• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori

1. Pengertian Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna “ucapan atau tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan le discours dalam bahasa Prancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani discursus yang bermakna “berlari ke sana ke mari” (Sudaryat, 2009 : 110). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wacana didefinisikan sebagai: (1) ucapan, perkataan, tutur; (2) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; (3) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.

Wacana adalah kesatuan yang tatarannya lebih tinggi atau sama dengan kalimat, terdiri atas rangkaian yang membentuk pesan, memiliki awal dan akhir. Hal tersebut hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Chaer (1994: 267) wacana ditekankan pada satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Ada dua pokok dalam definisi ini yaitu wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap berarti di dalam wacana terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide pendengar (dalam wacana lisan) dan sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar berarti wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal. Bahasan yang sama dari istilah wacana juga dikemukakan oleh Abdul Rani dkk (2006: 3) bahwa wacana merupakan bahasa paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Bahasa paling besar ini dibentuk dari kalimat baik lisan maupun tertulis.

Kridalaksana (2011: 259) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku 13 seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

(2)

Menurut Alwi (2003: 419) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Sejalan dengan Alwi, Tarigan (1987: 27) wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tulisan. Pendapat ini memberikan pengertian bahwa wacana adalah satuan lingual tertinggi bahasa yang di dalamnya memuat hubungan antar makna kalimat yang gramatikal dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Tarigan (2009: 24) menyebutkan ada delapan unsur penting yang terdapat dalam wacana yaitu (1) satuan bahasa, (2) terlengkap dan terbesar/tertinggi, (3) di atas kalimat/klausa, (4) teratur,(5) rapi, (6) rasa koherensi, (7) lisan dan tulis, (8) awal dan akhir yang nyata.

Berbeda dengan definisi wacana oleh Schiffrin (2007: 53) menjelaskan bahwa wacana adalah ujaran. Ini berarti bahwa wacana adalah lebih besar daripada unit-unit bahasa lain. Unit-unit bahasa ini adalah unit bahasa yang dikontekstualkan. Hal ini menjelaskan bahwa wacana terdiri dari sekumpulan struktur unit-unit bahasa yang tidak lepas dari kontekstual.

Secara lengkap batasan dan definisi wacana dirumuskan oleh Sumarlam (2013: 40) sebagai satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu. Penjelasan ini memberikan pengertian secara lengkap dan jelas bahwa wacana sebagai satuan lingual tertinggi yang terdiri dari kalimat-kalimat saling berkaitan dan terpadu disampaikan secara lisan dapat juga secara tertulis. Wujud dari wacana seperti pidato, ceramah, novel.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, wacana dapat dipahami sebagai sebuah satuan bahasa tertinggi dan berada pada tingkatan di atas kalimat. Satuan bahasa tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah wacana jika memiliki makna tertentu. Meskipun merupakan satuan bahasa terbesar, wacana tidak harus diwujudkan dalam rangkaian kata yang sangat panjang.

Wacana juga dapat terwujud dalam sebuah kalimat tunggal seperti pada proverba atau kalimat larangan misalnya ‘jangan korupsi’. Meskipun kalimat larangan

(3)

yang jelas . Seperti yang diungkapkan oleh Mulyana (2005 : 8) bahwa dalam analisis wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan memiliki kelengkapan makna, informasi, dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung.

Selain sebagai satuan bahasa terbesar, wacana juga merupakan satuan bahasa yang terarah. Yang dimaksud dengan terarah adalah wacana mengikuti tujuan dari pembicara atau melibatkan topik tertentu. Wacana melibatkan topik tunggal karena ia merupakan sebuah urutan yang linier atau urutan yang lurus. Salah satu ciri wacana yakni interaktif. Wacana disebut interaktif karena melibatkan dua pihak. Wujud interaksi ini lebih mudah dilihat dalam wacana lisan seperti dalam percakapan dua orang. Dalam wacana tulis interaksi terjadi antara penulis dan pembaca. Seperti yang disampaikan oleh Arifin dan Rani (2000: 3) bahwa apapun bentuk wacananya, diasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (adresse). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis, penyapa adalah penulis sedangkan pembaca sebagai pesapa. Dalam sebuah wacana harus ada unsur pesapa dan penyapa. Tanpa adanya kedua unsur itu tidak akan terbentuk suatu wacana.

Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian wacana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah sebuah bentuk tindakan komunikasi interaktif yang dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Wacana selalu melibatkan dua pihak yaitu penyapa dan pesapa.Wacana merupakan organisasi bahasa tertinggi yang lebih besar atau di atas kalimat. Wacana dapat terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat yang banyak dan panjang, namun juga dapat sangat pendek berupa kalimat tunggal yang memiliki makna dan konteks. Wacana sangat berkaitan dengan konteks yang melingkupinya. Wacana yang baik haruslah memiliki kohesi dan koherensi yang tinggi agar menjadi wacana yang utuh dan terbaca. Selain itu, wacana juga harus memiliki awal dan akhir yang nyata.

2. Jenis-Jenis Wacana

Pengklasifikasian wacana dapat didasarkan menurut beberapa segi pandangan yaitu wacana dilihat dari bahasa pengungkapannya, media yang digunakan, cara dan tujuan pemaparannya (Sumarlam, 2013: 30-39). Adapun Fatimah Djajasudarma (2010:

(4)

8-13) menyatakan bahwa jenis wacana dibagi menjadi pemaparannya, tinjauan isinya, cara penyusunannya, dan sifatnya.

1) Berdasarkan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan, wacana diklasifikaskan menjadi:

a. Wacana bahasa Indonesia, yaitu wacana yang diungkapkan dengan bahasa Indonesia.

b. Wacana bahasa lokal atau daerah.

c. Wacana bahasa Inggris yaitu wacana yang diungkapkan dengan bahasa inggris. d. Wacana yang diungkapkan dengan bahasa lainya, seperti bahasa Belanda, Jerman,

Perancis, dan sebagainya.

2) Berdasarkan media yang diungkapkan maka wacana dapat dibagi menjadi:

a. Wacana tulis yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau media tulis. b. Wacana lisan yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media

lisan.

3) Berdasarkan jenis pemakaiannya wacana dapat dibedakan atas:

a. Wacana monolog (monologue discourse) yaitu wacana yang disampaikan seorang diri tanpa mellibatkan secara langsung pada orang lain untuk berbicara dan pembicaraannya dilakukan sendiri. Wacana menolong sifatnya searah dan tidak interaktif.

b. Wacana dialog (dialogue discourse) yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan dua orang atau lebih secara langsung. Wacana dialog bersifat dua arah dan masing-masing perilaku secara aktif ikut berperan dalam komunikasi tersebut sehingga disebut komunikasi interaktif.

4) Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu:

a. Wacana narasi yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu yang dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diiket secara kronologis.

b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan atau menggambarkan atau memberikan sesuatu sesuai apa adanya.

(5)

penutur, wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraaan dan bagian-bagiannya diikat secara kronologis.

d. Wacana argumentasi yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi data-data sebagai bukti yang bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasan.

e. Wacana persuasi yaitu wacana atau tuturan yang isinya bersifa ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat kepada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut. 5) Berdasarkan pemamaparannya, merupakan tujuan isi, cara penyususnan, dan

sifatnya, yang meliputi:

a. Wacana naratif yaitu rangkaian tuturan yang menceritakan hal atau kejadian melalui penjojolan pelaku.

b. Wanca deskriptif yaitu rakaian tuturan yang memaparkan suatu atau melukiskan, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya.

c. Wacana prosedural, yaitu rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis.

d. Wacana ekspositori yaitu tuturan yang menjelaskna sesuatu, berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan.

e. Wacana hartotori yaitu tuturan yang berisi ajakan atau nasihat.

f. Wacana seremonial yaitu dipergunakan dalam surat-surat, dengan bentuk dan sistem-sistem tertentu. (Fatimah Djajasudarma, 1994: 8-13).

3. Koherensi

Sumarlam (2013: 40) berpandangan bahwa bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning), maka hubungan antarbagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence). Dengan demikian, wacana yang padu adalah wacana yang apabila dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif, dan dilihat dari segi hubungan makna atau struktur batinnya bersifat koheren.

Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana, dan kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Koherensi merupakan salah

(6)

satu aspek wacana yang penting dalam menunjang keutuhan makna wacana. Bila suatu ujaran tidak memiliki koherensi, hubungan semantik-pragmatik yang seharusnya ada menjadi tidak terbina dan tidak logis lagi. Dengan kata lain, ujaran yang mengabaikan koherensi bukanlah wacana (non-teks).

Wohl (dalam Tarigan, 1993: 104) menyatakan bahwa koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, ide, menjadi suatu untaian yang logis, sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya.

Dijk (1977: 93) dalam bukunya Text and Discourse menyatakan “Intuitively; coherence is a semantic property of discourse, based on the interpretation of each individual sentence relative to the interpretation of other sentence”. Koherensi merupakan bagian dari wacana yang didasarkan pada hubungan interpretasi satu kalimat terhadap kalimat lainnya.

Selain itu, Edmonson (1966: 46) dalam bukunya Structure Style Usage berpendapat bahwa “The paragraph of a paper are coherence when they are closely and logically joined together. ”Rangkaian paragraf dikatakan koherenapabila satu sama lainnya dihubungkan secara dekat dan logis.

Lebih lanjut Shahriar dan Pathan (2012) dalam jurnal Language in Indian Vol. 12 yang berjudul “Choherensi and The Role of Chohesion in Coherent Texts” menyatakan,

“Coherence and cohesion are important aspect of language structure and knowledge of the usage of the two devices is essential for the scholars who write in English. Chorensi is the device which identifies a text (a passages that forms a unified whole), spoken or writen, in any language. On the other hand, cohesion is only one of the various elements which help forming coherent discourse. Cohesion provides relationship between diffrent items of discourse in a text. Coherence is a semantic relation, so it cohesion. Coherence is possible when cohesive devices, gramatikal and lexical, combine to give meaning to the text by connecting it to a social context. Most importantly, a coherent text can be found whitout any cohesive ties used”.

Koherensi dan kohesi merupakan aspek penting dari struktur bahasa dan pengetahuan tentang penggunaan kedua perangkat penting bagi para penulis yang menulis dalam bahasa Inggris. Koherensi adalah perangkat yang mengindentifikasi teks ( subuah bagian yang membentuk suatu kesatuan yang utuh), lisan atau tertulis dalam bahasa apapun. Di sisi lain, kohesi hanya salah satu dari berbagai elemen yang

(7)

item yang berebeda dari wacana dalam teks. Koherensi adalah hubungan semantik, begitu juga kohesi. Koherensi berupa perangkat kohesif, gramatikal dan leksikal, bergabubung untuk memberikan makna pada teks dengan menghubungkan ke konteks sosial. Yang paling penting, teks koheren dapat ditemukan tanpa penggunaan ikatan kohesif.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu wacana yang koheren itu logis dan dapat dipahami baik oleh penutur maupun pendengar atau pembaca. Ujaran yang tidak koheren bukanlah wacana. Kekoherensian sebuah wacana dapat diwujudkan secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit hal tersebut dapat dicapai lewat konteks situasi di mana bahasa digunakan. Secara eksplisit hal tersebut dapat dicapai lewat unsur-unsur kohesi dan unsur-unsur acuannya yang berkesinambungan.

4. Kohesi

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secar struktural membentuk ikatan sintaksis. Menurut Alwi (2003: 19) wacana merupakan hubungan perkaitan antar proposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Sehingga di dalam kalimat terdapat hubungan antarbagian wacana yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi (coherence) (Sumarlam, 2013: 23). Sedangkan menurut Moeliono bahwa wacana yang baik memiliki kedua-duanya, baik itu kohesi maupun koherensi, karena antara kalimat atau kata yang dipahami berkaitan; pengertian yang satu mengandung pengertian yang lain secara berturut-turut.

Lebih lanjut istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Halliday dan hasan (1976: 4) menyatakan “The concept of cohesion is a semantic one;it refers to the relations of meaning that exist within the text”. Ini berarti bahwa kohesi itu memungkinkan terjalinnya keteraturan hubungan semantik antara unsur-unsur dalam wacana, sehingga memiliki tekstur yang nyata.

Kohesi adalah dasar dari sebuah artikel juga merupakan bentuk penting untuk menunjukkan gaya dan karakteristik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Li dalam

(8)

jurnalnya yang berbunyi “Chohesion is the basis ofan article, is also the important form of showing the style and characteristics”.

Dengan demikian kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Ini berarti bahwa kohesi adalah 'organisasi sintaktik'. Organisasi sintaktik ini merupakan wadah kalimat yang disusun secara padu dan juga padat. Dengan susunan demikian organisasi tersebut adalah untuk menghasilkan tuturan. Ini berarti bahwa kohesi adalah hubungan di antara kalimat di dalam sebuah wacana, baik dari segi tingkat gramatikal maupun dari segi tingkat leksikal tertentu.

Begitu pula pendapat Halliday dan Hasan (1976: 5) kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Hal ini berarti bahwa hubungan makna baik makna leksikal maupun makna gramatikal, perlu diwujudkan secara terpadu dalam kesatuan yang membentuk teks. Lebih lanjut Halliday dan Hasan mengatakan:

"Cohesion is expressed through the stratal organization of language. Language can be explained as a multiple coding system comprising three levels of coding or 'strata'. The semantic (meaning), the lexicogrammatical (forms) and the phonological and orthographic (expression). Meanings are realized (coded) as forms, and the forms are realized in turn (recoded) as expressions. To put this in everyday terminology, meaning is put into wording and wording into sound or writing."

Halliday dan Hasan (1976: 6) sendiri memandang kohesi makna itu dari dua sudut, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kedua jenis kohesi ini terdapat dalam suatu kesatuan teks. Kohesi ini juga memperlihatkan jalinan ujaran dalam bentuk kalimat untuk membentuk suatu teks atau konteks dengan cara menghubungkan makna yang terkandung di dalam unsur.

a. Kohesi Gramatikal

Sumarlam (2013: 40-54) menjelaskan aspek gramatikal adalah aspek yang mendukung kepaduan wacana dari segi bentuk atau struktur lahir wacana. Artinya dengan aspek gramatikal tersebut suatu wacana akan terlihat lengkap dan utuh jika dilihat dari kaidah gramatikalnya. Aspek gramatikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : Refrensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan), dan konjungsi (perangkaian). Berturut-turut aspek-aspek gramatikal ini dikaji secara terperinci sebagai berikut:

(9)

1) Referensi (pengacuan)

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Bersadasarkan tempat acuannya, kohesi pengacuan dibedakan menjadi dua yaitu pengacuan endofora dan eksofora . Disebut sebagai pengacuan endofora apabila acuannya atau satuan lingual yang diacu berada atau terdapat di dalam teks wacana. Sebaliknya disebut eksofora apabila acuannya berada diluar teks wacana.

Jenis kohesi yang pertama, pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya, endofora dibedakan dibedakan menjadi dua jenis yaitu anafora (anaphoric reference) dan katafora (cataphore reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual yang mendahuluinya, atau mengacu pada anteseden (informasi dalam ingatan atau konteks yang ditujukkan oleh suatu ungkapan) di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan katafora merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lainnya yang mengikutinya, atau mengacu pada anteseden sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebut kemudian. Baik dalam anafora maupun katafora selalu melibatkan satuan lingual yang berperan sebagai “acuan” dan satuan lingual lain yang “mengacu”. Satuan lingual yang dijadikan sebagai acuan disebut dengan anaphoris (satuan lingual yang menjadi acuan dalam anafora) atau cataphoris (satuan lingual yang menjadi acuan katafora), keduanya secara umum dikenal dengan istilah antisedent. Untuk lebih jelasnya, pemilahan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Refrensi Refrensi

Refrensi Eksopora

(situasional/kontekstual) Refrensi Endofora (kontekstual)

- Refrensi Anafora Refrensi Katafora

Referensi eksofora adalah penunjukan atau interpretasi terhadap kata relasi terletak dan tergantung pada konteks situasional. Bila interprestasi itu terletak di dalam teks itu sendiri, maka relasi penunjukan itu dinamakan referensi endofora. Referensi

(10)

endofora anaphora adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya dalam teks. Hubungan ini menunjukan pada sesuatu atau anteseden yang telah disebutkan sebelumnya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri. Sementara itu, referensi endofora katafora bersifat sebaliknya, yaitu mengacu kepada anteseden yang akan disebutkan sesudahnya, atau mengacu anteseden disebelah kanan.

Dengan demikian, jenis kohesi gramatikal pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) Refrensi pronomina persona, (2) Refrensi pronomina demonstratif (3) Refrensi komparatif.

a) Pengacuan Pronomina Persona

Pengacuan pronomina persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama, kedua, dan ketiga maupun jamak. Pronomina persona tunggal I. II. III ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas, misalnya aku, kamu, dia) dan adapula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya, terdapat yang bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (bentuk terikat lekat kiri, misalnya ku pada kubaca, kau- pada kaubaca) dan ada yang melekat di sebelah kanan bentuk terikat lekat kanan, misalnya-ku pada ibuku, -mu pada ibumu, dan –nya pada ibunya).

Klasifikasi pronomina persona secara lebih lengkap dapat diperhatikan dapat diperhatikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.2 Pengacuan Pronomina Persona Pengacuan Persona

I II III

Tunggal Jama

k

Tunggal Jamak Tunggal Jamak

- aku, saya, hamba, gue/gua, ana/ane -terikat lekat kiri: ku- -lekat kanan :-ku kami,k ami semua ,kita -kamu, anda, anta/ente -terikat lekat kiri :kau- -terikat lekat kanan: -mu kamu semua,kali an,kalian semua -ia,dia beliau -terikat lekat kiri: di- -terikat lekat kanan :-nya mereka, mereka semua

Contoh pengacuan pronomina persona adalah sebagai berikut.

(3) Artedjo Alkautsar: Jadi ini saya kira menjadi pertimbangan konsekwensi yuridis dari perbuatan terdakwa. (TWLT: N2: K1/A.1.1/3)

(11)

Pada tuturan tersebut, pronomina persona I tunggal bentuk bebas “saya” mengacu pada Artedjo Alkautsar yang berada di dalam tuturan (teks) yang disebut sebelumnya (orang yang menuturkan tuturan itu) dan berada di sebelah kiri teks. Dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan itu maka saya merupakan (1) jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora karena (acuannya berada dalam teks), yang bersifat anaforis (karena acuannya disebut terdahulu atau antesedennya berada di sebelah kiri), melalui satuan lingual berupa pronomina persona I bentuk bebas.

b) Pengacuan Pronomina Demonstratif

Pengacuan pronomina demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Demonstratif waktu mengacu pada waktu kini, lampau, akan datang, dan netral. Sementara itu pronomina demonstratif tempat mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan penutur, agak jauh dengan penutur, jauh dengan penutur dan menunjuk tempat secara ekplisit. Untuk lebih jelasnnya di bawah ini tersaji dalam bentuk tabel.

Tabel 2.3 Pengacuan Pronomina Demonstratif Pengacuan Demonstratif

Waktu Tempat

-kini : kini, sekarang, saat ini -lampau : kemarin,...yang lalu, dulu

-y.a.d: besok,,,depan,,y.a.d -netral : pagi, siang, sore, pukul 12

-dekat dengan penutur : sini, ini -agak jauh dengan penutur : situ, itu -jauh dengan penutur: sana

-menunjuk secara eksplisit: sala, jogja

Contoh pengacuan pronomina demonstratif adalah sebagai berikut:

(4) Wartawan Laki: Indonesia lawyers club edisi malam ini, kami hadir kembali dengan tema ”bisakah hak politik koruptor dicabut” dan kini kita sambut presiden indonesia lawyers club yakni Karni Ilyas. (TWLT: N8: K1/A.1.2/24)

Pada tuturan tersebut terdapat pronomina demonstratif demonstratif waktu kini yang ditandai dengan satuan lingual “malam ini” yang mengacu pada waktu kini yaitu pada saat tuturan itu dilakukan secara langsung dalam acara talk show ILC yaitu pada malam selasa, tanggal 23 September 2014. Pengacuan yang demikian termasuk jenis pengacuan demonstratif yang bersifat endofora anaforis melalui waktu kini.

(12)

c) Pengacuan Komparatif (Perbandingan)

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang digunakan untuk membandingkan misalnya, seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan.

Contoh pengacuan pronomina komparatif adalah sebagai berikut.

(5) Karni Ilyas: Baik, sekarang bapak Tri Si Tompul, kalau tadi tidak boleh melebihi apa yang harus ditulis undang-undang, boleh gak hakim memutuskan yang berbeda dengan rumusan yang ada di undang-undang, misalnya dalam undang-undang itu jabatan tertentu ternyata hakim memutuskan jabatan publik. (TWLT: N25: K3/A.1.3/7)

Pada data nomor (5) terdapat pengacuan komparatif yang ditandai dengan satuan lingual “berbeda dengan” . Kata “berbeda dengan” menandakan perbandingan perbedaan antara hukuman yang dijatuhkan berdasarkan rumusan undang-undang dengan sanksi tambahan yang tidak terumuskan dalam undang-undang.

2) Substitusi (Penyulihan)

Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingulnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.

a) Substitusi Nominal

Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Contoh:

(6) Wartawan Perempuan: Dari sebelumnya 16 tahun serta mencabut hak politik

mantan anggota komisi satu DPR ini, alhasil dengan putusan MA, Lutfi

sudah tidak dapat lagi memberikan suaranya memilih pada pemilihan umum maupun dipilih untuk menduduki jabatan umum. (TWLT: N1: K5,7/A.2/2)

Pada contoh wacana tersebut, satuan nomina “mantan anggota komisi satu DPR yang telah disebut terdahulu digantikan oleh satuan nomina pula yaitu kata “Lutfi” yang disebutkan kemudian.

(13)

b) Substitusi Verbal

Substitusi verba adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. Contoh:

(7) Joko Sarwoko: Kalau yang dijelaskan oleh Artejo tadi bahwa ini yang saya tangkap termasuk kategori korupsi politik. Yang tampaknya ini sangat berbeda kelihatan seperti korupsi biasa kalau dibandingkan dengan penyelenggara negara biasa, berbeda dengan kaitannya dengan korupsi politik. Demikian yang bisa kami fahami dari apa yang disampaikan oleh Artejo tadi. (TWLT: N12: K1,4/A.2/9)

Pada contoh wacana tersebut terdapat satuan lingual “saya tangkap” digantikan dengan verba “kami fahami”. Dengan demikian terjadi substitusi verbal.

c) Substitusi Frasal

Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Contoh Substitusi ini sebagai berikut.

(8) Nasir Djamil: Secara moral dan secara sosial, misalnya mengapa si A di tahan sedangkan si B tidak, padahal kedua mereka dalam posisi yang sama. (TWLT: N114: K45,46/A.2/53)

Pada wacana tersebut terdapat satuan lingual kata “Si A dan Si B” pada kalimat kedua, ketiga disubstitusikan dengan kata “kedua mereka” pada kalimat yang keempat. Singga kedua kata tersebut bersubstitusi berbentuk frasa.

d) Substitusi Klausal

Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Contoh:

(9) Wartawan Perempuan: Pekan ini mahkamah agung membuat putusan yang cukup kontro1ersial, pasalnya pengajuan kasasi terpidana kasus suap impor daging sapi Lutfia Hasan Isa ditolak majlis hakim, tak berhenti di situ hakim pun sepakat memperberat hukuman mantan presiden partai keadilan sejahtera ini menjadi 18 tahun penjara. (TWLT: N1: K3,4/A.2/1)

Pada data no (9) terdapat substitusi klausal yang ditandai dengan tuturan yang berupa satuan lingual klausa “ pengajuan kasasi terpidana kasus suap impor daging sapi Lutfia Hasan Isa” disubstitusi oleh satuan lingual lain berupa klausa “mantan presiden partai keadilan sejahtera ini menjadi 18 tahun penjara”. Dalam

(14)

hal ini penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana itu berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk, (2) menciptakan dinamisasi narasi, (3) menghilangkan kemonotonan, (4) memperoleh unsur pembeda.

3) Elipsis (Pelesapan)

Pelesapan (ellipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat.

Sementara Halliday dan Hasan berpendapat bahwa substitusi dan elipsis pada dasarnya. Elipsis dianggap sebagai bentuk asli dengan bentuk kosong (zero). Elipsis terjadi jika sebagian unsur struktural yang penting dilesapkan. Kalimat atau suatu klausa hanya dapat ditemukan kembali dengan mengacu pada suatu unsur di dalam teks yang mendahuluinya (Halliday dan Hasan, 1976: 142). Pelesapan merupakan salah satu sarana kohesi yang merupakan kerabat dekat substitusi atau disebut dengan substitusi zero atau nol. Di dalam analisis wacana unsur yang dilesapkan itu biasa ditandai dengan konstituen zero atau dengan lambang Ø pada tempat terjadinya pelesapan pada unsur tersebut.

Fungsi pelesapan dalam wacana antara lain adalah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektifitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca atau pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan. Contoh penggunaan elipsis dalam suatu wacana adalah sebagai berikut.

(10) Wartawan Perempuan: Pekan ini mahkamah agung membuat putusan yang cukup kontroversial, pasalnya pengajuan kasasi terpidana kasus suap impor daging sapi Lutfia Hasan Isa ditolak majlis hakim, tak berhenti di situ hakim pun sepakat memperberat hukuman mantan presiden partai keadilan sejahtera P ini menjadi 18 tahun penjara. Dari sebelumnya 16 tahun serta mencabut hak politik mantan anggota komisi satu DPR P ini, alhasil dengan putusan MA, Lutfi sudah tidak dapat lagi memberikan suaranya memilih pada pemilihan umum maupun dipilih untuk menduduki jabatan umum. (TWLT: N1: K4,5/A.3/1)

Pada data nomor (10) terdapat pelesapan satuan lingual berupa “Lutfi Hasan Isa”. Satuan lingual “Lutfi Hasan Isa” dilesapkan pada tuturan klausa kedua dan ketiga.

(15)

maka akan terlihat seperti data no (10a) dibawah.

(10a) Wartawan Perempuan: Pekan ini mahkamah agung membuat putusan yang cukup kontroversial, pasalnya pengajuan kasasi terpidana kasus suap impor daging sapi Lutfia Hasan Isa ditolak majlis hakim, tak berhenti di situ hakim pun sepakat memperberat hukuman mantan presiden partai keadilan sejahtera Lutfia Hasan Isa ini menjadi 18 tahun penjara. Dari sebelumnya 16 tahun serta mencabut hak politik mantan anggota komisi satu DPR Lutfia Hasan Isa ini, alhasil dengan putusan MA, Lutfi sudah tidak dapat lagi memberikan suaranya memilih pada pemilihan umum maupun dipilih untuk menduduki jabatan umum. (TWLT: N1: K4,5/A.3/1)

4) Konjungsi (Perangkaian)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif. (Sumarlam, 2013: 52). Lebih lanjut Halliday dan Hasan (1976: 226) mendifinisikan konjungsi sebagai berikut.

“Conjungtive element are cohesive not in themselves but indirectly, by virtue of their sfecipic meanings; they are not premarily device for reaching but into the preceding (or following) text, but they exfress certain meaning which presupose the presence of other component in the discourse”.

Elemen-elemen konjungsi bersifat kohesif tidak di dalam teks itu sendiri tetapi kohesif secara tidak langsung dengan sifat dari makna yang khusus; elemen-elemen tersebut bukanlah alat yang pertama untuk dijadikan teks tetapi mereka mengungkapkan makna yang sebenarnya.

Ada beberapa jenis konjungsi dalam wacana dan juga memiliki makna yang berbeda-beda antara lain: Sebab-akibat: sebab, karena, maka, makanya, Pertentangan: tetapi, namun, Kelebihan (eksesif): malah, Perkecualian (ekseptif): kecuali, Konsesif: walaupun, meskipun, Tujuan: agar, supaya, Penambahan (aditif): dan, juga, serta, Pilihan (alternatif): atau,apa, Harapan (optatif): moga-moga, semoga, Urutan (sekuensial): lalu, terus, kemudian, Perlawanan: sebaiknya, Waktu: setelah, sesudah, usai, selesai, Syarat : apabila, jika (demikian), Cara: dengan (cara) begitu, Makna lainnya: (yang ditemukan dalam tuturan).

(16)

Sebagai contoh penerapan konjungsi dalam wacana sebagai berikut.

11.Wartawan Perempuan: Bagi sang juru pengadil, kepercayaan masyarakat dan

sistim demokrasi yang terlanjur cidera untuk menjadi pertimbangan ponis dijatuhkan. (TWLT: N1: K7/A.4/2)

Pada wacana teks (11) terdapat satuan lingual “dan” pada kalimat kedua yang menunjukkan hubungan penambahan/penjumlahan yang tidak mengubah makna. Konjungsi tersebut berfungsi menghubungkan klausa yang berada sebelumnya dengan klausa sesudah atau di sebelah kanannya dan menyatakan makna penjumlahan.

b. Kohesi Leksikal

Aspek leksikal atau kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis (Sumarlam, 2013: 55). Sementara Halliday dan Hasan (1976: 274) menyatakan bahwa: “This lexical kohesion is the cohesive effect achieved by the selection of vocabulary”. Kohesi leksikal adalah ikatan kohesi yang muncul dalam wacana karena pilihan kata”. Aspek leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu: repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), kolokasi (sanding kata), hiponim (hubungan bawah atas), ekuivalensi (kesepadanan).

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu,

a) Repetisi Epizeuksis

Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang di pentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Contoh repetisi epizeuksis.

(12) Artedjo Alkautsar: Negara akan kehilangan nama baiknya, kehilangan jati dirinya, kalau hukum itu tidak melindungi kewibawaan negara, negara ini harus dilindungi oleh hukum, protektif hukum pidana. (TWLT: N2: K11,13,14/B.1/9)

Pada teks nomor (12) terdapat pengulangan satuan lingual yang berupa yakni berupa satuan lingual “hukum”, yang diulang sebanyak tiga kali secara berturut-turut pada kalimat ketiga, keempat dan kelima, untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan. Sehingga dikatakan pengulangan epizeuksis.

(17)

Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Contoh repetisi tautotes.

13. Karni Ilyas: Anda bukan bekas tahanan tapi bekas narapidana, bukan tahanan.

(TWLT: N137: K1,2/B.1/202)

Dalam Hal ini, satuan lingual “tahanan” diulang sebanyak dua kali dalam sebuah konstruksi.

c) Repetisi Anafora

Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contoh repetisi anafora.

14. Wartawan Perempuan: Mahkamah agung yang sejatinya merupakan benteng terakhir tegaknya hukum di Indonesia kembali menunjukkan ketajaman pedang keadilannya, pekan ini, mahkamah agung membuat putusan yang cukup kontroversial. (TWLT: N1: K1,3/B.1/1)

Pada teks nomor (14) terdapat pengulangan satuan lingual yang berupa satuan lingual “mahkamah agung” yang berupa pengulangan unsur satuan lingual pada baris pertama secara berturut-turut pada tiap-tiap baris pertama kalimat selanjutnya.

d) Repetisi Epistrofa

Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Contoh repetisi epistrofa.

15.Wartawan Perempuan: Alhasil dengan putusan MA, Lutfi sudah tidak dapat lagi memberikan suaranya memilih pada pemilihan umum, maupun dipilih untuk menduduki jabatan umum. (TWLT: N1: K7,8/B.1/3)

Pada teks nomor (15) terdapat pengulangan unsur satuan lingual yang berupa yakni satuan lingual berupa kata “umum” pada akhir baris pertama yang diulang dalam sebuah kalimat pada akhir baris kedua sehingga disebut pengulangan epistrofa.

e) Repetisi Simploke

Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut. Contoh repetisi simploke.

16. Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.

(18)

Kamu bilang nggak punya kepribadian. Biarin. Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

Pada teks nomor (16) terdapat pengulangan satuan lingual “Kamu bilang hidup ini” pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat yang masing-masing di awal baris, sementara satuan itu diikuti oleh satuan lingual “Biarin” sebanyak empat kali pada akhir baris pertama, kedua, ketiga dan keempat sehingga disebut pengulangan simplok.

f) Repetisi Mesodiplosis

Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut. Contoh repetisi mesodiplosis.

17. Artedjo Alkautsar: Jadi ini saya kira menjadi pertimbangan konsekwensi

yuridis dari perbuatan terdakwa, terdakwa ini kan mempunyai posisi jabatan politik yang selalu melakukan suatu tindakan transaksional yang berupa korupsi, sehingga dengan demkian konsekwensi etisnya ya dan yuridisnya harus dicabut supaya tidak dipergunakan lagi untuk rakyat. (TWLT: N2: K1,3/B.1/5)

Pada wacana teks nomor (17) terdapat pengulangan satuan lingual yang berupa satuan lingual “konsekwensi” yang terletak di tengah-tengah baris secara berturut-turut sebanyak dua kali sehingga disebut pengulangan mesodiplosis.

g) Repetisi Epanalepsis

Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. Contoh repetisi epanalepsis.

18. Tri Si Tompul: Nah, sekarang di dalam era sekarang, apakah penafsiran perluasan itu bisa tepat. (TWLT: N26: b21/B.1/59)

Pada wacana teks no (18) terdapat pengulangan satuan lingual “sekarang “pada akhir baris merupakan pengulangan satuan lingual awal baris pertama sehingga disebut pengulangan epanalepsis.

h) Repetisi Anadiplosis

Repetisi anadipolis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. Contoh repetisi anadiplosis. 19. Wartawan Perempuan: Pasalnya pengajuan kasasi terpidana kasus suap impor

daging sapi Lutfia Hasan Isa ditolak majlis hakim, tak berhenti di situ, hakim

pun sepakat memperberat hukuman mantan presiden partai keadilan sejahtera ini menjadi 18 tahun penjara. (TWLT: WP: N1: b3,5/B.1/2)

(19)

akhir baris pertama menjadi kata baris pertama pada kalimat selanjutnya atau kalimat kedua pada teks tersebut sehingga disebut pengulangan anadiplosis.

i) Repetisi Utuh/Penuh

Repetisi utuh atau repetisi penuh yaitu pengulangan satuan lingual secara utuh atau secara penuh. Satuan lingual yang diulang ini dapat berupa satu baris, atau satu kalimat secara utuh, atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh. Repetisi utuh/penuh sering kita dapati pada referen sebuah lagu.

20. Chairul Imam: Harus dicantumkan, Harus dicantumkan, karena putusan hakim memang tidak boleh melebihi apa yang ditentukan oleh undang-undang. (TWLT: N41: K1,2/B.1/73)

Pada teks nomor (20) terdapat pengulangan unsur satuan lingual yang berupa frasa ”harus dicantumkan” pada satu baris pertama diulang secara utuh/penuh pada satu baris kedua sehingga disebut pengulangan utuh.

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1994: 85). Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana dan berfungsi menjalin hubungn makna yang sepadan antara satun lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasar wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

a) Sinonimi kata dengan kata

Contoh sinonim kata dengan kata sebagai berikut.

21. Joko Sarwoko: Kalau mengenai hak pilih atau dipilih ini tentu ada kaitannya dengan suatu jabatan publik, yang memang berdasarkan aturan-aturan umum.

(TWLT: N14: K3,4/B.2/7)

Pada wacana teks nomor (21) terdapat satuan lingual berupa serapan Bahasa Inggris “publik” pada kalimat pertama baris pertama bersinonim dengan satuan lingual yang terjemahan dari Inggris kata publik tersebut yang berarti berupa satuan lingual “umum” pada kalimat kedua, kedua kata tersebut maknanya sepadan.

Tampak pada tuturan di atas, kepaduan wacana tersebut antara lain didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonim antara kata “publik” pada kalimat pertama dengan kata “umum” pada kalimat ketiga. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

(20)

b) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya

22.ArtedjoAlkautsar: Kehilangan jati dirinya, kalau hukum itu tidak melindungi

kewibawaan negara. (TWLT: N2: K9,10/B.2/3)

Pada wacana teks nomor (22) terdapat satuan lingual berupa frasa “kehilangan jati dirinya” pada kalimat pertama bersinonim dengan satuan lingual yang berupa kata ”kewibawaan” pada baris terakhir.

c) Sinonimi frasa dengan frase

23.Patra M Zen: Jangan selalu dikira negara ini bisa ini tidak, tetapi penguasa-penguasa ini bisa juga dia menggunakan yudisial power, dia menggunakan misalnya kekuasaan negara untuk merampas hak orang. (TWLT: N90: K60,61/B.2/15)

Pada wacana teks nomor (23) terdapat satuan lingual berupa frasa “yudisial power” pada akhir baris kalimat kedua bersinonim dengan satuan lingual yang berupa kata ”kekuasaan negara” pada tengah baris terakhir.

3) Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. antonimi juga disebut oposisi makna. Berdasarkan sifatnya oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

a) Oposisi Mutlak

Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Contoh opoisisi mutlak sebagai berikut.

24.Joko Sarwoko: Dia harus melaui proses pemilihan, kaitannya adalah yang dimaksudkan adalah kaitanya dengan hak pilih dan memilih kaitannya dengan jabatan publiknya. (TWLT: N14: K6/B.3/4)

Pada teks nomor (24) terdapat satuan lingual “pilih “ pada pertengahan klausa kedua yang berlawanan arti/berantonim dengan satuan lingual ”memilih” pada tengah klausa pertama juga. Kedua kata tersebut beroposisi mutlak karena memiliki pertentangan makna secara mutlak. Kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda.

b) Oposisi Kutub

Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkatan makan pada kata-kata tersebut. Contoh oposisi kutub sebagai berikut.

(21)

tindak pidana korupsi itu merupakan like spesialis yang merupakan ada aturan

khusus, apakah masih boleh melakukan aturan umum, pertanyaannya saya kira itu. (TWLT: N20: K2/B.3/7)

Pada teks nomor (25) terdapat satuan lingual ”khusus” pada akhir klausa pertama yang beroposisi kutub dengan satuan lingual ”umum” pada akhir klausa kedua. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub karena terdapat gradasi di antara oposisi keduanya. Kedua kata tersebut memiliki makna bertentangan.

c) Oposisi Hubungan

Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Contoh oposisi hubungan.

26.Joko Sarwoko: Jadi hukum itu harus bersifat protektif, bagi siapa? Satu bagi

rakyat, kedua bagi negara, negara ini kehilangan marwahnya, negara akan kehilangan nama baiknya. (TWLT: N2: K8,9/B.3/3)

Pada teks nomor (26) terdapat satuan lingual “rakyat” pada akhir baris kaliamt ketiga beroposisi hubungan dengan satuan lingual “negara” pada akhir klausa keempat, satuan lingual “rakyat” sebagai realitas dimungkinkan ada karena kehadirannya dilengkapi oleh satuan lingual ”negara” dan sebaliknya. Oposisi hubungan sebagai salah satu aspek leksikal dapat mendukung kepaduan wacana secara leksikal dan semantis, sehingga kehadirannya dapat menghasilkan wacana yang kohesif dan koheren.

d) Oposisi Hirarkial

Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Misalnya pada oposisi kata-kata di bawah ini.

milimeter >< sentimeter >< meter kilogram >< kuintal >< ton detik >< menit >< jam

SD >< SMP >< SMU,

Contoh dalam kalimat sebagai berikut.

27. Karni Ilyas: Dan memang ada penomena lain, beberapa orang yang dianggap pernah diadili dalam perkara korupsi, belakangan ini bisa jadi kalau calon legislatif atau bahkan jadi calon kepala daerah, sekarang saya kerancauan belum kelihatan harus mewakili Jhon Budi SP. (TWLT: N9: b16/B.3/1)

(22)

Pada teks nomor (27) terdapat oposisi herarkial antara satuan lingual “calon legislatif”, yang menggambarkan realitas jenjang pemerintahan atau tingkatan pemerintahan yang berbeda.

e) Oposisi Majemuk

Oposisi majmuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majmuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majmuk. Adapun perbedaanya dengan oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang, tingkatan, yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil. Sebagai contoh perhatikan contoh.

28. Nasrullah: Bang Karni, boleh saya tambah satu, putusan-putusan yang tidak mencantumkan jangka waktu pencabutan hak dipilih dan memilih itu akan menimbulkan kesulitan dalam ekskusi, akan kelapakan jaksa nanti dalam

mengekskusi itu. (TWLT: N27: K3,4/B.3/12)

Pada wacana teks nomor (28) terdapat satuan lingual “ekskusi” pada akhir klausa kedua yang beroposisi majmuk dengan satuan lingual ”mengekskusi” pada akhir klausa ketiga.

4) Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi atau sanding kata asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cendrung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang terlibat di dalamnya; dalam jaringan usaha (pasar) akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan permasalahan pasar dan partisipan yang berperan di dalam kegiatan tersebut. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cendrung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan. Contoh pemakaian kata- kata yang berkolokasi dalam kalimat adalah sebagai berikut.

29.“Wartawan: Hukum memang seharusnya tak pandang bulu, karena keadilan hak haruslah tegak melalui hakim sang juru pengadil”. (TWLT: 7)

(23)

protektif, bagi siapa? Satu bagi rakyat, kedua bagi negara, negara ini kehilangan marwahnya, negara akan kehilangan nama baiknya, kehilangan jati dirinya, kalau hukum itu tidak melindungi kewibawaan negara. (TWLT: N2: K5,6,8/B.5/2)

Pada teks no (30) terdapat satuan lingual ”rakyat, hukum, negara” yang merupakan contoh kata-kata yang cendrung dipakai secara berdampingan dalam domain perlindungan hukum yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana.

5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ”hipernim” atau “superordinat” .

Contoh penggunaan hiponimi dapat diperhatikan pada penggalan wacana berikut.

31.Nasrullah: Jadi, maksimum yang boleh dijatuhkan hakim hanya yang sesuai dengan bunyi undang-undang, tidak boleh diperluas terjemahannya, ketika

pidana dijatuhkan karena sanksi, pidana sanksi yang terberat ya diatur secara khusus oleh undang-undang. (TWLT: N24: K9,11,12)

Pada wacana teks nomor (31) di atas yang merupakan hipernim atau superordinatnya adalah berupa satuan lingual “hakim”. Sementara itu satuan lingual “hakim” sebagai hiponim dari “undang-undang, pidana, sanksi”. Hubungan antar unsur bawahan atau antar kata yang menjadi anggota hiponim itu disebut “kohiponim”. Fungsi hiponim adalah untuk mengikat hubungan antar unsur atau antar satuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna atasan dan bawahan, atau antar unsur yang dicakupi.

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan , misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal beli . Demikian juga dengan kata belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran yang dibentuk dari

(24)

bentuk asal ajar juga merupakan hubungan ekuivalensi. Agar lebih jelas, penggunaan ekuivalensi dapat dilihat pada contoh berikut.

32.Wartawan Perempuan: Hukum memang seharusnya tak pandang bulu, karena

keadilan hak haruslah tegak melalui hakim sang juru pengadil. (TWLT: N7: K1,2/B.6/2)

Pada teks nomor (32) terdapat satuan lingual “keadilan“ pada awal baris kedua dan satuan lingual “keadilan“ pada akhhir baris kedua juga. Kedua kata tersebut merupakan hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan yakni misalnya kata”keadilan, pengadil. Keduanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu “adil”. Sehingga dikatakan memiliki hubungan ekuivalensi.

5. Analisis Wacana

Analisis wacana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi bahasa secara utuh di atastingkat klausa atau kalimat. Karena itu ia mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tertulis. Selain itu analisis wacana berusaha mengkaji kepaduan wacana lisan yang dipakai para penutur secara benar dalam percakapan interaksi sosial termasuk interaksi percakapan anatarpenutur bahasa ( Stubbs, 1984: 1).

Menurut Kartomiharjo (1993) menyatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat dan lazim disebut sebagai wacana. Unit bahasa yang dimaksud bisa berupa paragraf, teks, bacaan, undangan, percakapan, cerita pendek, dan sebagainya. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh Sobur (2004) menyatakan bahwa yang penting dalam analisis wacana adalah makna yang ditujukan oleh struktur teks wacana. Dalam analisis wacana, makna kata adalah praktik yang ingin dikomunikasikan sebagai suatu strategi.

Menurut Bambang (2002) mengatakan bahwa analisis wacana dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu tersendiri yang asal usulnya dapat ditelusuri pada dasawaarsa tahun 1960-an. Pada waktu itu diterbitkan sistim analisis wacana, analisis cerita, analisis film, bahkan sampai pada analisis foto-foto pada media massa. Meskipun latar belakang, metode, dan tujuan analisisnya masih berbeda-beda tetapi masih banyak minat kajian pada bidang yang lain secara luas, sehingga akhirnya dapat membentuk benang merah yang menjadikan wujud analisis wacana menjadi lebih utuh.

(25)

seorang yang bernama Dell Hymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh yaitu Language in Culture Society. Karya-karya awal dari dua belahan dunia itu didasarkan atas prinsip yang sama yaitu mengawinkan linguistik struktural dengan antropologi yang menekankan pada analisis pemakaian bahasa , bentuk wacana, dan bentuk komunikasi.

Dengan demikian, analisis wacana adalah salah satu altenatif untuk menganalisis isi wacana. Melalui analisis wacana dapat diketahui bagaimana isi teks wacana dan pesan itu disampaikan. Sehingga dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan yang meliputi kata, frase, kalimat, dan lainnya, analisis wacana dapat melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks.

6. Wacana Lisan, Teks dan Konteks a) Wacana Lisan

Wacana lisan berarti wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyana, (2005: 53) menyatakan bahwa “Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Adanya kenyataan bahwa pada dasarnya bahasa pertama kali lahir melalui mulut/lisan. Kajian yang sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan sebagai sasaran penelitian yang utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana tulis dianggap sebagai bentuk tuturan semata. Jenis wacana lisan ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance).

Dalam konteks wacana lisan, Kristina (2010: 90) dalam bukunya “Bahasa Persuasif dalam Public Relations” menjelaskan bahwa “bahasa yang digunakan manusia pada dasarnya ada dua jenis, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan”. Lebih lanjut Kristina menjelaskan, dalam wacana lisan terdapat beberapa karakteristik menonjol dalam percakapan wacana lisan tersebut yaitu menyangkut tentang:

a. Lapisan (layer) yakni bahasa lisan yang berawal dari lapisan paling bawah yaitu fonem (sound),

b. Lapisan kata (word),

c. Lapisan unit makna (unit of meaning),

d. Lapisan sikap (attitude) penutur yang direpresentasikan lewat pilihan kata, e. Nada bicara (tone),

(26)

f. Tekanan kata, (Kristina, 2010: 90).

Selain itu juga, Kristina memaparkan karakteristik bahasa lisan itu juga meliputi pola intonasi dan ritme. Intonasi berpengaruh terhadap wording, otomotis berpengaruh terhadap makna. Adapun ritme berpengaruh terhadap pola silabikasi terutama untuk membedakan bagian ujaran yang mendapat tekanan dan bagaian lain yang tidak. Secara gramatikal wacana lisan lebih kompleks sedangkan wacana tulis lebih rumit dalam hal penyusunan leksisnya. Selain itu wacana lisan juga memiliki ciri lexical speciaty, ini bisa dilihat dari jumlah content word pada setiap klausa yang rendah, namun jumlah klausa pada setiap klausa kompleks yang sangat tinggi.

Menurut pendapat yang lain, Arifin & Rani (2000: 22) menyebutkan beberapa perbedaan bahasa tulis dan lisan, yaitu: (1) kalimat dalam wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal) dibandingkan dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan sering hanya berupa urutan kata yang membentuk frasa, (2) penataan subordinatif bahasa dalam wacana lisan lebih sedikit bila dibandingkan dengan bahasa tulis. Dalam wacana lisan cenderung tidak digunakan kalimat majemuk subordinatif, (3) bahasa dalam wacana lisan jarang menggunakan piranti hubung karena didukung oleh konteksnya. Bahasa dalam wacana tulis sering menggunakan piranti hubung untuk menunjukkan suatu hubungan ide, (4) bahasa dalam wacana lisan cenderung tidak menggunakan frasa benda yang panjang, sedangkan dalam wacana tulis menggunakan, (5) kalimat-kalimat dalam bahasa tulis cenderung berstruktur subjek-predikat sedangkan bahasa lisan menggunakan struktur topik komen, (6) dalam bahasa lisan, pembicara dapat merubah struktur atau memperhalus ekspresi yang kurang tepat pada saat itu juga, sedangkan dalam bahasa tulis hal itu tidak dapat terjadi, (7) dalam bahasa lisan khususnya dalam percakapan sehari-hari, pembicara cenderung menggunakan kosakata umum. Sebaliknya, dalam bahasa tulis sering digunakan istilah teknis khusus, (8) dalam bahasa lisan sering diulang bentuk sintaksis yang sama dan digunakan sejumlah “pengisi” (filler) misalnya: saya pikir, anda ketahui, jika anda mengetahui apa yang saya maksud, dan sebagainya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam wacana lisan, terdapat fenomena pemakaian tata bahasa yang khas yang tentu saja berbeda dengan tata tulisan. Yang terutama dalam kelengkapan unsur-unsur kalimatnya, latar budaya juga sering muncul

(27)

budaya tersendiri.

b) Teks

Cook dalam Eriyanto (2011) menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya.

Dalam tradisi tulis, teks bersifat ‘monolog noninteraksi’ dan wacana lisan bersifat ‘dialog interaksi’. Dalam konteks ini, teks dapat disamakan dengan naskah, yaitu semacam bahan tulisan yang berisi materi kuliyah, pidato, ceramah, percakapan dan lain-lain. Perbedaan kedua istilah tersebut hanya bertitik tolak pada pemakaian saja.

Hoed dalam Sumarlam (2010) menyatakan bahwa wacana adalah suatu bangunan teoretis yang bersifat abstrak. Wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan fisik bahasa, termasuk dalam tataran langue; sedangkan teks termasuk dalam tataran parole, merupakan realisasi wacana. Dengan demikian, terdapat dua pendapat yang berbeda dalam memandang teks dan wacana. Pendapat pertama memandang bahwa istilah teks dan wacana memiliki makna yang sama. Pendapat pertama ini bersumber dari pendapat Haliday dan Hasan yang menyebutkan meskipun teks tampak seakan-akan terdiri atas kata-kata dan kalimat, sesungguhnya teks itu terdiri atas makna-makna. Teks pada dasarnya adalah satuan makna, sehingga teks dan wacana adalah dua istilah yang sama maksudnya. Sehingga atas dasar perbedaan penyebutan tersebut kemudian muncul dua tradisi pemahaman di bidang linguistik, yaitu ‘analisis linguistik teks’ dan ‘analisis wacana’. Analisis linguistik teks langsung mengandaikan objek kajiannya berupa bentuk formal bahasa, yaitu kosa kata dan kalimat. Sedangkan analisis wacana mengaharuskan disertakannya analisis tentang konteks terjadinya suatu tuturan.

Teks merupakan kesatuan bahasa yang sedang menjalankan fungsinya. Teks bukan merupakan kesatuan gramatikal seperti klausa atau kalimat, dan teks tidak dapat didefinisikan berdasarkan ukurannya. Teks terkadang digambarkan sebagai kesatuan gramatikal yang lebih besar dari sebuah kalimat, tetapi memiliki hubungan dengan sebuah klausa, sebuah klausa dengan sekelompok klausa dan seterusnya. Teks yang merupakan wacana dalam bentuk lisan, tulis, atau tanda yang diidentifikasi untuk tujuan

(28)

analisis. Bentuk teks dapat juga berupa percakapan. Hal ini sesuai dengan pendapat Cristal dalam Nunan (1993:6) sebagai berikut:

“Text is a piece of naturally occurring spoken, written, or signed discourse identified for purpose of analysis. It is often a language unit whit a definable communicative function, such as a conversation”.

Dijk dalam Eriyanto (2011: 104) melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu wacana. Kedua, superstruktur yaitu struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam wacana secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, peneliti cenderung memaknai teks sebagai wacana berbentuk lisan yang direalisasikan ke dalam bentuk tulisan. Jadi Teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang padu.

c) Konteks

Di dalam sebuah wacana, teks dan konteks dipahami secara bersama-sama. Teks dapat diketahui maknanya secara menyeluruh apabila disertai dengan pemahaman terhadap konteks. Hubungan antara keduanya bersifat dasar (basik) dalam rangka memahami komunikasi dengan bahasa (Subroto, 2011: 8).

Konteks merupakan faktor penentu dari wujud makna yang sebenarnya. Konteks linguistis sendiri belumlah dapat mendasari formulasi makna dalam pemakainnya-makna konotatif. Malinoswki dalam hal ini menyatakan bahwa pemahan sebuah teks tidak dapat lepas dari konteks situasi dan konteks kultural yang menyertainya (Halliday, 1989: 7).

Pemahaman terhadap konteks dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi (Sumarlam, 2013: 72). Namun, sebelum proses tersebut dilakukan, terlebih dahulu dilakukan peninjauan terhadap komponen komponen tuturnya sehingga dapat memperkuat hasil penafsiran dan analogi.

(29)

Konteks situasi yaitu keterangan-keterangan yang bersifat umum untuk pengirim (pesan) atau penerima (pesan) tentang situasi budaya dan psikologis, pengalaman dan pengetahuan keduanya (pengirim dan penerima pesan). Dalam komunikasi bahasa terlibat adanya konteks, teks, dan sistem bahasa. Teks sebagai sesuatu yang memiliki register. Register teks itu dipengaruhi oleh konteks. Menurut Halliday, ada dua macam konteks, yakni konteks budaya (context of culture) dan konteks situasi (context of situation). Konteks situasi merupakan konteks yang mempengaruhi berbagai pilihan penutur bahasa, antara lain: pokok bahan (field), hubungan penyapa dan pesapa (tenor), serta saluran komunikasi yang digunakan (mode).

2) Komponen Tutur

Konteks wacana yang mendukung pemaknaan ujaran, tuturan, atau wacana adalah situasi kewacanaan. Situasi kewacanaan berkaitan erat dengan tindak tutur. Dell Hymes (1989: 55-65) menyebut 8 komponen tutur dengan singkatan SPEAKING, yaitu (1) setting and scene ‘latar dan situasi’, (2) participants ‘partisipan’, (3) ends ‘tujuan’, (4) act sequence ‘bentuk dan isi ujaran’, (5) key ‘nada’, (6) instrumentalities ‘sarana’, (7) norms ‘norma’, (8) genre ‘jenis’.

1. Setting berhubungan dengan waktu dan tempat berlangsungnya peristiwa tutur, sedangkan Scene mengacu pada suasana psikologis pembicara atau segala hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Suasana penggunaan ujaran akan menentukan jenis bahasanya. Bahasa dalam suasana resmi (formal) akan berbeda dengan bahasa dalam suasana tidak resmi (informal), sehingga di pasar, orang akan menggunakan bahasa yang berbeda dengan di masjid.

2. Participants adalah peserta tutur yang terdiri atas penutur dan mitra tuturnya dengan latar belakang sosial dan budayanya.

3. Ends merupakan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dari sebuah tuturan. Tujuan pembicaraan bisa bersifat informatif, interogatif, dan imperatif. Tujuan informatif mengharapkan agar mitra tutur merespon dengan “perhatian” saja, tujuan interogatif mengharapkan agar mitra tutur merespon dengan “jawaban”, tujuan imperatif mengharapkan agar mitra tutur merespon dengan “tindakan”.

4. Act sequence berhubungan dengan bentuk ujaran dan isi ujaran.

(30)

6. Instrumentalities berkaitan dengan saluran (lisan, tertulis, melalui telepon atau lainnya) dan bentuk bahasa yang digunakan. Bentuk ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti bahasa, dialek atau register.

7. Norms merupakan norma atau aturan yang harus dipahami dalam berinteraksi, mengacu pada perilaku peserta tutur.

8. Genre mengacu pada bentuk penyampaian seperti puisi, prosa, dan lainnya, sehingga genre berkaitan dengan jenis wacana serta gaya bahasa yang digunakan sewaktu komunikasi berlangsung.

3) Prinsip Penafsiran dan Analogi

Prinsip-prinsip penafsiran yang digunakan untuk memahami konteks sosial budaya dan situasi meliputi prinsip penafsiran personal, lokasional, temporal, dan analogi. (Sumarlam, 2013 : 72)

a) Prinsip Penafsiran Personal

Prinsip ini berkaitan dengan partisipan dalam wacana. Dalam pelaksanaannya, perlu dipertimbangkan ciri-ciri fisik dan non-fisik partisipan, seperti umur, kondisi fisik, status sosial, dan sebagainya. Contoh: “Kau cantik sekali hari ini”.

Apabila tuturan di atas ditujukan kepada mitra tutur seorang anak perempuan berumur 3 tahun, akan berbeda makna dan tanggapannya apabila disampaikan kepada mitra tutur seorang gadis berumur 17 tahun, dan berbeda pula apabila tuturan yang sama ditujukan kepada mitra tutur seorang nenek berumur 70 tahun.

b) Prinsip Penafsiran Lokasional

Prinsip ini berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, proses) dalam rangka memahami wacana. Contoh, apabila pendengar atau mitra tutur dipersilahkan duduk, dia harus mencari kursi yang terdekat. Demikian pula orang yang disuruh menyalakan lampu kamar tamu, tentunya yang dimaksud “kamar tamu di rumah orang itu berada pada waktu dia diajak bicara”.

c) Prinsip Penafsiran Temporal

Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Contoh:

(a) ”Mari kita sekarang makan dulu!

(b) Pada zaman modern seperti sekarang ini, barang-barang yang dulu dianggap istimewa sudah menjadi biasa.

Gambar

Tabel 2.2 Pengacuan Pronomina Persona  Pengacuan Persona
Tabel  2.3 Pengacuan Pronomina Demonstratif  Pengacuan Demonstratif
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menjelaskan tentang upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh Badan Pengurus Gereja Kemah Injil Indonesia Daerah Sintang di

Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1, Desa adalah Desa dan Desa adat atau yang disebut dengan

Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual yang berbeda terhadap prestasi siswa namun untuk melihat seberapa

Disamping itu untuk memperoleh gambaran yang lebih riil dan detail atas kondisi sosial ekonomi masyarakat di kawasan Pansela, tulisan ini akan dilengkapi pula dengan profil

Ketiga, employee engagement memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap voice behaviour dan hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah pengaruh LMX terhadap