• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar

Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak.

Life cycle suatu standar

Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) diartikan sebagai rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait. Perumusan standar pada umumnya melalui tahapan yang berbentuk siklus (life cycle). Life cyclesuatu standar dapat dilihat pada Gambar 1.

(2)

Perumusan suatu standar umumnya melalui tujuh tahap utama (BSN, 2009), yaitu: 1) Identifikasi perlunya suatu standar tertentu oleh para pemangku kepentingan; 2) Penyusunan program kolektif berdasarkan analisis kebutuhan dan penetapan

prioritas oleh semua pihak berkepentingan disusul adopsi dalam program kerja badan/lembaga standardisasi nasional;

3) Penyiapan rancangan standar oleh semua pihak yang berkepentingan yang diwakili oleh pakar (termasuk produsen, pemasok, pemakai, konsumen, administrator, laboratorium, peneliti dan sebagainya) yang dikoordinasikan oleh panitia teknis;

4) Konsensusmengenai rancangan standar;

5) Validasi melalui public enquiry nasional mencakup semua unsur ekonomi dan pelaku usaha untuk memastikan keberterimaan secara luas;

6) Penetapandan penerbitan standar, dan;

7) Peninjauan kembali (revisi), amandemen atau abolisi. Suatu standar dapat direvisi setelah kurun waktu tertentu (umumnya 5 tahun sekali) agar selalu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan baru.

Prinsip dasar perumusan standar

Prinsip yang harus dipenuhi dalam proses perumusan maupun pengembangan dalam menghasilkan dokumen standar adalah (BSN, 2009):

1. Transparan (Transparent) 2. Keterbukaan (Openness)

3. Konsensus dan tidak memihak (Consensus and impartiality) 4. Efektif dan relevan (Effective and relevant)

5. Koheren (Coherent)

6. Dimensi pengembangan (Development dimension)

Transparan. Transparan berarti prosesnya mengikuti suatu prosedur yang dapat diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tahapan dalam proses dapat dengan mudah diketahui oleh pihak yang berkepentingan.

Keterbukaan. Terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengikuti program pengembangan standar melalui kelembagaan yang terkait dengan

(3)

pengembangan standar, baik sebagai anggota PT (Panitia Teknis) / SPT (Sub Panitia Teknis) maupun sebagai anggota masyarakat. Hendaknya pihak yang berkepentingan dapat terlibat untuk memberikan masukan, menyatakan persetujuan atau keberatan mereka terhadap suatu rancangan standar.

Konsensus dan tidak memihak. Memberikan kesempatan bagi pihak yang memiliki kepentingan berbeda untuk mengutarakan pandangan mereka serta mengakomodasikan pencapaian kesepakatan oleh pihak-pihak tersebut secara konsensus (mufakat atau suara mayoritas) dan tidak memihak kepada pihak tertentu. Hal ini dilaksanakan melalui proses konsensus di tingkat Panitia Teknis, dan juga di rapat konsensus nasional serta di tingkat jajak pendapat dan pemungutan suara. Untuk menjamin hal ini harus ada prosedur konsensus yang tidak memihak.

Efektif dan relevan. Untuk memenuhi kepentingan para pelaku usaha dan untuk mencegah hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, maka standar nasional tersebut harus relevan dan efektif memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik maupun internasional sehingga bila diadopsi standar akan dipakai oleh dunia usaha atau pihak pengguna lainnya. Selain itu juga harus memenuhi kebutuhan regulasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sedapat mungkin standar nasional berlandaskan unjuk kerja daripada berdasarkan desain atau karakteristik deskriptif dan hasilnya dapat diterapkan secara efektif sesuai dengan konteks keperluannya.

