• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KESEIMBANGAN AIR DAN ELEKTROLIT

Dewasa : air ± 60% BB

Bayi : air ± 80% BB rawan dehidrasi

rentan keseimbangan air dan elektrolit Air tubuh:

- Cairan intrasel (30 – 40%) - Cairan transeluler (1 – 3%) - Cairan ekstrasel (20 – 25%)

o 15% interstitiel (limfe, cairan jaringan) o 5% intravaskuler (plasma)

Cairan transeluler: rongga sendi, rongga pleura, LCS, cairan dlm bola mata, cairan peritoneum Bayi CES > CIS

Volume CIS ditentukan oleh tekanan osmotik ekstrasel melalui membran sel yg bebas dilalui air Tekanan osmotik ↑ - air keluar dari sel (sel mengkerut)

Tekanan osmotik ↓ - air masuk ke dalam sel Tekanan osmotik dipengaruhi oleh ion Na dan K

Transport K+ ke dalam sel dan Na+ keluar sel terjadi secara aktif (perlu energi)

Volume cairan intravaskuler (plasma) dipertahankan oleh keseimbangan antara filtrasi dan tekanan onkotik pada sistem kapiler

Tekanan onkotik ditentukan oleh albumin.

Misalnya pada sindroma nefrotik, protein ↓  tek onkotik intravaskuler ↓  vol cairan interstitial ↑, akibatnya terjadi udem jaringan

Pengaturan cairan tubuh

1. Masukan air

- Ada rangsang haus (pusat di hipothalamus) - Haus timbul bila:

i. Cairan tubuh ↓

ii. Osmolalitas plasma ↑ (1 – 2%) 2. Absorbsi air

- terjadi di GIT secara difusi pasif

- transport Na dr lumen usus ke sel (tjd scr aktif)

absorbsi Na diikuti absorbsi air

3. Kehilangan cairan normal 4. Mekanisme regulasi ginjal

Mengatur:

- keseimbangan cairan

- osmolalitas cairan dengan mengatur ekskresi air

-

mengatur distribusi air melalui retensi Na+ dan ekskresi Na+

Kehilangan air abnormal:

- Hiperventilasi (pd penumoni)

-

Suhu lingkungan ↑ ; Kelembaban ↓ - Hilang melalui GIT (diare)

(2)

- Edema (bukan hilang tp pindah ke jar interstitiel) ANTI DIURETIK HORMON (ADH)

↔ Merupakan hormon vasopresin arginin (di hipofise posterior)

↔ Mekanisme kerja (di ginjal)

↑ permeabilitas tubulus ginjal dan ductus kolektivus terhadap air ADH (+) – urin pekat

ADH (-) – urin encer

↔ Sekresi ADH diatur oleh

o

Tekanan osmotik CES (konsentrasi Na+ & Cl-)

o Emosi

o ADH ↑ : rasa sakit, trauma, tindakan bedah

o

ADH ↓ : anestesia, alkohol, obat (morfin, difenilhidantoin, barbiturat, glukokortikoid) NATRIUM

↔ Terbanyak dlm CES, mengatur volume CES

Volume CIS tergantung volume CES Na  kunci dari kontrol volume cairan tubuh

↔ Konsentrasi intrasel ± 10 mEq/ L

Konsentrasi ekstrasel (plasma) = 135 – 140 mEq/ L 1 mEq Na+ = 23 mg

1 g garam NaCl = 18 mEq Na+

Kebutuhan Na+: 1 – 3 mEq/ kgBB/ hari

Perubahan kadar Na  kadar Na ekstrasel berubah

Perubahan kadar Na di serum  perubahan Na+ di cairan interstitiel

↔ Absorbsi

Pada GIT (jejunum) melalui enzim Na – K – ATP ase, hormon aldosteron, hormon desoksi kortikosteron acetat

↔ Ekskresi

t.u melalui ginjal, sebagian kecil melalui tinja, keringat, air mata Konsentrasi Na dalam keringat: 5 – 40 mEq/ L

Dipengaruhi oleh:

- perubahan volume ekstraseluler - hormon ADH

- rasa haus

Bila ADH ↓  Na banyak keluar

Pengaturan keseimbangan Na :

Perfusi ginjal ↓  renin ↑  angiotensin II  aldosteron ↑

Angiotensin dan aldosteron meningkatkan tekanan darah  terjadi retensi Na + air shg menimbulkan oedema

Retensi Na terdapat pada :

Glomerulonefritis dengan GFR menurun

• Tekanan onkotik plasma ↓ (sindroma nefrotik)

• Volume arteri ↓ (gagal jantung kongestif)

• Pemberian kortikosteroid dg efek retensi Na

Kehilangan Na+ terjadi pada :

DM  glukosa ↑ dlm tubulus  menghambat reabsorbsi air + Na  natriuresis

Penyakit Addison

• Diare

Hiponatremia (Na+ serum < 135 mEq/ L)

(3)

Kehilangan Na+ (diare)

Air dalam ruang ekstraseluler ↑ (sering) Misal SiADH, intake air ↑↑

Gejala: kejang, kesadaran menurun (edema)

Hipernatermia (Na+ serum > 150 mEq/ L)

Retensi Na+

Diare kehilangan air ↑↑ Diabetes Insipidus KALIUM

 95% di intrasel

 konsentrasi plasma 3.4 – 5.5 mEq/ L

kebutuhan K+ 1 – 3 mEq/ kgBB/ hari

 Fungsi: mengatur tonisitas intrasel “resting potential” membran sel

Ekskresi: 90% melalui urin, diatur oleh aldosteron

Asidosis – K+ keluar sel

Alkalosis – K+ masuk sel

 Hipokalemia

Intake K+ kurang (malnutrisi, puasa, diare,

muntah)

• Ekskresi ↑ (obat diuretik, gangguan keseimbangan asam basa)

• Kehilangan (diare)

• Gejalanya:

o Otot-otot lemah (paralisis)

o

Refleks menurun

o ileus paralitik, dilatasi lambung (kembung)

o letargi, kesadaran menurun

o EKG:

 T wave kecil

 Ada gelombang U

 Q – T interval memanjang

 Hiperkalemia

• Kelainan ekskresi ginjal (GGA, GGK, insufisiensi adrenal, hipoaldosteronisme, diuretik)

• Intake ↑

Penghancuran jaringan akut (trauma, hemolisis, nekrosis, operasi, luka bakar)

Redistribusi K+ transeluler: asidosis

metabolik

• Gejala (terutama jantung):

o Gelombang T tinggi, runcing

o Interval PR memanjang

o QRS melebar

o ST segmen depresi

o Atrioventrikular/ intraventrikular heart block

(4)

KEBUTUHAN CAIRAN TUBUH  Cairan tubuh hilang melalui: 1. Urin – 50% dari kehilangan cairan

Normal: 50 ml/ kgBB/ 24 jam 2. Insensible Water Loss (50%)

- Respirasi (15%) - Kulit (30%) - Feses (5%)

CARA MENGHITUNG KEBUTUHAN CAIRAN

1. Luas permukaan tubuh (BSA = Body Surface Area) = mL/ m2/ 24 jam

Paling tepat untuk BB > 10 kg

Normal: 1500 ml/ m2/ 24 jam (kebutuhan maintenance/ kebutuhan rumatan)

2. Kebutuhan kalori 100 – 150 cc/ 100 KAL 3. Berat badan Rumus umum: 0 100 ml/ kg – 10 kg pertama 0 50 ml/ kg – 10 kg kedua 0 20 ml/ kg – berat > 20 kg

Misalnya  anak dengan BB 25 kg, memerlukan:

0 100 ml/ kg x 10 kg = 1000 cc – 10 kg (I)

0 50 ml/ kg x 10 kg = 500 cc – 10 kg (II)

0

20 ml/ kg x 5 kg = 100 cc – 5 kg (sisa) Total = 25 kg = 1600 cc/ 24 jam

Keadaan yang Meningkatkan/ Menurunkan Kebutuhan Cairan

1. Meningkatkan metabolisme

Demam - ↑ H2O: 12%/ °C

2. Menurunkan metabolisme

Hipotermi – H2O ↓ 12%/ °C

3. Kelembaban lingkungan tinggi

Insensible water loss menurun 0 – 15 cc/ 100 KAL 4. Hiperventilasi – IWL meningkat 50 – 60 cc/ 100 KAL

5.

Keringat >> - H2O meningkat 10 – 25 cc/ 100 KAL

Kebutuhan Elektrolit

2 – 4 mEq Na+/ 100 cc cairan

2 – 4 mEq K+/ 100 cairan

SUBTITLE:

KESEIMBANGAN ASAM BASA

Gangguan keseimbangan air – elektrolit  gangguan keseimbangan asam basa

Sistem Buffer: zat yang dapat mencegah perubahan kadar ion hidrogen bebas dlm larutan, bila mendapat tambahan asam/ basa

Istilah

 Asidemia = pH darah < 7.35  Alkalemia = pH darah > 7.45

(5)

 Alkalosis = kadar bikarbonat serum ↑ Tubuh melindungi diri dari perubahan pH dengan:

1. Mengencerkan produk asam 2. Sistem buffer

3.

Regulasi pernapasan – mengatur kadar pCO2 plasma

4.

Reabsorbsi bikarbonat yang difiltrasi di ginjal, ekskresi H+ & NH 4+

HCO3

-pH = 6.1 + log ---H2CO3

H2O CO2 – pengeluarannya diatur oleh pernapasan

Metabolic acidosis  CO2 keluar >>>, sehingga H2CO3 ↓↓

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA

pH darah adalah resultan 2 komponen: komponen metabolik dan komponen respiratorik  pH normal: 7.35 – 7.45

BE (base akses) merupakan komponen metabolik yaitu jumlah basa yg perlu dikoreksi Normal = ± 2.3 mEq/ L

BE (+)  kelebihan basa

BE (–)  kekurangan basa/ kelebihan asam

pCO2 = merupakan komponen respiratorik status asam basa

Normal = 35 – 45 mmHg

 Klasifikasi gangguan asam basa: 1. Asidosis metabolik 2. Asidosis respiratorik 3. Alkalosis metabolik 4. Asidosis respiratorik  Asidosis (pH 6.8 – 7.35): • Metabolik: BE (-)

Respiratorik: pCO2 ≥ 45 mmHg  Alkalosis (pH 7.45 – 7.8): • Metabolik: BE (+)

Respiratorik pCO2 ≥ 35 mmHg

Asidosis Metabolik

 pH ↓, bikarbonat ↓, BE (-)

pCO2  bukti tubuh menetralisir racun

 Sebab:

1.

Produksi ion H+ berlebihan, misalnya:

Meningkatkan metabolisme (demam, distress pernapasan, kejang, dll)  Meningkatkan asam organik (dehidrasi, hipoxia, hipoperfusi)

 Ketosis (DM, kelaparan)

2. Kehilangan bikarbonat berlebihan, misalnya: diare, drainase ileostomi 3. Pemberian asam (HCl, asam amino)

4. Kegagalan ginjal untuk mengeluarkan asam yg berlebihan

 Derajat beratnya asidosis metabolic ditentukan oleh turunnya base akses

Kompensasi: hiperventilasi... CO2 ↑ keluar (napas cepat, dalam = kussmaul respiration)

(6)

Alkalosis Metabolik

Konsentrasi H+ turun

 Sebab:

1.

Muntah (HCl, K+ hilang)

2.

K+ hilang berlebihan (melalui urin, GIT)

3.

Penambahan HCO3 ke dalam CES (misalnya th/ iv)

4.

↑ reabsorbsi HCO3. Misalnya: sindroma Cushing, Bartter, Hipoaldosteronisme primer

Kompensasi: hipoventilasi  hipoksemia

Lab: pH ↑, CO ↑, BE (+), pO2 ↓, HCO3 ↑

Asidosis Respiratorik

Akibat dr hipoventilasi alveolar sehingga produksi CO2 > ekskresi CO2

 Terjadi pada:

• Penyakit paru berat: membran hialin, bronchopneumonia, edema paru

• Penyakit neuromuskuler: sindroma Guillian Barre, overdosis obat sedatif

• Obstruksi jalan napas: bronchospasme  Kompensasi

Ginjal  membentuk dan meningkatkan reabsorbsi bikarbonat  Gejala klinik:

• Hipoksia

Vasodilatasi (karena CO2 ↑)

Laboratorium: pH ↓ - pCO2 ↑ - HCO3 ↑ - BE (+)

Alkalosis Respiratorik

Ekskresi CO2 melalui paru-paru berlebihan sehingga pCO2 ↓

 Sebab:

- hiperventilasi (kerusakan otak, emosi); keracunan salisilat

Lab: pH ↑ - pCO2 ↓ – bikarbonat ↓ - BE (-)

Mekanisme kompensasi

 Gangguan respiratorik – dikompensasi oleh ginjal

 Gangguan metabolik – dikompensasi oleh mekanisme respirasi Tingkat kompensasi dibagi dalam:

 Tidak dikompensasi (mekanisme kompensasi tidak bekerja)  Kompensasi partial (pH tidak sampai normal)

 Kompensasi penuh (pH kembali normal)  Kompensasi berlebihan

Perkiraan gangguan asam basa dpt diketahui dg memeriksa darah arteri (pemeriksaan ASTRUP = Analisa Gas Darah)

Yang dinilai adalah: pH, pCO2, HCO3, BE

Selain itu ada faktor penting lain: pO2, O2 saturation Koreksi kelainan asam basa

1. Asidosis metabolik

Tujuan koreksi – mengganti defisit basa Dipakai Na bikarbonat/ natrium laktat

Rumus: BE x BB x 0.3 = jumlah mEq bikarbonat yg diperlukan 2 – 4 mEq/ kgBB

(7)

2. Alkalosis metabolik Koreksi jarang diperlukan

Pemberian K+ (KCl) memperbaiki alkalosis (max 40 mEq K+/ L)

3. Alkalosis Respiratorik

Akut  rebreathing system (↑ inspirasi CO2)

Kronik  kontra indikasi untuk rebreathing system 4. Asidosis respiratorik ↑ ventilasi  ventilator

Keseimbangan Air

dan

Elektrolit

Finish

(8)

---INFUS CAIRAN INTRAVENA (Macam-Macam Cairan Infus) September 16, 2010

by yuda handaya

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.

Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah: Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

“Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi) Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)

Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)

Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:

Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.

Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas. Pemberian kantong darah dan produk darah.

Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).

Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)

Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

(9)

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.

Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:

Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.

Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus: • Rasa perih/sakit

• Reaksi alergi Jenis Cairan Infus: Cairan hipotonik:

osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

Cairan Isotonik:

osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik:

osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5% +NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya: Kristaloid:

(10)

bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

Koloid:

ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.

JENIS-JENIS CAIRAN INFUS ASERING

Indikasi:

Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.

Komposisi:

Setiap liter asering mengandung: Na 130 mEq

K 4 mEq Cl 109 mEq Ca 3 mEq

Asetat (garam) 28 mEq Keunggulan:

Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus

Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran

Mempunyai efek vasodilator

Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral KA-EN 1B

Indikasi:

Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)

< 24 jam pasca operasi

Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak

Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam KA-EN 3A & KA-EN 3B

Indikasi:

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A

(11)

Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B KA-EN MG3

Indikasi :

Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) Mensuplai kalium 20 mEq/L

Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L KA-EN 4A

Indikasi :

Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak

Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal

Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik Komposisi (per 1000 ml): Na 30 mEq/L K 0 mEq/L Cl 20 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 40 gr/L KA-EN 4B Indikasi:

Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun

Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik

Komposisi: Na 30 mEq/L K 8 mEq/L Cl 28 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 37,5 gr/L Otsu-NS Indikasi: Untuk resusitasi

Kehilangan Na > Cl, misal diare

Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)

Otsu-RL Indikasi: Resusitasi

Suplai ion bikarbonat Asidosis metabolik MARTOS-10

(12)

Indikasi:

Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik

Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein

Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam Mengandung 400 kcal/L AMIPAREN

Indikasi:

Stres metabolik berat Luka bakar

Infeksi berat Kwasiokor Pasca operasi

Total Parenteral Nutrition

Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit AMINOVEL-600

Indikasi:

Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI Penderita GI yang dipuasakan

Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi) Stres metabolik sedang

Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)

PAN-AMIN G Indikasi:

Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan Nitrisi dini pasca operasi

(13)

TERAPI CAIRAN SEDERHANA DAN TRANFUSI PERIOPERATIF I. Cairan Preoperatif

Cairan yang diberikan pada pasien – pasien yang akan mengalami tindakan operasi, dan juga merupakan cairan pengganti puasa.

Contoh : Pasien dengan BB 60 kg, dan pasien tersebut puasa selama 8 jam, cara menghitung cairan pengganti puasa adalah sebagai berikut:

Rumus : Kebutuhan Cairan x kg BB / 24 Jam : 50 cc x 60 kg BB = 3000 cc/24 jam

Kebutuhan / Jam adalah : 125 x 8 jam puasa = 1000 cc/8 jam. II. Cairan Durante Operasi

1. Mengganti cairan maintenance operasi Pedoman :

Operasi ringan : Ringan 4 cc/kgBB/Jam Sedang 6 cc/kgBB/Jam

Berat 8 cc/kgBB/Jam

Cairannya adalah ringer lactat.

2. Mengganti cairan akibat pedarahan. Pedoman :

Catat :

2.1. Perdarahan yang tertampung. 2.1.1. Botol penampung dari suction 2.1.2. Kasa atau sejenisnya

2.1.3. Ceceram dilapangan operasi

2.2. EBV penderita dan prosentase perdarahan Cairan pengganti :

2.1.1. Kristaloid 2.1.2. Koloid 2.1.3. Darah

(14)

Seorang Px ♂ dating dengan diagnosa Fraktur Femur Dextra dan akan dilakukan operasi pleting femur dextra.

BB. 70 kg, TD. 90/70 mmHg, Nadi. 100x/m.

Contoh menghitung cairan durante maintenance operasi. Rumus : KgBB x Jenis Operasi / jam

: 70 x 6 = 420 cc / jam.

Jika operasi selama 3 jam berarti kebutuhan cairan maintenance adalah 420 cc x 3 jam = 1260 cc selama 3 jam operasi.

4. Contoh menghitung cairan pengganti perdarahan. Rumus EBV : kgBB x EBV =

: 70 x 70 = 4900 ml.EBV Perdarahan : 10% = 490 cc 20% = 980 cc

30% = 1470 cc 40% = 1960 cc

Jika perdarahan 10% berarti kita berikan cairan fristaloid yaitu 2 – 4 x pemberian. Jika perdarahan > 20% kita berikan cairan koloid dan darah 1 x pemberian.

Apabila operasi selama 3 jam, perdarahan 40 % cara menghitung maintenance dan perdarahan adalah sebagai berikut.

- Operasi sedang

70 x 6 = 420 cc/Jam x 3 jam = 1260 cc cairan RL/PZ

- Perdarahan 40% berikan koloid / dara 1 x pemberian jadi perdarah 1960cc. Berarti berikan koloid 1960cc atau darah 1960cc.

Jadi cairan maintenance di tambah perdarahan selama berapa jam operasi yaitu 1260cc RL/PZ + 1960cc Coloid/darah.

III. Cairan Post Op.

1. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa Natrium 2 – 4 Meg/kgBB

Kalium 1 – 2 Meg/kgBB 2. Kebutuhan kalori basal

(15)

Dewasa berdasarkan berat badan Rumus : BB (kg) x 20 – 30 : Anak bedasarkan umur Contoh : BB 60 kg.

Kebutuhan Natrium 2 – 4 Meg x 60 = 120 – 240 Meg. Kalium 1 – 2 Meg x 60 = 60 – 120 Meg.

Kalori 20 – 30 Meg x 60 = 1200 – 1800 Kalori.

Cairan RL Natrium 130 Meg/L, dengan BB 60 Kg berarti kebutuhan cairan Post Op. 24 Jam adalah : RL : 1500 cc

(16)

Rumus Yang Harus Diingat Perawat (Bag 1)

Sepertinya bulan Juli termasuk bulan yang penuh kemalasan bagiku… ide menumpuk-numpuk, tapi tak tergerak sedikitpun badan mengerjakan… huft.. semoga tak semakin panjang saja.. ide menulis topic ini sudah mulai terpikir dari akhir bulan yang lalu, dan sekarang harus begitu bekerja keras menuliskan ini..

Ketika jaman kuliah S1 dulu, bekerja keras menjelang ujian mengingat-ingat rumus yang harus diingat, begitu masuk dunia kerja rumus itu begitu saja pergi dari ingatan, begitu kepepet baru deh obrak-abrik diktat kuliah untuk mencari-cari bahan kuliah jaman dulu. Kali ini coba menulis rumus-rumus yang sering digunakan di dunia kerja yang kudu diinget nih…

1. Rumus Tetesan Cairan infus

Terkadang sebagai perawat, menghitung tetesan perawat lebih sering dilakukan dengan ilmu kirologi, walaupun ada beberapa yang tepat, namun tak banyak juga yang benar-benar meleset jauh, karena kondisi pasien tak bisa semua modal kirologi, beberapa penyakit gagal organ akan sangat berdampak buruk akibat kelebihn cairan yang kita berikan. Sambil mereview lagi, mari kita hitung rumus tetesan infuse

Macro

Jika yang ingin dicari tahu adalah berapa tetesan yang harus kita cari dengan modal kita tahu jumlah cairan yang harus dimasukkan dan lamanya waktu, maka rumusnya adalah:

Tetes/menit : (jumlah cairan x 20) / (Lama Infus x 60)

Jika yang dicari adalah lama cairan akan habis, maka rumusnya adalah sebagai berikut: Lama Infus: (Jumlah Cairan x 20) / (jumlah tetesan dlm menit x 60)

Misal: seorang pasien harus mendapat terapi cairan 500 ml dalam waktu 4 jam, maka jumlah tetesan yang harus kita berikan adalah (500 x 20 ) / ( 4 x 60 ) = 10000 / 240 = 41,7 = 42 tetes/menit begitupun untuk rumus lama infuse tinggal dibalik aja.

Micro

Selang infuse micro adalah selang infuse yang jumlah tetesannya lebih kecil dari macro, biasanya terdapat besi kecil di selangnya, dan biasanya digunakan untuk bayi, anak dan pasien jantung dan ginjal. Rumus untuk menghitung jumlah tetesannya adalah sebagai berikut:

Jumlah tetes/menit : (Jumlah cairan x 60 ) / (Lama Infus x 60) Sedangkan rumus lamanya cairan habis adalah sebagai berikut: Lama waktu : ( Jumlah Cairan x 60) / (jumlah tetesan dalam menit x 60) 2. Rumus Rumpleed test

Rumpleed test biasanya dilakukan untuk mengetahui tanda gejala awal adanya ptekee (bintik merah pada penderita DBD), ptekee muncul akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, sehingga pada fase awal tidak akan langsung muncul, oleh karena itu tujuan rumpled test adalah untuk mengetahui lebih awal adanya ptekee. Rumus yang dipakai adalah (Sistole + Diastole) / 2, lalu tahan 5 – 10 menit. jika terdapat sepuluh atau lebih bintik merah, maka dikatakan rumpled test positif, jika kurang maka disebut rumpled test negative. Misal kita melakukan tensi darah hasilnya 120/80 mmHg (systole : 120, Diastole: 80), maka (120 + 80)/2 = 100 mmHg, maka kita pompa hingga alat tensi darah menunjukkan angka 100 mmHg, kita tutup tepat di angka 100 dan tahan selama 5 – 10 menit, lepaskan baru kita hitung jumlah bintik merahnya. Rumpleed test merupakan uji awal adanya gangguan trombosit pada penderita DBD, namun bukanlah hal untuk menegakkan diagnose DBD. 3. Rumus Kebutuhan Cairan

Kebutuhan cairan pada tubuh data dihitung sebagai berikut:

Pada anak < 10 Kg , maka 10 Kg maka dihitung 100 ml/ BB. Missal BB 8 kg maka kebutuhan cairan adalah 8 x 100 = 800 ml/hari. Pada anak dengan BB 10 – 20 Kg, maka 1000 ml pada 10 kg pertama dan ditambah 50 ml per Kg penambahan berat badannya. Missal BB = 15 kg, maka 1000 ml ditambah 5 x 50 ml maka menjadi 1250 ml/ hari kebutuhan cairannya Pada seorang dengan berat badan > 20 Kg maka rumusnya adalah 1500 ml pada 20 kg pertama dan ditambah 20 ml/Kg sisanya, missal seseorang dengan BB 40 Kg, maka 20 kg pertama adalah 1500 ml, sedangkan 20 kg sisanya x 20 ml = 400 ml sehingga kebutuhan cairan seseorang dengan berat 40 kg adalah 1500 + 400 ml = 1900 ml/hari

(17)

4. Rumus luas Luka Bakar

Rumus luas luka bakar memang terkadang membuat kita harus lebih mengerutkan dahi, karena memang sulit-sulit gampang dalam penerapannya. Rumus pada bayi menggunakan rumus 10 – 20 %, jika tangan dan kaki yang terkena maka 10 %, jika kepala, leher dan badan depan dan belakang maka 20 %. Untuk dewasa menggunakan rumus Rule of Nine yang digambarkan sebagai berikut:

5. Rumus Body mass index (BMI)

Body Mass Index dicari menggunakan rumus BB (Kg) / TB2 (m) Underweight : Kurang dari 18.5 Normal : 18.5 - 24.9 Overweight/pre-obes : 25.0 - 29.9 Obes I : 30-34.9 Obes II : 35-39.9

(18)

TERAPI CAIRAN INTRAVENA (KRISTALOID) PADA SYOK HIPOVOLEMIK

DEFINISI DAN PENYEBAB SYOK

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:

Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.

Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek. Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:

Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.

Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.

Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.

Gejala dan Tanda Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume

(19)

yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:

Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.

Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.

Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.

Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung.

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat.

Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3 (bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun menjadi 7,2. Apabila pH 7,0–7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4% selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x berat badan x kelebihan basa.

Pemeriksaan Laboratorium – Hematologi

Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.

Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi. Diagnosa Differensial

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.

(20)

Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.

Resusitasi Cairan

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.

Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.

Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.

Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18–24 jam sesudah cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.

(21)

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian

Daftar Pustaka

Darmawan, Iyan, MD, Cairan Alternatif untuk Resusitasi Cairan: Ringer Asetat, Medical Departement PT Otsuka Indonesia, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan.

FH Feng, KM Fock, Peng, Penuntun Pengobatan Darurat, Yayasan Essentia Medica – Andi Yogyakarta, Edisi Yogya 1996 hal 5–16

Hardjono, IS, Biomedik Asam Laktat, Bagian Biokimia FK Undip Semarang, Majalah Medika No. 6 Tahun XXV Juni 1999 hal 379-384

Pudjiadi, Tatalaksana Syok Dengue pada Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Agustus 1999.

Sunatrio, S, Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis, Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan, Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM, Jakarta, 14 Agustus 1999.

Thaib, Roesli, Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu NAsional dokter PTT, FKUI, Simposisum h 17-32

Wirjoatmodjo, M, Rehidrasi – Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987 hal 8–12

Referensi

Dokumen terkait

setelah sebelumnya menghitung volume material pondasi menghitung volume material pondasi  , sekarang kita akan mencoba menghitung volume  , sekarang kita akan mencoba menghitung

Aplikasi sistem pakar ini digunakan untuk mendiagnosa permasalahan yang terjadi pada pesawat Cessna Grand Caravan 2GBB menggunakan metode Backward Chaining dengan teknik

- Studi lapangan, dilakukan dengan melakukan observasi dengan pihak- pihak yang terkait dalam penelitian mengenai pencemaran nama baik.. Lokasi yang dipilih untuk

Namun, penelitian tersebut belum menggunakan teknik data mining, untuk itulah peneliti merasa perlu membangun sistem pengambilan keputusan dengan menggunakan metode data

Di setiap perguruan tinggi, termasuk di STAI Yapata Al-Jawami, penulisan karya ilmiah dapat berupa bagian dari tugas kuliah yang diberikan dosen kepada mahasiswa, yakni dalam

32 Tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Teknik wawancara ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi langsung kepada masyarakat rencana pembangunan BIJB ini, serta bagaimana persepsi, sikap

Melalui dasar-dasar yang ia paparkan dalam masalah teks al-Qur’an, kemudia ia menegaskan pandangan nya bahwa teks al-Qur’an merupakan produk budaya, hal ini tidak lepas