PERCERAIAN DI LINGKUNGAN KERJA
(Studi Kasus PT. Morich Indo Fashion Kecamatan Karang jati
Kabupaten Semarang)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Mirza Ghulam Akhmad
NIM : 21112042
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTTO
ILMU YANG BERMANFAAT ADALAH ILMU YANG
PERSEMBAHAN
Untuk bapak dan emak yang selalu memdoakan, mendukung,mendidik
dan tentunya menyayangi. Love you full
Untuk kakak pertama rohmatul ummah yang selalu mendukung dan
memotivasi
Untuk kakak kedua yang telah mengalah, merelakan untuk memberi
kesempatan buat saya kuliah
Untuk mas abdul majid wawan rosadi dan mas amin yang mendukung
dalam penulisan skripsi
Terimakasih untuk para janda-janda yang ikhlas berbagi pengalaman
hidupnya
Terimakasih buat teman-teman pejuang skripsi edisi oktober 2017
Terimakasih untuk teman AHS angkatan 2012 yang tidak bisa penulis
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad dan nikmat kepada semua hamba-Nya sehingga penulian skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam senantiasa tetap tercurah kepada Nabi Agung Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikan suri tauladan. Beliaulah yang membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman terang benerang dan semoga kita semua mendapat syafaatnya nanti di yaumul qiyamah. Amin ya robbal alamin.
Dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Skripsi yang berjudul “PERCERAIAN DI LINGKUNGAN KERJA ( Studi Kasus PT. Morich Indo fashion Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang)” ini disusun untuk
melengkapi syarat-syarat mencapai gelar sarjana Hukum (S1) pada fakultas Syari‟ah jurusan Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga. Meskipun bentuknya masih sederhana dan tentunya masih banyak kekurangan.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Yang terhormat Dr. Rahmad Haryadi, M.Pd selaku rektor IAIN Salatiga. 2. Yang terhormat Dra. Siti Zumrotun M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga
3. Yang terhormat Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si selaku ketua jurusan Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah) IAIN Salatiga
4. Yang terhormat ibu Heni Satar. SH., M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah rela menysihkan dan meluangkan waktunyauntuk membimbing dengan penuh kebijaksanaan dan memberi petunjuk-petunjuk dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Yang terhormat, seluruh bapak/ibu dosen yang telah memberi pelajaran dan mencurahkan pengetahuan dan bimbingan selama penulis kuliah sampai menyelesaikan sekripsi ini.
7. Yang terhormat kepada kelima karyawati yang telah berbagi pengalaman hidup dan yang telah sukarela memberikan informasi untuk mendukung penulisan skripsi tersebut.
8. Yang terhormat dan yang tercinta, ayahanda dan ibunda dan kakak-kakak yang selalu memberi dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis supaya dapat mewujudkan cita-cita.
9. Yang tercinta kepada teman-teman dan pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan selama menempuh studi, khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.
Atas semua bantuan dan dukunganya yang telah sukarela diberikan kepada penulis dalam studi maupun dalam penyusunan skripsi, mudah-mudahan semua kebaikanya dibalas dengan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Serta seluruh proses yang penulis alami bermanfaat dikemudian hari sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan selanjutnya.penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tentunya masih banyak kekurangan dan perlu penyempurnaan baik dari isi maupun metodologi. Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.
Magelang, 24 September 2017
ABSTRAK
Akhmad, Mirza Ghulam, 2017: Perceraian Di Lingkungan Kerja (Studi kasus PT. Morich Indo Fashion Kecamatan karang Jati Kabupaten
Semarang), Skripsi, Fakultas Syariah, Jurusan Hukum
Keluarga Islam, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida. SH., M.Si
Kata Kunci: Perceraian, Lingkungan Kerja,
Penelitian ini bertujuan untuk menguak banyaknya perceraian yang terjadi di lingkungan kerja. Perceraian tersebut terjadi pada sebuah PT. Morich Indo Fashion yang berada di Desa Gembongan Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang. Dalam penelitian ini meneliti lima pelaku perceraian sebagai sampel. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian karyawati dilingkungan kerja PT. Morich Indo fashion? (2) Apakah perceraian tersebut mempunyai dampak sosial yang signifikan terhadap karyawati PT. Morich Indo Fashion?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan sosiologi. Lokasi penelitian ini berada di PT. Morich Indo Fashion yang terletak di Desa Gembongan Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan guna membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah yang dapat diwujudkan dalam sebuah ikatan pernikahan. Maka jelas bahwa pernikahan telah menjadi seruan agama yang patut dijalankan oleh manusia yang telah mampu untuk berkeluarga.Pernikahan sejatinya merupakan sunnatullah yang tidak hanya berlaku pada manusia akan tetapi suatu kaidah umum yang berlaku pada semua makhluk-Nya baik itu pada hewan maupun tumbuh-tumbuhan.Lebih khusus bagi manusia, pernikahan kemudian menjadi suatu lembaga yang mempunyai peran sangat vital dalam kehidupan sosial yaitu sebagai perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda dan untuk saling memberikan kasih sayang dan kepedulian antara laki-laki dan perempuan secara legal dalam suatu bahtera berbentuk rumah tangga. Lebih jauh, lembaga pernikahan digunakan sebagai media untuk menjaga keberlangsungan keturunan secara sah. Kesemuanya itu telah disyariatkan semata – mata sebagai jalan menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridho Ilahi (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981:33).
secara rinci bahwa pernikahan sebagai salah satu syariat adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Pemahaman serupa masih terus dipegang setidaknya oleh para sarjana sampai pada masa keilmuan modern ini, salah satunya adalah Prof. Ibrrahim Hosen yang memahami nikah tetap sebagai suatu akad yang dengan itu menjadi halal suatu hubungan kelamin antara pria dan wanita.(Ibrahim, 1971:65). Sehingga tidak keliru mengatakan bahwa menurut syara‟makna nikah tidak keluar dari seluruh pemaknaan diatas (Azzam, 2009:38). Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Yasin: 36
َلَ اَِّمَِو ْمِهِسُفنَأ ْنِمَو ُضْرَْلْا ُتِبنُت اَِّمِ اَهَّلُك َجاَوْزَْلْا َقَلَخ يِذَّلا َناَحْبُس
َن ُ َلْ َيَ
Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan
pasangan semuanya, baikdariapa yang ditumbuhkan oleh bumi
dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
Selaras dengan itu semua dalam UU No.1 Tahun 1974 juga dikatakan bahwa, “tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga (rumah
atau lebih tepatnya mempersempit ruang perceraian, di Indonesia diberlakukan Undang-Undang perkawinan yakni peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perceraian berdasarkan pasal 38 undang – undang perkawinan no. 1 tahun 1974 adalah salah satu dari tiga penyebab putusnya perkawinan. Sementara itu perceraian dalam istilah fiqh adalah “Talaq atau Furqah”.
adapun arti dari pada talak adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian sedangkan furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul.
Guna mencapai tujuan mulia seperti disebut diawal dan menghindari sejauh – jauhnya perceraian itu maka pernikahan sekurang – kurangnya haruslah dilandasi oleh rasa cinta, rela, mengasihi serta menyayangi yang secara implisit tertulis dalam Pasal 6 Undang – Undang Perkawinan sebagai salah satu syarat terjadinya perkawinan yang berbunyi perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Setelah itu masing masing pihak yang terikat dalam suatu pernikahan tentunya memegang hak dan kewajiban masing – masing yang harus dijalankan dengan baik untuk menegakan sendi sendi kehidupan rumah tangga.
Undang – Undang Perkawinan selanjutnya merinci bahwa sebagai kepala keluarga seorang suami mempunyai kewajiban untuk melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sedang istri wajib mengatur urusan rumah tangganya sebaik mungkin.
terbatas dengan kemampuannya namun dirasa baik oleh salah satu pihak atau keduanya masih belum mencukupi kebutuhan keluarga mereka maka tidak salah kemudian jika istri memberikan bantuan kepada suami untuk mengisi kekurangan tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang tertulis dalam Pasal 33 Undang – Undang Perkawinan yang mewajibkan baik suami maupun istri untuk saling mencintai, menghormati, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin kepada satu pihak yang lain.
kegiatan para istri di Morich mempunyai dampak baik secara langsung maupun tidak terhadap pola perceraian tersebut. Kemudian sebagai bentuk upaya penanggulangan maupun pencegahan, penelitian ini akan berujung pada pembahasan mengenai dampak dampak yang mungkin terjadi dari pola perceraian di PT. Morich Indo Fashion.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Perceraian di Lingkungan Kerja (Studi Kasus PT. Morich Indo
Fashion Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian karyawati dilingkungan kerja PT. Morich Indo fashion.?
2. Apakah perceraian tersebut mempunyai dampak sosial yang signifikan terhadap karyawati PT. Morich Indo Fashion?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penyusun merumuskan tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian karyawati dilingkungan kerja PT. Morich Indo Fashion.
D. Kegunaan penelitian
Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini mempunyai kegunaan atau kemanfaatan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dan masukan pemikiran terhadap masyarakat tentang hukum pernikahan khususnya tentang perceraian, sehingga diharapkan masyarakat dapat menghindari perceraian. Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian mencari solusi ilmiah mengenai angka perceraian, khususnya perceraian dilingkungan kerja.
2. Bagi akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan ilmiah bagi penelitian-penelitian selanjutnya tentang perkembangan faktor-faktor penyebab perceraian. Diharapkan hasil penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan khususnya dalam bidang hukum islam dan juga menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
E. Penegasan istilah
1. Perceraian
Perceraaian berasal dari kata cerai yaitu pisah, putus hubungan antara suami istri. Dalam hukum Islam talak adalah melepaskan ikatan tali perkawinan (sayyid, sabiq. 1980: 10)
2. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja merupakan bagian komponen yang sangat penting didalam karyawan melakukan aktifitas bekerjanya.( Suyotno, 2012: 43) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan pada saat bekerja ,baik dalam bentuk fisik maupun berbentuk non fisik, langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.
F. Tinjauan pustaka
Penelitian ini tentu saja bukan penelitian yang pertama kali dilakukan dengan mengusung tema yang sama yaitu seputar perceraian. Sudah banyak sekali penelitian-penelitian yang pernah dilakukan berkaitan masalah perceraian ini, namun tentunya fokus penelitianya yang berbeda. Ada beberapa literal kajian karya ilmiah yang pernah ditulis baik berupa skripsi, artikel maupun dalam bentuk buku yang pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Terdapat beberapa penelitian yang pernah ada yang juga menjadi acuan penulis dalam menyusun penelitian tersebut, yang pertama adalah penelitian oleh Muchimah (2015), mahasiswi fakultas syari‟ah dan hukum
Dalam skripsinya yang berjudul “Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Dikalangan Buruh Migran (Studi Kasus Di Desa Banjar Sari Kecamatan
Nusawungu Kabupaten Cilacap”) peneliti tersebut menggunakan metode penelitian Field Research. Penelitian ini berusaha mengetahuai faktor-faktor penyebab perceraian, diantaranya dari pihak istri yang tidak bisa menjaga kehormatan suaminya, istri beranggapan bahwa suami tidak adil dalam masalah harta keluarga. Kedua, pihak suami yang tidak memberikan kabar, tidak memberikan nafkah dalam waktu panjang, adanya ketidak harmonisan antara istri dan keluarga biasanya dalam pendapatan suami. Secara umum sebab-sebab atau alasan tersebut bisa dijadikan sebagai gugatan perceraian di Indonesia.
Penelitian yang selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Hayatul Izzah dengan judul “faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian
TKI atau TKW di kecamatan paciran kab. Lamongan tahun 1998”.
Selanjutnya penelitian dari Nurul Fadilah dengan penelitianya yang berjudul “Faktor-Faktor Penyebab Perceraian (Studi Terhadap Perceraian di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang” mahasiswi jurusan Syariah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) tahun 2013. Penelitian ini juga menjelaskan tentang faktor-faktor perceraian, penulis menjelaskan bahwa munculnya masalah dalam rumah tangga dapat disebabkan banyak hal diantaranya karena factor ekonomi, biologis, psikologi, perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya yang dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya. Besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami istri merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan jalan perceraian.
Dari penelitian yang pernah dilakukan diatas mereka sama – sama mefokuskan penelitian mereka pada pola perceraian dengan mengambil suatu lokasi tertentu yang menarik sebagai latarnya. Penelitian ini pun berangkat dari keadaan yang serupa. Namun ada beberapa poin pembeda yang menjadikan penelitian ini tetap menarik serta masih cukup relevan dengan kondisi masyarakat dewasa ini. Jika Muchimah dalam skripsinya yang berjudul “Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Dikalangan Buruh
Kabupaten Cilacap”)bertolak dari sisi patriarchi atau laki-laki, maka penelitian ini menempatkan diri secara berbeda untuk menyoroti objek perceraian dari sisi matriarchi atau sudut masalah perempuan.Berbeda dari Hayatul Izzah dengan judul skripsinya “faktor-faktor penyebab terjadinya
perceraian TKI atau TKW di kecamatan paciran kab. Lamongan tahun
1998” yang menghadapi masalah jarak, komunikasi , serta kedekatan
batin, penelitian ini secara harfiah tidak mengalaminya sehingga seharusnya kecil kemungkinan peluang terjadinya perceraian.Oleh karena itu, penelitian ini cukup relevan dan menarik untuk dikaji.
G. Metode penelitian
1. Jenis penelitian dan pendekatan
Penelitian ini dapat memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat serta dapat memperoleh penemuan-penemuan yang tidak diduga sebelumnya untuk membentuk kerangka teoritis baru. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap fakta, keadaan, fenomena, variable dan keadaan yang terjadi saat penelitian berjalan dan menyuguhkan data apa adanya.
Penelitian ini menggungakan pendekatan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada berdasarkan data-data. Penelitian deskriptif dan kualitatif menafsirkan dan menuturkan data yang bersangkutan dengan situasi yang terjadi, sikap pandanag yang terjadi dalam masyarakat, pertentangan dua keadaan atau lebih, hubungan antara fariabel, perbedaan antar fakta, pengaruh terhadap suatu kondisidan lain-lain. Dan yang terakhir adalah pendekatan sosiologis, yaitu pendekata yang melandaskan pada fenomena atau gejala-gejala yang berkembang ditengah-tengah masyarakat guna memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat (soekanto, 1999:45)
apa yang menjadi penyebab terjadinya perceraian yang terjadi pada karyawan tersebut.
2. Sumber data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah observasi, wawancara, dokumen, (dokumen sermi atau pribadi, dan foto). Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong. 2002: 113).dalam penelitian ini yang harus diambil adalah data karyawanti dan data perceraian yang terjadi di lingkungan kerja PT.Morich Indo Fashion. Data tersebut digunakan untuk memperoleh data tentang PT. Morich Indo Fashion yang berada di kecamatan karang jati kabupaten semarang. Dan data-data dan informasi yang menunjang atau memudahkan dalam penelitian ini. b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi tesis, disertasi dan peraturan perundang-undangan (Ali, 2009: 106). 3. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan (nazir, 1988: 211). Teknik dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara/interiew
b. metode observasi atau pengamatan
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalahmelengkapinya dengan formatatau blangko pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi (Arikunto. 2006. 229)
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian . metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan PT. Morich Indo Fashion di Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang. Observasi ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengamatan dengan menggunakan alat indera pengliatan dan pendengaran secara langsung terhadap objek yang diteliti.
c. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dengan dokumen-dokumen yang ada dan dipandang relevan. Dalam penelitian ini, dokumentasi yang Dimaksud adalah pengambilan beberapa data tentang perceraian karyawati yang terjadi dilingkungan kerja PT. Morich Indi Fashion.
4. Analisis Data
Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan kasus perceraian di lingkungan kerja tepatnya di PT. Morich Indi Fashion sehingga didapat suatu kesimpulanyang obyektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini tidak keluar dari pokok bahasan dan kerangka yang telah ditentukan, maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut: 1. BAB I: Dalam bab ini berisi pendahuluan yang menjelaskan:
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian E. Penegasan Istilah F. Tinjauan Istilah
G. Metode penelitian yang terdiri dari: 1. Jenis penelitian dan pendekatan 2. Sumber data
3. metodepengumpulan data 4. Analisi data
2. BAB II: Tinjauan Umum Tentang Perceraian A. Pengertian perkawinan
B. Tujuan dan hikmah perkawinan C. Dasar Hukum Perkawinan D. Pengertian Perceraian E. Dasar Hukum perceraian
F. Rukun dan syarat-syarat perceraian G. Sebab-sebab terjadinya perceraian H. Macam-macam perceraian
I. Akibat atas putusnya perkawinan
3. BAB III: Paparan Hasil Penelitian terdiri dari:
A. Gambaran umum PT. Morich Indo Fashion Kecamatan Karang Jati kabupaten Semarang. Yang meliputi:
1. Letak geografis PT. Morich indo fashion 2. Keadaan karyawan dan karyawati
B. Data Penelitian
1. Profil dan keadaan keluarga karyawati yang melakukan perceraian setelah masuk menjadi karyawati PT. Morich Indo Fashion Kecamatan Karang Jati Kabupaten Semarang.
4. BAB IV: Pembahasan
A. Analisis faktor-faktor terjadinya perceraian PT, Morich Indo Fashion Kecamatan karang Jati Kabupaten Semarang
B. Dampak signifikan setelah terjadinya perceraian PT. Morich Indo Fashion Kecamatan Karang jati Kabupaten Semarang
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
A. Pengertian Perkawinan
Dalam Bahasa Indonesia, seperti dibaca dalam beberapa kamus diantaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan yaitu bersetubuh. Dalam
Kamus Bahasa Lengkap Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan menjalin
kehidupan baru dengan bersuami atau beristri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh.
persetubuhan secara langsung mengisaratkan semua aktifitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam’u (Amin Summa, 2005: 42-43).
Sedangkan definisi nikah, menurut beberapa ulama atau sebagian ulama Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan)
kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”.
Oleh mazhab Syafi‟iah nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin
kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal)” nikah
atau tazwi; atau turunan (makna) dari keduanya. Sedangkan ulama‟ Hanabilah
mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan)
kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenagan (bersenang-senang). (Summa, 2005: 45).
Islami, kehidupan dan perkawinan yang aman dan tentram untuk menumbuh kembangkan putra putri yang diabuahkan dari hubungan tersebut sebagai pelipurlara dan penyejuk hati dari kehidupan dunia yang membutuhkan bimbingan dan penanganan profesional, karena mereka adalah pilar-pilar masyarakat muslim dan cikal bakalnya sebagai penerus. Karena itulah islam sangat antipati terhadap sistem lain yang sesat, bahkan islam ingin menumpas dan menghancurkanya (Kisyik, 2005: 56).
Definisi perkawinan juga dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan demikian: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi ini jauh lebih representif, jelas serta tegas dibandingkan dengan
definisi perkawnian dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
B. Tujuan dan hikmah perkawinan
a. Tujuan pernikahan
semata, akan tetapi memiliki beberapa tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan agama. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Untuk memelihara generasi manusia, pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keberlangsungan generasi manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari Allah.
2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Didalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan religius. Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiaanya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkat kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenganan jiwa, kasih sayang, dan memandang.
3. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri kemanusiaan dan menjauhkan dari pelarangan-pelarangan yang diharamkan dalam agama.
terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki petunjuk jalan agama (Azzam & Hawwas, 39)
Sedangkan tujuan pernikahan menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentan perkawinan dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam suatu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan hubungan antara suami dan istri, atau antara suami istri dan anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak. Perkawinan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan dengan berkeadaban pula, sesuai ajaran yang diturunkan Tuhan kepada manusia (Muhammad, 1993: 75).
b. Hikmah perkawinan
tersebut. Dan dibalik semua perintah dan bahkan larangan dari Allah untuk melakukan dan tidak boleh dilakukan bagi hamba-Nya selalu saja terdapat hikmah yang luhur dan mulia. Allah Swt telah menetapkan pernikahan dan menjadikannya sebagai suatu keharusan karena ada banyak manfaat yang tidak bisa dihitung serta derajatnya yang mulia. Dan diantara hikmah menikah tersebut adalah:
1. Pernikahan adalah ajaran yang sesuai, selaras dan sejalan dengan fitrah manusia. Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Sa‟ad bin Abu Waqas r.a.:
sesungguhnya Allah Swt memberi tuntunan kepada kita menuju jalan
tauhid dan berpegang teguh pada agama yang lurus.pada pernikahan
ada benteng untuk menjaga diri dari godaan setan, menyalurkan kerinduan yang terpendam, mencegah kebrutalan nafsu, memelihara pandangan, dan menjaga kemaluan. Pernikahan juga merupakan penenang jiwa melalui kebersamaan suami-istri, penyejuk hati dan memotifasi untuk senantiasa beribadah. Karena pada dasarnya, jiwa manusia itu cenderung lari dari kebenaran.
Allah berfirman dalam QS Ar-Rum: 21 yang berbunyi:
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Arti litaskunu pada ayat diatas adalah “cenderung kepadanya (pasanganmu)” dan “memperlakukannya dengan lemah lembut”
karena masalah seksualitas menjadi sebab guna mempererat hubungan atau sebaliknya menjadi sebab pertentangan dan ketidak harmonisan. Sedangkan bainakum berarti “antara laki-laki da perempuan yang sudah diikat oleh tali perkawinan dalam kondisi saling mengenal, penuh cinta dan kasih sayang”. Sementara kata muwaddah adalah
kaisan dari hubungan intim antara suami istri dan dan kata rahmah
kiasan dari anak yang dihasilkanya.
2. Melahirkan anak. Karena maksud dari sebuah pernikahan adalah ikatan syariat yang kuat, menyalurkan hasrat jiwa dan memperbanyak keturunan dan dengan maksud mendekatkan diri pada Allah Swt. Dan mengharap ridhoNya. Karena Allah tidak mengharuskan hamba-Nya yang saleh menemui-Nya dalam keadaan masih membujang. Dalam memenuhi perintah Allah untuk menikah, Imam Ghozali memberikan beberapa hukmah bila ditinjau dari segi meghasilkan keturunan: a. Sejalan dengan kecintaan manusia kepada Allah dalam usaha
b. Sesuai dengan kecintaan umat manusia kepada Rasulullah Saw untuk memperbanyak jumlah ummat yang dibanggakan.
c. Mencari berkah dengan doa anak-anaknya yang saleh.
d. Mengharapkan syafaat Nabi jika anak yang dilahirkan meninggal waktu kecil.
3. Hikmah menikah yang ketiga adalah memenuhi keinginan hati untuk membina rumah tangga dan saling berbagi rasa dengan cara menyiapkan hidangan untuk keluarga, membersihkan dan menyiapkan tempat tidur, membereskan alat-alat rumah tangga dan mencari rezeki. Abu Sulaiman Ad-Darani berpendapat bahwa istri yang baik bukan melulu mementingkan urusan dunia tetapi juga mementingkan akhirat, diantaranya adalah pengorbanan untuk membina dan menata rumah tangga sebaik-baiknya sekaligus mengurangi hawa nafsu.
4. Memantapkan jiwa dengan ajakan kasih-sayang dan pelaksanaan hak serta kewajiban terhadap keluarga, menyabarkan diri terhadap tingkah laku istri dan ucapanya, berusaha meluruskan dan membimbingnya kepada agama untuk selalu memperoleh yang halal demi kebaikan diri dan terlaksananya pendidikan putra putri tercinta. Rasulullah bersabda “satu hasil menjadi wali yang adil terhadap keluaga bagi Allah Swt
halal untuk diri sendiri dan orang lain sebagaimana sabda Rasulullah,
“apapun yang diberikan seseorang demi kebaikan keluarganya
adalah sedekah. Sesungguhnya seorang suami mendapatkan pahala
untuk setiap suapan yang masuk kedalam mulut istri dan
anak-anaknya”.
Perhatikanlah tiga perkara larangan tersebut:
a. Keengganan seorang untuk memperoleh yang halal karena khawatir tertutup jalan untuk memperoleh rezeki meskipun dengan mengikuti keinginan-keinginan yang tidak terpuji dan menjual akhirat untuk membeli dunia.
b. Melalaikan hak dan kewajiban terhadap keluarga serta tidak bersabar atas tingkah laku dan ucapan istri. Ini berbahaya karena seorang suami adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinanya. Rasulullah bersabda “berdosa seorang yang
melalaikan tanggung jawabnya”. Dan Allahberfirman
“selamatkanlah diri dan keluargamu dari api neraka”. Dengan ini
membuatnya semakin jauh dari Allah Swt. Dengan urusan keluarga, harta, dan anak-anak. Selalu optimis dalam mendapatkan segala yang diciptakan dan menikmatinya hingga membuatnya tenggelam dalam eksploitasi seks dengan mempermainkan wanita. Ibrahim bin Adhan berpendapat bahwa barang siapa yang hanya memikirkan kesenangan dengan wanita tidak akan mendapatkan apapun (Kisyik, 2003: 17-19)
C. Dasar hukum perkawinan
Dasar hokum perkawinan merupakan bagian penting dari syari‟at Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islam. Hukum Islam menetapkan lembaga perkawinan dalam bentuk ikatan sacral antara laki-laki dan perempuan atas dasar perasaan rasa cinta dan kasih sayang, hal ini dapat kita lihat dari salah satu firman Allah dalam surah annur ayat 32 yang berbunyi:
َ اَرَقُيَف ا ُن ُكَ ْنِ ْمُكِئاَمِ َو ْمُكِداَبِع ْنِم َينِِلِاَّصلاَو ْمُكْنِم ىَماَ لْا ا ُحِكْنَأَو
عٌم ِلَع عٌ ِساَو ُوَّللاَو ِوِلْ َف ْنِم ُوَّللا ُمِهِنْ ُيَ
32. Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
perempuan yang belum mempunyai suami supaya menikah. Dan bahwa seseorang takut jikalau mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan keseharianya setelah menikah karena mereka miskin maka Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka.
Mengenai hukum perkawinan, terdapat beberapa pembagian dari hukum-hukum tersebut. Adapun beberapa hukum-hukum perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Pernikahan atau perkawinan yang hukumnya wajib adalah perkawinan bagi orang yang sudah mampu dan amat besar keinginannya untuk itu. Jika tidak segara dilaksanakan dikhawatirkan terjadi zina. Nikah adalah pencegahan untuk menjaga diri dan kesuciannya dari perbuatan haram. Karena hal ini tidak bisa direndam lagi kecuali dengan menikah.
Imam qurthubi berpendapat “bagi seorang yang sudah mampu dan ia
khawatir akan membahayakan diri dan agamanya, jika tidak segera menikah bisa saja ia terjerumus kedalam hal-hal yang menyimpang dan tidak dapat ditolong kecuali dengan pernikahan. Jika sudah ada keinginan, namun belum mampu memberi nafkah kepada istrinya niscaya Allah akan memberinya karunia dengan keliasaanNya. Seperti dalam QS An-Nur: 33 yang berbunyi:
ِدْ َيَب ْنِم َوَّللا َّنِإَف َّنُّىِرْكُ ْنَمَو اَ ْيَنُّدلا ِةاَ َْلِا َضَرَع ا ُ َيَ ْبَ ِل اةًنُّصََتَ َنْدَرَأ
عٌم ِحَر عٌر ُفَ َّنِهِىاَرْكِ
33. dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu
paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
2. Pernikahan sunnah, ialah bagi orang yang sudah mampu menikah dan punya keinginan kuat untuk menikah, namun ia dapat meredamnya dan merasa aman dari melakukan perbuatan yang dilarang Allah, maka menikah disunnahkan baginya. Akan tetapi jika diputuskan untuk menikah jauh lebih baik ketimbang hidup menyendiri dengan hanya beribadah. karena para pendeta yang hanya sibuk dengan ibadahnya namun tidak menikah sama sekali bukan termasuk ajaran Islam (kisyik, 2005: 58).
diminatinya, sedangkan wanita itu tidak berkeinginan kuat untuk menikah. Jika dengan menikahinya akan menyebabkan terganggunya ketaatan wanita tersebut kepada Allah Swt. Dan kecintaanya pada ilmu pengetehuan, maka semakin dimakruhkan dan dilarang untuk menikahinya.
4. Pekawinan yang dibolehkan yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang mendorong (memaksa) atau menghalang-halangiperkawinan Ibahah ini yang umum terjadiditengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama dinyatakan sebagai hukum dasar atas hukum asal dari nikah (Amin Summa, 2005: 92).
Adapun hukum perkawinan menurut perundang-undangan dari segi penerapanya termasuk hukum Islam yang memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya dalam rangka pelaksanaanya Negara harus memberikan landasan yuridisnya, karena Negara merupakan kekuasaan yang memiliki legalitas dan kekuatan dalam halitu. Di Indonesia sejak tahun 1974 telah mempunyai undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pada umumnya, masyarakat Indonesia memandang asal mula hukum perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama syafi‟iyah,. Sedang menurut beberapa ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah,
dan Hambaliyah, hukum melangsungkan pernikahan itu adalah sunnat.
Terlepas dari imam madzhab, berdasar nash-nash baik Al-qur‟an maupun As-Sunnah, islam sangat menganjurkan kaum muslimin yng mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melakukan serta tujuan melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh maupun mubah (DEPAG, 1985: 59).
D. Pengertian perceraian
Perceraian adalah perceraian secara bahasa talaq (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009: 19).
khususnya adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja. Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah fiqh yang berarti bubarnya nikah ( Harjono, 1987: 234).
Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilaluioleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhaan dan kelanjutanya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian diantara kedua belah pihak, baik melalui hakam(arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Al-qur‟an dan Al-hadits (Ali, 2006: 73)
E. Dasar Hukum Perceraian
Hukum perceraian, para ahli salih berpendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu terlarang. Mereka yang berpendapat begini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Dilarangnya perceraian,karena merupakan salah satu bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat yang diberikan Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat. Kategori darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istri atau sudah tidak saling mencintai lagi. Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, ada akalanya wajib, mubah, makruh, dan haram (Sabiq, 1980: 9).
Akan tetapi hukum talak atau perceraian dapat dilihat dari keadaan dan situasi tertentu, maka hukum talak ada empat:
1. Sunat yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan kemudaratan yang lebih banyak akan timbul.
2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya juga ada.
masa tertentu, sedangkan iya tidak mau membayar kaffarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakanya itu memudaratkan istrinya. 4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasaan sedangkan istri dalam keadaan
haid atau suci yang dalam massa itu ia telah digauli (Syarifudin, 2003: 127).
Adapun ayat Al-Qur‟an tentang perceraian, dalam At-Tallaq ayat 1:
َوَّللا ا ُقَّيَتاَو َةَّدِ ْلا ا ُصْحَأَو َّنِِتَِّدِ ِل َّنُى ُقِّلَطَف َ اَسِّنلا ُمُ ْقَّلَط اَ ِ ُِّبَِّنلا اَهُّيَ َأ اَ
َ ْلِتَو ٍ َنِّيَ َيَبُم ٍ َشِحاَفِب َينِتْأَ ْنَأ لَِ َنْجُرَْيِ لََو َّنِِتِ ُ ُيَب ْنِم َّنُى ُجِرُْتُ لَ ْمُكَّبَر
ُثِدُْيُ َوَّللا َّلَ َل يِرْدَت لَ ُوَسْفَيَن َمَلَظ ْدَقَيَف ِوَّللا َدوُدُح َّدَ َيَ َيَ ْنَمَو ِوَّللا ُدوُدُح
اةًرْمَأ َ ِلَ َدْ َيَب
1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah,
Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu
F. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun perceraian (talak) ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak taegantung adanya dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun dan syarat talak adalah sebagai berikut:
a. Suami yang sah akad nikah dengan istrinya, disamping itu suami dalam keadaan baligh, sebagai suatu perjanjian hukum, perceraian tidak sah dilakukan oleh orang yang belum baligh. Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan istrinya juga harus mempunyai akal yang sehat, maka dari itu orang gila tidaklah sah untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Atas kemauan sendiri, perceraian karena adanya paksaan dari orang lain bukan atas daasar kemauan daan kesadarnya sendiri adalah perceraian yang tidak sah.
b. Istri unsur yang kedua dari perceraian adalah istri. Untuk sahnya talak istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah.
sadar serta atas kemauan sendiri. Sighat cerai dalam penjelasan tersebut dihukumi sah apabila ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai dengan istrinya. suami harus menyatakan kepada hakim, bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan keinginannya menjatuhkan cerai kepada istrinya. apabila tujuan suami dengan perkataannya itu, bukan untuk menyatakan keinginan menjatuhkan cerai kepada istrinya, maka sighat talak yang demikian sah cerainya tidak jatuh (Ghazaly, 2003: 201).
G. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian
Adapun sebab-sebab terjadinya peceraian atau putusnya perkawinan setidaknya ada sembilan macam, yaitu: talak, khuluk, syiqaq, fashakh, taklik talak, illa, zhihar, li‟an, dan kematian (wasman, 2011: 86). Oleh karena itu
masing-masing alkan dijelaskan sebagai berikut:
a. Thalaq yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan menggunakan kata-kata talak kepada istri.
b. Khuluk yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak istri dengan membayar „iwad atau tebusan kepada suami.
c. Syiqaq yaitu perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari piha suami dan hakam dari pihak istri d. Fasakh yaitu rusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh dapat
e. Takliq talaq yaitu talaq yang digantungkan kepada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
f. Illa‟ yaitu sumpah dengan Allah untuk tidak menggauli istrinya
g. Zhihar yaitu dari kata zahr, artinya punggung, maksudnya suami berkata kepada istri, “engkau dan aku seperti punggung ibuku”. Bahwa zhihar
menurut istilah yaitu ucapan kasar yang diucpakan suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahramsuami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami.
h. Li‟an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk, sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka dia harus bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah bersumpah satu kali bahwa dia akan terkena laknat Allah jika dalam tuduhannya dia berdusta.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pamadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun brturut-turut tanpa izinpihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya.
c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak memdapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar takliq talaq
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.
dalam keluarga. Padahal untuk menciptakan suatu keluarga yang bahagia, kedua-duanya saling melengkapi tanpa ada suatu perlakuan diskriminatif dan subordinatif. Tetapi untuk membangun sebuah rumah tangga yang demikian itu perlu adanya kekuatan penyadaran intelektual terhadap dimensi sosial, terutama bagaimana teks-teks agama itu dapat dipahami masyarakat secara konstektual. Misalnya dalam QS An-Nisa‟ yang berbunyi:
ْنِم ا ُقَفْيَنَأ اَِبَِو ٍضْ َيَب ىَلَع ْمُهَ ْ َيَب ُوَّللا َلَّ َف اَِبِ ِ اَسِّنلا ىَلَع َن ُماَّ َيَق ُلاَجِّرلا
َن ُفاََتُ ِتِلالاَو ُوَّللا َظِفَح اَِبِ ِبْ َ ْلِل عٌتاَظِفاَح عٌتاَ ِناَق ُتاَِلِاَّصلاَف ْمِِلِاَ ْمَأ
لاَف ْمُكَنْ َطَأ ْنِإَف َّنُى ُبِرْضاَو ِ ِجاَ َ ْلا ِ َّنُىوُرُجْىاَو َّنُى ُظِ َف َّنُىَز ُشُن
اةًيرِبَك اًّ ِلَع َناَك َوَّللا َّنِ لا ِبَس َّنِهْ َلَع ا ُ ْيَبَيَت
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
H. Macam-Macam Perceraian
Perceraian (talak) dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan melihat kepada waktu menjatuhkanya, kemungkinan suami kembali ke istrinya, cara menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan lain-lain (supriatna, 2009: 31). Dalam hal ini ada beberapa bentuk perceraian ialah sebagai berikut:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak sang suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat suatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri ini dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapanya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu‟.
Selain itu ada pula hal-hal yang menyebabkan suami istri tidak dapat melakukan hubungan suami istri atau menyebabkan hubungan suami istri tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan perkawinan itu secara syara‟.Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada beberapa bentuk
yaitu sebagai berikut:
a. Suami tidak boleh menggauli istri karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Iya dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarah. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum iya membayar kafarahatas sumpahnya itu,namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut ila‟.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai proses li‟an dan perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan
dalambentuk ini disebut li‟an (Syarifuddin, 2006: 198). Akan tetapi ada satu pengecualian yaitu tentang masalah li‟an setelah diputus oleh
pengadilan maka perceraian akan putus untuk selama-lamanya.
Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju‟ kembali
a. Talak raj‟i
Adalah raj‟i talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri
yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak raj‟i tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang termasuk dalam talak raj‟i ialah talak satu dan talak dua.
ْنَأ ْمُكَل ُّلَِيُ لََو ٍناَسْحِإِب عٌح ِرْسَت ْوَأ ٍفوُرْ َِبِ عٌكاَسْمِإَف ِناَتَّرَم ُقلاَّطلا
لََأ ْمُ ْفِخ ْنِإَف ِوَّللا َدوُدُح اَ ِقُ لََأ اَفاََيِ ْنَأ لَِ اةًئْ َش َّنُى ُ ُ ْ َيَتآ اَِّمِ اوُذُخْأَت
لاَف ِوَّللا ُدوُدُح َ ْلِت ِوِب ْتَدَ ْيَفا اَ ِف اَ ِهْ َلَع َحاَنُج لاَف ِوَّللا َدوُدُح اَ ِقُ
َن ُ ِلاَّظلا ُمُى َ ِئَلوُأَف ِوَّللا َدوُدُح َّدَ َيَ َيَ ْنَمَو اَىوُدَ ْ َيَت
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh ister iuntuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.
b. Talak ba‟in
dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in ini menghilangkan tali ikatan suami istri. Talak ba‟in
ini dibagi menjadi dua macam yaitu talak ba‟in sughra dan kubra. Talak ba‟in sughra ialah talak yang tidak memberikan hak rujuk kepada suami tetapi
bisa menikah kembali kepada istrinya dengan tidak disyaratkan istri harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak ba‟in sughra ialah talak satu dan talak dua. Talak ba‟in kubra ialah talak apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, selain harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, disyaratkan istri harus terlebih dahulu harus menikah dengan orang lain dan telah diceraiakan. Yang termasuk talak ba‟in kubra ialah talak
yang ketiga kalinya.
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkan talak oleh suami, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak sunni
Talak sunni yaitu talak yang dalam pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seorang mentalak istrinya yang telah dicampurinya itu dengan sekali talak dimasa suci dan istrinya itu belum ia sentuh lagi selama masa suci itu.
b. Taalak bid‟i
Talak bid‟i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
Ditinjau dari segi lafal atau ucapan yang digunakan, talak terbagi dua macam:
a. Talak sharih
Talak sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas. Maksudnya kata-kata yang keluar dari mulut suami itu tidak ragu-ragu lagi bahwa ucapanya itu untuk memutuskan hubungan perkawinannya. Misalnya kata-kata suami: “engkau saya talak sekarang
juga” atau “engkau saya lepas sekarang juga”.
b. Talak kinayah
Talak kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.talak dengan kata-kata kinayah tergantung dengan niat suami, artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah talak yang dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, tidak dinyatakan jatuh. Misalnya, kata-kata suami: “pulanglah
engkau kerumah keluargamu” atau “pergilah dari sini” (Rasjid, 1994:
403)
I. Akibat Hukum Putusnya Perceraian
Putusnya perkawinan yang dimaksud dapat dikelompokkan menjadi beberapa karateristik, yaitu:
1. Akibat dari talak
Putusnya ikatan perkawinan karena suami mentalak istrinya menimbulkan beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yakni sebagai berikut:
Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya tersebut, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.
b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al-dukhul.
d. Memberi biaya hadlanah (pemeliharaan anak)untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
2. Akibat dari Cerai Gugat
Dalam pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai akibat perceraian cerai gugat, yaitu:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya diganti oleh wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibunya, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu maupun dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadlanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadlanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jesmani dan rohani dari anak, meskipun biaya nafkah dan hadlanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hadlanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlanah pula.
d. Semuah biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut memcapau dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
3. Akibat dari khulu‟
Khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isrti dengan
memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Perceraian yang terjadi akibat khulu‟ yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya untuk membebaskan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Perceraian tersebut mengurangi julmah talak dan tidak dapat dirujuk kembali. Hal ini berdasrkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan tak dapat
dirujuk”.
4. Akibat dari li‟an
Dengan putusnya perkawinan akibat li‟an, anak yang dikandung oleh
istri dinasabkan kepada ibunya (ibu anak) sebagai akibat li‟an.hal ini sesuai dalam pasal 162 KHI yang berbunyi “bila mana li‟an ini terjadi
maka perkawinan ini putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.
5. Akibat ditinggal mati suaminya
anak-anaknya serta mendapatkan bagian harta warisan dari suaminya. Hal ini sesuai dengan pasal 157 KHI yang berbunyi” harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut daka pasal 96 dan 97”.
Pasal 96 KHI: 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinta secara hukum atas dasar putusnya pengadilan agama. Dalam pasal 97 KHI: “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Didalam Undang-Undang perkawinan juga membicarakan tentang akibat dari perceraian. Hal ini terdapat dalam pasal 41 UUP yang berbunyi:
1. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi putusannya.
BAB III
PERCERAIAN DI LINGKUNGAN KERJA PT. MORICH INDO FASHION A. Gambaran Umum PT. Morich Indo fashion
1. Profil PT Morich Indo fashion
PT. Morich Indo Fashion adalah salah satu perusahaan garment yang memproduksi
salah satu dari puluhan atau hampir ratusan perusahaan yang terletak dikawasan Industri sepanjang jalan Bawen – Ungaran. Produksi PT. Morich sangatlah berkembang pesat, sehingga PT. Morich tersebut membangun satu gedung lagi yang terletak tidak jauh dengan gedung yang utama. Gedung yang dibangun pada tahun 2008 tersebut dikenal dengan PT. Morich Indo Fashion II. Sehingga PT. Morich tersebut mempunyai dua gedung pabrik yang sama-sama terletak di Dusun Gembongan, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang. Jarak antara PT. Morich pertama dengan yang kedua kurang lebih 500m. PT. Morich II berdiri pada tahun 2008 dan PT.Morich II lah yang menjadi obyek penelitian penulis. Jarak PT. Morich Indo Fashion II dari jalan utama Soekarno - Hatta 200 m dengan batas wilayah dengan perusahaan sekitar lain sebagai berikut :
Utara : PT. Vision Land, berjarak 500m.
Timur : Berdampingan langsung dengan rumah warga
Selatan : PT. Hesed, berjarak 50 m.
PT. Morich terdiri dari beberapa bagian baik produksi maupun administrasi untuk menghasilkan hasil produksi layak ekspor yaitu :
Gudang
Cutting
Sewing
Finishing
Umum
Office
2. Keadaan Karyawan PT. Morich Indo Fashion II
Jumlah keseluruhan karyawan PT. Morich kurang lebih 3000 orang yang kemudian terbagi kedalam berbagai divisi. Agama mayoritas yang dianut oleh mereka adalah Islam, sesuai dengan agama yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Tingkat pendidikan kebanyakan karyawan PT. Morich Indo Fashion adalah SMA kebawah kecuali mereka yang masuk dalam bagian administrasi dan perencana.Dilihat dari status kontrak kerja, sebagian besar karyawan di PT. Morich adalah karyawan outscorcing meskipun sudah ada sebagian kecil yang berstatus karyawan tetap.Jumlah kebanyakan tersebut menerima gaji kurang lebihRp. 1.700.000 yang merupakan Upah Minimum Regional Kabupaten Semarang atau biasa dikenal dengan UMR.
tinggal. Terkait urusan tempat tinggal, karena dari 3000 karyawan diatas bukanlah semuanya masyarakat asli sekitar, maka logis bila sebagian dari mereka banyak yang menyewa rumah kos atau kontrakan guna tempat tinggal mereka. Sehingga pengeluaran bagi mereka penghuni indekos lebih banyak dari masyarakat asli. Dari rangkaian paragraf yang menjelaskan gambaran umum keadaan karyawan PT. Morich Indo Fashion diatas maka tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan dari mereka adalah masyarakat kelas bawah.
3. Fasilitas PT.Morich II
Ketersediaan fasilitas - fasilitas pendukung di suatu perusahaan sudah tentu akan menjaga dan meningkatkan kenyamanan dan keamanan karyawan dalam bekerja. Fasilitas pendukung yang dimaksud diawal meskipun tidak begitu lengkap tetapi sudah tersedia di PT.Morich seperti masjid/musola yang terdapat di dalam lingkungan pabrik tersebut. Terdapat tiga musola yang disediakan PT.Morich, pertama musola yang berada disebelah ujung utara perusahaan, kedua ditengah – tengah pusat produksi, dan yang terakhir berada disebelah timur
Selain itu disediakan pula satu poli klinik yang tentunya sangat penting keberadaannya, untuk menyediakan ruang khusus bagi karyawan yang mungkin sedang sakit atau karyawan yang mengalami kecelakaan kerja. Terdapat pula ruang asi yang berada disebelah pos utamayang berdekatan dengan koprasi. ruang asi ini tentunya sangatlah mendukung bagi para karyawati yang mungkin sedang menyusui, agar anaknya tetap mendapat asupan asi dari ibunya.
Dari beberapa fasilitas diatas, Terdapat pula fasilitas non fisik diantaranya adalah koperasi bagi para karyawan, yaitu koperasi morindo yang terletak disebelahselatan yang berdekatan dengan ruang asi.Adanya koperasi tersebut dapat memudahkan karyawan ketika mendapat masalah kebutuhan finansial. Selain itu terdapat pula BPJS yang dapat menjamin kenyamanan dan keamanan para karyawan dan karyawati dalam bekerja. Misalnya terdapat salah satu karyawan yang mengalami kecelakaan dalam bekerja, BPJS Lah yang akan menanggung biaya perawantan atau pengobatan tersebut. Sehingga para karyawan dan karyawati akan merasa aman dalam melakukan pekerjaanya.
B. Profil Pelaku Perceraian
Dari sejumlah perceraian yang terjadi di lingkungan kerja PT. Morich dan berdasarkan tujuan penelitian ini maka peneliti telah memilih dan mengambil beberapa kasus yang relevan dengan inti permasalahan penelitian ini yaitu perceraian-perceraian yang terjadi pada karyawati PT. Morich Indo Fashion. Peneliti total berhasil mengumpulkan informasi dari limakaryawati yang bercerai ketika mereka berstatus sebagai karyawati PT. Morich. Pembahasan mengenai profil pelaku perceraian yang dimaksud disini adalah narasi atau cerita yang melatarbelakangi mereka menjadi karyawati PT. Morich Indo Fashion, berikut adalah profil dari kelima karyawati tersebut :
pernah mendengar sendiri Penggugat dan Tergugat bertengkar karena masalah nafkah, Tergugat tidak memberi nafkah yang layak kepada Penggugat sehingga Penggugat terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.”Saudari Mn telah hampir 4 tahun menjadi
karyawati PT. Morich sejak masuk bulan Desember 2013 di bagian sewing atau menjahit hingga sampai penelitian ini disusun.
2. DW binti ST. adalah seorang perempuan asal semarang yang diperistri oleh YP bin M. Karena sebab pernikahan ia menetapatau tinggal ikut suaminya yang menetap di Gembongan RT.009 RW.004 Kelurahan karang jati Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. DW bekerja di PT Morich Indo Fashion sebagai sewing atau menjahit, ia bekerja sejak PT tersebut berdiri atau mulai beroprasi tepatnya pada tahun 2008. DW terpaksa bekerja di PT tersebut karena YP bin M sebagai suami tidak bisa memenuhi nafkah atau tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari pernyataan saudari DW dan dalam rumah tangga tersebut sering bertengkar karena sang suami yang pekerjaanya tidak jelas, sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya.