• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KAWASAN DAN KEPARIWISATAAN SITUS KOMPLEKS PERCANDIAN BUMIAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN KAWASAN DAN KEPARIWISATAAN SITUS KOMPLEKS PERCANDIAN BUMIAYU"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

73

1. Pengantar

Sumatra yang dikenal dengan kerajaan Śrīwijaya-nya telah banyak mewarisi tinggalan-tinggalan budayanya yang bersifat Buddha. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa berkembangnya kerajan Śrīwijaya ini juga ditemukan tinggalan-tinggalan budaya yang bercirikan Hindu. Seperti misalnya tinggalan budaya masa lampau yang ditemukan di Desa Bumiayu (Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan) hingga saat ini telah ditemukan sekurang-kurangnya sebelas gundukan tanah yang di dalamnya terkandung runtuhan bangunan bata.

Keberadaan situs ini pertama kali telah dilaporkan oleh E.P. Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de bovenlanden van Palembang. Dalam kunjungannya ke Lematang Ulu telah dilaporkan adanya peninggalan-peninggalan Hindu berupa arca dari trasit berjumlah 26 buah, di antaranya berupa arca nandi. Sedang di Lematang Ilir ditemukan runtuhan candi dekat Dusun

Tanah Abang, dan sebuah relief burung kakaktua yang sekarang disimpan di Museum Nasional (Satari 2001). Selanjutnya tinggalan arkeologi dari situs tersebut telah dilaporkan oleh seorang kontrolir Belanda bernama A.J. Knaap (Brandes 1904; Knaap 1904). Dikatakan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah runtuhan bangunan bata setinggi 1,75 meter, dan dari informasi yang diperolehnya bahwa reruntuhan tersebut merupakan bekas keraton Gedebong-Undang.

FDK Bosch (1930: 133-157) di dalam Oudheidkundig Verslag menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan makhluk gana dari terakota, sebuah kemuncak bangunan seperti liŋga, antefiks, dan sebuah arca tanpa kepala. Pada tahun 1936 F.M. Schnitger telah menemukan tiga buah reruntuhan bangunan bata yang sudah rusak, arca Śiwa, dua buah kepala kāla, pecahan arca singa dan sejumlah bata berhias burung. Artefak-artefak yang dibawa Schnitger (1937) itu kini disimpan di Museum Taman Purbakala Kerajaan Śrīwijaya, Palembang. Bambang Budi Utomo

Abstrak. Situs Kompleks Percandian Bumiayu yang terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah

Abang, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. Kompleks Percandian bercirikan agama Hindu ini yang sangat luas tidak mungkin diteliti tanpa perencanaan penelitian yang matang. Selain itu Pemanfaatan Situs Bumiayu untuk kepentingan agama, sosial, parawisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan harus mengikuti kaidah-kaidah dan rambu-rambu yang berlaku.

Kata Kunci: Kompleks Percandian Bumiayu, bangunan suci agama Hindu, pemanfaatan situs, Abstract. Bumiayu Temple Complex Site is located at Bumiayu Village, Tanah Abang District,

Muara Enim Regency, South Sumatra. The very vast temple complex with Hindu characteristics is impossible to be investigated without careful research plan. Furthermore, utilization of Bumiayu site for religious, social, tourism, education, science, technology, and cultural purposes must comply with proper rules and guidelines

Keywords: Bumiayu Temple Complex, Hindu temple, site utilization

(2)

74

Pekerjaan para ahli arkeologi pada masa pemerintahan Belanda itu, tidak lebih dari mengumpulkan artefak yang ditemukan di Situs Bumiayu. Melalui artefak yang ditemukan itu, yang tentunya sudah lepas dari konteksnya, para arkeolog tersebut membuat kajian yang lebih mengarah pada kajian gaya seni. Sementara itu, kajian mengenai arsitektur bangunan, lingkungan masa lampau, hubungan permukiman dan candi belum pernah dilakukan.

Sejak dilakukannya penelitian arkeologi di Situs Bumiayu pada tahun 1991 dan dilanjutkan dengan penelitian serta pemugaran, banyak fihak yang merasa berkompeten menangani Situs Bumiayu. Berbagai kegiatan baik yang menyangkut penelitian, penyelamatan, pemugaran, maupun pengembangan kawasan untuk tujuan pembangunan sarana kepariwisataan telah dilakukan di Desa Bumiayu. Memang, semuanya mempunyai tujuan baik yang maksudnya tidak merusak. Padahal, semua kegiatan tersebut pada hakekatnya merusak situs, baik secara langsung maupun tidak langsung, sekalipun penelitian arkeologi.

Kompleks Percandian Bumiayu yang menempati areal sekitar 15 hektar dikelilingi oleh parit. Pada areal itu terdapat sekurang-kurangnya 11 buah runtuhan bangunan. Untuk areal situs seluas ini, penelitian arkeologi yang sistematis tidak mungkin dilakukan dalam waktu yang singkat. Apalagi tidak ditunjang dengan dana yang memadai. Karena itulah, dalam usaha melakukan penelitian di Situs Bumiayu harus dilakukan suatu perencanaan penelitian yang matang dan terencana dengan baik.

