!’ jawabnya: ‘yaitu Khalid ibn Ma’dan’, kemudian bertanya lagi ‘tahun berapa kamu bertemu dia?’ jawabnya ‘aku bertemu tahun 108 H’ ‘dimana kamu bertemu?’ tanyaku lagi. ‘aku bertemu dia pada waktu perang Armenia’ jawabnya. Aku membentak : takutlah kepada allah hai saudara, jangan engaku berdusta! Bukankah Khalid ibn Ma’dan itu wafat tahun 104 H? sedangkan kamu mengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahun setelah ia wafat dan dia juga tidak pernah mengikuti perang Armenia sama sekali, dia hanya ikut perang Romawi saja” Dengan demikian mengetahui tanggal lahir dan wafat para perawi adalah hal yang sangat penting untuk menolak pengakuan seorang perawi yang mengaku pernah bertemu dengannya.

2. Studi Matan

Matan hadis ialah materi atau lafadz hadis itu sendiri. Menurut Suparta (2002:47) yang dikutip dari bukunya Ajjaj Al-Khathib, definisi matan adalah:

ﮫﯿﻧﺎﻌﻣ ﺎﮭﺑ مﻮﻘﺘﺗ ﻰﺘﻟا ﺚﯾﺪﺤﻟا ظﺎﻔﻟا

Artinya: “Lafadz-lafadz hadis yang di dalamnya mengandung

makna-makna tertentu”.

(35)

dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan nash al quran yang telah muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa lalu (ulama’ salaf). Sedangkan menurut Shalah Al-Din Al-Dlabi bahwa kriteria matan hadis yang shahih adalah (1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis yang berkualitas lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat; (4) susunan pernyataannya menunjukkan sabda Nabi (Ismail, 1995:79).

Dalam studi matan, ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang peneliti adalah ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu asbab al-wurud, ilmu gharib al-hadits, ilmuan-nasikh wa al-mansukh, ilmuat-tashif wa at-tahrifdan ilmu mukhtalif al-hadits. Dari beberapa ilmu di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Ilmu‘Ilal Al-Hadits

Suparta (2002:36) mendeviniskan ilmu ‘ilal al-hadits sebagai berikut:

Ilmu‘ilal al-haditsadalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, seperti mengatakan muttasil pada hadits yang muqoti’, menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkan sebuah hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang serupa dengan itu.

(36)

b. IlmuAsbab Al-Wurud

Ilmuasbab al-wurudadalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu (Suparta, 2002:39).

Urgensi asbab al-wurud terhadap hadis adalah sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis itu sendiri. Dengan demikian, kandungan hukum suatu hadis dalam penetapan hukumnya haruslah tepat dan sesuai dengan ‘illat atau sebab hukum tersebut. Dengan memahami asbab al-wurud, dapat dengan mudah memahami isi kandungan sebuah hadis. Namun demikian, tidak semua hadis memiliki asbab al-wurud seperti halnya ayat-ayat al-Qur’an tidak semuanya mempunyai asbab nuzulnya.

c. IlmuGharib Al-Hadits

Ilmu gharib al-hadits ialah ilmu yang mempelajari ungkapan lafadz-lafadz yang sulit dan rumit yang terdapat dalam matan hadis karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan.

(37)

d. IlmuAn-Nasikh Wa Al-Mansukh

Adapun yang dimaksud ilmu nasikh wa al-mansukh dalam hadis ialah ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang berlawanan tersebut pada akhirnya saling menghapuskan, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dan datang kemudian disebut nasikh.

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini, bisa melalui beberapa cara:

1. Dengan mempelajari sejarah munculnya hadis atau asbab al-wurudnya

2. Dengan penjelasan nash atau syari’ sendiri, dalam hal ini Rasulullah S.A.W

3. Dengan penjelasan dari para sahabat. e. IlmuAl-Tashhif Wa Al-Tahrif

Ialah ilmu yang berusaha menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titik ataupun syakalnya (mushahhaf) dan bentuk-bentuknya (muharraf). Ilmu ini dimunculkan karena dalam hafalan para ulama’ terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari para gurunya.

f. IlmuMukhtalif Al-Hadits

(38)

dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid dengan kemutlakannya, mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut.

Dengan melihat definisi di atas, ruang gerak ilmu muktalif al-hadits adalah berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadis yang bertentangan. Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk mempertemukan hadis-hadis yang bertentangan maknanya tersebut adakalanya mentaqyid kemuthalakan hadis, mentakhsis keumuman hadis, dan ada kalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau lebih banyak datangnya.

B. Wali nikah dalam Fiqh dan Perundang-Undangan

1. Konsep Wali Nikah Dalam Fiqh

Fiqh merupakan kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang pembahasannya yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan kehidupan umat manusia.

(39)

pemkiran madzhab, meskipun ada sebagian dari mereka yang mengaku tidak bermadzhab, seperti Muhammadiyah (Wahid dan Rumadi, 2001:129).

Secara garis besar, fiqh terbagi menjadi tiga bagian, yaitu fiqh ibadat, fiqh mu’amalat, dan fiqh ‘uqubat. Fiqh ibadat mengatur masalah ibadah seperti thaharah (bersuci), shalat, puasa, haji. Fiqh mu’amalat berisi tentang masalah interaksi atau hubungan antar sesama manusia, seperti jual beli, gadai, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perkawinan, perceraian, dan lain sebagainya. Fiqh uqubat mengatur masalah tindak pidana dalam Islam, seperti pencurian, perampokan, perzinaan, pembunuhan, dan lain sebagainnya. Dalam hal ini, wali nikah merupakan bagian dari fiqh mu’amalah yang dibahas dalam masalah perkawinan (munakahat).

