• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin

Oleh,

AKWILA PRISKA IBU (712015005)

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Sains Teologi (S.Si Teol)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas pertolonganNya melalui hikmat dan kesehatan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini yang berjudul “Kajian Sosio-Teologis terhadap Makna Metafora Domba, Gembala dan Kandang dalam Natoni Penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin”. Penulis juga mengucap syukur kepada Tuhan karena atas kasihnya penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Kristen Satya Wacana.

Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol) pada Fakultas Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan juga menambah wawasan bagi pembaca mengenai makna budaya-budaya yang digunakan dalam ranah gereja secara khusus Makna bahasa gambaran yang digunakan dalam Natoni penerimaan pendeta.

Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Universitas Kristen Satya Wacana yang telah menjadi tempat bagi penulis untuk menambah wawasan dan mendapatkan berbagai pengalaman indah. Selain itu penulis tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Mereka diantaranya ialah:

1. Kedua orang tua, Bapa Yehezkial Ibu (Pak Yes) dan Mama Debora Mau (Ain Deby) yang selalu memberikan dukungan dan selalu memberikan doa dan kasih sayang kepada penulis. Kepada kedua kakak tercinta, Adonia Ibma Ibu dan Deki Ishak Ibu yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Kepada Nenek terkasih Yemima Ibu-Tuan dan Bapak Defris Ibu beserta keluarga yang selalu memberikan motivasi bagi penulis.

2. Untuk Wali Studi, Pdt. Agus Supratikno M.Th (Daddy Agus) dan Ibu yang sudah menjadi orang tua di Salatiga dan selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan studi dengan baik.

(7)

vii

3. Kedua pembimbing, Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo dan Pdt. Dr. Tony Tampake yang dengan penuh kesabaran dalam membimbing dan mengarahkan serta menyediakan waktu bagi penulis dalam menyelelasikan Tugas Akhir ini.

4. Seluruh Dosen Fakultas Teologi UKSW, Ibu Budi selaku TU dan seluruh staff atas dukungan dan pelayanan bagi mahasiswa.

5. Kepada GKI Salatiga yang sudah menjadi tempat bagi penulis untuk belajar bersama melalui Praktik Pendidikan Lapangan (PPL) I-VIII secara khusus bagi Bapak Lukas Sukan yang sudah menjadi Supervisor Lapangan selama penulis melaksanakan PPL I-VIII di GKI Salatiga.

6. Kepada pihak Panti Asuhan Terang Anak Bangsa yang sudah menjadi tempat bagi penulis untuk belajar bersama selama PPL IX.

7. Kepada seluruh jemaat GMIT Maranata SoE yang sudah menjadi tempat bagi penulis untuk belajar melalui Praktik Pendidikan Lapangan X dan kepada Ibu Pdt. Arni Kitu-Neolaka beserta keluarga yang sudah menjadi keluarga bagi penulis selama melaksanakan PPL X di SoE.

8. Ibu Pdt. Akriana Tallo-Manafe dan seluruh Majelis dan Jemaat GMIT Siloam Oelomin yang sudah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

9. Kepada kedua Emak, Jellyan Alviani Awang S.Si-Teol dan Norma Selfi Tanaem S.Si-Teol yang selalu ada dan menemani penulis dari awal perkuliahan dan atas segala kebaikan serta pengertiannya bagi penulis. Kepada Sri Yulianti Bertha Atacay S.Si-Teol yang sudah berjuang bersama selama penulisan Tugas Akhir dan juga kepada Inger, Filda, Elan, Inggrid dan Esty yang sudah menjadi saudara di tanah rantau.

10. Kepada saudara-saudari MANEK tercinta yang selalu mendukung dan menjadi tempat untuk berbagi suka dan duka dan juga menjadi tempat ternyaman yang selalu dirindukan saat berada di tanah rantau.

11. Kepada TERALIM tercinta, Yanuaria Dolvi Mau (Dolpin), Rila Fila Delfia Yati Merukh (Rikuss), Melda Glades Tiran (Meltus), Novembry Prilia Nona Naency Amtiran (Ma Neny), dan Mike Jendriani Leni (Mikus)

(8)

viii

yang sudah menjadi saudara yang selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis selama penulis menuntut ilmu.

12. Kepada orang terdekat Julio Eleazer atas segala dukungan, pengertian, semangat dan doa sehingga penulis bisa melewati masa pendidikan ini dengan baik dan juga kepada Geng UNOku Korina, Agya, Unyil dan Juna yang selalu menemani mengisi waktu kosong untuk becanda bersama.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv

PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI ... ix MOTTO ... x ABSTRAK ... xi 1. Pendahuluan ... 1 2. Landasan Teori ... 8 2.1 Definisi Metafora ... 8 2.2 Jenis-jenis Metafora ... 9 2.3 Semiotika ... 10 2.4 Bahasa ... 11 3. Hasil Penelitian ... 13

3.1 Gambaran Umum Jemaat GMIT Siloam Oelomin ... 13

3.2 Pemaknaan Metafora dalam Natoni ... 15

4. Analasis ... 20

5. Penutup... 24

5.1 Kesimpulan ... 24

5.2 Saran ... 25

(10)

x

MOTTO

“Do the best and pray. God

will take care of the rest”

“Diberkatilah orang yang

mengandalkan TUHAN, yang menaruh

harapannya pada TUHAN!”

(11)

xi

Abstrak

Tradisi natoni merupakan suatu ritual yang memiliki makna bagi suku Meto. Natoni sebagai tradisi suku Meto, seringkali digunakan dalam berbagai upacara-upacara tertentu. Bagi suku Meto, natoni merupakan suatu hal yang sakral karena berkaitan dengan para dewa. Dalam upacara penyambutan, natoni digunakan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa pemahaman jemaat GMIT Siloam Oelomin mengenai makna metafora domba, gembala dan kandang, yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara mendalam. Hasil dalam penelitian ini, ditemukan bahwa jemaat Siloam Oelomin memaknai metafora-metafora dalam

natoni penerimaan pendeta adalah berdasarkan pengalaman orang tua adat suku Meto dengan kehidupan mereka. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa

pemahaman jemaat Siloam Oelomin terhadap kehadiran metafora dalam natoni penerimaan pendeta sesungguhnya digunakan berdasarkan ilustrasi dalam Alkitab yang menceritakan tentang domba dan gembala. Berdasarkan pemahaman tersebut, jemaat menuangkannya dalam tradisi natoni yaitu berupa syair-syair dengan metafora. Berdasarkan pemahaman metafora domba, gembala dan kandang, jemaat memaknainya sebagai sebuah contoh bagi mereka untuk diterapkan di dalam kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin.

(12)

1

Latar Belakang

Bahasa merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena bahasa adalah media bagi manusia untuk mengungkapkan pikiran-pikiran, pendapat, bahkan emosi dan juga keyakinan batin. Manusia memerlukan bahasa untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesama manusia.1 Dalam penggunaan bahasa, manusia menggunakannya berdasarkan corak geografis. Dua model bahasa yang sering digunakan dalam masyarakat yaitu: bahasa sehari-hari dan bahasa ritual. Bahasa sehari-hari pada umumnya, menggunakan konsep yang sederhana dan digunakan pada pergaulan umum masyarakat sedangkan bahasa ritual menggunakan konsep yang lebih tinggi dan bersifat sakral yang biasanya digunakan dalam upacara-upacara resmi. Hal ini bukan berarti bahwa bahasa ritual hanya bersifat formal, tetapi dipercaya bahwa ada hubungannya dengan pemahaman kosmis dan mistis. Sebagai hal yang sakral, bahasa dipercaya sebagai sebuah permohonan kepada dewa langit (uis neno), para arwah orang mati atau para leluhur dan juga kepada dewa bumi (uis pah).2 Oleh karena itu sebagai sebuah permohonan, bahasa ritual yang diungkapkan dalam suatu upacara tertentu, diyakini oleh masyarakat bahwa para leluhur atau nenek moyang juga turut mendengarkan.

Masyarakat di Timor secara khusus suku Meto memiliki kedua model bahasa tersebut. Model pertama, disebut Bahasa Meto (uab meto) yang sering digunakan untuk keseharian masyarakat Meto dan model kedua, secara umum dikenal sebagai natoni atau bahasa tutur adat. Namun, suku Meto tidak hanya memiliki satu dialek saja, dikarenakan suku Meto yang tersebar di berbagai wilayah di Pulau Timor. Sehingga mengakibatkan di masing-masing tempat atau wilayah mempunyai penyebutan yang berbeda. Sebagai contoh, pada daerah Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki penyebutan yaitu natoni sedangkan di daerah Kupang bagian Barat memiliki penyebutan yang lain yaitu Slamat3. Selain

itu, pada daerah Amarasi memiliki penyebutan yaitu Sramat/ A’asramat4.

1

Bowo Hermaji, Teori dan Metode Sosiolinguistik (Salatiga: Widya Sari Press, 2011), 21.

2

Petrus Ana Andung, “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1 (Januari-April 2010): 39.

3 Slamat merupakan bahasa daerah suku Meto bagian Kupang untuk Natoni. 4

(13)

2

Berdasarkan perbedaan tersebut, penyebutan yang paling umum dikenal oleh masyarakat suku Meto yaitu Natoni. Selain itu, perbedaan lainnya yaitu pada dialek dan aksen bahasanya. Pada Natoni dan Slamat kurang lebih memiliki kesamaan karena syair-syairnya menggunakan bahasa Meto (uab meto) sedangkan untuk Sramat/ A’asramat sendiri berisi syair-syair yang juga menggunakan bahasa Meto (uab meto) dengan versi kotos 5.

Pada hakekatnya, natoni dipahami sebagai ungkapan pesan yang dinyatakan dalam bentuk syair-syair kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (atonis). Kemudian ditemani oleh sekelompok orang sebagai pendamping atau pengikut (na he’en) yang ditujukan baik kepada sesama manusia maupun kepada para arwah orang mati atau dewa. Natoni biasanya dituturkan dalam upacara adat (upacara adat perkawinan dan kematian) dan juga acara-acara seremonial lainnya (misalnya saat penyambutan dan pelepasan tamu).6 Natoni merupakan bahasa ritual adat yang memiliki keunikan tersendiri karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Meto yang terbilang halus dan pengungkapannya juga sangat berirama, karena bahasa yang dituturkan memiliki intonasi tinggi dan rendah secara bergantian.7 Ciri utama dari natoni yaitu menggunakan banyak bahasa gambaran atau metafora, puitis, ritmis, dan terdapat seseorang sebagai pembicara atau penutur dan terdapat sekelompok orang atau pendamping sebagai penjawab. Ciri lainnya adalah natoni terjalin dari ungkapan-ungkapan tetap yang terdiri atas pemajemukan dan penggabungan.8

Pada awal munculnya, natoni dipakai dalam upacara-upacara yang bersifat seremonial religius yaitu berupa doa-doa kepada arwah orang mati atau para dewa. Namun, belakangan baru digunakan untuk banyak hal seperti menyambut tamu atau melepas tamu. Dalam natoni penyambutan dan penerimaan, tujuan tuturan penerimaan dimaksudkan sebagai bentuk menghormati tamu yang

5

Kotos merupakan bentuk dialek khusus daerah Amarasi.

6 Andung, “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur,” 37. 7

John Darwis Fallo Dan Fathur Rokhman, “Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat Etnis Timor dalam Penyambutan Tamu di Sekolah”, Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5, Nomor 2 (2016): 107.

8 Tarno et al., Sastra Lisan Dawan (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

(14)

3

berkunjung dalam suatu kelompok masyarakat untuk melaksanakan suatu tugas tertentu.9

Menurut Mariasusai Dhavamony, tindakan agama ditampakkan dalam upacara (ritual) atau dapat dikatakan bahwa tindakan dalam agama adalah ritual.10 Bagi masyarakat, ritual dipercaya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan yang ilahi. Masyarakat melaksanakan ritual karena dapat memberikan pemulihan kembali keseimbangan ketika terjadinya perubahan sikap sosial.11 Kehidupan masyarakat setelah melakukan ritual, dipercaya dapat sesuai dengan yang mereka inginkan ketika melaksanakan ritual itu. Ritual natoni sendiri dipercaya oleh suku

Meto bahwa apa yang mereka ungkapkan ada kaitannya dengan para dewa yang

mereka percaya.

Natoni sebagai suatu identitas dari suku Meto, berkaitan dengan ritus-ritus

budaya dan sosial. Sebagai salah satu ritus budaya yang masih dipertahankan oleh penganutnya, natoni yang merupakan doa kepada arwah orang mati atau para dewa ini seringkali sulit untuk diterima oleh masyarakat yang sudah memeluk agama Kristen. Terkadang natoni dianggap sebagai suatu hal negatif yang bertentangan dengan kehidupan beragama. Namun, pada saat ini dengan adanya pemahaman-pemahaman baru mengenai ritual sehingga terjadinya perkembangan bagi jemaat di Timor yaitu para tua adat sering menggunakan natoni untuk menyambut tamu, menerima dan melepas pendeta dalam masa tugas pelayanannya.

Penerimaan dan pelepasan pendeta dilaksanakan berdasarkan aturan sinode tentang periodisasi. Aturan ini terdapat dalam TATA GMIT bagian PERATURAN POKOK JEMAAT GMIT, Pasal 58 ayat 2 yaitu: Periode pelayanan majelis jemaat adalah empat tahun.12 Berdasarkan aturan tersebut, pada saat tertentu jemaat akan melepaskan pendeta yang telah bersama-sama selama satu atau beberapa periode untuk melakukan pelayanan. Pelepasan pendeta berarti

9 Maglon Ferdinand Banamtuan, “Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) dalam Budaya Timor

Dawan (Atoni Meto)”, Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Volume 6, Nomor 1 (2016): 76.

10

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 167.

11

Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176.

12 Majelis Sinode GMIT, “Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor 2010 (Perubahan Pertama)”

(15)

4

jemaat telah siap untuk menyambut dan menerima seorang pendeta yang baru untuk melaksanakan pelayanan di jemaat itu. Dalam pelepasan dan penerimaan itulah jemaat di Timor biasanya sering menggunkan natoni untuk menjalankan prosesi serah terima tersebut.

Jemaat GMIT Siloam Oelomin juga menjadi salah satu jemaat yang menggunakan natoni untuk menerima dan melepas pendeta. Dalam penuturannya saat penerimaan pendeta, natoni mempunyai isi dengan makna yang sangat mendalam. Biasanya para penutur menyampaikan natoni menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat menerima dan siap untuk dipimpin oleh pendeta yang baru. Seperti contoh penggalan syair dan terjemahan di bawah ini:

Penutur (atonis) Pengikut (na he’en)

Neo tilon in nanan sonaf ne

(Berada di dalam rumah istana)

in nanan

(di dalam)

Ana sul atu knino unu in uis nam in ne

(Seorang yang datang untuk mengajar kami kitab suci dan Tuhan Allah)

o tuan

(pencipta)

He natukun bib an kase bi tenem nanono ne

(Untuk menggembalakan dan memelihara domba-domba)

Anten

(aman)

An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i

(Di tempat di dalam kandang)

in nanan

(yang lain)

Nok ao min am ao ne

(Dengan tubuh yang berminyak dan gemuk)

o leko

(baik)

Ai lo nok mainiknam nok ne

(Kiranya dengan dingin juga)

Oetenes

(16)

5

Penggalan syair natoni di atas adalah mengenai penantian, penerimaan dan harapan dari jemaat. Hal tersebut merupakan ungkapan isi hati dari seluruh jemaat yang diwakili oleh penutur natoni. Pada awalnya, menunjukan bahwa kedatangan seorang pelayan yang baru merupakan penantian dari jemaat. Selanjutnya dikatakan bahwa bukan kesia-siaan mereka berada di tempat itu. Terlebih lagi diperjelas oleh sekelompok pendamping atau penjawab yang mewakili seluruh jemaat di tempat itu. Selanjutnya, menjelaskan penerimaan mereka yang tulus terhadap pendeta yang baru datang dan diharapkan bahwa dapat menjadi pelayan yang baik yang melayani dengan sukacita dan melayani seluruh umat atau jemaat di tempat itu. Ungkapan-ungkapan itu dapat berarti bahwa kehidupan berjemaat mereka diserahkan seutuhnya agar pelayan yang membawa mereka kepada jemaat Allah yang sesungguhnya.

Berdasarkan contoh penggalan syair tersebut, natoni bukan hanya sebuah ungkapan yang berirama tetapi juga berisi ungkapan-ungkapan metafora dan simbolis yang diambil dari alam. Dalam contoh penggalan natoni di atas, Gereja dan Persekutuan Orang Kudus digambarkan sebagai satu kandang, rumah/ istana. Selain itu, menjelaskan Persekutuan yang dipenuhi dengan sukacita dan damai sejahtera digambarkan sebagai tubuh yang berminyak dan gemuk. Natoni sebagai ungkapan yang berisi metafora, tentunya memiliki makna yang terkandung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.13 Menurut Gorys Keraf, metafora adalah berupa sebuah analogi yang membandingkan antara dua hal secara langsung dengan bentuk yang singkat.14 Bagi Lakoff dan Johnson (2003) metafora dapat digunakan untuk mencerminkan sesuatu hal yang digagas, dialami, dan dirasakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.15 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metafora sebagai ungkapan-ungkapan yang mewakili sesuatu yang dipikirkan oleh manusia atau berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu,

13

Prasuri Kuswarini et al., “Penerjemahan Metafora dalam Saman ke dalam Bahasa Prancis”, Jurnal Ilmu Budya, Volume 6, Nomor 1 (Juni 2018): 177.

14

Gorys Keraf, “Diksi dan Gaya Bahasa” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 139.

15 Sukarno, “Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum pada Surat Kabar

(17)

6

dalam natoni jemaat mengungkapkan perasaan atau kehidupan mereka melalui ungkapan-ungkapan metafora yang digunakan.

Natoni penerimaan pendeta dengan berbagai metafora yang ada, secara

khusus yang diungkapkan dalam contoh syair, menggunakan penggambaran terhadap jemaat. Penggambaran akan kehidupan jemaat tersebut, para penutur menggunakan contoh kehidupan ternak secara khusus domba untuk digunakan dalamnya. Dalam penggunaan itu, mereka meyakini bahwa kehidupan domba-domba tidak terlepas dari gembala dan juga kandang. Penggunaan tersebut tentu menyimpan makna bagi jemaat yang ada.

Menurut Jujun Suriasumantri, bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna.16 Definisi bahasa oleh Alo Liliweri menurut

Social Self Definition, bahasa adalah sistem komunikasi manusia dengan

menggunakan simbol-simbol. Social Self berarti kesadaran yang luar biasa tentang diri sosial.17 Sehingga dapat berarti bahwa bahasa memiliki makna yang khusus di mana dapat menjadi kekuatan masa depan, terutama dalam kaitannya dengan situasi sosial tertentu.18 Natoni dengan gaya bahasa yang unik, tentu mempunyai makna bagi kehidupan jemaat yang menggunakannya. Oleh karena itu, untuk melihat makna dari bahasa tentu ada kaitannya dengan simbol-simbol. Menurut W. J. S. Poerwadarminta, simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu.19

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: apa makna metafora domba, gembala dan kandang yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta di GMIT Siloam Oelomin? Dari permasalahan tersebut, makan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna metafora domba, gembala dan kandang yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta di GMIT Siloam Oelomin.

16

Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa: Philosophy of Language (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 27.

17

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LKiS, 2002), 136.

18 Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 137. 19

(18)

7

Penelitian ini secara khusus memberikan manfaat bagi penulis dan juga pembaca. Pertama, yaitu manfaat teoritis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah mengenai kebudayaan suku Meto dalam penerimaan pendeta, sehingga dapat menambah pemahaman baru kepada pembaca dalam mempelajari budaya-budaya lain. Kedua, manfaat praktis yaitu memberikan kontribusi bagi jemaat agar dalam penggunaan natoni pada acara gerejawi, tidak hanya dimaknai sebagai sebuah formalitas. Tetapi jemaat dapat dengan sungguh-sungguh memahami makna metafora yang digunakan dalam

natoni.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen kunci.20 Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bersifat deskriptif karena peneliti harus mendeskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang dituangkan dalam tulisan yang bersifat naratif.21 Dalam hal ini, akan menjelaskan tentang ungkapan-ungkapan metafora yang dipakai dalam natoni penerimaan pendeta. Teknik pengumpulan dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.22 Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara (interview). Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan secara langsung dengan informan. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dengan informan. Wawancara mendalam adalah proses tanya jawab yang dilakukan sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan.23 Analisis data merupakan hal yang penting setelah pengumpulan data, karena analisis data digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif yang dilakukan bersamaan dengan

20 Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV Jejak, 2018),

8.

21

Anggito, Metodologi Penelitian Kualitatif, 11.

22

Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah (Jakarta: Prenadamedia Group), 2010, 138.

23

(19)

8

proses pengumpulan data.24 Teknik analisis data ini menggunakan cara menafsir atau hermeneutik. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Berbagai macam data yang didapatkan dibaca, dipelajari, ditelaah dan direduksi dengan membuat rangkuman inti. Kemudian melakukan penafsiran sebagai hasil temuan sementara.25

Metafora dan Semiotika Definisi Metafora

Metafora dalam Kamus Bahasa Indonesia, merupakan pemakaian kata atau kelompok kata untuk menyatakan maksud yang lain bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan.26 Aristoteles merupakan filsuf besar Yunani yang menemukan istilah metafora sebagai pengungkap terhadap konsep abstrak.27 Menurut Gorys Keraf, metafora adalah sebuah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. Lakoff & Johnson mendefinisikan metafora bukan hanya sebagai sebuah bahasa saja tetapi dalam pemikiran dan tindakan, oleh karena itu metafora ada di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Bagi mereka, setiap hal yang dipikirkan dan dialami pada dasarnya bersifat metaforis.28

Dillistone menjelaskan tentang hubungan metafora dengan kepercayaan terhadap Allah. Baginya, terdapat hubungan antara metafora dan perumpamaan karena perumpamaan merupakan suatu peninjauan akan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Pusat perhatian dari perumpamaan terdapat dalam proses-proses alami yang mengkhususkan pembicaraannya pada hubungan-hubungan manusiawi. Kegiatan-kegiatan pokok dalam dunia alami merupakan sebuah gambaran tentang kegiatan Allah yang besar. Dengan demikian menurut Dillistone, metafora sebagai sesuatu yang diilhami oleh iman kepercayaan akan Allah yang didapatkan dari pengalaman manusia sehari-hari.29 Jadi, manusia menggunakan metafora untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak. Gambaran akan Allah didapatkan manusia melalui pengalaman mereka terhadap segala hal yang terjadi di dunia secara alami.

24

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 208.

25

Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif, 193.

26

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 950.

27 Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar mengenal Semiotika dan Teori

Komunikasi (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 134.

28

George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (London: The university of Chicago Press, 2003), 4.

29 F. W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002),

(20)

9

Metafora dalam suatu bahasa muncul sebagai faktor-faktor konseptual di dalam ritual dan simbolisme. Dalam kebudayaan, metafora sering dijadikan sebagai penunjuk masa lalu sebuah budaya tertentu. Dalam budaya, manusia dapat menerapkan bahasa metaforis dalam suatu situasi.30 Menurut Danesi, metafora pada umumnya digunakan sebagai sebuah alat stilistik bahasa. Dalam hal ini, digunakan oleh para penyair dan penulis untuk membuat pesan-pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih efektif dan berbunga-bunga. Selain itu, metafora menjadi penting karena metafora merupakan suatu inti dan alasan dari cara berkembangnya pemikiran-pemikiran abstrak.31 Dengan demikian, metafora hadir dan digunakan oleh penyair dan penulis untuk memberikan warna dalam tulisan-tulisan mereka. Selain itu, metafora memberikan jalan bagi hal-hal abstrak agar dapat menemukan makna dalam setiap hal tersebut.

Jenis-jenis Metafora

Metafora-metafora yang ada di dalam kehidupan manusia, diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Lakoff & Johnson mengkategorikan metafora dalam 3 jenis yaitu: Metafora Struktural; Metafora Orientasional dan Metafora Ontologis.32

Pertama, metafora struktural merupakan suatu hal yang dibentuk dalam satu konsep terstruktur secara metaforis dengan menggunakan hal yang lain.33 Metafora struktural didasarkan pada korelasi sistematis pengalaman sehari-hari manusia. Metafora ini memungkinkan untuk mengonseptualisasikan argumen rasional dalam suatu konsep yang lebih mudah untuk pahami yaitu, konflik fisik. Dalam contoh metafora struktural oleh Lakoff & Johnson, menjelaskan metafora yang muncul dalam budaya, namun hal ini tidak didasarkan hanya pada pengalaman fisik dan budaya karena metafora juga mempengaruhi pengalaman dan tindakan manusia. Jenis metafora ini memungkinkan manusia untuk bertindak lebih dari sekedar mengorientasikan konsep mengenai merujuk dan mengukur.34

30 Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 156, 158. 31

Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 133.

32

Gunawan Wiradharma dan Afdol Tharik WS, “Metafora dalam Lirik Lagu Dangdut: Kajian Semantik Kognitif”, Arkhais, Volume 07, Nomor 1 (Januari—Juni 2016): 8.

33 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 15. 34

(21)

10

Kedua, berbeda dengan metafora struktural, konsep metafora orientasional tidak menyusun satu hal dengan hal yang lainnya melainkan mengatur seluruh sistem konsep yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Dalam metafora orientasional, konsep metaforis yang terjadi tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul didasarkan pada pengalaman fisik dan budaya manusia. Namun, metafora orientasional dalam setiap budaya tidak semuanya memiliki kesamaan, dalam hal ini terdapat variasi antara satu budaya ke budaya yang lainnya.35

Ketiga, metafora ontologis disebut juga metafora entitas dan substansi, yang sama dengan lainnya bahwa pengalaman manusia menyebabkan munculnya metafora. Berdasarkan pengalaman itu, manusia dapat mengidentifikasi sebagai entitas atau substansi. Dengan demikian, dapat merujuknya, mengelompokkannya, dan mengukurnya sesuai dengan konsepnya. Dalam hal ini, pengalaman manusia dengan objek fisik (berkaitan dengan tubuh manusia) memberikan dasar bagi metafora ontologis. Jenis metafora ini, menunjukkan bahwa peristiwa, aktivitas, emosi dan ide dilihat sebagai entitas dan substansi.36

Berdasarkan setiap jenis metafora yang dikemukakan oleh Lakoff & Johnson, dijelaskan sama seperti pada maknanya bahwa metafora-metafora sangat berkaitan erat dengan pengalaman manusia sehari-hari. Dalam setiap pengalaman manusia, dapat menghasilkan konsep metafora. Metafora-metafora yang dikenal, ada di dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam

kehidupan manusia dapat dikatakan sebagai perjalanan metaforis.37

Semiotika

Kata semiotik berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Berdasarkan pengertian tersebut, maka semiotika merupakan ilmu tanda. Semiotika adalah suatu cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan semua hal yang berhubungan dengan tanda seperti

sistem tanda dan proses yang berlaku.38 Menurut Hoed, dalam buku Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra, bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji setiap tanda yang ada dalam kehidupan manusia. Hal ini memberikan arti bahwa semua yang hadir di dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.39 Menurut Berger, kata-kata merupakan hal yang terpenting dari semua jenis tanda. Kata-kata digunakan sebagai tanda dari suatu konsep atau ide, dalam hal ini mengungkapkan bahwa tujuan

35 Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 15. 36

Lakoff and Johnson, Metaphors We Live By, 26.

37

Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, 158.

38

Jafar Lanowa, Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan, Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), 1.

39

(22)

11

komunikasi sebagai tanda yang bermakna sesuatu.40 Komaruddin Hidayat, menjelaskan bahwa bidang kajian semiotik atau semiologi yaitu mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana dapat memahami sistem tanda dalam sebuah teks yang berperan dalam membimbing pembaca

sehingga dapat menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.41

Dalam bidang semiologi, beberapa tokoh mengemukakan bahwa terdapat dua hal penting dibidang ini yaitu makna denotasi dan makna konotasi.42 Menurut Pierce, makna denotasi, yaitu mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan.43 Sedangkan makna konotasi menurut Pierce, bahwa makna konotasi meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Dalam makna konotasi, manusia membaca yang tersirat. Seperti contoh, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan.44

Saussure mengemukakan bahwa, makna tidak terdapat pada unsur itu sendiri, melainkan ditemukan dalam unsur yang lainnya. Dalam kebudayaan, semua makna budaya diciptakan dengan simbol-sombol. Semua hal mengenai simbol melibatkan tiga unsur: Pertama, tentang simbol itu sendiri. Kedua, mengenai satu rujukan atau lebih. Ketiga, mengenai hubungan antar simbol dengan rujukan. Semua hal tersebut merupakan sebuah dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat dirasakan atau dialami.45

Bahasa

Bahasa adalah alat interaksi manusia antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok. Oleh karena itu, bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Fungsi bahasa bagi manusia yaitu sebagai

40

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), 1.

41

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 106.

42

Berger, Pengantar Semiotika, 65.

43

Sumbo Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, Jurnal Desain Komunikasi Visual, Volume 5, Nomor 1 (Januari 2003): 37.

44 Tinarbuko, “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual”, 37. 45

(23)

12

penyampaian pikiran, ide, maupun gagasan kepada orang lain.46 Meskipun penuturan bahasa yang bermacam-macam namun bentuknya tetap satu bahasa yang sama, seperti idiolek, dialek, sosiolek, register atau style.47 Menurut Halliday seperti yang ditulis dalam buku Analisis Teks Media, fungsi bahasa antara lain; fungsi ideasional, untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas hubugan di dalam anggota masyarakat; fungsi interpersonal, sebagai penyampaian informasi diantara anggota masyarakat dan fungsi tekstual yaitu, untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus yang sangat relevan dengan situasi.Halliday menyatakan, bahwa manusia menggunakan bahasa sebagai penggambaran akan pengalamannya tentang proses, orang-orang, objek, abstraksi, kualitas keadaan dan hubungan antara dunia sekitar manusia dan dunia dalam manusia.48

Manusia menggunakan bahasa sesuai dengan situasi atau keadaan yang ada. Dalam hal ini jenis-jenis gaya bahasa yang digunakan yaitu bahasa resmi/ formal, bahasa tidak resmi/ informal dan bahasa percakapan/ pergaulan sehari-hari. Bahasa resmi biasanya dipergunakan dengan baik dalam kesempatan resmi seperti amanat kepresidenan, berita Negara, khotbah mimbar, upacara keagamaan dan pidato-pidato.49 Berbeda dengan bahasa resmi, bahasa tidak resmi merupakan gaya bahasa yang standar yang digunakan dalam kesempatan tidak formal seperti dalam karya-karya tulis.50 Sedangkan untuk bahasa percakapan/ bahasa pergaulan biasanya digunakan dalam pergaulan sehari-hari yaitu dengan kata-kata polpuler.51

Penggunaan metafora dalam sebuah bahasa adalah sebagai alat untuk membuat pesan yang disampaikan menjadi lebih efektif ketika disampaikan.52 Dalam arti metaforis, istilah bahasa merujuk pada bagaimana cara berkomunikasi atau berkontak. Dalam hal ini, yang merujuk pada simbol-simbol yaitu melalui

46

John Darwis Fallo Dan Fathur Rokhman, “Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat Etnis Timor dalam Penyambutan Tamu di Sekolah”, Seloka: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5, Nomor 2 (2016):

47 A. Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa”, (Bandung: Angkasa, 1989), 65. 48

Sobur, Analisis Teks Media, 17.

49

Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 117.

50

Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 118.

51 Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, 120. 52

(24)

13

gerak-gerik seseorang atau pada gambar/ visual.53 Dengan demikiaan, bahasa juga dapat disebut sebagai suatu sistem simbol. Bahasa sebagai sistem simbol sangat penting dalam sebuah komunikasi. Dalam hal ini, bahasa akan dapat berfungsi ketika semua konsep diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu dimiliki secara bersama oleh penutur dan penanggap tutur.54

Gambaran Umum Jemaat GMIT Siloam Oelomin

GMIT Siloam Oelomin merupakan jemaat yang terletak di daratan Timor, Kota Kupang bagian Barat di Desa Oelomin. Dengan demikian, GMIT Siloam Oelomin terdaftar dalam jemaat Klasis Kupang Barat. Jemaat ini didirikan pada tanggal 8 November 1964. Pada awal berdirinya, GMIT Siloam Oelomin belum mempunyai pendeta menetap. Oleh karena itu, disebutkan bahwa pendeta pertama yang melayani di jemaat ini adalah Bpk. Pdt. Yonatan Obaja Selan yang melayani selama 2 tahun. Namun, pada awalnya masih terdiri dari 6 Mata Jemaat55 yang dibentuk menjadi satu wilayah dengan sebutan Wilayah Oelomin. Pada wilayah ini, Jemaat Siloam Oelomin menjadi pusat atau induk. Terhitung sejak terbentuknya, GMIT Siloam Oelomin bergabung dengan Wilayah Oelomin selama 27 tahun. 56

Selama terbentuknya, GMIT Siloam Oelomin hingga saat ini sudah dilayani oleh 6 pendeta menetap. Pada awalnya, sejak tahun 1964 jemaat ini masih dilayani oleh Penatua jemaat. Namun, pada saat ibadah tertentu seperti Sakramen Perjamuan Kudus, Baptisan Kudus dan Pernikahan Kudus, jemaat ini dilayani oleh pendeta yang diutus dari Wilayah Klasis Kota Kupang. Dengan demikian, terhitung tahun 1976 hingga saat ini, selama 43 tahun pelayanan dijalankan oleh beberapa pelayan diantaranya:

1. Bpk. Pdt. Yonatan Obaja Selan, yang melayani dari tahun 1976-1977. 2. Bpk. Pdt. Agustinus B. Holbala, yang melayani dari tahun 1977-2002. 3. Bpk. Pdt. Nikodemus Tullu, yang melayani dari tahun 2002-2003.

53

Sobur, Analisis Teks Media, 43.

54

Alwasilah, Sosiologi Bahasa, 81.

55

Mata Jemaat merupakan penyebutan bagi Jemaat yang belum mandiri atau belum memiliki Pendeta menetap, sehingga harus bergabung dengan jemaat lainnya.

56

(25)

14

4. Ibu Pdt. Marselina H. E. Saetbana, yang melayani dari tahun 2003-2012. 5. Ibu Pdt. Yuliana F. Tallo-Kameo, yang melayani dari tahun 2012-2019. 6. Ibu Pdt. Akriana J. Kalle Tallo-Manafe melayani pada tahun 2019.

Jemaat Siloam Oelomin menjalankan beberapa ibadah yaitu Ibadah Minggu, Ibadah Rayon dan Ibadah Kategorial. Ibadah Minggu dilaksanakan 1 kali ibadah pada pukul 07.00 WITA, sedangkan Ibadah Rayon yaitu ibadah rutin yang dilaksanakan pada hari Senin dan Kamis. Selain itu, Ibadah Kategorial yang dilaksanakan sesuai dengan kategori yang ada yaitu Kaum Bapak, Kaum ibu (Wanita GMIT), Pemuda dan PAR (Pelayanan Anak dan Remaja).57

Menurut warga jemaat, pergantian pendeta seringkali menimbulkan dinamika karena dalamnya terdapat beberapa jemaat yang setuju dan tidak setuju. Dinamika itu muncul biasanya karena jemaat sudah merasa senang dengan pendeta yang lama, baik dalam pelayanannya, kepribadian atau dalam hal lainnya dari pendeta tersebut. Hal ini membuat jemaat merasa sedih untuk melepaskan pendeta yang sudah melayani selama 1 periode atau lebih. Perasaan itu muncul dari kekhawatiran jemaat terhadap pendeta baru yang akan melayani. Mereka khawatir ketika pendeta yang datang, tidak sesuai dengan apa yang didapatkan dari pelayan sebelumnya.58

Dalam situasi keharuan, jemaat menggunakan ritual-ritual tradisional berupa upacara-upacara penyambutan dan pelepasan sebagai penenang kegelisahan yang dialami jemaat. Dalam upacara-upacara yang dilakukan, biasanya terdapat ritus adat yaitu natoni. Dalam natoni isinya mengenai pelepasan dan juga penyambutan/ penerimaan terhadap pendeta dengan menggunakan berbagai bahasa gambaran di dalamnya. Selain natoni dalam keharuan saat pergantian pendeta, jemaat Siloam Oelomin juga sering menggunakan natoni dalam kegiatan lainnya seperti dalam perayaan paskah dan juga hari raya natal.59

57

Bapak Hanis, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 20 Agustus 2019.

58 Bapak Thomas, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 13 Agustus 2019. 59

(26)

15

Pemaknaan Metafora dalam Natoni penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin

Di Pulau Timor, masyarakat suku Meto pada umumnya menggunakan 2 bahasa dalam kehidupan bermasyarakat yaitu; bahasa Meto (uab Meto) dan bahasa resmi/ bahasa adat. Bahasa Meto merupakan bahasa yang digunakan dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari di masyarakat suku Meto. Sedangkan bahasa resmi yaitu bahasa adat yang digunakan dalam kesempatan resmi seperti pada upacara-upacara adat, contohnya natoni yang termasuk dalam bahasa resmi bagi suku Meto yang digunakan pada acara-acara khusus.60 Dalam pelaksanaan

natoni, penutur (atonis) berdiri di depan sebagai pemimpin dan sekelompok

orang sebagai pendamping atau pengikut (na he’en) berbaris di bagian belakang

penutur. Busana yang digunakan dalam prosesi natoni, para penutur dan

pendamping menggunakan pakaian tradisional suku Meto yaitu selimut adat (beti) dan destar61 (pilu).62

Natoni sebagai salah satu budaya yang menjadi kebiasaan bagi suku Meto, merupakan sapaan adat yang sejak dahulu sudah digunakan oleh para leluhur.63 Bagi suku Meto, natoni merupakan suatu penghormatan yang sangat mendalam.64 Berdasarkan kebiasaan yang ada, natoni dipahami sebagai suatu penyambutan yang tulus dari hati atau sebagai sebuah ekspresi diri bagi suku Meto tentang cara menyambut dan menerima orang lain dengan sopan santun.65 Dalam kebiasaan ini, natoni digunakan dalam acara masuk minta sebuah perkawinan, kematian, dan penyambutan.66 Secara khusus, natoni merupakan suatu cerita tentang sejarah hidup. Natoni perkawinan dan kematian bercerita hal mengenai sejarah awal sampai terjadinya perkawinan dan kematian. Sedangkan, natoni penerimaan pendeta menceritakan keadaan yang singkat karena langsung bercerita tentang keadaan jemaat dengan pendeta yang sudah melaksanakan tugas pelayanan dan

60

Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Tuce, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 11 & 19 Agustus 2019

61

Destar merupakan pengikat kepala dari kain batik.

62 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 63

Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019.

64

Bapak Lazarus, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 12 Agustus 2019.

65

Ibu Akriana, (Pendeta Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 22 Agustus 2019.

66 Bapak Sias (Penutur natoni), Bapak Yusak (Tokoh Jemaat) dan Bapak Lazarus (Tokoh

(27)

16

persiapan jemaat untuk menerima pendeta yang akan ditugaskan di jemaat tersebut.67

Natoni penerimaan pendeta, sudah menjadi tradisi bagi jemaat Siloam

Oelomin. Menurut salah satu majelis di jemaat ini, natoni penerimaan pendeta sudah digunakan oleh jemaat sejak masuknya pendeta kedua di Siloam Oelomin. Pada tahun 1977, saat itulah pertama kalinya jemaat ini memakai natoni dalam prosesi penerimaan pendeta. Jemaat Siloam Oelomin dalam penggunaan natoni untuk penerimaan pendeta, biasanya dilakukan berdasarkan rapat bersama majelis untuk mencapai kesepakatan bersama. Bagi mereka ketika menyambut dan menerima pendeta dengan natoni ternyata memberikan sukacita yang besar, karena mendapatkan pelayan jemaat yang baru. Selain itu, natoni mempunyai makna yang sangat mendalam karena bagian isinya terdapat harapan jemaat dan mereka percaya bahwa dengan adanya pendeta yang baru, pelayanan akan dibaharui dan berharap bisa membangun iman jemaat.68

Secara umum, natoni yang sudah digunakan oleh para leluhur ini, menjadi pembelajaran sekaligus pegangan untuk dapat digunakan pada saat ini.69 Dalam penuturannya, natoni merupakan bahasa yang tidak dapat dituturkan oleh semua kalangan, karena natoni harus disampaikan oleh orang yang memahami tentang

natoni dan juga bahasa adat.70 Oleh karena itu, para penutur natoni pada saat ini merupakan orang-orang yang mempelajari dan memaknai natoni dengan tekun dari para leluhur. Hal tersebut dikarenakan natoni merupakan bahasa adat yang dipikirkan dan langsung diutarakan secara lisan.71

Natoni penerimaan pendeta, merupakan bahasa yang sakral karena ketika

berbicara mengenai gereja tentu ada kaitannya dengan Tuhan.72 Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa syair-syair dengan metafora yang ada, menjelaskan antara hubungan manusia dengan Tuhan yang dipercaya bahwa apa

67 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 68

Bapak Hanis, (Majelis Jemaat Siloam Oelomin), wawancara; 20 Agustus 2019.

69

Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019.

70

Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019.

71 Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019. 72

(28)

17

yang disampaikan akan secara langsung tersampaikan kepada Tuhan.73 Jemaat Siloam Oelomin saat penerimaan pendeta dengan natoni, selalu menggunakan syair-syair dengan metafora.74 Dalam metafora-metafora yang digunakan seperti pada contoh:

Penutur (atonis) Pengikut (na he’en)

He natukun bib an kase bi tenem nanono ne

(Untuk menggembalakan dan memelihara domba-domba)

Anten

(aman)

An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i

(Di tempat di dalam kandang)

in nanan

(yang lain)

Nok ao min am ao ne

(Dengan tubuh yang berminyak dan gemuk)

o leko

(baik)

Ai lo nok mainiknam nok ne

(Kiranya dengan dingin juga)

Oetenes

(Sejuk)

Metafora-metafora yang digunakan dalam natoni penyambutan pendeta, menurut pemahaman para penutur bahwa hal tersebut baru muncul belakangan saat gereja sudah ada. Digunakannya natoni dalam penerimaan pendeta, karena jemaat sudah merasa senang dengan kehadiran pendeta di tengah mereka dan bahkan sudah menjadi satu dengan jemaat. Dalam natoni penerimaan pendeta, jemaat disimbolkan sebagai domba75 dan pendeta disimbolkan sebagai gembala.76 Alasannya, orang tua adat suku Meto menggunakan simbol itu berdasarkan pengalaman hidup mereka dengan ternak, secara khusus berdasarkan pengamatan mereka terhadap kambing. Oleh karena itu, mereka mengambil cerita tentang

73

Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019.

74

Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019.

75

Narasumber menggunakan kata domba juga berdasarkan pemahaman yang didapat dari Alkitab, karena sebenarnya bagi suku Meto sendiri dahulunya hanya mengenal kambing yang dipercaya sejenis dengan domba. Pada umumnya digunakan kata domba hanya untuk menyamakan dengan Alkitab. Karena berdasarkan pemahaman itu, orang tua adat mengganggap domba dan kambing mempunyai kesamaan. Sedangkan pada penggunaan kata dalam bahasa natoni digunakan kata Bibi an kase di mana kata Bibi merujuk pada kambing.

76

(29)

18

seluruh kehidupan dari kambing.77 Selain itu, simbol yang digunakan dipercaya sebagai salah satu cerita yang dipakai berdasarkan cerita Alkitab mengenai domba dan gembala.78 Dalam penggunaan itu, terdapat sebuah pemaknaan dibaliknya bahwa domba merupakan salah satu hewan yang tulus dan penurut.79 Oleh karena itu penggunaan metafora itu merupakan penggambaran tentang keadaan jemaat. Menurut salah satu jemaat, domba itu dipahami sebagai salah satu hewan yang sama seperti manusia karena dia menghormati induknya dan juga takut kepada gembalanya.80

Simbol gembala dan domba menurut salah satu jemaat adalah untuk memberikan pemahaman bagi jemaat dahulunya. Hal tersebut dikarenakan kehidupan orang tua adat yang masih kurang mengerti antara kehidupan jemaat dan pendeta. Sehingga ketika memberikan contoh dari cerita domba dan gembala ini sebenarnya akan memberikan jemaat pemahaman tentang bagaimana mereka dapat menjalani hubungan yang sebenarnya antara pendeta dan mereka sebagai jemaat.81 Dengan demikian, jemaat lebih dapat memaknai tentang kehidupan mereka dalam berjemaat. Dalam syair “An bi tilon bu’I nanam o’ af ne i... (in

nanan)” (di tempat di dalam kandang…. (yang lain)), hal tersebut menjelaskan

tentang kehidupan dari domba yang tidak terlepas dari kandang. Metafora kandang dalam natoni, menyimbolkan tempat ibadah atau gereja. Terdapat 2 kata kandang dalam natoni yang yang menjelaskan 2 arti yang berbeda. Kata “o’ af” menandakan kandang kecil yang dikhususkan bagi domba-domba. Sedangkan kata “tilon” menandakan kandang luas dengan banyak pohon rimbun sehingga menjadi tempat berkumpul dan beristirahat bagi semua jenis ternak.82 Hal tersebut menjelaskan bahwa dalam pertumbuhan domba dibutuhkan gembala untuk menggembalakan (He natukun) dan memelihara (nanono ne). Terhadap pemeliharaan dari gembala, domba-domba seutuhnya akan hidup dengan tubuh yang berminyak (Nok ao mina) dan tubuh yang gemuk (ao ne).

77

Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Lazarus, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 11-12 Agustus 2019.

78 Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 12 Agustus 2019. 79

Bapak Sias, (Penutur natoni) dan Bapak Yusak, (Tokoh Jemaat), wawancara; 11-12 Agustus 2019.

80

Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019.

81 Bapak Tuce, (Tokoh Masyarakat), wawancara; 19 Agustus 2019. 82

(30)

19

Berdasarkan syair itu, beberapa orang percaya bahwa hal itu menggambarkan mengenai keadaan jemaat, di mana kehadiran seorang gembala atau pendeta sesungguhnya akan menghadirkan sukacita ditengah-tengah mereka.83 Dalam syair natoni, kandang kecil (o’ af) bagi domba secara khusus mempunyai makna tersendiri bagi domba-domba sebab, ketika mereka berkumpul besama-sama dengan ternak lain di kandang yang luas dan rimbun (tilon), untuk mencari kebahagiaan bersama tetapi sesungguhnya gembala akan menuntun mereka kembali kepada kandang mereka. Hal tersebut merupakan suatu pemahaman bahwa jemaat memang mempunyai waktu untuk berada di suatu lingkungan yang luas bersama-sama dengan yang lainnya, namun pada saatnya untuk mereka kembali berkumpul di tempat ibadah (o’af) dengan kehadiran seorang gembala atau pendeta.84

Berdasarkan pemahaman-pemahaman tentang metafora dalam natoni, terdapat gambaran akan sesuatu hal yang khusus bagi pendeta yang diterima di jemaat ini. Hal tersebut jelas bahwa penerimaan itu terjadi dengan sukacita, sebagai bukti bahwa pendeta diterima menjadi bagian dari jemaat dan diajak untuk saling bekerjasama dalam kehidupan bersama.85 Salah satu tokoh jemaat menjelaskan bahwa pendeta yang disambut dan diterima merupakan utusan yang datang atas kebenaran sehingga sangat pantas untuk diberikan penghormatan dan penghargaan.86 Oleh karena itu, ketika digunakan metafora gembala dan domba dalam natoni berarti hal tersebut merupakan sebuah kepercayaan besar yang diberikan untuk dapat menjadi seorang gembala yang dapat menuntun, membimbing jemaatnya agar dapat bertumbuh di dalam iman. Sehingga berdasarkan kepercayaan yang diberikan, artinya bahwa seorang gembala dapat menjaga kepercayaan itu dan melakukan sesuai dengan kemampuan yang dapat memberikan sukacita dan damai sejahtera kepada jemaat.87

83 Bapak Sias (Penutur natoni), Bapak Lazarus (Tokoh Masyarakat) dan Bapak Hanis (Majelis

Jemaat Siloam Oelomin), wawancara 11-12 & 20 Agustus 2019.

84

Bapak Sias, (Penutur natoni), wawancara; 11 Agustus 2019.

85

Ibu Akriana, (Pendeta Jemaat GMIT Siloam Oelomin), wawancara; 22 Agustus 2019.

86 Bapak Filipus, (Tua Adat), wawancara; 14 Agustus 2019. 87

(31)

20

Analisis Makna Metafora dalam Natoni penerimaan Pendeta di GMIT Siloam Oelomin

Natoni penerimaan pendeta merupakan sebuah tanda penghormatan dan

penghargaan kepada pendeta. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hoed dalam buku Semiotika bahwa segala sesuatu yang hadir di dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberikan makna.88 Pemahaman tersebut memberikan arti bahwa natoni penerimaan pendeta sebagai sebuah tanda penghormatan dan penghargaan mempunyai sebuah makna yang terkandung di dalamnya. Sebagai tanda penghormatan, dapat berarti bahwa orang yang datang dihargai sebagai seseorang yang dipercaya mampu menjadi teladan bagi mereka. Selain itu, penghargaan dan penghormatan itu berdasarkan pemahaman bahwa pendeta merupakan seorang utusan yang datang dan akan membimbing mereka dengan Firman Tuhan. Penghargaan dan penghormatan kepada pendeta yang diekspresikan jemaat melalui upacara natoni, merupakan salah satu identitas suku Meto. Sebagai identitas tentunya digunakan dalam upacara-upacara tertentu sebagai bentuk sopan santun yang ditunjukan mereka melalui penerimaan terhadap orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian, sesuai dengan apa yang terdapat pada landasan teori tentang metafora oleh Lakoff & Johnson bahwa metafora bukan hanya sekedar bahasa saja melainkan terdapat dalam pemikiran dan tindakan. Hal itu jelas bahwa metafora terdapat dalam kehidupan sehari-hari manusia karena bagi mereka, setiap hal yang dipikirkan dan dialami pada dasarnya bersifat metaforis.89 Dalam hal ini, metafora yang digunakan dalam natoni sesuai dengan pemahaman narasumber bahwa metafora gembala dan domba dipakai berdasarkan kehidupan mereka sehari-hari dengan lingkungan/ alam. Hal lain yang menjadi alasannya bahwa berkaitan dengan latar belakang kehidupan orang tua adat.

Sejak dahulunya, kebanyakan orang tua adat berprofesi sebagai peternak yang hidup menggembalakan ternak. Dari hal tersebut mereka jadikan sebagai suatu cerita sehingga terbentuknya gambaran yang dipakai dalam bahasa adat yaitu dalam natoni. Hal tersebut juga dapat dipahami sesuai dengan penjelasan tambahan mengenai metafora menurut Lakoff & Johnson bahwa metafora berkaitan dengan pengalaman

88

Lanowa, Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan, Semiotika, 3.

(32)

21

hari manusia. Artinya, metafora yang dipakai ternyata berdasarkan pengalaman para leluhur atau orang tua adat.

Perjalanan metafora yang digunakan pada saat ini dalam natoni adalah berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dari cerita para leluhur atau orang tua adat. Dari hal tersebut cerita itu menjadi hal penting karena dimaknai sebagai pegangan yang ada sampai saat ini dari para leluhur. Dengan adanya cerita tersebut, akan terus berkembang pada generasi penerus suku Meto untuk terus dipakai sesuai dengan apa yang didapatkan dari para leluhur.

Pendeta dan jemaat yang disimbolkan sebagai gembala dan domba adalah berdasarkan apa yang mereka temukan dalam Alkitab. Dalam hal tersebut mereka dapatkan mengenai seorang gembala dapat juga dapat mempunyai sifat yang sama seperti Allah. Dalam Alkitab gembala dipakai untuk menggambarkan tentang Yesus. Oleh karena itu dalam kehidupan jemaat untuk menggambarkan sifat Allah tersebut, mereka menggunakan gembala sebagai sebuah penggambaran akan pendeta. Pendeta merupakan seorang utusan yang hadir di tengah-tengah jemaat dengan demikian mereka percaya bahwa sesungguhnya pendeta dapat menuntun mereka kepada jemaat Allah yang sesungguhnya. Ketika menggambarkan tentang domba, dipercaya bahwa domba merupakan seekor hewan yang terkadang berlari-lari sehingga tersesat ke kandang yang lain. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa sesungguhnya domba memerlukan penuntun. Sehingga ketika domba tersesat, gembala dapat memuntun mereka kembali ke kandangnya. Dengan adanya kepercayaan itu, diharapkan bahwa gembala dapat menjadi penuntun dan pemelihara bagi jemaatnya.

Natoni penerimaan pendeta memberikan pengaruh yang besar bagi

kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin. Secara khusus, isi natoni dengan berbagai metafora dalamnya. Penggambaran akan pendeta dan jemaat sebagai gembala dan domba, sangat berpengaruh untuk kehidupan berjemaat. Penggambaran itu jemaat terima dan percaya bahwa simbol gembala dan domba bisa membawa mereka kepada sebuah pemahaman yang baik. Hal tersebut memberikan manfaat bagi jemaat karena mereka dapat menempatkan diri dalam kehidupan berjemaat. Layaknya seperti domba yang bergantung kepada gembala dan selalu mendengarkan suara sang gembala, jemaat menggunakan ilustrasi itu dalam kehidupan mereka. Selain itu gembala yang pada umumnya dapat

(33)

22

menggembalakan, memelihara dan mengarahkan domba-dombanya. Dengan demikian pendeta yang melayani di jemaat ini, menerima penggambaran tersebut sebagai sebuah kepercayaan besar yang sangat penting untuk dilakukan dalam membangun iman jemaat. Penggambaran itu membuat kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin dapat saling menghargai diantara jemaat dan juga dengan pendeta.

Peran pendeta ketika menjadi seorang gembala sangat penting di tengah-tengah kehidupan berjemaat dan lingkungan sekitarnya. Kata tilon dalam natoni, menjelaskan mengenai kandang yang luas dan rimbun. Tempat ini menjadi sebuah tantangan bagi jemaat, untuk bisa hidup bersosialosasi dengan orang lain dilingkungan sekitar atau hanya berfokus kepada kelompok mereka di dalam jemaat. Oleh karena itu, kehadiran pendeta di jemaat ini bisa membawa jemaat untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Bukan hanya memperkuat hubungan dalam kandang yang kecil (o’ af), tetapi membawa jemaat untuk berelasi dengan orang lain di luar dari kehidupan berjemaat di Siloam Oelomin.

Pemahaman mengenai metafora dalam natoni, sesungguhnya menjelaskan mengenai hubungan antara Allah dengan manusia. Dillistone dalam buku Daya Kekuatan Simbol, menjelaskan bagaimana hubungan metafora dengan kepercayaan terhadap Allah.90 Metafora yang digunakan sebenarnya sudah menjelaskan secara langsung bagaimana jemaat menggunakannya terus menerus karena mereka percaya bahwa sesungguhnya Allah menunjukan kuasanya melalui apa yang dialami sehari-hari. Pengalaman yang dialami dalam kehidupan manusia, sesungguhnya memberikan mereka sebuah pemahaman khusus bahwa Allah memberikan cerita tentang domba dan gembala adalah untuk menjelaskan secara nyata mengenai karya Allah bagi jemaat-Nya. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah menghadirkan dirinya bagi jemaat melalui sesuatu dalam kehidupan manusia yang alami. Dengan adanya hal tersebut, jemaat memegang hal itu dan percaya bahwa apa yang mereka gunakan sebagai metafora yaitu berdasarkan kehadiran Allah dalam kehidupan mereka.

Pemahaman jemaat mengenai metafora gembala dan domba, sesungguhnya tidak sepenuhnya sesuai dengan keadaan di Timor. Dikatakan demikian karena kehidupan suku

90

(34)

23

Meto di Timor, tidak terdapat ternak jenis domba. Sebab domba tidak pernah dilihat secara langsung oleh orang tua adat suku Meto. Dalam kehidupan sehari-haripun mereka hanya menggembalakan dan memberi makan beberapa jenis ternak seperti sapi, kambing, babi, ayam dan anjing. Oleh karena itu, pemahaman jemaat mengenai domba, digambarkan dengan salah satu ternak yang sejenis yaitu kambing. Penggunaan kata Bibi di dalam natoni sebenarnya merujuk pada arti yang sebenarnya yaitu kambing. Namun, mereka tetap mempertahankan pemikiran mereka untuk disejajarkan dengan pemahaman di dalam Alkitab. Jadi dalam kehidupan mereka sebagai gembala, posisi domba digantikan oleh kambing yang ada di Timor.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pemahaman jemaat mengenai penggunaan metafora gembala dan domba sesungguhnya didapatkan berdasarkan pengalaman mereka dengan Alkitab. Secara khusus, memberikan pemahaman bahwa metafora gembala dan domba didapatkan berdasarkan ilustrasi-ilustrasi yang mereka temukan dalam Alkitab. Dalam hal ini, meskipun penggunaan metafora gembala dan domba itu berdasarkan 2 cerita yang melatarbelakangi, yaitu pengalaman kehidupan sehari-hari dan pengalaman dengan ilustrasi dalam Alkitab. Tetapi di sini dapat dilihat bahwa cerita Alkitab mempunyai posisi yang paling kuat dalam mempengaruhi pemahaman jemaat untuk menggunakan metafora dalam natoni itu. Oleh karena itu, dalam kehidupan orang tua adat suku Meto, Alkitab mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan mereka. Walaupun kehidupan mereka awalnya belum banyak memahami akan kisah-kisah dalam Alkitab, namun mereka menerima Alkitab sebagai sebuah teladan yang utama dalam hidup mereka.

Hal ini menjadi penting untuk dibahas bahwa dalam ritual kebudayaan yang dipakai sebagai tradisi bagi suku Meto sesungguhnya tidak terlepas dari pemahaman teologis. Dapat dikatakan demikian, karena berdasarkan pemahaman awal bahwa jemaat mempertahankan dan mengutamakan kebudayaan di dalam kehidupan bergereja. Namun hal tersebut sesungguhnya berjalan seimbang dengan pemahaman Teologis mereka yang mereka dapatkan dari Alkitab. Sehingga menjadi penting untuk dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan tidak

(35)

24

membuat jemaat untuk meninggalkan hal-hal dalam kehidupan gereja. Bahkan sesungguhnya yang menjadi peran penting dalamnya adalah pemahaman jemaat yang sesungguhnya dipengaruhi oleh kisah atau cerita di dalam Alkitab.

Kesimpulan

Pada umumnya, ritus-ritus yang ada dalam suatu budaya tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakatnya. Ritual natoni sebagai bagian dari kebudayaan suku Meto sangat menjadi bagian yang penting dalam kehidupan mereka. Metafora-metafora yang digunakan oleh para penutur, sebenarnya menggambarkan bahwa sekalipun mereka sudah menjadi bagian dalam kekristenan dengan adanya gereja, namun warisan itu masih tetap digunakan turun-temurun.

Metafora yang digunakan dalam natoni penerimaan pendeta, umumnya menggambarkan keadaan, harapan, dan isi hati dari jemaat bagi pendeta. Pemahaman jemaat mengenai penggunaan metafora dalam natoni sesungguhnya, menjelaskan beberapa hal yang menarik. Ketika jemaat memahami metafora mengenai gembala dan domba adalah hal yang tidak terlepas dari kehidupan gereja. Hal tersebut menjelaskan bahwa metafora sebagai pengalaman kehidupan manusia yang didapatkan dari kehidupan para leluhur. Namun menjadi penting di sini, bahwa kehidupan masyarakat budaya, tidak terlepas dari kehidupan teologis. Berdasarkan hasil bahwa sekalipun jemaat menggunakan metafora-metafora dalam natoni berdasarkan pengalaman, namun hal tersebut tidak terlepas dari pemahaman mereka akan cerita Alkitab. Dikatakan demikian, karena Alkitab mempunyai peran penting dalam mempengaruhi pemahaman jemaat yang disesuaikan dengan kehidupan budaya mereka.

Dari hal tersebut penulis melihat makna yang terkandung dalam natoni penerimaan pendeta yaitu makna Teologis dan makna Sosiologis. Makna Teologis dalam natoni penerimaan pendeta dapat dilihat dari pemahamn bahwa ritual ini sebagai suatu hal yang sakral. Kata skaral dalam natoni merujuk pada pemahaman mereka bahwa natoni sebagai sebuah doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Isi

(36)

25

cerita dalam Alkitab. Makna Sosiologis dalam natoni ini, merujuk pada makna penggunaan natoni itu. Dalam hal ini dapat dilihat berdasarkan bahwa natoni dalam penerimaan pendeta sangat berkaitan dengan relasi. Relasi antar jemaat dan pendeta dituangkan dalam natoni, yang diinginkan oleh jemaat pada umunya pendeta dapat melaksanakan tugas dan dapat bekerjasama dengan baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa natoni merupakan ritual yang menjujung nilai persaudaraan.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian yang ada, penulis melihat adanya hal-hal yang diperlukan sebagai saran bagi jemaat yaitu pentingnya pengembangan tradisi adat suku Meto bagi penerusnya yaitu generasi muda. Dalam pengembangan itu sangat penting ketika generasi penerus dapat memahami setiap ungkapan-ungkapan metaforis yang digunakan sehingga perlunya kesesuaian antara keadaan sekitar. Diakatakan demikian, karena setiap ungkapan perlu untuk dipahami latar belakangnya. Penting untuk dilihat bahwa natoni merupakan suatu tradisi yang mempunyai kedudukan dalam suku Meto karena dalam penggunaannya dapat memberikan makna yang tersirat sehingga perlu untuk dipertahankan sebagai tradisi yang dapat membangun pemahaman jemaat.

(37)

26

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Alwasilah, A. Chaedar. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa, 1989.

Aminuddin. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Malang: Sinar Baru Algensindo, 2001.

Anggito, Albi dan Johan Setiawan. Metodologi Penelitian Kualitatif.Sukabumi: CV Jejak, 2018.

Basrowi dan Suwandi.Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan

Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010.

Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar mengenal Semiotika

dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Dillistone, F. W. Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols. Yogyakarta:

Kanisius, 2002.

Hermaji, Bowo. Teori dan Metode Sosiolinguistik. Salatiga: Widya Sari Press, 2011.

Herususatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak, 2008.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Khoyin, Muhammad. Filsafat Bahasa: Philosophy of Language. Bandung:

Pustaka Setia, 2013.

Lakoff, George., and Mark Johnson. Metaphors We Live By.London: The University of Chicago Press, 2003.

Lanowa, Jafar., Nila Mega Marahayu dan Muh. Khairussibyan. Semiotika: Teori,

Metode, dan Penerapannya dalam Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Deepublish, 2017.

Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS, 2002.

Majelis Sinode GMIT. Tata Gereja: Gereja Masehi Injili di Timor 2010

(38)

27

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya

Ilmiah. Jakarta: Prenadamedia Group, 2010.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2001.

Tarno., I Nyoman Reteg, Fransiskus Sanda, Samuel Nitbani, Gomer Lifeto.Sastra Lisan Dawan.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993.

Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Jurnal:

Andung, Petrus Ana. “Komunikasi Ritual Natoni masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur.”Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1. (Januari-April 2010): 36-44.

Banamtuan, Maglon Ferdinand. “Upaya Pelestarian Natoni (Tuturan Adat) dalam Budaya Timor Dawan (Atoni Meto).”Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Volume 6, Nomor 1. (2016): 74-90.

Fallo, John Darwis dan Fathur Rokhman.“Tuturan Ritual Natoni Adat Masyarakat Etnis Timor dalam Penyambutan Tamu di Sekolah.”Seloka: Jurnal

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume 5, Nomor 2. (2016):

105-114.

Kuswarini, Prasuri., Masdiana, Zulvyati Hantik. “Penerjemahan Metafora dalam

Saman ke dalam Bahasa Prancis.”Jurnal Ilmu Budya, Volume 6, Nomor 1

(Juni 2018): 176-185.

Sukarno. “Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum pada Surat Kabar Harian Jawa Pos.”Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, Volume 17, Nomor 1. (April 2017): 15-28.

Tinarbuko, Sumbo. “Semiotika Analisis Tanda pada Karya Desain Komunikasi Visual.” Jurnal Desain Komunikasi Visual, Volume 5, Nomor 1 (Januari 2003): 31-47.

(39)

28

Wiradharma, Gunawan dan Afdol Tharik WS. “Metafora dalam Lirik Lagu Dangdut: Kajian Semantik Kognitif.” Arkhais, Volume 07, Nomor 1. (Januari—Juni 2016): 5-14.

Referensi

Dokumen terkait

Batas-rendah harus dapat diatur secara mudah melalui papan tombol yang berinteraksi dengan kode singkat pada layar tampilan. Bila kredit mencapai nol, rele harus membuka

Uji Efek Antiulcer Perasan Umbi Ganyong (Canna edulis ker) pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.. Gangguan Lambung

terdapat seleksi dibagian-bagian yang telah kita tandai pada saat di Edit Quick Mask tadi, lalu pada menu pilih Select, Inverse atau memakai shortcut pada keyboard dengan

Hasil analisis molekuler terhadap urutan nukleotida maupun asam amino pada fragmen protein internal polymerase PB2 virus avian influenza H5N1 yang diisolasi dari

menit - Mahasiswa mendiskusikan masalah yang sudah disusun dosen dalam kelompok kecil - Diskusi kelas - Mahasiswa membuat tugas kompresi dan pengkodean citra Program

Orang tua sangat berperan penting untuk memberikan contoh bertingkah laku baik, bertutur kata yang baik, berpikir yang positif dan patut memberikan teladan kepada

Berbentuk tabung yang tidak berlubang di dalamnya, dipakai untuk mengaduk suatu campuran atau larutan zat-zat kimia pada waktu melakukan reaksi-reaksi kimia,

Berdasarkan hasil data dan pem- bahasan, dapat disimpulkan bahwa ”Persepsi siswa mengenai media animasi simulasi fisika pada siswa kelas X.2 di SMA Persada