• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pelayanan kesehatan dewasa ini, pasien memiliki hak untuk berpendapat dan bersuara, dalam artian menyampaikan keluhan atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Pasien sekarang cenderung kritis dan menuntut pelayanan berkualitas baik di pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. Pasien yang melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan biasanya dilakukan oleh pasien penyakit kronis seperti kanker, diabetes melitus, tuberkulosis (TB). Pelayanan kesehatan harus berfokus ke pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utama sehingga kebutuhan, harapan dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Pasien tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan luaran (outcome) pelayanan tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses pelayanan (Koentjoero, 2007).

Pasien-pasien penyakit kronis merupakan pasien yang membutuhkan dukungan untuk mencapai outcome kesembuhannya, karena mereka harus menjalani perawatan serta pengobatan yang lama. Khusus untuk TB, studi Girange & Festenstein (1993) dan Jaramillo (1999) menunjukkan bahwa perspektif pasien sering tidak dipertimbangkan pada program pengendalian TB. Perspektif pasien merupakan unsur penting dalam perencanaan dan pembentukan program TB yang di dalamnya mencakup desentralisasi, integrasi pengobatan TB dengan layanan lainnya serta evaluasi program dengan pendekatan diagnostik (Needham & Bowman, 2004). Pasien yang tidak mengerti apa yang dihadapinya dengan sendirinya akan lalai berobat sampai putus berobat, apalagi kalau penderita sudah merasakan sembuh dari penyakitnya (Yunus, 1992). Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap,

(2)

meninggal, pindah (transfer out), defaulted (lalai)/ DO (Drop Out) dan gagal (Depkes RI, 2007).

Sebagaimana kita ketahui, TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia yang cukup mendapat perhatian. WHO memperkirakan ada 9,27 juta kasus baru TB yang terjadi pada tahun 2007. Asia (Asia tenggara dan kawasan sebelah barat pasifik) berkontribusi 55% dari kasus TB global sedangkan benua Afrika 31%. Sedangkan sisanya adalah negara-negara di benua Amerika, Eropa dan kawasan Mediterania timur (WHO, 2009). Indonesia dikelompokkan WHO ke dalam negara High Burden Country (HBC) di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2010, di Indonesia angka insidensi semua tipe TB, 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari (Kemenkes RI, 2011).

Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif, kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah (Aditama, 2002). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2007). Bersamaan dengan munculnya pandemik HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (Multiple Drug Resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani (Depkes RI, 2007a).

Penderita TB terus meningkat oleh karena setiap satu penderita TB menular (BTA positif) akan mentransmisikan kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya, sehingga perlu adanya upaya penanggulangan secara optimal, terpadu

(3)

dan menyeluruh (Umar, 2002). Untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia, strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO dan Bank Dunia, harus diekspansi dan diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait. Keterbatasan pemerintah dan besarnya tantangan TB saat ini memerlukan peran aktif dengan semangat kemitraan dari semua pihak yang terkait (Depkes RI, 2007). Di rumah sakit, untuk melakukan manajemen pasien-pasien TB yang tepat membutuhkan pendekatan komprehensif, termasuk fasilitas diagnostik (laboraorium, radiologi, dan lain-lain), staf medis yang handal, suplai obat TB yang adekuat, dan keberlanjutan pengobatan.

Pada awal tahun 1995 WHO telah merekomendasikan DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan TB. Strategi DOTS telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective), yang terdiri dari 5 komponen kunci yaitu: (1) Komitmen politis; (2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; (3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; (4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu; (5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan (Depkes RI, 2007).

