• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Komposisi Kimia Jeroan ikan tongkol

Komposisi kimia ikan tergantung kepada spesies, umur, jenis kelamin, dan musim penangkapan serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Kandungan protein dan mineral daging ikan relatif konstan, tetapi kadar air dan kadar lemak sangat berfluktuasi. Jika kandungan lemak pada

daging ikan semakin besar, maka kandungan air akan semakin kecil (Irianto dan Soesilo 2007). Penentuan komposisi kimia jeroan ikan tongkol

dilakukan dengan analisis proksimat. Hasil analisis proksimat jeroan ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia jeroan ikan tongkol

Parameter Rata-rata (%)

Kadar Air 75,09

Kadar Abu 0,87

Kadar Protein 16,72

Kadar Lemak 0,87

Jeroan ikan tongkol memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga cocok untuk dijadikan bahan baku pembuatan pepton. Menurut Ovissipour (2008), jeroan ikan sturgeon memiliki kandungan air sebesar 39%; kadar abu sebesar 5,76%; kadar protein sebesar 15,48%; dan kadar lemak sebesar 15,68%. Hidrolisat yang dihasilkan dari ikan sturgeon memiliki kadar air sebesar 4,45%; kadar abu sebesar 7,67%; kadar protein sebesar 65,82%; dan kadar lemak sebesar 0,18%.

Daging ikan tongkol memiliki kadar air sebesar 72,7%; kadar abu sebesar

1,4%; kadar lemak sebesar 2,7%; dan kadar protein sebesar 23,2% (Siong et al. 1987). Jika dibandingkan dengan daging ikan, maka jeroan ikan

tongkol memiliki kadar protein yang tidak berbeda jauh dengan daging ikan. Potensi jeroan ikan tongkol cukup tinggi sebagai bahan baku pembuatan pepton. Hal ini ditinjau dari kadar protein yang dimiliki oleh jeroan ikan tongkol.

(2)

4.2 Aktivitas dan Konsentrasi Protein Enzim Papain

Jumlah enzim yang digunakan untuk mengkatalis reaksi biokimia jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah atau konsentrasi substrat yang digunakan. Enzim memiliki nilai aktivitas tertentu yang dapat menjadi ukuran bagi kemurnian enzim. Enzim papain sebagai katalisator dalam hidrolisis protein jeroan ikan tongkol merupakan ekstrak kasar dari lateks pepaya. Enzim papain memiliki aktivitas enzim yang ditunjukkan sebagai jumlah enzim yang melakukan katalis sehingga terjadi perubahan 1 mikromol substrat permenit.

Gambar 3 Kurva standar penentuan konsentrasi protein.

Aktivitas enzim papain yang digunakan untuk hidrolisis protein jeroan ikan tongkol adalah sebesar 0,0573 U/mL (Lampiran 1). Hal ini berarti 1 mL enzim papain dapat melakukan katalis sehingga terjadi penambahan 0,0573 mikromol substrat permenit. Konsentrasi protein enzim papain ditentukan dengan metode Bradford. Kurva standar penentuan konsentrasi protein enzim dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil pengukuran absorbansi protein enzim dimasukkan ke dalam persamaan regresi yang dibentuk oleh kurva untuk menentukan konsentrasi enzim papain. Konsentrasi enzim papain yang terukur adalah sebesar 0,0175 mg/mL (Lampiran 1). Hal ini mengandung arti bahwa dalam 1 mL enzim terdapat protein dengan konsentrasi 0,0175 mg.

Aktivitas spesifik enzim papain untuk hidrolisis jeroan ikan tongkol adalah 3,2770 U/mg. Aktivitas spesifik enzim papain tersebut mengandung arti bahwa terdapat aktivitas enzim dalam 1 miligram protein enzim yang dapat melakukan hidrolisis sehingga terjadi perubahan 3,2770 mikromol substrat permenit. Enzim

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0 0,05 0,1 Abs or b an

Konsentrasi protein enzim

(3)

yang masih bersifat ekstrak kasar mempunyai spesifik aktivitas yang rendah. Enzim dapat lebih dimurnikan dengan metode khromatografi serta metode pemurnian enzim yang lain (Suhartono 1989).

4.3 Penentuan Konsentrasi Enzim Terbaik

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH, jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion, serta suhu. Pengetahuan mengenai pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap enzim, diperlukan dalam menentukan suatu media atau lingkungan buatan yang dapat memaksimumkan atau menghambat aktivitas enzim (Suhartono 1988). Penentuan konsentrasi enzim terbaik dilakukan dengan menguji nilai nitrogen total terlarut (NTT) pada hidrolisat protein dibandingkan dengan nitrogen total bahan (NTB). Diagram batang NTT/NTB hidrolisis jeroan ikan tongkol dengan perlakuan konsentrasi enzim ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Nilai rata-rata NTT/NTB hidrolisis jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi enzim yang berbeda (Superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)).

Hasil uji NTT/NTB menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi enzim berpengaruh terhadap nilai NTT/NTB yang dihasilkan. Kesimpulan ini dapat dilihat dari nilai Sig yang lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 2). Setelah mengetahui

0,2537(a) 0,2604 (a,b) 0,2738(b,c) 0,2788 (c) 0,2987(d) 0,2965(d) 0,2970(d) 0,20 0,22 0,24 0,26 0,28 0,30 Kontrol 0,08% 0,14% 0,20% 0,26% 0,32% 0,38% N il ai N TT/ N TB Konsentrasi enzim

(4)

bahwa perbedaan konsentrasi enzim memberikan pengaruh terhadap rasio NTT/NTB, selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui konsentrasi enzim yang memberikan pengaruh berbeda nyata.

Nilai rata-rata NTT/NTB hidrolisis jeroan ikan tongkol dengan perlakuan perbedaan konsentrasi enzim menjadi dasar penentuan konsentrasi enzim terbaik untuk produksi pepton jeroan ikan tongkol. Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi enzim yang digunakan untuk hidrolisis protein jeroan ikan tongkol, rasio NTT/NTB yang dihasilkan juga semakin besar. Namun pada konsentrasi tertentu besarnya rasio NTT/NTB cenderung tetap atau tidak mnengalami perubahan yang signifikan. Rasio NTT/NTB dari hidrolisis jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi enzim sebesar 0,26% (b/v) memberikan nilai yang paling baik. Penambahan enzim diatas konsentrasi 0,26% (b/v) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini dilihat dari superskrip yang sama antara konsentrasi 0,26% (b/v) sampai 0,38% (b/v). Dengan demikian konsentrasi enzim optimum yang digunakan adalah 0,26% (b/v).

Konsentrasi enzim 0,32% (b/v) dan 0,38% (b/v) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Jika dibandingkan dengan konsentrasi enzim 0,26% (b/v) rasio NTT/NTB yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini terjadi karena substrat yang dihidrolisis oleh enzim sudah jenuh. Substrat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aktivitas enzim. Pembentukan kompleks enzim substrat merupakan limit kecepatan reaksi enzimatis. Artinya, kecepatan maksimum reaksi enzim dicapai pada tingkat konsentrasi substrat yang sudah mampu mengubah seluruh enzim menjadi kompleks enzim substrat pada keadaan lingkungan yang memungkinkan (Suhartono 1988).

Menurut Mackie (1982) pada hidrolisis daging ikan, terdapat pola yang khas, yaitu meskipun sejumlah enzim ditambahkan secara berlebih terdapat sekitar 20% dari total nitrogen yang tidak larut. Mereka menduga bahwa hidrolisis mungkin dihambat oleh produk hidrolisis atau oleh pemutusan rantai pada semua ikatan peptida yang dapat dihidrolisis oleh enzim. Hal ini menjelaskan keadaan yang terjadi pada konsentrasi enzim 0,26% (b/v); 0,32% (b/v), dan 0,38% (b/v). Walaupun dilakukan penambahan konsentrasi enzim pada substrat, terdapat 20% dari total nitrogen yang tidak larut.

(5)

Penelitian yang dilakukan oleh Benjakul dan Morrissey (1997) menyatakan bahwa seiring dengan penambahan konsentrasi enzim, laju derajat hidrolisis dan

Nitrogen Recovery mengalami penurunan. Derajat hidrolisis menunjukkan tingkat

pemecahan ikatan peptida pada protein. Peningkatan konsentrasi enzim memberikan pengaruh positif pada proses hidrolisis karena meningkatkan kelarutan pada protein.

4.4 Penentuan Waktu Hidrolisis Terbaik

Kondisi hidrolisis umumnya dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, suhu, pH, dan waktu (Muchtadi et al. 1992). Penentuan waktu hidrolisis terbaik dilakukan dengan menguji perbandingan NTT/NTB yang dihasilkan selama waktu hidrolisis. Semakin tinggi perbandingan kadar NTT/NTB yang dihasilkan maka semakin optimum proses hidrolisis yang dilakukan. Nilai NTT/NTB hidrolisis jeroan ikan tongkol pada waktu yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Nilai rata-rata NTT/NTB hidrolisis jeroan ikan tongkol pada waktu hidolisis yang berbeda (Superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)).

Hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan waktu hidrolisis berpengaruh terhadap nilai NTT/NTB. Kesimpulan ini dapat dilihat dari nilai Sig yang lebih kecil dari 0,05 (Lampiran 3). Setelah mengetahui perbedaan waktu hidrolisis memberikan pengaruh terhadap rasio NTT/NTB, selanjutnya dilakukan uji lanjut

0,2644(a) 0,2733(b) 0,2829(c) 0,2810(b,c) 0,2820(c) 0,25 0,26 0,27 0,28 0,29

1 jam 2 jam 3 jam 4 jam 5 jam

N il ai N TT/ N TB Waktu hidrolisis

(6)

Duncan untuk mengetahui konsentrasi enzim yang memberikan pengaruh berbeda nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan NTT/NTB meningkat seiring bertambahnya waktu hidrolisis. Namun ketika memasuki waktu tertentu perbandingan NTT/NTB yang dihasilkan tidak mengalami perubahan yang berbeda nyata. Nilai NTT/NTB tertinggi ditunjukkan pada hidrolisis jeroan ikan tongkol selama 3 jam. Ketika waktu hidrolisis dinaikkan menjadi 4 dan 5 jam, perubahan yang ditunjukkan tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya.

Makin lama waktu reaksi hidrolisis, semakin bertambah kecepatan reaksinya. Hal ini disebabkan karena kontak antara substrat (dalam hal ini jeroan ikan tongkol) dan air makin lama. Hidrolisis memerlukan air untuk memecah protein menjadi asam-asam amino. Air digunakan untuk menggantikan kekurangan H dan OH akibat pemutusan ikatan antara asam amino yang satu dengan yang lainnya.

Asam-asam amino digabungkan oleh suatu ikatan peptida (-CONH-). Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepas molekul air (Winarno 2008). Enzim bekerja sebagai katalis reaksi dan tidak menyebabkan perubahan pada kesetimbangan reaksi kimia. Ketika peptida yang terbentuk diputus oleh enzim, air diperlukan untuk membentuk kembali asam-asam amino pembentuknya.

Kasus ini hampir sama dengan kondisi yang terjadi antara kolagen dengan air. Semakin lama kontak kolagen dengan air menyebabkan kolagen yang menjadi gelatin juga semakin besar, sehingga reaksi semakin sempurna. Namun pada waktu reaksi yang terlalu lama akan menyebabkan hasil menjadi berkurang karena kandungan kolagen dalam kulit makin lama makin sedikit (Groggins 1958 diacu dalam Kusmartono 2008).

Shahidi et al. (1995) menyatakan bahwa laju hidrolisis enzimatis menurun dan mencapai stasioner ketika tidak terjadi proses hidrolisis secara nyata oleh enzim. Sejumlah besar hidrolisat protein terlarut dihasilkan ketika tahap awal hidrolisis, namun ketika sejumlah enzim ditambahkan ketika fase stasioner dari proses hidrolisis tidak terjadi peningkatan hasil hidrolisis. Shahidi et al. (1995)

(7)

menduga bahwa terjadi penghambatan oleh produk atau pemecahan ikatan peptida oleh enzim.

4.5 Karakterisasi Pepton Jeroan ikan tongkol

Karakterisasi pepton jeroan ikan tongkol meliputi beberapa aspek, yaitu komposisi kimia pepton jeroan ikan tongkol, jenis asam amino dalam pepton jeroan ikan tongkol, dan karakteristik pepton (kelarutan dalam air, total nitrogen, α-amino nitrogen bebas, dan kadar garam). Pepton yang dihasilkan berbentuk bubuk dengan warna putih kekuningan (Lampiran 4).

4.5.1 Komposisi kimia pepton jeroan ikan tongkol

Komposisi pepton jeroan ikan tongkol ditentukan dengan melakukan analisis proksimat. Analisis ini meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Analisis yang dilakukan penting untuk mengetahui karakteristik pepton yang dihasilkan dari jeroan ikan tongkol. Hasil analisis proksimat pepton jeroan ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia pepton jeroan ikan tongkol

Parameter Pepton jeroan ikan

(%) Pepton sardinella1) (%) Kadar Air 7,66 1,88 Kadar Abu 2,34 16,98 Kadar Protein 50,18 81,51 Kadar Lemak 0,47 3,31

Sumber : 1) Souissi et al. (2009)

Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan (Winarno 2008). Kadar air pada pepton jeroan ikan tongkol, yaitu sebesar 7,66% (b/b). Nilai ini dipengaruhi oleh adanya proses pengeringan pada hidrolisat protein ikan untuk membentuk bubuk pepton. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan, sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan (Winarno 2008).

Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal

(8)

sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itu disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu pepton jeroan ikan tongkol sebesar 2,34% (b/b). Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Ovissipour et al. (2008) pada ikan sturgeon, yaitu sebesar 7,67%.

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C,H,O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Dalam setiap sel hidup, protein merupakan bagian yang sangat penting. Protein merupakan komponen terbesar setelah air, diperkirakan 50% berat kering sel dalam jaringan seperti misalnya hati dan daging terdiri dari protein (Winarno 2008). Kadar protein pepton jeroan ikan tongkol sebesar 50,18% (b/b).

Lemak dan minyak terdapat dalam hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Lemak dan minyak termasuk dalam kelompok senyawa yang disebut lipida, yang pada umumnya mempunyai sifat sama yaitu tidak larut dalam air. Lemak hewan laut seperti ikan biasanya berbentuk cair yang disebut minyak (Winarno 2008). Kandungan lemak pepton jeroan ikan sebesar 0,47% (b/b). Kandungan lemak pada pepton jeroan ikan tongkol lebih tinggi jika dibandingkan kadar lemak dari penelitian Ovissipour et al. (2008) tentang ikan sturgeon, yaitu sebesar 0,18%.

Penelitian yang dilakukan oleh Souissi et al. (2009) menyatakan bahwa hidrolisis pada protein ikan Sardinella menghasilkan kadar air sebesar 1,88%. Kadar protein sebesar 81,51%, kadar lemak sebesar 3,31%, dan kadar abu sebesar 16,98%. Souissi juga menyebutkan bahwa dengan menghilangkan kepala, jeroan, dana tulang menyebabkan peningkatan kadar protein yang dihasilkan karena kandungan lipid dan abu yang terdapat pada kepala dan jeroan.

4.5.2 Komposisi asam amino pepton jeroan ikan tongkol

Protein mengandung 50-55% karbon, 6-7% hidrogen, 20-23% oksigen, 12-19% nitrogen, dan 0,2-3,0% sulfur. Hidrolisis protein dengan asam, alkali, atau enzim, akan menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008).

(9)

Komposisi asam amino pepton jeroan ikan tongkol yang dihasilkan dari hirolisis jeroan ikan tongkol secara enzimatis dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi asam amino pepton jeroan ikan tongkol

Asam Amino Pepton jeroan ikan tongkol (% b/b) Bactopeptone 1) (%) Ram horn hidrolisat2) (%) Pepton ikan selar Busuk3) Alanin 0,78 9,2 3,19 0,55 Arginin 1,83 2,8 4,66 2,85 Asam aspartat 2,50 5,0 3,90 5,92 Asam glutamat 6,38 8,1 8,17 10,43 Glisin 0,71 15,9 5,19 0,96 Histidin 1,47 0,8 0,72 4,12 Isoleusin 0,88 2,1 1,63 0,96 Leusin 3,57 3,8 4,20 2,42 Lisin 3,54 3,4 2,21 2,25 Metionin 1,03 0,7 0,41 3,07 Fenilalanin 1,10 2,8 1,67 1,68 Prolin 2,53 8,8 0,00 1,49 Serin 1,52 1,5 2,87 2,93 Sistein 0,68 - 0,21 0,65 Tirosin 1,07 0,6 1,61 1,32 Treonin 1,40 1,1 2,00 1,06 Valin 1,59 2,8 2,56 2,61

Sumber : 1) Bionutrient Technical Manual (2006)

2)

Kurbanoglu dan Algur (2002)

3)

Saputra (2008)

Protein tidak mengandung semua (ke 20) asam amino. Tiap jenis protein mengandung proporsi asam amino unit pembangun yang berbeda nyata dengan jenis lain (Lehninger 1982). Pepton jeroan ikan tongkol memiliki 17 jenis asam amino. Kadar asam amino tertinggi adalah asam glutamat, sedangkan asam amino terendah adalah sistein. Asam glutamat dalam pepton jeroan ikan tongkol memiliki kadar sebesar 6,38% (b/b). Sistein, sebagai asam amino terendah yang ditemukan dalam pepton jeroan ikan tongkol memiliki kadar sebesar 0,68% (b/b). Jika dibandingkan dengan bactopeptone, maka pepton jeroan ikan tongkol masih memiliki kadar asam amino yang lebih rendah.

Pepton ikan selar digunakan sebagai pembanding untuk melihat perbedaan antara pepton yang dibuat dari jeroan ikan tongkol dengan daging ikan. Nilai asam amino pepton ikan selar menunjukkan bahwa asam amino tertinggi pada pepton ikan selar busuk adalah asam glutamat dengan nilai 10,43% sedangkan asam

(10)

amino terendah adalah sistein dengan nilai 0,65%. Nilai ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai asam amino pepton jeroan ikan tongkol.

Bactopepton merupakan pepton yang diproduksi dengan menghidrolisis

protein daging sapi. Asam amino tertinggi yang ditemukan dalam bactopeptone adalah glisin dengan kadar 15,9%, Sedangkan asam amino terendah yang ditemukan dalam bactopeptone adalah tirosin dengan kadar 0,6%. Asam amino sistein tidak ditemukan dalam bactopeptone.

Ram horn merupakan limbah hasil industri daging hewan. Penelitian yang dilakukan Kurbanoglu dan Algur (2002) menunjukkan bahwa limbah indutri daging dapat digunakan untuk menghasilkan hidrolisat seperti pepton. Hidrolisat ini digunakan untuk media pertumbuhan bakteri. Ram horn hidrolisat mengandung komponen organik dan anorganik yang diperlukan oleh bakteri. Zat yang terkandung di dalamnya seperti sumber karbon, nitrogen, dan mineral. Hasil pengujian asam amino menunjukkan bahwa asam amino tertinggi adalah asam glutamat dengan nilai 8,17% dan terendah adalah prolin dengan nilai 0,00%. Nilai prolin dan triptofan yang tidak terdeteksi disebabkan oleh hidrolisis asam yang digunakan selama pengujian. Asam amino esensial tertinggi adalah arginin dengan nilai 2,85%.

Gambar 6 Jenis asam amino pada pepton jeroan ikan tongkol ( bactopeptone pepton jeroan ikan tongkol).

Sistein dan sistin merupakan asam amino yang tidak stabil selama hidrolisis asam. Triptofan tidak ditemukan pada pepton jeroan ikan tongkol karena hancur selama hidrolisis asam. Namun karena pentingnya hidrolisis asam untuk menentukan jenis asam amino lain, maka hidrolisis asam tetap dilakukan

0 5 10 15 20 K ad ar as am am in o (% )

(11)

(Cooper et al. 2004). Kadar sistein yang rendah diduga disebabkan oleh reaksi selama hidrolisis asam yang terjadi saat pengujian. Hasil pengujian asam amino dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dapat dilihat pada Lampiran 5.

Asam glutamat pada produk perikanan merupakan asam amino yang banyak ditemukan dan menjadi pembentuk citarasa pada produk perikanan. Hasil serupa juga ditemukan oleh Poernomo dan Buckle (2002). Mereka menyatakan bahwa pada hidrolisat ikan Trygon sephen asam amino tertinggi yang ditemukan adalah asam glutamat, sedangkan yang terendah adalah sistein. Sistein merupakan asam amino pembatas pada jeroan ikan tongkol.

Bakteri membutuhkan asam amino sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhannya. Menurut Selvarasu et al. (2008) antara 20 asam amino, perubahan konsentrasi glutamin, sistein, dan triptofan tidak berarti karena jumlahnya yang sangat sedikit. Tetapi perubahan yang signifikan terjadi untuk 17 asam amino yang lain. Selama fase lag, kadar asam amino tidak berubah, menunjukkan bahwa konsumsi asam amino rendah. Tetapi ketika memasuki fase eksponensial, kadar asam amino berkurang drastis. Perubahan yang signifikan ditunjukkan oleh asam amino serin, yang habis setelah 2 jam, diikuti oleh aspartat (5 jam) dan glutamat (8 jam). Akan tetapi, konsentrasi histidin meningkat selama periode ini. Konsentrasi glutamat, alanin, lisin, tirosin, metionin, glisin, prolin, dan asparagin habis setelah 9-10 jam kultur. Asam amino yang tersisa tidak dikonsumsi sepenuhnya.

Penelitian Selvarasu et al. (2008) menunjukkan bahwa serin, aspartat, dan glutamat sangat dibutuhkan oleh bakteri. Terlihat dari tingkat konsumsi bakteri terhadap asam amino tersebut. Kandungan serin, aspartat, dan glutamat pada pepton jeroan ikan tongkol berturut-turut adalah 1,52%, 2,50%, dan 6,38%. Sedangkan pada bactopeptone kandungan serin, aspartat, dan glutamat berturut-turut adalah 1,5%, 5%, dan 8,1%. Nilai ketiga asam amino tersebut pada pepton jeroan ikan tongkol masih lebih rendah jika dibandingkan dengan bactopeptone. 4.5.3 Karakteristik pepton jeroan ikan tongkol

Karakteristik pepton jeroan ikan tongkol meliputi kelarutan dalam air, total nitrogen, α-amino nitrogen bebas, rasio amino nitrogen dengan total nitrogen,

(12)

kadar garam, kadar lemak, dan kadar abu. Karakteristik pepton jeroan ikan tongkol dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik pepton jeroan ikan tongkol

Karakteristik Bactopeptone1 Pepton Jeroan ikan tongkol

Kelarutan (%) 100 98,20

Total Nitrogen (%) 12-13 8,03

α-Amino Nitrogen Bebas (%) 1,2-2,5 1,12

AN/TN (%) 11-21 13,95 Kadar Garam (%) ≤ 17 0,79 Kadar Lemak (%) 0,40 0,47 Kadar Abu (%) 3,80 2,34 Rendemen (%) - 3,92-5,54 pH 6,7-7,4 6,02

Sumber : 1 Bionutrient Technical Manual (2006)

Pepton merupakan turunan protein yang larut air, tidak terkoagulasi oleh panas, dan tidak mengalami salting out dengan amonium sulfat (Winarno 2008). Hidrolisis ikatan peptida dalam protein meningkatkan jumlah gugus bermuatan dan sisi hidrofilik karena membukanya molekul protein, pada umumnya meningkatkan kelarutan dan derajat hidrolisis namun menurunkan viskositas (Zayas 1997).

Kelarutan pepton jeroan ikan tongkol sebesar 98,20% (b/b) lebih rendah jika dibandingkan dengan bactopeptone yang memiliki nilai kelarutan dalam air 100%. Analisis kelarutan dalam air pada pepton jeroan ikan tongkol perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pepton sebagai media pertumbuhan bakteri. Sebagai contoh dalam media Luria Broth, pepton sebanyak 1% akan dilarutkan ke dalam 1 L akuades. Semakin tinggi nilai kelarutan pepton dalam air maka pepton yang dihasilkan makin baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Souissi et al. (2007) pada ikan

Sardinella aurita menyebutkan bahwa derajat hidrolisis yang rendah

menyebabkan kelarutan yang rendah pada hidrolisat protein. Kelarutan yang semakin tinggi ditunjukkan oleh peningkatan derajat hidrolisis. Peningkatan derajat hidrolisis menyebabkan peningkatan kelarutan dan penurunan kapasitas pengemulsi. Hidrolisat protein dengan derajat hidrolisis sebesar 10,16% memiliki tingkat kelarutan sampai 100%. Kelarutan yang tinggi pada hidrolisat protein disebabkan oleh pemecahan protein menjadi peptida yang lebih sederhana yang

(13)

biasanya meningkatkan kelarutan. Perbedaan pada tingkat kelarutan dapat disebabkan oleh perbedaan panjang peptida dan rasio peptida hidrofilik serta hidrofobik. Hidrolisis dapat membuka grup hidrofobik ke permukaan dan mengubah beberapa grup hidrofobik menjadi bersifat hidrofilik dengan menghasilkan ujung karboksil dan amino.

Penelitian yang dilakukan oleh Kristinsson dan Rasco (2000) menyatakan bahwa hidrolisat yang dibuat dari ikan salmon yang dihidrolisis dengan menggunakan enzim alkalase memiliki kadar protein sebesar 71,7-88,4%, dan kadar lemak yang rendah. Indeks kelarutan nitrogen dibandingkan dengan albumin telur berkisar antara 92,4-99,7%. Hidrolisis dapat meningkatkan kelarutan dari peptida yang terbentuk akibat pemecahan protein.

Total nitrogen pada pepton jeroan ikan tongkol lebih rendah jika dibandingkan dengan acuan untuk produksi bactopeptone. Total nitrogen pada jeroan ikan tongkol sebesar 8,03% (b/b). Bactopepton memiliki total nitrogen antara 12-13%. Nilai α-amino nitrogen bebas pepton jeroan ikan tongkol memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bactopeptone. Pepton jeroan ikan tongkol memiliki nilai α-amino nitrogen bebas sebesar 1,12% sedangkan

bactopeptone memiliki kisaran nilai α-amino nitrogen bebas antara 1,2-2,5%.

Nilai α-amino nitrogen bebas pepton jeroan ikan tongkol hampir sama dengan

bactopeptone.

Penelitian yang dilakukan oleh Safari et al. (2009) membandingkan beberapa kadar nitrogen dari beberapa hasil hidrolisis. Casein pepton dalam penelitian memiliki total nitrogen sebesar 13,15%. Hidrolisis kepala ikan tuna menggunakan enzim alkalase menghasilkan total nitrogen sebesar 12,84%. Sedangkan hidrolisis kepala ikan tuna menggunakan protamex menghasilkan total nitrogen sebesar 11,68%. Hidrolisat yang dihasilkan digunakan sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan mikroba. Penelitian Safari et al. (2009) menunjukkan bahwa hidrolisat dari limbah ikan berpeluang menjadi komponen untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Kemampuan hidrolisat untuk mendukung beberapa galur bakteri asam laktat dipengaruhi oleh enzim proteolitik yang digunakan untuk menghidrolisis. Hal ini diduga karena pengaruh derajat hidrolisis

(14)

dan panjang rantai peptida. Pemilihan mekanisme hidrolisis tidak hanya menentukan rendemen tetapi juga kinerja produk.

AN/TN memberikan perkiraan derajat hidrolisis protein (Bionutrien

Technical Manual 2006). AN/TN merupakan perbandingan antara amino nitrogen

dibandingkan dengan total nitrogen. Nilai AN/TN pepton jeroan ikan tongkol masih berada pada kisaran yang dimiliki oleh bactopeptone. Bactopeptone memiliki nilai AN/TN antara 11-21%. Sedangkan pepton jeroan ikan tongkol memiliki nilai AN/TN sebesar 13,95%. Pepton jeroan ikan tongkol memiliki kadar garam sebesar 0,79%, sedangkan bactopeptone memiliki kadar garam ≤ 17%. Kadar garam yang dihasilkan diduga berasal dari ion-ion dan mineral yang ikut terlarut selama proses hidrolisis.

Aspmo et al. (2005) melakukan penelitian pada jeroan ikan cod. Jeroan ikan dihidrolisis menggunakan enzim alkalase, papain dan endogeneus enzymes. Nilai total nitrogen jeroan ikan cod yang dihidrolisis menggunakan endogeneus

enzymes, papain, dan alkalase berturut-turut adalah 12,8%, 12,3%, dan 11,5%.

Nilai amino nitrogen jeroan ikan cod yang dihidrolisis dengan endogeneus

enzymes, papain, dan alkalase berturut-turut adalah 3,1%, 3,5%, dan 4,3%.

Rendemen yang dihasilkan sebesar 3,92-5,54%. Nilai rendemen yang dihasilkan bervariasi. Hal ini disebabkan oleh tingkat kehomogenan bahan yang digunakan. Jeroan ikan tongkol yang digunakan meliputi lambung, usus, dan hati ikan. Hidrolisis protein dengan asam, alkali, atau enzim, akan menghasilkan campuran asam-asam amino (Winarno 2008). Selama proses hidrolisis protein jeroan ikan tongkol akan diubah menjadi bentuk sederhananya. Bentuk sederhana dari protein adalah asam-asam amino. Ketika hidrolisat protein yang berbentuk cair dikeringkan dengan menggunakan spray drier kandungan yang terlarut dalam hirolisat akan berubah menjadi tepung pepton.

4.6 Pengaruh Pepton Jeroan ikan tongkol terhadap Pertumbuhan Bakteri

Bakteri tumbuh dengan cara pembelahan biner, yang berarti satu sel membelah menjadi dua sel. Waktu generasi atau waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah bervariasi tergantung dari spesies dan kondisi pertumbuhan (Fardiaz 1992). Pengaruh pepton jeroan ikan tongkol terhadap pertumbuhan bakteri ditentukan dengan mengukur Optical Density (OD) kultur bakteri selama

(15)

24 jam pada media Luria Broth. Pepton jeroan ikan tongkol dibandingkan dengan pepton komersial (Oxoid) untuk mendukung pertumbuhan bakteri jenis

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.

4.6.1 Pertumbuhan bakteri Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri koliform fekal yang ditemukan pada

saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Escherichia coli termasuk bakteri basili Gram negatif. Bakteri dalam kelompok ini tumbuh pada kondisi aerobik maupun anaerobik. Pada kondisi aerobik bakteri ini mengoksidasi asam amino, sedangkan jika tidak terdapat oksigen, metabolisme menjadi bersifat fermentatif, dan energi diproduksi dengan cara memecah gula menjadi asam organik. Hampir semua spesies dalam kelompok ini dapat tumbuh pada media sederhana pada kisaran pH dan suhu yang luas, yaitu mulai suhu kurang dari 10 °C sampai lebih dari 40 °C (Fardiaz 1992).

Pertumbuhan bakteri E. coli ditunjukkan dengan perubahan nilai Optical

Density (OD). OD diukur pada panjang gelombang 620 nm. Nilai OD berbanding

lurus dengan kekeruhan media pertumbuhan bakteri. Semakin tinggi OD maka kekeruhan media akan makin tinggi. Kekeruhan ini terjadi akibat pembelahan yang dilakukan bakteri karena adanya media yang cocok untuk pertumbuhannya. Perubahan nilai OD pada media yang dikultur bakteri E. coli selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai Optical Density (OD) pertumbuhan bakteri Escherichia coli kontrol pepton 1% Pepton 2%.

0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 O p ti c al D e n si ty (O D ) Waktu (jam)

(16)

Bakteri yang dipindahkan ke dalam suatu media, mula-mula akan mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan dengan substrat dan kondisi lingkungan disekitarnya. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim belum disintesis. Jumlah sel pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun. Lamanya fase ini bervariasi, dapat cepat atau lambat tergantung dari kecepatan penyesuaian dengan lingkungan disekitarnya (Fardiaz 1992).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri E. coli tidak mengalami fase adaptasi atau diduga fase adaptasi yang dialami oleh bakteri sangat cepat. Pertumbuhan bakteri langsung meningkat mulai awal pengamatan. Hal ini diduga disebabkan oleh media yang digunakan untuk menyiapkan inokulum sama dengan media yang digunakan untuk kultur bakteri. Bakteri mungkin tidak memerlukan fase adaptasi apabila sel yang ditempatkan dalam media dan lingkungan yang sama seperti media dan lingkungan sebelumnya (Fardiaz 1992). Setelah fase adaptasi bakteri akan mengalami fase logaritma yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel.

Fase logaritma ditandai dengan peningkatan jumlah sel bakteri. Pada fase ini sel bakteri membelah dengan cepat dan konstan. Pertambahan jumlahnya mengikuti kurva logaritma. Kecepatan pertumbuhan bakteri pada fase ini sangat dipengaruhi oleh media tempat tumbuhnya seperti pH, kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara. Pada fase ini sel memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif terhadap keadaan lingkungan (Fardiaz 1992). Bakteri E. coli yang ditumbuhkan pada media dengan menggunakan pepton komersial memasuki fase logaritma dari jam ke-0 hingga jam ke-20. Bakteri E. coli yang ditumbuhkan pada media dengan pepton jeroan ikan tongkol di dalamnya memasuki fase logaritma dari jam ke-0 hingga jam ke-18.

Pertumbuhan bakteri memasuki fase stasioner saat memasuki jam ke-18. Hal ini ditandai dengan perubahan nilai OD yang tidak terlalu besar dan mendekati tetap. Pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih

(17)

kecil karena sel tetap membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis (Fardiaz 1992).

Penentuan baik tidaknya suatu nutrien untuk mendukung pertumbuhan bakteri dilihat dari kecepatan pertumbuhan bakteri pada media. Kecepatan pertumbuhan bakteri (fase logaritma) dipengaruhi oleh media tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara (Fardiaz 1992). Kecepatan pertumbuhan bakteri E. coli selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Kecepatan pertumbuhan bakteri Escherichia coli selama waktu pengamatan kontrol pepton 1% pepton 2%. Kecepatan pertumbuhan bakteri pada perlakuan kontrol (menggunakan pepton komersial), berbeda dengan kecepatan pertumbuhan bakteri pada media menggunakan pepton jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi pepton 1% dan konsentrasi pepton 2%. Persamaan yang diperoleh dari Gambar 7 adalah : Kontrol (y=0,099x-1,607;R2=0,929), Pepton 1% (y=0,096x-1,300;R2=0,799), Pepton 2% (y=0,092x-1,292;R2=0,805).

Kecepatan maksimum pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan menurunkan persamaan garis linier (v=dy/dx). Komponen x merupakan logaritma dari nilai Optical Density (OD) kurva pertumbuhan bakteri. Kecepatan maksimum pertumbuhan bakteri dilihat dari kemiringan yang dibentuk oleh kurva. Dari persamaan yang diambil dapat diketahui bahwa kontrol (pepton komersial 1%) masih lebih baik dari pepton jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi 1% dan konsentrasi 2%. Kontrol memiliki kemiringan kurva sebesar 0,099, sedangkan

-2 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 ln O D

Waktu Pengamatan (jam)

Kontrol : y=0,099x-1,607; R2

=0,929 Pepton 1% : y=0,096x-1,300; R2=0,799

(18)

pepton jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi 1% dan konsentrasi 2% memiliki kemiringan berturut-turut sebesar 0,096 dan 0,092. Berdasarkan hasil ini dapat diduga bahwa kecepatan pertumbuhan maksimum bakteri pada media yang mengandung pepton komersial masih lebih tinggi dibandingkan media yang mengandung pepton jeroan ikan tongkol, akan tetapi hasil pengukuran OD hampir sama dengan kecenderungan pertumbuhan yang juga hampir sama. Dengan kata lain bakteri E. coli dapat tumbuh pada media yang mengandung pepton jeroan ikan tongkol.

Klompong et al. (2010) melakukan penelitian menggunakan Hidrolisat protein Selaroides leptolepis untuk media pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian menyatakan bahwa E. coli yang ditumbuhkan pada media berisi pepton ikan yang dihidrolisis menggunakan enzim alkalase dengan derajat hidrolisis 5% memiliki kecepatan maksimum pertumbuhan (µmax) sebesar 1,38. Sedangkan kecepatan

maksimum pertumbuhan E. coli yang ditumbuhkan pada pepton ikan dengan derajat hidrolisis 15% adalah 1,57. Pembanding yang digunakan adalah

bactopeptone. Kecepatan maksimum pertumbuhan E. coli yang ditumbuhkan pada

media Nutrient Broth yang berisi bactopeptone adalah sebesar 1,40. Perbedaan kecepatan maksimum pertumbuhan S. aureus yang ditumbuhkan pada media dengan beberapa macam protein hidrolisat dan bactopeptone diduga disebabkan oleh perbedaan ukuran peptida. Pengurangan ukuran hidrolisat terjadi ketika derajat hidrolisis meningkat.

4.6.2 Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dengan bentuk bulat

yang berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini membutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya, dan berifat anaerobik fakultatif. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang

tahan panas, dimana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya (Fardiaz 1992). Kebanyakan bakteri yang telah ditelaah sejauh ini menggunakan

amonia untuk mensintesis komponen-komponen selnya yang mengandung nitrogen. Namun banyak juga yang membutuhkan faktor-faktor tumbuh bernitrogen yang harus ditambahkan ke dalam media. Banyak juga yang

(19)

membentuk amonia melalui reduksi nitrat atau nitrit atau melalui penguraian senyawa-senyawa organik bernitrogen (Hadiutomo 1988).

Pertumbuhan bakteri pada media Luria broth ditunjukkan dengan perubahan nilai Optical Density (OD) selama pengamatan. Pertumbuhan bakteri menyebabkan meningkatnya kekeruhan pada media yang diamati pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 620 nm. Perubahan nilai OD selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai Optical Density (OD) pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus kontrol pepton 1% Pepton 2%.

Perubahan nilai OD terlihat pada ketiga perlakuan yang diberikan. Selama waktu pengamatan terjadi peningkatan nilai OD. Bakteri S. aureus tidak mengalami fase adaptasi karena media yang digunakan hampir sama dengan media kultur sebelumnya. Fase logaritma bakteri S. aureus dimulai dari jam ke-0 hingga jam ke-20. Berbeda dengan perlakuan lainnya bakteri S. aureus yang ditumbuhkan pada media dengan konsentrasi pepton jeroan ikan tongkol sebesar 1% di dalamnya mengalami fase logaritma dari jam ke-0 hingga jam ke-18. Perubahan yang terjadi mulai berkurang setelah memasuki jam ke-18. Perubahan yang berkurang ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri mulai mendekati fase stasioner. Pada fase ini pertumbuhan dan kematian bakteri hampir seimbang.

Hasil penelitian menunjukkan perubahan fase selama pertumbuhan bakteri, tetapi tidak menunjukkan kecepatan pertumbuhan bakteri. Gambar 10

0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 1,400 1,600 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 O p ti c al D e n si ty (O D ) Waktu (jam)

(20)

menunjukkan perlakuan yang memberikan kecepatan pertumbuhan terbaik untuk bakteri S. aureus.

Gambar 10 Kecepatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus selama waktu pengamatan kontrol pepton 1%

pepton 2%

Kecepatan maksimum pertumbuhan bakteri pada perlakuan Kontrol (menggunakan perton komersial), berbeda dengan kecepatan maksimum pertumbuhan bakteri dengan menggunakan pepton jeroan ikan tongkol (konsentrasi 1%) dan pepton jeroan ikan tongkol (konsentrasi 2%). Persamaan yang diperoleh dari grafik di atas adalah sebagai berikut : Kontrol (y=0,099x-1,357;R2=0,877), Pepton 1% (y=0,096x-1,338;R2=0,900), Pepton 2% (y=0,089x-1,274;R2=0,915).

Kecepatan makasimum pertumbuhan bakteri ditinjau dari kemiringan yang dibentuk oleh persamaan y = a + bx. Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa pepton komersial memberikan kecepatan maksimum pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pepton jeroan ikan tongkol. Pepton jeroan ikan tongkol dengan konsentrasi 2% memberikan kecepatan maksimum pertumbuhan yang paling rendah. Kemiringan untuk pepton komersial sebesar 0,099, sedangkan kemiringan grafik untuk pepton jeroan ikan tongkol konsentrasi 1% dan konsentrasi 2% berturut-turut adalah 0,096 dan 0,089. Berdasarkan hasil ini dapat diduga bahwa kecepatan pertumbuhan maksimum bakteri pada media yang mengandung pepton komersial masih lebih tinggi dibandingkan media yang mengandung pepton jeroan ikan tongkol, akan tetapi hasil pengukuran OD hampir

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 ln O D

Waktu Pengamatan (jam)

Kontrol : y=0,099x-1,357; R2=0,877

Pepton 1% : y=0,096x-1,338; R2=0,900

Pepton 2% : y=0,089x-1,274; R2

(21)

sama dengan kecenderungan pertumbuhan yang juga hampir sama. Dengan kata lain bakteri S. aureus dapat tumbuh pada media yang mengandung pepton jeroan ikan tongkol.

Klompong et al. (2010) melakukan penelitian menggunakan Hidrolisat protein Selaroides leptolepis untuk media pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian menyatakan bahwa S. aureus yang ditumbuhkan pada media berisi pepton ikan yang dihidrolisis menggunakan enzim alkalase dengan derajat hidrolisis 5% memiliki kecepatan maksimum pertumbuhan (µmax) sebesar 0,95. Sedangkan

kecepatan maksimum pertumbuhan S. aureus yang ditumbuhkan pada pepton ikan dengan derajat hidrolisis 15% adalah 0,98. Pembanding yang digunakan adalah

bactopeptone. Kecepatan maksimum pertumbuhan S. aureus yang ditumbuhkan

pada media Nutrient Broth yang berisi bactopeptone adalah sebesar 0,97. Perbedaan kecepatan maksimum pertumbuhan S. aureus yang ditumbuhkan pada media dengan beberapa macam protein hidrolisat dan bactopeptone diduga disebabkan oleh perbedaan ukuran peptida. Pengurangan ukuran hidrolisat terjadi ketika derajat hidrolisis meningkat.

Gambar

Tabel 4  Komposisi kimia jeroan ikan tongkol
Tabel 5  Komposisi kimia pepton jeroan ikan tongkol  Parameter  Pepton jeroan ikan
Tabel 6  Komposisi asam amino pepton jeroan ikan tongkol
Tabel 7  Karakteristik pepton jeroan ikan tongkol
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung bagian hulu dan menggunakan analisis

Hukum Wagner yang dijelaskan oleh Mangkoesoebroto mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP yang

Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Lembaga Pendidikan harus ditekankan pada olahraga kesehatan dan latihan jasmani untuk meningkatkan derajat sehat dinamis dan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, dan berdasarkan analisis dari berbagai fakta yang ada kaitannya dengan Tradisi Ritual Ziarah Makam

Untuk mendapatkan data yang diinginkan peneliti melakukan: pertama, wawancara dengan orang tua, guru PAI, beberapa orang siswa yang dipilih secara purposive, dengan melakukan

Bruckner győző az eperjesi, majd a miskolci jogakadémián egyházjogot is tanított, és nagy szerepe volt abban, hogy a kánonjog mellett – hazánk akkori egyetlen evangélikus

Mahasiswa KKN Mapres dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan pengabdian harus memperhatikan potensi dan permasalahan yang ada di desa terutama yang terkait dengan

dalam kajian yang telah dilakukan di Sungai Marang, didapati kepekatan TSS adalah secara relatifnya lebih tinggi di stesen M3 jika dibandingkan dengan stesen kajian yang