Mughniyah (1991:53) menjelaskan bahwa perwalian adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i yang diberikan kepada seseorang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang ada dalam kewenangan atau kekuasaannya, demi kemaslahatannya sendiri. Dalam hal perkawinan, wali adalah orang yang berwenang atau berhak untuk menikahkan.

(40)

maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan akad nikah tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi ketika kita menelaah kitab-kitab fiqh Syafi’iyah baik kitab-kitab klasik maupun yang kontemporer sekalipun. Dalam kitab-kitab Syafi’iyah tersebut ketika kita membaca masalah perkawinan (bab an-nikah)maka sudah pasti akan menemukan keterangan sebagai berikut:

ﺔ ﺴ ﻤ ﺧ ح ﺎ ﻜ ﻨ ﻟ ا ن ﺎ ﻛ ر ا ﺎ ﻣ ا و

:

ﺔﻐﯿﺻو ناﺪھ ﺎﺷو ﻰﻟوو ﺔﺟوزو جوز

Artinya :“adapun rukun nikah itu ada lima: mempelai laki-laki, mempelai

perempuan, wali, dua orang saksi, sighat (ijab qobul)”.

Akan tetapi ketika kita menelaah dan mengkaji fiqh madzhab yang lainya, seperti fiqh madzhab Maliki, fiqh madzhab Hanafi, fiqh madzhab Hambali, fiqh madzab Syi’ah Imamiyah, maka kita akan menemukan perbedaan pendapat mengenai masalah wali nikah.

(41)

membutuhkan persetujuan darinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sayid Sabiq (1981:11) menyatakan sebagai berikut.

Para Ulama’ berpendapat: perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya, karena itu, ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam perkawinan ini. Maka dari itu, ia tidak boleh mengurus langsung akad nikahnya, tetapi hendaknya diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini dapat tercapai dengan sempurna.

Sedangkan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa wanita yang sudah baligh dan berakal sehat mempunyai hak mutlak atas dirinya. Dia berhak memilih dan menentukan calon suaminya serta boleh melakukan akad nikah sendiri atau menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya, baik dia masih gadis ataupun janda. Tidak ada seorangpun yang berhak menentang dirinya dan menghalangi keinginannya, dengan syarat lelaki yang dipilihnya itu sepadan (kafaah) dengannya, dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang serupa, sebanding atau senilai dengan mahar yang diterima, oleh saudara perempuan dan sanak kerabat si wanita yang sudah pernah menikah Jika ia memilih pasangan yang tidak sepadan, atau pasangannya tersebut tidak mampu memberikan mahar mitsil maka wali berhak menentangnya dan mengajukan permohonan kepada hakim untuk membatalkan perkawinannya tersebut.

(42)

bebas melakukan segala tindakan hukum termasuk melakukan ijab qabul dalam pernikahan, baik ia masih perawan maupun ia janda. Dia berhak menentukan pasangan hidupnya (suami) tanpa ada syarat harus sepadan dan maharnya tidak harus mahar mitsil. Dia juga boleh melakukan akad nikah sendiri meskipun tanpa persetujuan walinya (Mughniyah, 1991:54).

Pendapat ulama’ Imamiyah tersebut menurut akal sangat logis karena Islam sendiri mengajarkan persamaan derajat atau kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan. Semua manusia baik laki-laki atau perempuan berkedudukan sama dalam hukum dan bebas mengurus semua urusan kehidupannya. Tidak ada yang membedakannya kecuali kadar ketaqwaan mereka pada Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Mengena”.

(43)

seseorang yang diurus oleh wali. Seorang anak selama ia belum baligh menjadi tanggung jawab orang tua atau walinya. Setelah ia baligh, hilanglah kewajiban dan kekuasaan wali terhadapnya. Ia telah dibebani oleh hukum yang berlaku (mukallaf) dan ia berhak menentukan kehidupannya sendiri. Kalau ia ada pusaka atau harta dari orang tua, wajib diserahkan kepadanya. Harta tersebut boleh ia urus menurut kemauannya dengan tidak ada teguran dari siapapun kecuali kalau ia boros atau menyalah gunakan hartanya. Jadi setiap orang yang sudah aqil baligh mempunyai kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri. Hal ini telah diakui dan dapat diterima oleh akal, agama dan adat (A.Hassan, 1998:252).

2. Konsep Wali Nikah dalam Perundang-Undangan a. Konsep Wali Nikah dalam UUP

(44)

yang harus dipenuhi sebelum melakukan perkawinan. Misalnya, ketidak adaan buku nikah mempelai wanita akan semakin mempersulit dan memperlambat pelaksanaan perkawinan karena orang yang bersangkutan harus bersusah payah mencari surat-surat keterangan mengenai masalah tersebut dan tentunya dikenai biaya administrasi atau denda. Hal ini berdasarkan pasal 2 (2) UUP: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.

UUP hanya menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan bunyi pasal 2 (1) UUP: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan-nya itu”. Dengan kata lain, tidak ada ikatan perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama, maka perkawinan tersebut adalah sah menurut agama dan perundang-undangan.