Salah satu komponen the Stop TB Strategy dalam rangka memenuhi tantangan MDGs adalah untuk menggandeng semua penyedia pelayanan kesehatan, jika di Indonesia telah dilaksanakan dari tingkat pelayanan pertama seperti puskesmas hingga ke tingkat lanjutan di rumah sakit. Inisiatif untuk menggandeng semua penyedia pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan strategi DOTS yang berkualitas dikenal dengan pendekatan PPM (Public-Private Mix) yag telah dilakukan di 14 dari 22 negara dengan kasus TB terbanyak. Tujuan PPM adalah untuk meningkatkan angka deteksi kasus TB, perbaikan kualitas pelayanan TB untuk semua pasien, dan untuk mencegah kasus MDR-TB dan Extreme Drug Resistance (XDR-TB). Banyak fasilitas pelayanan kesehatan potensial yang perlu dilibatkan dalam strategi DOTS, antara lain rumah sakit, BP4, UPK lapas/rutan,

(4)

UPK polisi, UPK tempat kerja, dan lain-lain (Probandari, 2010). Uji coba, implementasi dan akselerasi pelibatan selain Puskesmas sebagai bagian dari inisiatif PPM telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2007, seluruh BP4 dan sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi DOTS. Strategi DOTS belum diimplementasi secara sistematik untuk praktek swasta, meskipun telah dilakukan uji coba model pelibatan praktisi swasta di Palembang pada tahun 2002 serta di provinsi Yogyakarta dan Bali pada tahun 2004-2005. Sedangkan dalam Riskesdas tahun 2010 (Depkes RI, 2010), jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang telah menerapkan strategi DOTS antara lain: Puskesmas 7200 (98%), BP4 26 (100%), RS Paru 9 (100%) dan RS pemerintah 30%.

Tabel 1. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) yang telah menerapkan strategi DOTS

Sumber: data propinsi pada pertemuan evaluasi TB nasional 2010 (Kemenkes RI, 2011)

Pengembangan strategi DOTS sampai dengan tahun 2010 telah dilaksanakan di seluruh provinsi (33 provinsi) pada 502 kabupaten/ kota yang ada. Pada sarana fasilitas kesehatan secara kuantitatif strategi DOTS telah dilaksanakan di Puskesmas (96%) dan di Rumah Sakit (40%) baik Rumah Sakit

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Jumlah total FPK

Jumlah(%) FPK yang telah menerapkan DOTS Puskesmas 7352 7200(98%) BP4 26 26(100%) RS Paru 9 9(100%) Rumah sakit  RS Pemerintah  RS BUMN  RS TNI/POLRI  RS Swasta 1645 563 78 147 848 30%

(5)

Pemerintah, Swasta, BUMN, TNI-POLRI, BBKPM/BKPM dan RSTP (Kemenkes RI, 2011). Pada Strategi nasional Stop TB Kemenkes RI, menyebutkan, di tahun 2014, diharapkan DOTS sudah bisa dimasukkan dalam kriteria akreditasi suatu RS.

Hasil survei prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan bahwa pasien TB juga menggunakan pelayanan rumah sakit, BP4 dan praktik swasta untuk tempat berobat. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang paling sering dimanfaatkan penderita TB baik untuk pemeriksaan dahak dan foto paru dibanding Puskesmas dan praktek dokter (Depkes RI, 2010).

Gambar 1. Persentase pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh pasien TB (Depkes RI, 2010)

Berdasarkan hasil survei prevalensi tahun 2004, pola perilaku pencarian pengobatan pasien TB di pulau Jawa memperlihatkan rumah sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan utama dalam pengobatan TB (49%). Hal tersebut menyebabkan perlunya mengoptimalkan pengelolaaan DOTS di rumah sakit sehingga bisa mencapai target yang ditetapkan oleh STOP TB Partnership yaitu angka CDR (Case Detection rate) lebih dari 70% dan 85% diantaranya dinyatakan sembuh (Kemenkes RI, 2011a).

