• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS

DI INDONESIA

C. Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia 1. Sumber Hukum Fundamental

Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah ketentuan-ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi, kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum fundamental tersebut adalah sebagai berikut :47

a. UUD 1945;

b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights).

Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah, semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan

47

(2)

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”48 Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.49

Untuk mempertegas kelemahan pasal 28 UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers, maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”50

Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak

48

Lihat UUD 1945

49

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.39

50

(3)

menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945 tersebut.51

Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal 21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan elemen :52 a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh informasi.

b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB.

c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.”

51

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal..40

52

(4)

Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat di depan umum. Dengan demikian, UU No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar hukum media.53

Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-kesepakatan tentang HAM di dunia internasional, khususnya sebagai anggota PBB.54

53

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156

54

(5)

2. Sumber Hukum Fungsional

Sumber hukum fungsional adalah sumber hukum media massa yang berisi peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi tentang teknis operasional media massa, yaitu UU Pers (UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :55

a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945;

b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

d. UU No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena menghambat kemerdekaan pers.

Ada beberapa persamaan antara UU No. 40 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan, jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang

55

(6)

sebelumnya mendera kehidupan pers.56

a. sensor dan pemberedelan pers;

Misalnya, kedua produk hukum itu sama-sama mencabut ketentuan tentang :

b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP; c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik;

d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan membahayakan kepentingan politik penguasa.

Khusus mengenai pencabutan SIT, terdapat perbedaan yang tajam antara UU No. 11 Tahun 1966 dengan UU No. 40 Tahun 1999. Melalui pasal 20 ayat (1) Peraturan Peralihan UU No. 11 Tahun 1966, justru mengingkari substansi pasal sebelumnya yang telah mencabut keharusan SIT bagi setap penerbitan pers, sebab pasal 20 ayat (1a) dan (1b), masih mengharuskan ketentuan SIT selama masa transisi yang diatur Dewan Pers dan pemerintah. Dengan kata lain, UU No. 11 Tahun 1966 ternyata bagaikan cek kosong dalam kemerdekaan pers, seolah-olah ia memerdekakan pers dari praktik represif penguasa, tetapi begitu hendak diaplikasikan ternyata janjinya palsu alias tidak sesuai antara yang tertulis dengan realitas sebenarnya.57

Berbeda halnya dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang produk hukum reformasi ini memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat atau embel-embel masa transisi. Janji pencabutan SIUPP ternyata betul-betul efektif, sehingga

56

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56

57

(7)

setiap warga negara yang menerbitkan pers, bisa melakukannya dengan leluasa tanpa hambatan dari pihak manapun.58

3. Sumber Hukum Stuktural

Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung, seperti :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka digolongkan dalam hukum media massa struktural.59

Sebuah contoh hukum media massa peninggalan Belanda adalah, tiga pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Pasal 154, 156 dan 157, di mana pasal 154 KUHP ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Pasal-pasal ini disebut dengan haatzaai-artikelen, yang berarti pasal-pasal penyebar kebencian dalam undang-undang yang berasal dari sistem pers otoriter di Inggris pada abad ke-16, kemudian diterapkan pemerintah kolonial

58

Ibid

59

(8)

Belanda di Indonesia. Pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pencekalan kebebasan pers atau tindakan serupa.60

Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia (pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik (pasal 156 ayat 2 KUHP).61

Pasal 157 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 157 ayat 2 berbunyi: “Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya Adapun bunyi pasal 156 yang sering disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau kedudukannya menurut hukum tata negara”.

60

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.61

61

(9)

pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang pencarian tersebut”.62

Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, ketentuan

haatzaai-artikelen itu berlaku di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya KUHP.

Belanda sendiri telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara.63

Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310 ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318 KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).64

62 diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.00 WIB

hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.35 WIB

(10)

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata.65

D. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru dan Era Reformasi

Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.

1. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru

Yang dimaksud dengan era Orde Baru adalah suatu periode politik sejak tahun 1966 di bawah pemerintahan kepemimpinan Jendral Soeharto (11 Maret 1966) hingga kejatuhannya (21 Mei 1998). Era politik di bawah kepemimpinan Soeharto itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru. Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di Indonesia.66

Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11 Tahun 1966 yang

65

Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84

66

(11)

mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.67

Pada waktu awal sistem politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, misalnya tampak sekali peranan Soeharto, dengan partai tunggal Golkar dan militer menjadi pilar utama kekuasaan pada waktu itu. Hubungan antara militer, Golkar, pers, dan mahasiswa, yang menjadi pilar demokrasi di awal Orde Baru itu terlihat sangat harmonis. Hal ini ditandai dengan berbagai indikator, misalnya, di lingkungan pers, Peraturan Panglima Perang Tertinggi No.10 Tahun 1960 yang mewajibkan SIT bagi setiap penerbit dicabut melalui UU No.11 Tahun 1966. Begitu juga tentang sensor, bredel, dan izin cetak pers dicabut.68

Masalahnya, hubungan dekat antara elemen pers, mahasiswa dengan sistem politik Orde Baru segera berubah. Hal ini disebabkan pergeseran karakteristik pemerintahan Orde Baru yang represif dan militeristik. Realitas itu ditolak dan mendapat kecaman keras dari pers dan mahasiswa. Perbedaan sikap ini membuat watak represif konfigurasi politik Orde Baru yang sudah berubah menjadi represif dan keras. Sikap represif makin kuat sehingga mengarah kembali ke watak sistem pemerintahan Orde Lama yang pernah dikoreksi oleh berbagai komponen utama Orde Baru. Sebagai pelaksanaan dari amanat Tap MPRS XXXII/1966 tersebut, keluarlah UU No.11 Tahun 1966, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers. Undang-undang baru ini sangat responsif, karena mencabut

67

Alfian, Pemikiran Politik Indonesia, cet.1, hal.135 (dikutip dalam buku karangan Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.77)

68

(12)

tentang keharusan SIT, dan menjamin tidak ada lagi sensor dan pemberedelan pers yang sebelumnya menjadi momok para praktisi pers yang pro kemerdekaan pers.69

Pasal 4 UU Pokok Pers tersebut secara tegas menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Pasal 5 ayat (1) berbunyi bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang memberi jaminan kebebasan pers.70

UU No.11 Tahun 1966 di tengah jalan diubah dengan UU No.4 Tahun 1967. Sebuah perubahan yang tidak substansial dan hanya terdiri dari dua pasal.

Bahkan disebutkan bahwa kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia, namun dalam UU Pers itu juga dicantumkan sebuah “Peraturan Peralihan”. Sesuai dengan namanya, ketentuan ini mengesankan sebagai peraturan yang bersifat sementara. Pasal 20 Peraturan Peralihan berbunyi :”Dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR.”

71

Pada awal Orde Baru (1966 hingga awal 1970-an) sering dikatakan merupakan bulan madu antara pemerintah Orde Baru dan kaum pro-demokrasi. Mengenai perizinan muncul Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/Per/Menpen 1969 tentang permohonan Surat Izin Terbit (SIT). Di samping SIT masih ada Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

69

Ibid

70

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.101 71

(13)

Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi, namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah.72

Masalahnya, hubungan mesra antara penguasa dan elemen demokrasi itu tidak berjalan lama. Pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan menyatakan pendapat antara penguasa dan elemen demokrasi mengalami degradasi. Pemerintah yang makin kuat peranannya karena sudah mendapat dukungan dari berbagai elemen demokrasi, pada akhirnya justru merasa seakan stabilitasnya terganggu terhadap sikap kritis dan kontrol sosial dan politik yang juga kian kuat. Berbarengan dengan itu, muncul kecemasan setelah aksi mahasiswa datang bertubi-tubi terhadap praktik politik pemerintahan Orde Baru dalam hal ini Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).73