Adapun tujuan UUP sebagai hukum positif atau perundang-undangan yang berlaku, salah satunya adalah penertiban perkawinan untuk menjamin tercapainya cita-cita luhur dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(45)

tersebut menurut Arso Sastro Atmodjo dan Wasit Aulawi (1975:31) adalah; (1) asas sukarela, (2) partisipasi keluarga, (3) perceraian dipersulit, (4) poligami dibatasi secara ketat, (5) kematangan calon mempelai, (6) memperbaiki derajat kaum wanita.

Dengan demikian, masalah wali nikah bukan masalah yang menjadi pembahasan dalam perundang-undangan, dalam hal ini UUP dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974.

b. Wali Nikah dalam KHI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kumpulan hukum Islam yang bersifat legal-formal yang telah disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, belum ada seorang pun yang meragukan ataupun yang menyangkal mengenai substansi KHI, kecuali kritik polemis khilafiyah. Semua orang sepakat bahwa substansi KHI adalah Hukum Islam (Fiqh) karena KHI dikemas dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, wajar bila KHI disebut sebagai fiqh dalam bahasa undang-undang ataupun KHI sebagai fiqh Islam berwawasan pancasila (Wahid dan Rumadi, 2001:196).

(46)

buku-buku referensinya adalah Syafi’iyah (Wahid dan Rumadi, 2001:134).

Mengenai masalah wali nikah, secara terperinci diatur dalam bab IV bagian ketiga KHI. Sebelumnya pada bab IV bagian kesatu KHI tentang rukun nikah, pasal 14 menyebutkan secara jelas bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. calon suami, b. calon istri, c. wali nikah, d. dua orang saksi, e. ijab qabul. Selanjutnya pasal 19 menyebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Dengan demikian, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa wali nikah menurut KHI merupakan salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi. Sebuah akad pernikahan yang tanpa mengunakan wali, tidaklah sah akad tersebut dan pernikahan tersebut harus dibatalkan. Inilah hukum wali nikah yang berlaku di dalam negara kita, khususnya bagi umat Islam di Indonesia.

(47)

BAB III

PELAKSANAN TAKHRIJ HADITS

A. Rangkaian Sanad dan Tabaqat

Setelah penulis melacak hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali dengan menggunakan CD Maktabah Syamilahdan mencari dalam kitab-kitab aslinya, hadis tersebut terdapat dalam empat jalur periwayatan, yaitu :

1. Sunan An-Nasa’i juz 6 halaman 86

ﻦﺑ ﺲﻤﮭﻛ ﺎﻨﺛﺪﺣ لﺎﻗ باﺮﻏ ﻦﺑ ﻲﻠﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ لﺎﻗ بﻮﯾأ ﻦﺑ دﺎﯾز ﺎﻧﺮﺒﺧأ

2. Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 602

(48)

3. Musnad Ahmad juz 6 halaman 136

4. Sunan Kubro Li Al-Baihaqi (CD Maktabah Syamilah).

(49)

B. Kajian Kuantitas Sanad

(50)
(51)

C. Kajian Kualitas Sanad

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang biografi singkat para perawi hadis tersebut di atas, mengenai nama lengkap, guru dan murid, dan komentar ulama’muhadditsinmengenai pribadi para perawi tersebut. Adapun tolok ukur atau patokan yang digunakan untuk menilai kualitas para perawi adalah kitab rijal al-hadits, salah satunya ialah kitab Tahdzib at-Tahdzib. Biografi dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Sayyidah ‘Aisyah r.a

Beliau adalah istri Nabi SAW, putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq At-Taimiyah. Namakunyah-nya adalah Ummu Abdillah Al-Faqihah.

Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, Abu Bakar (ayahnya), Umar, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Sa’d bin Abi Waqas, dan Fatimah Az-Zahra’.

Adapun orang-orang yang mengambil hadis darinya bukan hanya dari golongan tabi’in, tetapi juga dari golongan sahabat, diantaranya Ummu Kultsum binti Abu Bakar (saudara perempuannya), ‘Auf bin Harits bin Thufail (saudara satu susuan), Qasim dan Abdillah bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (keponakannya), Hafshah dan Asma’ binti Yazid, Rabi’ah bin ‘Amr, dan Ibnu Abbas (Al-Asqalany, 1984:462).

(52)

bin Syaqiq, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, ‘Alqamah bin Waqas, Ali bin Husain bin Ali, Imran bin Haththan, Abu Bardah bin Abi Musa, Abu Al-Jauza’, Abu Zubair Al-Makki, dll.

Asy-syi’bi berkata, “ketika Masruq meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah, dia berkata, hadatsani ash-shiddiqah binti ash-shiddiq habibah

habibillah…”. Masruq menilai bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang paling cerdas, paling menguasai masalahfaraidl.Hisyam bin Urwah berpendapat bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang sangat cerdas dan ahli syair. Tidak ada sahabat yang sepandai dan secerdas ‘Aisyah dalam hal mengetahui diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an, hal-hal yang diwajibkan dan disunnahkan, peristiwa-peristiwa penting, silsilah keturunan, dan masih banyak hal lainnya. Selanjutnya Az-Zuhri berkata, “seandainya ilmu ‘Aisyah dibandingkan dengan ilmu semua istri Nabi SAW dan semua wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih unggul dari ilmu mereka semuanya”. Ketika Rasulullah SAW wafat, ‘Aisyah berusia 18 tahun. Beliau wafat pada bulan Ramadlan tahun 58 H (Al-Asqalany, 1984:463).

