• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SATUAN PENDIDIKAN (Darwis Sasmedi, Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SATUAN PENDIDIKAN (Darwis Sasmedi, Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SATUAN PENDIDIKAN (Darwis Sasmedi, Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan)

Pendahuluan

Tantangan yang dihadapi oleh kepala sekolah semakin beragam dan cepat berubah. Tantangan ini dapat lebih cepat direspon oleh sekolah kalau pengelola sekolah menerapkan kebijakan dengan menganggap sekolah sebagai pusat perhatiannya. Konsep pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) berkembang sebagai respon dari sistem manajemen yang dikendalikan oleh otoritas eksternal. Upaya pengembangan konsep dan teori manajemen berbasis sekolah sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan sejak tahun 1999 konsep MBS telah di diujicobakan di beberapa sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah berkemauan untuk melaksanakan MBS, tetapi terbentur kepada belum terbentuknya pemahaman bagaimana menerapkan konsep tersebut secara operasional.

Di beberapa belahan dunia, MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, antara lain “tata kelola berbasis sekolah” (school-based governance), “manajemen mandiri sekolah” (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan “school site management” atau “manajemen yang bermarkas di sekolah”. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom (bukan hanya sekedar unit pelaksana teknis) dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.

Sekolah mengemban fungsi berposisi di garis paling depan dalam melayani pendidikan masyarakat, sehingga sekolah harus dapat merespon dengan cepat perubahan yang ada, namun juga tetap mengikuti standar-standar yang sudah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah sebagai unit organisasi yang mempunyai otonomi, mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri. Penerapan MBS memerlukan langkah-langkah perumusan lingkup kegiatan pengelolaan yang sudah digariskan dalam peraturan kementerian dalam bentuk standar-standar pengelolaan yang harus diikuti oleh sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya diatur oleh sekolah (otonomi sepenuhnya).

Penerapan MBS secara yuridis diamanatkan oleh beberapa aturan perundangan antara lain: (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51, Ayat (1); “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah” (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

(2)

satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”; (c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, yang akan diuraikan lebih mendetail lagi pada BAB II dan III; (d) Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendididikan, Pasal 50 dan 51. Pasal 50 “Satuan atau program pendidikan wajib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya”.

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju ke yang baru, sebagai berikut:

Pola Lama Pola Baru

Subordinasi  Otonomi

Pengambilan keputusan terpusat  Pengambilan keputusan partisipatif

Ruang gerak kaku  Ruang gerak luwes

Pendekatan birokratik  Pendekatan professional

Sentralistik  Desentralistik

Diatur  Motivasi diri

Overregulasi  Deregulasi

Mengontrol  Mempengaruhi

Mengarahkan  Memfasilitasi

Menghindari resiko  Mengelola resiko

Gunakan uang semuanya  Gunakan uang seefisien mungkin

Individual yang cerdas  Teamwork yang cerdas

Informasi terpribadi  Informasi terbagi

Pendelegasian  Pemberdayaan

(3)

Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Pada Pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan, lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien.

MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar terhadap sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan terhadap sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya). Hal-hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).

De Grauwe dalam laporan kajiannya “The Quality Imperative School-based

management (SBM): does it improve quality? (2005) memberikan definisi MBS sebagai

transfer kewenangan dalam pembuatan keputusan pengelolaan sekolah ke tingkat sekolah. Konsep MBS harus dapat menjawab kewenangan mana saja yang sebelumnya menjadi kewenangan pengelola pendidikan tingkat nasional ditransfer

(4)

menjadi kewenangan sekolah, dan kepada siapa saja kewenangan-kewenangan di tingkat sekolah tersebut diberikan.

MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan. Dengan MBS, sekolah diharapkan makin berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)

Karakteristik MBS mencakup 4 aspek, yaitu: (1) kontrol administratif: dibawah kewenangan kepala sekolah; (2) kontrol professional: dibawah kewenangan korps guru; (3) kontrol masyarakat: dibawah kewenangan wali siswa melalui dewan sekolah; dan (4) kontrol keseimbangan: kontrol professional dan kontrol masyarakat diperagakan secara seimbang.

Di Indonesia karakteristik MBS akan diuraikan dalam prinsip, konteks, target, dan praktek-praktek MBS. Prinsip, kontek, dan target MBS sebagaimana diuraikan berikut ini: (1) Prinsip, Penerapan MBS ini didasari oleh empat prinsip yang dikemukakan oleh Yin Cheong Cheng (1996) “School effectiveness and school-based management: a mechanism for development”; yaitu, ekuifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan inisiatif, yang mana prinsip-prinsip diatas tidak pernah diakomodasi pada MKE.

Prinsip equifinalitas menyatakan bahwa ada banyak cara yang berbeda untuk mencapai satu tujuan. Satu organisasi mempunyai potensi dan kendala yang berbeda dibandingkan organisasi lain. Sangat tidak masuk akal kalau organisasi-organisasi yang berbeda karakternya dipaksa untuk mencapai satu tujuan dengan cara yang sama.

Prinsip desentralisasi didasarkan kepada pelibatan kegiatan tidak hanya di pusat saja, tetapi disebar ke daerah-daerah untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Tugas pusat untuk membuat keputusan akan semakin sulit karena keragaman kondisi di daerah masing-masing. Pelibatan daerah untuk ikut memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan, menjadi keharusan agar organisasi dapat melakukan tindakan terbaik

(5)

sesuai dengan kondisinya. Demikian juga dengan kewenangan di sekolah, pelibatan staf sekolah perlu dilakukan.

Prinsip sekolah sebagai unit swakelola didasarkan bahwa kegiatan sekolah sehari-hari harus tetap berjalan. Semua masalah yang ada harus cepat ditangani tanpa menunggu instruksi dari otoritas eksternal. Kegiatan sekolah tidak dapat berjalan lancar kalau semua kegiatan harus menunggu instruksi dari otoritas eksternal.

Prinsip inisiatif menegaskan bahwa sekolah sebagai organisasi mandiri tidak perlu menunggu keputusan otoritas eksternal dalam melakukan kegiatannya. Ada empat tingkat inisiatif dari yang paling rendah yaitu hanya menunggu, menuju ke tingkat lebih tinggi yaitu meminta petunjuk, meningkat ke lebih tinggi lagi yaitu meminta ijin, menuju ke inisiatif yang paling tinggi yaitu melakukan dulu baru melaporkan.

Konteks penerapan MBS adalah dalam rangka membentuk sekolah yang memiliki kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana pesan PP 17, 2007 pasal 49; “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. (1) Kemandirian dapat diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dari sisi program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Jadi kemandirian sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku; (2) Kemitraan, Setiap warga sekolah mempunyai fungsi dan peran yang spesifik. Hubungan antar warga sekolah didasarkan atas kemitraan yaitu bentuk hubungan setara dalam berbagi tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan perannya; (3) Partisipasi, Sekolah dapat mewujudkan visinya kalau semua warga terlibat sesuai dengan fungsi dan perannya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan; (4) Keterbukaan, Keterbukaan memberi kesempatan kepada warga sekolah untuk mengetahui hal-hal yang sedang terjadi dan

(6)

sekolah; (5) Akuntabilitas, MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah. Sebagai konsekuensinya, sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.

Target manajemen berbasis sekolah dirumuskan dalam permendiknas nomer 19 tahun 2007 tentang pengelolaan pendidikan, mencakup 6 target seperti berikut: (1) perencanaan program; (2) pelaksanaan rencana kerja; (3) pengawasan dan evaluasi; (4) kepemimpinan sekolah/madrasah; (6) sistem informasi manajemen; dan (7) penilaian khusus. Masing-masing target diuraikan lebih lanjut menjadi butir-butir target, misalnya komponen perencanaan program dibagi menjadi 4 butir yaitu visi, misi, tujuan dan rencana kerja sekolah.

Untuk melakukan perumusan rencana kerja, sekolah perlu melakukan evaluasi diri sekolah, sebagaimana diatur dalam Permendiknas 19 tahun 2007 tentang pengelolaan sekolah, peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomer 63 tahun 2009 tentang Sistim Penjaminan Mutu Pendidikan.

Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Pelaksanaan MBS lebih menekankan kepada merumuskan bagaimana praktek-praktek MBS dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Kegiatan-kegiatan yang sudah lama diotonomkan di sekolah diungkapkan oleh Alison Bullock dan Hywel Thomas dalam “school at the center” 1997 halaman 7-8, mencakup lingkup kegiatan (1)

penerimaan siswa; (2) penilaian siswa; (3) informasi seleksi , berupa dokumen yang dipublikasikan ke luar sekolah; dan (4) pendanaan mencakup keputusan penggalian dan penggunaan dana.

Sesuai dengan prinsip ekuifinalitas dan swakelola, praktek-praktek MBS perlu dijabarkan supaya lebih operasional oleh masing-masing sekolah, menjadi bentuk prosedur baku atau praktek terbaik untuk masing-masing sekolah. Prinsip-prinsip MBS mengamanatkan bahwa pelaksanaan MBS menerapkan pendekatan “idiograpik” dalam arti membolehkan adanya keragaman dalam cara melaksanakan MBS dan bukan lagi menggunakan pendekatan “nomotetik” yaitu cara melaksanakan MBS yang cenderung

(7)

pelaksanaan MBS terbaik yang cocok untuk diberlakukan ke semua sekolah, atau praktek terbaik di satu sekolah belum tentu menjadi praktek terbaik bagi sekolah lain.

Sebagai model-model manajemen, maka MBS merupakan model deskriptif, yakni model yang menjelaskan tentang apa itu MBS, bagaimana pelaksanaannya, bukan merupakan model preskriptif yaitu model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah secara detil. Untuk melaksanakan MBS sekolah merumuskan sendiri resepnya melalui pengalaman, pengkajian hasil riset orang lain, atau hasil penelitian tindakan sekolah, sekolah dapat merumuskan prosedur pengelolaan terbaik untuk semua praktek pengelolaan yang diamanatkan oleh permendiknas 19 tahun 2007.

Untuk melaksanakan MBS perlu dirumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam bentuk bagan alir; (2) mengidentifikasi aturan masing-masing langkah kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggungjawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut. Keempat rumusan tersebut merupakan pedoman dalam pelaksanaan MBS, dan menjawab pertanyaan yang dikemukakan sebelumnya yaitu di dalam MBS kewenangan pengelolaan apa saja yang ditransfer ke tingkat sekolah, dan kepada siapa kewenangan ini diberikan pada level sekolah.

Sebagai model manajemen, MBS merupakan model deskriptif (model yang menjelaskan apa MBS, pelaksanaannya fleksibel), bukan merupakan model preskriptif (dari kata “prescription” artinya resep dokter, model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah detil, pelaksanaannya sudah baku). Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek; (2) mengidentifikasi aturan hukum masing-masing kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut.

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Jadi, fokus monitoring adalah pemantauan pada pelaksanaan MBS, bukan pada hasilnya. Tepatnya, fokus monitoring adalah pada komponen proses MBS, baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar.

(8)

MBS. Jadi, fokus evaluasi adalah pada hasil MBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti MBS efektif. Sebaliknya jika hasil tidak sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, maka MBS dianggap tidak efektif. Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MBS diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Jika setelah MBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MBS, maka hal ini dapat diduga bahwa MBS cukup berhasil.

Monitoring dan evaluasi MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan bagi perbaikan pelaksanaan MBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen MBS, baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan.

Semua kegiatan MBS perlu dilakukan monitoring dan evaluasi untuk melihat keterlaksanaan dan keberhasilan setiap kegiatan tersebut. Karena itu diperlukan pengembangan perangkat-perangkat untuk melakukan monitoring dan evaluasi tersebut. Perangkat monitoring dan evaluasi dapat dikembangkan dari prosedur baku yang sudah disusun. Prosedur baku antara lain berisi langkah-langkah yang diberi simbol segi empat dan keputusan yang diberi simbol belah ketupat. Monitoring dilakukan untuk melihat apakah langkah-langkah tersebut dilakukan sesuai dengan yang tertulis di prosedur baku atau tidak, sedangkan evaluasi dilakukan untuk membuat keputusan.

PENUTUP

Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) yang lebih besar kepada sekolah, karena konsep lama dimana pengelolaan sekolah terlalu dipengaruhi oleh kekuasaan eksternal. MBS dicirikan oleh prinsip-prinsip, konteks, yang berbeda

(9)

prinsip equifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan inisiatif, dan konteks MBS adalah dalam rangka menuju kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam bentuk bagan alir; (2) mengidentifikasi aturan hukum masing-masing kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut.

Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian integral dari pengelolaan pendidikan, baik di tingkat mikro, maupun makro. Monev dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan propinsi, dan kementerian. Dengan monev, kita dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Monev MBS bertujuan untuk

mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki atau

mengembangkan MBS.

DAFTAR PUSTAKA

Alison Bullock dan Hywel Thomas (1997). School at the center: a study of decentralisastion. Routledge Publication New York.

De Grauwe (2005). The Quality Imperative School-based management (SBM): does it improve quality? (2005).

Depdiknas (2007). Permendiknas tentang Standar Pengelolaan Sekolah. Jakarta

Leithwood K., & Menzies T. (1998). Forms and effects of school-based management: a

review. Educational policy, vol. 12, no. 3, pp.325-347. 13)

Depdiknas (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta

Yin Cheong Cheng (1996). School effectiveness and school-based management: a mechanism for development

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap Aturan Pakai Obat Tidak ada perbedaan bermakna perubahan skor kepatuhan rata-rata terhadap aturan pakai obat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p value =

Untuk membuat Driver Motor DC dengan teknik H-Bridge menggunakan IC L293D seperti pada artikel “ Driver Motor DC H-Bridge Dengan IC L293D ” ini dapat dirakit pada PCB

- Pilihlah salah satu jawaban dibawah ini dengan memberikan tanda silang (X) pada setiap jawaban yang Ibu rasa sesuai keadaan yang sebenarnya.. - Jika ada pertanyaan yang kurang

initiate the teacher talk in the classroom during teaching learning process.. 1.4

Sedangkan dalam segi waktu eksekusi dapat disimpulkan bahwa pertama, penggunaan blockfull pada HDFS memberikan waktu eksekusi yang lebih baik, kedua, tidak ada

Fenomena mengenai kualitas informasi yang terjadi di Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah belum terbangunnya tradisi akuntabilitas secara baik dan belum melakukan

Menurut ilmu kesehatan lingkungan sampah hanya sebagian dari benda atau hal-hal lain yang dipandang tidak dapat digunakan lagi, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus

Counterpurchase : Dua transaksi paralel dimana sebuah perusahaan mengekspor produk ke pembeli di luar negeri dengan janji untuk membeli dari pihak lainnya dari