BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cedera Kepala 2.1.1. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma. Cedera otak sekunder merupakan kerusakan yang berkembang kemudian sebagai komplikasi (Grace dan Borley, 2006).
Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak ma mpu melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS < 8) (ATLS, 2008).
2.1.2. Epidemiologi
Di Eropa, kejadian cedera kepala masih sangat tinggi untuk beberepa tahun lagi dalam menyebabkan kecacatan dibanding penyebab lainnya. Juga berpera n penting dalam separuh kematian akibat trauma.
World Health Organization (WHO, 2010) memperkirakan bahwa sekitar 70 -90% dari cedera kepala yang menerima pengobatan yang ringan, dan sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa luka sedang dan bera t masing-masing berjumlah 10% dari trauma kepala, dan sisanya ringan.
Kejadian cedera kepala bervariasi mulai dari usia, jenis kelamin, suku, dan faktor lainnya. Kejadian-kejadian dan prevalensi dalam studi epidemiologi bervariasi berdasarkan faktor -faktor seperti nilai keparahan, apakah disertai kematian, apakah penelitian dibatasi untuk orang yang di rawat di rumah sakit, dan lokasi penelitian. Kejadian tahunan cedera kepala ringan sulit untuk ditentukan, tetapi mungkin 100 -600 orang per 100000 (NINDS, 2 013).
2.1.3. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan: mekanisme, berat -ringan, dan morfologi.
a. Mekanisme cedera kepala
Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedangkan cedera tembus disebabkan oleh lu ka tembak atau tusukan.
b. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen untuk mengukur secara klinis beratnya cedera otak. Glasgow Coma Scale meliputi 3 kategori yaitu respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. S kor ditentukan oleh jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3, ialah sebagai berikut:
1. Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat. 2. Nilai GCS 9 – 13 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang.
3. Nilai GCS 14 – 15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan (D. Jong, 2010).
c. Morfologi
Secara morfologis cedera kepala dapat meliputi fraktur kranium, kontusio, perdarahan, dan cedera difus.
1. Fraktur kranium
Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak ( basis cranii), dan dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kuli t kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura (ATLS, 2008).
Respon buka mata (E) : Spontan Terhadap suara Terhadap nyeri Tidak ada 4 3 2 1 Respon motorik terbaik
(M) :
Turut perintah Melokalisir nyeri
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) Fleksi abnormal (dekortikasi)
Ekstensi abnormal (deserebrasi) Tidak ada (flaksid)
6 5 4 3 2 1 Respon verbal (V) : Berorientasi baik
Berbicara tidak jelas (bingung ) Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas Tidak ada 5 4 3 2 1 Nilai GCS = (E + M +V) : Nilai tertinggi = 15, dan terendah = 3 ( D. Jong, 2010). 2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio (hematom intraserebral), dan perdarahan intra serebral .
3. Cedera otak difus
Cedera otak difus mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang berat.
Cedera otak difus berat biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus tersebut, awalnya CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area substasia putih dan abu -abu hilang. Kelainan difus lainnya, sering
terlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau cedera deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik perdarahan multipel diseluruh hemisfer otak tepat di batas area putih dan abu -abu.
4. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematom epidural itu secara tipikal berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari pendorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang kepala. Perdaraa n ini sering terjadi pada area temporal atau temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
5. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural, kira -kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena -vena kecil di permukaan korteks serebri. Berbeda dengan perdarahan epidural yang berbentuk lensa cembung pada CT scan, perdarahan subdural biasanya mengi kuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. Perdarahan ini dapat menutupi seluruh permukaan otak. Kerusakan otak yang berada di bawah perdarahan subdural biasanya lebi berat dan prognosisnya lebih buruk daripada perdarahan epidural.
6. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, meskipun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat terjadi dalam waktu be berapa jam atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio yang luas (ATLS, 2008).