2. Buraidah

Nama lengkapnya : Buraidah bin Hushaib bin Abdillah bin Harits Al-Aslami. Nama kunyahnya adalah Abu Abdillah.

(53)

kota Makkah (fathu Makkah). Beliau tinggal di Madinah, kemudian pindah ke Bashrah, dan pada akhirnya pindah ke Marwa.

Beliau meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Adapun murid-muridnya, diantaranya ialah kedua putranya sendiri, yaitu Abdullah dan Sulaiman, Abdullah bin Aus, Malikh bin Usamah, dan Asy-Syi’bi. Beliau wafat ketika Khalifah Yazid bin Muawiyah berkuasa, yaitu pada tahun 63 H (Al-Asqalany, 1984:379).

3. Abdullah bin Buraidah

Nama lengkapnya : Abdullah bin Buraidah bin Hushaib Al-Aslami. Nama kunyah-nya ialah Abu Sahl al-Marwazi.Beliau adalah saudara kembar dengan Sulaiman bin Buraidah. Beliau wafat pada tahun 115 H.

Guru-gurunya : Buraidah (ayahnya), Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abullah bin Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah, ‘Aisyah r.a, Mughirah bin Syu’bah, Handlalah bin Ali Al-Aslami, Ibnu Musayyab, dll.

Murid-muridnya : Basyir bin Muhajir, Sahl bin Basyir, Tsawab bin Abi Furat, Hujair bin Abdillah, Husain bin Dzakwan, Dawud bin Abi Furat, Abdullah bin Atha’, Abdullah bin Muslim Al-Marwazi, Utsman bin Ghiyas, Qatadah, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany,1984:138).

(54)

meriwayatkan hadis dari ayahnya?”, dia menjawab : “saya tidak pernah tahu bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Buraidah (ayahnya)”.Oleh karena itu, Ahmad bin Hanbal menilai dla’if terhadap hadisnya Abdullah bin Buraidah. Menurut pendapat Ibrahim Al-Harbiy bahwa Abdullah bin Buraidah lebih sempurna dari pada saudara kembarnya, yakni Sulaiman bin Buraidah. Keduanya tidak pernah meriwayatkan hadis dari ayahnya. Adapun hadis Abdullah yang diriwayatkan dari ayahnya, yakni Buraidah, adalah hadis munkar (Al-Asqalany, 1984:138).

4. Kahmas bin Hasan

Nama lengkapnya ialah Kahmas bin Hasan At-Tamimiy Abu Hasan Al-Bashriy. Beliau wafat pada tahun 149 H.

Guru-guru beliau diantaranya ialah Abu Thufail, Abdullah bin Buraidah, Abdullah bin Syaqiq, Abu Salil Dlarib bin Nufair, Yazid bin Abdillah bin Syukhair, Sayyar bin Mandhur, dan Abu Nadlrah.

Murid-muridnya antara lain : kedua putranya, yakni ‘Aun dan Al-Qaththan, Ibnu Mubarak, Waki’, Mu’tamar bin Sulaiman, Sufyan bin Hubaib, Yusuf bin Ya’qub, Ja’far bin Sulaiman, Utsman bin Umar, Ali bin Ghurab, Abu Usamah, Yazid bin Harun, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy (Al-Asqalany, 1984:404).

(55)

berkata bahwa beliau adalah tsiqah tsiqah. As-Sajiy menilainya shaduq. Ibnu Hibban menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah. Ibnu Sa’d juga menilainya tsiqah. Dalam penilaian selanjutnya, Ibnu Ma’in menilai bahwa Kahmas bin Hasan dla’if, begitu pula pendapat Al-Azdiy mengikuti pendapat Ibnu Ma’in (Al-Asqalany, 1984:404).

5. Waki’

Nama lengkapya adalah Waki’ bin Jarrah bin Malikh Ar-Ru’asi. Nama kunyah-nya ialah Abu Sufyan Al-Kufi. Beliau lahir pada tahun 128 H, wafat pada tahun 196 H.

Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya, Isma’il bin Abi Khalid, Aiman bin Nabil, Ikrimah bin Ammar, Hisyam bin Urwah, Al-A’masy, Jarir bin Hazim, Abdullah bin Sa’id, Abdurrahman bin Ghusail, Kholid bin Dinar, Abdul Majid bin Wahab, Ibnu Juraih, Al-Auza’i, Usamah bin Zaid, Ja’far bin Barqan, Hajib bin Umar, Handhalah bin Abi Sufyan, Yazid bin Ibrahim, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany, 1984:109).

(56)

Abdullah bin Ahmad berkata, “aku tidak pernah melihat orang yang lebih menjaga terhadap ilmunya dan lebih kuat hafalannya daripada Waki’”. Beliau berkata, “aku mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal) berkata bahwasanya Waki’ adalah orang yang kuat hafalannya (hafidhan-hafidhan)”.

Shalih bin Ahmad bertanya kepada ayahnya mengenai perihal Waki’, “manakah yang lebih diakui hadisnya, Waki’ atau Yazid?”. Ayahnya menjawab,” keduanya sama-sama diakui hadisnya”. Dia bertanya lagi, “manakah yang lebih shalih dari keduanya?”. Ayahnya menjawab,”keduanya sama-sama shalih, hanya saja Waki’ menjauhkan dirinya dari urusan pemerintahan”(Al-Asqalany,1984:110).