(6)

Pelayanan kesehatan di Indonesia diselenggarakan di lima tingkat yaitu: pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa. Di setiap tingkatan terdapat berbagai jenis fasilitas kesehatan dengan konsep pelayanan kesehatan primer melalui puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan utama. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan utama dalam pengobatan TB (66%) diikuti dokter praktek swasta (49%), rumah sakit pemerintah (42%) rumah sakit swasta (14%) dan bidan/perawat praktek swasta (11%) (Depkes RI, 2006a). Saat ini Indonesia telah memilki 1649 puskesmas mikroskopik, 4140 puskesmas satelit, dan 1632 puskesmas pelaksana mandiri. Pada tahun 2006 sebanyak 5735 dokter puskesmas, 7019 petugas TB, dan 4065 teknisi laboratorium telah dilatih strategi DOTS (Kemenkes RI, 2011a).

Menurut Probandari (2010) rumah sakit khususnya memainkan peran penting sebagai sumber pengobatan TB di negara yang beban tinggi untuk kasus TB, dengan demikian rumah sakit telah diidentifikasi sebagai target prioritas untuk inisiatif PPM DOTS. Untuk mencapai tujuan dan target penanggulangan TB, strategi DOTS harus diekspansi keseluruh unit pelayanan kesehatan. Menurut Riskesdas (2010), fasilitas kesehatan yang paling banyak digunakan dalam mendiagnosis TB adalah Puskesmas dan RS Pemerintah, sedangkan RS swasta dan BP /Klinik swasta berada di urutan ke 3 dan ke 4.

Gambar 2 . Persentase masing masing fasilitas kesehatan dalam mendiagnosis TB.

(7)

Menurut Depkes RI (2008), rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien tuberkulosis (case finding). Namun jika dibandingkan dengan puskesmas, rumah sakit memilki kesulitan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case holding). Permasalahan yang utama dalam memperluas sistem jaringan DOTS di rumah sakit adalah mutu pelayanan DOTS yang rendah sehingga mengakibatkan tingginya angka putus berobat dan rendahnya keberhasilan pengobatan. Pemusatan perhatian pada kinerja pelayanan DOTS di rumah sakit sangatlah relevan untuk menekan dan menurunkan kejadian resistensi terhadap obat TB.

Mengukur kualitas pelayanan rumah sakit merupakan hal sulit dan banyak masalah dalam teknologi informasi, jika mungkin data tersedia namun masih dalam bentuk data adminstratif / manual dan tidak berkaitan, sehingga kualitas pelayanan RS menjadi buruk. Kurangnya sumber daya manusia dan fasilitas yang kurang memadai untuk melakukan pelayanan rumah sakit yang berkualitas, khususnya untuk penyakit TB yang tergolong banyak penderitanya tidak mencerminkan kesuksesan program DOTS. Melainkan kurangnya dana dan koordinasi sumber daya. Situasi ini diperparah dengan tingginya prevalensi HIV-AIDS di penderita TB dewasa (Hongoro et al., 2005)

RSUD kabupaten Serang adalah rumah sakit pemerintah yang memiliki 340 tempat tidur dan jumlah pegawai sebanyak 906 orang. Kunjungan pasien ke poliklinik Paru cukup tinggi di tahun 2009 kunjungan pasien mencapai 10.803 pasien, sedangkan di tahun 2010 sejumlah 9091 pasien. Pasien TB paru sendiri di tahun 2010 berjumlah 1183 atau 6,89 % dari kunjungan total. TB Paru bahkan menduduki peringkat 1 dalam sepuluh besar penyakit rawat jalan kunjungan INA DRG rawat jalan tahun 2010. Pasien yang diobati di poliklinik paru tidak hanya pasien TB, namun juga PPOK, asma, dan lain sebagainya, sedangkan pasien TB anak dilayani di Poli anak. Pengobatan pasien TB di RSUD Serang telah menerapkan strategi DOTS.

RS Citra Medika Ciruas merupakan RS swasta tipe D yang berdiri pada November 2009, awalnya adalah sebuah klinik umum di wilayah kabupaten

(8)

Serang yang kemudian menjadi sebuah RS. Jumlah pasien TB rawat jalan di RS CMC pada tahun 2011 mencapai 650 pasien, selain itu pasien TB juga terdapat pada kunjungan rawat inap. Pasien TB yang berobat ke RS CMC biasanya langsung ke poli spesialis penyakit dalam, dan di UGD, dikarenakan belum terdapat dokter spesialis Paru, dan pengobatan TB untuk pasien belum menerapkan strategi DOTS.

Adanya kemungkinan pengobatan yang gagal ataupun putus obat maka dibutuhkan kondisi dimana pasien TB dapat merasakan kenyamanan dalam pengobatannya maka untuk mendapatkan gambaran apakah pelayanan kesehatan sebagai suatu standar yang dapat diterima dan mendukung usaha untuk perbaikan mutu dan mendukung partisipasi pasien yang lebih besar dalam pelayanan kesehatan dibutuhkan usaha untuk mengukur kepuasan pasien dan pengalaman dalam suatu rumah sakit umum (Draper et al., 2001). Berdasarkan penelitian Probandari et al. (2010) yang mengungkapkan pentingnya variabel proses, khususnya komitmen dan sistem yang baik serta komunikasi dalam proses case holding dalam mencapai indikator outcome yang lebih baik sedangkan variabel struktur tidak berkaitan dengan indikator outcome seperti ketersediaan tim DOTS, unit DOTS, TB guideline dan insentif finansial tidak mendukung outcome yang lebih baik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa rumah sakit swasta dalam penelitian ini ternyata menunjukkan angka default yang paling rendah dan angka keberhasilan pengobatan yang tertinggi namun terdapat juga RS swasta yang menunjukkan angka keberhasilan perawatan yang rendah dengan angka default yang tinggi. Sedangkan terdapat rumah sakit umum yang memiliki kinerja baik dalam keberhasilan perawatan namun angka default lebih tinggi dari 5%. Oleh karena itu evaluasi kualitas pelayanan TB dari perspektif pasien mungkin juga akan berbeda hasilnya antara RS pemerintah dan RS swasta.

Aspek kepuasan pasien dalam pelayanan TB belum banyak digali namun akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian. WHO telah mengembangkan suatu instrumen untuk mengukur suatu kualitas pelayanan sudah mulai dispesifikkan ke dalam detail jenis penyakitnya, beberapa diantaranya adalah penyakit kronis. Salah satunya adalah instrumen untuk mengukur kualitas pelayanan TB dari

(9)

dimensi kualitas dari pelayanan TB di negara-negara seperti Kenya, Malawi, dan Uganda, namun masih jarang digunakan di komunitas TB lainnya atau di Negara lainnya. Penelitian ini mencoba untuk mengaplikasikan instrumen ini untuk menilai persepsi pasien TB terhadap pelayanan TB yang telah diterimanya di berbagai sarana pelayanan kesehatan seperti di Puskesmas, Rumah sakit ataupun BP4.

QUOTE-TB (Quality of Care as seen through the Eyes of the Patient) memungkinkan program TB nasional untuk mengukur performance dari pelayanan TB dari perpektif pasien pada sarana/fasilitas kesehatan dan untuk menfokuskan intervensi perbaikan kualitas pada level yang berbeda dari pelayanan kesehatan. Secara rutin kuesioner performance dapat digunakan untuk mewawancarai pasien TB yang telah terdaftar yang datang untuk berkonsultasi dalam suatu fasilitas kesehatan atau rumah sakit. Aplikasi QUOTE-TB pada level fasilitas/sarana kesehatan bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman pasien dari performance pelayanan TB dan untuk memilih aspek aspek yang membutuhkan perbaikan dari perspektif pasien (van den Broek et al., 2007). Setelah QUOTE-TB diaplikasikan di beberapa negara, kemudian WHO meluncurkan kembali instrumen ini dalam bentuk QUOTE-TB Light yang telah direvisi dari instrumen sebelumnya. QUOTE-TB Light dikembangkan dari QUOTE-TB melalui TB CAP yang berkolaborasi dengan KNCV Tuberculosis Foundation, The Netherlands Royal Tropical Insttute (KIT), The Regional Centre for Quality of Health Care dari Makerere University Uganda ( RCQHC) dan The Netherlands Institute for Health Research (NIVEL). QUOTE-TB Light merupakan aplikasi yang disederhanakan dari QUOTE-TB tool yang asli. Semua komponen di dalamnya tetap asli dengan mengkombinasikan antara performance dan importance, tetapi direvisi sebagai paket siap pakai termasuk instrumen yang telah distandarisasi yang menjadikan lebih praktis digunakan pada semua program TB (Massaut et al., 2009)

Instrumen QUOTE-TB merupakan salah satu instrumen untuk mengetahui persepsi pasien TB terhadap kualitas pelayanan TB di Rumah Sakit. Instrumen ini dapat mengenali keluhan pelanggan, yang nantinya dapat dijadikan dasar untuk

(10)

melakukan perbaikan. Pasien TB merupakan pelanggan RS yang menjalani pengobatan rutin di rumah sakit yang mengharapakan kesembuhan atas penyakitnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan, harapan, pelanggan dan penilaian pelanggan terhadap kinerja dan manfaat produk atau pelayanan yang diberikan maka akan menghasilkan kepuasan (Koentjoro, 2007). Pelanggan yang puas terhadap pelayanan akan menjadi pelanggan yang loyal/setia yang nantinya pelanggan ini diharapkan menjadi mitra rumah sakit.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan TB di poli Paru RSUD kabupaten Serang?

2. Apakah terdapat perbedaan persepsi tentang kualitas pelayanan TB antara RSUD kabupaten Serang dan RS Swasta Citra Medika Ciruas (CMC)?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengukur persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan TB di poli paru RSUD kabupaten Serang.

2. Menganalisis perbedaan persepsi kualitas pelayanan TB antar sarana kesehatan yaitu pasien TB yang ditangani di RSUD kabupaten Serang dengan pasien yang ditangani di RS CMC.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan dan evaluasi kepuasan pasien dalam mutu pelayanan TB paru.

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan kesehatan di tingkat unit pelayanan kesehatan rumah sakit.

(11)

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan persepsi pasien telah banyak dilakukan, antara lain:

1. Fandani (2003) “Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Umum Puskesmas Karangmalang Kabupaten Sragen”, dengan subyek penelitian adalah pasien rawat jalan umum di puskesmas Sragen. Jenis penelitiannya observasional, metode survei dengan pendekatan cross-sectional. Instrumen kuesioner disebar pada 100 orang responden yang pernah menggunakan rawat jalan umum puskemas Karangmalang. Data diolah secara kuantitatif dengan metode univariat bivariat dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan korelasi Parsial. Hasilnya menunjukkkan 61% pasien berusia muda, dengan 47% berpendidikan SMA, tingkat kepuasan pasien 80% puas dan 20% tidak puas. Terdapat hubungan secara signifikan antara persepsi mutu pelayanan dokter, perawat, pelayanan administratif, dan kebersihan puskesmas terhadap tingkat kepuasan pasien.

2. Supardi (2008) tentang “Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Pengobatan Dengan Kepuasan Pasien di Balai Kesehatan Karyawan Rokok Kudus”. Tesis ini menekankan persepsi tentang pelayanan dokter, pelayanan perawat, pelayanan petugas administrasi dan sarana prasarana fisik balai kesehatan dengan tingkat kepuasan karyawan pabrik rokok Kudus yang berobat. Jenis penelitian observasional dengan metode survei, pendekatan cross-sectional. Instrumen penelitian dengan kuesioner terhadap 100 orang responden. Data dianalisa dengan uji korelasi Pearson. Hasil penelitian diketahui bahwa 61,0% pasien berusia muda, pasien perempuan 92,0%, tingkat pendidikan SD 57,0% dan pendapatan lebih rendah dari UMK 90,0. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan dokter (69,0%), perawat (74,0%), petugas administrasi (69,0%), keadaan lingkungan (77,0%), sarana peralatan dan obat (84,0%), dan terhadap