2.1.4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala setelah resusitasi meliputi:
1. Tingkat kesadaran.
2. pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial. 3. Reaksi motorik terhadap berbagai rangsangan dari luar. 4. Pola pernapasan.
Tetapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan sistemik yang belum begitu stabil (Ginsberg, 2008). 2.1.5. Diagnosa
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan poto polos kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang mungkin sudah ditingalkan. Jadi, indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), n yeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.
b. CT – Scan
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah -muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia/antimuntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok, febris, dll).
4. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. 5. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang memb aik dari GCS (Sthavira, 2012).
Tabel 2.2 Indikasi CT Scan pada cedera otak ringan (ATLS, 2008)
CT Scan diperlukan pada cedera otak ringan (antara lain: adanya riwayat pingsan , amnesia, disorientasi dengan GCS 13 -15) dan pada keadaan berikut :
Faktor risiko tinggi perlu tindakan bedah saraf :
Nilai GCS < 15 pada 2 jam setelah cedera
Dicurigai ada fraktur depress atau terbuka
Adanya tanda-tanda fraktur dasar tulang tengkorak (missal: perdarahan di membrane timpani, mata raccoon, rinorhea dan otorhea, battle sign)
Muntah (lebih dari dua kali) Usia lebih dari 65 tahun
Faktor risiko sedang perlu tindakan bedah saraf :
Amnesia sebelum cedera (lebih dari 30 menit)
Mekanisme cedera berbaha ya (misal: pejalan kaki tertabrak kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau 5 anak tangga)
c. MRI : Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
d. EEG : Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungki n untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan ketiga d an keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik.
e. X – Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang (Rasad, 2011).
1. Penatalaksanaan cedera otak ringan (GCS 13-15)
Cedera otak ringan ditandai oleh pasien sadar penuh dan dapat berbicara namun dengan riwayat disorientasi, amnesia atau kehilangan kesadaran sesaat. Skor GCS antara 13 -15. Pemeriksaan CT Scan adalah pemeriksaan yang dianjurkan. CT Scan harus dilakuk an pada semua pasien cedera otak yang gagal kembali menjadi GCS 15 dalam waktu 2 jam setelah cedera, adanya kecurigaan fraktur tulang tengkorak terbuka, adanya tanda -tanda klinis fraktur basis kranii, adanya muntah lebih dari dua kali episode maupun pada p asien berusia lebih dari 65 tahun (tabel 2-1) (ATLS, 2008).
2. Cedera kepala sedang (GCS 9 -12)
Kurang lebih 10% pasien dengan cedera kepala di Unit Gawat Darurat (UGD) menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat pula disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10 -20% dari pasien cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alas an tersebut maka pemeriksaan neurologi secara berkala diharuskan dalam mengelola pasien ini.
Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT Scan kepala haru s selalu dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah saraf. Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 1 2-24 jam direkomendasikan bila hasil CT Scan awal abnormal atau terdapat penurunan status neurologis pasien (ATLS, 2008).
3. Penatalaksanaan cedera otak berat (GCS < 8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping k elainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru ( airway, breathing, circulation =ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hipe rkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat diseba bkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial, yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tampo nade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
b. Pemeriksaan fisik
Setalh ABC, dilakukan pemeriks aan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0 -15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27 -30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24 -48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pende k dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus 0,5 -1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24 -48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.
Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv.
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus -kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3 -4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24 -48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau laterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase ven a otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500 -2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stab il normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3 -4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormone (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000 -3000 kalori/hari.
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200 -500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang (Japardi, 2004).
2.1.7. Komplikasi Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali terjadi trauma campuran, tekanan, atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis (misalnya fraktur fossa kranialis anterior dasar tengkorak).
Perdarahan intrakranial: Perdarahan ekstradural Hematom subdural akut Hematoma subdural kronis
Perdarahan intraserebral (Grace dan Borley, 2006).
2.1.8. Prognosa
Prognosis berhubungan dengan derajat kesadaran saat tiba di rumah sakit (Grace dan Borley, 2006).
GCS saat tiba Mortalitas
15 1%
8 – 12 5%
2.2. Unit Perawatan Intensif (UPI) 2.2.1. Definisi
Unit perawatan intensif (UPI) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien -pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia. UPI menyediakan kemamp uan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi -fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan -keadaan tersebut (MenKes RI, 2010).
2.2.2. Ruang lingkup pelayanan IPU A. Indikasi masuk dan keluar UPI
UPI mampu menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat darurat. Pelayanan UPI diperuntukkan dan ditentukan oleh kebutuhan pasien yang sakit kritis. Tujuan dari pelayanan adalah memberikan pelayanan medik tertitrasi dan berkelanjutan serta mencegah fragmentasi pengelolaan.
Pasien sakit kritis meliputi :
1. Pasien-pasien yang secara fisiologis tidak stabil dan memerlukan dokter, perawat, profesi lain yang terkait secara terkoordinasi dan berkelanjutan, serta memerlukan perhatian yang teliti, agar dapat dilakukan pengawasan yang ketat dan terus menerus serta terapi titrasi; 2. Pasien-pasien yang dalam bahaya mengalami dekompensasi fisiologis sehingga
memerlukan pemantauan ketat dan terus menerus serta dilakukan intervensi segera untuk mencegah timbulnya penyulit yang merugikan.
Sebelum pasien dimasukkan ke UPI, pasien dan/atau keluarganya harus mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai dasar pert imbangan mengapa pasien harus mendapatkan perawatan di UPI, serta tindakan kedokteran yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di UPI. Penjelasan tersebut diberikan oleh Kepala UPI atau dokter yang bertugas. Atas penjelasan tersebut pasien dan/ata u keluarganya dapat menerima/menyatakan persetujuan untuk dirawat di UPI. Persetujuan dinyatakan dengan menandatangani formulir informed consent.
Contoh formulir informed consent sebagaimana tercantum dalam Formulir 1 Keputusan Menteri ini.
Pada keadaan sarana dan prasarana UPI yang terbatas pada suatu rumah sakit,diperlukan mekanisme untuk membuat prioritas apabila kebutuhan atau permintaan akan pelayanan UPI lebih tinggi daripada kemampuan pelayanan yang dapat diberikan. Kepala UPI bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di UPI. Bila kebutuhan masuk UPI melebihi tempat tidur yang tersedia, Kepala UPI menentukan berdasarkan prioritas kondisi medik, pasien mana yang akan dirawat di UPI. Prosedur untuk melaksanakan kebijakan ini harus dije laskan secara rinci untuk tiap UPI.
1. Kriteria masuk
UPI memberikan pelayanan antara lain pemantauan yang canggih dan terapi yang intensif. Dalam keadaan penggunaan tempat tidur yang tinggi, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) didahulukan dibandingkan pasien yang memerlukan pemantauan intensif (prioritas 3). Penilaian objektif atas beratnya penyakit dan prognosis hendaknya digunakan untuk menentukan prioritas masuk ke UPI .
a. Pasien prioritas 1 (satu)
Kelompok ini merupakan pasien sakit kr itis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti: dukungan/bantuan ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat -obat vasoaktif kontinyu, obat anti aritmia kontinyu, pengobatan kontinyu tertitrasi, dan lain -lainnya. Contoh pasien kelompok ini antara lain, pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa. Institusi setempat dapat membuat kriteria spesifik untuk masuk UPI, seperti derajat hipoks emia, hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. Terapi pada pasien prioritas 1 (satu) umumnya tidak mempunyai batas.
b. Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih di UPI, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan pulmonary arterial catheter . Contoh pasien seperti ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung -paru, gagal ginjal akut dan berat atau yang tel ah
mengalami pembedahan major. Terapi pada pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas, karena kondisi mediknya senantiasa berubah.
c. Pasien prioritas 3 (tiga)
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat terapi di UPI pada golongan ini sangat kecil. Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponade, sumbatan jalan napas, atau pasien penyakit jantung, penyakit paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak samp ai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
d. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan Kepala UPI, indikasi masuk pada beberapa golongan pasien bisa dikecualikan, dengan catatan bahwa pasien -pasien golongan demikian sewakt u waktu harus bisa dikeluarkan dari UPI agar fasilitas UPI yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk pasien prioritas 1, 2, 3 (satu, dua, tiga). Pasien yang tergolong demikian antara lain:
1) Pasien yang memenuhi kriteria masuk tetapi menolak terapi tun jangan hidup yang agresif dan hanya demi “perawatan yang aman” saja. Ini tidak menyingkirkan pasien dengan perintah “DNR ( Do Not Resuscitate)” . Sebenarnya pasien-pasien ini mungkin mendapat manfaat dari tunjangan canggih yang tersedia di UPI untuk meningka tkan kemungkinan survivalnya.
2) Pasien dalam keadaan vegetatif permanen.
3) Pasien yang telah dipastikan mengalami mati batang otak. Pasien -pasien seperti itu dapat dimasukkan ke UPI untuk menunjang fungsi organ hanya untuk kepentingan donor organ.
2. Kriteria keluar
Prioritas pasien dipindahkan dari UPI berdasarkan pertimbangan medis oleh kepala UPI dan tim yang merawat pasien.
Dalam menyelenggarakan pelayanan, pelayanan UPI di rumah sakit dibagi dalam 3 (tiga) klasifikasi pelayanan yaitu:
1. Pelayanan UPI primer (pada rumah sakit Kelas C) 2. Pelayanan UPI sekunder (pada rumah Sakit Kelas B)
3. Pelayanan UPI tersier (Pada rumah sakit Kelas A) (MenKes RI, 2010).
2.3. Mortalitas Cedera Kepala di UPI
Di RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung dalam periode enam tahun (Nopember 2001 s.d. Oktober 2007) terdapat 524 kasus cedera kepala berat, 234 kasus (48,2%) diantaranya termasuk dalam kriteria diffuse brain injury. Mayoritas penderita adalah laki -laki dengan median usia 23 tahun dan Inter Quartil Range (IQR) 12,75. GCS awal 6 -8 sebanyak 86,33%; GCS 6 (38,46%). Berdasarkan klasifikasi diffuse brain injury menurut studi TCBD diperoleh 27,35% kasus derajat I; 46,15% derajat II; 19,66% derajat III, derajat IV 6,84%. Median lama perawatan 26,5 hari, dengan IQR 22. Secara umum mortalitas diffuse brain injury 42,6%; mortalitas diffuse brain injury grade III-IV (71,4%). Hasil analisis faktor usia, GCS saat masuk dan derajat diffuse brain injury, diperoleh nilai p masing -masing adalah 0,04, 0,441, dan 0,01 (Indharty, 2010).
Berdasarkan survei data pasien bulan Januari 2005 Rumah Sakit Dr. Moewardi didapatkan pasien bedah yang masuk IGD 395 pasien, kriteria pasien cedera kepala berjumlah 69 pasien, rata-rata umur 15 tahun – 24 tahun, yang disebabkan karena kecelakaan (Haryatun, 2005).
Angka kejadian cedera kepala di Surabaya cenderung meningkat setiap tahun dengan angka kematian akibat cedera kepala di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 -2006 mencapai 6-12 %. Terjadi pada pria berusia 15-24 tahun. Laki-laki muda yang belum menikah, golongan sosioekonomi rendah dan mereka para pengguna alkohol/narkoba merupakan faktor resiko mengalami cedera kepala (Priyanto, 2010).
Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta pada ta hun 2005 menunjukkan kasus cedera kepala mencapai 750 kasus dengan mortalitas sebanyak 23 kasus. Dimana terdapat 434 pasien cedera kepala ringan, 315 cedera kepala sedang, dan 28 pasien cedera kepala berat (Yulita, 2011).