Bisyr bin Musa, Ibrahim Al-Harby, dan Ahmad bin Hasan At-Tirmidzi menilai bahwasanya Waki’ orang yang kuat hafalannya, khusyu’, wira’i, dan ahli fiqh. Ahmad bin Sahl bin Bashr berkata bahwasanya Waki’ adalah Imamnya kaum muslimin di masa hidupnya. Ahmd bin Hanbal berkata,”orang-orang yang diakui periwayatannya di Iraq ialah Waki’ dan Yahya bin Abdurrahman”. Husain bin Hibban berkata dari Ibnu Ma’in bahwasanya tidak ada yang lebih afdhal daripada Waki’ (Al-Asqalany,1984:111).

(57)

menilai bahwa Waki’ adalah tsiqah, ahli ibadah, shalih, dan ahli hadis yang menjadi mufti pada zamannya (Al-Asqalany,1984:114).

6. Hannad bin Sariy

Nama lengkapnya adalah Hannad bin as-Syariy bin Mash’ab bin Abi bakr bin Syibr bin Sya’fuq bin Amr bin Zurarah bin ‘Ads bin Zaid bin Abdillah bin Daram At-Tamimy Ad-Daramy Abu As-Sariy Al-Kufy. Lahir tahun 152 H, wafat tahun 243 H.

Adapun guru-urunya diantaranya ialah Abdurrahman bin Abi Zanad, Abi Bakr bin ‘Iyasy, Abdillah bin Idris, Abi Al-Ahwash, Hafsh bin Ghiyas, ismail bin Iyasy, Syuraik, Hasyim, Abdussalam bin Harb, Ali bin Mashar, Fudlail bin ‘Iyadl, Ibnu ‘Uyainah, dan Waki’ (Al-Asqalany, 1984:62).

Murid-Murudnya diantaranya ialah Al-Bukhary, Muhammad bin As-Sary, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad bin Mansur Ar-Ramadi, Muhammad bin Abdul Mulk, Ad-Daqiqy, Mathin, ‘Abdan Al-Ahwazy, Baqy bin Makhlad, Ibnu Abi Ad-Dunya, Muhammad bin Shalih bin Duraij, Muhammad bin Ishaq As-Siraj.

(58)

7. Ibnu Majah

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i Abu Abdillah bin Majah Al-Quzwaini Al-Hafidh. Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 273 H.

Mengenai guru-gurunya, tidak disebutkan dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib, hanya saja tertulis bahwa beliau mendengar hadis di Khurasan, Iraq, Hijaz, Mesir, Syam, dan berbagai daerah lainnya.

Murid-muridnya antara lain Ai bin Sa’id bin Abdillah Al-Ghadani, Ibrahim bin Dinar Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwaini, Abu Thayib Ahmad bin Rauh al-Masy’arani, Ishaq bin Muhammad Al-Qazwaini, Ja’far bin Idris, Husai bin Ali, Sulaiman bin Yazid Al -Qazwaini, Muhammad bin Isa, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al--Qazwaini, Ahmad bin Muhammad bin Hakim Al-Madani Al-Ashbihani (Al-Asqalany, 1984:468).

Abu Ya’la Al-Khalili berkata, bahwa Ibnu Majah tsiqah, kabir,

(59)

Sunan Ibnu Majah ke dalam Al-Ushul As-Sittah atau Al-Kutub As-Sittah, yakni shahih Bukhari, Shahih Muslim, Suna Abu Dawud, Sunan

At-Tirmidzi, Sunan Nasa’idan yang keenam dalam perdebatan.Abu Fadli bin Thahir Al-Maqdisi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, Al-Mizzi, Ibnu Hajar dan Al-Khazra’i memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang keenam (Al-Asqalany, 1984:469).

8. Namir

Nama beliau adalah Namir bin ‘Uraib Al-Hamdaniy. Mengenai tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui dalam kitab rijal al-hadits. Dengan demikian, sesuai ilmu tarikh al-ruwat, perawi ini gugur lantaran tidak diketahuinya tahun kelahiran maupun wafatnya.

Beliau meriwayatkan hadis dari Amir bin Mas’ud, hadis tentang puasa pada musim dingin (hadits al-shaum fi al-syita’), yang kemudian diriwayatkan lagi oleh Abu Ishaq Al-Hamdani. Abu Hatim berkata, “ saya tidak mengetahui Namir meriwayatkan Hadis kecuali inilah Hadis (hadis tentang puasa di musim dingin)”. Ibnu Hibban menilai bahwa beliau termasuk dalam kategoritsiqah(Al-Asqalany, 1984:425).

9. Abdullah bin Namir

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Namir Hamdani Al-Kharifi. Abu Hisyam Al-Kufi adalah nama kunyahnya. Beliau lahir pada tahun 115 H, dan wafat pada tahun 199 H.

(60)

Al-Juhniy, Zakariya bin Abi Zaidah, Sa’d bi Sa;id Al-Anshari, Handhalah bin Abi Sufyan, Saif bin Sulaiman, Al-Auza’iy, Utsman bin Hakim Al-Audiy, Mujalid bin Sa’id, dan Fudlail bin Ghazwan.