Benda/Struktur Cagar Budaya (bangunan candi di Situs Bumiayu) yang telah dan sedang diteliti dapat saja dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan. Berdasarkan ketentuan ini, sah-sah saja apabila Pemerintah Kabupaten Muara Enim berencana melakukan pemanfaatan Situs Bumiayu untuk keperluan wisata yang tentunya harus mengikuti kaidah-kaidah dan rambu-rambu yang berlaku.

2. Kedudukan Situs Bumiayu

Di dalam Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1, butir 5 disebutkan: “Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu”. Dalam penjabaran tentang berbagai sifat situs, perlu dikemukakan empat hal yang dianggap penting, yaitu situs sebagai sumber daya yang terbatas (finite), tidak terbaharui (non renewable), tidak dapat dipindahkan (non moveble), dan mudah rapuh (vulnerable/ fragile).

Sebelum meningkat kepada pembicaraan pemanfaatan situs, marilah kita menempatkan kedudukan situs-situs di Bumiayu sebagai sumber daya dilihat dari temuannya. Untuk itu dapat kita lihat kedudukannya dalam peringkat yang menitik beratkan pada jenis temuan pada situs itu, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hari Untoro Dradjat, dalam diagram berikut ini.

Unit terkecil dari sebuah situs adalah artefak dan konteks, atau artefak dengan ekofak. Selanjutnya unit yang lebih besar berupa fitur --yang dapat berbentuk struktur, seperti sumur dan post hole-- dan kemudian di atas peringkat fitur yang disebut komponen. Unit di atasnya merupakan komponen-komponen lengkap yang disebut monumen, misalnya candi, mesjid, gereja, dan benteng. Monumen dapat dibagi menjadi dua, yaitu kelompok monumen,

CONTEXT ARTEFACT MONUMENT FEATURE COMPONEN T ECOFACT CLUSTER GROUP CULTURE RELICT

ARKENAS

(3)

75 misalnya kompleks Candi Prambanan dengan

candi perwaranya, dan cluster, misalnya sebuah situs yang terdiri dari berbagai kelompok bangunan (Situs Banten Lama). Peringkat yang teratas disebut culture relict, yaitu situs yang dianggap telah mewakili suatu kebudayaan tertentu, misalnya Situs Śrīwijaya dan Situs Majapahit.

Untuk melihat kedudukan situs-situs di Bumiayu, marilah kita lihat dan deskripsikan beberapa runtuhan bangunan yang bentuk fisiknya telah berhasil ditampakkan melalui beberapa penelitian arkeologi dan beberapa di antaranya telah selesai dipugar.

Kepurbakalaan

Situs Kompleks Percandian Bumiayu yang luasnya sekitar 15 hektar (lokasi yang dibatasi oleh parit keliling) hingga penelitian tahun 2002 terdiri dari 11 buah gundukan tanah. Beberapa gundukan tanah di antaranya telah dibuka dan berhasil ditampakan (runtuhan) bangunan yang dibuat dari bahan bata. Dari bangunan-bangunan yang telah dibuka tersebut, ada yang jelas menunjukan bentuk bangunan sakral dan ada pula yang menunjukan bangunan profan. Dengan demikian, tidak semua gundukan tanah yang ditemukan di Situs Percandian Bumiayu merupakan runtuhan bangunan sakral yang dalam hal ini dikatakan bangunan candi. Namun, untuk memudahkan inventarisasi gundukan tanah, dalam penamaannya disebut dengan nama “candi”. Penomoran di bagian belakang kata “candi” diurutkan berdasarkan urutan penemuannya dan ditempatkan di dalam Peta Situasi Kompleks Percandian Bumiayu.

Bangunan-bangunan candi yang ditemukan di Desa Bumiayu hanya Candi 1 terletak di tengah desa, sedangkan (runtuhan) bangunan lainnya ditemukan di tepi desa dan di tengah kebun karet penduduk. Empat buah bangunan telah selesai dipugar dan diberi cungkup (Candi 1, Candi 2, Candi 3, dan Candi 8)1

1 Nama-nama candi ini diurut menurut penomoran ditemukannya Candi 4-Candi 7 sebetulnya merupakan runtuhan bangunan bata (belum tentu merupakan runtuhan bangunan candi), bahkan Candi 7 merupakan tembok pagar

Candi 1

Bangunan Candi 1 diduga dibangun sekurang-kurangnya melalui dua tahap pembangunan. Tahapan pembangunan ini menunjukan adanya usaha perluasan. Bangunan Candi 1 yang dibangun pada tahap awal terletak di bagian dalam bangunan yang kedua. Bentuk denahnya bujursangkar dengan ukuran 5,2 x 5.5 meter dan tinggi yang masih tersisa 1,6 meter pada sisi barat. Bagian penampil sudah tertutup tanah atau bata untuk perluasan bangunan. Demikian juga hiasan yang terdapat pada bagian dinding kaki bangunan. Di bagian tengah terdapat sumuran yang di bagian dalamnya ditemukan peripih dari batu putih. Bentuknya bujursangkar dengan ukuran 40 x 40 cm. dibagi dalam 9 kotak yang juga bentuknya bujursangkar.

Dinding bangunan yang dibangun pada tahap pertama memiliki profil yang merupakan gabungan antara pelipit kumuda, gala, padma, dan diakhiri dengan bidang datar sebagai kaki bangunan. Bagian kaki ini diwakili oleh 11 lapis bata, lapis ke-12 dibuat sedikit masuk ke dalam dan merupakan pelipit tegak, lapis ke-13 dan ke-14 dibentuk menjadi pelipit padma, di bagian atasnya (lapis ke-15-17) dibentuk menjadi pelipit gala yang langsung berhubungan dengan pelipit kumuda pada lapis ke-18 dan ke-19. Di bagian atas lapis ke-19 dinding bangunan tahap pertama umumnya ditemukan rata tanpa profil. Pelipit-pelipit ini dibentuk dengan cara pemahatan, bukan dengan cara menyusun bata-bata yang telah dicetak atau dibentuk lebih dahulu untuk keperluan itu.

yang merupakan bagian dari Candi 1.

(4)

76

Bangunan Tahap 2 denah dasarnya berukuran 10,4 x 11 meter. Pada sisi utara, barat, dan selatan terdapat penampil yang bentuk dan ukurannya sama, yaitu 1,9 x 4,4 meter. Penampil ini tidak mempunyai undak-undakan sehingga tidak dapat dikatakan penampil tangga naik. Penampil tangga naik terletak di sisi timur dengan ukuran lebar ber-jenjang 7,6 meter, 4,8 meter, dan 2,6 meter. Panjang penampil ini 4,6 meter ke arah timur dari dinding sisi timur. Pada masing-masing sudut denah dasar terdapat dinding tambahan yang mungkin dipakai untuk meletakan arca.

Di bagian depan dari penampil timur terdapat bangunan tambahan yang bentuknya seperti teras. Bangunan tambahan ini berhubungan dengan tangga naik yang terbawah berukuran 2,1 x 2,2 meter, dan tinggi dari permukaan tanah sekitar 30 cm. Di bagian depan dari bangunan ini juga terdapat bangunan yang sama dengan ukuran tinggi 40 cm, berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 1,55 x 1,62 meter.

Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Knaap, di Situs Bumiayu ditemukan arca Śiwa dan liŋga. Namun, sebelum dilakukan pengupasan arca-arca yang telah ditemukan itu tidak diketahui di mana disimpannya. Pada waktu dilakukan pengupasan awal tahun 1990-an ditemuk1990-an enam buah arca. Tiga buah di antaranya dapat diidentifikasikan kembali. Arca yang dapat diidentifikasikan itu adalah arca Śiwa Mahādewa, arca Agastya, dan arca nandi.

Candi 2

Bangunan Candi 2 terletak sekitar 280 meter menuju arah baratlaut Candi 1, di tepi sebelah utara Jl. Pramuka Desa Bumiayu. Pada awalnya ditemukan, runtuhan bangunan ini berupa gundukan tanah setinggi 1,5 meter dari permukaan tanah sekitarnya. Pada permukaannya ditumbuhi semak belukar yang cukup lebat, dan di sekitarnya terdapat beberapa batang pohon karet. Di antara semak belukar terdapat bata lepas yang berserakan.

Bangunan Candi 2 denahnya berbentuk empat persegi panjang (termasuk penampil di timur) dengan ukuran 9,91 x 12,74 meter

dan tinggi lebih dari 1,0 meter (ketinggiannya tidak sama). Denah dasarnya berbentuk bujursangkar dengan ukuran 9,52 x 9,91 meter. Penampil yang tidak terlalu menonjol terdapat di sisi utara (menjorok 40 cm), selatan (menjorok 44 cm), dan barat (menjorok 30 cm), dengan ukuran lebar 4,90 meter.

Bangunan penampil tempat tangga naik terletak di sisi timur menjorok 3,22 meter dari denah sisi timur. Berbeda dengan umumnya bangunan candi di mana tangga naik terletak satu arah, namun pada Candi 2 tangga naik terletak pada bangunan penampil timur di sisi utara dan selatan dengan ukuran lebar sekitar 1 meter. Pada sisi timur bangunan penampil tidak terdapat tangga naik. Pipi tangga hanya terdapat pada satu sisi, yaitu pada sisi sebelah timur tangga naik. Bentuk tangga naik semacam ini ditemukan pada salah satu bangunan Kompleks Percandian Padanglawas (Sumatra Utara) pada kelompok bangunan Bahal 2.

Di bagian depan, di sisi timur pada jarak 3 meter dari dinding bangunan sisi timur, terdapat empat buah bangunan semacam altar yang dibuat dari bata. Bangunan ini denahnya berbentuk bujursangkar dengan ukuran 67 x 76 cm dan tinggi sekitar 1 meter. Dinding keempat bangunan ini polos tanpa hiasan.

Candi 3

Dari lokasi bangunan Candi 2, pada jarak sekitar 280 meter menuju arah baratdaya terdapat bangunan Candi 3. Pada awal ditemukannya, bangunan ini berupa gundukan tanah yang permukaannya ditumbuhi semak belukar. Di sekitarnya terdapat kebun karet

(5)

77 penduduk dengan kerapatan pohonnya relatif

tinggi. Selain kebun karet, terdapat pula kebun limau (jeruk) dan kebun jambu yang sudah tidak terawat lagi.

Pada awal ditemukannya, di atas gundukan tanah Candi 3 ditemukan lubang galian liar dengan ukuran 2 x 2 meter dan kedalamannya sekitar 2 meter. Pada dinding lubang gali tampak susunan bata sejumlah lebih dari 5 lapis sampai kedalaman 1,75 meter dari permukaan tanah. Di antara runtuhan bata ditemukan sebuah fragmen kepala arca yang menggambarkan muka raksasa.

Berbeda dengan candi-candi pada umumnya, Candi 3 terdiri atas candi induk dan tiga candi perwara yang letaknya terpencar di utara, timur, dan selatan. Bangunan induk tangga naiknya terdapat di sisi sebelah timur. Indikator tangga naiknya adalah sebuah denah palang yang dihubungkan dengan sebuah selasar dengan candi induk. Selasar panjang tersebut merupakan sebuah antarala, sedangkan denah palang yang ada di bagian depannya merupakan sebuah gapura utama yang pada kanan kirinya diteruskan dengan tembok keliling. Bagian gapuran ini yang masih tersisa berupa bagian fondasinya saja. Di bagian sisi sebelah dalam, tepat di kaki gapura terdapat sebuah bongkahan terakota yang merupakan bagian dari sebuah bentuk kepala kāla. Hiasan kepala kāla ini diduga berasal dari bagian atas pintu masuk sisi dalam gapura. Jarak antara gapura pintu masuk dengan bangunan induk sekitar 3 meter.

Berbeda dengan bangunan-bangunan candi di Jawa maupun di tempat lain di

Sumatra, pada umumnya apabila seseorang menaiki tangga naik akan langsung menuju ke suatu ruangan candi. Pada Candi 3 keadaan seperti itu tidak ditemukan. Bangunan Candi 3 merupakan bangunan masif yang tidak mempunyai ruangan (bilik). Setelah menaiki tangga naik, orang akan menuju dinding bangunan yang masif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa antara struktur candi induk dengan struktur pintu masuk tersebut ternyata tidak menyatu. Meskipun demikian, apabila dilihat dari struktur fondasinya ternyata antara fondasi candi induk dengan fondasi pintu masuk tersebut ternyata merupakan satu kesatuan.

Gambaran denah yang dapat diidentifikasikan setelah proses pemugaran adalah sebagai berikut: Bangunan induk merupakan sebuah bangunan masif yang berdiri di atas lapik yang berdenah bujursangkar dengan ukuran 13,85 x 13,94 meter. Di sebelah utara, timur, selatan, dan barat terdapat bangunan penampil yang berukuran 1,8 x 6,8 meter (sisi utara), 1,8 x 8,45 meter (sisi timur), 1,8 x 6,8 meter (sisi selatan), dan 1,8 x 6,8 meter (sisi barat). Penampil yang terdapat di sisi timur merupakan penampil tangga naik yang semakin ke timur menjadi mengecil dengan ukuran 1,5 x 4,6 meter dan 4,0 x 3,0 meter. Tubuh bangunan berdenah segi delapan dengan sisi-sisinya berukuran (dari utara searah jarum jam) 4,6 meter 4,2 meter 4,3 meter 4,6 meter 4,0 meter 4,6 meter 4,6 meter 4,0 meter. Tinggi badan bangunan yang masih tersisa setebal 24 lapis bata yang ukurannya sekitar 1,20 meter.

Secara keseluruhan hiasan yang terdapat di Candi 3 khususnya hiasan bagian badan tampaknya tidak banyak berbeda dengan yang terdapat pada Candi 1. Sejumlah sulur gantung dengan relief burung kakaktua banyak ditemukan dan ini tampaknya merupakan hiasan yang ditempatkan pada bagian pelipit di antara “atap” dan tubuh candi.

Dibandingkan dengan Candi 1, yang paling menarik dari Candi 3 adalah ditemukannya sejumlah relief berbentuk kepala ular yang rata-rata menggambarkan bentuk ular kobra serta kera. Karena

(6)

78

relief tersebut ditemukan dalam kondisi telah runtuh, maka kita hanya dapat menduga bahwa relief hewan tersebut mungkin dulunya merupakan hiasan sejumlah relief yang ditemukan di sekitar runtuhan candi.

Dari runtuhan bangunan Candi 3 ditemukan beberapa buah fragmen arca yang pemeriannya adalah sebagai berikut:

a. Fragmen kepala arca yang raut mukanya menggambarkan ugra (marah) dengan mata membelalak. Bagian mulut dan hidungnya telah rusak. Dari mulut yang mengaga tampak taring. Digambarkan memakai jatāmakuta dengan hiasan candrakapala.

b. Di halaman Candi 3 ditemukan sebuah bentuk torso perempuan. Torso ini digambarkan memakai upawīta berupa rangkaian tengkorak manusia yang melintang dari bahu kiri ke bagian perut. Bagian dadanya digambarkan menonjol. Tangan kakannya telah patah dan yang masih tersisa hanya bagian ibujari. Kelat bahu tangan kiri berupa tengkorak manusia yang diuntai dengan manik-manik. Ukuran torso yang masih tersisa adalah tinggi 44 cm, lebar 48,5 cm, dan tebal 42 cm.

c. Arca perempuan yang telah pecah menjadi beberapa bagian. Bentuknya mirip dengan arca torso perempuan, hanya pada bagian badannya diberi goresan garis-garis yang berkelok-kelok sejajar yang mungkin dimaksudkan penggambaran rambut. Tangan kirinya digambarkan memegang seekor ular.

d. Arca-arca singa dalam berbagai sikap dan bentuk. Salah satu di antaranya digambarkan duduk dengan kaki kanan depan mencengkeram seekor ular. Di bagian bawah badan singa terdapat seekor kura-kura. Singa lainnya digambarkan berdiri di atas keempat kakinya.

e. Kepala-kepala kecil dengan wajah yang menyerupai topeng. Salah satu di antaranya ada yang berwajah menyeramkan dengan mata yang membelalak, bertaring, bertanduk, dan memakai perhiasan candrakapala.

f. Arca-arca binatang yang tinggal bagian kepalanya saja, antara lain arca buaya, anjing, dan ular.

Candi 8

Bangunan Candi 8 bentuk denahnya sangat berbeda dengan bangunan candi lain yang ada di kompleks percandian Bumiayu. Pada candi lain mempunyai tangga naik yang umumnya ditemukan di sisi timur, namun pada bangunan Candi 8 indikator tangga naik tidak ditemukan. Bentuk denahnya empat persegi panjang tanpa penampil dengan ukuran 6 x 15 meter. Di bagian atas dua lapis bata yang terakhir, terdapat sebuah profil bingkai mistar dan pada lapisan yang keempat, hampir seluruhnya diisi dengan relief bunga-bungaan. Di atas relief tersebut terdapat tiga susun bata yang membentuk bingkai polos selanjutnya diteruskan dengan bingkai sisi genta. Di bagian atas bingkai sisi genta itu diteruskan dengan bingkai mistar masuk ke dalam selanjutnya berkembang menjadi lantai bagian atas. Dilihat dari bentuknya yang sangat sederhana tersebut, timbul suatu kesan bahwa bangunan Candi 8 bukanlah bangunan candi (sakral) melainkan bangunan mandapa atau mungkin juga bangunan profan.

Secara keseluruhan hiasan bangunan Candi 8 hanya terdiri dari relief bunga dalam bentuk ceplok bunga dan sulur-suluran. Hiasan-hiasan tersebut ditemukan pada bingkai datar 4 lapis di atas fondasi. Secara sepintas memberi kesan bahwa hiasan tersebut merupakan suatu kesatuan. Namun demikian apabila diperhatikan ternyata hiasan-hiasan

(7)

79 itu merupakan penggabungan dari sejumlah

panil yang dilakukan secara acak sehingga tidak simetris. Atas dasar bukti tersebut di atas akhirnya dapat disimpulkan bahwa Candi 8 yang tampak sekarang merupakan bangunan yang telah mengalami perubahan secara total dan bahkan cenderung sangat jauh menyimpang dari desain awalnya. Beberapa panil hiasan bahkan dipasang dalam posisi terbalik dengan bidang hiasan di bagian belakang atau samping, sedangkan bidang polosnya justru diletakkan pada bagian depan. Banyak pula dari hiasan-hiasan itu dipasang di bagian samping. Lebih dari itu, terdapat pula beberapa hiasan yang tampaknya disusun secara tergesa-gesa atau asal pasang sehingga antara bidang yang satu dengan bidang yang lain tidak sesuai. Gejala yang demikian memperlihatkan bahwa bata-bata yang digunakan untuk membangun bangunan ini diambil dari tempat lain atau dari bangunan lain yang telah jadi atau mungkin juga bangunan yang diambil batanya itu telah tidak lagi berfungsi. Apabila hal yang kedua yang terjadi, maka mungkin sekali bahwa perubahan bentuk atau denah bangunan tersebut berlangsungnya jauh dari masa yang kemudian.

3. Pelestarian dan Pariwisata

Dua kata ini mempunyai makna dan akibat yang saling “bertentangan” jika diterapkan dalam obyek benda cagar budaya. Namun dalam makalah ini saya akan mencoba untuk mempertemukannya “di atas kertas”. Pariwisata sering dikaitkan dengan pemanfaatan yang diidentikan dengan pembangunan, sedangkan pelestarian di dalam pengertian yang sempit sering dikonotasikan sebagai penghalang pembangunan.

Pengertian pelestarian di sini dimaksudkan sebagai usaha untuk tidak mengubah atau merubah, serta mengabadikan situs sebagaimana aslinya. Pertanyaannya adalah apakah semua situs harus seluruhnya dilestarikan? Atau hanya sebagian saja yang dianggap penting dan mewakili suatu masa, sehingga situs yang tidak memenuhi ketentuan semacam itu dapat dirusak semaunya? Kalau semuanya dianggap perlu dilestarikan, betapa

banyaknya obyek benda cagar budaya di wilayah Kabupaten Muara Enim, di beberapa tempat di tepian Sungai Lematang. Belum lagi situs-situs yang ada di wilayah hukum Republik Indonesia. Tentu saja tidak perlu seluruhnya. Tergantung dari beberapa ketentuan yang telah digariskan pemerintah serta dana pembangunan yang memadai.

ICOMOS menyebutkan beberapa ketentuan yang mendasar untuk mendukung kelestarian suatu situs, yaitu:

1) Keaslian bahan (authenticity in material) 2) Keaslian design (authenticity in design) 3) Keaslian lingkungan (authenticity in

setting)

4) Keaslian pembuatan (authenticity in workmanship)

Kalau kita tetap berpegangan kepada prinsip-prinsip tersebut, maka tidak ada satu pun yang layak dilestarikan, karena hampir di setiap situs yang ada di Indonesia sudah mengalami perusakan dan bahkan perubahan, tidak terkecuali Situs Percandian Bumiayu. Butir ke-3 menyebutkan keaslian lingkungan. Keadaan lingkungan Situs Bumiayu pada saat ini telah berubah menjadi kebun karet rakyat. Keadaan ini mungkin sangat berbeda jauh dengan keadaan ketika situs tersebut masih berfungsi sebagai “pusat” upacara keagamaan. Keadaan ini belum diketahui karena penelitian yang bertujuan untuk itu belum pernah dilakukan, misalnya penelitian palinologi yang mengambil percontoh polen untuk mengetahui vegetasi yang terdapat di sekitar situs pada pada lampau. Dengan demikian, apabila salah satu atau bila mungkin lebih dari satu alternatif nilai keaslian dapat dipertahankan, agaknya sudah memenuhi prasyarat pelestarian.

Sungguh sulit kiranya untuk merekonstruksi lingkungan situs seperti lingkungan ketika bangunan (suci) tersebut masih berfungsi. Adanya kebun karet rakyat yang mengambil tempat di sekitar situs dapat berfungsi sebagai peneduh, tetapi apabila dekat dengan bangunan candi akar pohon tersebut dapat merusak. Di antara sanctuary area dan kebun karet rakyat terdapat daerah penyangga (apabila diperlukan). Di daerah penyangga ini (Buffer Zone) dapat ditanam tanaman yang

(8)

80

disesuaikan dengan tanaman yang ada di masa lampau. Melalui penelitian palinology dapat diketahui tanaman apa yang pernah tumbuh di sekitar bangunan suci, sehingga dapat ditentukan jenis tanaman yang ditanam di sekitar candi yang sesuai dengan keadaan di masa lampau.

4. Daerah Tujuan Wisata

Salah satu butir dalam lingkup bahasan workshop ini adalah Pengembangan Kawasan dan Kepariwisataan. Untuk maksud ini ada beberapa unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di daerah sekitar Kompleks Percandian Bumiayu yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengembangannya meliputi:

1. Obyek dan daya tarik wisata, 2. Prasarana wisata

3. Sarana wisata

4. Tata laksana/infrastruktur 5. Masyarakat/lingkungan

Apabila kita mengacu pada kelima unsur tersebut, maka untuk pengembangan wisata di Bumiayu sangat berat dan memerlukan dana yang sangat besar. Bertitik tolak dari kelima unsur tersebut, marilah kita melihat Situs Bumiayu sebagai bakal calon daerah tujuan wisata untuk Provinsi Sumatra Selatan dan Kabupaten Muara Enim khususnya.

Daya tarik wisata yang juga disebut obyek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Obyek wisata yang terdapat di Situs Bumiayu adalah runtuhan bangunan (candi) yang dibuat dari bata. Karena obyeknya merupakan bangunan (candi), maka obyek tersebut dapat dimasukan ke dalam kelompok obyek dan daya tarik wisata budaya dan wisata minat khusus (Spillane 1987; Suwantoro 1997) Kedua kelompok tersebut mempunyai ciri khusus/spesifikasi yang bersifat langka, dan mempunyai daya tarik yang tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu obyek buah karya manusia pada masa lampau.

Jenis wisata budaya ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk mempelajari adat istiadat, kelem-bagaan, dan cara hidup rakyat negara lain; untuk mengunjungi monumen bersejarah, tinggalan budaya masa lampau, dan kesenian tradisional setempat. Untuk memenuhi unsur ini, obyek wisata (bangunan candi) perlu dilestarikan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ICOMOS tahun 1990. Sebagai pelengkap, di lokasi obyek wisata dibuat Museum Lapangan (Field Museum) yang memamerkan artefak-artefak yang ditemukan dari kotak-kotak ekskavasi. Karena salah satu tujuan museum untuk pendidikan, maka di dalam museum lapangan disimpan juga informasi mengenai situs dan latar belakang sejarahnya. Dalam kedudukannya yang sangat menentukan itu, maka daya tarik wisata harus dirancang dan dibangun/dikelola secara profesional sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang. Membangun suatu obyek wisata harus dirancang sedemikian rupa berdasarkan kriteria tertentu.

Akhir-akhir ini, Kompleks Percandian Bumiayu pada kala-kala tertentu dikunjungi oleh kelompok etnis Bali. Mereka datang dari berbagai tempat di Sumatra (Lampung, Baturaja, dan beberapa kawasan transmigrasi asal Bali) untuk melakukan upacara keagamaan. Mereka datang dalam rombongan yang berjumlah besar dengan mengendarai minibus dan bus besar. Mereka masih mempunyai suatu keyakinan, bahwa Kompleks Percandian Bumiayu masih menyimpan suatu kesucian. Kebetulan, latar belakang agama Kompleks Percandian Bumiayu adalah agama Hindu, meskipun sudah mengarah ke Tantris. Upacara biasanya dilakukan di halaman Candi 1 dan Candi 3. Di kedua bangunan ini halamannya cukup luas untuk menggelar suatu upacara agama. Kegiatan mereka ke Bumiayu dapat dikatakan wisata ziarah, karena mereka datang untuk melakukan upacara keagamaan.

Bakal calon daerah tujuan wisata Situs Bumiayu keletakannya kurang strategis. Dalam keadaan seperti sekarang ini, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh dari Palembang

(9)

81 (± 100 km), dapat ditempuh selama tiga jam

perjalanan dengan kendaraan roda empat (kondisi jalan dalam keadaan baik). Perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Bumiayu adalah Palembang – Prabumulih, kemudian Prabumulih – Payuputat – Tanah Abang – Bumiayu. Keadaan ini cukup melelahkan, apalagi jika memakai kendaraan umum. Apalagi perjalanan dari Prabumulih ke Bumiayu yang sebagian besar masih mengikuti jalan inspeksi milik Pertamina. Dengan demikian aksesibilitas ke lokasi sangat rendah.

Seperti halnya desa-desa di daerah tepian sungai, desa-desa di tepian sungai Lematang keadaannya sangat tidak nyaman, kalau tidak mau dikatakan kumuh (panas, kotor, dan banyak kotoran kerbau). Keadaan ini tidak menimbulkan rasa senang, indah, nyaman, dan bersih. Apalagi ditambah dengan tidak adanya sarana/prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang datang. Penduduk setempat kurang mengenal budaya toilet dan kamar mandi tertutup. Mereka memanfaatkan Sungai Lematang untuk Mandi Cuci Kakus. Budaya ini sulit untuk diubah dan penyuluhannya cukup memakan waktu dan kesabaran.

Prasarana wisata adalah sumber daya alam dan sumber daya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya ke daerah tujuan wisata, seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi, terminal dan jembatan. Untuk kesiapan obyek-obyek wisata yang akan dikunjungi oleh wisatawan di daerah tujuan wisata, prasarana wisata tersebut perlu dibangun sesuai dengan lokasi dan kondisi obyek wisata yang bersangkutan. Semua prasarana wisata tersebut di daerah Bumiayu dapat dikatakan belum ada. Jalan menuju obyek Bumiayu dari Prabumulih masih dalam keadaan yang memprihatinkan. Lebih lagi ketika musim hujan. Jalan yang ada adalah jalan inspeksi milik Pertamina yang tidak diaspal, sehingga ketika musim hujan keadaan jalan menjadi berlumpur dan licin.

Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. Sarana

wisata di satu tempat tujuan wisata berbeda dengan tempat lain. Tidak semua obyek wisata memerlukan sarana yang sama atau lengkap. Pengadaan sarana wisata tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan dan juga kemampuan dari pemerintah atau masyarakat di lingkungan daerah tujuan wisata. Melihat kondisi Bumiayu yang panas, sarana wisata mendasar yang harus ada baik kuantitatif maupun kualitatif adalah rumah makan yang menyediakan makanan dan minuman yang cukup memadai, dan secara higenis dapat dipertanggungjawabkan. Sarana wisata yang berupa rumah makan, sifatnya mungkin temporer yang bukanya pada saat-saat tertentu, misalnya ketika hari libur atau ketika akan berlangsung upacara keagamaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Bali.

Dalam kaitannya dengan wisata ziarah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Bali, pemerintah mungkin perlu memfasilitasinya yang tentunya dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena tinggalan budaya yang terdapat di Bumiayu merupakan dead monument (masudnya bangunan suci yang sudah tidak terpakai untuk kegiatan upacara keagamaan) dan respons dari masyarakat di sekitar candi yang mayoritas pemeluk agama Islam. Sebagai dead monument tentunya mempunyai ketentuan khusus yang telah digariskan oleh Unesco.

Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata, baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah dan di bawah tanah. Infrastruktur mendasar yang seharusnya ada di Bumiayu adalah jaringan jalan dan distribusi air bersih. Di daerah yang kondisinya seperti di Bumiayu infrastruktur ini sangat diperlukan. Apalagi, antara satu obyek wisata dengan obyek wisata yang lain letaknya berjauhan, air bersih sangat diperlukan. Untuk membuat instalasi air bersih mungkin memerlukan biaya yang besar, tetapi tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Jalan tengahnya adalah membuat sumur pompa di lokasi bangunan candi yang dapat

(10)

82

difungsikan ketika ada kunjungan wisatawan. Infrastruktur lain yang perlu dibenahi adalah sistem jalur angkutan dan terminal yang memadai. Terminal yang terdapat di Prabumulih letaknya cukup jauh dari pusat kota. Keadaan ini cukup menghambat yang akibatnya dapat mempersulit wisatawan mengunjungi obyek-obyek wisata di Bumiayu. Angkutan pedesaan yang melayani jalur Prabumulih-Bumiayu tidak banyak, hanya sekali dalam sehari. Perjalanan yang panjang-nya ± 20 km dengan kendaraan umum tersebut ditempuh lebih dari 1 jam. Hal ini disebabkan karena menunggu penumpang yang terlalu lama, dan ditambah lagi dengan kemacetan lalu-lintas di pasar Prabumulih. Kalaupun sudah penuh, penumpangnya akan melebihi kapasitas kendaraan. Infrastruktur yang memadai dan terlaksana dengan baik di daerah tujuan wisata akan membantu meningkatkan fungsi sarana wisata, sekaligus membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

Peran masyarakat di daerah tujuan wisata sangat membantu keberhasilan bidang kepariwisataan. Masyarakat di sekitar obyek wisatalah yang akan menyambut kehadiran wisatawan dan sekaligus akan memberikan layanan yang diperlukan oleh para wisatawan. Untuk ini masyarakat di sekitar obyek wisata perlu mengetahui berbagai jenis dan kualitas layanan yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Dalam hal ini pemerintah melalui instansi-instansi terkait telah menyelenggarakan berbagai penyuluhan kepada masyarakat. Salah satunya adalah dalam bentuk bina masyarakat sadar wisata. Dengan terbinanya masyarakat yang sadar wisata akan berdampak positif karena mereka akan memperoleh keuntungan dari para wisatawan yang membelanjakan uangnya. Para wisatawan akan untung karena mendapat pelayanan yang memadai dan juga mendapatkan berbagai kemudahan dalam memenuhi kebutuhannya.

5. Penutup

Lingkungan alam Situs Bumiayu hingga saat ini dapat dikatakan relatif belum rusak. Rumah tinggal penduduk di lingkungan situs yang luasnya 15 ha. dan dikelilingi oleh parit

dan sungai dapat dikatakan masih sedikit. Apalagi areal sekitar situs masih merupakan kebun karet rakyat. Kontur rupa-bumi di sekitar situs, terutama di sekitar Candi 3 dan Candi 8, merupakan daerah yang bergelombang lemah. Sebatang parit mengalir di lembah yang tidak begitu dalam. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan untuk dapat ditata dengan baik, karena belum banyak dirusak dan belum banyak penduduk. Bentang alam yang bergelombang lemah dapat memberikan suatu nuansa keindahan tersendiri.

Sebagai akhir dari pembicaraan ini, saya hendak mengajukan beberapa saran yang rinciannya adalah sebagai berikut:

• Situs Bumiayu letaknya tepat pada titik benturan Sungai Lematang, sehingga setiap sungai tersebut banjir akan mengikis tebingnya pada Situs Bumiayu. Akibat dari erosi ini (setiap kali banjir akan meruntuhkan 1 meter tebing) diperkirakan pada 20 tahun mendatang bangunan Candi 1 yang telah dipugar akan lenyap terbawa arus Lematang. Berbagai usaha untuk mengatasi erosi ini, misalnya dengan peremajaan sungai, telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muara Enim. Namun usaha itu belum lagi membuahkan hasil yang maksimal. Karena itulah untuk mengatasi masalah erosi ini perlu dikaji lebih mendalam.

• Sejak Februari 2004, Situs Bumiayu melalui Kepmen Kebudayaan dan Pariwisata No. KM09/PW.007MKP/2004 tanggal 3 Maret 2004 telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Namun hingga saat ini kawasan tersebut belum ditetapkan dengan Perda, sehingga dasar hukum yang operasional untuk melindunginya belum ada.

• Melakukan kajian palinologi untuk mengetahui tanaman-tanaman yang pernah tumbuh di lingkungan Situs Bumiayu. Hasil kajian palinologi dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan tanaman apa yang layak ditanam di lingkungan candi.

• Membuat jalan penghubung antara satu bangunan candi dengan bangunan candi yang lain dengan bahan con-block sehingga

(11)

83 tidak merusak struktur yang masih ada di

dalam tanah.

• Memfasilitasi kelompok masyarakat Hindu-Bali yang akan melakukan upacara keagamaan di lingkungan candi dengan cara membuat arena upacara dari bahan con-block. Sebelum membuat fasilitas

upacara keagamaan terlebih dahulu membuat penelitian mengenai tanggapan masyarakat atas aktivitas pemujaan di lingkungan mereka. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.

(12)

84

Daftar Pustaka

Anonim. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Bab VII Pelestarian, Bagian Keempat Pemanfaatan, Pasal 85 (1). Jakarta: Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Bosch, F.D.K. 1930. “Verslaag vaan een reis door Sumatra”, OV: 133-157.

Brandes, J.L.A. 1904. “ Toelichting op het Rapport van den Controleur der On¬der¬afdeeling Lematang Ilir van de in die Streek Aangetroffen Oud¬he¬den” dalam TBG. XLI Bijlage VI; Knaap, A.J. 1904. “Rapport van den Controleur der inderafdeeling Lematang Ilir van de in de Lematang streek tuschen Benakat en Modong aan getroffen oudheden”, NBG 42 Bijlage V.

Dradjat, Hari Untoro. 1992. “Pelestarian dan Pemanfaatan Situs”, makalah dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi ke-8 yang diselenggarakan tanggal 6-7 Juli 1992 di Jakarta.

ICOMOS. 1990. Guidelines for the Management of World Cultural Heritage Sites. Schnitger, F.M. 1937. The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill.

Soejatmi Satari. 2001. “Sebuah situs Hindu di Sumatra Selatan: Temuan kelompok candi dan arca di Bumiayu”, Makalah dalam Seminar 25 tahun Kerjasama Perancis di Bidang Penelitian Kebudayaan di Asia Tenggara Kepulauan, Palembang, 16-18 Juli 2001.

Spillane, J. James. 1987. Pariwisata Indonesia: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius. Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Tombrink, E.P. 1870. “Hindoe-monumenten in de Bovenlanden van Palembang als Bron van Geschie-kundig Onderzoek”, TBG XIX.

Referensi

Dokumen terkait

diibaratkan seperti teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan citra satelit yang digunakan untuk mendeteksi potensi sumber daya alam di suatu titik lokasi,

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah

Kualitas bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP kelas IX adalah (1) bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Dengan adanya perubahan yang signifikan pa- da mukosa respiratorius yang dipaparkan pengha- rum ruangan cair, membuktikkan bahwa kandung- an zat kimia pada pengharum ruangan

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang