• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 1. terhadap ancaman kerusakandi Yogyakarta. Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, hal :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 1. terhadap ancaman kerusakandi Yogyakarta. Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, hal :"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki kebudayaan yang beragam. Selain itu, negara Indonesia juga memiliki perjalanan sejarah yang panjang mulai dari zaman Hindu-Budha, Islam, kolonialisme, hingga kemerdekaan. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang panjang tersebut juga berdampak pada perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia. Saat ini menurut Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Windu Nuryanti menegaskan bahwa saat ini ada dua puluh ribu lebih Benda Cagar Budaya di Indonesia. Akan tetapi dari dua puluh ribu Benda Cagar Budaya tersebut, baru enam ribu Benda Cagar Budaya yang sudah tercatat oleh pemerintah.1

Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Tanggung jawab negara tersebut secara tegas diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam Undang-Undang tersebut, tujuan dari pelestarian cagar budaya adalah melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya, memperkuat kepribadian bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.2 Apabila dibandingkan dengan UU No. 5 Tahun 1992 , UU No. 11 Tahun 2010 memberikan kewenangan kepada kota/kabupaten yang luas dalam bidang cagar budaya.3 Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa dalam hukum positif di Indonesia, Benda Cagar Budaya haruslah mendapatkan perlindungan oleh swasta maupun pemerintah.

Kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan cagar budaya menurut UU No. 11 Tahun 2010 harus diImplementasikan secara maksimal. Salah satu Kota yang memiliki potensi cagar budaya yang besar adalah Kota Surakarta. Keberagaman Benda Cagar Budaya di Kota Surakarta tidak terlepas dari sejarah panjang kota ini mulai dari zaman

1

http://m.merdeka.com/peristiwa/14-ribu-cagar-budaya-di-indonesia-belum-tercatat.html 2 Undang-Undang No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya

3 Harjiyatni, Fransisca Romana dan Sunarya Raharja. 2011. Perlindungan hukum benda cagar budaya terhadap ancaman kerusakandi Yogyakarta. Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 2, Juni 2012, hal : 187-375

(2)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 2

kerajaan, penjajahan, hingga zaman kemerdekaan.4 Sampai pada Tahun 2013 ini saja, Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Pemerintah Kota Surakarta telah mendata sedikitnya ada 70 bangunan di Kota Solo merupakan Benda Cagar Budaya (BCB)5. Benda-benda cagar budaya di Kota Surakarta ini sebagian juga berperan dalam memajukan sektor pariwisata di Kota Surakarta. Benda Cagar Budaya di Kota Surakarta yang menjadi obyek wisata utama kota ini diantaranya adalah Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Taman balekambang, Museum Radyapustaka, dan lain sebagainya.6

Dalam era Otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki hak dan kewajiban dalam pengelolaan Benda Cagar Budaya seperti yang telah diamanatkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pemerintah daerah Kota Surakarta sebagai salah satu bagian dari otonomi daerah berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya memiliki kewajiban untuk melaksanakan pengelolaan cagar budaya.Untuk menjalankan undang-undang tersebut, pemerintah daerah memerlukan instumen peraturan pelaksananya dalam bentuk peraturan daerah. Namun pemerintah Kota Surakarta sampai sekarang masih belum memiliki perda cagar budaya dan hanya bertahan dalam status rancangan peraturan daerah. Cagar budaya selain dilindungi oleh UU No. 11 Tahun 2010, cagar budaya juga merupakan aset negara yang menyangkut kepentingan umum menurut Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.7

Akan tetapi dalam implementasi undang-undang tersebut, pemerintah Kota Surakarta masih belum mampu menjalankan secara maksimal. Hal itu terbukti dari adanya sengketa berkepanjangan dalam pengelolaan Benda Cagar Budaya antara pemerintah dan swasta yang dalam hal ini adalah kasus benteng Vastenburg , Taman Sriwedari, dll.8 Selain permasalahan sengketa kepemilikan cagar budaya, pengelolaan Benda Cagar Budaya di Kota Surakarta juga semakin terlihat kurang baik saat terdapat banyaknya Benda Cagar Budaya yang kurang terawat dan memprihatinkan.

Dari berbagai permasalahan mengenai pengelolaan Benda Cagar Budaya tersebut, dapat di ketahui bahwa dalam pengimplementasian UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar

4 ________. 2010. Buku Informasi Kota Sala. Surakarta : Badan Informasi dan Komunikasi Kota Surakarta 5

http://www.infosoloraya.com/dtrk-data-70-bangunan-kuno-di-solo-masuk-kriteria-bcb/ 6 http://surakarta.go.id/

7 Tjandra, Riawan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Universitas Atmajaya Yogyakarta 8

(3)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 3

Budaya, pemerintah daerah masih lah belum mampu menjalankan amanat dari undang-undang tersebut.

Agar pengimplementasian dari undang-undang tersebut dapat berjalan dengan maksimal, diperlukan perbaikan-perbaikan dalam sikap pemerintah administrasi negara dalam menjalankan fungsinya untuk mengelola berbagai aset daerah dan juga aset-aset cagar budaya lain yang dimiliki swasta. Sebagai solusi konkrit mengatasi berbagai permasalahan tersebut, terdapat beberapa alternatif solusi diantaranya adalah yang pertama maksimalisasi peran pemerintah daerah sendiri dalam pengelolaanbenda cagar budaya. Yang kedua adalah mengadakan public private partnershipdengan pihak swasta pemilik benda cagar budaya untuk melestarikan benda cagar budaya.9 Apabila Public Private Partnership dijalankan, maka diharapkan pengimplementasian dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dapat berjalan dengan maksimal. Melalui makalah ini, kami mencoba untuk memberikan penjelasan-penjelasan secara mendetail mengenai solusi alternatif untuk memaksimalisasi pengelolaan benda cagar budaya oleh pemerintah daerah Kota Surakarta.

1.2 Rumusan masalah

 Bagaimanakah dasar hukum dan wujud pengelolaan cagar budaya oleh pemerintah daerah Kota Surakarta ?

 Bagaimana cara memaksimalkan pengelolaan cagar budaya di daerah Kota Surakarta ?

1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui dasar hukum dan wujud pengelolaan cagar budaya oleh pemerintah daerah Kota Surakarta.

 Untuk mengetahui cara memaksimalisasi pengelolaan cagar budaya di daerah Kota Surakarta.

9

(4)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 4 BAB II

METODE PENULISAN

2.1 Metode Penulisan

Penulisan ini merupakan penulisan hukum empiris, sehingga dalam penulisan ini berarti terdapat suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.10 Penulisan ini termasuk penulisan hukum empiris , karena data yang diperoleh dari hasil observasi langsung pada berbagai bangunan cagar budaya di Kota Surakarta guna mengetahui kondisinya secara faktual dan aktual.

Penulisan hukum didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta untuk memecahkan masalah yang bersangkutan.11

2.2 Jenis Penulisan

Ditinjau dari sifat penulisan, maka penulisan ini tergolong dalam kategori penulisan yang bersifat deskriptif. Penulisan deskriptif merupakan sebuah penulisan yang berupa gambaran terhadap pelaksanaan mekanisme penyelesaian kasus. Penulisan deskriptif ini mempelajari masalah yang timbul di masyarakat serta situasi tertentu termasuk kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.12

2.3 Jenis Data 2.3.1 Sumber Data

Sumber data merupakan subyek darimana data dapat diperoleh.13 Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang menjadi sumber data dalam penulisan ini adalah hasil observasi pada berbagai cagar budaya di Surakarta. Sumber-sumber yang memberikan informasi tersebut merupakan obyek penulisan. Observasi dilakukan pada hari Minggu 5

10Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penulisan Hukum. Jakarta : Kencana , hlm. 35

11Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penulisan Hukum Normatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm. 43.

12

Moh Nazir. 2003. Metode Penulisan. Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 54-55 13

(5)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 5

Mei 2013 di Benteng Vastenburg, kraton kasunanan, pura mangkunegaran, Masjid Al Wustho, dll. Sedangkan data lain diperoleh dari sumber-sumber buku literatur dan rekap

website yang berkaitan. 2.3.2 Bahan Hukum

Dalam penulisan ini, bahan hukum yang dijadikan acuan data adalah bahan hukum primer. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan , catatan-catatan resmi atau risalah dalam peraturan perundang-undangan.14 Bahan hukum yang digunakan adalah berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan cagar budaya oleh pemerintah daerah. Bahan hukum yang dimaksud antara lain :

a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya (tidak berlaku lagi) c. Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2.4 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah kegiatan untuk memaparkan data, sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidak benaran dari suatu hipotesis. Batasan ini diungkapkan bahwa analisis data adalah sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide. 15

Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti apa-apa bagi tujuan suatu penulisan. Penulisan belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penulisannya, sebab data itu masih merupakan data mentah dan masih diperlukan usaha atau upaya untuk mengolahnya. Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan.

2.5 Teknik Pengolahan Data

Menurut Sugiyono, yang dimaksud dengan pengelolaan data adalah proses untuk mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, observasi

14Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penulisan Hukum. Jakarta : Kencana , hlm. 141 15

(6)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 6

dan catatan kecil dilapangan. Dalam penulisan ini, analisis data disederhanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahapan pertama mengidentifikasi data yang diperoleh dari lapangan.16 Baik dengan cara wawancara, interview, observasi, maupun dokumentasi, yang bersumber dari buku, literatur dan foto. Tahapan kedua yakni mengklasifikasikan data yang masuk , kemudian disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penulisan. Tahap ketiga yakni melakukan interpretatif terhadap faktor yang mempengaruhi.

Hasil analisis data disajikan secara gabungan antara informal dan formal. Informal, yaitu penguraian dalam deskripsi kata-kata (naratif). Selain itu juga disajikan data formal berupa bagan, tabel dan diagram. Secara sistematika, sajian penulisan-penulisan ini dituangkan dalam lima bab, tiap-tiap bab dikembangkan menjadi sub bab-subbab dan seterusnya.

16

(7)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 7 BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengelolaan cagar budaya oleh Pemerintah Daerah

3.1.1 Pengelolaan cagar budaya menurut perundang-undangan

Cagar budaya dapat digunakan sebagai alat untuk edukasi kepada seluruh bangsa Indonesia melalui nilai-nilai historisnya hal itu telah sesuai dengan tujuan negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas peran cagar budaya tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan perlindungan terhadapnya. Wujud dari perlindungan cagar budaya tersebut adalah pengelolaan cagar budaya. Selain dalam tujuan negara, pengelolaan cagar budaya juga secara implisit diatur dalam UUD 1945 yaitu dalam Pasal 32 UUD 1945. 17

Pengelolaan cagar budaya di Indonesia pasca kemerdekaan sampai Tahun 1992 diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515). Akan tetapi peraturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian Benda Cagar Budaya. Oleh karena itu Negara Indonesia merasa perlu menetapkan pengaturan Benda Cagar Budaya dengan undang-undang. Kemudian pada Tahun 1992, lahirlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya. Adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya dalam perkembangannya masih mengalami beberapa kekurangan. Kekurangan terhadap undang-undang tersebut semakin terasa saat Indonesia telah memasuki era reformasi dan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari realita berkembangnya otonomi daerah dan perkembangan dinamika penyelenggaraan pengelolaan cagar budaya tersebut, maka negara berusaha untuk menyesuaikan berbagai peraturan yang menyangkut cagar budaya agar penerapan dari suatu peraturan dapat efektif dan efisien. Pada Tahun 2010, melalui lembaga legislatif terbentuklah Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

17

_______. 2009. Undnag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI

(8)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 8

Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan hasil dari usaha pemerintah dalam rangka perlindungan dan pengelolaan cagar budaya yang sesuai dengan perubahan dinamika ketatanegaraan. Dalam Undang-undang tersebut, pemerintah daerah memiliki wewenang penguasaan atas cagar budaya di darahnya. Penguasaan cagar budaya menurut Pasal 1 UU No. 11 Tahun 2010 adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

3.1.2 Pengelolaan cagar budaya oleh Pemerintah Daerah UU No. 11 Tahun 2010

memiliki karakter yang berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1992 karena dalam dasar konsiderannya dikehendaki peningkatan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Jika seluruh kegiatan hanya dibebankan pada pemerintah daerah tidak mungkin dapat

diwujudkan upaya pelestarian tersebut.UU No. 11 Tahun 2010 menuntut peran aktif pemerintah daerah dalam melakukan pelestarian dan pengelolaan cagar budaya sesuai dengan tugas dan wewenang. UU No. 11 Tahun 2010 sekaligus memasukan aspek kearifan budaya lokal (local genius) dalam proses pelestarian dan pengelolaan cagar budaya. Kegiatan pelestarian dan pengelolaan pada umumnya akan melibatkan berbagai pihak dan dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yang menuntut baku mutu (standar) tertentu. Secara konseptual, setidaknya ada tiga unsur utama yang terlibat dalam proses pelestarian dan pengelolaan cagar budaya, yaitu pemerintah, masyarakat, dan akademisi.18

18

Tanudirjo, D.A. 2003. Warisan Budaya Untuk Semua, Arah Kebijakan Pengelolaan Warisan Budaya Indonesia Di Masa Mendatang, makalah disajikan dalam Kongres Kebudayaan di Bukit Tinggi, Oktober 2003

(9)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 9

Untuk lebih memperjelas mengenai unsur pemerintah daerah dalam pengelolaan cagar budaya tersebut, kami membuat sebuah tabel yang memuat megenai tugas dan wewenang pemeritah daerah dalam pengelolaan cagar budaya. Peran Pemerintah daerah dalam pengelolaan cagar budaya menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah :

Tabel 3.1.1 Unsur Pemerintah Daerah dalam pengelolaan cagar budaya

UU No. 11 Th 2010 Pemerintah Daerah

Pasal 22 Pasal 54

Wujud Apresiasi dan dukungan pemerintah daerah terhadap pengelolaan cagar budaya

Pasal 19 ayat 2 pasal 29 ayat 1 Pasal 29 ayat 6 Pasal 39 pasal 78 ayat 2 Pasal 88 ayat 2

Fungsi administratif pemerintah (pendataan, perizinan) beserta wewenang pemberian sanksi atas pelanggaran perizinan dan pelaporan.

Pasal 59 ayat 3 Pasal 95 ayat 1

Perlindungan dan penjagaan cagar budaya

Pasal 85 ayat 1 Pasal 85 ayat 2

Pemanfaatan cagar budaya oleh pemerintah daerah

Pasal 95 ayat 2 Pemerintah daerah dalam pengelolaan cagar budaya bertugas untuk :

a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya;

b. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya cagar budaya; c. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan cagar budaya; d. menyediakan informasi cagar budaya untuk masyarakat;

e. menyelenggarakan promosi cagar budaya;

f. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi cagar budaya;

g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai cagar budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;

h. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya;

i. mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian cagar budaya.

Pasal 96 Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang:

a. menetapkan etika pelestarian cagar budaya;

(10)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 10

b. mengoordinasikan pelestarian cagar budaya secara lintas sektor dan wilayah;

c. menghimpun data cagar budaya; d. menetapkan peringkat cagar budaya;

e. menetapkan dan mencabut status cagar budaya; f. membuat peraturan pengelolaan cagar budaya;

g. menyelenggarakan kerja sama pelestarian cagar budaya. h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

i. mengelola Kawasan cagar budaya;

j. mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang pelestarian, penelitian, dan museum;

k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;

l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian cagar budaya;

m.memindahkan dan/atau menyimpan cagar budaya untuk kepentingan pengamanan;

n. melakukan pengelompokan cagar budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya. Pasal 97 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan

Kawasan Cagar Budaya.