Koheren. Untuk menghindari ketidakselarasan di antara standar, maka Badan Standardisasi Nasional (BSN) perlu mencegah adanya duplikasi dan tumpang tindih dengan kegiatan perumusan standar sejenis lain. Agar harmonis dengan kegiatan perkembangan dan perumusan standar perlu ada kerjasama dengan badan standar lain baik regional maupun internasional. Pada tingkat nasional duplikasi perumusan antara Panitia Teknis dan antara tahun pembuatan harus dihindari. Dimensi pengembangan. Hambatan yang biasanya dialami oleh usaha kecil/menengah untuk ikut berpartisipasi dalam perumusan standar nasional harus menjadi pertimbangan. Dalam memfasilitasi keikut-sertaan Usaha Mikro, Kecil,

(4)

dan Menengah (UMKM) serta penyuaraan pendapat mereka ini, diperlukan upaya yang nyata. Pembinaan peningkatan kemampuan UMKM harus dikedepankan sehingga UMKM akan mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan pasar. Hal ini dimaksudkan agar UMKM dapat bersaing di pasar regional/internasional dan dapat menjadi bagian dari global supply chain. Dengan demikian standar yang dihasilkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dan negara.

Menurut Winarno (2002) perumusan standar yang tergesa-gesa akan menimbulkan biaya tak terduga yang tidak dapat diprediksi. Dalam beberapa hal perumusan standar yang tetap harus melalui konsensus yang dapat dilaksanakan dengan cepat sepanjang ada alasan yang tepat dan hasilnya tetap objektif serta memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam merumuskan suatu standar adalah (i) Siapa yang memerlukan standar? (ii) Standar seperti apa yang diinginkan? (iii) Mengapa diperlukan standar? (iv) Dimana penerapannya? (v) Kapan standar tersebut diterapkan? (vi) Bagaimana cara perumusannya?.

2.2. Standar, SNI, dan Peraturan Keamanan Pangan

Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) disebut sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, SNI didefinisikan sebagai standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. SNI yang ditetapkan oleh BSN bersifat sukarela (voluntary), sedangkan instansi teknis dapat memberlakukan wajib (mandatory) SNI dalam bentuk peraturan melalui surat keputusan menteri atau kepala badan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia peraturan didefiniskan sebagai tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur (Kemendiknas, 2011).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai salah satu instansi teknis dapat memberlakukan wajib sebagian atau keseluruhan ketentuan di dalam SNI yang telah ditetapkan oleh BSN. Pertimbangan utama BPOM RI di dalam

(5)

memberlakukan wajib SNI adalah faktor kesehatan masyarakat dan keamanan pangan. BPOM RI memberlakukan wajib SNI dituangkan dalam bentuk peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Selain pemberlakuan wajib SNI tersebut, di dalam menjalankan fungsi pengawasan pangan, BPOM RI juga berwenang mengeluarkan peraturan lain dalam bentuk pedoman dan kode praktis. Untuk itu, pada pembahasan selanjutnya, peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM RI baik berupa pemberlakuan wajib SNI, pedoman, maupun kode praktis disebut sebagai peraturan.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan Keamanan Pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. BPOM RI berwenang menetapkan peraturan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pangan untuk menciptakan keamanan pangan pada produk pangan yang beredar di Indonesia. Peraturan BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI dapat disebut sebagai standar keamanan pangan.

Secara umum di dalam kerangka SNI dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu (i) awal, (ii) umum, (iii) teknis, dan (iv) tambahan. Bagian Awal dan Tambahan bersifat informatif, sedangkan bagian Umum dan Teknis bersifat normatif. Bagian umum umumnya terdiri atas unsur (i) judul, (ii) ruang lingkup, dan (iii) acuan normatif. Bagian teknis umumnya terdiri atas unsur (i) istilah dan definisi, (ii) simbol dan singkatan, (iii) klasifikasi, (iv) persyaratan, (v) pengambilan contoh, (vi) metode uji, (vii) penandaan, dan (viii) lampiran normatif. Secara lengkap bagian dan unsur yang terdapat di dalam SNI dapat dilihat pada Lampiran 1 (BSN, 2007b).

Jika dilihat dari bagian dan unsur di dalam SNI, dapat dilihat bahwa unsur persyaratan pada bagian teknis merupakan unsur yang menggambarkan standar keamanan pangan. Pada unsur persyaratan di dalam SNI pangan terdapat ketentuan persyaratan mutu baik yang bersifat fisik, kimia, maupun (mikro)biologi. Persyaratan mutu kimia dan mikrobiologi pada umumnya dijadikan sebagai standar keamanan pangan yang diwajibkan (mandatory) oleh

(6)

BPOM RI. Contoh SNI (SNI 3141.1:2011 tentang Susu Segar – Bagian 1: Sapi) yang ditetapkan oleh BSN dengan bagian yang lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2 (BSN, 2011a). Contoh peraturan dalam bentuk surat keputusan (SK) BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI (HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan) dapat dilihat pada Lampiran 3 (BPOM, 2004).

Untuk itu, definisi standar dan peraturan keamanan pangan di dalam tulisan ini mencakup: (i) parameter atau ketentuan di dalam SNI dari BSN yang memberikan persyaratan kimia dan mikrobiologi dan terkait dengan keamanan pangan dan (ii) peraturan yang ditetapkan melalui surat keputusan (SK) BPOM RI berupa pemberlakuan wajib standar (SNI), pedoman, dan kode praktis untuk menjalankan fungsi BPOM RI sebagai lembaga pengawas pangan guna menciptakan keamanan pangan produk pangan yang beredar di Indonesia. Sementara itu. peraturan keamanan pangan dari instansi teknis lain (misal Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan) tidak dibahas secara lebih mendalam di dalam tulisan ini.

2.3. Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan dengan Pendekatan Ilmiah

Perumusan dan pengembangan standar dan perturan keamanan pangan seharusnya mengikuti suatu prosedur yang berbasis ilmiah. Perumusan dan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan dapat dilakukan melalui pendekatan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko terdiri dari komponen kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (CAC, 2007). Adapun keterkaitan antar komponen tersebut di dalam pendekatan analisis risiko dapat dilihat pada Gambar 2.

Kerangka kerja analisis risiko memberikan sebuah proses secara sistematis dan transparan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang berkaitan dengan aspek ilmiah dan non-ilmiah mengenai bahaya kimia,

(7)

biologi, dan fisik yang kemungkinan terdapat di dalam pangan agar dapat memilih pilihan terbaik untuk mengatur berdasarkan risiko di dalam berbagai alternatif yang teridentifikasi (FAO/WHO, 2005).

Gambar 2. Keterkaitan Komponen dalam Analisis Risiko (FAO/WHO, 2005)

2.4. Potret Standardisasi Keamanan Pangan di Indonesia 2.4.1. Sistem Standardisasi Nasional Indonesia

Sistem standardisasi di Indonesia telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi Nasional (BSN) adalah lembaga pemerintah yang berwenang dalam mengkoordinasikan sistem standardisasi nasional. Berbagai lembaga terlibat di dalam proses perumusan dan pengembangan standar. Selain BSN, lembaga yang terlibat dalam pengembangan standardisasi nasional di antaranya instansi teknis, pelaku usaha, masyarakat, lembaga perlindungan konsumen, dan pemerintah daerah. Di dalam menjalankan tugasnya, BSN berkoordinasi dengan Komite Nasional Standardisasi untuk Satuan ukuran (KSNSU) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Secara lengkap lembaga yang terlibat dan fungsinya dalam pengembangan sistem standardisasi nasional di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

(8)
(9)

Instansi teknis adalah Kantor Menteri Negara, Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan standardisasi. Instansi teknis yang dimaksud misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kehutanan.

2.4.2. Dasar Hukum dan Lembaga Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia

A. Dasar Hukum Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia

Di Indonesia ada beberapa lembaga pemerintah yang berwenang menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan standar keamanan pangan, di antaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Selain itu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Daerah juga berperan dalam pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada sistem keamanan pangan di Indonesia yang menganut sistem keamanan pangan terpadu.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan induk dan dasar hukum di Indonesia. Pengaturan pangan dan keamanan pangan merupakan amanah dari UUD 1945 terutama yang tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33. Pada peraturan di bawahnya telah ditetapkan undang-undang (UU) yang mewarnai sistem pengaturan keamanan pangan dan standardisasi di Indonesia, seperti UU No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade Organization), UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait, misalnya PP No. 28 tahun 2004 tentang Mutu,

(10)

Keamanan dan Gizi Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

Di dalam PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000 dijelaskan bahwa keamanan pangan dan standardisasi nasional merupakan tanggung jawab dan tugas berbagai lembaga pemerintah. Kewenangan berbagai lembaga pemerintah yang berperan dalam pengembangan standar dan pengaturan keamanan pangan di Indonesia berdasarkan kedua PP tersebut (PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000) dapat dilihat pada Tabel 1.

B. Beberapa Lembaga Pemerintah yang Terlibat dalam Perumusan dan Pengembangan Standar Keamanan Pangan di Indonesia

Pada bagian ini, secara khusus dibahas mengenai beberapa lembaga pemerintah yang terkait dengan perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia. Lembaga pemerintah yang sangat berpengaruh dalam perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan pada Tabel 1, tetapi pada bagian ini akan dibahas mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya.

Di dalam era otonomi daerah sekarang ini, sekiranya perlu juga dikaji mengenai peran dari pemerintah daerah (Pemda) dalam kebijakan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Untuk itu, peran dari Pemda akan dikaji sesuai dengan dasar hukum yang berlaku saat ini. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi dari kajian ini dapat diaplikasikan oleh semua lembaga terkait, termasuk Pemda.

(11)

Tabel 1. Dasar Hukum Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia No Nomor

Pasal

Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang

BSN Instansi Teknis PEMDA

BPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut PP No. 28/2004 tentang Mutu, Keamanan dan Gizi Pangan

1. 21 Berwenang mewajibkan suatu standar dengan

mempertimbangakan perjanjian TBT/SPS WTO

√ √ √ √ √ √

2. 29 Berwenang menetapkan standar mutu pangan yang dinyatakan sebagai SNI

√ 3. 30 Berkoordinasi dengan BSN

dalam menetapkan standar wajib √ √ √ √

4. 31 Dapat menetapkan ketentuan mutu pangan di luar SNI untuk produk pangan berisiko

keamanan tinggi

√ √ √

5. 32 Melakukan sertifikasi SNI yang diwajibkan atau persyaratan

ketentuan mutu √ √ √

6. 41 Berkoordinasi dengan BSN untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan penilaian kesesuaian dalam memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor

(12)

No Nomor Pasal

Tugas/Uraian Pasal Lembaga Pemerintah yang Berwenang

BSN Instansi Teknis PEMDA

BPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut 7. 42-45 Pengawasan dan pembinaan

mutu, keamanan, dan gizi pangan

√ √

PP No. 102/2004 tentang Standardisasi Nasional 1. 4 Penyelenggara pengembangan

dan pembinaan di bidang standardisasi

√ 2. 5 Menyusun dan menetapkan

Sistem Standardisasi Nasional dan pedoman di bidang standardisasi nasional

√ √

3. 12 Pemberlakuan SNI secara wajib √

4. 22-23 Pembinaan dan Pengawasan terhadap penerapan SNI secara

wajib √ √

Keterangan:

BSN : Badan Standardisasi Nasional BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan Kemenkes : Kementerian Kesehatan

Kementan : Kementerian Pertanian

KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan Kemenperin : Kementerian Perindustrian

Kemenhut : Kementerian Kehutanan PEMDA : Pemerintah Daerah

(13)

1. Tentang Badan Standardisasi Nasional

Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional di bidang standardisasi dan dalam mengantisipasi era globalisasi perdagangan dunia, ASEAN Free Trade Area - AFTA (2003) dan APEC – Asia Pasific Economic Cooperation (2010/2020), kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment) secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya dalam memantapkan dan meningkatkan daya saing produk nasional, memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum. Untuk membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi Nasional(BSN, 2011c).

Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional (DSN). Dalam melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran.

Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan,

(14)

kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global.

Visi Badan Standardisasi Nasional tahun 2010–2014 adalah menjadi lembaga terpercaya dalam mengembangkan Standar Nasional Indonesia untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional sesuai dengan perkembangan iptek (BSN, 2011c). Sejalan dengan visi tersebut, maka misi BSN adalah memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi melalui :

Mengembangkan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Mengembangkan sistem penerapan standar dan penilaian kesesuaian

Meningkatkan persepsi masyarakat dan partisipasi pemangku kepentingan dalam bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian

Mengembangkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan standardisasi dan penilaian kesesuaian

Fungsi Badan Standardisasi Nasionaladalah (BSN, 2011c):

a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang standardisasi nasional;

b. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;

c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan lembaga pemerintah di bidang standardisasi nasional;

d. penyelenggaraan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang standardisasi;

e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, Badan Standardisasi Nasional mempunyai kewenangan :

(15)

b. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;

c. penetapan sistem informasi di bidangnya;

d. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu :

1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang standardisasi nasional;

2) perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium;

3) penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI);

4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya; 5) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.

2. Tentang Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI

Sebelum mengkaji kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Direktorat Standardisasi Produk Pangan) berupa peraturan atau penetapan wajib standar, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai profil lembaga ini. Hal ini diperlukan agar dalam mengkaji kebijakan yang dikeluarkannya lebih fokus dan terarah, sehingga dihasilkan suatu kajian yang efektif dan mudah diaplikasikan pada lembaga tersebut.

Fungsi pengawasan keamanan pangan di Indonesia terutama dilakukan oleh BPOM RI. Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya adalah bagian yang berwenang untuk menyusun kebijakan berupa peraturan atau penetapan wajib standar untuk mendukung pelaksanaan fungsi pengawasan BPOM RI tersebut.

A. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI (BPOM, 2008)

Tugas Pokok Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI adalah, sebagai berikut:

 menyiapkan perumusan kebijakan,

(16)

 melaksanakan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan

Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah:

1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis; penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur; pengendalian dan pemantauan; pemberian bimbingan dan pembinaan, di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan, pangan khusus dan pangan olahan.

2. Penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan

3. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi produk pangan

4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan

5. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.

Output yang dihasilkan dari kegiatan Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah berupa standar. Standar yang dimaksud di sini terdiri atas Peraturan, Pedoman, Code of Practice, dan peran untuk mendukung posisi delegasi RI pada sidang Codex.

B. Rencana Strategi BPOM RI (BPOM, 2008)

Visi BPOM RI adalah menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat. Adapun misi BPOM RI adalah:

1. Melakukan pengawasan pre-marketdan post-marketberstandar internasional 2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten

3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan

makanan yang berisiko terhadap kesehatan

5. Membangun organisasi pembelajar (Learning organization)

Grand strategis BPOM RI dalam kurun waktu lima tahun (2010–2014) adalah:

(17)

 Memperkuat sistem regulatory pengawasan pangan C. Sasaran (BPOM, 2008)

Sasaran dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah:  Seluruh standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional.  Seluruh pangan harus memenuhi standar tersebut.

 Semua kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan wajib) dalam bentuk peraturan perundang–undangan.

D. Indikator Keberhasilan (BPOM, 2008)

Indikator keberhasilan program Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah:

 100% standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional  100% pangan harus memenuhi standar tersebut

 100% kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan wajib) dalam bentuk perundang–undangan

3. Tentang Peran Pemerintah Daerah dalam Standardisasi Keamanan Pangan Nasional

Salah satu lembaga yang perlu diperhatikan peranannya dalam pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan adalah pemerintah daerah (Pemda). Di dalam era otonomi daerah saat ini, partisipasi dan peran daerah sangat diperlukan untuk mewujudkan keamanan pangan melalui pemberlakuan peraturan-peraturan dan standar yang diwajibkan di bidang pangan. Pembagian peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan standardisasi di bidang pangan di Indonesia telah dijelaskan pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 5 Penunjang, sub sub bidang 7 Standardisasi dan Akreditasi, menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam bidang standardisasi dan akreditasi. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

(18)

Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (PP No.38, 2007)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.

1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.

2. Penyusunan rencana dan penetapan program standardisasi sektor pertanian.

2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standardisasi sektor pertanian.

2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standardisasi di daerah.

3. Koordinasi standardisasi nasional

sektor pertanian. 3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di provinsi. 3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 4. Perumusan rancangan Standar

Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.

4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.

4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.

5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib. 5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan

pemberlakuan wajib SNI.

5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan

pemberlakuan wajib SNI. 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian

yang akan mengajukan akreditasi. 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.

6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota. 7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon

akreditasi di sektor pertanian.

7. --- 7.

---8. Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.

8. Penerapan sistem sertifikasi yang

mendukung standardisasi sektor pertanian di provinsi.

8. Penerapan sistem sertifikasi yang

mendukung standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.

(19)

Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (Lanjutan)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

9. Pembinaan dan pengawasan

pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.

9. --- 9.

---10. Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.

10.Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.

10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.

11. Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standardisasi di sektor pertanian.

11.Kerjasama standardisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka

penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.

11. Kerjasama standardisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.

12. Pengembangan dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian.

12.Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di provinsi.

12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.

13. Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standardisasi sektor pertanian.

13.Fasilitasi pelaksanaan program

pemasyarakatan standardisasi di provinsi.

13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di kabupaten/kota.

14. Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian.

14.Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.

14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.

(20)

Peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kebijakan keamanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat pada Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 4. Ketahanan Pangan, sub sub bidang 2. Keamanan Pangan menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang keamanan pangan. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Keamanan Pangan (PP No.38, 2007)

Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR). 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi. 1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota. 2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan. 1. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.

2. Pembinaan sistem manajemen

laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.

3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota. 4. a. Monitoring otoritas kompeten provinsi. b. — 3. a. Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota. b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi. 4.a. — b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.

(21)

2.4.3. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BSN, BPOM, dan CAC

Lembaga pemerintah di tingkat pusat yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengatur standar keamanan pangan paling tidak ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bagian 2.4.2.B pada Tabel 1), tetapi pada bagian ini akan dilihat mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya. BPOM RI bertanggung jawab dalam pengawasan pangan yang beredar di Indonesia, sedangkan BSN bertanggung jawab dalam mengatur sistem standardisasi nasional. Kedua lembaga pemerintah tersebut sangat berperan dalam sistem standardisasi keamanan pangan di Indonesia. Untuk membandingkan peran, bentuk kelembagaan, dan sifat standar yang dihasilkan atau diberlakukan wajib dalam bentuk peraturan pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan kedua lembaga pemerintah tersebut. Sebagai pembanding, disandingkan juga kelembagaan dan sifat standar yang ditetapkan Codex Alimentarius Committee (CAC). CAC merupakan lembaga internasional yang menghasilkan standar sebagai acuan dalam perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO (World Trade Organization).

(22)

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (BSN, 2011c; BPOM, 2011b; CAC, 2006)

No Karakter BSN BPOM CAC

1 Mandat/Pendirian Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 Sebelumnya bernama Dewan

Standardisasi Nasional

Badan Pengawas Obat dan

Makanan dibentuk dengan No. 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen Sebelumnya adalah Direktorat

Jenderal Pengawas Obat dan Makanan di bawah Departemen Kesehatan RI

Didirikan berdasarkan sidang ke-11 Konferensi FAO tahun 1961 dan sidang ke-16 Konferensi WHO tahun 1963

2 Tujuan BSN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok

mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia

Tujuan utama BPOM RI: melakukan pengawasan obat dan makanan yang beredar di Indonesia, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberlakuan wajib standar pangan

Mempersiapkan standar pangan dan mempublikasikannya

(23)

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)

No Karakter BSN BPOM CAC

3 Struktur Komite BSN memiliki 3 Deputi: Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi, Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi, dan Bidang Informasi dan

Pemasyarakatan Standardisasi Deputi Bidang Penelitian dan

Kerjasama Standardisasi memiliki 3 Pusat, yaitu: Pusat Penelitian dan Pengembangan Standardisasi, Pusat Perumusan Standar, dan Pusat Kerjasama Standardisasi

BSN dibantu oleh:

 Komite Akreditasi Nasional (KAN): menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi

 Komite Standardisasi Nasional Satuan Ukuran (KSNSU): memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran

BPOM memiliki 3 Deputi: Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya memiliki 5 Direktorat, yaitu: Dit. Penilaian Keamanan Pangan, Dit. Standardisasi Produk Pangan, Dit. Inspeksi dan

Sertifikasi Pangan, Dit. Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, dan Dit. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya

Pada bulan Agustus 2006, CAC memiliki 174 negara anggota dan 1 anggota organisasi (UE) Terdiri atas:

 Komisi

 Komite Eksekutif

 Sekretariat

 Badan subsidiary: Komite Subjek Umum (General Subject Committees), Komite Komoditi (Commodity Committees), Komite Ad hoc Satuan Tugas Antar

Pemerintah (Ad hoc Intergovernmental Task Forces), dan Komite Koordinasi (Coordinating Committees)

(24)

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)

No Karakter BSN BPOM CAC

4 Sekretariat Perumusan standar dilakukan oleh Pusat Perumusan Standar, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN

Perumusan standar pangan di bawah tanggung jawab direktorat

Standardisasi Produk Pangan, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM

Komisi diganti setiap 2 tahun sekali, dan bertempat di kantor pusat FAO di Roma dan Markas WHO di Jenewa

5 Pengaturan Prioritas

Dilakukan terutama oleh Pusat Perumusan Standar

Melalui target yang ditetapkan Direktorat Standardisasi Produk Pangan

Dibuat oleh komite eksekutif

6 Lembaga superordinate

Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi

Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Kesehatan

FAO/WHO 7 Luaran Standar Nasional Indonesia (SNI) Peraturan kepala BPOM (misal

batas cemaran kimia dan mikroba) Pedoman Kode praktis Codex standard Code of practicesGuidelines 8 Jumlah peraturan

atau standar yang telah dikeluarkan

7010 SNI

(1970 hingga 1 Mei 2011) 29 Peraturan/Keputusan Ka. BPOM terkait pengawasan keamanan pangan yang diberlakukan untuk keluar organisasi BPOM (dari 2001 hingga Januari 2010) (lihat Lampiran 8)

5342 Codex standards, guidelines dan codes of practice

(1963 hingga Juni 2006) (CAC, 2006)

9 Wilayah pemberlakuan standar/peraturan

Nasional Nasional Internasional

10 Lingkup standar Mutu dan keamanan pangan Keamanan pangan Mutu dan keamanan pangan 11 Sifat

(25)

Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan)

No Karakter BSN BPOM CAC

12 Dasar perumusan

standar/peraturan Meningkatkan mutu dan melindungi kesehatan masyarakat (kesehatan, keamanan,

keselamatan, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi nasional)

Melindungi kesehatan masyarakat Melindungi kesehatan masyarakat dan menjamin perdagangan dunia yang fair

13 Manfaat bagi pengguna

standar/peraturan

oJaminan mutu produk

oMembantu penyelesaian dalam masalah yang terkait TBT

Mendapatkan izin edar/mendaftar produk

Penyelesaian perselisihan

perdagangan antar negara (WTO) yang terkait dengan Technical Barrier Trade(TBT) dan Sanitary and Phytosanitary(SPS)

14 Tim penyusun Panitia teknis: Pemerintah (instansi teknis), industri, konsumen,

akademisi; dan MASTAN

BPOM, industri, konsumen, dan

akademisi Codex committee: Pemerintah negara anggota dan NGO 15 Tim pengkaji

risiko

Gugus kerja/Panitia teknis? (tidak eksplisit dijelaskan)

Tim mitra bestari?

(tidak eksplisit dijelaskan)

Joint FAO & WHO (misal JECFA - Joint FAO/WHO Expert

Committee on Food Additives, JEMRA -Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment, -JMPR - Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues)

16 Target penyelesaian

19 bulan (berdasarkan PSN 01-2007)

Tidak eksplisit dijelaskan ≤5 tahun

17 Waktu kaji ulang 5 tahun Tidak eksplisit dijelaskan Maksimal 6 tahun (CAC, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Pengguna data mengakui bahwa BPS tidak bertanggung jawab atas penggunaan data atau interpretasi atau kesimpulan berdasarkan penggunaan data apabila tidak diketahui atau

AN ANALYSIS OF THE APPLICATION OF THEME AND THEMATIC PROGRESSION IN STUDENTS’ COMMENTARY WRITING.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

bidang tugas pengadaan barang/jasa Pemerintah tetap dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik, Kementerian Negara Perencanaan

Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam

Fungsi amilosa yang terdapat pada bakso sebagai komponen perekat akan membentuk tekstur bakso yang baik(Wibowo 1995). Berdasarkan uraian sebelumnya, sukun memiliki

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan

GÖZLÜKLÜ, Burçin, (TMSK Genel Sekreteri Burçin GÖZLÜKLÜ'nün "Muhasebe ve Denetimde Uluslararas ı Geli ş meler" konferans ı nda,"IFRS'lerin Kabulüne Yönelik Çal

Tingkat pendidikan tertinggi adalah lulusan Spesialistik dan pendidikan terendah adalah lulusan S1. Masing-masing subyek penelitian diberi kesempatan untuk mengemukakan