• Tidak ada hasil yang ditemukan

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Obesitas

Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO 2000).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT 30.00. Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas tingkat III dengan IMT 40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT 25.00. Berdasarkan cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT 30.00. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua jenis, yakni obesitas sentral dan obesitas umum (WHO 2000).

Obesitas Sentral

Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak yang terpusat pada daerah perut (intra-abdominal fat). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan risiko kesehatan lebih berhubungan dengan obesitas sentral dibandingkan dengan obesitas umum. Wildman et al. (2004) menemukan, laki-laki dan perempuan yang mengalami obesitas sentral mempunyai tekanan darah sistol dan diastol, kolesterol total, kolesterol LDL, dan triasilgliserol rata-rata tinggi, serta kolesterol HDL rendah.

Lofgren et al. (2004) menemukan bahwa ukuran lingkar perut (waist circumference) berhubungan dengan kadar insulin, leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C. Perempuan dengan lingkar perut > 88 cm memiliki konsentrasi leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C lebih tinggi. Adapun Gotera et al. (2006) menemukan, orang lansia berpenyakit jantung koroner dengan obesitas sentral mempunyai tekanan

(2)

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah.

Menurut WHO (2000), jaringan lemak visceral (intra-abdominal fat) memiliki sel per unit massa lebih banyak, aliran darah lebih tinggi, reseptor glucocorticoid (kortisol) dan androgen (testosterone) lebih banyak dan katecholamine lebih besar dibandingkan dengan jaringan lemak bawah kulit (subcutaneous adipose). Von-Eyben et al. (2003) menemukan bahwa jaringan lemak intra-abdominal berhubungan linier dengan enam faktor risiko metabolik, seperti tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, glukosa darah, kolesterol HDL, trigliserida serum, dan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) plasma.

Jaringan adiposa disadari sebagai organ endokrin penting yang menghasilkan beberapa hormon protein. Namun, tingginya akumulasi lemak, terutama pada daerah perut (intra-abdominal fat) memicu jaringan adiposa menghasilkan hormon dalam jumlah yang tidak normal, seperti tingginya sekresi insulin, tingginya level testoteron dan androstenedion bebas, rendahnya level progesteron pada perempuan dan testoteron pada laki-laki, tingginya produksi kortisol, dan rendahnya level hormon pertumbuhan. Ketidaknormalan produksi hormon ini diduga meningkatkan risiko kesehatan (WHO 2000).

Lemak visceral adalah komponen lemak tubuh penting sebagai faktor risiko metabolik (Wildman et al. 2004). Review yang dilakukan Klein et al. (2007) memperlihatkan hubungan obesitas sentral dengan kardiometabolik. Klein et al. (2007) menyatakan, mekanisme biologi hubungan antara obesitas sentral dengan kardiometabolik belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa hipotesis yang dapat ditegakkan. Pertama, keterbatasan kemampuan jaringan lemak subcutaneous dalam menyimpan kelebihan energi menyebabkan akumulasi lemak yang berakibat pada disfungsi metabolik pada beberapa organ. Kedua, terjadinya lipolisis pada jaringan adiposa omental dan mesenteric yang melepaskan asam lemak bebas. Hal ini dapat menginduksi resistensi insulin dan menyediakan substrat untuk sintesis lipoprotein dan simpanan lipid. Jaringan adiposa omental dan mesenteric juga memproduksi protein dan hormon spesifik, seperti adipokin inflamatori, angiotensinogen, dan kortisol (dibangkitkan oleh aktivitas lokal 11-hydroxysteroid dehydrogenase). Ketiga, predisposisi gen yang secara bebas menyebabkan penyakit kardiometabolik.

(3)

Dampak Obesitas Sentral

Dampak obesitas sentral lebih tinggi risikonya terhadap kesehatan dibandingkan dengan obesitas umum (de Pablos-Velasco et al. 2002). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap risiko kesehatan. Obesitas sentral berdampak terhadap peningkatan risiko kematian (Zhang et al. 2007; Pischon et al. 2008; Bigaard et al. 2003). Wildman et al. (2005) menemukan, obesitas sentral meningkatkan risiko hipertensi, dislipidemia, diabetes, dan sindrom metabolik pada laki-laki dan perempuan.

Obesitas sentral juga berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler dan penyakit jantung koroner (Baik et al. 2000; Sonmez et al. 2004; Wildman et al. 2005). Gotera et al. (2006) menyatakan, dampak obesitas sentral terhadap penyakit jantung koroner berkaitan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme langsung melalui efek metabolik protein yang disekresikan oleh jaringan lemak seperti interleukin (IL) 1, IL 6, TNF- adiponektin dan masih banyak protein lainnya terhadap endotel pembuluh darah, dan efek tidak langsung akibat faktor-faktor lain yang muncul sebagai risiko penyakit kardiovaskuler akibat dari obesitas sentral tersebut.

Obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik (Shen et al. 2006; Griesemer 2008). Obesitas sentral dapat digunakan sebagai prediktor risiko diabetes tipe dua (Wang et al. 2005; Krisnan et al. 2007) dan batu empedu (Tsai et al. 2004). WHO (2000) menyatakan, obesitas meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik, gangguan toleransi glukosa, diabetes tipe 2, hipertensi, batu empedu, dislipidemia, susah napas, sleep apnoea, hyperuricaemia, gout, ketidaknormalan produksi hormon, polysistic ovary syndrome, ketidaksuburan, masalah psikososial, dan beberapa tipe kanker.

Pengukuran Obesitas Sentral

Pengukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mendeteksi obesitas sentral, yaitu: lingkar perut, rasio pinggang panggul (waist hip ratio), WCR (waist chest ratio), dan WHtR (waist to-height-ratio). Pengukuran lingkar perut merupakan suatu parameter yang menyediakan perkiraan ukuran lemak tubuh yang mengumpul di perut. Pengukuran lingkar perut menyediakan pengukuran distribusi lemak yang tidak dapat menggunakan pengukuran IMT (Klein et al. 2007). IMT tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan

(4)

otot dan lemak (WHO 2000). Lingkar perut lebih akurat untuk mencerminkan obesitas sentral (Sonmez et al. 2003).

Lingkar perut dapat digunakan sebagai indikator pelengkap untuk mendeteksi risiko kesehatan pada berat normal dan kelebihan berat (Wannamethee et al. 2005). Diagnosis menggunakan IMT lebih lemah jika dibandingkan dengan lingkar perut dan WHtR. Lingkar perut merupakan pengukuran yang lebih mudah daripada WHtR (Sonmez et al. 2003). Wang et al. (2005) menemukan bahwa lingkar perut lebih baik dalam mengukur obesitas sentral daripada WHtR sebagai prediksi risiko diabetes tipe 2. Pengukuran menggunakan lingkar perut lebih cocok sebagai prediktor kematian pada usia lebih dari 65 tahun dibandingkan dengan IMT (Baik et al. 2000). Visscher et al. (2001) menemukan bahwa pengukuran lingkar perut pada laki-laki yang tidak pernah merokok dapat mendeteksi lebih akurat individu yang berisiko tinggi terhadap kematian daripada pengukuran IMT. Lingkar perut lebih kuat sebagai prediktor CHD (Lofgren et al. 2004) dan hipoadiponektinemia (Gotera et al. 2006) daripada IMT.

Kriteria obesitas sentral adalah lingkar perut 102 cm pada laki-laki dan 88 cm pada perempuan. Adapun kriteria obesitas sentral di wilayah Asia Pasifik adalah lingkar perut 90 cm pada laki-laki dan 80 cm pada perempuan (WHO 2000). Ko dan Tang (2007) menemukan cut off point pre-obesitas sentral untuk penduduk China adalah lingkar perut 84-90 cm pada laki-laki dan 74-80 cm pada perempuan. Cut off point pre-obesitas sentral setara dengan IMT (23-25) dan berdampak pada peningkatan risiko kesakitan. Penelitian sebelumnya di China, menemukan bahwa cut off point lingkar perut dan IMT yang rendah dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingginya risiko CVD di China, yakni dengan lingkar perut 80 cm dan IMT 24 (Wildman et al. 2004). Cut off point lingkar perut untuk mendiagnosis sindrom metabolik populasi perkotaan di Irak adalah 99 cm pada laki-laki dan 97 cm pada perempuan (Mansour et al. 2007).

Faktor Risiko Obesitas sentral

Penyebab utama masalah obesitas adalah lingkungan dan perubahan perilaku. Peningkatan proporsi lemak dan peningkatan densitas energi dalam diet, penurunan level aktivitas fisik dan peningkatan perilaku sedentary, merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan berat badan pada populasi. Genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis

(5)

kelamin, dan umur saling berinteraksi memengaruhi peningkatan berat badan (WHO 2000).

Faktor risiko yang diduga berhubungan dengan obesitas sentral dalam penelitian ini adalah karakteristik demografi dan sosial-ekonomi (umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah) dan gaya-hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik, perilaku konsumsi makanan/minuman, dan stres).

Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi Umur

Umur merupakan faktor risiko obesitas sentral yang tidak dapat diubah. Seiring dengan bertambahnya umur, prevalensi obesitas sentral mengalami peningkatan (Martins&Marinho 2003; Erem et al 2004). Peningkatan umur akan meningkatkan kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak pusat (Chang et al. 2000; Demerath et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral meningkat sampai dengan umur 44 tahun dan menurun kembali pada umur 45-54 tahun.

Prevalensi obesitas sentral ditemukan lebih tinggi pada sampel dengan umur lebih tua (Janghorbani et al. 2007). Pada umur lebih tua terjadi penurunan massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon yang memicu penumpukan lemak perut. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pada umur 40-59 tahun seseorang cenderung obesitas dibandingkan dengan umur yang lebih muda. Hal ini diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Selain itu, orang tua biasanya tidak begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.

Jenis Kelamin

Prevalensi obesitas umum dan obesitas sentral lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Al-Riyami&Afifi 2003; Martins&Marinho 2003; Gutierrez-Fisac et al. 2004; Yoon et al. 2006). Obesitas sentral lebih umum dijumpai pada perempuan (Sonmez et al. 2003; Pablos-Velasco et al. 2002). Tingginya prevalensi obesitas pada perempuan menunjukkan bahwa kelebihan lemak pusat lebih banyak terdapat pada perempuan (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan

(6)

laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-laki dan perempuan.

Demerath et al. (2007) menemukan, lemak perut lebih tinggi pada perempuan yang lebih tua daripada laki-laki muda. Jaringan adiposa meningkat dengan bertambahnya umur, perempuan cenderung lebih berisiko obesitas sentral, terutama setelah menopause. Perempuan postmenopause memiliki persentase lemak perut, kolesterol total, dan trigliserida yang tinggi. Seiring dengan bertambahnya umur dan efek menopause, pada perempuan akan terjadi peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat (Chang et al. 2000).

Perempuan mengontrol kelebihan energi sebagai lemak simpanan, sedangkan laki-laki menggunakan kelebihan energinya untuk mensintesis protein. Pada perempuan, pola penggunaan energi untuk keseimbangan energi positif dan deposit lemak disebabkan oleh dua alasan. Pertama, penyimpanan lemak jauh lebih efisien daripada protein. Kedua, penyimpanan energi sebagai lemak akan berperan pada rendahnya rasio jaringan bebas lemak dengan jaringan lemak dengan hasil tidak meningkatnya RMR (Resting Metabolite Rate) pada kecepatan yang sama sebagai massa tubuh (WHO 2000).

Status Kawin

Obesitas berhubungan nyata positif dengan status kawin (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Prevalensi obesitas tertinggi pada orang yang memiliki status cerai dan terendah pada orang yang belum menikah (Erem et al. 2004). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada sampel yang telah menikah. Hal ini karena kurangnya aktivitas fisik setelah menikah dan perubahan pola makan yang menyesuaikan pasangannya. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Panagiotakos et al. (2004) terhadap orang dewasa berumur 20-89 tahun di Yunani menemukan bahwa tidak terdapat hubungan obesitas dengan status kawin.

Besar Keluarga

Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Adiningrum (2008) menemukan bahwa jumlah anggota keluarga tidak berhubungan dengan kegemukan. Namun, lebih lanjut Adiningrum (2008) menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga akan memengaruhi distribusi pangan yang akan diterima masing-masing individu. Terlalu banyaknya individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan juga

(7)

mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dengan banyaknya anggota keluarga, akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk.

Setiap penambahan anak, risiko obesitas meningkat sebesar 4% pada laki-laki dan 7% pada perempuan (Weng et al. 2004). Kantachuvessiri et al. (2005) menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas sentral di Thailand. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Al-Riyami dan Afifi (2003) yang menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga dengan obesitas sentral.

Pendidikan

Beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada orang berpendidikan rendah (Gutierrez-Fisac et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004). Wolff et al. (2006) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral meningkat pada laki-laki berpendidikan tengah (10-12 tahun) dan atas (>12 tahun) serta sedikit berubah pada pendidikan rendah ( 9 tahun), sedangkan pada perempuan, prevalensi obesitas sentral meningkat pada semua tingkatan pendidikan, khususnya pada pendidikan rendah. Pendidikan berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006). Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif pada perempuan dan hubungan positif pada laki-laki antara pendidikan dengan obesitas sentral. Tingginya level pendidikan juga meningkatkan berat badan dan lingkar perut (Zhang et al. 2008). Namun, Rosmond dan Bjorntorp (2000) menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan) berhubungan dengan obesitas sentral dan tingginya nilai kortisol.

Pekerjaan

Perubahan pada struktur sosial berhubungan dengan peningkatan obesitas. Hubungan ini terletak pada peningkatan proporsi populasi pekerjaan dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain yang kurang aktivitas fisik jika dibandingkan dengan pekerjaan manual yang membutuhkan banyak aktivitas fisik pada masyarakat tradisional (WHO 2000).

Dekkers et al. (2004) menyatakan bahwa kecepatan perkembangan jaringan adiposa dari anak sampai dewasa muda dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Lahmann et al (2000) menyatakan bahwa status sosial ekonomi orang tua (pekerjaan ayah) merupakan prediktor kuat peningkatan jaringan adiposa pusat dan peningkatan berat badan, terutama sosial ekonomi lemah. Interaksi

(8)

antara pekerjaan ayah dan pekerjaaan sendiri berhubungan dengan perubahan berat badan dan lingkar perut.

Pengeluaran per Kapita

Pengeluaran per kapita merupakan salah satu indikator status ekonomi seseorang. Pengeluaran per kapita paralel dengan pendapatan per kapita seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Reynolds et al (2007) menemukan bahwa pendapatan berhubungan dengan obesitas sentral pada laki-laki. Semakin tinggi pendapatan rumah tangga semakin berisiko obesitas (Erem et al. 2004). Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan konsumsi rumah tangga seperti makanan tinggi lemak dan konsumsi daging (WHO 2000).

Pendapatan berhubungan positif dengan kejadian obesitas sentral pada laki-laki di Korea. Pendapatan tinggi meningkatkan obesitas sentral 1.37 kali dibandingkan dengan pendapatan terendah pada laki-laki di Korea. Pada perempuan, pendapatan tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kejadian obesitas sentral. Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik (Yoon et al. 2006). Tipe Wilayah

Tipe wilayah perkotaan berhubungan positif dengan obesitas. Wilayah perkotaan berhubungan dengan obesitas karena peningkatan jumlah orang yang tinggal di perkotaan. Wilayah perkotaan berhubungan dengan berbagai faktor yang memengaruhi diet, aktivitas fisik, dan komposisi tubuh. Hal ini melibatkan perubahan transportasi, kemudahan akses dan penggunaan fasilitas kesehatan dan pendidikan modern, komunikasi, pemasaran dan ketersediaan pangan, dan perbedaan profil pekerjaan dengan yang lainnya (WHO 2000).

Reynolds et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih tinggi pada sampel yang tinggal di perkotaan. Tingginya prevalensi obesitas sentral di perkotaan diakibatkan oleh urbanisasi yang berhubungan dengan perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa seseorang yang tinggal di perkotaan cenderung mengikuti makanan ala barat yang rendah serat dan kurang aktivitas fisik.

(9)

Gaya Hidup

Kebiasaan Merokok

Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan resisten insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Xu et al. (2007) menyatakan bahwa merokok berhubungan negatif dengan peningkatan berat badan (IMT) tetapi positif berhubungan dengan lingkar perut pada laki-laki. Merokok dalam jangka waktu lama berpengaruh pada obesitas sentral daripada obesitas umum. Erem et al (2004) menemukan hubungan negatif merokok dengan obesitas sentral. Mantan perokok berhubungan positif dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Perokok menurunkan 0.68 cm lingkar perut, sedangkan mantan merokok berhubungan dengan peningkatan 1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Mekanisme biologi antara merokok dengan pola distribusi lemak tidak jelas. Meskipun perokok memiliki nilai rata-rata IMT yang lebih rendah daripada bukan perokok, perokok memiliki profil distribusi lemak yang mencerminkan konsekuensi metabolik merokok dengan lebih tingginya lemak pusat (Canoy et al. 2005).

Mantan perokok berpeluang mengalami obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan perokok dan bukan perokok. Hal ini disebabkan oleh efek ganda merokok yaitu merokok meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan, dan kedua efek akan hilang pada mantan perokok (Chiolero et al. 2007). Review yang dilakukan oleh Chiolero et al. (2008) mengenai hubungan merokok pada berat tubuh, distribusi lemak tubuh dan resistensi insulin memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan nafsu makan pada perokok, sedangkan di sisi yang lain, perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau tidak merokok, jika merokok diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti rendahnya tingkat aktivitas fisik, dan diet yang buruk.

Pada perempuan, setelah 30 hari penghentian merokok, RMR 16% lebih rendah daripada ketika masih merokok sehingga dapat menyebabkan peningkatan berat badan sebagai efek menurunnnya RMR dan peningkatan asupan energi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa seseorang yang menghentikan kebiasaan merokoknya kelihatan meningkat berat badannya. Hal ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein).

(10)

Lemak visceral dipengaruhi oleh konsentrasi kortisol. Sedangkan perokok memiliki lebih tinggi konsentrasi kortisol plasma daripada orang yang tidak merokok. Tingginya konsentrasi kortisol adalah konsekuensi aktivitas sympathetic nervous system yang diinduksi oleh merokok. Massa lemak visceral meningkat ketika konsentrasi estrogen menurun dan konsentrasi testosteron meningkat. Rendahnya estrogen, kelebihan androgen, dan peningkatan testosteron pada perempuan berhubungan dengan akumulasi lemak visceral. Pada laki-laki lemak visceral meningkat dengan penurunan testosteron. Sementara testosteron pada laki-laki menurun dengan merokok.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan upaya pencegahan peningkatan berat badan dan secara signifikan berkontribusi untuk menurunkan berat badan dalam jangka panjang dan mengurangi risiko kesehatan yang berhubungan dengan penyakit kronis (Jakicic&Otto 2005). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan lingkar perut (Erem et al. 2004; Slentz et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009). Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas pada perempuan tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007). Aktivitas fisik dapat berpengaruh terhadap perubahan jaringan lemak pusat, bahkan pada anak-anak (Barbeau et al. 2007).

Mustelin et al. (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan kuat antara aktivitas fisik dan lingkar perut. Aktivitas fisik secara nyata memodifikasi efek dari faktor genetik seseorang. Peningkatan aktivitas fisik lebih berhubungan secara nyata dengan lingkar perut daripada IMT. Williams dan Satariano (2005) menemukan bahwa lingkar perut menurun secara signifikan dengan lari pada semua umur, namun penurunan lebih nyata pada perempuan yang lebih tua daripada yang lebih muda, khususnya pelari jarak pendek. Latihan tingkat berat dapat menghindarkan penumpukan lemak yang bertambah seiring dengan umur. Intervensi latihan (exercise) intensif tingkat moderat selama 12 bulan secara nyata merubah berat tubuh, lemak tubuh total, dan lemak perut. Exercise berperan pada penurunan lemak tubuh khususnya lemak perut (Irwin et al. 2003). Latihan sedang sampai berat selama 12 bulan menurunkan berat tubuh rata-rata pada perempuan 1.4 kg dan kontrol 0.7 kg, pada laki-laki 1.8 kg dan 0.1 kg pada kontrol. Exercise dapat menurunkan obesitas sentral dengan durasi 370 menit/minggu pada laki-laki dan 295 menit/minggu pada perempuan. Aktivitas

(11)

fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan obesitas (McTiernan et al. 2007).

Menurut Koh-Banerjee et al. (2003), aktivitas fisik berat lebih dari 0.5 jam/hari menurunkan 0.91 cm lingkar perut. Aktivitas fisik menurunkan obesitas sentral melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi jaringan adiposa. Jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi (WHO 2000). WHO (2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30 menit.

Perilaku Konsumsi Makanan/minuman

Perilaku konsumsi makanan/minuman adalah kebiasaan seseorang dalam mengonsumsi makanan/minuman. Dalam penelitian ini perilaku konsumsi meliputi konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi makanan/minuman manis, dan konsumsi makanan berlemak.

Konsumsi minuman beralkohol

Penelitian yang dilakukan oleh Dorn et al. (2003) terhadap 2343 orang dewasa berumur 35-74 tahun di New York menemukan hubungan antara konsumsi minuman beralkohol dengan distribusi lemak tubuh sentral. Lebih lanjut Dorn et al (2003) menyatakan bahwa konsumsi minuman beralkohol secara berlanjut dapat meningkatkan lemak abdominal (lemak perut) sebagai risiko untuk penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Demikian halnya dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan positif antara konsumsi minuman beralkohol dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004; Panagiotakos et al. 2004). Sebaliknya, Tolstrup et al. (2008) menemukan hubungan negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan 5 tahun peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak berhubungan. Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa konsumsi minuman beralkohol tidak berhubungan dengan peningkatan lingkar perut setelah 9 tahun. Penelitian kohort terhadap laki-laki berumur 70 tahun menunjukkan bahwa asupan minuman beralkohol berhubungan positif dengan lingkar perut. Berdasarkan hubungan antara jumlah minum/minggu dengan lingkar perut, setiap tambahan minum/minggu meningkatkan lingkar perut 0.12 cm. Berdasarkan diet tujuh hari, asupan minuman beralkohol berhubungan positif dengan lingkar perut. Tingginya asupan liquor berhubungan dengan peningkatan

(12)

lingkar perut, sebaliknya pada beer dan wine tidak berhubungan (Riserus&Ingelsson 2007).

Laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah minuman beralkohol memiliki lingkar perut yang lebih besar setelah 10 tahun. Terdapat perbedaan hubungan antara tipe minuman beralkohol dengan lingkar perut. Konsumsi beer meningkatkan lingkar perut pada laki-laki dan perempuan setelah 10 tahun. Adapun konsumsi wine pada laki-laki berfluktuasi, sedangkan pada perempuan tidak berhubungan. Namun, terdapat kecenderungan rendahnya lingkar perut pada laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah besar wine setelah 10 tahun. Spirit meningkatkan risiko obesitas pada laki-laki dan perempuan (Vadstrup et al. 2003). Bobak et al. (2003) menemukan bahwa asupan beer berhubungan positif dengan obesitas sentral pada laki-laki dan negatif pada perempuan. Efek beer kuat pada laki-laki yang bukan perokok daripada laki-laki perokok.

Mekanisme hubungan antara tingginya asupan minuman beralkohol dengan simpanan lemak perut tidak begitu jelas, kemungkinan karena minuman beralkohol menyediakan sejumlah energi (6-10% asupan energi). Jika tingginya asupan minuman beralkohol berhubungan dengan tingginya asupan energi, asupan minuman beralkohol juga berhubungan dengan IMT (Riserus&Ingelsson 2007). WHO (2000) menyatakan bahwa satu gram minuman beralkohol dapat menyumbangkan energi sebesar 7 kilokalori. Sumbangan energi ini lebih besar dibandingkan dengan karbohidrat dan protein.

Tingginya asupan minuman beralkohol, tidak konsisten berhubungan dengan IMT. Mungkin, minuman beralkohol berhubungan dengan obesitas sentral melalui mekanisme non energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testoteron pada laki-laki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi lemak visceral (Riserus&Ingelsson 2007).

Konsumsi Sayuran dan Buah

Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat tubuh. Penelitian kohort menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah

(13)

dengan risiko obesitas. Perempuan yang mengonsumsi buah lebih tinggi dapat menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75). Perempuan dengan asupan sayuran lebih tinggi menurunkan 16% risiko obesitas dibandingkan dengan yang lebih rendah (OR=0.84). Penurunan asupan sayuran atau buah berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama 12 tahun. Peningkatan asupan sayuran dan buah berhubungan nyata dengan rendahnya risiko obesitas pada perempuan. Konsumsi sayuran dan buah adalah bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al. 2004).

Epstein et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran dan buah. Peningkatan konsumsi karbohidrat dan serat dapat meningkatkan rasa kenyang, menurunkan asupan energi, dan asupan lemak. Kontribusi utama dalam mengontrol berat badan adalah menurunkan asupan energi dan pembatasan diet. Peningkatan asupan serat 12 gram/hari berhubungan dengan penurunan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun (Koh-Banerjee et al. 2003). Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000).

Peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak. Peningkatan konsumsi buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih mudah dimakan sebagai snack atau dessert, sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan dibandingkan dengan jus buah. Buah mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004).

Konsumsi Makanan/minuman Manis

Makanan manis meningkatkan berat tubuh dan lingkar perut. Hubungan ini diduga karena kombinasi antara makanan berlemak dengan makanan manis. Makanan manis seringkali kaya lemak (Drapeau et al. 2004). Diet fruktosa berkontribusi pada peningkatan asupan energi dan berat badan. Minuman manis berenergi meningkatkan asupan energi yang berlebihan. Peningkatan konsumsi HFCS (high fructosa corn syrup) berhubungan dengan epidemi obesitas. HFCS biasa digunakan pada makanan produk bakeri, minuman kaleng, jam dan jelly.

(14)

HFCS dan peningkatan asupan soft drink dan minuman manis lain berperan pada peningkatan total energi dan konsumsi fruktosa yang berkontribusi pada epidemi obesitas (Bray et al. 2004).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa urbanisasi pada negara berkembang kuat hubungannya dengan peningkatan konsumsi makanan manis. Mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek rasa lezat makanan manis dan efek lemahnya rasa kenyang. Beberapa penelitian cross sectional menemukan bahwa tingginya asupan makanan manis berhubungan negatif dengan asupan makanan berlemak, sehingga dapat memproteksi obesitas. Hal ini diduga karena terdapatnya counfounding seperti umur dan aktivitas fisik.

Review yang dilakukan oleh Malik et al. (2006) menunjukkan bahwa pada beberapa penelitian cross sectional terdapat hubungan positif, negatif atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dan kelebihan berat badan atau obesitas. Demikian halnya pada penelitian kohort, juga ditemukan hubungan positif, negatif atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dengan obesitas. Terdapatnya hubungan antara konsumsi makanan manis dengan obesitas diduga karena kontribusinya terhadap total energi. Minuman manis berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi. Konsumsi makanan berlemak

Penelitian yang dilakukan oleh Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap 33542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan gorengan (food fried) berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi. Huot et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak berhubungan dengan obesitas pada laki-laki, namun tidak pada perempuan. Konsumsi makanan berlemak dapat meningkatkan lingkar perut dan berat tubuh (Drapeau et al 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Garaulet et al (2001) terhadap 85 sampel obesitas tingkat 1 dan tingkat 2 berumur 30-70 tahun menunjukkan bahwa konsumsi makanan berlemak merupakan faktor yang berhubungan dengan obesitas sentral.

(15)

Asupan lemak memiliki densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi makro lain. Satu gram lemak menyumbang 9 kilokalori. Efek stimulasi makanan berlemak pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika mengonsumsi makanan berlemak. Makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah pada waktu seseorang mengonsumsi makanan berlemak (WHO 2000).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) menunjukkan bahwa perubahan pola diet berhubungan dengan transisi zat gizi yang secara langsung berhubungan dengan obesitas. Di China, terdapat hubungan paralel antara perkembangan ekonomi, peningkatan konsumsi lemak, dan obesitas. Mekanisme fisiologi yang menjelaskan mengapa konsumsi makanan lemak berperan dalam peningkatan lemak tubuh adalah densitas energi yang tinggi, rasa lezat makanan berlemak, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, dan lemahnya regulasi fisiologi asupan lemak terhadap asupan karbohidrat.

Stres

Lee et al. (2005) menemukan bahwa depresi berhubungan dengan lemak pusat (visceral fat) pada perempuan premenopause yang mengalami kegemukan. Depresi berhubungan pada peningkatan jangka panjang BWV (Body Weight Variability) dan tidak berhubungan dengan level IMT atau trend IMT. Terdapat hubungan positif yang kuat antara jenis kelamin perempuan dengan BWV. Hal ini menjelaskan hubungan nyata antara perempuan dengan depresi (Hasler et al. 2005). Roberts et al. (2003) menemukan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan depresi setelah 5 tahun. Depresi dapat menyebabkan peningkatan IMT dan sekresi kortisol (Roberts et al. 2007).

Roemmich et al. (2007) menemukan bahwa reaktivitas stres mengawali penyakit kardiovaskuler sebelum remaja oleh peningkatan total dan obesitas sentral pada anak. Anak dengan peningkatan reaktivitas heart rate pada waktu stres memilki peningkatan lemak tubuh, IMT, dan lemak pusat. Katz et al. (2000) menemukan bahwa depresi konsisten berhubungan dengan obesitas dan obesitas sentral. Level metabolit kortisol meningkat pada laki-laki depresi, tetapi tidak berhubungan dengan adiposa. Obesitas sentral pada laki-laki berhubungan dengan peningkatan respon pituitari-adrenal ke CRH (Corticotrophin-Releasing Hormone) dan hal ini berhubungan dengan depresi. Namun, pada perempuan postmenopause tidak berhubungan.

(16)

KERANGKA PEMIKIRAN

Obesitas sentral adalah salah satu jenis obesitas yang banyak dialami orang dewasa, baik di negara maju maupun negara berkembang. Obesitas sentral terjadi akibat kelebihan akumulasi lemak pada daerah perut. Peningkatan kejadian obesitas sentral berimplikasi pada peningkatan berbagai macam penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskuler, hipertensi, dislipidemia, diabetes tipe 2, batu empedu, dan beberapa jenis kanker (WHO 2000).

Terdapat banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya obesitas sentral, antara lain karakteristik demografi dan sosial-ekonomi serta gaya-hidup. Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi meliputi umur, jenis kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe wilayah. Kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang; makin bertambah umur, semakin meningkat kandungan lemak tubuh total seseorang, terutama distribusi lemak pusatnya. Peningkatan umur pun menyebabkan penurunan massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon sehingga dapat memicu penumpukan lemak perut.

Jenis kelamin juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena kelebihan lemak pusat lebih banyak terdapat pada perempuan.

Status kawin berhubungan pula dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menunjukkan, hubungan nyata positif antara status kawin dengan kejadian obesitas sentral. Seseorang yang menikah akan cenderung menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian diri dapat memengaruhi gaya hidup dan pola makannya.

Besar keluarga pun berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral. Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil cenderung lebih berisiko mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan yang memiliki anggota keluarga besar. Seseorang dengan anggota keluarga kecil cenderung memiliki ketersediaan pangan lebih banyak daripada seseorang dengan anggota keluarga besar.

Pendidikan juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Pendidikan yang rendah dapat meningkatkan risiko obesitas sentral. Pendidikan dapat memengaruhi kepercayaan seseorang mengenai kebiasaan makan. Di samping itu, pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian berpikir

(17)

seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah menyerap informasi mengenai pesan kesehatan daripada seseorang yang berpendidikan lebih rendah.

Perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan berhubungan pula dengan terjadinya obesitas sentral. Hal tersebut karena pada beberapa jenis pekerjaan tertentu tidak membutuhkan aktivitas fisik yang cukup sehingga terjadi penumpukan kelebihan energi dalam tubuh. Begitu pun dengan peningkatan pengeluaran per kapita, ini juga berhubungan dengan peningkatan kejadian obesitas sentral. Hal itu terkait dengan kemudahan dalam memanfaatkan akses dan penggunaan fasilitas modern yang membuat rendahnya aktivitas fisik seseorang. Seseorang yang berpendapatan tinggi sering membelanjakan pendapatannya tersebut untuk mengonsumsi pangan berenergi tinggi.

Tipe wilayah pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami orang yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Arus urbanisasi menyebabkan gaya hidup seseorang berubah tidak baik, seperti kebiasaan merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, mengonsumsi sedikit sayuran dan buah, serta mengonsumsi banyak makanan/minuman manis dan berlemak. Kemudahan akses di perkotaan menyebabkan seseorang cenderung kurang melakukan aktivitas fisik.

Selain berhubungan dengan terjadinya obesitas sentral, karakteristik demografi dan sosial-ekonomi juga berhubungan dengan perubahan gaya hidup yang tidak baik, seperti kebiasaan merokok; rendahnya aktivitas fisik; tingginya konsumsi minuman beralkohol, makanan/minuman manis, makanan berlemak; rendahnya konsumsi sayuran dan buah;serta kondisi mental emosional. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis hubungan antara karakteristik demografi dan sosial-ekonomi dengan gaya-hidup.

Kebiasaan merokok berhubungan dengan peningkatan terjadinya obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang berhenti merokok cenderung mengalami obesitas sentral daripada yang merokok dan tidak merokok. Hal itu diduga karena meningkatnya asupan energi disertai dengan menurunnya pengeluaran energi dan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein). Beberapa penelitian menemukan, penurunan aktivitas fisik berhubungan langsung dengan

(18)

peningkatan kejadian obesitas sentral. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terjadinya penimbunan lemak akibat kelebihan asupan energi.

Konsumsi makanan/minuman berhubungan dengan terjadinya obesitas sentral. Konsumsi banyak minuman beralkohol berhubungan pula dengan peningkatan terjadinya obesitas sentral. Di samping memiliki kontribusi energi yang tinggi, konsumsi minuman beralkohol dapat mengubah hormon yang dapat menyebabkan penumpukan lemak pada daerah perut. Rendahnya konsumsi sayuran dan buah serta tingginya konsumsi makanan/minuman manis dan berlemak pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan, rendahnya konsumsi sayuran dan buah dapat mengakibatkan risiko obesitas sentral. Demikian halnya dengan konsumsi makanan/minuman manis dan makanan berlemak yang berlebihan, juga dapat memberikan kontribusi energi yang dapat disimpan sebagai lemak dalam tubuh sehingga meningkatkan risiko obesitas sentral.

Tekanan hidup dapat menyebabkan kondisi mental emosional terganggu. Hal ini berdampak pada peningkatan kejadian obesitas sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang mengalami depresi dapat menyebabkan lingkar perutnya meningkat. Selain itu, seseorang yang depresi cenderung memiliki pola hidup yang tidak baik, seperti mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan mengonsumsi makanan berlemak tinggi yang dapat meningkatkan terjadinya obesitas sentral.

(19)

Keterangan:

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral

: hubungan yang diteliti

;

: hubungan yang tidak diteliti Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi - Umur - Jenis kelamin - Status kawin - Besar keluarga - Pendidikan - Pekerjaan

- Pengeluaran per kapita - Tipe wilayah Gaya Hidup - Kebiasaan merokok - Aktivitas fisik - Perilaku konsumsi (minuman beralkohol, sayuran dan buah, makanan/minuman manis dan makanan berlemak) - Kondisi mental emosional Obesitas Sentral Pria, LP >90 cm Wanita, LP >80 cm

Gambar

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan  kejadian obesitas sentral

Referensi

Dokumen terkait

Part ini berfungsi sebagai keluaran beras.dan juga berfungsi untuk menopang part-part seperti set katup dan dudukan katup. Yang dijadikan tumpuan pada part ini adalah

Hal ini terbukti bahwa titer antibodi ikan pada hari ke-14 yang dipelihara pada suhu 28º C adalah lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada suhu 20 dan

Offce Boy 1 Computer Operator 3 Computer Technician Assistan OM Book Kepper 1 Billingual Secretary Secretary Computer Operator 2 Book Kepper 2.. BREAKDOWN OF REIMBURSABLE

Misalnya hifz al-mâl (memelihara harta) dalam tingkatan dharuriyat jika dikaitkan dengan hukum kehalalan bunga bank adalah bagi nasabah deposito maka uang yang

Pada tahap awal dilakukan wawancara singkat berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi, kemudian pada subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Dalam Penulisan Laporan Kerja Praktek ini membahas tentang Analisis Akuntansi Penyusutan Aktiva Tetap Pada PT ( Persero ) Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok Jakarta,

Namun, apabila hasil pemeriksaan reagen pertama adalah negatif, maka tidak perlu dilanjutkan dengan reagen kedua dan sampel dinyatakan sebagai sampel non