Murid-muridnya, antara lain Muhammad bin Abdillah bin Namir (anaknya), Ahmad bin Hanbal, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ali bin Al-Madiniy, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Abu Qudamah As-Sarkhisiy, Abu Kuraib, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Asyaj, Hannad bin Sariy, Abu Mas’ud Ar-Razid, Ali bin Harb Ath-Thai, dan Hasan bin Ali bin Affan.

Mengenai komentar para ulama’ tentang pribadi beliau, Ibnu Ma’in menilai tsiqah, Abu Hatim manilai beliau mustaqimul amr (lurus perlakanya), Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam kategori orang-orang yang tsiqah, Al-‘Ajliy berpendapat bahwa beliau tsiqah, katsirul hadits, dan shaduq. Dengan demikian tidak ada seorang ulama’ pun yang men-jarhatau mencacat Abdullah bin Namir (Al-Asqalany, 1984:52).

10. Ahmad bin Hanbal

Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani. Nama kunyah-nya ialah Abu Abdillah Al-Marwazi Al-Baghdadi. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H.

(61)

Abu Dawud Ath-Thayalisi, Abdullah bin Namir, Abdur Razaq, Ali bin Iyasy Al-Himsi, Syafi’i, Ghandar, dan Mu’tamar bin Sulaiman.

Adapun murid-muridnya antara lain Bukhari, Muslim, Abu Dawud, kedua putranya, yaitu Abdullah dan Shalih, Yahya bin Adam, Yazid bin Harun, Qutaibah, Dawud bin ‘Amr, Ahmad bin Abi Hawari, Yahya bin Mu’in, Husain bin Mansur, Ziyad bin Ayyub, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Yahya bin Abi Saminah, Abu Bakr Al-Atsram, Harb al-Karmani, dan Abu Qasim Al-Baghawi (Al-Asqalany, 1984:63).

Al-Qaththan berkata, “ belum pernah ada orang yang sepandai Ahmad, beliau orang besar, tokoh terkemuka umat”. Ahmad bi Sanan berkata, “ saya belum pernah melihat Yazid bin Harun menghormati seseorang melebihi daripada hormatnya terhadap Ahmad bin Hanbal”. Abdul Razaq berkata, “ saya belum pernah melihat orang yang lebih pandai dan lebihWara’dari Ahmad”. Yahya bin Adam berkata, “ Ahmad adalah pemuka kita”. Asy-Syafi’i pun berkata, “ saya belum pernah tahu orang di Baghdad yang lebihwara’, lebihzuhud, lebih ‘alimdan lebih ahli dalamfiqhdaripada Ahmad bin Hanbal.

(62)

(tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:65). Beliau seorang ulama’ besar yang disegani banyak orang dari berbagai kalangan. Beliau lebih terkenal dengan fiqhnya yang dinisbatkan pada namanya, yakni fiqh madzhab Hanbali.

11. Ali bin Ghurab

Nama lengkapnya ialah Ali bin Ghurab al-Fazari. Nama kunyah-nya ialah Abu Walid al-Kufiy. Beliau wafat di Kufah pada tahun 184 H.

Guru-gurunya : Kahmas bin Hasan, Shalih bin Abi Akhdlar, Ubaidillah bin Umar, Al-A’masy, Baihas bin Fahdan, Zuhair bin Marzuq, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Sauqah, Ats-Tsauri, Bahz bin Hakim, dll.

Murid-muridnya : Marwan bin Muawiyah, Ammar bin Khalid Al-Wasithi, Abu Sya’tsa’, Ibrahim bin Musa Ar-Razi, Muhammad bin Abdillah bin Syabur, Ahmad bin Hanbal, Ziyad bin Ayyub, Ath-Thusi, Husain bin Hasan Al-Marwazi,dan Yahya bin Ayyub Al-Maqabiri (Al-Asqalany, 1984:325).

(63)

Sedangkan Ibnu Hibban juga menilai bahwa hadisnya Ali bin Ghurab tidak boleh dijadikanhujjah.

Sementara itu, Utsman Ad-Darami berkata dari Ibnu Ma’in bahwa Ali bin Ghurab seorang miskin yang sangat jujur (miskin, shaduq). Ibnu Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in pula bahwa beliau dinilai tidak ada bahaya terhadap periwayatannya (la ba’sa bihi). Utsman bin Abi Syaibah, Ibnu Qani’, dan Ibnu Sa’d menilai bahwa beliau kategori tsiqah dan shaduq. Menurut An-Nasa’i, meskipun Ali bin Ghurab tercacat, tetapi tidak ada bahayanya tentang periwayatannya (Al-Asqalany, 1984:325). 12. Ziyad bin Ayyub

Nama lengkapnya : Ziyad bin Ayyub bin Ziyad al-Baghdady. Nama kunyah-nya adalah Abu Hasyim. Beliau lahir pada tahun 166 H, Meninggal pada tahun 252 H.

Guru-gurunya ialah Abdillah bin Idris, Ibnu Ulyah, Abu Ubaid al-Hadad, Abu Bakr bin ‘Iyasy, Marwan bin Mua’wiyah, Hasyim, Waki’, Ziyad Al-Buka’iy, Muhammad bin Yazid Al-Wasithy, Ali bin Ghurab, Mu’tamar bin Sulaiman, Yazidbin Harun, Umar bin Ubaid, dan Yahya bin Abi Uyainah (Al-Asqalany, 1984:306).