Hal tersebut mengakibatkan makin berkurangnya dukungan kekuatan demokrasi karena dinilai setelah empat tahun Orde Baru berdiri, terjadi gejala penyimpangan cita-cita Orde Baru. Sebagai reaksi, kemudian muncul gejolak pada tahun 1974, yang dikenal dengan Malari 1974 dan tahun 1980-an. Inti dari gerakan Malari tersebut adalah menolak praktik KKN dan ketergantungan

72

Ibid, hal.104

73

(14)

ekonomi pemerintah Orde Baru pada utang luar negeri.74

Lebih dari 10 tahun UU Pokok Pers itu kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya SIUPP.

Hal ini mengakibatkan koran-koran yang semula vokal menjadi lembek, koran-koran yang semula nyaring lalu membisu, dan tentu saja sejumlah koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup pasca Malari.

75

Pasal 13 ayat (5) UU No.21 Tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan.76 Meskipun Permenpen ini dinggap bertentangan dengan UU Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun 1998.

74

Ibid

75

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.96

76

(15)

2. Kemerdekaan Pers Pada Massa Reformasi

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.77

Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam hal :78

a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers represif ke arah produk hukum responsif;

b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi; c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal;

d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis.

Gejala perubahan nilai-nilai baru dalam bidang pers itu pada awal konfigurasi politik Reformasi dilakukan dengan proses yang sangat demokratis.79

77

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.92

78

Ibid

79

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.93

(16)

Yunus Yosfiah mencabut sejumlah Peraturan Menteri dan SK Menpen yang menjadi alat kontrol pers dan wartawan. Hal ini disambut dengan sukacita oleh kalangan pers, lebih-lebih setelah pemerintah pada tanggal 5 Juni 1998 mencabut Permenpen yang sangat dibenci oleh kalangan pers yaitu Permenpen No.1 Tahun 1984, yang berisi “Menteri Penerangan berhak memberikan teguran, membekukan sementara dan membatalkan SIUPP.”

Baru beberapa hari setelah Permenpen tersebut dicabut telah mengundang reaksi negatif dari sebagian pengamat pers.80

Gambaran paradigma kehidupan pers pada masa Orde Baru pun berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Muncul reformasi yang membawa akibat pada berubahnya hampir semua tatanan pada sektor publik. Reformasi dimaksud secara mendasar berkenaan filosofi kebebasan pers yang mengedepan berupa tuntutan untuk kebebasan pers yang sebelumnya dipasung oleh pemerintah.

Mereka mempertanyakan Permenpen itu karena dalam Permenpen yang baru No.1 Tahun 1998, Menteri Penerangan masih memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif, berupa peringatan tertulis dan pembekuan izin dan penyelesaian melalui pengadilan. Menpen menjelaskan bahwa pembekuan itu sifatnya administratif, misalnya perusahaan media massa itu sudah tidak terbit maka Menpen berhak membekukan agar tidak dikenai pajak.

81

80

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.116

81

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.98

Tuntutan ini melahirkan Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

(17)

UU No.40 Tahun 1999 ini dikatakan sebagai sapu jagat kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan tahun didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru.82

a. Pasal 9 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 : meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers;

Dikatakan sebagai sapu jagat karena undang-undang ini menghapus semua ketentuan represif yang pernah berlaku pada era Orde Baru, seperti :

b. Pasal 4 ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 : menghilangkan ketentuan sensor, pembredelan atau pelarangan penyiaran;

c. Pasal 4 ayat (2) Jo Pasal 18 ayat (1) UU No.40 Tahun 1999 : melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp.500.000.000 bagi yang menghambat kemerdekaan pers.

Selain menghapus berbagai kendala kemerdekaan pers tersebut di atas, UU No.40 Tahun 1999 juga memuat isi pokok sebagai berikut :

a. Pasal 2 UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah perwujudan dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.

b. Pasal 4 ayat (1 ) UU No.40 Tahun 1999 : kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa.

Dengan adanya kemudahan mendapatkan SIUPP, serta dijamin tidak ada sensor dan pemberedelan, ternyata menimbulkan euphoria atau pesta pora

82

(18)

kemerdekaan pers. Dampaknya, penerbitan pers tumbuh bagai jamur di musim hujan. Hal ini memungkinkan bagi setiap warga masyarakat yang profesional maupun amatir dapat mendirikan penerbitan pers.83

Adanya deregulasi pers sampai akhirnya dihapuskannya SIUPP dan adanya jaminan kebebasan pers, memunculkan persoalan baru. Persoalan itu adalah tuduhan yang gencar dilakukan berbagai kalangan bahwa “pers Indonesia telah kebablasan”. Pers dinilai bertindak tidak profesional dengan seringnya membesar-besarkan masalah dan mengeksploitasi konflik yang terjadi di masyarakat.84 Akibatnya timbul tekanan kepada pers melalui berbagai cara termasuk dengan kekerasan, sampai tuntutan hukum dengan menggunakan KUHP. Dalam KUHP warisan penjajah Belanda itu memang terdapat ketentuan yang dikenal dengan istilah delik pers. Aturan ini digunakan untuk menyeret wartawan sebagai pelaku tindak kriminal. Masalah ini terkenal dengan istilah kriminalisasi pers yang muncul tahun 2004.85

E. Mekanisme Pemberitaan Pers yang Sesuai Dengan Prinsip Keadilan dan Penghormatan terhadap HAM

Pers cetak yang telah merasa aman dengan UU Pers No.40 Tahun 1999, lima tahun kemudian ternyata secara hukum tidak berdaya dengan “kriminalisasi pers”.

Amandemen UUD 1945, terutama Amandemen Kedua yang disahkan tanggal 18 Agustus 2000 oleh Sidang Tahunan MPR-RI mengandung arti yang sangat penting dan strategis bagi peningkatan efektivitas peran pers dalam

83

Ibid, hal.97

84

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.117

85

(19)

menunjang dan pemajuan serta perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Seperti diketahui, sebelum amandemen dilakukan, UUD 1945 tidak secara rinci memuat tentang HAM bahkan boleh dibilang sangat sumir. Akan tetapi dengan ditetapkannya secara lebih rinci prinsip-prinsip HAM dalam UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2000 akan sangat membantu pers dalam melakukan pengawasan serta penegakan, termasuk pencegahan pelanggaran HAM.86

Konstitusi kita kini mengatur prinsip-prinsip HAM dalam Bab tersendiri sebagai akibat Amandemen Kedua UUD 1945 tersebut. Ada sebanyak 10 pasal mengatur mengenai masalah HAM dengan 24 ayat. Dalam ke 10 pasal itu (Pasal 28A hingga Pasal 28J) diatur secara rinci dan jelas prinsip-prinsip HAM. Rumusan pasal-pasalnya begitu jelas dan tuntas sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat meminimalisasi multiinterpretasi. Rumusan yang lebih rinci dan jelas mengenai HAM seperti itu, tentunya akan sangat membantu peran pers dalam menunjang pemajuan dan perlindungan HAM, sebab dengan rumusan yang lebih rinci dan jelas seperti itu, pers dengan mudah dapat mengenali mana tindakan serta kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai HAM dan mana tindakan serta kebijakan yang tidak menunjang dan menghormati HAM dan oleh karena itu harus dikritisi serta dikoreksi pers.87

Rumusan HAM yang lebih rinci dan jelas tersebut, maka diharapkan peran pers untuk menunjang pemajuan dan perlindungan HAM akan lebih efektif. Sekaligus dengan rumusan HAM yang lebih rinci, jelas dan lengkap seperti itu

86

R.H.Siregar, Efektivitas Peran Pers dalam Menunjang Perlindungan dan Pemajuan

HAM

87

(20)

akan sangat membantu peran pers dalam melakukan sosialisasi secara lebih luas kepada masyarakat mengenai nilai-nilai HAM. Tidak hanya itu, juga secara preventif lebih mampu mengefektifkan peran pers mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Pada sisi lain fungsi kontrol pers dalam menegakkan hukum atas pelanggaran HAM dapat berjalan lebih baik. UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers juga telah memposisikan peran pers secara lebih baik dalam menegakkan HAM. UU Pers itu dengan tegas mengatakan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers tersebut, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.88

Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara yang bukan semata-mata monopoli dan milik orang pers. Kemerdekaan pers adalah milik masyarakat berdaulat yang dalam pelaksanaannya diperankan oleh Perusahaan Pers dan Wartawan. Apakah yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara ?” UU Pers memberikan jawaban yang sangat tegas. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara mengandung arti bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang

88

(21)

dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.89

Bentuk konkret perlindungan atas kemerdekaan pers itu, dinyatakan UU Pers, yaitu “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Selanjutnya UU Pers menegaskan pula bahwa penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.90

UU Pers memuat 5 peranan Pers Nasional. Artinya UU Pers memandatkan dan memerintahkan agar Pers Nasional melakukan 5 peran yang sangat berat tapi mulia. Pertama, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Kedua, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Ketiga, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Keempat, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Kelima, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.91

Oleh karena itu, jika banyak media melakukan koreksi, kritik dan pengawasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, para elit tidak perlu marah, sebab media menjalankan perintah undang-undang. Tetapi media tidak boleh mengkritik hal-hal yang bersifat privasi yang merugikan nama

89

Hinca I.P.Panjaitan, Op.Cit., hal.21

90

Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU Pers

91

(22)

baik yang bersangkutan, sebab media hanyalah bekerja untuk kepentingan umum. Media harus memahami sungguh-sungguh bahwa hanya informasi yang bernilai bagi prikehidupan manusia yang dicari, diperoleh, dimiliki, disampaikan secara etis yang pantas, yang patut, yang layak dan dapat diberitakan.92

UU Pers memberikan lima peran yang sangat berat dan mulia kepada Pers Nasional, karena UU Pers meyakini bahwa Pers Nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.93

UU Pers menyatakan bahwa dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, yang tujannya adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas Pers Nasional.

94

92

Hinca I.P.Panjaitan, Op.Cit., hal.30

93

Ibid

94

Lihat Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU Pers

Oleh karena itu UU Pers memberikan 7 fungsi sekaligus kepada Dewan Pers. Pertama, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Kedua, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Ketiga, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Keempat, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat ini adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kelima, mengembangkan

(23)

komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Keenam, memfasilitasi organisasi-organsasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Ketuju, mendata Perusahaan Pers.

Spirit utama yang dipakai UU Pers dalam menegakkan kemerdekaan pers dapat ditemukan pada apa yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Pers.95

Selain itu UU Pers menegaskan pula bahwa pers harus selalu berkomitmen pada pelaksanaan lima fungsi yang utuh, yaitu :

Antara lain menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.

96

1. fungsi sebagai media informasi 2. fungsi sebagai media pendidikan 3. fungsi sebagai media hiburan 4. fungsi sebagai media kontrol sosial 5. fungsi sebagai lembaga ekonomi

Kemerdekaan pers sehubungan dengan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat haruslah diimbangi dengan eksistensi hak untuk berbeda pendapat. Hal ini sejalan dengan semakin transparansinya era keterbukaan, kian deras pula tuntutan untuk pemenuhan hak asasi baik yang bersifat individual maupun hak

95

Hinca I.P.Panjaitan, Op.Cit., hal.361

96

(24)

yang bersifat sosial. Di antara hak sosial yang bersifat asasi itu adalah hak untuk berbeda pendapat.97 Hak untuk berbeda pendapat termasuk hak yang amat penting. Oleh karena itu dibutuhkan adanya legalitas dalam bentuk peraturan yang secara eksplisit juga merefleksikan hak ini. Secara sederhana, pengakuan adanya hak untuk berbeda pendapat ini mengharuskan pihak pemegang kekuasaan khususnya untuk membuka diri dan siap menerima berbagai masukan, konkretnya adalah kritik dari pihak lain. Hendaknya kritik yang disampaikan tidak diartikan sebagai upaya perorangan terhadap kewibawaan dan kemapanan.98 Memang ada kecerendungan untuk tidak bersikap represif terhadap berbagai kritik yang dilontarkan. Hal ini kiranya dapat dijadikan sebagai momentum yang dipertahankan dengan catatan bahwa hendaknya dilakuka n dengan rasa tanggung jawab. Untuk itulah, pada era demokrasi dan demokratisasi yang menuntut lebih banyak keterbukaan, kritik, sumbang saran atau apa pun namanya amat diperlukan sebagai refleksi dari hak untuk berbeda pendapat ini, dan juga bukan sesuatu yang dianggap memusuhi. Pers adalah wadah perbedaan pendapat secara tertulis.99

Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang menjamin kemerdekaan pers, namun ancaman terhadap kemerdekaan pers tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat proses legislasi di DPR atau melalui pengadilan. Di sisi lain,

97

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.68

98

Ibid, hal.72

99

(25)

mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman pers lewat kekerasan terus terjadi. Tuntutan dan gugatan hukum terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama baik, baik menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.100

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan secara berlebihan dan ini malah akan menghambat demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan pencemaran nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik akan menimbulkan bahaya ketidakpastian hukum karena berpotensi tinggi akan memidanakan jurnalis karena pencemaran nama baik. Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP bisa sangat tidak obyektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi tidak berdasar.101

Tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan dari pada ketentuan hukum yang lain.102

100 101 Ibid 102 Ibid

(26)

F. Sosok Pers yang Profesional, Bebas, dan Bertanggung Jawab Ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers

Ada dua prinsip yang mendasar menurut filsafat jurnalistik, yaitu publik harus diberikan apa yang mereka inginkan, dan publik juga harus diberikan informasi yang mengandung kebenaran karena hal itu memang dibutuhkan oleh publik. Oleh karna itu, jurnalistik memerlukan jaminan kebebasan. Ketika jurnalistik memperoleh jaminan kebebasan terbukalah jalan yang lapang untuk melaksanakan sejumlah tugasnya.103

Pers juga harus bersifat akurat. Upaya untuk bertindak akurat dan adil adalah tolak ukur untuk memahami watak jurnalistik yang baik. Kewajiban selanjutnya adalah pers harus berkata benar. Watak yang baik tidaklah mudah diperoleh atau dipertahankan tanpa perjuangan. Jurnalistik adalah sebuah bisnis atau usaha yang selalu mengalami perubahan dalam berhubungan dengan publik. Mudahnya terjadi pergeseran demikian adalah masalah yang menuntut keputusan yang cepat dari jurnalistik. Seterusnya, pers harus bertanggung jawab kepada public, sebab pers adalah lembaga publik. Pers harus memikul kewajiban terhadap masyarakat yang dilayaninya dan yang juga mendukung keberadaannya. Pers

Tugas pertama jurnalistik (pers) adalah untuk menerima keterangan-keterangan yang sifatnya paling lekas dan yang paling tepat tentang kejadian-kejadian pada waktu tertentu, dan kemudian dengan segera pula memberitakannya guna menjadikan peristiwa-peristiwa itu sebagai milik bangsa di mana pers itu berada.

103

A.Muis, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, PT.Dharu Anuttama, Jakarta, 1999, hal.30

(27)

harus mengindahkan kesopanan. Tidak hanya sopan mengenai bahasa dan gambar yang digunakan karena hukum menghendaki demikian, melainkan juga cara memperoleh berita. Wartawan yang lebih baik ialah yang mengenakan ketentuan pada tugasnya seperti juga mengenakan pada diri sendiri sensor untuk mempertahankan cita rasa yang baik dengan publiknya.104

Wartawan adalah sebuah profesi, dengan kata lain wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Produk pers berupa informasi itu pada hakekatnya merupakan penggambaran perilaku dari karyawan pers. Semua perilaku tersebut tunduk kepada tatanan yang mengaturnya baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tatanan internal berupa etika dalam hal ini sebagaimana yang dituangkan dalam kesepakatan para wartawan Indonesia, yang diwadahi dalam Kode Etik Jurnalistik. Sementara yang bersifat eksternal adalah berupa peraturan perundang-undangan dan tekanan sosial.105

104

Ibid, hal.33

105

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.129

Kinerja para wartawan itu, secara universal menurut pada suara nuraninya yang secara mikro berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Apa yang dilihatnya sebagai fakta, seharusnya itu pula yang digarap dan dijadikan sebagai bahan informasi, namun pada kenyataannya tidak demikian. Ada konflik yang dihadapi oleh para wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Suara universal yang bersifat mikro itu berhadapan dengan kenyataan makro dalam masyarakat yang mengaharuskan terjadinya interaksi. Akibatnya, apa yang seharusnya menjadi idealisme yang muncul dari pilihan etis personal itu menjadi tidak mungkin

(28)

dilaksanakan secara keseluruhan ketika berada di lapangan.106 Hal ini menyebabkan munculnya permasalahan dalam interaksi antara pers dengan masyarakat dan atau antara pers dengan pemerintah. Hal ini mengharuskan adanya tanggung jawab dari pers yang bersangkutan sehingga interaksi dapat terus berlanjut dinamis.

Pers menghormati hak asasi setiap orang dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya. Pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Artinya dalam menyiarkan informasi, tidak boleh menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.107

Penilaian tentang ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam pemberitaan dan juga ada tidaknya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik hanya dapat dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan Pers. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi merupakan prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum, dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru.108

106

Ibid, hal 30

107

Lihat Penjelasan Pasal 5 ayat 1 UU Pers

(29)

Pers juga dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Pers yang profesional mengarah kepada patuh dan setia kepada penghormatan prinsip-prinsip etika jurnalistik, serta meningkatkan pengetahuan, kejujuran dan kesatriaannya untuk senantiasa patuh dan menjunjung tinggi etika jurnalistiknya itu. Terbuka dikontrol oleh masyarakat adalah soal bagaimana kejujuran dan kesatriaan pers mengakui kesalahan untuk selalu terbuka disanggah, ditanggapi dan atau dikoreksi bila terdapat kesalahan atas pemberitaannya yang juga diamanatkan oleh etika jurnalistiknya. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme penggunaan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi serta kejujuran melakukan Kewajiban Koreksi. Mekanisme kontrol ini dapat disampaikan kepada Redaksi dan dapat pula disampaikan melalui Dewan Pers, sedangkan peran media watch lebih kepada fungsi literasi.109

Atas dasar fungsi, kewajiban dan peran yang sangat besar itu, maka UU Pers menjelaskan secara rinci bagaimana melakukan kontrol terhadap pers, sebab jika tidak dilakukan kontrol, maka pers itu dengan leluasa akan menjadi anarkis. Kekuasaan memang cenderung disalahgunakan, karena itu, sekali lagi diperlukan kontrol dari masyarakat, termasuk kontrol dari dalam hati nurani wartawan itu sendiri.110

Tiga cara mengontrol kinerja pers di atas merupakan mekanisme penyelesaian permasalahan akibat pemberitaan pers yang dikenal oleh UU Pers. Cara yang pertama dilakukan oleh pembaca yang merasa dirugikan nama baiknya dengan menggunakan Hak Jawab dan atau Hak Koreksi secara langsung ke

109

Hinca I.P. Pandjaitan, Op.Cit., hal.36

110

(30)

redaksi. Beberapa perusahaan pers mewujudkan cara yang pertama ini dengan mengangkat dan menunjuk Ombudsman sebagai sarana melayani dan memenuhi Hak Jawab dan atau Hak Koreksi itu. Jawa Pos memilih cara ini untuk mewujudkan profesionalisme dan melayani kontrol yang dilakukan masyarakat atas pemberitaan, sehingga ketidakjujuran dan ketidaksatriaan redaksi dapat diatasi dengan baik. Mekanisme ini dapat disebut sebagai mekanisme Ombudsman Internal, untuk membedakan mekanisme yang digunakan Dewan Pers yang dapat disebut sebagai Ombudsman Eksternal.111

Cara yang kedua, yang biasa dikenal sebagai fungsi “pemantauan” atau “media watch”. Biasanya ada sekelompok masyarakat yang peduli tentang kinerja pers kemudian melakukan pemantauan atas pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Hasilnya dituliskan ulang dan diberitakan kembali bahkan tak jarang diumumkan secara terbuka dengan memberikan penilaian atas peringkat tertinggi sampai terendah atas isi berita yang diduga melakukan pelanggaran atas kode etik dan ketentuan hukum yang berlaku. Fungsi ini lebih bersifat fungsi literasi.112

Cara yang ketiga, adalah dengan cara yang diperankan oleh Dewan Pers dengan segala bentuk dan cara. Cara ini dapat dikategorikan sebagai Ombudsman Eksternal. Sesuai dengn amanah UU Pers, Dewan Pers mempunyai fungsi antara lain memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

111

Ibid, hal.52

112

(31)

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran KEJ.113

Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketidaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidak benaran dalam sajian pers.114

Selain itu, sesuai dengan asas profesionalisme, pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan deskripsi 'politik keredaksian' yang dijadikan dasar oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab.115

Pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat, tidak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Oleh karena itu, fakta yang dalam takaran jurnalistik dipandang sebagai sakral dimaknai sedemikian rupa, sehingga

113

Ibid

diakses pada hari Jumat, 22 Januari 2010, pukul 17.45 WIB

115

(32)

terpulang pada seleksi apakah sebuah sajian dipandang menenteramkan dan mendamaikan masyarakat atau tidak. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tidak menyajikan kepada masyarakat, kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan konsistensi atas penegakan hukum terhadap terjadinya delik pers oleh aparat penegak hukum, sehingga warga masyarakat pun terayomi dari tindak arogansi pers, sementara itu, pekerja pers juga dapat melaksanakan profesinya secara benar.116

116

Referensi

Dokumen terkait

of darapladib on plasma lipoprotein-associated phospholipase A2 activity and cardiovascular biomarkers in patients with stable coronary heart disease or coronary heart disease

Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian eksperimen semu. Dengan menggunakan pendekatan deskritif kuantitatif. penelitian ini populasi adalah keseluruhan siswa

• Aspal yang telah dimodiifikasi dengan bahan lain untuk meningkatkan kinerja, umumnya bahan tambah yg digunakan adalah SBS.

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat (usulan) konsep desain interior yang sesuai untuk ruang tetapi autis berdasarkan metode dan literatur yang dijadikan

(sambil menunjuk lubang hidungnya) Jawaban Syifa “ warna apa?” setelah mendengar pertanyaan “ Syifa suka warna apa?” melanggar maksim relevansi, karena jawaban tidak

Limbah padat medis adalah limbah padat yang terdiri dari : limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah

Perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana melakukan penjadwalan cement mill untuk memproduksi semen OPC dan semen Non OPC dengan meminimasi jumlah pembilasan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis peningkatan rasio likuiditas dari segi cash rasio, peningkatan rasio solvabilitas dari segi rasio total aktiva,