• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian

Bank Dunia menyatakan bahwa pada awal tahun 2015, 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2050 akan meningkat mencapai 70%. Jika didefinisikan, kota merupakan pusat kegiatan dan perekonomian dari suatu wilayah, dengan fungsi utama sebagai penyedia hunian bagi masyarakat. Kota menurut Bintarto (1977) adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Kota menjadi magnet bagi daerah di sekitarnya karena dianggap menyediakan kehidupan yang lebih sejahtera dibandingkan dengan kehidupan di desa. Akibatnya banyak masyarakat rural melakukan urbanisasi ke kota sehingga jumlah penduduk di kota semakin tahun semakin bertambah.

Meningkatnya jumlah penduduk maupun kegiatan penduduk menyebabkan kebutuhan ruang kota yang semakin besar. Ketersediaan ruang kota yang tetap dan terbatas sedangkan aktivitas yang semakin meningkat mengakibatkan crowdedness di kota tersebut dan tidak menutup kemungkinan terjadi urban sprawl di daerah sekitar kota. Neuman (2005) mendefinisikan fenomena urban sprawl sebagai hasil dari pertumbuhan populasi dan ekspansi area geografis, yang dapat mengubah ukuran maupun bentuk kota.

Kepadatan penduduk yang meningkat, kemudian memicu munculnya beberapa permasalahan kota. Kemacetan, polusi, permukiman kumuh, infrastruktur yang buruk, kejahatan dan kemiskinan merupakan permasalahan-permasalahan yang kerap kali muncul di perkotaan (Jenks dan Burgess, 1996). Salah satu aspek kehidupan yang rentan terhadap permasalahan kota yaitu aspek kesehatan. Aspek kesehatan erat kaitannya dengan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dengan munculnya beberapa permasalahan kota, maka

(2)

Dampak dari perkembangan kota yang menyebabkan beberapa permasalahan kota, membuat pemangku kepentingan (stakeholders) kota, utamanya pemerintah, harus mencari solusi bagi permasalahan tersebut. Dari sini, muncul lah konsep-konsep pengembangan kota sebagai alternatif jawaban permasalahan tata kota. Selain menjadi jawaban atas permasalahan kota, konsep-konsep yang muncul juga bertujuan membuat suatu kota tetap sustainable. Beberapa konsep pengembangan kota yang diterapkan di era modern adalah smart

city, green city, creative city, dan compact city. Indonesia yang merupakan negara

berkembang dengan jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun dan tingkat urbanisasi tinggi, mulai menerapkan beberapa konsep pengembangan kota. Sebut saja Kota Surabaya yang berhasil dengan perencanaan kota cerdas (smart city), dan Kota Bandung yang mendapatkan label sebagai kota kreatif (creative city) (United Nation, 2015). Konsep-konsep tersebut lahir dari pengembangan konsep kota berkelanjutan yang dianggap mampu meningkatkan kualitas hidup kota tanpa mengabaikan kepentingan dimasa yang akan datang.

Dalam impelementasinya, konsep pengembangan kota berkelanjutan (sustainable city) muncul dalam bentuk konsep kota kompak (compact city) yang banyak diadopsi kota-kota karena dianggap mampu menciptakan pertumbuhan kota yang efisien. Kota kompak atau compact city menurut Burton (1996) ialah desain perancangan kota dengan kepadatan yang relatif tinggi, penggunaan fungsi campuran pada kota yang didasarkan pada sistem transportasi publik yang efisien, dan mendorong masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda. Jenks dan Burges (1996) dalam Compact Cities: Sustainable Urban Forms for Developing

Countries, memperkenalkan compact city sebagai bentukan kota paling sustainable. Dengan konsep compact city, diharapkan menjadi solusi untuk

mengatasi pertumbuhan kota yang cenderung menyebar atau sprawl.

Dalam perkembangannya, tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap ruang kota tidak hanya sebatas pada rekayasa ruang yang efisien. Kota dan masyarakatnya membutuhkan konsep pengembangan yang lebih kompleks dan tepat sasaran dalam menyelesaikan permasalahan kota, sehingga muncullah konsep baru yaitu kota sehat, yang dicanangkan pertama kali oleh WHO (World

(3)

Health Organisation) dan juga diyakini dapat menciptakan kota yang

berkelanjutan. WHO (2012) dalam Rio+20 UN Conference on Sustainable

Development mendefinisikan pentingnya tingkat kesehatan kota (urban health)

dalam upaya mencapai keberlanjutan kota sebagai berikut:

“So while cities concentrate opportunities, jobs, and services, they also concentrate health hazards and risks. Healthy is an important benchmark of sustainability of urban policies. Health indicators proposed here also reflect progress on social equity, environment, and development dimensions of sustainable cities”

Kota sehat pertama kali dikembangkan di Eropa oleh WHO sebagai strategi menyongsong Ottawa Charter pada tahun 1980-an. Kota sehat menurut Barton, dkk, (2003) adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan mendorong terciptanya kualitas lingkungan, fisik, dan sosial sesuai dengan kebutuhan wilayah perkotaan. Dalam menentukan kota sehat, faktor yang paling utama adalah performa kesehatan individu dan komunitas (fisik, sosial, dan mental) itu sendiri (WHO, 1946). Inisiasi kota sehat di Indonesia dimulai sejak tahun 1996 bersamaan dengan pencanangan hari kesehatan sedunia dengan tema “Healthy Cities for Better Life”. Indonesia melalui pencanangan tersebut melakukan kegiatan seminar dan pertemuan yang kemudian ditindaklanjuti dengan peluncuran Pilot Proyek Kota Sehat di 6 kota.

Di negara maju, telah muncul konsep kota kompak dan kota sehat terlebih dahulu. Namun kedua konsep tersebut seolah berjalan sendiri-sendiri dan belum dijabarkan lebih lanjut apakah sejauh ini konsep kota kompak dapat mengatasi permasalahan kesehatan yang ada di suatu kota. Konsep kota kompak memiliki beberapa manfaat penting, seperti: mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengurangi emisi karbon, mendukung penggunaan transportasi publik, memberikan akses yang baik pada layanan publik, meningkatkan efisiensi dalam penggunaan infrastruktur, dan mampu merevitalisasi pusat kota. Kekompakan kota berkontribusi pada penciptaan pergerakan manusia yang efisien, sehingga berimplikasi dalam pembentukan kota sehat (Roychansyah, dkk, 2013).

(4)

Permasalahan akibat perkembangan kota tidak hanya terjadi di negara maju, namun juga di negara berkembang. Di negara berkembang, tingkat urbanisasi cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara maju, salah satunya terjadi di negara Indonesia. Pada tahun 2011, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan bahwa tingkat urbanisasi di kota-kota besar di Indonesia mencapai angka 54%. PBB juga memperkirakan bahwa pada tahun 2050, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai 67%.

Kota-kota besar dengan tingkat kepadatan tinggi mayoritas berada di Pulau Jawa yang dikategorikan sebagai pulau paling maju di Indonesia. Beberapa kota besar di Indonesia sedang mengembangkan konsep compact city untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan. Sebut saja Kota Yogyakarta yang pada tahun 2010, 64,3% penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta tinggal di kota. Penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati pada tahun 2015 menemukan fakta bahwa Kota Yogyakarta tergolong dalam kota kompak. Kota kompak memiliki 5 atribut yang menjadi syarat terbentuknya kota kompak, yaitu densifikasi penduduk, pengkonsentrasian aktivitas, intensifikasi transport publik, pertimbangan ukuran kota, dan target kesejahteraan masyarakat (Roychansyah, dkk, 2005).

Kota Yogyakarta telah memenuhi 2 atribut kota kompak yang disyaratkan, yaitu densifikasi penduduk serta pengkonsentrasian aktivitas. Hal tersebut terlihat dari kepadatan penduduk di 14 Kecamatan di Kota Yogyakarta rata-rata sekitar 120 jiwa/ha. Kepadatan tersebut masih lebih tinggi dari Tokyo (70 jiwa/ha) ataupun Singapura (90 jiwa/ha). Kepadatan penduduk tersebut merupakan kepadatan ideal dalam efisiensi bahan bakar (Newman dan Kenworthy, 1999). Apabila diamati lebih lanjut, densifikasi tinggi dan pengkonsentrasian aktivitas tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, namun menyebar ke sekitar wilayah administrasi Kota Yogyakarta. Persebaran kepadatan dan pengkonsentrasian aktivitas di luar batas administrasi Kota Yogyakarta menyebabkan terbentuknya kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY).

Intensifikasi transportasi umum di Kota Yogyakarta yang tergolong sebagai salah satu atribut kota kompak, kondisinya masih memprihatinkan dan

(5)

jauh dari kata ideal. Jumlah kepemilikan motor dan mobil pribadi mencapai 1/3 dari jumlah penduduk Kota Yogyakarta. Jumlah ini tentunya akan semakin membengkak 2 – 3 kali lipat, dikarenakan setiap harinya Kota Yogyakarta dipadati oleh kendaraan dari Kota Yogyakarta dan kabupaten di sekitarnya (Roychansyah, dkk, 2013). Selanjutnya, dari atribut ukuran dan akses optimal kota, Kota Yogyakarta mempunyai jarak yang mudah untuk dicapai, bahkan dari wilayah aglomerasinya. Atribut kota kompak yang terakhir, yaitu kondisi kesejahteraan masyarakat di Kota Yogyakarta, memiliki kecenderungan peningkatan kesejahteraan pada tahun 2006 (Roychansyah, dkk, 2013).

Kawasan Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta atau secara fungsional bernama Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) yang terbentuk akibat persebaran kepadatan dan pengkonsentrasian aktivitas di luar batas adminsitrasi Kota Yogyakarta, kemudian menjadi core dan point development dalam konsep tata ruang wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kementerian Pekerjaan Umum, 2008). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 Pasal 10 ayat 3a, KPY mempunyai fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang mencakup wilayah Kota Yogyakarta, serta beberapa kecamatan di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman. Selain itu, pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DI Yogyakarta (RTRW DIY) Tahun 2009-2029 disebutkan bahwa KPY merupakan kawasan strategis Provinsi DIY. Dari atribut aspek konsentrasi kegiatan, bagian-bagian spasial di KPY telah mengadopsi prinsip-prinsip kegiatan beragam atau mixed use.

Dengan kedua konsep, tingkat kekompakan kota (urban compactness) dan tingkat kesehatan kota (urban health), diharapkan Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY) mampu mewujudkan keberlanjutan kota. Kota yang tidak hanya nyaman, tetapi juga sehat, akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Melalui penelitian ini akan dilihat bagaimana kecenderungan hubungan antar keduanya di KPY.

(6)

Gambar. 1.1 Diagram Latar Belakang (Sumber: Penulis, 2015)

I.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, arah penelitian yang dilakukan akan memaparkan jawaban dari beberapa pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimana tingkat kekompakan kota (urban compactness) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta?

2. Bagaimana tingkat kesehatan kota (urban health) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta?

3. Bagaimana hubungan antara tingkat kekompakan kota (urban compactness) dan tingkat kesehatan kota (urban health) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta?

(7)

I.3. Tujuan Penelitian

Dari pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi dilaksanakan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur tingkat kekompakan kota (urban compactness) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta

2. Mengukur tingkat kesehatan kota (urban health) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta

3. Menguji hubungan tingkat kekompakan kota (urban compactness) dan tingkat kesehatan kota (urban health) di Kawasan Perkotaan Yogyakarta, apakah kota yang kompak merupakan kota yang sehat.

I.4. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, selain memberikan manfaat kepada peneliti, diharapkan penelitian ini nantinya akan menghasilkan beberapa manfaat kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya, manfaat yang dimaksud adalah:

1. Menjadi salah satu masukan untuk dilakukannya pengembangan penelitian-penelitian yang memiliki keseragaman tema.

2. Menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah, khususnya bagi Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan perencanaan pembangunan Kawasan Perkotaan Yogyakarta.

3. Menjadi salah satu alat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan beberapa ilmu lain yang memiliki keterkaitan.

I.5. Batasan Penelitian

Peneliti menetapkan batasan-batasan khusus supaya penelitian yang dilakukan memiliki cakupan yang lebih fokus dengan arah penelitian yang lebih

(8)

1.5.1 Substansial

Substansi dalam penelitian ini mengkaji tingkat kekompakan kota dan tingkat kesehatan kota di Kawasan Perkotaan Yogyakarta serta menghubungkan apakah kota yang kompak merupakan kota yang sehat.

1.5.2 Areal

Lokasi dilakukannya penelitian menjadi batasan ruang dari penelitian tersebut, yaitu Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY). Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 Pasal 10 ayat 3a KPY meliputi 14 kecamatan di Kota Yogyakarta, sebagian desa dari 6 kecamatan di Kabupaten Sleman, dan sebagian desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Bantul. Namun, mengingat kelengkapan data untuk unit analisis di Kota Yogyakarta dan sekitarnya hanya sampai tingkat kecamatan (bukan sampai tingkat desa), sehingga pemilihan lokasi penelitian mencakup semua desa di 23 kecamatan di KPY.

Gambar. 1.2 Batasan Areal Penelitian (Sumber: Penulis, 2015)

(9)

1.5.3 Waktu

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 2013 dan 2016. Data untuk mengukur tingkat kekompakan kota adalah data pada tahun 2013, yang didapat melalui analisis data sekunder. Sedangkan data untuk mengukur tingkat kesehatan kota adalah data pada tahun 2013 dan 2016. Data untuk mengukur tingkat kesehatan kota pada tahun 2013 didapat melalui analisis data sekunder, sedangkan data untuk mengukur tingkat kesehatan kota pada tahun 2016 didapat melalui survei primer.

I.6. Keaslian Penelitian

Sama dengan penelitian-penelitian yang lain, penelitian ini memiliki fokus dan lokus yang kemudian menjadi unsur terpenting dalam penyusunannya terkait keaslian dan originalitas. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif-kuantitatif-rasionalistik, penelitian bertajuk Hubungan Kekompakan Kota Urban Compactness dan Kesehatan Kota Urban

Health di Kawasan Perkotaan Yogyakarta, ini mengkaji tema-tema kontemporer

yang sedang berkembang dalam dunia perencanaan. Sebelumnya, masih sedikit penelitian dan jurnal yang menggunakan tema urban compactness dan urban

health pada dinamika perkembangan kota sebagai dasar penelitian, yaitu:

1. Pengembangan Model Kota Sehat Berbasis Pendekatan Kota Kompak melalui Pengukuran Performa Kesehatan Individu di Lingkungan Padat Kampung Kota (Sani Roychansyah, Arta Farmawati, dan Lutfan Lazuardi – Hibah Penelitian Multidisiplin UGM 2013)

Penelitian yang dilakukan oleh Roychansyah, dkk (2013) memiliki fokus untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat performa kesehatan individu masyarakat dengan implementasi atribut kota kompak. Kemudian memodelkan kota sehat dengan mentipologikan 5 kasus kampung padat penduduk Kota Yogyakarta yang diangkat. Sedangkan lokus dari penelitian ini berada di Kampung Terban, Sosrowijayan, Sanggrahan, Cokrodirjan, dan Ratmakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

(10)

2. Pembangunan Infrastruktur Hijau Berorientasi Kampung (KOGID): Karakteristik, Model, Aplikasi dan Strategi Implementasi Atribut Kota Kompak di Permukiman Kampung Kota (Sani Roychansyah, Lutfan Lazuardi, dan Widyasari Her Nugrahandika – Hibah Penelitian Multidisiplin UGM 2013)

Penelitian yang dilakukan oleh Roychansyah, dkk (2013) memiliki fokus untuk memodelkan dan mentipologikan konsep pembangunan kota kompak di 5 kampung amatan di Kota Yogyakarta dengan pertimbangan menyeluruh terhadap sektor-sektor yang ada di dalamnya. Sedangkan lokus dari penelitian ini berada di Kampung Terban, Sosrowijayan, Sanggrahan, Cokrodirjan, dan Ratmakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rasionalistik – kualitatif.

3. Pengembangan Model Kota Kompak yang Sehat (Healthy Compact City) Berbasis Performa Kesehatan Individu di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (Sani Roychansyah, Arta Farmawati, dan Lutfan Lazuardi – Hibah Penelitian Multidisiplin UGM 2014)

Penelitian yang dilakukan oleh Roychansyah, dkk (2014) memiliki fokus untuk memodelkan konsep kota kompak berkelanjutan yang komprehensif melalui integrasi model konsep kota kompak dan kota sehat (healthy

compact city index). Terdapat perbedaan antara penelitian yang akan

dilakukan dan penelitian yang telah dilakukan oleh Roychansyah, dkk, yaitu adanya pengkayaan indikator urban health yang ditinjau dari aspek spasial skala meso hingga makro. Sedangkan lokus dari penelitian ini berada di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduktif – kuantitatif. 4. Penyelenggaraan Program Kota Sehat Kategori Tatanan Permukiman

Sehat di Kampung Duri Kosambi (Gayatri Priyamitra Widitya – Thesis Universitas Gadjah Mada 2014)

Penelitian yang dilakukan oleh Widitya (2014) memiliki fokus untuk membuktikan penyelenggaraan program kota sehat (urban health). Sedangkan lokus dari penelitian ini berada di Kampung Duri Kosambi,

(11)

Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah induktif – kualitatif.

5. Pengaruh Urban Compactness Terhadap Pola Pergerakan Penduduk Kota Yogyakarta (Lanthika Atianta – Skripsi Universitas Gadjah Mada 2014) Penelitian yang dilakukan oleh Atianta (2014) memiliki fokus untuk menemukan keterkaitan antara urban compactness dan pola pergerakan penduduk di Kota Yogyakarta, dan mengidentifikasi faktor yang berpengaruh dalam mereduksi pergerakan penduduk Kota Yogyakarta. Sedangkan lokus dari penelitian ini berada di Kecamatan Umbulharjo dan Danurejan, Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif – kuantitatif.

6. Pengaruh Urban Compactness Terhadap Transformasi Spasial di Wilayah Peri Urban Kota Yogyakarta (Indah Tiara Kusumawati – Skripsi Universitas Gadjah Mada 2015)

Penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2015) memiliki fokus untuk membuktikan adanya pengaruh urban compactness terhadap transformasi spasial di Wilayah Peri Urban Kota Yogyakarta. Dengan metode yang sama, data urban compactness Kota Yogyakarta yang telah diteliti oleh Kusumawati akan digunakan, dengan memperluas cakupan pengukuran

urban compactness di Kawasan Perkotaan Yogyakarta. Sedangkan lokus

dari penelitian ini berada di 14 Kecamatan Kota Yogyakarta dan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman yang termasuk dalam bagian Kawasan Perkotaan Yogyakarta yang meliputi kecamatan: Kasihan, Sewon, Banguntapan, Depok, Ngemplak, Ngaglik, Mlati, Godean, dan Gamping. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deduktif – kuantitatif.

(12)

Tabel 1.1 Daftar Penelitian Terkait

No Nama

(Tahun)

Jenis

Penelitian Judul Fokus Lokus

Metode Penelitian 1. Indah Tiara Kusumawati (2015) Skripsi UGM Pengaruh Urban Compactness terhadap Transformasi Spasial di Wilayah Peri Urban Kota Yogyakarta

Membuktikan adanya pengaruh

urban compactness terhadap

transformasi spasial di Wilayah Peri Urban Kota Yogyakarta

14 Kecamatan di Kota Yogyakarta, 3 Kecamatan di Kab. Bantul, dan 9 Kecamatan di Kab. Sleman Deduktif - Kuantitatif 2. Lanthika Atianta (2014) Skripsi UGM Pengaruh Urban

Compactness Terhadap Pola

Pergerakan Penduduk Kota Yogyakarta

Mengetahui pengaruh urban

compactness terhadap pola

pergerakan (jarak tempuh pergerakan keluar kecamatan, dan penggunaan moda

transportasi) penduduk Kota Yogyakarta Kecamatan Danurejan. dan Umbulharjo, Kota Yogyakarta Deduktif - Kuantitatif 3. Gayatri Priyamitra (2014) Thesis UGM Penyelenggaraan Program Kota Sehat Kategori

Tatanan Permukiman Sehat di Kampung Duri Kosambi

Pembuktian penyelenggaraan program kota sehat (urban

health) di Kampung Duri

Kosambi, Jakarta Kampung Duri Kosambi, Jakarta Induktif - Kualitatif 4. Sani Roychansyah, dkk (2014) Hibah Penelitian Multidisip lin

Pengembangan Model Kota Kompak yang Sehat

(Healthy Compact City) Berbasis Performa Kesehatan Individu di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta

Memodelkan konsep kota berkelanjutan yang

komprehensif melalui integrasi model konsep kota kompak dan kota sehat (healthy compact city

index) 23 Kecamatan di Wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta Deduktif - Kuantitatif bersambung…

(13)

lanjutan Tabel 1.1…

No Nama

(Tahun)

Jenis

Penelitian Judul Fokus Lokus

Metode Penelitian 5. Sani Roychansyah, dkk (2013) Hibah Penelitian Multidisip lin Pembangunan Infrastruktur Hijau Berorientasi Kampung (KOGID): Karakteristik, Model, Aplikasi dan Strategi Implementasi Atribut Kota Kompak di Permukiman Kampung Kota

Memodelkan konsep dan tipologi pembangunan kota kompak pada 5 kampung di Kota Yogyakarta. 5 Kampung di Kota Yogyakarta Rasionalistik - Kualitatif 6. Sani Roychansyah, dkk (2013) Hibah Penelitian Multidisip lin

Pengembangan Model Kota Sehat Berbasis Pendekatan Kota Kompak melalui Pengukuran Performa Kesehatan Individu di Lingkungan Padat Kampung Kota

Mengidentifikasi hubungan antara tingkat performa

kesehatan individu masyarakat dengan implementasi atribut kota kompak di kampung kota, dan memodelkan kota sehat dengan mentipologikan 5 kasus kampung yang diangkat.

5 kampung di Kota

Yogyakarta Deduktif

(14)

I.7. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian untuk menjelaskan bagaimana tingkat urban

compactness dan urban health di Kawasan Perkotaan Yogyakarta, digunakan alur

penulisan sebagai berikut:

1. Bab 1, Pendahuluan, berisi tentang rasionalisasi pemilihan tema hubungan

urban compactness dan urban health sebagai obyek penelitian, dan alasan

yang melatarbelakangi penelitian menjadi layak dan pantas untuk dilakukan.

2. Bab 2, Tinjauan Pustaka, berisi teori-teori pendukung yang memiliki keterkaitan dengan topik seperti teori mengenai definisi kota, urban

compactness, urban health, yang kemudian dikerangkakan dan dijadikan

basis atau pedoman untuk melihat kondisi ideal di lapangan.

3. Bab 3, Metode Penelitian, berisi tentang jabaran metode yang digunakan untuk mendapatkan hasil penelitian. Di dalamnya terdapat instrumen serta indikator urban compactness dan urban health.

4. Bab 4, Gambaran Wilayah, berisi mengenai deskripsi wilayah studi kasus penelitian dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan topik seperti kondisi fisik wilayah, demografi sosial masyarakat, dan ekonomi.

5. Bab 5, Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi mengenai eksplorasi topik dan temuan-temuan yang didapatkan di lapangan yang kemudian menjawab poin-poin penting dari pertanyaan penelitian.

6. Bab 6, Kesimpulan dan Saran, berisi mengenai rekomendasi dan penyelesaian masalah dari hasil penelitian yang didapatkan, sehingga esensi dari dilakukannya penelitian ini dapat digambarkan secara jelas.

Gambar

Tabel 1.1 Daftar Penelitian Terkait

Referensi

Dokumen terkait

(4) Calon yang Berhak Mengikuti Ujian yang lulus dan memperoleh nilai tertinggi oleh Panitia Peneliti dan Penguji diajukan kepada Kepala Desa dengan dilampiri

Teori Marcel Mauss yang dikenal dengan gift giving atau gift exchange menyatakan, bahwa adanya relasi dan interaksi sosial antar warga dalam masyarakat

Hasil pengujian menunjukkan bahwa efek dari rongga terkopel pada pemakaian prisma tertutup dapat meningkatkan kinerja serapan pada bentang frekuensi di bawah 200 Hz,

Dari Algoritma diatas, banyak yang bisa dikembangkan lagi untuk membuat algoritma tersebut lebih mangkus, misalnya dengan mengisi blok yang memiliki constraint

kimia juga membahas tentang konsep  –   –   konsep kinetika seperti : hukum laju,orde   konsep kinetika seperti : hukum laju,orde reaksi,tetapan kelajuan,

pengamatan geodetik maka digunakan suatu nilai model deformasi kerak bumi yang diturunkan dari pengamatan geodetik di sekitarnya. Sedangkan proses penentuan posisi

[r]

Di dalam penelitian yang berjudul “ Sistem Informasi Pembayaran pada SMP Negeri 1 Bayat ” ini agar lebih jelas penulis menekankan pada : pembayaran buku,