(64)

Abu Ishaq Al-Ashbihani berkata, “tidak ada seorangpun di muka bumi yang lebih tsiqah daripada Ziyad bin Ayyub”. Abu Hatim berpendapat bahwa Ziyad bin Ayyub shaduq. An-Nasa’i menilai bahwa beliau termasuk perawi yang tiada bahaya mengenai periwayatannya (laisa

bihi ba’sun). Pada lain tempat Nasa’i menilai tsiqahterhadap beliau. Ibnu Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah (Al-Asqalany, 1984:307).

13. Nasa’i

Nama lengkapnya ialah Abu Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar An-Nasa’i. Nama beliau dinisbatkan pada tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota Nasa’ yang masih termasuk wilayah kota Khurasan, wafat di Palestina pada hari senin tanggal 13 shafar 303 H (Al-Asqalany, 1984:34).

Guru-guru beliau antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ahmad bin Nasher An-Naisaburiy, Abu Syuaib As-Susiy, dan imam-imam hadis dari Khurasan, Hijaz, Iraq, dan Mesir.

(65)

An-Naisaburiy, Hafidh, Abu Bisyer Ad-Daulabiy, Abu Hasan bin Al-Haddad Al-Faqih, Abu Ja’far Al-‘Aqiliy, dll (Al-Asqalany, 1984:32).

Karya An-Nasa’i yang paling utama dan terkenal ialah kitabSunan An-Nasa’I. Beliau adalah imam hadis yang sangat terkenal di seluruh dunia Islam. Banyak para ulama’ yang mengakui pribadi An-Nasa’i merupakan seorang imam hadis yang besar, antara lain Manshur Al-Faqih, Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawiy, Sa’d Barudiy, Qasim Al-Muthraz, dan Abu Ali An-Naisaburiy.

Abu Husain bin Mudhaffar berkata, “ saya mendengar para masyayikhku di Mesir bahwa mereka mengakui Abu Abdirrahman An-Nasa’i sebagai seorang tokoh yang unggul, seorang imam, ahli ibadah, selalu menunaikan ibadah haji pada musim haji, ahli menjalankan sunnah

ma’tsurah, dan beliau mengasingkan dirinya dari para penguasa sampai beliau meninggal dunia. Al-Hakim berkata bahwa An-Nasa’i seorang imam hadis yang lebih mengetahui shahih dan tidaknya hadis, lebih paham mengenai para perawi (rijal al_hadits). Ad-Daruquthni berkata bahwa Abu Bakar bin Haddad Al-Faqih merupakan orang yang banyak meriwayatkan hadis, akan tetapi beliau hanya mau mengambil hadis dari An-Nasa’I (Al-Asqalany, 1984:33).

14.Abdul Wahab bin Atha’

(66)

Guru-gurunya diantaranya : Sulaiman At-Taimi, Humaid Ath-Thawil, Khalid Al-Hadza’, Ibnu ‘Aun, Ibnu Juraij, Malik, Hisyam, Hisan, Israil, Isma’il bin Muslim, Abdullah bin Umar, dan Sa’id bin Abi ‘Arubah.

Murid-muridnya antara lain : Ahmad, Ishaq, Ibnu Ma’in, ‘Amr bin Zurarah An-Naisaburi, Muhammad bin Abdillah Ar-Razzi, Hasan bin Muhammad bin Shabah Az-Za’farani, Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Adzrami, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Ibrahim bin Sa’id Al-Jauhari, Ishaq bin Manshur, Muhammad bin Sulaiman Al-Anbari, Harits bin Abi Usamah, Muhammad bin Ahmad bin ‘Awam, dan Yahya bin Abi Thalib (Al-Asqalany, 1984:398).

(67)

15. Yahya bin Abu Thalib

Mengenai jati diri beliau, penulis tidak menemukannya di dalam kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib at-Tahdzib. Akan tetapi dalam biografinya Abdul Wahab bin Atha’, Yahya bin Abu Thalib termasuk murid beliau. Sehingga rangkaian sanadnya tetap bersambung (muttashil) sampai pada beliau.

16.Muhammad bin Ya’qub

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Ya’qub bin Abdul Wahab bin Yahya bin Ubbad bin Abdillah bin Zubair bin Awam Al-Asadi Az-Zubairi. Beliau ber-kunyahAbu Umar Al-Madani.

Beliau meriwayatkan hadis dari Umar bin Abdillah bin Nafi’ Az-Zubairi, Ibnu Wahib, Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Uyainah, Abu Dlamrah, dll. Mengenai siapakah murid-muridnya, penulis tidak menemukannya didalam kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib At-Tahdzib.

Abu Hatim dan Nasa’i menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori la ba’sa bihi. Ibnu Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah,mustaqimul hadits ( tegak hadisnya) (Al-Asqalany, 1984:469).

17. Ahmad bin Hasan

(68)

Beliau meriwayatkan hadis dari Syababah, Abi ‘Amir Al-Aqdiy, Ibnu Mahdi, dan Abdul Shamad bin Abdul Warits.

Murid-muridnya antara lain Muslim, Tirmidzi, Ubaid Al-Ajliy, dan Abdullah bin Ahmad.

Mengenai komentar para ulama’ ahli hadis, hanya Al-Khathib dan Ibnu Hibban yang berkomentar. Keduanya menilai bahwa Ahmad bin Hasan termasuk dalam kategoritsiqah(Al-Asqalany, 1984:21).

18. Ubaid bin Muhammad

Nama lengkapnya ialah Ubaid bin Muhammad Maharibiy Al-Kufiy. Tahun kelahiran dan wafat beliau tidak diketahui. Beliau meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Dzi’bi, Abdussalam bin Hafsh, dan Muhammad bin Muhajir Al-Kufiy.

Adapun orang yang mengambil hadis darinya antara lain Muhammad bin Ubaid (anaknya), Abu Syaibah bin Abi Bakar bin Abi Syaibah, Qasim bin Zakariya bin Dinar, dan Abu Kuraib.

Abu Ahmad bin ‘Adiy berkata bahwa Ubaid bin Muhammad banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar yang diriwayatkan dari Abi Dzi’bi dan lainnya.kemudian hadis-hadis tersebut diriwayatkan lagi oleh anaknya, yakni Muhammad bin Ubaid (Al-Asqalany, 1984:68).

19. Baihaqi

(69)

salah seorang tokoh ulama dalam madzhab Syafi’i. Lahir di khasrajard tahun 384 H, wafat di Naisabur tahun 458 H.

Guru-guru beliau, antara lain Abu Hasan bin Husain Al-Alawi, Abu Thahir Az-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, Abu Abdurrahman As-Sulami, Abu Bakar bin Furik, Abu Ali Ar-Ruthabari, dan Ibnu Busran.

As-Subki berkata bahwa Imam Baihaqi merupakan seorang ulama terkemuka yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fiqh, serta penghafal hadis.Beliau hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai Negara Islam. Saat itu umat muslim terpecah belah karena perbedaan paham mengenai masalah politik, fiqh, dan pemikiran atau paham lainnya. Mereka saling menjatuhkan dan saling menyalahkan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, sehingga hal ini mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi untuk memporak-porandakan umat muslim. Dalam masa seperti ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran Islam. Beliau memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian. Beliau hidup zuhud, banyak beribadah, wara’, danmencontoh para salafus shalih. Beliau terkenal sebagai figur yang memiliki kecintaan besar terhadap hadis dan fiqh (www.kotasantri.com).

(70)

hadis tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadis karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadis dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad.

Beliau merupakan pemikir Islam yang sangat produktif karena beliau banyak berkarya. Diperkirakan karya-karya beliau mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari aqidah, hadis, fiqh, sampai pada tarikh. Diantara sekian banyak karya Baihaqi, kitabas-sunan al-kubra menjadi karya yang paling terkenal dan pernah mendapatkan penghargaan tertinggi. Kitab ini terbit di Hyderabad, India, pada tahun 1344 M (www.kotasantri.com).

D. Kesimpulan

Setelah penulis melacak identitas atau biografi para perawi hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali di dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib yang merupakan kitab Ushul fi ma’rifah ar-Rijal (kitab pokok untuk mengetahui biografi para perawi), selanjutnya penulis akan memberi kesimpulan mengenai hasil penelitian sanad hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali.

(71)

Sesuai dengan bagan sanad, Abdullah bin Buraidah meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah dan juga Buraidah (ayahnya). Hal ini bisa dimaklumi karena keduanya, yakni ‘Aisyah dan Buraidah hidup dalam satu masa dan meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, Abdullah bin Buraidah mendapat penilaian yang menjatuhkan reputasinya sebagai perawi hadis. Menurut Ad-Daruquthni bahwa beliau tidak pernah meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah r.a. Ibrahim Al-Harby menambahkan pendapat bahwa Abdullah bin Buraidah tidak pernah meriwayatkan hadis dari ayahnya. Adapun hadis hadis yang diriwayatkannya dari ayahnya (Buraidah) adalah hadis-hadis munkar. Hanya Ibnu Khurasy yang menilai bahwa beliau kategorishaduq(Al-Asqalany, 1984:138).

Sesuai dengan ilmutarikh ar-ruwat, jalur periwayatan Ibnu Majah dan An-Nasa’i sanadnya bersambung (muttashil) dari awal sanad hingga akhir sanad. Akan tetapi, dalam jalur An-Nasa’i, terdapat dua orang perawi yang tercacat, yaitu Abdullah bin Buraidah dan Ali bin Ghurab. Abdullah bin Buraidah tercacat sebagaimana telah diuraikan diatas, sedangkan Ali bin Ghurab dinilai dla’if dan periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun ulama’ yang men-jarh Ali bin Ghurab ialah Ibnu Hibban, Ibnu Namir, Abu Dawud, dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (Al-Asqalany, 1984:325).

Referensi

Dokumen terkait

Data yang berhasil dikumpulkan melalui pengamatan (observasi), dan catatan lapangan akan dianalisis dengan menggunakan metode alur berkesinambungan. Jika ada data

2.. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

Bersadarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan Fuzzy Logic metode Mamdani dapat mengetahui tingkat kepuasan mahasiswa terhadap

Volume air yang harus disediakan penduduk agar tidak mengalami kekurangan air adalah sebesar 27,13 m³/orang/tahun. Nilai ini berlaku untuk periode kering dengan periode ulang 23

Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu kami dalam keterlibatan dengan hati penuh keiklasan sehingga laporan Pengabdian pada Masyarakat

Dalam rangka memberikan perlindungan dan pembinaan Pasar Tradisional serta penataan Pasar Modern agar pasar mampu berkembang, melalui kemitraan antara Pasar Modern

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Keberadaan peranan TNI AL dalam melakukan penyidikan

Ketauladanan beliau memberikan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang