• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI LAHAN PRODUKSI PERHUTANAN UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KOMODITAS PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMALISASI LAHAN PRODUKSI PERHUTANAN UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI KOMODITAS PANGAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI LAHAN PRODUKSI PERHUTANAN UNTUK PENINGKATAN

PRODUKSI KOMODITAS PANGAN

Abstrak

Gejala perlambatan pertumbuhan produksi mengharuskan pengembangan sumber baru pertumbuhan produksi komoditas pangan sebagai kunci keberhasilan untuk meraih dan mempertahankan swasembada pangan yang dicanangkan Pemerintah. Salah satu yang paling potensial untuk itu ialah optimalisasi pemanfaatan lahan perhutanan dengan penerapan sistem wanatani. Lahan yang paling siap guna ialah milik Perum Perhutani seluas 587.960 ha yang pada tahu 2008 telah diusahakan dengan hasil 158.965 ton padi atau 0.26 persen dari total produksi nasional, 337. 251 ton jagung atau 2.07 persen dari produksi nasional dan 72,475 ton kacang-kacangan. Produktivitas masih rendah karena belum menggunakan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan varietas unggul dan dosis input optimal. Luas panen sangat fluktuatif antar tahun karena pengembangannya masih bersifat “cadangan program khusus ekstensifikasi”, hanya dimanfaatkan ekstensif bila ada program khusus, yang biasanya terjadi menjelang Pemilihan Umum atau reaksi terhadap masalah temporer. Petani wanatani tanaman pangan tidak dianggap sebagai petani tanaman pangan sehingga tidak mendapatkan fasilitasi subsidi dan bantuan, seperti pupuk bersubsidi, bantuan langsung pupuk dan benih, sekolah lapang, yang tersedia bagi petani tanaman pangan pada umumnya. Kementerian Kehutanan sudah sejak lama mengintegrasikan pengembangan wanatani tanaman pangan kedalam program pembangunan kehutanan sementara Kementerian Pertanian belum diketahui apakah telah melakukan hal yang sama. Memang telah ada setidaknya dua Nota Kesepahaman kemitraan antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan sejumlah BUMN untuk pengembangan usahatani kedele dan padi yang ditandatangani tahun 2008 namun pelaksanaan dan kontinuitasnya belum diketahui. Potensi sumber baru pertumbuhan produksi komoditas pangan sangat besar tidak saja berasal dari perluasan lahan baku basis produksi, tetapi juga dari peningkatan intensitas tanam dan peningkatan produktivitas. Penelitian menunjukkan bahwa penerapan PTT dengan varietas unggul dan dosis input rekomendasi pertanaman padi tumpangsari jati sangat baik tidak saja pada lahan bukaan baru dan jati muda (umur setahun) tetapi juga pada tapakan jati tua siap panen dan produktivitas padi meningkat sekitar 73-83 persen. Oleh karena itu disarankan agar Kementerian Pertanian segera mengambil inisiatif untuk membuat kesepakan program pengembangan bersama-sama dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN. Dalam pada itu, Menteri Pertanian juga disarankan untuk segera mengarahkan Eselon-1 terkait dalam Kementerian Pertanian agar segera mengambil langkah-langkah yang perlu sehingga program tersebut dapat dilaksanakan segera, bahkan, mengingat masa musim tanam, pada bulan November dan Desember 2010 ini juga. Paling tidak, para petani wanatani memperoleh akses terhadap pupuk bersubsidi, bantuan langsung pupuk dan bantuan langsung benih yang mungkin belum sepenuhnya terserap pada tahun ini.

1. PENDAHULUAN

Pada tahun 2008 Indonesia berhasil meraih kembali norma swasembada beras dan bahkan melakukan ekspor beras pada tahun 2009. Impor beras memang masih ada yaitu 250 ribu ton pada tahun 2008 dan 300 ribu ton pada tahun 2009 namun volumenya relatif, kecil kurang dari satu persen dari kebutuhan nasional, dan terutama berupa beras kualitas khusus yang tidak dihasilkan di dalam negeri. Pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, telah bertekad untuk mempertahankan norma swasembada beras tersebut secara berkelanjutan.

(2)

2  Kekhatiran mulai muncul tatkala Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Angka Ramalan ke dua (ARAM-2) bahwa produksi padi tahun 2010 hanya meningkat 1.17 persen. Dalam pada itu, stok beras yang dimiliki Bulog juga dipandang tidak mencukupi, terutama karena kurangnya pengadaan dalam negeri, sehingga Pemerintah terpaksa melakukan impor beras. Tujuannya ialah untuk memenuhi keperluan stok beras Bulog. Perkiraan terbaru yang dikeluarkan BPS (ARAM-3) menunjukkan bahwa produksi padi tahun 2010 meningkat 2.46 persen. Dengan pertumbuhan produksi beras sebesar itu swasembada beras mestinya dapat dipertahankan dan impor beras tidak diperlukan untuk memenuhi stok Bulog.