(2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap cagar budaya dan kehidupan sosial.

(3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.

(4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

Pasal 98 (1) Pendanaan pelestarian cagar budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. (2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. Hasil pemanfaatan cagar budaya; dan/atau

d. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Kompensasi cagar budaya dengan memperhatikan prinsip

(11)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 11

proporsional.

(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk penyelamatan cagar budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pasal 99 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan Pelestarian cagar budaya sesuai dengan kewenangannya.

Dari pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada undang-undang itu , pemerintah daerah memiliki kewenangan dan tugas yang penting dalam pengelolaan cagar budaya.

3.1.3 Pengelolaan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surakarta

Setelah kemerdekaan, perkembangan Surakarta telah memenuhi standar kriteria sebagai daerah otonom berdasarkan UU No. 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Besar. Kemudian undang-undang tersebut disempurnakan lagi menjadi UU No. 5 Tahun 1974, lalu pada Tahun 1999 berubah lagi menjadi UU No. 22 Tahun 1999. Perkembangan selanjutnya adalah terbentuknya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dasar hukum yang kuat yang memberikan kedudukan Kota Surakarta sebagai pemerintah daerah tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam menjalankan pemerintahan daerah, Kota Surakarta haruslah menjalankan tugas-tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang. Salah satu amanat dari undang-undang yang harus dilaksanakan adalah UU No. 10 Tahun 2011. Undang-undang tersebut memberikan tugas dan wewenang kepada Kota Surakarta sebagai pemerintah daerah untuk menjalankan pengelolaan cagar budaya.

Cagar budaya di Kota Surakarta sangatlah beragam kondisinya. Benteng Vastenburg adalah salah satu cagar budaya yang memiliki kondisi yang tidak terawat. Selain tidak terawat, terdapat sengketa pengelolaannya antara pemerintah daerah dengan pihak swasta. Akan tetapi sampai dengan saat ini Pemerintah Surakarta sedang berupaya untuk mengambil alih kepemilikan Vastenburg agar Pemerintah Kota Surakarta dapat melakukan pengelolaan dengan lebih maksimal.19 Selanjutnya adalah kondisi Keraton Kasunanan Surakarta, Keraton Kasunanan memiliki kondisi yang agak lebih baik

(12)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 12

dari Vastenburg. Pengelolaanya dilakukan oleh pihak privat yang dalam hal ini adalah keluarga monarki kasunanan beserta abdi dalemnya. Namun pengelolaan mereka masihlah belum maksimal dikarenakan masih terdapat kerusakan dan ketidakterawatan yang terlihat pada beberapa bangunan keraton saat kami melakukan observasi langsung ke Keraton Surakarta pada 5 Mei 2013 lalu. Setelah kami melakukan observasi di Keraton Kasunanan, kami melakukan observasi di kawasan Pura Mangkunegaran. Kondisi kawasan Pura Mangkunegaran pasca renovasi jauh lebih baik dari sebelumya. Bangunan utama Pura Mangkunegaran dapat dikatakan terawat. Pengelolaan Mangkunegaran juga dilakukan oleh pihak privat yang dalam hal ini oleh Monarki Mangkunegaran beserta abdi dalemnya. Selain cagar-cagar budaya tersebut, masih ada banyak lagi cagar budaya di Kota Surakarta, namun kami hanya memfokuskan pada pengelolaan cagar budaya utama di Kota Surakarta saja.

Dari hasil observasi langsung tersebut, tampak bahwa sudah ada pengelolaan cagar budaya oleh pemerintah daerah. Salah satu bentuk pengelolaan cagar udaya oleh pemerintah daerah Surakarta tersebut adalah :

1. adanya usaha peemerintah Surakarta untuk mengambil alih kepemilikan cagar budaya Benteng Vastenburg agar dapat dikelola dengan maksimal;

2. renovasi cagar budaya yang telah dilakukan di beberapa cagar budaya;

3. labelisasi bangunan cagar budaya di Kota Surakarta sebagai wujud pendataan; 4. melakukan pemanfaatan atas cagar budaya;

5. melakukan promosi atas cagar budaya yang tampak pada adanya kunjungan wisatawan pada bangunan cagar budaya;

6. mengadakan penelitian cagar budaya bersama akademisi jurusan sejarah UNS20; 7. menyediakan akses informasi tentang cagar budaya di website Surakarta.go.id; 8. menganggarkan APBD untuk pengelolaan cagar budaya;

9. dan sebagainya.

Walaupun sudah ada usaha Pemerintah Daerah Surakarta untuk mengelola cagar budaya, namun masih ada permasalahan dalam pengelolaan. Permasalahan tersebut diantaranya :

20 http://server1.indocs.net/artikel/read/2013/04/11/407/790054/pakar-sejarah-uns-aturan-perlindungan-cagar-budaya-belum-memadai/large

(13)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 13

1. karena APBD yang dialokasikan untuk pengelolaan cagar budaya terbatas maka renovasi cagar budaya hanya dapat dilakukan sebagian saja.

2. pencabutan labelisasi cagar budaya oleh pemilik privat cagar budaya21

3. kunjungan wisatawan yang tidak maksimal sehingga pemanfaatan cagar budaya sebagai obyek edukasi tidak berjalan maksimal juga

4. promosi cagar budaya melaui website masih belum jelas dan lengkap

5. kepemilikan cagar budaya oleh privat menyulitkan dalam peengelolaan oleh pemeritah secara peenuh

6. belum adanya apresiasi nyata b agi pihak yang melakukan pengelolaan cagar budaya dengan baik

8. masih belum adanya peraturan daerah sebagai peraturan pelaksan UU No.11 Tahun 2010, dan sampai sekarang hanya sebatas raperda.

7. dan sebagainya.

Jadi, dari realita tersebut, dapat kami ambil suatu kesimpulan bahwa pengelolaan cagar budaya oleh pemeritah daerah kota suralarta sudah ada, namun pengelolaannya tersebut belum dapat dikatakan maksimal karena masih terdapatnya permasalahan-permasalahan dalam pengelolaanya. Selain itu tugas-tugsa serta wewenang pemerintah daerah yang diamanatkan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tersebut belum di implementasikan semuanya.

3.2 Metode pemaksimalan pengelolaan BCB di daerah Surakarta

Hukum administrasi tidak tertulis atau asas umum pemerintahan yang layak, memang dimaksudkan sebagai verhoogde rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi Negara yang menyimpang 22. Peningkatan perlindungan berarti adalah sebuah peningkatan terhadap produk hukum yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya. Kualitas yang ditingkatkan ditujukan untuk membentuk sebuah maksimalisasi sehingga akan terwujud sebuah akibat hukum yang optimal pula pada subjek bersangkutan. Maksimalisasi produk hukum adalah sebuah metode yang kerap dipergunakan oleh pemerintah untuk memastikan produk

21 http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/03/28/150751/Wali-Kota-Surakarta-Persoalkan-Pencabutan-Label-BCB

22

(14)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 14

hasil legislasi mereka benar-benar bekerja ketika diaplikasikan ke masyarakat oleh akibat kondisi sosial yang menghendaki adanya pemaksimalan tersebut. Maksimalisasi rentan dipilih sebagai solusi alternatif ketimbang revisi maupun pencabutan Undang-Undang akibat dirasa lebih menghemat biaya maupun juga wujud dari penegakan hukum positif, karena dapat kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang menganut sistem hukum positif.

Dalam rangka memaksimalkan pengelolaan benda cagar budaya di daerah Surakarta, pemerintah Surakarta membuat rancangan peraturan daerah yang kemudian disebut raperda tentang benda cagar budaya. Raperda yang diajukan di antaranya mengatur benda atau bangunan yang masuk dalam kriteria cagar budaya adalah benda atau bangunan yang berusia 50 Tahun atau lebih, memiliki arti khusus sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. Tentunya benda atau bangunan itu juga memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Di sisi lain adanya usul yang memberikan penghargaan terhadap pemilik benda cagar budaya salah satunya dalam bentuk insentif pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Dengan begitu, maka regulasi cagar budaya yang baru ini memberikan paradigma baru terhadap sistem pengelolaan cagar budaya yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, desentralisasi pemerintahan, partisipasi masyarakat, serta tuntutan perkembangan hukum dalam masyarakat. Terkait dengan penetapan benda atau bangunan cagar budaya, agar eksekutif bisa melakukan pengelolaan dan pendayagunaan agar memiliki nilai tambah. Tentunya nilai tambah itu bukan hanya bagi pemiliknya, tapi juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

A. Kepastian Status dan Peringkat cagar budaya

Untuk bisa mendapat sebuah payung hukum, maka sekiranya sebuah cagar budaya haruslah mendapatkan gelar penetapan sebagai sebuah cagar budaya yang legal. Berdasarkan ketentuan umum ayat 17 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya. Dengan adanya kepastian status terhadap sebuah cagar budaya, maka tentunya pelaksanaan kebijakan baik dalam bentuk perlindungan maupun pemberian insentif akan berjalan sebagaimana mestinya. Penetapan tersebut didasarkan atas beberapa indikator yaitu nilai usia dan

(15)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 15

kepurbakalaan, nilai kesejarahan, nilai estetika, nilai keunikan, nilai atraktivitas karya budaya, nilai kecanggihan struktur konstruksi bangunan dan teknologi pengerjaan, serta nilai kesulitan bahan pembentuknya. Untuk mendapatkan status ditetapkan, maka perlu adanya sebuah pengajuan terhadap pemerintah sesuai dengan prosedur yang disetujui dan berdasarkan syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Secara konkrit praktikal, kepastian penetapan di kota Surakarta diwujudkan dalam bentuk pelabelan Benda Cagar Budaya. Pemerintah kota Solo memberikan apresiasi penuh kepada pemilik atau ahli waris Benda Cagar Budaya (BCB) dengan melakukan pelabelan BCB yang ada di Kota Solo, pelabelan ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Solo No 646/116/1/197623. Untuk label, bahan yang akan digunakan yaitu marmer atau tembaga. Sedangkan untuk desain masih akan dimatangkan lagi. Tahun ini, terdapat 70 kawasan dan bangunanan cagar budaya di Solo yang akan dilabeli. Labelisasi bertujuan untuk pelestarian dan perlindungan terhadap Benda dan Kawasan Cagar Budaya. Dengan penanda berupa pelat atau tugu, maka memberi informasi kepada masyarakat bahwa benda atau kawasan tersebut masuk kategori cagar budaya Sehingga masyarakat akan ikut menjaga kelestariannya

Setelah sebuah cagar budaya mendapatkan penetapan oleh Pemerintah Daerah, maka selanjutnya adalah uji administratif dimana untuk memaksimalkan fungsi dari konsideran (b) Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sekiranya cagar budaya setelah ditetapkan maka diperlukan pengembangan. Namun tentunya tidak semua dana dapat tercurahkan secara seimbang dan merata, maka diperlukan sebuah standarisasi akan cagar budaya pada tingkatan mana yang dicurahkan dana sebagaimana banyak. Hasil penilaian ini akan ditetapkan oleh gubernur dengan surat keputusan, sedangkan hasil penilaian yang status dan peringkatnya nasional akan diteruskan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah pusat untuk ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat nasional.Tahapan penilaian dilakukan dengan melakukan uji administrasi, uji yuridis formil, dan uji materiil. Perbedaan-perbedaan klasifikasi cagar budaya dibagi menjadi tiga yaitu berskala regional, berskala nasional dan berskala dunia. Tentunya cagar budaya

23 http://www.Solopos.com/2012/05/09/cagar-budaya-73-bcb-di-Solo-jadi-prioritas-perlindungan-dan-pelestarian-184455

(16)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 16

yang berskala dunia akan mendapat kebijakan yang berbeda dengan cagar budaya yang berskala regional maupun nasional.

B. Penghargaan Pelestarian Cagar Budaya

Setelah pelabelan, nantinya pemilik atau pengelola bangunan dan kawasan cagar budaya punya kewajiban untuk melakukan konservasi, melindungi, memelihara dan melestarikan. Pemerintah juga akan memberikan insentif dan bantuan teknis serta penghargaan berbentuk sertifikat kepada pelestarian cagar budaya yang berjalan optimal. Insentif pada hakikatnya menurut ketentuan umum Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian cagar budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Penghargaan (insentif) yang diberikan dapat bervariasi sesuai dengan bentuknya yang beragam. Dimana menurut Pasal 22 ayat (2), bahwa Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada pemilik cagar budaya yang telah melakukan pelindungan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, ini akan memotivasi untuk adanya sebuah pelestarian bersama terhadap cagar budaya, tidak hanya dari masyarakat adat maupun modern bersama, namun juga pemerintah daerah beserta pihak swasta yang saling bekerja sama akibat kini terdapat pengurangan pajak PBB dari lokasi benda cagar budaya bersangkutan. Pemkot juga telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 230 juta untuk program ini. Anggaran tersebut digunakan dalam rangka renovasi tempat yang dianggap mempnyai nilai historis yang ada di kota Surakarta24.

Ada baiknya demi memaksimalkan fungsi dari intensifitas yang mana diberikan pemerintah daerah ini, dalam penghargaan cagar budaya diberikan berkaitan dengan pelestarian obyek cagar budaya dikategorikan ke dalam cagar budaya yaitu benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya, serta warisan budaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui surat keputusan. Selain itu juga, dirasa bahwa terdapat beberapa hal yang sewajibnya diatur dalam intensif pemerintah seperti subjek penerima penghargaan, bentuk penghargaan, objek yang dihargai, dan ketentuan pengajuan.

24 http://travel.okezone.com/read/2012/11/09/407/716291/seluruh-bangunan-cagar-budaya-Solo-dilabelisasi

(17)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 17

1) Subjek penerima penghargaan

Subjek yang dimaksud adalah pihak pemilik cagar budaya bersangkutan. Baik itu masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, hingga badan hukum swasta dan lain-lainnya terkecuali pemerintah itu sendiri. Konsideran dari pemberian pengaturan terhadap subjek penerima penghargaan adalah untuk memastikan agar klasifikasi pemberian intensif tidak jatuh ke pihak yang salah sehingga mampu meminimalisir kemungkinan korupsi dari dana intensif cagar budaya.

2) Bentuk penghargaan

Tentunya tujuan utama dari maksimalisasi adalah efisiensi, sehingga esensi ini sepantasnya juga terlibat dalam criteria pemberian insentif cagar budaya. Hal ini dimaksudkan agar bentuk yang diberikan juga sesuai dengan yang dibutuhkan. Contoh bentuk dari insentif adalah sertifikat, piagam, plakat, piala, dan yang bersifat uang, in natura, pemberian subsidi teknis, pemberian fasilitasi tenaga ahli, biaya pemugaran bagi bangunan, penyertaan modal bagi pengelola kawasan, pemberian dana bagi keadaan darurat, pembelian cagar budaya oleh pemerintah daerah, pembebasan/keringanan/subsidi pajak bumi dan bangunan, pemberian pelatihan pada masyarakat, pengurangan/ subsidi listrik telepon, air, pemberian sponsor bagi promosi cagar budaya, subsidi untuk pemugaran, subsidi untuk pemeliharaan.

3) Objek yang dihargai

Sesuai dengan makna Bab III Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu mengenai kriteria cagar budaya yang mengatur hal-hal apa saja yang layak disebut cagar budaya, maka juga sudah sewajarnya untuk mencantumkan objek pemberian sebagai dasar dari turunnya sebuah insentif. Hal ini berinti pada unsur-unsur dari pasal 5, 6, 7, dan 8.

4) Ketentuan pengajuan

Dapat dikatakan ketentuan pengajuan adalah unsur terpenting dari konsiderasi turunnya sebuah insentif. Untuk memastikan agar insentif diproduksi sebagaimana mestinya maka diperlukan standar-standar yang seharusnya dipenuhi. Standar ini pada hakikatnya memuat berbagai dasar ketentuan yang bervariasi dan mengatur mengenai tingkatan pengajuan. Ketentuan juga pada praktikalnya berperan sebagai pedoman dasar dan tata cara juga tahapan pengajuan usulan. Setelah usulan diajukan kepada

(18)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 18

pemerintah daerah, maka kemudian akan terdapat tahap seleksi administrasi yang berlanjut pada tahap penerimaan dan verifikasi.

C. Penegakan dan Perlindungan Keamanan Cagar Budaya

Perlindungan secara hukum dapat dilakukan melalui berbagai langkah baik secara yuridis maupun sosiologis. Salah satu langkah yang perlu diambil oleh pemerintah ialah sosialisasi. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu25.Maksud sosialisasi disini adalah Pemerintah Kota Surakarta harus mensosialisasikan kepada masyarakat luas khususnya warga Solo apa saja benda cagar budaya yang dimiliki oleh Pemkot Surakarta. Upaya tersebut dapat meningkatkan kebanggaan masyarakat Indonesia khususnya warga Solo terhadap benda cagar budaya yang berada di Kota Solo. Pemerintah Kota Surakarta juga harus mensosialisasikan arti pentingnya menjaga dan melestarikan Benda Cagar Budaya di Solo. Karena hal tersebut diyakini mampu meningkatkan kesadaran masyarakat betapa urgennya menjaga dan melestarikan Benda Cagar Budaya. Selain itu perlindungan secara yuridis juga dapat didasari atas pasal 14, 17, 21, dan juga 55 dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dimana aturan yang terdapat bersifat regeling dan tentunya pula terdapat sanksi-sanksi pidana yang berfungsi menegakan aturan yang dilanggar oleh pihak manapun.

D. Transparansi dan Promosi Cagar Budaya

Promosi Cagar Budaya merupakan salah satu dari aktivitas pemasaran yang bertujuan untuk menyampaikan pesan atau citra cagar budaya kepada setiap orang yang berkunjung untuk lebih menimbulkan rasa apresiasi terhadap budaya masa lalu, juga menciptakan rasa percaya diri bahwa budaya nasional Indonesia sangat tua dan mempunyai nilia-nilai yang sejajar dengan bangsa dan budaya lain di dunia Di satu sisi kita harus melestarikan cagar budaya tersebut agar tetap lestari, kokoh berdiri, di sisi lain cagar budaya dimaksud sedapat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, maupun pariwisata yang mau tidak mau cagar budaya tersebut akan

25

(19)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 19

dikunjungi banyak orang, apakah sebagai peneliti ataupun wisatawan. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa fungsi pelestarian harus tetap terjaga keseimbangannya, sehingga cagar budaya tersebut tidak cepat aus atau rusak karena terlalu banyak dikunjungi. Berkenaan dengan keseimbangan fungsi pelestarian cagar budaya tersebut akan mempengaruhi sistem promosi yang dilaksanakan. Promosi memang dibutuhkan untuk mendatangkan pengunjung, tetapi yang lebih penting lagi bagaimana agar kunjungan tersebut akan lebih bermanfaat bagi kelestarian cagar budaya dan kehidupan masyarakat di sekitar cagar budaya dimaksud. Upaya lainnya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta yaitu memaksimalkan pengelolaan Benda Cagar Budaya dari sektor pariwisata. Dengan memaksimalkan pariwisata Benda Cagar Budaya, Pemerintah Kota Surakarta akan mendapatkan pendapatan lebih yang dapat dialokasikan langsung ke dalam anggaran khusus Kota Surakarta tentang pelestarian Benda Cagar Budaya. Sehingga benda-benda cagar budaya yang ada di Kota Surakarta ini dapat terurus dan berfungsi sebagaimana mestinya. Langkah untuk memaksimalkan pengelolaan Benda Cagar Budaya dari sektor pariwisata tersebut salah satunya dengan melakukan promosi baik dalam maupun luar negeri. Hal tersebut penting untuk menarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara agar mengunjungi bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Surakarta. Dengan demikian upaya pemaksimalkan pengelolaan Benda Cagar Budaya dari sektor pariwisata (promosi) dapat meningkatkan income Pemkot Surakarta, sehingga benda-benda cagar budaya tersebut akan terjamin kelestariannya.

Transparansi atau keterbukaan, dalam menyelenggarakan suatu pemerintahan yang baik diperlukan asas transparansi atau keterbukaan yang mana berdasarkan Pasal 3 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara. Dalam hal ini asas keterbukaan berfungsi sebagai wujud keterbukaan pemerintah terhadap masyarakatnya terkait kebijakan-kebijakan atau laporan-laporan yang menyangkut pengelolaan Benda Cagar Budaya. Jadi masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap segala bentuk kebijakan dan bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Kota Surakarta. Hal ini diyakini mampu meningkatkan kepercayaan

(20)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 20

masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh Pemkot Solo serta masyarakat juga dapat melakukan kontrol atau pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kota.

E. Kerjasama Pelestarian Cagar Budaya

Namun tentunya untuk memaksimalkan potensi Benda Cagar Budaya juga perlu dirawat. Karena tanpa perawatan cagar budaya juga akan semakin rusak dan bisa jadi akan hanya menjadi kenangan dari masa lalu. Dapat dilihat bahwa kondisi Benda Cagar Budaya di wilayah Surakarta sangat memprihatinkan. Namun dalam perawatan Benda Cagar Budaya tersebut bukan berarti pemerintah harus langsung turun tangan melainkan dengan cara bekerjasama dengan masyrakat. Hal ini tentunya memiliki banyak hal positif seperti dapat menjaga Benda Cagar Budaya tetap terjaga kondisinya. Selain itu juga dapat menambah daya tarik kepada para pengunjung karena kondisi tempat yang bersih. Bahkan hal demikian juga dapat menjaga keharmonisan antara masyarakat dan pemerintah. Kerjasama dengan masyarakat dapat dijalin melalui mediasi maupun kebijakan bersama, dimana pemerintah berperan sepihak (sub-koordinatif) dan memberikan pertimbangan-pertimbangan akan perawatan cagar budaya yang seharusnya. Hal ini didasarkan atas pasal 59 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat cagar budaya dari pencurian, pelapukan, atau kerusakan baru. Dimana perawatan telah menjadi tanggung jawab seluruh pihak yang ada.

Namun diluar itu, untuk memaksimalkan fungsi perlu adanya sebuah kerjasama spesial dan tersendiri terhadap cagar budaya dengan pihak swasta. Kerjasama ini berbentuk berbagai upaya untuk melindungi, merawat dan mengembangkan segala warisan cagar budaya yang ada. Kerjasama pelestarian cagar budaya ini memerlukan kelengkapan dan kejelasan manajemen pengelolaannya, agar kerjasama tersebut dapat membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan dan tetap berada dalam koridor berbagai peraturan pelestarian cagar budaya yang ada. Bentuk konkrit dari kerjasama dapat berupa dokumentasi, promosi, penyusunan kegiatan, perencanaan fisik maupun ekonomi.

(21)

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA| 21 BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Dasar hukum pengelolaan cagar budaya adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pengelolaan cagar budaya pada undang-undang tersebut memasukan pemerintah daerah sebagai komponen pengelolaan cagar budaya. Kota Surakarta sebagai pemerintah daerah berperan dalam pengelolaan cagar budaya. Akan tetapi pengelolaan cagar budaya oleh pemerintah kota Surakarta masih belum maksimal karena masih adanya berbagai permasalahan dalam pengelolaanya. 2. Terdapat beberapa upaya untuk memaksimalkan pengelolaan cagar budaya di kota

Surakarta. Upaya-upaya tersebut diantaranya adalah memberikan kepastian status dan peringkat cagar budaya, pemberian insentif cagar budaya sebagai bentuk penghargaan pelestarian, penegakan dan perlindungan keamanan cagar budaya, melaksanakan transparansi dan promosi cagar budaya dan kerjasama pelestarian cagar budaya.

4.2 Rekomendasi

1. Agar pemerintah Kota Surakarta sebagai pemerintah daerah yang diberikan tugas dan wewenang undang-undang untuk mengelola cagar budaya agar dapat lebih memaksimalisasi pengelolaan cagar budaya di Kota Surakarta.

2. Peran masyarakat, akademisi dan pemerintah harus di maksimalisasi secara bersama-sama agar pengelolaan cagar budaya dapat berjalan dengan baik

3. Integrasi kerjasama antara pihak swasta dan pemerintah dalam pengelolaan cagar budaya demi terwujudnya efisiensi.

4. Intensifitas perawatan cagar budaya di Surakarta

Referensi

Dokumen terkait

Pekerjaan Rencana Aksi Pembangunan Kota Inklusif dimaksudkan untuk memberikan arahan pelaksanaan program pembangunan di Kota Yogyakarta sebagai Kota Inklusif

Selain data – data dari segi pengamatan permukaan patahan, juga perlu dilakukan analisa terhadap gaya – gaya yang bekerja pada poros pompa tersebut sebagai data

Dalam setiap pelaksanaan politik luar negeri suatu negara, dapat dipastikan akan mendapat respon dari pihak lain di luar batas teritorial negara tersebut. Hal

Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan niat melakukan whistleblowing ketika tingkat retaliasi kuat dan tidak ada perlindungan identitas dibandingkan dengan kondisi

Dari hasil analisis deskriptif tersebut, diperoleh hasil 14 atau 41% home industri sambel pecel di kota Madiun mempunyai hasil produksi yang tinggi karena berada di

penelitian terhadap kekuatan informasi dari suatu peristiwa terhadap aktivitas perdagangan saham LQ 45 dengan judul “Analisis Pengaruh Pengumuman Hasil Pemilu Presiden dan

organisasi tidak nyaman dengan posisi dan kondisi yang baru, maka tidak mengherankan jika antusiasme dan komitmen untuk melakukan perubahan akan sangat kecil.... Perspektif

Bagaimana kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Tana Toraja dalam pengembangan pariwisata dan merumuskan arahan kebijakan pengembangan pariwisata serta menyusun