• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHLI KITAB DALAM PERDEBATAN: Kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-Qur an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AHLI KITAB DALAM PERDEBATAN: Kajian Survei Beberapa Literatur Tafsir Al-Qur an"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

65

Oleh: Nasrullah

Dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan-Riau.

Abstrak

Dalam kajian ini, bertujuan ingin mengeksplorasi berbagai pendapat dari kalangan ulama dalam kitab-kitab tafsir yang mereka tulis. Dari survei literatur beberapa tafsir, baik yang klasik maupun kontemporer, dapat dipetakan dua tipologi atau corak perbedaan penafsiran dari sudut tinjauan makna maupun cakupan serta konsekuensi status keimanan bagi kalangan ahli kitab tersebut. Pertama, ulama yang menafsirkan ahli kitabhanya mencakup dua komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Kedua, adalah ulama yang memahami bahwa ahli kitab tidak hanya teruntuk kepada dua agama Ibrahim di atas, namun bisa menjangkau kepada agama lain di luar agama-agama Ibrahim yang disebut sebagai syibh ahli kitab. Alasannya berdasarkan ijtihad penafsiran dan indikasi dari petunjuk salah satu ayat dalam al-Qur’an yang berbunyi, bahwa, “setiap umat telah diutus seorang Rasul yang menyampaikanwahyu”. Jadi menurut golongan ini, ahli kitab adalah suatu pemahaman dari interpretasi yang menyatakan bahwa di luar kedua agama tersebut, agama-agama lain juga bisa disebut sebagai ahlikitab, yang dalam persyaratannya terdapat indikator dalam agama tersebut, sebuah kitab suci. Corak interpretasi ini, pada dasarnya adalah anti-tesis terhadap corak berpikir pertama. Adapun masalah status keimanan ahli kitab, kelompok ulama pertama menganggap kaum ahli kitab adalah kafir sekaligus musyrik. Sedangkan kelompok ulama kedua berpendapat, bahwa ahli kitab, bukan sebagai musyrik, namun hanya berstatus kafir. Kata Kunci: Ahli Kitab, Syibh Ahli Kitab, Penafsiran, Kitab Suci.

(2)

A. PENDAHULUAN

Konsep ahli kitab dan permasalahannya terdapat dan diperbincangkan dalam al-Qur’an. Secara umum dalam tinjauan perkembangan awal Islam, agama Yahudi dan Nasrani adalah dua komunitas agama yang termasuk ke dalam cakupan terma ahli kitab ini.1 Dua komunitas agama tersebut diakui memiliki persambungan aqidah atau dua saudara tua dengan kaum muslimin, sebab berasal dalam rumpun agama semitik atau agama Ibrahim. Akan tetapi dalam perkembangan sejarah keummatan muncul perbedaan pendapat akan makna dan cakupan ahlikitab tersebut.

Perdebatan para ulama bermuara pada pembahasan tentang apakah ahli kitab hanya terbatas interpretasinya pada dua komunitas agama di atas atau tidak. Ataukah interpretasinya lebih meluas cakupannya kepada beberapa agama yang kitab sucinya “diduga keras” berasal juga dari Allah, dan diakui sebagaimana agama samawi dan disamakan sepertii ahli kitab. Perbedaan penafsiran ulama tafsir tentang makna dan cakupan ahli kitab menjadi semakin bervariasi dan bersifat multi interpretasi. Lebih jauh lagi kemudian berdampak pada pendapat tentang status keimanan dari kaum ahli kitab baik yang berasal dari Yahudi dan Nasrani maupun di luar dua agama tersebut.

Tulisan ini bermaksud ingin mensurvei beberapa perbedaan dan tipologi penafsiran tentang ahli kitab dari segi terma dan cakupannya serta implikasi keimanan kaum ahli kitab.

(3)

B. PEMBAHASAN

a). Makna dan Terma Ahli Kitab

Sebelum menguraikan tentang berbagai pendapat para ulama tentang ahli kitab, terlebih dahulu akan dijelaskan terma istilah tersebut tersebut secara terpisah, yaitu antara kata ahli dan kitab. Kata ahli terdiri dari tiga huruf alif, ha dan lam yang secara literal mengandung pengertian; ramah, senang atau suka2. Kata ahli juga mempunyai arti; keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah rumah tangga.3 Selain itu digunakan juga untuk menunjuk kepada sesuatu yang mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan ahl ar-rajul, yaitu orang yang menghimpun mereka, baik karena hubungan nasab maupun agama, atau hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis dan komunitas.4 Kata ahli juga dapat disebut sebagai keluarga yang masih mempunyai hubungan nasab, seperti ungkapan ahl al-bait, yaitu sebutan yang digunakan terhadap orang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah putri Nabi Muhammad SAW.

Kata ahli dalam al-Qur’an digunakan secara bervariasi yang disebutkan sebanyak 125 kali.5 Misalnya menunjuk kepada

2 Kata “ahli” dalam bahasa Arab sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi,

mengandung dua pengertian; 1) orang yang mahir (paham sekali dalam suatu ilmu atau kepandaian), dan ke 2) kaum, keluarga atau sanak saudara maupun orang yang termasuk dalam suatu golongan. Lihat Tim PenyusunKamusPusat PembinaandanPengembanganBahasa, DepartemanPendidikandanKebudayaan,

KamusBesarBahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1993), hlm. 11.

3 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren

al-Munawwir, 1984) hlm. 49.

4 Ar-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),

hlm. 25.

5 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,

(4)

suatu kelompok tertentu, seperti ahl al-bait (al-Ahzab (33): 33), yang ditunjukkan kepada keluarga Nabi Muhammad SAW. Kata

ahli juga menunjuk pada suatu penduduk (al-Qashash} (28): 45), keluarga (Hud (11): 40) dan juga ditujukan terhadap suatu kelompok masyarakat yang menganut paham dan ajaran tertentu (al-Baqarah (2): 105).

Mengenai kata kitab yang terdiri dari huruf kaf, ta’ dan ba’, secara literal mempunyai arti buku atau surat.6 Kata kitabjuga dapat diartikan sebagai tulisan atau rangkaian dari berbagai lafaz. Oleh karena itu maka firman Allah7 yang diturunkan kepada rasul-Nya dapat dikatakan, sebagai Kitab (baca: Kitabullah atau Al-Kitab), karena terdapat rangkaian atau himpunan dari beberapa lafaz. Al-Qur’an memakai terma ahlikitabdalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 3198 kali dengan memiliki pengertian yang bervariasi dengan meliputi makna tulisan kitab, ketentuan, dan kewajiban.9 Adapun kata al-kitab yang menunjuk kepada kitab suci yang diturunkan Allah dalam penggunaannya terkesan bersifat umum. Dengan demikian berarti menunjukkan kepada semua yang diturunkan Allah, baik kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Isa maupun kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.10

Berdasarkan pejelasan tentang makna dan terma ahli kitab yang diuraikan secara terpisah tersebut, kiranya secara umum makna terma ahli kitab tersebut bila digabung manjadi satu, maka dapat dipahamai dengan berbagai pengertian, di antaranya:

6 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1275. 7 Lihat al-Baqarah (2): 282.

8 Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi’, al-Mu’jam, hlm. 591-595. 9 Ar-Raghib al-Asfihani, Mu’jam, hlm. 440-445.

(5)

orang yang ahli kitab, sebutan bagi Bani Nazhir dari kaum Yahudi dan Nasrani, orang Masehi11 (Nasrani) para pengikut kitab suci, atau orang yang berpegang pada kitab suci, atau orang yang berpegang pada kitab suci selain al-Qur’an.12

Dengan istilah lain, ahli kitab adalah sebutan bagi orang-orang yang berpegang kepada agama yang mempunyai kitab suci yang berasal dari Tuhan.13 Secara mudahnya, terma ahli kitab ini mengacu kepada pengertian agama yang ditujukan kepada komunitas atau kelompok pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang telah diwahyukan Allah SWT. kepada Nabi dan Rasul-Nya secara umum.

b). Kontroversi Batasan Ahli Kitab Menurut Para Ulama

Pada umumnya para ulama telah sepakat dalam masalah ini, bahwa yang termasuk dalam kategori ahli kitab adalah komunitas Yahudi dan Nasrani. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam memahami, adakah kaum ahli kitab, selain dari dua komunitas tersebut. Setelah mengalami perkembangan dalam hal penafsiran tentang ahli kitab, para ulama banyak mengalami perbedaan dalam menafsirkan konsep tersebut dengan berbagai argumentasi yang diajukan, terutama mereka berbeda dalam menafsirkan surat al-Maidah (5):5, yang menjelaskan boleh tidaknya memakan sembelihan ahli kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang memelihara kehormatannya (muhshanat), juga dalam menafsirkan tentang cakupan dan rincian tentang golongan ahli kitab selain dua kaum Yahudi dan Nasrani.

11 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

1994), hlm. 12.

12 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar, hlm. 11.

13 Harun Nasution (ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), jilid I,

(6)

Pada awal perkembangan Islam, terma ahli kitab digunakan untuk menunjuk kaum yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua agama tersebut, misalnya kaum Majusi, tidak disebut sebagai ahlikitab,walaupun pada masa Rasul dan sahabatnya agama tersebut sudah dikenal. Akan tetapi walaupun tidak disebut sebagai ahlikitab, Nabi Muhammad SAW. menganjurkan untuk memperlakukan kaum Majuzi (Zoroaster) sebagaimana memperlakukan layaknya kaum ahlikitab.14

Kemudian pada masa tabi’in, sebutan untuk ahli kitab, terutama dalam masalah cakupan, rincian, dan batasan siapa saja yang disebut mulai mengalami perkembangan pemaknaan. Imam Asy-Syafi’i (W. 204 H) dalam kitabnya al-Umm, menerima riwayat yang disebutkan, bahwa Atha’ (tabi’in) berkata: “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab. Kaum yang disebut ahli kitab adalah kaum Israel (Bani Israel), yakni orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil”. Adapun orang lain (selain dari Bani israel) yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, mereka bukan termasuk golongan ahli kitab. Definisi ini didukung oleh ayat al-Qur’an yang menyebutkan, bahwa Nabi Isa adalah Rasul khusus untuk Bani Israel (as}-Shaffat (61): 6). Ayat ini juga mengisyaratkan terbatasnya apa yang dibawa oleh Nabi Isa hingga datangnya Nabi Muhammmad SAW. Dengan demikian Imam Asy-Syafi’i memahami ahli kitab sebagai komunitas etnis, bukan sebagai komunitas agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi Isa.

Bagi imam ath-Thabari, ahli kitab adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan manapun dan siapapun

14 Lihat uraian “Kata Pengantar” Nurcholish Madjid dalam Komaruddin Hidayat dan

Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. Xxx.

(7)

mereka, baik dari keturunan bangsa Israel maupun bukan dari bangsa Israel.15Adapun Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiah lainnya menyatakan bahwa yang disebut ahli kitab adalah siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab suci yang pernah diturunkan Allah SWT, tidak terbatas pada kelompok Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian bila ada yang percaya kepada shuhuf Ibrahim atau kitab Zabur, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian ahli kitab ini.16 Selain pendapat di atas, sebagian ulama Salaf menyatakan, bahwa setiap umat yang «diduga kuat» memiliki kitab suci dapat dianggap sebagai ahlikitab,seperti halnya orang-orang yang beragama Majuzi.17

Asy-Syahrastani dalam menggolongkan termasuk atau tidaknya suatu komunitas disebut ahli kitab, ia terlebih dahulu membagi tipologi ke dalam dua golongan berdasarkan parameter kitab suci yang terdapat dalam suatu komunitas agama. Pertama, bahwa pemeluk agama Yahudi dan Nasrani yang secara jelas memiliki kitab suci yang muhaqqaq disebut dengan ahlikitab.

Kedua, mereka yang memiliki serupa (syibh) kitab suci namun mereka tidak termasuk ahli kitab, akan tetapi disebut sebagai

syibh ahl al-kitab.18 Sedangkan Ibnu Hazm memahami terma ahli kitab hampir sama dengan yang dikemukakan oleh ulama Salaf, tetapi Ibnu Hazm mengatakan, bahwa kaum Majuzi termasuk dalam kelompok ahli kitab.19

15 Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ BayanfiTafsir Qur’an, (Beirut: Dar Kutub

al-‘Ilmiyyah, 1992), Jilid III, hlm. 321.

16 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 367.

17 Ibid.

18 Asy-Syahrastani , al- Milal wa an-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 209. 19 Ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) jilid VI, hlm. 445.

(8)

Al-Qasimi mengemukakan, arti dari terma ahli kitab hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, namun al-Qasimi memasukkan etnis selain Bani Israel yang menganut agama Yahudi dan Nasrani ke dalam terma ahli kitab, sampai diutusnya Rasulullah SAW.20

Penafsiran terma ahli kitab yang dilakukan oleh sebagian ulama, terutama ulama kontemporer mengalami perkembangan yang lebih luas, sehingga mencakup penganut agama lain yakni sepert Majuzi, Sabi’in, Hindu, Budha dan Shinto. Semua itu termasuk dalam cakupan ahli kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali yang menegaskan bahwa kaum yang menganut agama Majuzi, Sabiin, Hindu dan Budha termasuk dalam golongan ahli kitab. Walaupun agama-agama itu diklaim sudah berbau syirik, namun, para pemeluk agama tersebut harus diperlakukan seperti ahli kitab bukan sebagai kaum musyrik.21

Dengan demikian, pemeluk agama yang ada sekarang, menurutnya termasuk selain Yahudi dan Nasrani, dapat dikatakan bahwa ajaran mereka dan kitab suci yang dipegang, adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi dan rasul terdahulu, namun ajaran dan kitab suci mereka mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya. Bahkan agama Nasrani yang jaraknya tidak begitu jauh dengan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pun telah mengalami perubahan.

Ath-Thabatabai menyatakan, bahwa penggunaan terma ahli kitab dalam al-Qur’an hanya merujuk pada kaum Yahudi dan

20 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Kairo: Isa Babi al-Halabi, 1377

H/1958M), jilid VI, hlm. 1863.

21 Maulana Muhammad Ali, Islamologi, alih bahasa R. Kaelan dan H.M. Bachrun,

(9)

Nasrani.22 Adapun Fazlur Rahman pada dasarnya mengartikan istilah ahlikitabsebagai kaum yang mengikuti para nabi yang memperoleh kitab suci dari Allah SWT semenjak dulu sampai Nabi Muhammad SAW23 di Mekkah dan Madinah. Mereka disebut dalam al-Qur’an sebagai pemilik wahyu yang lebih awal.24

Menurut Rasyid Ridha, konsep ahli kitab sebenarnya lebih bersifat umum dan tidak hanya menunjuk kepada kaum Yahudi dan Nasrani dari suku bangsa Israel saja, tetapi mencakup berbagai suku bangsa yang lain. Ahli Kitab menurutnya, bisa saja mencakup agama di luar Yahudi dan Nasrani seperi Majuzi, Sabi’in, Hindu, Budha dan Shinto. Menurut Rasyid Ridha, walaupun al-Qur’an mengindentifikasi Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab, namun bukan berarti kelompok agama di atas tidak diakui sebagai ahli kitab. Argumen yang dibangun Rasyid Ridha, bahwa dalam Kitab Suci al-Qur’an, memang tidak memasukkan agama-agama kuno India dan Cina tersebut, karena bangsa Arab kurang akrab mengenal istilah keduanya. Menurut Ridha hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an menghindari aspek ighrab(hal asing) kepada audiensinya.25

Sedangkan Muhammad Abduh, berbeda pendapat dengan Ridha yang notabene adalah muridnya, sebagaimana tertera dalam tafsir Juz ’Amma-nya yang menyatakan, bahwa ahli kitab mencakup penganut agama Yahudi, Nasrani dan Sabi’in,

22 Muhammad Husein ath-Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah

al-‘Alami li al-Matbu’ah, 1403 H/1983M), jilid III, hlm. 306-307.

23 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm.

233.

24 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa

Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 133.

25 RasyidRidha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, 1393H/1973M), jilid III, hlm. 258

(10)

sebagaimana diungkapkan secara implisit dalam al-Qur’an (2) ayat 62.26

Sayyid Quthub dalam tafsir fi Zhilal al-Qur’an-nya menyatakan, ahli kitab adalah orang-orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani dari dulu sampai sekarang, dari zaman kapan pun dan dari suku bangsa mana pun.27 Pendapat ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab yang menyatakan, ahli kitab adalah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani kapan, di manapun dan dari keturunan siapapun mereka. Pendapat Quraish ini didasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap istilah ahlikitabyang hanya terbatas pada dua golongan Yahudi dan Nasrani sebagai golongan yang nyata ada di Arab ketika itu.28

c). Polemik tentang Kekafiran dan Kemusyrikan Ahli Kitab

Uraian mengenai kaitan antara ahli kitab dalam status apakah mereka kafir atau musyrik menjadi perlu dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kedudukan kelompok tersebut, terutama dalam pandangan ulama Islam.

Para ulama kebanyakan berpendapat bahwa ahli kitabtermasuk dalam kelompok orang-orang kafir. Seperti yang telah diinformasikan oleh al-Qur’an, bahwa predikat kafir terlihat secara eksplisit diberikan kepada mereka(al-Bayyinah (98): 1). Hal ini juga didasarkan pada batasan dan pengertian yang diberikan secara umum oleh para ulama, bahwa “mereka adalah

26 Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir, (Bandung:

Mizan, 1999), hlm. 272.

27 Sayyid Quthub, Tafsir fiZhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Arabiah, t.t.), jilid I, hlm. 135

dan jilid III, hlm. 199.

(11)

orang yang mengingkari dan menolak kenabian Muhammad SAW dan ajaran-ajaran yang dibawanya”.

Hal senada diungkapkan oleh al-Ghazali (W. 1111 H), bahwa makna kekafiran yang terlihat dalam keyakinan ahli kitab ialah, adanya sikap mendustakan Rasul SAW, tentang suatu hal yang diajarkannya. Sedangkan kebalikannya, bahwa makna iman ialah membenarkan adanya rasul yang berkenaan dengan semua ajaran yang dibawanya. Maka menurut al-Ghazali, orang Yahudi dan Nasrani adalah kafir karena mendustakan Rasul SAW.29

Akan tetapi perdebatan kembali muncul, mengenai apakah ahli kitab termasuk kelompok musyrik atau tidak. Karena dalam posisi ini, ada perbedaan dalam terma teologis antara kafir dan musyrik. Ath-Thabathaba’i menyatakan, syirik pada dasarnya terbagi atas dua macam yaitu; syirikzhahir dan syirik khafi. Pembagian syirik ini didasarkan pada tingkat kejelasan terhadap perilaku syirik itu sendiri. Mereka yang menganggap Tuhan itu berbilang, menjadikan patung dan berhala sebagai sesembahan, adalah syirik zhahir. Sedangkan syirik khafi termasuk dalam hal ini perilaku ahli kitab yang mengingkari kenabian, terutama karena menganggap bahwa Isa al-Masih sebagai putera Tuhan, adalah termasuk syirik. Mereka yang termasuk kategori syirik

khafi walupun secara umum berbuat syirik tetapi mereka tidak secara tegas diberi predikat syirik.30

Dalam konteks ini, berhubung al-Qur’an sendiri tidak mengungkapkan secara eksplisit, maka wajar para ulama berselisih pendapat tentang posisi ahli kitab sebagai kelompok musyrik atau tidak. Sebagian ulama ada yang tidak memasukkan

29 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.

162.

(12)

mereka dalam kategori musyrik, akan tetapi mayoritas ulama lainnya malahan meyatakan bahwa terma musyrik mencakup pula orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab.

Termasuk dalam pendapat terakhir ini ialah, pendapat dari ar-Razi yang mengatakan, bahwa terma musyrik mencakup pula orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab31 dengan argumentasi yang didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat at-Taubah (9) ayat 30-31. Rasyid Ridha berpendapat, bahwa ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani tidak termasuk ke dalam golongan musyrik. Menurut Ridha pengertian musyrik yang paling jelas dari ayat-ayat al-Qur’an adalah orang-orang musyrik Arab yang tidak mempunyai kitab suci atau ”semacam” (syibh) kitab suci. Oleh karena itu, mereka disebut ummiyyun, yaitu orang-orang yang belum pernah mengenal kitab suci dari Allah.32 Atas dasar pengertian musyrik di atas, Ridha juga berpendapat bahwa orang-orang Sabi’in, Majuzi, dan kelompok-kelompok agama yang pernah ”diduga” memiliki kitab suci atau serupa dengan kitab suci seperti agama Hindu, Budha, dan Konfusius adalah tidak termasuk musyrik.33

Pendapat Rasyid Ridha ini antara lain didasarkan pada penafsiran beberapa ayat al-Qur’an seperti al-Baqarah (2): 105, Bayyinah (98): 1, Hajj (22): 17; yang menyebut istilah

al-musyrikun berdampingan dengan ahli kitabatau dengan kelompok Yahudi, Sabi’in, Nasrani dan Majuzi, dengan menggunakan huruf

‘athaf waw (yang berarti “dan”). Adanya huruf ‘athaf (kata

31 Fakhr al-Din ar-Razi, Tafsir al-Kabir, (Beirut : Dar al-Fikr, 1405 H/1985M), jilid IV,

hlm. 59. Bandingkan dengan M. Galib, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, (Jakarta: Paramadina, 1989), hlm. 74.

32 RasyidRidha, Tafsir al-Manar, jilid II, hlm. 349 dan jilid VI, hlm. 186. 33 Ibid.

(13)

penghubung), mengandung adanya makna perbedaan antara hal-hal yang dihubungkan tersebut. Indikasi dalam ayat ini berarti menunjukkan ada perbedaan antara musyrikun dengan ahli kitab atau dengan kelompok Yahudi, Nasrani, Sabi’in dan Majuzi.34 Argumentasi dalam al-Qur’an, (at-Taubah (9): 31) yang menyatakan bahwa kaum ahli kitab memiliki sifat kemusyrikan karena menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan (arbab), menurut Ridha hal ini tidak menjadikan ahli kitab sebagai kelompok musyrik. Kalaupun dikatakan mereka memiliki sifat syirik, maka sifat kemusyrikan tersebut adalah as-syirk fi

ar-rububiyyah, yaitu mengambil ketetapan agama dari manusia (dalam hal ini para rahib) dan bukan dari wahyu. Di samping itu kaum ahli kitabpada dasarnya tetap mempercayai dan iman kepada Allah dan para nabi terdahulu. Hal ini berbeda dengan kaum musyrik yang memiliki sifat asy-syirk fi al-’uluhiyyah, yaitu mempercayai kekuatan-kekuatan tuhan-tuhan selain Allah SWT.35

Berbeda dengan Rasyid Ridha, Sayyid Quthub berpendapat bahwa ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani termasuk orang-orang musyrik. Menurutnya, orang-orang Yahudi dan Nasrani hampir sama dengan orang musyrik Arab yang mempercayai mitos-mitos dan khurafat serta menganggap Allah mempunyai anak. Menurut Quthub, orang-orang musyrik Arab pada awalnya hampir sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menganggap dan menjadikan para malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah, dan membuat patung-patungnya untuk disembah dan diberi nama-nama perempuan seperti latta,

34 Ibid.

35 Ibid, jilid V, hlm. 147. Bandingkan dengan buku Harifiddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 167.

(14)

uzza dan manat, dengan maksud untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah.36

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yang menurutnya, bahwa secara eksplisit ahli kitab, identik dengan orang-orang kafir (al-lazina kafaru) sebagaimana halnya orang-orang musyrik (al-Bayyinah (98): 1). Terma kufr dalam ayat ini menurut Wahbah, ialah orang-orang yang menentang dan menolak kerasulan Muhammad SAW. Kekafiran ahli kitab dalam ayat ini sangat jelas, sama halnya kekafiran orang-orang musyrik, yaitu sama-sama menentang dan menolak ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.37

C. KESIMPULAN

Demikianlah pendapat beberapa ulama mengenai konsep dari terma ahli kitab berdasarkan survei dari beberapa tafsir. Dari pendapat-pendapat para ulama tersebut dapat terlihat bahwa mereka mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda satu dengan lainnya. Ada yang memahaminya secara etnis dan ada juga yang memahaminya secara teologis.

Apabila dicermati, secara garis besar pendapat mereka terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, pendapat yang menyatakan,ahlikitabhanya ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan bangsa Israel saja. Kedua, pendapat yang menyatakan, bahwa ahli kitab adalah semua orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, baik dari suku bangsa Israel ataupun bukan. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa

36 Sayyid Qutb, TafsirfiZhilal, jilid V, hlm. 209

37 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munirfi al-Aqidah wa asy-Syaria’ah wa al-Manhaj,

(15)

terma ahli kitab mencakup seluruh umat yang memiliki kitab suci yang “diduga” sebagai kitab suci atau pernah dibawa oleh salah seorang nabi terdahulu. Hal yang sama terjadi pada penafsiran tentang status kekafiran dan kemusyrikan ahli kitab. Pendapat para ulama pun terbelah. Ulama klasik cenderung kepada status ahli kitab secara keimanan adalah kafir dan musyrik. Sedangkan ulama kontemporer, bahwa ahli kitab hanya berstatus sebagai kafir, bukan sebagai musyrik. Istilah kafir dan musyrik menurut para ulama berbeda antara keduanya.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1999.Tafsir Juz ‘Amma, alih bahasa Muhammad Bagir. (Bandung: Mizan).

Ali, Maulana Muhammad. 1977.Islamologi, alih bahasa R. Kaelan dan H.M. Bachrun. (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve).

Arkoun, Mohammed. 2001.Islam Kontemporer: Menuju Dialog

Antar Agama, alih bahasa Ruslani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Ashfihani,ar-Raghib al-. t.t.Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr).

Baqi’, Muhammad Fu’ad Abd . 1408 H/1988M. Mu’jam

al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim. (Beirut: Dar al-Fikr). Cawidu, Harifiddin. 1991. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an: Suatu

Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik.(Jakarta: Bulan Bintang).

Galib, M. 1998. Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya. (Jakarta: Paramadina).

Hazm, Ibn. t.t.al-Muhalla. (Beirut: Dar al-Fikr) jilid VI.

Madjid, Nurcholish.2001. “Kata Pengantar” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (eds.), Passing Over: Melintasi

Batas Agama. (Jakarta: Gramedia).

---,Nurcholish. 1994.Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir).

Nasution, Harun(ed.). 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. (Jakarta: Djambatan).

(17)

Partanto, Pius A. dan M. Dahlan al-Barry. 1994.Kamus Ilmiah

Populer, (Surabaya: Arkola, 1994).

Qasimi. Muhammad Jamal Din . 1377 H/1958M.Tafsir

al-Qasimi. (Kairo: Isa Babi al-Halabi), jilid VI.

Quthub, Sayyid. t.t.Tafsir fi Zhilal Qur’an. (Beirut: Dar al-‘Arabiah), jilid I dan jilid III.

Rahman, Fazlur.1996. Islam, alih bahasa Anas Mahyudin. (Bandung: Pustaka).

Razi, Fakhr al-Din ar. 1405 H/1985M. Tafsir al-Kabir. (Beirut : Dar al-Fikr) jilid IV.

Ridha, Rasyid. 1393H/1973M.Tafsir Manar. (Beirut: Dar al-Fikr), jilid III.

Shihab, M. Quraish. 1994. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i

atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan).

Syahrastani, Asy-. t.t.al- Milal wa an-Nihal. (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).

Thabari, Ibn Jarirath-. 1992.Jami’ al-BayanfiTafsir al-Qur’an. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Jilid III.

Thabathabai, Muhammad Husein ath-. 1403 H/1983M.

al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. (Beirut: Muassasah ‘Alami li al-Matbu’ah), jilid III.

Tim PenyusunKamusPusat PembinaandanPengembanganBahasa, DepartemanPendidikandanKebudayaan, KamusBesarBahasa

Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 1993).

Zuhaili,Wahbah az-. 1411H/1991M. Tafsir al-Munirfi al-Aqidah

wa asy-Syaria’ah wa al-Manhaj. (Beirut: Dar al-Fikr,), jilid XXX.

Referensi

Dokumen terkait

Diagnosis 1: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan Hiperventilasi. Tujuan: pasien akan mempertahankan keefektifan pola nafas selama dalam perawatan, Kriteria Hasil:

2.9.1 Melakukan Diagnosa ( Diagnosing ) Langkah selanjutnya pada penelitian ini adalah mendiagnosa jaringan LAN di Laboratorium Universitas Bina Darma yaitu dilakukan

Hanya pada saat terjadi transaksi tunai maka kegaiatan tersebut akan masuk dan diukur serta diakui sebagai laba. Hal juga terkait dengan pengakuan pendapatan dan

Persoalan Kalam Allah termasuk masalah terbesar. Polemik mengenainya berkepanjangan antara golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah di satu pihak dengan sejumlah golongan

Distribusi yield hasil pencairan batubara dari beberapa sampel limonit yang diperoleh dari lokasi yang berbeda dapat dilihat pada grafik 1 di bawah Hasil percobaan

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, bahwa kepala Madrasah, waka kurikulum dan guru di MAS Darul Ihsan Aceh Besar mengakui kendala yang muncul dilembaga

Penerapan teori humanistik dalam pembelajaran dapat dimodifikasi secara lentur oleh guru, hal ini lebih memberikan ruang kreatifitas yang tidak terbatas pada

Penentuan Konsep Desain dan Sketsa Menentukan Konsep desain sesuai dengan style dari perusahaan Start Friday sendiri dan meneysuaikan dengan konten yang akan di bahas dalam