Kasus impor beras tahun 2010 tersebut menunjukkan betapa pentingnya menjaga angka ramalan maupun angka tetap produksi padi dalam negeri dan stok beras yang dimiliki Bulog dalam batas aman masing-masing. Dengan perkiraan kasar, produksi produksi padi haruslah meningkat setidaknya sekitar 1.5-2.5 persen tiap tahun dan stok Bulog cukup untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya selama 4 bulan plus Cadangan Beras Pemerintah (CPB) yang ditargetkan mencapai satu juta ton. Peningkatan produksi padi sebesar 5.54 % pada tahun 2008 dan 6,75 % pada tahun 2009 merupakan prestasi luar biasa yang nampaknya sukar dipertahankan pada tahun 2010 ini. Tindakan yang perlu dilakukan ialah bagaimana memacu produksi beras dalam negeri setidaknya sekitar 1.5-2.5 persen tiap tahun. Tantangan semakin berat karena selain mempertahankan swasembada beras, Kementerian Pertanian juga tewlah menetapkan target mewujudkan swasembada jagung, gula dan kedele yang semuanya sa,ling bersaing dalam penggunaan sumberdaya produksi.

Mengingat peningkatan produksi padi dan komoditas pangan lainnya dari lahan “tradisional” (sawah) sudah sejak lama mengalami perlambatan maka upaya pengembangan sumber-sumber baru produksi pangan, khuisusnya padi, haruslah lebih digiatkan lagi.

Salah satu sumber pertumbuhan baru produksi pangan yang sangat potensial ialah lahan produksi hutan, khususnya lahan di kawasan hutan jati yang cukup luas di pulau Jawa milik Perum Perhutani. Lahan pertanaman kayu jati dapat juga ditanami padi atau komoditas pangan lainnya secara tumpang sari (wanatani) tanpa menggangu pohon jati yang menjadi tanaman utama. Sistem wanatani dengan komoditas tanaman pangan sudah lama diusahakan oleh Perum Perhutani namun kinerja usahataninya secara mikro masih belum optimal dan skalanya secara makro masih sangat fluktuatif. Berikut ini diuraikan kinerja, potensi, tantangan dan opsi kebijakan pengembangan wanatani pangan pada lahan milik BUMN perhutanan khususnya Perum Perhutani. Telaahan ringkas ini dimaksudkan sebagai sumber data dan informasi bagi pimpinan Kementerian Pertanian maupun Kementerian Kehutanan atau Lembaga-lembaga lainnya dalam memutuskan arah kebijakan dalam rangka merumuskan kebijakan operasional yang tepat.

2. POLA PENGUSAHAAN

Usaha produksi pangan pada lahan produksi milik BUMN sektor kehutanan sudah dimulai sejak lama dengan pola tanam tumpangsari, yang juga dikenal sebagai wanatani, dipelopori oleh Perum Perhutani. Pada tahun 2007/2008 PT Inhutani juga melakukan kegiatan produksi pangan walaupun dalam skala yang masih kecil. Komoditas pangan yang diusahakan ialah padi, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian dan tanaman penghasil bahan pangan lain seperti sukun, buah-buahan, dsb. Usaha produksi pangan yang dilakukan oleh BUMN kehutanan merupaka bagian dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan bersangkutan. Kegiatan tersebut bukanlah kategori pemenuhan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) yang untuk mana perusahaan pelaksana memperoleh imbal jasa dari pemerintah.

(3)

Usaha produksi padi, dan pangan secara umum, dilakukan melalui tiga pola:

1. Usaha penyediaan pangan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) 2. Usaha penyediaan pangan melalui kerjasama BUMN dan Mitra Pemerintah

3. Usaha penyediaan pangan melalui Program Khusus Pengutan Cadangan Beras Nasional (PK-PCBN)

Kegiatan PHBN dilakukan oleh Perum Perhutani. Secara konseptual, PHBN adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal guna menuju masyarakat desa hutan mandiri (Dephut, 2009). Sinergi tersebut dilakukan bersama masyarakat desa hutan, pemerintah daerah (propinsi dan atau kabupaten) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Perum Perhutani.

Kontribusi Perum Perhutani adalah menyediakan lahan bagi masyarakat untuk menanam padi (atau tanaman pangan lainnya) secara tumpang sari di bawah tegakan tanaman kayu. Kontribusi pemerintah daeran (propinsi dan atau kabupaten) adalah menyediakan bantuan sarana usahatani dan penyuluhan. Sedangkan kontribusi setiap petani peserta adalah mengelola usahatani masing-masing. Kegiatan produksi pangan melalui kerjasama BUMN dan Mitra Pemerintah terkait merupakan bagian dari program “Hutan untuk Pangan” yang dicanangkan melalui penandatanganan nota kesepahaman kerjasama pada tanggal 27 Maret 2008. Program ini melibatkan lima BUMN, yaitu Perum Perhutani, PT. Pertani, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang dan PT. Sang Hyang Sri. Mitra dari lembaga pemerintah ialah Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian.

Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Perum Perhutani berperan dalam menyediakan lahan hutan tanaman untuk usahatani tanaman pangan dengan sistem tumpangsari. Kementerian Pertanian berperan dalam menyediakan benih unggul, pupuk, pestisida dan sarana usahatanilainnya yang pengadanannya dilaksankan bekerjasama dengan BUMN terkait. Pada tahap awal program ini diharapkan dapat menyediakan sedikitnya lahan seluas 4.063 ha dan modal kerja untuk usahatani kedelai bagi 16.000 petani (Dephut, 2009). Termasuk dalam pola kemitraan adalah kegiatan produksi pangan yang dilakukan oleh PT. Inhutani bekerjasama dengan mitra usahanya mulai dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 2007. Produksi padi dilakukan dengan menanam padi gogo dan padi sawah secara tumpangsari dengan tanaman pokok akasia. Luas yang ditanami padi pada tahun 2007 baru 588 ha dan hasil panen tahun 2008 adalah 500 ton.

Program Khusus Pengutan Cadangan Beras Nasional (PK-PCBN) dicanangkan melalui penandatanganan nota kesepahaman kerjasama 14 pemangku kepentingan terkait di Kantor Pusat Perum Bulog pada tanggal 2 Juli 2008. Penandatangan nota kesepahaman tersebut dari pihak pemerintah ialah Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan. Sementara penandatangan nota kesepahaman kerjasama tersebut dari kelompok perusahaan ada 10 BUMN dan satu perusahaan swasta, yaitu Perum Bulog, Perum Perhutani, PT. Perhutani-II, PT. Bank Rakyat Indonesia, PT.Bank Mandiri, PT. Bank Bukopin, PT.Pusri, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang dan PT. Sang Hyang Sri, dan PT. Pertani. Nota kesepahaman kerjasama tersebut juga ditandatangani oleh Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) sebagai wakil petani.

PK-PCBN merupakan respon terhadap krisis pangan, khususnya beras, dunia yang mulai terjadi pada akhir tahun 2007 dan dikhawatirkan dapat merambat pula ke Indonesia. Kementerian Kehutanan bersama Perum Perhutani dan PT. Inhutani-II berpartisipasi melalui optimalisasi pemanfaatan lahan kering di dalamdan di luar kawasan hutan. Kegiatan yang dilakukan adalah tumpangsari padi dengan tanaman pokok kehutanan pada lahan yang

(4)

4  disediakan seluas 60.000 ha (Dephut, 2009). Sayangnya, data realisasi luas tanam/panen dan produksi kegiatan tersebut belum dapat diperoleh. Namun demikian, informasi tentang realisasi pelaksanaan dan hasil nota kesepahaman kerjasama ini masih perlu dikumpulkan dan dikaji dalam rangka merancang program yang dapat dilaksanakan efektif secara berkelanjutan. PK-PCBN akan terkesan hanya sekadar kampanye peningkatan citra bila hanya berakhir pada penandatanganan nota kesepahaman, atau pun kalau dilaksanakan hanya kegiatan sekali saja. Kiranya dapat dijadikan sebagai acuan pikir bahwa semua kegiatan reaktif dalam skala yang cukup besar, termasuk sebesar kegiatan PK-PCBN, biasanya memboroskan.

Kegiatan produksi padi oleh Perum Perhutani dan PT. Inhutani bekerjasama dengan pemerintah maupun BUMN lainnya tidak dapat dipandang sebagai kegiatan bisnis biasa untuk misi meraih laba komersial. Sebagaimana disebutkan, kegiatan produksi pangan yang dilakukan oleh Perum Perhutani melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah bagian dari Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan tersebut. Kegiatan kemitraan dan Program Khusus Pengutan Cadangan Beras Nasional (PK-PCBN) mungkin hanya berupa kegiatan sementara sebagai reaksi atau respon terhadap permintaan pemerintah pada saat itu. Dari ketiga jenis kegiatan produksi padi tersebut yang prospektif berkelanjutan ialah PHBM. Walau secara agregat sangat fluktuatif, program ini telah terbukti berjalan cukup lama, didukung oleh pemerintah daerah setempat (propinsi maupun kabupaten) dan hasilnya cukup tinggi.

Agenda jangka pendek yang perlu ditindak lanjuti ialah memastikan bahwa program dan Nota Kesepahaman yang telah dibuat dilaksanakan secara bekelanjutan. Kementerian Pertanian (dan Kementerian Kehutanan) kiranya perlu mengevaluasi sejauh mana pelaksanaan dari Nota Kesepahaman kerjasama BUMN dengan Mitra Pemerintah untuk penngembangan usahatani tanaman pangan khususnya kedele yang ditandatangani pada bulan Maret 2008 serta Program Khusus Penguatan Cadangan Beras Nadional (PK-PCBN) yang ditandatangani pada bulan Juli 2008. Kaji ulang atas Nota-nota Kesepahaman yang telah ada dan program yang masih berjalan menjadi landasan dalam penyusunan rencana aksi ke depan.

3. KINERJA PRODUKSI

Komoditas tanaman pangan (ayang termasuk mandate Kementerian Pertanian) yang diusahakan pada lahan Perum Perhutani utamanya ialah padi, jagung dan kacang-kacangan. Volume produksi pangan yang dihasilkan sudah cukup besar. Untuk tahun 2008 misalnya, produksi padi mencapai 158.965 ton atau 0.26 persen dari total produksi nasional, jagung mencapai 337. 251 ton atau 2.07 persen dari produksi nasional dan kacang-kacangan mencapai 72,475 ton (Tabel 1). Sayang, tidak ada informasi tentang rincian produksi kacang-kacangan menurut jenisnya. Namun sekadal gambaran, produksi nasional kedele pada tahun 2008 adalah 775,710 ton. Patut diduga bahwa kontribusi hasil produksi dari lahan Perum Perhutani dalam produksi nasional kedele adalah cukup besar.

Volume produksi tahunan sangat fluktuatif. Produksi padi dalam kisaran 57 ribu -160 ribu ton GKG, jagung 113-337 ribu ton dan kacang-kacangan 20-241 ribu ton. Fluktuasi produksi ini nampaknya berkaitan dengan intensitas upaya (program) pemerintah dalam meningkatkan produksi beras: BUMN baru melakukan melibatkan diri atau meningkatkan upaya peningkatan padi bila di desak oleh Pemerintah atau bila melihat pemerintah tengah berupaya keras meningkatkan produksi pangan.

(5)

Tabel 1. ProduksiI Bahan Pangan Hasil Reboisasi Dan Rehabilitasi Hutan Tahun 2001 s/d Juli 2009 (Ton)

Tahun Padi Jagung Kacang-

kacangan Lain-Lain Jumlah 2001 72,980 130,473 64,694 83,143 351,291 2002 56,781 156,474 30,511 45,646 289,412 2003 71,752 162,766 19,992 124,090 378,600 2004 81,429 144,187 25,060 59,742 310,419 2005 60,469 112,979 41,196 128,887 343,530 2006 109,576 192,188 37,296 340,553 679,614 2007 140,669 373,038 241,352 165,642 920,702 2008 158,965 337,251 72,475 365,883 934,575 Sumber : Departemen Kehutanan (2009), PANGAN DARI HUTAN (Kontribusi Sektor

Kehutanan Dalam Mendukung Ketahan Pangan Nasional

Sebagai gambaran, tren peningkatan produksi dari 72.980 ton ton GKG pada tahun 2001 hingga mencapai puncak sebesar 81.429 ton ton GKG pada tahun 2004 berkaitan dengan upaya Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri untuk mengurangi impor beras hingga swasembada beras diklaim terwujud pada tahun 2004. Pada tahun 2005 produksi anjlok menjadi hanya 60.469 ton ton GKG, atau menurun sebesar 25.74 persen, tingkat terrendah selama peride 2001-2008. Penurunan ini diduga berkaitan dengan masa pemilihan umum serta transisi pemerintahan dari Presiden Megawati Soekarno Putri ke Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada tahun 2006 produksi melonjak lagi menjadi 109.576 ton GKG, atau meningkat sebesar 81.21 persen dibanding tahun 2005, bahkan melampaui produksi tertinggi pada seluruh periode sebelumnya. Produksi terus meningkat hingga mencapai 159.553 ton GKG pada tahun 2008. Peningkatan produksi padi yang luar biasa itu diduga berkaitan dengan upaya peningkatan produksi padi yang dilakukan secara besar-besaran dalam rangka meraih swasembada beras yang dapat diraih pada tahun 2008. Data produksi tahun 2009 belum diperoleh. Dengan demikian salah satu agenda kebijakan ke depan ialah menjadikan kegiatan peningkatan produksi pangan di lahan perhutanan sebagai program berkelanjutan. Oleh karena lahan produksi dimiliki oleh Perum Perhutani sehingga akses terhadap lahan bukan hak bebas petani, sementara usaha produksi tanaman pangan bukanlah bisnis inti Perum Perhutani, maka program berkelanjutan peningkatan produksi pangan di lahan perhutanan hanya dapat diwujudkan bila ada kerjasama sinergis antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN.

4. PELUANG PENGEMBANGAN

4.1. Konvergensi Arah Kebijakan antar Kementerian

Peluang untuk mewujudkan suatu Program Berkelanjutan Peningkatan Produksi Pangan di Lahan Perhutanan sangatlah besar karena kementerian terkait, khususnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian, memiliki arah kebijakan yang konvergen. Selain kemanfaatan ekonomi, Kementerian Kehutanan telah menetapkan dua fungsi tambahan dari hutan yang bemanfaat untuk mendukung produksi pangan dalam negeri: (1) Hutan sebagai penyangga system kehidupan (forest for life supporting system), dan (2) Hutan sebagai penyedia pangan (forest for food production). Untuk itu Kementerian Kehutanan telah membuat sejumlah kebijakan berupa peraturan dan tindak aksi sebagai berikut (Dephut, 2009).

(6)

Pertama, integrasi pengembangan produksi komoditas pangan ke dalam program/kegiatan kehutanan. Integrasi produksi komoditas tanaman pangan kedalam program kehutanan dilaksanakan melalui model wanatani (agroforestry) antara lain tumpangsari padi, jagung, kedele dan kacang-kacangan lain, umbi-umbian dan buah-buahan, pada tanaman pokok kayu. Integrasi tersebut telah dilakukan antara lain melalui program Hutan Cadangan Pangan (HCP), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakya (HTR) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Pada tahun 2008, potensi luas areal untuk tanaman pangan dalam program-program kehutanan mencapai 587.960 ha.

Kedua, penyediaan lahan untuk tanaman non-hutan. Melalui peraturan nomor P 21/Menhut-II/2006, Menteri Kehutanan mewajibkan setiap pemegang IUPHHK-HT/HTI (ijin industri) untuk mengalokasikan arealnya seluas 5 % untuk tanaman kehidupan (tanaman serba guna) termasuk tanaman pangan. Kebijakan ini telah membuka peluang besar produksi pangan. Hingga tahun 2008 realisasi tanaman kehidupan pada areal HTI telah mencapai 125.775 ha di Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan target dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan, potensi luas lahan untuk tanaman kehidupan pada areal HTI/HTR akan terus meningkat hingga dapat mencapai 500.000 hektar.

Ketiga, optimalisasi pemanfaatan lahan yang dilepas statusnya dari kawasan hutan. Dalam rangka mendukung pembangunan sektor-sektor non-kehutanan Kementerian Kehutanan telah melaksankan program pencadangan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), termasuk untuk perluasan lahan pertanian. Hingga tahun 2007 terdapat 2,3 juta ha lahan yang telah dilepas statusnya dari kawasan hutan, tetapi belum dimanfaatkan untuk perkebunan yang dapat menjadi alternatif pengembangan usaha tanaman pangan. Khusus untuk Papua, HPK yang tidak diobebani dengan perijinan bidang kehutanan di Kabupaten Merauke mencapai 1.050.000 ha, 585.060 ha di antaranya sesuai untuk tanaman pangan, khususnya padi.

Walau pun kebijakan /program Kementerian BUMN yang berkaitan langsung dengan peningkatan produksi pangan belum diketahui keberadaannya namun sejumlah BUMN memiliki bisnis inti yang berkaitan langsung dengan produksi pangan seperti BUMN produsen pupuk dan BUMN distributor sarana produksi (benih, pupuk, pestisida). Perum Pertani juga berada dalam pembinaan Kementerian BUMN. Kementerian BUMN mestinya akan senang hati bila diajak bekerja bersama-sama Kementerian Kehutanan dan Kementerian dalam optimalisasi lahan Perum Perhutani untuk peningkatan produksi pangan. Sebagai salah satu tugas pokoknya maka sudah semestinya Kementerian Pertanian menjadi inisiator dalam mensinergikan kebijakan/program peningkatan produksi pangan di lahan perhutanan.

4.2. Peningkatan Produktivitas

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi, menunjukkan bahwa dengan teknologi petani hasil padi yang diperoleh hanya 1.812 Kg GKG/ha dari pertanaman di areal terbuka dan 2.852 Kg GKG/ha dari pertanaman tumpangsari dengan jati siap panen. Namun, jika menggunakan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) temuannya, usahatani padi pada lahan perhutanan jati dapat menghasilkan 3.128 Kg GKG/ha di areal lahan terbuka, 4.121 Kg GKG/ha bila ditumpangsarikan dengan pertanaman jati berumur setahun dan 5.213 Kg GKG /ha bila ditumpangsarikan dengan pertanaman jati siap tebang (Tabel 2). Dengan mengadopsi teknologi PTT hasil usahatani padi di areal terbuka dapat meningkat 72.63 persen sedangkan hasil padi tumpangsari dengan jati siap tebang meningkat 82.78 persen dibanding teknologi petani tradisional. Dengan demikian, padi dapat ditumpangsarikan dengan jati tidak saja pada tanaman jati muda tetapi juga pada tanaman jati berumur tua dengan hasil yang cukup tinggi. Hal ini berarti hampir semua lahan tapakan

(7)

pertanaman jati dapat dimanfaatkan untuk pertanaman padi secara tumpangsari. Potensi produksi padi dari lahan produksi Perum perhutani sangatlah besar.

Tabel 2. Hasil pertanaman padi di lahan BKPH Ngliron-KPH Randublatung dirinci menurut lahan pertanaman dan teknologi (Kg GKG/ha).

Jenis teknologi

Jenis areal pertanaman padi

Areal terbuka Tumpangsari jati berumur setahun Tumpangsari jati siap tebang Teknologi petani 1,812 Tidak ada data 2,852 Teknologi PTT 3,128 4,121 5,213 Sumber: Toha (2009)

4.3. Peningkatan Pendapatan Petani

Penelitian juga menunjukkan bahwa dengan mengodopsi teknologi PTT usahatani padi layak diusahakan secara finansial di areal hutan jati dengan laba bersih Rp 2.8 juta/ha/musim dengan R/C ratio 1,62 dari pertanaman di areal terbuka (belum ditanami jati), Rp 5.5 juta/ ha/musim dewngan R/C ratio 2.21 dari pertanaman tumpangsari berumur setahun dan Rp 7.5 juta/ ha/musim dengan R/C ratio 2,50 dari tumpangsari jati siap panen (Tabel 3). Dengan demikian, usatani padi tumpangsari di pertapakan tanaman jati Perum Perhutani layak diusahakan secara finansial.

Tabel 3. Analisis usahatani padi gogo sebagai tanaman tumpangsari hutan jati muda di Desa Ngliron, KPH Randublatung, Blora. MH 2008/2009

Uraian kegiatan Areal terbuka

Tumpangsari Jati berumur setahun

Tumpangsari jati teresan

Rp/ha Rp/ha Rp/ha Jumlah biaya tenaga kerja 3380000

(74,07%)

3130000 (72,57%)

3790000 (76,21%) Jumlah biaya bahan 1183000

(25,93%) 1183000 (27,43%) 1183000 (23,79%) Total biaya 4563000 4313000 4973000 Hasil GKP 3,353 kg 4,457 kg 5,649kg Pendapatan kotor 7376600 9805400 12427800 Pendapatan bersih 2813600 5492200 7454800 R/C ratio 1,62 2,21 2,50 Efisiensi biaya (%) 61,7 127,3 149.9 Titik Impas Produksi

(kg/ha)

2.074 1.960 2.260 Sumber: Toha ( 2009).

Ini membuktikan dengan jelas bahwa lahan hutan jati Perum Pertani yang selama ini belum dimanfaatkan optimal merupakan peluang usaha baru bagi Perum Perhutani dan atau Petani Mitra-nya, dan sekaligus sebagai sumber pertumbuhan baru produksi beras nasional.

4.4. Ketersediaan Teknologi

Teknologi atau inovasi berkelanjutan merupakan kunci untuk dapat memanfaatkan lahan produksi perhutanan sebagai juga lahan produksi beras dengan sistem pertanaman tumpangsari. Dalam hal ini, Balai Besar Penelitian Padi, Sukamandi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, memiliki segala kompetensi yang diperlukan dan sudah sejak lama melakukan penelitian dan pengembangan inovasi teknologi budidaya padi, termasuk padi gogo

(8)

8  untuk usahatani di lahan kering. Balai Besar Penelitian Padi telah menemukan dan melepas sejumlah varietas unggul padi gogo dengan potensi hasil yang cukup tinggi, berkisar 4.688-6.522 atau rata-rata 5.525 Kg GKG/ha (Tabel 4).

Tabel 4. Potensi hasil beberapa varietas unggul padi gogo yang telah di lepas Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

No. Varietas Hasil GKP (t/ha) Hasil GKG (t/ha) 1. Batu Tegi 5,360 4,965 2. C 22 5,535 5,506 3. Cirata 5,382 4,688 4. Towuti 5,995 5,637 5. Way Rarem 5,217 5,284 6. Limboto 7,083 6,522 7. Situ Patenggang 6,670 6,007 8. Situ Bagendit 5,958 5,588 Rata-rata 5,900 5,525 Sumber: Toha, H.M. 2009.

Walaupun data pendukung yang tersedia pada kesempatan ini hanya untuk budidaya padi, dapat dipastikan bahwa teknologi inovatif yang dapat meningkatkan produktivitas komoditas pangan lainnya telah tersedia di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

5. MASALAH DAN TANTANGAN

Kendala utama pengembangan usahatani tanaman pangan di lahan Perum Perhutani ialah tidak adanya akses petani wanatani terhadap berbagai bantuan fasilitasi dan subsidi yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Walaupun mengusahakan usahatani tanaman pangan, petani wanatani tidak memperoleh akses terhadap pupuk bersubsidi, kredit bersubsidi maupun bantuan langsung benih dan pupuk. Petani wanatani didiskriminasikan secara negatif dibandingkan dengan petani tanaman pangan pada umumnya.

Oleh karena basis lahannya di kawasan hutan, walaupun mengusahakan usahatani tanaman pangan, para petani wanatani dikategorikan sebagai bukan petani tanaman pangan sehingga mereka tidak berhak memperoleh akses terhadap berbagai fasilitasi dan subsidi pemerintah yang disedikan bagi petani tanaman pangan. Selain itu, pembinaan petani wanatani merupakan tanggung jawab penuh Dinas Kehutanan (dan Kementerian Kehutanan) dan sama sekali di luar tugas Dinas Pertanian (dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan/Kementerian Pertanian). Akar penyebab penyebab perlakuan diskriminatif tersebut ialah ialah kekakuan dalam mendefisikan petani dan selanjutnya penentuan Dinas atau lembaga pemerintah yang mestinya bertanggung jawab sebagai Pembina petani.

Dengan demikian dapatlah kiranya disimpulkan bahwa akar masalah dari belum optmimalnya pemanfaatan lahan perhutanan untuk peningkatan produksi pangan ialah tiadanya sinergi pelayanan antar lembaga pemerintah. Sebagai pemangku tanggung jawab utama dalam upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri maka semestinyalah Kementerian Pertanian mengambil inisiatif dalam mensinergikan berbagai kebijakan dan program antar kementerian terkait, khususnya dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN.

(9)

6. REKOMENDASI KEBIJAKAN OPERASIONAL

6.1. Kaji Uang dan Implementasi Nota Kesepahaman yang Ada

Seperti yang telah disebutkan, sesungguhnya sudah ada beberapa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan sejumlah BUMN untuk melakukan kerjasama dalam mempercepat peningkatan produksi tanaman pangan di lahan produksi Perum Perhutani seperti Program Khusus Pengutan Cadangan Beras Nasional (PK-PCBN) yang ditandatangani pada tanggal 2 Juli 2008 dan Kegiatan peningkatan produksi kedele yang ditandatangani pada tanggal 27 Maret 2008. Selain perlu dievaluasi, kedua nota kesepahaman ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran dan landasan dalam melakukan perbaikan.

Penulis tidak memiliki akses terhadap kedua nota kesepahaman tersebut sehingga tidak mengetahui rincian isi maupun pejabat penandatangan. Agar lebih kuat, Nota Kesepahaman sebaiknya dibuat pada tingkat kementerian (Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN) dan ditandatangani oleh menteri-menteri bersangkutan. Pelaksanaan Nota Kesepahaman tersebut diperlukan sebagai dasar bagi jajaran Eselon-1 Direktur Utama BUMN dalam merumuskan program terpadu lintas kementerian oleh.

6.2. Mengintegrasikan Program Pengembangan Produksi Pangan di Lahan Perhutanan ke

dalam Program/Kegiatan Kementerian Pertanian

Seperti yang telah dilakukan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian perlu segera memasukkan upaya peningkatan produksi pangan di lahan perhutanan sebagai bagian integral dari program utamanya. Jika memungkinkan dan bila musim tanam sesuai, program tersebut dilaksanakan pada bulan November dan Desember tahun 2010 ini. Dalam hal ini paradigm berpikir dalam menafsirkan lingkup tugas dan fungsi lembaga perlu dari perspektif sumberdaya basis usahatani ke jenis komoditas yang diusahakan. Walaupun lahan basis usahatani adalah perhutanan, bila komoditas yang diusahakan termasuk dalam lingkup binaan Kementerian (Dinas) Pertanian maka usahatani tersebut termasuk lingkup tugas dan fungsi Kementertian (Dinas) Pertanian untuk membinanya. Dengan demikian, usahatani tanaman pangan pada lahan perhutanan termasuk dalam lingkup binaan Kementerian (Dinas) Pertanian maka usahatani tersebut termasuk lingkup tugas dan fungsi Kementertian (Dinas) Pertanian dan petani wanatani tersebut memiliki hak yang sama dengan petani tanaman pangan pada umumnya.

Dengan paradigm tersebut maka para petani wanatani tanaman pangan berhak memperoleh fasilitas subsidi dan bantuan yang diberikan Pemerintah kepada petani tanaman pangan pada umumnya. Kementerian Pertanian, khususnya Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, perlu segera melakukan penyesuaian program dan peraturan pelaksana agar petani wanatani dapat memperoleh akses pupuk bersubsidi, bantuan langsung pupuk dan bantuan langsung benih. Jika memang realisasi penyaluran pupuk bersubsidi dan bantuan langsung benih padi gogo masih rendan maka disarankan, bila musim tanam sesuai, pemberian fasilitasi dan bantuan tersebut diberikan kepada petani wanatani pada tahun ini juga.

Dalam pada itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian perlu segera menyusun paket teknologi wanatani tanaman pangan spesifik lokasi. Dari referensi yang ada dapat diketahui bahwa Balai Besar Penelitian Padi telah melakukan beberapa pengujian paket teknologi terpadu wanatani padi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan paket teknologi spesifik lokasi di berbagai lokasi. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi di propinsi-propinsi di mana terdapat potensi pengembangan wanatani yang cukup besar perlu diarahkan untuk segera melakukan pengembangan sistem inovasi wanatani tepat guna.

(10)

10  6.3. Mengintegrasikan Program Antar Kementerian

Sambil menunggu penandatanganan Nota Kesepahaman antar Menteri, para pejabat Eselon satu terkait dari Kementerian Pertanian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN perlu duduk persama untuk merumuskan program terpadu antar kementerian sehingga tindak aksi dapat segera dilaksanakan. Salah satu issu penting yang mungkin perlu dilakukan ialah penyesuaian program masing-masing untuk tahun anggaran 2011. Agar dapat dilaksanakan segera maka disarankan inisiatif sinkronisasi program lintas kementerian ini dipelopori oleh Kementerian Pertanian. Untuk itu disarankan agar Menteri Pertanian meminta Sekretaris Jenderal Pertanian segera melakukan konsolidasi internal Kementerian Pertanian dengan melakukan pembahasan bersama para pejabat eselon-1 terkait. PENUTUP

Pengembangan usatani tanaman pangan, khususnya padi dan kedele, di lahana perhutanan merupakan sumber baru pertumbuhan produk tanaman pangan yang perlu segera di realisir mengingat gejala perlambatan pertumbuhan produksi komoditas pangan berbasis lahan pertanian konvensional. Berdasarkan data pada tahun 2008, potensi luas areal lahan milik Perum Perhutani yang siap atau sudah digunakan untuk tanaman pangan mencapai 587.960 ha. Selain itu masih tersedia sekitar 500.000 ha lahan HTI/HTR yang khusus dialokasikan untuk tanaman serba guna dan 2,3 juta ha lahan yang telah dilepas statusnya dari kawasan hutan (HPK), yang juga potensial digubakan sebagai basis usahatani tanaman pangan.

Dari ketiga jenis lahan tersebut, yang paling siap guna dan mestinya dijadikan prioritas pengembangan ialah lahan milik Perum Perhutani. Perum Perhutani bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan telah lama mengembangkan sistem wanatani tanaman pangan di lahan tersebut. Namun demikian, kinerja usahatani usahatani masih belum optimal dan sangat fluktuatif antara lain karena petani wanati tidak memperoleh akses terhadap berbagai fasilitasi dan bantuan yang diberikan kepada petani tanaman pangan pada umumnya. Kementerian Pertanian maupun Dinas Pertanian setempat masih belum turut memberikan pembinaan sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu disarankan agar Menteri Pertanian segera mengambil inisiatif untuk melakukan sinergi kebijakan/program antar kementerian, yang setidaknya melibatkan Kementerian Kehutanan dan Kementerian BUMN. Dalam pada itu, Menteri Pertanian juga disarankan memobilisir jajaran Kementerian Pertanian agar segera mengambil segala tindakan yang perlu untuk merealisir program peningkatan produksi pangan di lahan Perum Perhutani pada tahun ini juga atau setidaknya awal tahun depan. Perlu diingatkan bahwa saat memulai tindak aksi sangat penting karena sangat ditentukan oleh musim tanam. Penanaman padi gogo atau tanaman pangan lainnya biasanya dilakukan pada musim hujan yang biasanya terjadi pada bulan Oktober-Maret.

Gambar

Tabel 1.   ProduksiI Bahan Pangan Hasil Reboisasi Dan Rehabilitasi Hutan   Tahun 2001 s/d Juli 2009 (Ton)
Tabel 2.  Hasil pertanaman padi di lahan  BKPH Ngliron-KPH Randublatung dirinci menurut  lahan pertanaman dan teknologi (Kg GKG/ha)
Tabel 4.   Potensi hasil beberapa varietas unggul padi gogo yang telah di lepas Badan  Penelitian dan Pengembangan  Pertanian, Kementerian Pertanian

Referensi

Dokumen terkait

1) Mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai, sehingga dapat dijadikan sebagai dasara pijak menentukan target nilai yang akan

Hubungan yang bermakna juga ditunjukkan antara fungsi tiroid dan tipe gangguan pendengaran pada telinga anak sindrom Down.. Pengaruh

12 Penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan bangunan kantor BPMP 26 jenis komponen instalasi listrik/ penerangan bangunan kantor 0,00 1 fi 7Qn nnn no

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu sendiri memiliki tugas yang sudah tertulis pada Perpres Nomor 7 Tahun 2018, yakni membantu Presiden dalam merumuskan

Iya mengenal baik tetangga, sama sama saling mengenal, dulu waktu kecil sering bermain bersama, sekarang sejak SMP sudah tidak pernah keluar rumah karena

Dalam penelitian berkelanjutan untuk pencarian senyawa-senyawa yang bersifat insektisida dari tanaman Kalanchoe (Cocor bebek) Indonesia, diperoleh hasil bahwa ekstrak metanol

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MTs Menaming seperti yang di uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa, model Pembelajaran

Penelitian ini memiliki jumlah subyek penelitian yang terbatas (n<30), yaitu tepatnya 14 orang yang terdiri dari delapan orang guru pada TK Dharma Wanita Persatuan dan KB