(12)

pelayanan pengobatan di BKKRK (81,0%). Ada hubungan antara persepsi mutu pelayanan dokter dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan pengobatan di BKKRK

3. Davidson, et al (1999) ”Patient Satisfaction With Care at Directly Observed Therapy Programs for Tuberculosis in New York City”. Penelitian ini mengukur kepuasan pasien yang diterapi dengan strategi DOTS. Kepuasan yang diukur berdasarkan kepuasan kepada provider pemberi pelayanan seperti dokter, perawat, pekerja sosial, rujukan dan peer group. Level importance yang diukur melalui transportasi, dukungan makanan, voucher makanan, sedangkan uji penelitian ini menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian ini adalah bahwa aspek terpenting dalam DOTS adalah pasien merasa berkesempatan untuk mendapatkan pelayanan medis yang baik. Selain itu dukungan staf DOTS juga dinilai sebagai aspek yang penting, sedangkan aspek yang kurang penting bagi responden adalah menerima insentif untuk meningkatkan partisipasi.

4. Farsida (2011) “Kualitas Pelayanan TB Dengan Strategi DOTS Yang Dilihat Dari Sudut Pandang Pasien di Rumah Sakit Umum Koja dan Rumah Sakit Islam Sukapura”. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kualitas pelayanan TB dengan strategi DOTS dilihat dari sudut pandang pasien di rumah sakit pemerintah dan swasta. Jenis penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian cross-sectional. Instrumen yang digunakan diadaptasi dari QUOTE-TB yang merupakan kuesioner dengan 8 dimensi penilaian yaitu : (1) Availabilitas dan aksesibilitas pelayanan; (2) Informasi ke pasien TB; (3) Interaksi provider dan konseling; (4) Infrastruktur; (5) Prosedur dan berbagai uji diagnosis; (6) Biaya dan cara pembayaran; (7) Keterkaitan antara TB dan HIV; (8) Dukungan terhadap pasien.Hasil penelitian ini menunjukkan di RSUD Koja ada 8 aspek yang membutuhkan perbaikansedangkan di RSI Sukapura ada 13 aspek yang perlu perbaikan. Penilaian secara keseluruhan menunjukkan bahwa

(13)

responden memberikan nilai yang cukup dengan angka 7 sebagai nilai terbanyak dipilih responden untuk kedua rumah sakit.

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan, penelitian saya yang berjudul “Persepsi Pasien TB terhadap Kualitas Pelayanan TB di RSUD Serang dan RS Citra Medika Ciruas Provinsi Banten”, selain juga menggunakan kuesioner kepada pasien TB, dan desain penelitian cross-sectional, namun penelitian ini menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari kuesioner performance dan importance dari QUOTE–TB dengan penilaian importance (I) sebagai faktor pembobot tetap memakai instrumen kuesioner namun dimensi yang dinilai mengacu pada 9 dimensi penilaian kualitas pelayanan yang terdapat pada QUOTE-TB light yang meliputi: (1) Komunikasi dan informasi, (2) Kompetensi profesional, (3) Ketersediaan pelayanan TB, (4) Keterjangkauan, (5) Interaksi penyedia layanan dan pasien serta konseling, (6) Dukungan, (7) Hubungan TB/HIV, (8) Infrastruktur, dan (9) Stigma.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) yang telah menerapkan strategi DOTS
Gambar 1. Persentase pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh pasien TB (Depkes RI,  2010)
Gambar 2 . Persentase masing masing fasilitas kesehatan dalam mendiagnosis TB.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Pada penelitian ini untuk mengetahui pertumbuhan anak adalah dengan menggunakan standar antropometri, antropometri sendiri merupakan standar pengukuran pertumbuhan dengan

Kami sangat menaruh per hat ian mengena i hak Anggota ini karena pada waktu membicarakan SUSDUK itu, sangat berkembang dan barangkali semangat yang tergantung di

Fungsi pelaksanaan adalah kegiatan mendorong semangat kerja, mengerahkan aktivitas, mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang akan menjadi aktivitas yang kompak

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak