• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNGSI DAN PERANAN KERBAU DALAM SISTEM USAHATANI DI PROPINSI BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FUNGSI DAN PERANAN KERBAU DALAM SISTEM USAHATANI DI PROPINSI BANTEN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI DAN PERANAN KERBAU DALAM SISTEM

USAHATANI DI PROPINSI BANTEN

(

The Role and Function of Buffalo in Farming System in Banten Province

)

UKA KUSNADI, D.A. KUSUMANINGRUM, RIASARI GAIL SIANTURI dan E. TRIWULANNINGSIH

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

The Province of Banten has the second populous of buffalo in Indonesia after Aceh. Buffalo, one of the large ruminants, has an important role because of their great contribution in Indonesian beef industry. In general, farmers rear buffaloes used for beef production and draught power in rice field. However, in this decade, buffalo population has been significantly decreased. It may be caused by diminishing function and role of buffalo in supporting farming system and the land for forages. Besides, farmers are not willing to increase number of buffaloes probably due to less profit in raising buffalo. Due to this matter, a study was conducted to evaluate the function and role of buffalo in supporting farming system in Lebak and Pandeglang district that has the most populous of buffalo in the province of Banten. This study was carried out by using survey method utilizing questioners. Total of the respondents were 60 farmers consists of 30 farmers from Lebak and 30 farmers from Banten district. Analysis of simple correlation using R value was performed to estimate factors influenced farm size. The results showed that the role and function of buffalo in farming system in the Lebak and Pandeglang district used as draught power were 53 and 30% respectively; as source of income 37 and 67% respectively; as savings 20 and 25% respectively; as animal fertilization 20 and 15% respectively; social status 8 and 12% respectively and as recreation 3% in each district. The average of farm size was 13 heads and 6 heads buffalo per farmer for Lebak and Pandeglang district, respectively. The own-land size were 0.2 ha and 0.4 ha for Lebak and Pandeglang district, respectively. There was a positive correlation between farm size and land size meaning the farm size increased as the land size increased with the coefficient correlation R = 0.35 and R = 0.65 for Lebak and Pandeglang district, respectively. The farmer’s income were Rp. 2.730.000 and Rp. 1.050.000 per year for Lebak and Pandeglang district, respectively contributed to their farming system about 56% and 48% for Lebak and Pandeglang district, respectively.

Key Words: Buffalo, Farming System, Income

ABSTRAK

Propinsi Banten memiliki populasi kerbau terbanyak kedua di Indonesia setelah Aceh. Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging di Indonesia. Pada umumnya kerbau dipelihara petani untuk dimanfaatkan tenaganya sebagai mengolah lahan sawah, serta dimanfaatkan pula sebagai ternak penghasil daging. Namun dalam dekade sepuluh tahun terakhir ini populasi kerbau di Propinsi Banten menurun secara signifikan. Diduga bahwa penurunan populasi kerbau ini disebabkan oleh berkurangnya fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani, dan berkurangnya lahan baik sebagai garapan petani maupun lahan sebagai sumber pakan ternak kerbau. Disamping itu ada kemungkinan bahwa pemeliharaan kerbau kurang menguntungkan sehingga petani kurang bergairah untuk memelihara kerbau dalam jumlah yang relatif banyak. Atas dasar kondisi tersebut dilakukan penelitian terhadap fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang yang memiliki populasi terbanyak di Propinsi Banten. Penelitian dilakukan dengan metode survai dengan menggunakan questioner pengamatan dan pengukuran langsung. Jumlah petani responden sebanyak 60 petani peternak kerbau, masing-masing 30 petani di Kabupaten Lebak dan 30 petani di Kabupaten Pandeglang. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi jumlah pemilikan kerbau dilakukan analisa korelasi sederhana dengan mengukur nilai R. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang masing-masing adalah sebagai sumber tenaga kerja 53 dan 30%, sebagai sumber pendapatan 37 dan 67%, sebagai tabungan keluarga 20 dan 25% sebagai sumber pupuk 10 dan 15%, sebagai status sosial 8 dan 12%, serta sebagai kesenangan masing-masing 5 - 3%. Rata-rata pemilikan kerbau di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang masing-masing adalah 13 dan 6 ekor

(2)

per petani. Sementara itu, rata-rata pemilikan tanah 0,2 dan 0,4 ha per petani. Ada korelasi positif antara jumlah pemilikan kerbau dengan luas pemilikan tanah, semakin luas tanah yang dimiliki semakin tinggi pemilikan kerbau dengan nilai korelasi R = 0,35 di Kabupaten Lebak dan R = 0,65 di Kabupaten Pandeglang. Rata-rata pendapatan petani dari usaha kerbau di Kabupaten Lebak Rp. 2.730.000 per tahun dan di Kabupaten Pandeglang Rp. 1. 050.000 per tahun, atau memberikan kontribusi terhadap usahatani masing-masing sebesar 56% di Kabupaten Lebak dan 48% di Kabupaten Pandeglang.

Kata Kunci: Kerbau, Usahatani, Pendapatan

PENDAHULUAN

Secara tradisional petani/buruh tani dalam mengerjakan lahannya biasanya tidak sendiri, mereka selalu bersama-sama dengan ternak (sapi atau kerbau). Dengan kata lain, ternak mempunyai hubungan yang erat dengan petani dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pertaniannya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa ternak merupakan sahabat petani dalam bertani (SOEHARTO et al, 1981). Hal ini menunjukkan bahwa ternak mempunyai fungsi dan peranan penting dalam sistem usahatani di Indonesia, baik sebagai sumber tenaga kerja, sumber pupuk dan sekaligus memberikan keuntungan/pendapatan tambahan bagi petani.

Sumber tenaga kerja pertanian dengan menggunakan traktor sebagai usaha mekanisasi pertanian masih kontroversial. Beberapa hal yang dianggap sebagai kendala dalam pemakaian traktor terutama di Pulau Jawa dan Bali, adalah terdesaknya tenaga kerja pertanian, rendahnya tingkat pemilikan tanah, keadaan topografi tanah yang berbukit-bukit, rendahnya tingkat pendidikan petani, tradisi dan yang terpenting manfaat sosial. Akhirnya tenaga pengolah lahan pertanian dengan menggunakan ternak sapi atau kerbau masih tetap bertahan hampir di seluruh Indonesia, termasuk di Propinsi Banten yang menggunakan kerbau sebagai sumber tenaga kerja pertanian.

Propinsi Banten memiliki populasi kerbau terbanyak kedua di Indonesia setelah Aceh, selain sebagai sumber tenaga kerja kerbau termasuk ternak ruminansia besar yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan daging di Indonesia. Pada umumnya kerbau di pelihara petani untuk dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan sawah, dan dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging.

menurun secara signifikan. Pada tahun 1993 jumlah kerbau di Propinsi Banten mencapai 4.856 ekor, namun pada tahun 2004 tercatat hanya 3.684 ekor. (BANTEN dalam angka, 2004). Menurut WIRYOSUHANTO (1980) populasi kerbau di Indonesia menurun sejak tahun 1925 dengan laju penurunan yang makin membesar. Diduga bahwa penurunan populasi kerbau ini disebabkan oleh berkurangnya fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani dan berkurangnya lahan baik sebagai garapan petani maupun lahan sebagai sumber pakan kerbau. Disamping itu ada kemungkinan bahwa pemeliharaan kerbau kurang menguntungkan sehingga petani kurang bergairah untuk memelihara kerbau dalam jumlah yang relatif banyak. Atas dasar dugaan tersebut, dilakukan penelitian ini dengan tujuan 1) untuk mengetahui fungsi dan peranan ternak kerbau dalam sistem usahatani, 2) untuk mengetahui hubungan antara jumlah pemilikan kerbau dengan luas pemilikan tanah, dan 3) untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dari usaha pemeliharaan ternak kerbau. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dasar bagi pembuat kebijakan dalam pengembangan ternak kerbau khususnya di Propinsi Banten.

MATERI DAN METODE

Penelitian fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani di Propinsi Banten adalah merupakan bagian dari penelitian Breeding dan Reproduksi ternak kerbau di Indonesia yang dilakukan oleh tim dari Balai Penelitian Ternak. Penelitian ini dilakukan di dua kabupaten dengan populasi kerbau terbanyak di Propinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak yang mewakili daerah pertanian sawah dataran rendah dan Kabupaten Pandeglang yang mewakili daerah pertanian sawah dataran

(3)

Metode penelitian yang digunakan adalah survei menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Responden yang digunakan dalam kegiatan ini adalah petani peternak kerbau sebanyak 60 orang masing-masing 30 petani di Kabupaten Lebak dan 30 petani di Kabupaten Pandeglang.

Data primer yang meliputi sistem usahatani tanaman, usahaternak kerbau, kepemilikan lahan dan fungsi kerbau dan peranan kerbau serta input – output usaha kerbau dikumpulkan melalui tehnik wawancara berstruktur dan pengamatan langsung di lapang. Data yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan cara tabulasi dari pendapat responden, sedangkan untuk keperluan perhitungan statistik dalam mencari hubungan (korelasi) antara jumlah pemilikan kerbau sebagai “dependent variable” (y) dengan faktor pemilkan tanah sebagai “independent variable” (x) dilakukan analisa korelasi sederhana dengan menghitung koefisien korelasi (nilai R) dengan rumus:

(STEEL dan TORRIE 1986)

Untuk menghitung pendapatan petani dengan cara menjumlah seluruh penerimaan

usaha dikurangi dengan seluruh biaya usahatani ditambah pendapatan dari luar usahatani (off–farm). Untuk memantapkan hasil analisa kuantitatif dilakukan analisa kualitatif yang berkaitan dengan aspek yang dianalisa (fungsi dan peranan kerbau, sistem usahatani, kepemilikan kerbau dan tanah, serta pendapatan usaha).

Disamping data primer dilakukan pula pengumpulan data sekunder dari Dinas Pertanian dan Peternakan serta Pemerintah Daerah setempat, untuk mendukung hasil analisa data primer dalam pembahasan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Fungsi dan peranan kerbau dalam usahatani

Pemeliharaan kerbau di Propinsi Banten pada umumnya baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah dilakukan oleh petani di lahan sawah. Hal ini ada kaitannya dengan kebutuhan petani akan ternak kerbau dalam sistem usahatani yang mereka lakukan di lahan sawah. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa fungsi dan peranan kerbau dalam system usahatani di lahan sawah di dataran tinggi (Pandeglang) terutama sebagai sumber tenaga kerja khususnya untuk mengolah tanah, mulai dari membajak sampai persiapan tanam. Fungsi dan peranan kerbau yang kedua adalah untuk sumber pendapatan tambahan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani lahan sawah di Propinsi Banten

Jumlah responden

Dataran tinggi Dataran rendah Fungsi dan peranan kerbau

Orang % Orang %

Sumber tenaga kerja 16 53 9 30

Sumber pendapatan 11 37 20 67 Tabungan keluarga 6 20 8 25 Sumber pupuk 3 10 5 15 Status sosial 2 8 4 12 Kesenangan 1 5 1 3 N 30 - 30 - (Σ x . Σ y) R = Σ xy – n

(Σx2(Σ x)2 ) (Σy2(Σy)2) n n

(4)

Sebaliknya fungsi dan peranan kerbau di lahan sawah dataran rendah (Kabupaten Lebak) paling dominan adalah untuk sumber pendapatan (67%), baru yang kedua untuk sumber tenaga kerja (30%). Kondisi ini mungkin disebabkan karena lahan sawah di dataran rendah merupakan lahan sawah tadah hujan, yang hanya bisa ditanami padi satu tahun sekali, sehingga kebutuhan tenaga kerja kerbau untuk mengolah lahan tidak begitu banyak. Disamping itu lahan sawah tadah hujan kurang begitu menghasilkan, bahkan sering mengalami kegagalan panen sehingga pendapatan petani menjadi rendah. Oleh karena itu, untuk menambah pendapatan petani memelihara kerbau dalam jumlah yang relatif lebih banyak yaitu rata-rata 13 ekor per petani. Sementara itu, di lahan sawah dataran tinggi (Pandeglang), merupakan sawah irigasi semi teknis yang dapat ditanami padi dua kali dalam setahun, dengan pola tanam padi – padi – palawija, sehingga pengolahan lahan lebih intensif dan kebutuhan tenaga kerja lebih banyak. Oleh karena itu, fungsi dan peranan ternak kerbau lebih dominan untuk sumber tenaga kerja daripada untuk menambah pendapatan. Kondisi ini sesuai dengan pendapat KUSNADI et al. (2004) yang menyatakan bahwa di daerah pertanian dengan hasil yang kurang dan sering mengalami kegagalan panen maka fungsi dan peranan ternak sebagai sumber tambahan pendapatan akan lebih menonjol.

Disamping itu sebagai sumber tenaga kerja dan sumber tambahan pendapatan, kerbau mempunyai peranan sebagai tabungan keluarga (Kabupaten Lebak 20%, Kabupaten Pandeglang 25%). Kondisi ini menunjukkan bahwa petani memelihara kerbau untuk dibesarkan/digemukkan dan pada saat-saat tertentu apabila keluarga membutuhkan uang seperti untuk sekolah anak, perayaan pernikahan, membangun rumah dan keperluan lainnya maka kerbau akan dijualnya.

Fungsi dan peranan kerbau lainnya bagi petani adalah sebagai sumber pupuk (Kabupaten Lebak 10%, Kabupaten Pandeglang 15%). Kelihatannya petani di kedua lokasi ini, kurang mengharapkan pupuk dari kotoran kerbau. Hal ini mungkin karena dalam sistem pemeliharaan kerbau dilakukan secara semi

dikandangkan. Sehingga sulit untuk memperoleh pupuk dari kotoran kerbau. Menurut KUSNADI et al. (1993) bahwa fungsi dan peranan ternak sebagai sumber pupuk akan lebih menonjol di daerah dengan tanah yang subur dalam sistem pertanian yang intensif seperti di daerah usahatani sayur-sayuran dan buah-buahan.

Fungsi dan peranan kerbau sebagai status sosial (Kabupaten Lebak 8%, Kabupaten Pandeglang 12%) ternyata di kedua lokasi ini masih cukup melekat. Mungkin hal ini disebabkan karena petani pemilik kerbau termasuk orang yang terpandang di masyarakat, dan mempunyai pengaruh yang positif terhadap kehidupan di masyarakat sekitarnya. Hal ini terbukti bahwa tokoh agama, tokoh masyarakat, serta petani yang kaya memelihara kerbau walaupun digaduhkan pada orang lain. Pemeliharaan kerbau sebagai kesenangan umumnya masih ada di kedua lokasi ini, walaupun dalam jumlah relatif kecil yaitu masing-masing 3%. Namun kelihatannya adalah petani dalam taraf pemula dalam memelihara kerbau, atau petani yang ingin memberi kepuasan pribadi dengan memelihara kerbau, atau petani yang coba-coba memelihara apabila berhasil diteruskan, sehingga jumlahnyapun tidak terlalu banyak.

Korelasi antara pemilikan tanah dengan jumlah pemilikan kerbau

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa lokasi penelitian ini merupakan di daerah lahan sawah dataran rendah dan lahan sawah dataran tinggi yang merupakan ekosistem dari kehidupan kerbau lumpur (TRIWULANNINGSIH, 2004). Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata pemilikan tanah per petani adalah 0,2 ha di Kabupaten Lebak dan 0,4 ha di Kabupaten Pandeglang. Sebagian besar dari tanah tersebut berupa lahan sawah masing-masing seluas 0,15 dan 0,24 ha tertera pada Tabel 2. Di Kabupaten Lebak walaupun pemilikan tanahnya relatif kecil namun jumlah pemilikan kerbau lebih banyak yaitu 13 ekor per petani dibandingkan dengan di Kabupaten Pandeglang yang hanya memiliki 6 ± 2,04 ekor per petani. Berdasarkan hasil analisa jumlah pemilikan kerbau ini berkorelasi

(5)

Tabel 2. Rataan penggunaan dan luas pemilikan tanah serta korelasinya dengan jumlah pemilikan kerbau di

tingkat petani

Lokasi Uraian

Kabupaten Lebak Kabupaten Pandeglang

Lahan sawah 0,15 0,24

Lahan kering 0,03 0,12

Lahan pekarangan 1,03 0,0,2

Lahan kolam – 0,0,2

Jumlah pemilikan tanah (ha) 0,2 ± 0,015 0,4 ± 0,012 Jumlah pemilikan kerbau (ekor) 13 ± 3,02 6 ± 2,04

Nilai korelasi ± 0,35 ± 0,65

Kabupaten Lebak (R = 0,35) maupun di Kabupaten Pandeglang (R = 0,65).

Hubungan tersebut menunjukkan bahwa semakin luas pemilikan tanah maka semakin banyak kerbau yang dipelihara. Hal ini disebabkan karena tanah yang dimiliki sebagian besar berupa lahan sawah yang butuh sumber tenaga kerja kerbau untuk mengolah lahan, dan sawah merupakan habitat yang cocok untuk perkembangan kerbau. Disamping itu lahan sawah dapat menyediakan pakan bagi kerbau berupa jerami padi (SABRANI et al, 1992).

Pada Tabel 2. terlihat pula bahwa nilai antara korelasi pemilikan tanah dengan jumlah pemilikan kerbau di Kabupaten Pandeglang lebih kuat dari pada di Kabupaten Lebak. Hal ini disebabkan karena fungsi dan peranan kerbau di Kabupaten Pandeglang dominan untuk sumber tenaga kerja. Kesediaan pakan untuk kerbau, selain dari sawah dapat diperoleh dari sisa hasil pertanian lahan kering yang mereka miliki lebih luas yaitu 0,12 ha/petani dari pada petani di Kabupaten Lebak yang hanya memiliki 0,03 ha/petani. Sementara itu, di Kabupaten Lebak petani memiliki tanah relatif sempit serta fungsi dan peranan ternak lebih utama sebagai usaha untuk memperoleh pendapatan. Disamping itu kebutuhan pakan untuk kerbau tidak hanya mengandalkan hijauan dari tanah yang mereka miliki akan tetapi lebih banyak kerbau di gembala pada lahan sawah bero atau kebun kelapa yang terhampar luas di tepi pantai.

Tingkat pendapatan petani

Mata pencaharian pokok petani responden adalah bercocok tanam khususnya padi sawah. Memelihara kerbau adalah usaha sampingan untuk menambah pendapatan dan mengurangi biaya tenaga kerja dalam mengolah sawah. Namun di Kabupaten Lebak ada sebagian petani (20%) yang menyatakan memelihara kerbau merupakan mata pencaharian pokok, sedangkan bertanam padi merupakan usaha untuk ketahanan pangan, dalam memenuhi konsumsi keluarga. Selain bertani dan beternak kerbau ada sebagian kecil petani (6,7% di Kabupaten Pandeglang dan 10% di Kabupaten Lebak) bekerja di luar usahatani (off farm).

Berdasarkan hasil survei dari mata pencaharian petani tersebut di atas, petani memperoleh pendapatan rata-rata pertahun adalah Rp. 4.995.000 di Kabupaten Lebak dan Rp. 2.587.500 di Kabupaten Pandeglang tertera pada Tabel 3. Dari total pendapatan tersebut berasal dari usaha beternak kerbau yaitu Rp. 2.730.000 di Kabupaten Lebak dan Rp. 1.50.000 di Kabupaten Pandeglang, atau usaha ternak kerbau dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan usahatani masing-masing sebesar 56 dan 48%. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pemilikan kerbau 13 ekor per petani di Kabupaten Lebak dan 6 ekor per petani di Kabupaten Pandeglang, maka usaha beternak kerbau bukan lagi merupakan usaha sambilan tetapi merupakan cabang usaha. Hal ini sesuai dengan pendapat

(6)

Tabel 3. Rataan tingkat pendapatan petani peternak kerbau di lokasi penelitian (Rp/tahun)

Lokasi penelitian

Jenis kegiatan usaha Kabupaten Lebak Kabupaten Pandeglang

Bertanam padi sawah 1.716.000 853.125

Bertanam palawija (jagung, kacang tanah) 429.000 284.375

Beternak kerbau 2.730.000 1.050.000

Diluar usahatani (off – farm) 120.000 400.000

Jumlah 4.995.000 2.587.500

Rata-rata/bulan 416.250 215.625

SOEHADJI (1992) yang menyatakan bahwa; petani peternak yang mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak sebagai cabang usahatani dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30–70% tidak lagi merupakan usaha sambilan tetapi sebagai cabang usaha yang mengarah ke usaha semi komersial.

Dari kondisi ini menunjukkan bahwa kerbau mempunyai fungsi dan peranan besar terhadap pendapatan petani, sehingga seharusnya usaha ternak kerbau di Propinsi Banten ini dapat berkembang dengan baik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Ternak kerbau di Propinsi Banten mempunyai fungsi dan peranan penting dalam sistem usahatani khususnya di lahan sawah baik di dataran rendah (Kabupaten Lebak) maupun di dataran tinggi (Kabupaten Pandeglang) yaitu masing-masing sebagai sumber tenaga kerja 53 dan 30%, sebagai sumber pendapatan 37 dan 67%, sebagai tabungan keluarga 20 dan 25% sebagai sumber pupuk 10–15%, sebagai status sosial 8 dan 12% serta sebagai kesenangan masing-masing 3%.

2. Rata-rata pemilikan kerbau di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang masing-masing adalah 13 dan 6 ekor/ petani. Sementara itu, rata-rata pemilikan tanah 0,2 dan 0,4 ha/petani. Ada korelasi

luas tanah yang dimiliki petani semakin banyak kerbau yang dimiliki petani dengan nilai korelasi R = 0,35 di Kabupaten Lebak dan R = 0,65 di Kabupaten Pandeglang.

3. Rata-rata pendapatan petani dari usaha kerbau di Kabupaten Lebak Rp. 2.730.000/tahun dan di Kabupaten Pandeglang Rp. 1.050.000/tahun, atau memberikan kontribusi terhadap pendapatan usahatani masing-masing sebesar 56% di Kabupaten Lebak dan 48% di Kabupaten Pandeglang. Dengan demikian beternak kerbau dalam konsisi tersebut di atas tidak lagi merupakan usaha sambilan tetapi sudah merupakan cabang usaha.

4. Untuk mengembangkan ternak kerbau di Propinsi Banten baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi harus memperhatikan fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani yang cocok dengan persepsi petani, ketersediaan tanah baik untuk kehidupan lingkungannya (lahan sawah) maupun untuk sumber pakan.

DAFTAR PUSTAKA

BANTEN DALAM ANGKA. 2004. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Banten.

KUSNADI, U. 2004. Kontribusi ternak dalam

meningkatkan pendapatan petani di lahan marginal Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. J. Pengembangan Peternakan Tropis Special Edition Oktober 2004. Seminar

(7)

KUSNADI, U., S. ISKANDAR and M. SABRANI, 1993.

Research methodology for crop animal systems in hilly areas of Indonesia. Crop-Animal Interaction Proc. of an International Workshop Held at Khon Koen, Thailand. SABRANI, M, B. SUDARYANTO, A. PRABOWO, A.

TIKUPADANG dan A. SUPARYANTO. 1992.

Dampak integrasi ternak dalam usahatani terhadap pendapatan. Pros. Agro–Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor. SOEHADJI. 1992. Usaha peternakan sekarang dan

dimasa depan. Pros. Agro-Industri Peternakan di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak, Puslitbang Peternakan, Bogor.

SOEHARTO. P.R., SUDI NURTINI dan TARYADI, 1981.

Masalah ternak kerbau dan mekanisasi pertanian. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 161–168.

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1986. Principles and Procedures of Statistics, Second Edition. Mc. Graw Hill International Book Company Singapore.

TRIWULANNINGSIH, E. 2004. Laporan Hasil Penelitian Breeding dan Reproduksi Ternak Kerbau di Indonesia. Balai Penelitian Ternak Bogor.

WIRYOSUHANTO. 1980. Peternakan kerbau di Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Berapa ekor yang dipotong/dijual per tahun per peternak. Bagaimana pendapat kedepan dengan usaha ternak kerbau di wilayah kegiatan ini?

2. Apa saran untuk dapat meningkatkan populasi kerbau di Indonesia, sementara luasan lahan yang dapat dijadikan sumber daya dukung makin menyempit.

3. Dikatakan ada korelasi yang tinggi antara kepemilikan lahan dengan jumlah kepemilikan kerbau. Bagaimana jika lahan itu diwariskan, dan dengan pembagian lahan warisan tersebut akan menyebabkan jumlah kepemilikan akan turun.

4. Selain fungsi kerbau yang disampaikan, apakah pernah dicoba, peranan kerbau sebagai penghasil susu (seperti di daerah lain, Sumatera dan Rote, NTT)? Peranan kerbau di daerah tertentu seperti di Pulau Sumba sangat berarti untuk acara adat istiadat sehingga harganya cukup baik jika dibandingkan dengan sapi. Bagaimana dengan didaerah pengamatan? 5. Apa masalah pemeliharaan kerbau yang sering muncul di daerah Banten dan apa gejalanya?

Jawaban:

1. Ternak kerbau di daerah pengamatan jarang dipotong tetapi dijual dan paling banyak 1 ekor/tahun/peternak. Kedepan petani menharapkan untuk dapat menjual/memotong lebih banyak, namun masalah sosial dan kepemilikan kerbau relatif kecil sebagai akibat keterbatasan modal.

2. Saran saya adalah perbaiki mutu genetik kerbau yang ada, teknik budidaya yang lebih baik, sistem pemeliharaan yang lebih intensif, optimalkan sumber daya pakan lokal, jangan mengintroduksi mekanisasi pertanian dan jangan merubah fungsi lahan dari sawah ke industri.

3. Ada korelasi antara jumlah kerbau dan kepemilikan lahan. Bila lahannya diwariskan, kerbaunya pun mungkin diwariskan juga sehingga jumlahnya tetap, kecuali dipotong.

4. Di Banten belum mengenal kerbau sebagai penghasil susu. Mungkin disebabkan sistem pemeliharaan yang ekstensif dan jenis kerbaunya adalah kerbau Lumpur (Swamp buffalo). Fungsi kerbau di Banten dalam upacara adat tidak ada, hanya dalam acara keagamaan sebagai hewan kurban dan sebagai status sosial pemilik.

Gambar

Tabel 1. Fungsi dan peranan kerbau dalam sistem usahatani lahan sawah di Propinsi Banten  Jumlah responden
Tabel 2.  Rataan penggunaan dan luas pemilikan tanah serta korelasinya dengan jumlah pemilikan kerbau di  tingkat petani
Tabel 3. Rataan tingkat pendapatan petani peternak kerbau di lokasi penelitian (Rp/tahun)  Lokasi penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan

Obat utama yaitu obat kronis yang diresepkan oleh Dokter Spesialis/Sub Spesialis di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dan tercantum pada Formularium Nasional

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawaty dan Susanto (2009) yang menyatakan bahwa semakin tinggi akuntan publik mentaati kode etik semakin baik

Namun dari hasil pengamatan temuan penelitian tentang keberhasilan guru dalam menggunakan penerapan pembelajaran model pembelajaran kooperatif tipe TPS pada materi proses

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih karunia dan rahmat-nya, sehingga penulisan tesis dengan judul: URGENSI

Konsep pelatihan pelestarian situs yang diberikan berdasarkan pada kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Nagaratengah Kecamatan Cineam yaitu berdasarkan pada

Mekanisme pengelolaan dana dengan sitem muḍᾱrabah di AJB Bumiputera 1912 Syariah, pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ada di dalam fatwa

Tujuan kreatif dari perancangan desain kemasan Loenpia Nyonya Giok ini adalah menciptakan kemasan baru yang sesuai dengan sifat produk, praktis, dapat melindungi,