• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan, Perkembangan dan Produktivitas Kelapa Sawit

Pertumbuhan

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk devisi Tracheophyta, subdevisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subkelas Monokotiledon, ordo Palmaes, famili Palmae, subfamili Palminae, genus Elaeis, spesies Elaeis guineensis (asal Afrika Barat) dan Elaeis oleifera (asal Amerika Latin), serta memiliki beberapa varietas yaitu Dura, Pisifera dan Tenera (Hartley, 1988). Famili Palmae dikenal juga sebagai famili Arecaceae (Ferwerda, 1977).

Pertumbuhan kelapa sawit terus berlangsung bertambah tinggi selama hidup secara alami hingga umur 135 tahun (seperti tercatat di Kebun Raya Bogor). Pertumbuhan kelapa sawit memiliki sifat-sifat vegetatif (akar, batang dan daun) dan generatif (bunga dan buah) yang khas, serta fenologi yang kompleks.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Ismail dan Mamat (2002), waktu yang optimum tanaman kelapa sawit untuk ditanam ulang (replanting) bergantung pada harga tandan buah segar (TBS), biaya untuk menanam tanaman sawit baru, dan teknologi yang mengubah kapasitas produksi. Berdasarkan hal itu, umur tanaman yang optimal untuk di-replanting yaitu antara 25 – 26 tahun jika harga TBS Rp 600/kg. Jika harga TBS naik menjadi Rp 660/kg maka umur optimalnya menurun menjadi 24-25 tahun.

Perkembangan Tandan Bunga – Buah

Tandan bunga terletak pada ketiak daun, mulai muncul setelah tanaman berumur satu tahun di lapangan. Karena pada setiap ketiak daun terdapat potensi untuk menghasilkan bakal bunga, maka semua faktor yang mempengaruhi pembentukan daun juga akan mempengaruhi potensi bakal bunga serta dapat juga mempengaruhi perkembangan bunga. Bakal bunga terbentuk sekitar 33-34 bulan sebelum bunga mekar (anthesis), sedangkan pemisahan bunga jantan dan betina terjadi sekitar 14 bulan sebelum antesis (Breure dan Mendez, 1990).

Corley (2003), secara umum telah menggambarkan perkembangan daun dan bunga kelapa sawit. Perkembangan bunga dari bakal bunga sampai buah matang dirangkum dalam diagram berikut (Gambar 1).

(2)

Gambar 1. Diagram perkembangan bunga kelapa sawit (Harahap et.al, 2000) Fase-fase perkembangan bunga yang peka terhadap kekeringan akibat curah hujan yang rendah (dirangkum dari Corley, 2003 dan Harahap et.al, 2000) adalah sebagai berikut:

- Inisiasi pembentukan bakal bunga: 30-44 bulan sebelum matang panen. - Pembentukan perhiasan bunga: 28-32 bulan sebelum matang panen. - Penentuan kelamin bunga: 18-30 bulan bulan sebelum bunga mekar. - Peka aborsi bunga: 8-18 bulan sebelum matang panen.

- Anthesis: 5-9 bulan bulan sebelum matang panen.

Penentuan jenis kelamin ataupun pemisahan kelamin merupakan proses yang penting dalam rasio seks kelapa sawit. Rasio seks yang dimaksud merupakan perbandingan antara jumlah bunga betina dengan seluruh bunga yang diproduksi pada suatu waktu tertentu. Semakin tinggi rasio seks maka semakin banyak bunga betina, sehingga peluang untuk mendapatkan produktivitas tandan yang tinggi akan menjadi besar.

Menurut Harahap (2008), pada kondisi yang tidak terdapat cekaman lingkungan maka nilai rerata sex-ratio bunga kelapa sawit adalah 0,63 dengan jumlah tandan bunga yang aborsi sebesar 10%. Peluang terbentuknya tandan bunga betina adalah besar apabila pembentukan bunga sebelumnya juga betina. Begitu juga sebaliknya, pembentukan bunga jantan memiliki peluang yang besar

(3)

apabila sebelumnya juga telah terbentuk bunga jantan dan setelah bunga jantan tersebut muncul peluang terbesar berikutnya adalah muncul bunga jantan lagi.

Rasio seks yang tinggi ternyata belum menjamin produktivitas kelapa sawit yang tinggi, karena belum tentu semua bunga betina yang dihasilkan akan menjadi tandan buah yang dapat dipanen. Hal ini disebabkan kemungkinan terjadi aborsi bunga betina dan kegagalan tandan. Penyebab aborsi adalah karbohidrat yang kurang untuk perkembangan bunga, kurangnya ketersediaan air, pengurangan daun yang terlalu banyak sehingga tanaman mengalami cekaman (Corley, 2003). Kerawanan aborsi bunga ini biasanya terjadi 4,5-5,5 bulan sebelum bunga mekar. Jumlah bunga yang mengalami aborsi dapat mencapai lebih 25% dari produksi bunga yang dihasilkan (Bealing dan Harun, 1989), sehingga dapat merupakan salah satu faktor penyebab fluktuasi produktivitas kelapa sawit.

Kegagalan tandan merupakan tandan yang gagal berkembang dari bunga mekar sampai tidak dapat dipanen. Hal ini disebabkan penyerbukan tidak sempurna, karbohidrat kurang, variasi musim (dinamika iklim) ataupun serangan hama dan penyakit (Corley, 2003). Kegagalan perkembangan tandan bunga dari bunga mekar hingga matang fisiologis (3-4 minggu sebelum siap dipanen) juga merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah tandan dan fluktuasi produktivitas kelapa sawit.

Tanaman kelapa sawit berpeluang menghasilkan tandan buah sepanjang tahun. Perkembangan tandan bunga menjadi tandan buah sudah jelas dipengaruhi oleh dinamika iklim, terutama curah hujan. Pembentukan buah terjadi setelah penyerbukan, waktu yang diperlukan dari penyerbukan sampai matang fisiologis dipengaruhi oleh iklim. Oleh karena itu waktu pembentukan buah pada berbagai kawasan dapat berbeda, misalnya di Sumatera Utara dan Malaysia memerlukan waktu 5-6 bulan, sedangkan di Afrika Barat memerlukan waktu 6-9 bulan. Pematangan buah dalam satu tandan berlangsung berangsur-angsur hingga siap dipanen bila beberapa buah telah terlepas secara alami (Hartley, 1988).

Produktivitas Kelapa Sawit

Pada keadaan normal-optimal, tandan buah kelapa sawit dapat mencapai matang panen untuk pertama kalinya setelah tanaman berumur 32-48 bulan (3-4

(4)

tahun) di lapangan. Produktivitas tandan kelapa sawit meningkat dengan cepat dan mencapai maksimum pada umur tanaman 8-12 tahun, kemudian menurun secara perlahan-lahan dengan tanaman yang makin tua hingga umur ekonomis 25 tahun (Corley, 2003). Pada perkebunan kelapa sawit yang dikelola dengan baik di Indonesia dan Malaysia, produktivitas maksimum tandan buah segar dapat mencapai 24-32 ton/ha/tahun. Pada hampir semua perkebunan komersial umur produktif dan ekonomis kelapa sawit bisa mencapai 25 tahun, jika lebih tua tanaman kelapa sawit menjadi tidak ekonomis (Corley, 2003).

Peningkatan produktivitas sampai umur 8-12 tahun menunjukkan pola yang sama dengan peningkatan luas daun yang mencapai maksimum pada umur yang sama. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara luas daun dan produktivitas tandan sebelum tajuk-tajuk tanaman saling tumpang tindih sehingga terjadi persaingan dalam memperoleh penyinaran matahari. Penurunan produktivitas dengan menuanya umur tanaman berhubungan dengan penggunaan asimilat hasil fotosintesis untuk respirasi utamanya pada bagian batang yang merupakan organ dengan biomassa terbesar, sehingga proporsi untuk organ generatif berkurang (Corley, 2003).

Produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dapat diperhitungkan dari komponen-komponennya, yaitu jumlah tandan dan rerata berat tandan. Kedua komponen ini dipengaruhi oleh genetik tanaman, umur, lingkungan dan manajemen (kultur teknis). Berat tandan rata-rata akan meningkat sejalan dengan umur tanaman, sedangkan jumlah tandan akan menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman.

Jumlah tandan per pohon tergantung pada laju produksi daun, rasio seks bunga, dan kegagalan pembentukan tandan akibat gugur bunga (Corley, 2003). Jumlah tandan per pohon cenderung menurun dengan pertambahan umur tanaman. Laju produksi daun merupakan indikasi jumlah tandan potensial yang dapat dihasilkan tanaman yang hanya satu bunga berpeluang dihasilkan pada setiap ketiak pelepah daun (Breure dan Mendez, 1994). Rasio seks bunga betina terhadap bunga jantan, lebih tinggi pada keadaan lingkungan tanpa faktor pembatas dibandingkan pada keadaan dengan faktor pembatas, seperti cekaman air akibat kekurangan curah hujan. Corley (2003) juga mengemukakan bahwa

(5)

terdapat kecenderungan penurunan rasio seks pada 16-22 bulan setelah terjadinya kekeringan di Malaysia.

Berat tandan meningkat dengan pertambahan umur tanaman. Pada awal tanaman menghasilkan (umur 3 tahun) rerata berat tandan sekitar 4 kg per tandan dan terus meningkat hingga mencapai 25 kg per tandan pada umur 15 tahun atau lebih (Corley, 2003). Berat tandan umumnya relatif kurang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan jumlah tandan.

Tanaman kelapa sawit menghasilkan minyak sebesar 3,67 ton per hektar. Rasio output-to-input tanaman kelapa sawit untuk menghasilkan minyak adalah sebesar 9:1 dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya seperti kedelai dan rapeseed yang hanya 3:1. Tanaman kelapa sawit juga memiliki tingkat fotosintesis yang tinggi yang menghasilkan emisi oksigen dan penyerapan karbon dioksida dimana nilainya sepuluh kali lebih efektif daripada tanaman kedelai. Selain itu, luasan areal yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebagian besar kebutuhan minyak dan lemak seluruh dunia akan lebih sedikit dibandingkan tanaman penghasil minyak lainnya (Basiron, 2007).

Faktor Lingkungan Tanaman Kelapa Sawit

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit meliputi iklim, tanah, serta biotik. Faktor cuaca dan iklim umumnya belum dapat dikendalikan, sedangkan faktor tanah dan biotik dapat dikendalikan melalui manajemen dan kultur teknis yang optimal.

Iklim

Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis kawasan khatulistiwa dengan kelas iklim Af dan Am menurut klasifikasi Koppen. Tanaman ini dibudidayakan secara komersial pada kawasan-kawasan yang memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan evapotranspirasi sekurang-kurangnya 9 bulan dalam setahun (Ferwerda, 1977). Unsur-unsur iklim yang diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan produktivitas tanaman pada umumnya meliputi suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, angin, radiasi matahari, bulan basah dan bulan kering. Begitupun secara khusus bagi perkebunan kelapa sawit, unsur-unsur iklim yang mempengaruhi pertumbuhan,

(6)

perkembangan dan produktivitas meliputi curah hujan, radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan bulan kering.

Curah hujan. Jumlah curah hujan yang kurang atau melebihi kebutuhan tanaman akan menurunkan kelas kesesuaian lahan maupun iklim, karena jumlah air yang dikonsumsi tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan perkembangan generatif. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan-kawasan dengan curah hujan tahunan sekitar 2000 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Hartley, 1988). Penyebaran curah hujan merata dimaksud adalah sebaran curah hujan yang tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan sebaiknya tidak terdapat bulan kering sehingga tanaman tidak mengalami cekaman air.

Penyebaran curah hujan dari waktu ke waktu merupakan faktor yang penting untuk perkembangan bunga. Pada umumnya sewaktu musim hujan terbentuk lebih banyak tandan bunga betina, sedang pada musim kemarau terbentuk lebih banyak bunga jantan dikarenakan mulai awal musim kemarau pemisahan bunga cenderung ke arah bunga jantan (Turner, 1977). Curah hujan yang tinggi dengan penyebaran yang sangat merata sepanjang tahun mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang lebih dominan dari generatif, sehingga mengurangi pembentukan tandan bunga. Curah hujan dengan intensitas tinggi juga mengakibatkan penyerbukan menjadi kurang sempurna akibat hilangnya tepung sari karena terbawa aliran air. Corley (2003) menyatakan bahwa hujan yang jatuh pada musim kemarau yang singkat berkorelasi positif terhadap produktivitas kelapa sawit. Curah hujan rendah disertai adanya beberapa bulan kering yang nyata akan menghambat pembentukan daun dan mengurangi pembentukan bunga betina.

Radiasi matahari. Pada pertanaman di lapang, tanaman kelapa sawit membutuhkan penyinaran radiasi matahari yang cukup. Penyinaran radiasi matahari yang cukup adalah lebih dari 1600 jam per tahun dengan rata-rata 5-7 jam per hari (Ferwerda, 1977). Pengaruh penyinaran radiasi matahari terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit dapat diekspresikan dari hasil pengamatan Hartley (1988) yang dirangkumkan sebagai berikut : (i) perlakuan tanaman naungan menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan dan

(7)

produksi tandan bunga betina, (ii) terdapat korelasi positif antara produksi tandan buah dengan lama penyinaran tahunan yang terjadi pada dua bulan sebelumnya, (iii) penyebaran produktivitas tandan buah tidak teratur pada kawasan yang terletak di lintang besar (di atas 160 lintang utara/selatan) yang disebabkan keragaman lama penyinaran matahari harian yang besar di antara bulan yang satu dengan lainnya.

Suhu udara dan ketinggian tempat. Pengaruh suhu udara terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit banyak dideduksi dari penyebaran geografi dan ketinggian tempat, dalam hal ini suhu udara akan semakin menurun dengan ketinggian tempat. Tanaman ini dibudidayakan, tumbuh dan berkembang baik pada daerah tropis antara 130 Lintang Utara sampai 120 Lintang Selatan, utamanya di kawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin (Hartley, 1988). Ketinggian tempat yang ideal untuk pertanaman kelapa sawit mulai dari 5 m sampai 200 m dari atas permukaan laut. Sampai dengan tahun 2000, pada daerah dengan ketinggian lebih dari 400 m dari permukaan laut tidak dianjurkan untuk budidaya kelapa sawit.

Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada kawasan yang mempunyai suhu udara rata-rata 24-28 0C (Ferwerda, 1977). Untuk produktivitas yang tinggi dibutuhkan suhu maksimum rata-rata pada kisaran 29-32 0C dan suhu minimum rata-rata pada kisaran 22-24 0C (Hartley, 1988). Pada kajian lain, Ferwerda (1977) menyatakan bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit dengan produktivitas yang lebih tinggi terdapat pada kawasan-kawasan yang mempunyai keragaman suhu udara bulanan yang kecil.

Kelembaban udara. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasan tropis dengan kelembaban udara rata-rata harian berkisar 75-80% (Ferwerda, 1977). Kelembaban bersama suhu udara dan lengas tanah mempengaruhi pembukaan stomata (Ochs dan Daniel, 1976). Keadaan pembukaan stomata mempengaruhi pertukaran gas antara jaringan daun dan atmosfer pada lingkungan tanaman. Pertukaran gas tersebut terutama CO2 yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis merupakan sumber pembentukan biomassa dan energi untuk pertumbuhan tanaman. Udara kering pada kelembaban udara rendah menyebabkan kondukstan stomata menurun yang mengakibatkan

(8)

pertukaran gas antara jaringan tanaman dan atmosfer terganggu. Demikian juga udara basah pada kelembaban udara tinggi menyebabkan perbedaan tekanan uap antara ruang interselular di jaringan daun dan atmosfer relatif kecil mengakibatkan laju transpirasi menurun dan pertukaran gas terganggu.

Tanah

Tanaman kelapa sawit dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah. Tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah subur bersolum dalam, berdrainase baik, pH berkisar 5,5-7,0. Tanah yang demikian terutama pada tanah bertekstur lempung liat berpasir yang biasa dijumpai pada tanah-tanah aluvial. Di samping itu tanah-tanah dengan topografi datar sangat baik untuk budidaya tanaman kelapa sawit (Hartley, 1988).

Bagi tanaman kelapa sawit, sifat fisik tanah lebih penting dari sifat kesuburan kimianya, karena kekurangan suatu unsur hara dapat diatasi secara kimiawi dengan pemupukan. Piggot (1990) mengemukakan beberapa ciri tanah yang merupakan faktor pembatas dan tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Ciri-ciri tanah tersebut meliputi (i) berdrainase jelek dengan permukaan air dangkal ataupun karena struktur yang kurang baik (masif) sehingga terjadi penggenangan yang cukup lama, (ii) tanah-tanah laterik yang berkembang lanjut, sehingga telah terjadi translokasi mineral-mineral lempung mengakibatkan banyaknya fragmen-fragmen kasar yang memiliki kapasitas menahan air rendah, (iii) tanah-tanah di daerah pantai yang bertekstur pasir, dan (iv) tanah gambut dengan kedalaman lebih dari 200 cm.

Di Indonesia status kesuburan tanah di areal pengembangan kelapa sawit dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu kesuburan tinggi, agak tinggi, sedang, agak rendah dan rendah (Adiwiganda et al., 1995). Hubungan tingkat kesuburan tanah dengan produktivitasnya, menurut Adiwiganda et al. (1999), adalah (i) Tingkat kesuburan agak tinggi sampai tinggi yang meliputi tanah-tanah Hapludand, Haplaquand, dan Andaquept, dengan tingkat produktivitas >24 ton TBS/ha/tahun; (ii) Tingkat kesuburan sedang yang meliputi tanah-tanah Eutropept, Dystropept, Hapludult, dan Tropopsamment, dengan tingkat produktivitas 21 – 24 ton TBS/ha/tahun; (iii) Tingkat kesuburan agak rendah yang meliputi tanah-tanah Haplohumult, Haplaquult, dan Tropofluvent dengan tingkat

(9)

produktivitas 18 – 21 ton TBS/ha/tahun; (iv) Tingkat kesuburan rendah yang meliputi tanah-tanah Paleaquult, Paleudult, Palehumult, dan Kandiudult serta tanah gambut dengan tingkat produktivitas <18 ton TBS/ha/tahun.

Biotik

Faktor lingkungan biotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit meliputi persaingan antar tanaman, persaingan antara tanaman dengan tanaman lain (penutup tanah kacangan dan gulma), hama penyakit dan manusia sebagai pengelola. Umumnya faktor biotik ini berkaitan dengan tindakan-tindakan kultur teknis yang dapat dikelola optimal oleh manusia.

Faktor biotik persaingan antar tanaman maupun antara tanaman dengan tanaman penutup tanah kacangan serta gulma berkaitan dengan tindakan-tindakan kultur teknis oleh manusia sebagai pengelola. Tindakan-tindakan kultur teknis tersebut meliputi pangaturan jarak tanam, pemupukan, pemangkasan pelepah diupayakan untuk mempertahankan indeks luas daun (Leaf Area Index, LAI) optimum. Selain itu penanaman penutup tanah kacangan yang teratur serta pengendalian gulma juga merupakan tindakan kultur teknis untuk mengurangi persaingan dalam mendapatkan hara dan air.

Hujan, Ketersediaan Air, dan Kekeringan pada Pertanaman Kelapa Sawit Curah hujan dan penyebarannya dari waktu ke waktu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit. Rendahnya curah hujan pada periode waktu tertentu akan menyebabkan berkurangnya ketersediaan air, serta pada tingkat tertentu akan mengakibatkan kekeringan. Kekeringan umumnya akan berpengaruh negatif terhadap tanaman, serta besarnya dampak kekeringan tergantung pada tingkat serta lamanya kekeringan, jenis tanah, dan tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan (seperti irigasi).

Hujan, kekeringan, dan fluktuasi produksi

Penyebaran curah hujan merupakan faktor penting untuk perkembangan bunga. Pada umumnya sewaktu musim hujan terbentuk lebih banyak bunga betina, sedang pada musim kemarau atau terjadi kekeringan cenderung terbentuk

(10)

lebih banyak bunga jantan. Sehingga kekeringan merupakan penyebab adanya fluktuasi produksi tandan kelapa sawit (Turner, 1978). Selanjutnya telah diketahui bahwa sebagian besar dari produksi tandan pada tahun sedang berjalan sebenarnya sangat ditentukan oleh keadaan 24 – 33 bulan sebelumnya. Keadaan ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara curah hujan maupun radiasi matahari dengan seks-rasio (Hartley, 1977).

Tanaman kelapa sawit yang mengalami keadaan cekaman air tanah (kurangnya ketersediaan air tanah) akan turun hasilnya sebagai akibat meningkatnya jumlah bunga jantan dibanding jumlah bunga betina selama periode cekaman tersebut. Keadaan ini akan menyebabkan keragaman produksi tandan yang tajam selama masa perkembangan organ seks sampai pemasakan tandan buah (Wahid et al., 1985).

Broekmans (1957) mengatakan bahwa bulan-bulan dengan cekaman air (kekeringan) pada pertanaman kelapa sawit akan menurunkan produksi tandan 24 bulan berikutnya. Sedangkan Corley (2003) mendapatkan bahwa cekaman air berpengaruh langsung pada diferensiasi kelamin, dimana 20 bulan kemudian akan mengakibatkan bunga jantan lebih banyak. Waktu yang dibutuhkan untuk penentuan jenis kelamin sampai antesis di kawasan Asia Tenggara adalah 19-24 bulan.

Ketersediaan air dan kekeringan pada tanaman

Pemanfaatan rumus empiris untuk menghitung defisit air pada pertanaman kelapa sawit dengan menggunakan data curah hujan dan hari hujan di Afrika, walaupun masih dipertimbangkan ketepatannya bila digunakan di Indonesia, banyak digunakan menggambarkan kekeringan hingga saat ini. Rumus empiris tersebut telah ditetapkan dengan hanya memakai data curah hujan dan hari hujan setempat (Surre, 1968).

Rumusan tersebut adalah Rf = P + Ri – ETP, dimana Rf : ketersediaan air (mm), P : curah hujan bulanan (mm), Ri : persediaan air (cadangan awal) di dalam tanah, dan ETP : evapotranspirasi (mm). Ditetapkan juga bahwa besarnya ETP tergantung pada jumlah hari hujan. ETP = 150 mm per bulan bila jumlah hari hujan pada bulan tersebut lebih kecil atau sama dengan 10 hari. ETP = 120 mm per bulan bila jumlah hari hujan pada bulan tersebut lebih dari 10 hari.

(11)

Selanjutnya bila pada solusi rumus di atas, nilai Rf lebih kecil dari no maka nilai tersebut adalah nilai kekurangan air. Tetapi bila nilai Rf lebih besar dari nol dan lebih kecil dari 200 mm, maka nilai tersebut adalah nilai Ri atau persediaan air di dalam tanah pada akhir bulan tersebut (merupakan persediaan air di dalam tanah pada awal bulan berikutnya). Sedangkan bila nilai Rf lebih besar dari 200 mm maka persediaan awal bulan berikutnya adalah hanya 200 mm, karena telah diasumsikan bahwa kemampuan lahan pertanaman kelapa sawit menahan air maksimum 200 mm per bulan atau selebihnya akan didrainasekan.

Kekeringan pada tanaman kelapa sawit mulai terjadi bila defisit air mencapai 200 mm, serta akan berakhir bila defisit air kembali menjadi 0 mm (perhitungan menggunakan rumusan Surre, 1968). Dari hasil pengamatan pada pertanaman-pertanaman kelapa sawit di Indonesia, Siregar et.al (1995) telah mengemukakan kriteria defisit air dan dampaknya pada tanaman kelapa sawit. Kriteria defisit air yang dihubungkan dengan tanaman belum menghasilkan (TBM) maupun tanaman menghasilkan (TM) serta produksi tandan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria defisit air dan dampaknya pada tanaman kelapa sawit Stadia Defisit Air

(mm/tahun)

Gejala pada tanaman kelapa sawit Penurunan produksi (%) Pertumbuhan vegetatif

Pertama < 200  Belum begitu berpengaruh 0 – 10 Kedua 200-300  Pada TBM dan TM, 3-4 daun muda

mengumpul dan tidak membuka

 Pada TM, 1-4 pelepah daun tua patah (sengkleh)

10 – 20

Ketiga 300-400  Pada TBM dan TM, 4-5 daun muda tidak membuka

 Pada TM, 8-12 pelepah daun tua patah (sengkleh) dan mengering

20 – 30

Keempat 400-500  Pada TBM dan TM, 4-5 daun muda mengumpul dan tidak membuka

 Pada TM, 12-16 pelepah daun tua patah (sengkleh) mengering

30 – 40

Kelima > 500  Pada TBM dan TM, daun muda dan tua seperti stadia keempat

 Pada TBM dan TM, pupus bengkok dan akhirnya dapat patah

> 40

Kekurangan air (defisit air) yang mencapai 200 mm per tahun atau lebih akan berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit. Penurunan produksi akibat defisit air di Afrika umumnya berkisar 19 – 53%, sedangkan pada beberapa

(12)

pertanmaan di Sumatera Utara dapat berkisar 17-58% (Panjaitan, 1984). Sedangkan Hutomo et al. (1997), mengemukakan taksiran penurunan produksi selama 24 bulan setelah kekeringan pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkisar 21-65%.

Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature, SST)

Suhu muka laut (SST) merupakan suhu pada permukaan air laut (kurang lebih pada kedalaman 0,5 m yang merupakan lapisan terdekat ke atmosfer. SST berkaitan dengan suhu pada ketinggian atau kedalaman tertentu dari permukaan laut. Pada umumnya pengukuran ini menggunakan citra satelit pada saluran infra merah. Namun tetap dilakukan pengukuran secara konvensional di lautan itu sendiri sebagai koreksi terhadap nilai yang dihasilkan satelit. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) selaku instansi yang berwenang melakukan pengukuran variabel meteorologi, telah melakukan pengukuran SST ini pada enam stasiun maritimnya, dan juga melakukan pengamatan melalui citra satelit seperti NOAA, MTSAT, Feng Yun, dan MODIS.

Suhu muka laut di perairan Indonesia sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu muka laut dingin uap air di atmosfer menjadi berkurang, sebaliknya jika suhu muka laut panas uap air di atmosfer banyak. Pola suhu muka laut di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari. Suhu muka laut di Samudera Hindia (kecuali sebalah barat Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Nangro Aceh Darussalam) mempunyai rentang perubahan yang cukup lebar yaitu minimum berkisar 26,0° C pada bulan Agustus hingga maksimum berkisar 31,5° C pada bulan Februari – Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya mempunyai rentang perubahan lebih sempit yaitu berkisar 29,0° C hingga 31,5° C dan waktu terjadinya minimum dan maksimumnya tidak sama disetiap perairan.

Keanekaragaman kondisi iklim di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia, seperti osilasi inter-annual yang mempunyai siklus 2 – 7 tahun yaitu El Nino Southern Oscillation dan Indian Ocean Dipole. Selain itu juga terdapat osilasi intra-seasonal yang mempunyai siklus 30 – 60 hari yaitu osilasi Madden-Julian.

(13)

ENSO (El Nino Southern Oscillation)

Daerah ENSO dibagi menjadi empat wilayah (Gambar 2), yaitu: Nino-1+2 (0°-10°LS, 80°-90°BB), Nino-3 (5°LU-5°LS, 90°-150°BB), Nino-4 (5°LU-5°LS, 150°-160°BB), dan Nino-3,4 (5°LU-5°LS, 120°-170°BB) (NOAA, 2010). Daerah Nino-1+2 berguna untuk melhat indikasi awal kejadian penyimpangan iklim karena wilayahnya tepat berada di pantai barat benua Amerika bagian selatan. Daerah Nino-3 untuk melihat indikasi penyimpangan iklim, dan Nino-4 untuk melihat tingkat keparahan penyimpangan iklim karena terletak di daerah paling barat dibandingkan dengan daerah Nino lainnya. Indikator suhu muka laut yang biasa digunakan untuk melihat gejala akan terjadinya penyimpangan iklim/cuaca seperti El Nino dan La Nina adalah perubahan suhu permukaan laut di kawasan Pasifik (anomali sea surface temperature/SST di Nino-3,4), dan perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin (SOI).

Gambar 2. Pembagian wilayah Nino di Samudera Pasifik

Perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik (ENSO) sangat berpengaruh terhadap curah hujan hampir di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Dari analisa data curah hujan di Jawa tahun 1961-1993 dengan anomali suhu permukaan laut di sekitar Indonesia menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif di bagian timur dan sentral Samudera Pasifik bagian equator dan Samudera Hindia sekitar 10°LS; 80°BT, sedangkan di Laut Flores menunjukkan korelasi positif (Mulyana, 2000). Ketika suhu permukaan laut di bagian timur dan sentral Samudera Pasifik bagian equator serta di Samudera Hindia meningkat (anomali positif), curah hujan di Jawa mengalami penurunan. Sebaliknya ketika terjadi penurunan suhu, curah hujan di Jawa mengalami peningkatan. Sedangkan

(14)

untuk Laut Flores, ketika terjadi peningkatan suhu permukaan laut (anomali positif), curah hujan di Jawa meningkat dan apabila terjadi anomali negatif, curah hujan di Jawa menurun (Mulyana, 2000).

Menurut Aldrian et.al (2003), karakteristik curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh wilayah, bulan, dan musim, serta distribusi dataran dan laut. Berdasar karakteristik curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO, negara Indonesia terbagi menjadi tiga wilayah klimatologi yaitu wilayah monsoonal selatan, wilayah semi-monsoonal barat daya, dan wilayah anti-monsoonal Maluku. Curah hujan di wilayah monsoonal Selatan dipengaruhi oleh ENSO pada bulan Juli – November, sementara di wilayah anti-monsoonal Maluku dipengaruhi pada bulan Juni–November. Sementara di wilayah semi-monsoonal barat daya, pengaruh ENSO kecil terhadap curah hujan di wilayah tersebut (Gambar 3).

Gambar 3. Pembagian wilayah klimatologi di Indonesia berdasarkan pengaruh ENSO (berdasarkan Aldrian et.al, 2003).

Keterangan: A = wilayah monsoonal selatan; B = wilayah monsoonal barat daya; dan C = wlayah anti monsoonal maluku.

IOD (Indian Ocean Dipole)

Selain El Nino, penyimpangan iklim akhir-akhir ini diketahui juga berhubungan dengan fenomena Dipol Mod (Indian Ocean Dipole, IOD). Fenomena ini adalah gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di Samudera Hindia bagian timur (daerah 90°-110° BT dan 10° LS - 0° LU ) dan Samudera Hindia bagian barat (daerah 50°-70° BT dan 10° LS - 10°LU).

B

A

C

A B

(15)

Fenomena ini sebagai akibat aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia. Kejadian ini mengakibatkan penurunan suhu permukaan air laut di sisi timur Samudera Hindia (anomali negatif) dan kenaikan suhu permukaan air laut di sisi barat (anomali positif) yang disebut juga dengan peristiwa pembentukan dua kutub (kutub positif dan kutub negatif suhu permukaan air laut) atau Indian Ocean Dipole. Annomali positif menggambarkan kondisi suhu permukaan laut yang rendah di wilayah Samudra Hindia Timur dan suhu permukaan laut yang tinggi di wilayah barat, sehingga menyebabkan terjadinya konveksi yang membentuk awan di wilayah barat, sementara kekeringan terjadi di wilayah timur samudra Hindia (Indonesia), dan sebaliknya pada anomali negatif (Gambar 4).

(16)

MJO (Madden-Julian Oscillation)

Roland Madden dan Paul Julian pada tahun 1971 menemukan osilasi 30-60 hari ketika menganalisis anomali angin zonal di Pasifik Tropis yang dikenal dengan Madden-Julian Oscillation (MJO). Mereka menggunakan data tekanan udara permukaan selama 10 tahun di Pulau Canton (2.80 LS di Pasifik) dan data angin di lapisan atas Singapura. MJO juga menunjukkan osilasi 30-60 hari atau 40-50 hari yang menjadikan fluktuasi intra-seasonal untuk menjelaskan variasi iklim di wilayah tropis. MJO mempengaruhi seluruh lapisan troposfer tropis, tetapi lebih terlihat jelas di Pasifik Barat dan Hindia. MJO melibatkan variasi angin, sea surface temperature (SST), perawanan, dan hujan.

Mekanisme terjadinya MJO yaitu pada saat terjadi konveksi dan konversi angin langit yang cerah menyebabkan lebih banyak radiasi gelombang pendek untuk mencapai permukaan laut. Hal ini menyebabkan sea surface temperature

(SST) meningkat dengan perjalanan arus laut ke timur. Angin tersebut juga lebih kencang daripada biasanya, yang menunjukkan bahwa evaporasi terjadi dengan lebih tinggi di permukaan laut. Fenomena MJO sebenarnya tidak berpengaruh mendatangkan hujan lebat ketika posisi matahari tidak berada di sebelah selatan khatulistiwa. Posisi matahari pada tiga bulan ke depan akan menentukan tinggi atau rendahnya penguapan di wilayah selatan khatulistiwa dan evaporasi yang tinggi akan menimbulkan curah hujan tinggi di wilayah-wilayah tertentu, termasuk di Indonesia.

Model Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit

Model merupakan penyederhanaan suatu sistem maupun subsistem. Sedangkan sistem adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses yang teratur. Suatu proses mungkin kelihatan sangat rumit karena banyak proses yang terlibat atau komponen di dalamnya, namun sistem tersebut tetap merupakan suatu keteraturan. Berdasarkan tujuannya, model simulasi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu untuk pemahaman proses, prediksi, dan keperluan manajemen (Handoko, 1994).

Model itu sendiri dapat dipilah-pilah menjadi beberapa cara, yaitu empirik, mekanistik, dinamik, statik, deterministik, stokhastik, deskriptif, dan numerik.

(17)

Masing-masing cara dapat dikombinasikan antara satu dengan lainnya untuk menghasilkan model yang lebih baik. Model empirik adalah model yang dibuat berdasarkan pengamatan empirik dan statistik sehingga digunakan hubungan sebab akibat tanpa menjelaskan proses yang terjadi. Model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam suatu sistem berdasarkan pada bidang ilmu yang terkait. Model dinamik memperhatikan unsur waktu sebagai peubah penting. Model statik tidak menjelaskan peubah-peubah di dalam model sebagai fungsi waktu. Model deterministik tidak memperhitungkan peluang terjadinya kesalahan prediksi sehingga keluarannya bersifat mutlak. Model stokhastik mengandung toleransi berupa simpangan statistik yaitu ragam maupun simpangan baku. Model deskriptif menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara konsepsi atau berupa simbol-simbol yang bersifat kualitatif. Model numerik menggambarkan bentuk hubungan yang bersifat kuantitatif dalam bentuk numerik berupa persamaan-persamaan (Handoko, 1994).

Model pertumbuhan tanaman pada umumnya bersifat non linear, begitu juga dengan tanaman kelapa sawit yang mempunyai pertumbuhan non linear. Oleh karena itu, biasanya digunakan model pertumbuhan tanaman non linear dalam menduga produksi tanaman kelapa sawit. Penyusunan persamaan produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit masih jarang dilakukan dan dieksplorasi.

Khamis et.al (2005) melakukan pendugaan produksi kelapa sawit yang mengembangkan model pertumbuhan berdasarkan dua belas persamaan non linear (Logistik, Gompertz, Von Bertlanffy, Negative Exponential, Richard’s, Monomolecular, Log-logistik, Weibull, Schnute, Morgan-Mercer-Flodin, Chapman-Richards, dan Stannard). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pertumbuhan Gompertz, Logistik, Log-logistik, Morgan-Mercer-Flodin dan Chapman Richard mempunyai kemampuan untuk mengukur fenomena pertumbuhan yang menunjukkan pola sigmoid dari waktu ke waktu, sementara model pertumbuhan lainnya tidak. Berdasarkan penelitian tersebut, disimpulkan bahwa model pertumbuhan terbaik menurut statistik dan fitting yaitu model pertumbuhan Logistik, diikuti model pertumbuhan Gompertz, Chapman Richard, Morgan-Mercer-Flodin dan Log-logistik.

(18)

Manurung (1986) mengemukakan model non linier famili eksponen dan model regresi kuadratik untuk peramalan potensi produksi TBS di Sumatera Utara dengan peubah utama umur tanaman. Hasil peramalan menggunakan model ini dapat menjelaskan keragaman total potensi produksi TBS sebesar 79-98%. Selanjutnya Manurung juga merumuskan model regresi linier berganda untuk peramalan produksi TBS berdasarkan enam belas peubah unsur iklim dan ketertinggalan waktu (time lag) 24 bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kontribusi iklim yang dapat masuk ke dalam model peramal mencapai 88,76%.

Siregar (1998) merumuskan simulasi produksi kelapa sawit dengan menggunakan peubah-peubah kekeringan Deret Hari Kering, curah hujan dengan

time lag, dan frekuensi deret hari kering pada kebun kelapa sawit di provinsi Lampung. Model simulasi secara keseluruhan dapat menjelaskan keragaman produksi TBS sebesar 73-78%, dengan keeratan maksimum terdapat pada deret hari kering maksimum pada lag 4-9 bulan sebelumnya, frekuensi deret hari kering >5 hari pada lag 22-27 bulan sebelumnya dan peubah kekeringan curah hujan pada lag 3-8 bulan sebelumnya.

Khamis et.al. (2006) juga melakukan penyusunan model persamaan untuk menduga produksi kelapa sawit dengan beberapa regresi linear menggunakan pendekatan neural network. Struktur ini membutuhkan identifikasi dari beberapa

input dan output. Variabel yang digunakan yaitu kandungan hara Nitrogen, Fosfor, Potasium, Kalsium, dan Magnesium di daun, sedangkan outputnya yaitu produksi TBS. Hasil persamaan menunjukkan bahwa model neural network

mengungguli analisis regresi, dimana nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan neural network meningkat menjadi 63,74% dari sebelumnya 39,20% dengan menggunakan regresi linear (multiple linear regression). Hal ini menunjukkan bahwa neural network dapat menjadi salah satu alternatif dalam penyusunan model produksi kelapa sawit.

Henson (2005) melakukan simulasi produksi kelapa sawit menggunakan

spreadsheet dengan memperhitungkan interval munculnya pelepah baru (FEI), tingkat pembentukan dan perkembangan tandan (FEBR), fungsi seks rasio dan kejadian buah aborsi (NWB), dan berat tandan (SBW). Periode puncak produksi tahunan ditentukan dengan menggunakan osilasi sinusoidal dalam amplitudo

(19)

keempat faktor tadi secara individual ataupun kombinasinya. Hasil simulasi terbaik selama periode 8,5 tahun dengan nilai koefisien determinasi sebesar 60% diperoleh pada variabel seks rasio dan kejadian buah aborsi (NWB). Kombinasi dari beberapa faktor yang diamati ternyata memberikan hasil yang kurang baik dan tidak memiliki korelasi yang tinggi dibandingkan dengan analisa secara individual. Henson (2005) menyimpulkan bahwa seluruh proses penyusunan pendugaan mempunyai peranan dalam perhitungan siklus produktivitas tahunan, akan tetapi hasilnya masih meninggalkan pertanyaan terbuka mengenai faktor apa yang paling mempengaruhi siklus masing-masing proses.

Gambar

Gambar 1.  Diagram perkembangan bunga kelapa sawit (Harahap et.al, 2000)  Fase-fase  perkembangan  bunga  yang  peka  terhadap  kekeringan  akibat  curah hujan  yang rendah (dirangkum dari Corley,  2003  dan Harahap  et.al,  2000)  adalah sebagai berikut:
Gambar 3.  Pembagian  wilayah  klimatologi  di  Indonesia  berdasarkan  pengaruh  ENSO (berdasarkan Aldrian et.al, 2003)
Gambar 4. Ilustrasi fenomena Dipol Mod (IOD) dan dampaknya untuk Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Agar penelitian ini mempunyai arahan yang jelas serta tidak keluar jauh dari pokok permasalahan, maka peneliti membatasi penelitian pada efektivitas

Dari data tabel 4 diketahui bahwa sensor akan aktif dan memberikan logika 1 ke mikrokontroler, pada saat sensor mendeteksi adanya asap yang berlebih didalam ruangan secara

Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, yang merupakan ukuran dalam penyelenggaraan pelayanan publik, salah

Menurut penelitian relevan yang sudah dilakukan oleh Yeo, kesulitan yang biasanya dialami oleh siswa itu terdapat 4 jenis yaitu siswa kesulitan dalam memahami masalah yang diberikan,

Silberman (2009: 85) mengungkapkan bahwa model cooperative learning tipe rotating trio exchange merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif bagi siswa

Dalam rekening, nilai tercermin, tapi yang nilai ? Biaya historis; biaya penggantian; Harga exit; Nilai realisasi bersih; Nilai Sekarang? Satu dasarnya dapat berdebat untuk pilihan