• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Perilaku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Perilaku"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku

Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003) perilaku ialah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Ada dua perspektif teori yang menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan individu dalam membentuk perilakunya. Perspektif teori pertama adalah nature sebagai ”the view espoused by nativists. Nature refers not simply to abilities present at birth but to any ability determined by genes, including those appearing through maturation”. Para ahli psikologi evolusi sebagai penganut perspektif teori ini menganggap bahwa perilaku merupakan produk dari seleksi alam sebagai “evolutionary adaptation” (EA). Ketertarikan interpersonal merupakan contoh sexual selection: laki-laki dan perempuan memilih pasangan yang paling sesuai bagi sukses reproduksinya.

Kedua nurture sebagai “the view of empiricists, the view that everything is learned through interactions with the environment, the physical and social world, more widely referred to as ‘experience”. Para ahli psikologi radikal (seperti Skinner dan Watson) berpendapat bahwa seluruh perilaku dapat dijelaskan oleh suatu peristiwa sendiri. Skinner berpendapat bahwa proses pembelajaran suatu bahasa oleh anak kecil dapat dijelaskan melalui reward dan konsekuensinya. Contoh lain dari perspektif teori ini adalah bahwa schizophrenia muncul pada anak-anak yang senantiasa menerima informasi kontradiktif dari kedua orang tuanya.

Teori Convergence memadukan kedua teori di atas. Teori ini menyebutkan bahwa perkembangan individu adalah perpaduan antara bawaan dengan pengaruh luar. Kekuatan internal dan eksternal saling berinteraksi, saling memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu. Interaksi lingkungan dengan faktor bawaan tidak selalu tetap dan tergantung pada sifat hereditas, sifat lingkungan dan intensitas pengaruh luar. Sifat-sifat jasmani tubuh manusia merupakan ciri utama seseorang dan sulit diubah sedangkan kemampuan berbicara, bersikap dan berperilaku dapat diubah melalui interaksi sosial antara sifat bawaan dan lingkungan luar (Zanden dan James, 1995).

(2)

Memperkuat argumentasi tersebut, Lewin (dalam Hersey et al: 1996) mengemukakan bahwa perilaku individu merupakan fungsi dari individu dan situasi. Secara matematis kondisi demikian dinyatakan sebagai: B = ƒ (P,S). Dalam hal ini B = behavior, P = person dan S = situation. Seseorang berperilaku, dipengaruhi oleh sesuatu dalam diri orang (yang memotivasi individu untuk bertindak) dan oleh sesuatu di luar orang itu (situasi), antara individu dengan situasi akan saling bergantung. Perilaku juga dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai hasil tertentu dan dipengaruhi oleh tujuan. Tujuan atau sasaran tidak selamanya didasari oleh perilaku individu tersebut. Hal ini dikarenakan adanya alam bawah sadar yang memengaruhi perilaku seseorang individu.

Menurut teori communication and human behavior, perilaku pada dasarnya merupakan suatu tindakan manusia yang diawali oleh adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu (Ruben, 1992). Beragam informasi yang masuk tersebut selanjutnya mengalami proses seleksi untuk menentukan informasi yang relevan. Informasi yang telah melalui proses seleksi tersebut selanjutnya mengalami proses interpretasi yang menyebabkan timbulnya beragam penafsiran terhadap informasi yang sama dari tiap individu. Informasi yang mengalami interpretasi tersebut selanjutnya disimpan dalam short-term atau long-term memory. Tergantung pada penting atau tidaknya nilai informasi. Bila informasi tersebut penting, maka individu akan menyimpan informasi tersebut dalam long-term memory, sebaliknya bila informasi tersebut tidak penting maka individu itu akan menyimpannya dalam short-term memory yang mudah dilupakan. Adanya asupan informasi yang diproses dalam diri individu, memungkinkan individu memiliki kebutuhan dan menentukan tujuan yang relevan dengan asupan informasi tersebut. Jadi, asupan informasi mengalami seleksi, interpretasi dan retention hingga munculnya kebutuhan dan tujuan yang berujung pada munculnya perilaku individu.

Perilaku individu juga dapat dijelaskan oleh teori operant conditioning yang digagas oleh BF. Skinner (Brophy, 1990). Menurut Skinner, perilaku individu pada dasarnya merupakan hasil dari suatu proses belajar. Sementara itu Pavlov menganggap tingkahlaku terjadi bila ada stimuli khusus, sementara Skinner menambahkan bahwa tingkahlaku demikian hanya menerangkan sebagian kecil saja dari semua kegiatan. Skinner berpendapat, ada bentuk tingkahlaku lain yang dia sebut sebagai tingkahlaku

(3)

operant, yang sengaja terjadi pada lingkungan tanpa unconditioned stimuli, seperti makanan. Penemuan Skinner memusatkan hubungan antara tingkahlaku dan konsekuen. Contoh, jika menyenangkan, individu akan menggunakan tingkahlaku itu lagi sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkahlaku, sering disebut sebagai operant conditioning. Konsekuensi menyenangkan akan memperkuat tingkahlaku, sementara konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkahlaku. Jadi, konsekuensi yang menyenangkan akan meningkat frekuensinya, sementara konseskuensi yang tidak menyenangkan akan mengurang frekuensinya. Operant (perilaku diperkuat jika akibatnya menyenangkan) merupakan tingkahlaku yang ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Operant belum tentu didahului oleh stimuli dari luar. Operant conditioning akan terbentuk jika frekuensi tingkahlaku operant bertambah atau bila timbul tingkahlaku operant yang tidak tampak sebelumnya. Frekuensi terjadinya tingkahlaku operant ditentukan oleh akibat tingkahlaku ini. Percobaan Skinner dengan tikus memerjelas hal ini. Tikus dibuat lapar dengan asumsi karena dorongan lapar, maka timbul motivasi untuk belajar keluar dan mencari makanan. Tikus yang lapar di dalam kotak, kesana-kemari tanpa sengaja menekan tombol. Banyaknya tekanan per satuan waktu dihitung sebagai tingkahlaku operant penekanan sebelum terbentuk operant conditioning. Setelah tingkat operant diketahui, eksperimenter mengaktifkan alat pemberi makan, sehingga setiap kali tikus menekan tombol, segelintir makanan jatuh ke penampung makanan. Makanan ini memerkuat frekuensi penekanan dan kecepatan penekanan berkurang jika makanan tidak muncul, artinya operant respons mengalami extinction jika tidak mendapatkan reinforcement (berupa makanan).

Theory Planned Behavior (Fisbein, 2005) melihat dengan menggunakan perspektif lain tentang perilaku. Teori ini diawali dengan kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat yaitu tidak dapat memperkirakan perilaku yang akan timbul.

Pada awal tahun 1862 para ahli psikologi mulai membangun teori yang menunjukkan dampak sikap terhadap perilaku. Para ahli psikologi sosial kemudian melanjutkan studi mengenai sikap dan perilaku antara kurun waktu tahun 1918 dan 1925 dan menghasilkan banyak kemunculan teori baru dengan penekanan kaitan antara sikap

(4)

dan perilaku. Tesis utama dari trend perkembangan teori tersebut adalah bahwa sikap dapat menjelaskan perilaku manusia. Pada masa itu Thomas dan Znaiecki ialah ahli psikologi pertama yang menyampaikan bahwa sikap merupakan proses mental individual yang menentukan perilaku aktual individu dan respon potensialnya. Berangkat dari perspektif tersebut maka para ahli psikologi sosial mulai melihat sikap sebagai prediktor perilaku.

Beberapa ahli psikologi sosial yang menganggap perspektif sikap sebagai prediktor perilaku antara lain (a) Thurston yang pada tahun 1929 mengembangkan metode pengukuran sikap dengan menggunakan skala interval. Setelah itu Likert mengembangkan skala pengukuran sikap yang lebih spesifik dan mudah digunakan. Gordon pada tahun 1935 menyampaikan teori yang menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku tidaklah uni-dimensional, melainkan multi-dimensional. Sikap merupakan sesuatu yang kompleks yang menunjukkan perasaan individu tentang suatu objek, (b) Guttman pada tahun 1944 membuat skalogram analisis untuk mengukur perasaan individu tentang suatu objek tertentu. Kemudian, (c) Rosenberg dan Hovland pada tahun 1960 memaparkan bahwa sikap individu terhadap suatu objek meliputi aspek afektif, kognitif dan perilaku.

Sebagai kelanjutan teori-teori hubungan sikap dan perilaku, Fishbein dan Ajzen berkolaborasi untuk mengembangkan cara memprediksi perilaku. Mereka beranggapan bahwa individu senantiasa rasional dan menggunakan informasi yang tersedia di sekitar mereka secara sistematik. Manusia sadar atas implikasi perilakunya sebelum bertindak. Fishbein dan Ajzen mereview seluruh studi itu, kemudian membangun sebuah perspektif untuk memprediksi perilaku dan sikap. Perspektif itu mereka disebut sebagai Theory of Reasoned Action (TRA) yang memasukan adanya behavior intention (BI) atau niat berperilaku dari perilaku. Satu kritik penting dilontarkan kepada TRA adalah bahwa individu memiliki kendala dalam mewujudkan perilakunya, meski individu yang bersangkutan telah memiliki niat untuk mewujudkan perilaku itu. Karena itu, Fishbein dan Ajzen menambahkan elemen perceived behavior control (PBC) yang pada dasarnya berisikan keyakinan individu tersebut untuk mampu mewujudkan perilakunya. Penambahan elemen PBC ini selanjutnya dikenal menjadi teori Theory Planned Behavior (TPB).

(5)

Tujuan dari TPB adalah (a) memprediksi dan memahami dampak niat untuk berperilaku pada perilaku, (b) mengidentifikasi strategi untuk mengubah perilaku, (c) menjelaskan perilaku nyata manusia seperti ”mengapa seseorang membeli mobil, mengapa seseorang memilih seorang caleg tertentu, atau mengapa nelayan tidak menggunakan bom ikan ketika mencari ikan”. Dalam hubungan ini asumsi TPB bahwa: (a) manusia bersifat rasional dan menggunakan informasi yang ada secara sistematik, (b) manusia memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan atau tidak perilaku tersebut.

TPB secara lugas digambarkan sebagai berikut: (Ajzen, 2005; Rehman, 2000)

Gambar 1 : Skema Perilaku dalam Theory Planned Behavior

Sumber: Ajzen (2005). Attitudes, Personality and Behavior, New York: McGraw-Hill Education.

B perilaku (behavior) atau action BI (intention to perform behavior)

niat berperilaku

Aact attitude – a person’s positif or negative evaluation of performing a behavior

sikap – evaluasi positif atau negatif individu tentang perwujudan satu perilaku Background Factor Social - Age - Gender - Education - Income - Religion Individu - Personality - Intelegence Information - Experience Behavior (B) Intention (BI) Attitude (Aact) Subjective Norm (SN) Perceived Behavior Control (PBC)

(6)

SN subjective norm – a person perception of the social pressures upon him to perform or not perform a behavior

Nilai subjektif – persepsi individu terhadap tekanan sosial yang diterimanya untuk menampilkan suatu perilaku atau tidak.

PBC perceived behavioral control – perceived case or difficulty of performing a behavior

Persepsi individu tentang keyakinannya untuk mampu melakukan sesuatu.

Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam skema TPB, perilaku seseorang ditentukan oleh niat untuk berperilaku (behavior intention), sedangkan niat untuk berperilaku (behavior intention) ditentukan oleh attitude, subjective norm dan perceived behavior control. Selain itu, faktor latarbelakang (background factor) menunjukkan bahwa tiap individu berbeda lingkungan sosialnya seperti umur, jender, pendidikan, penghasilan, agama, kepandaian dan pengalamannya yang dapat menunjukkan beragam isu atau informasi yang memengaruhi kepercayaan individu tersebut (Ajzen, 2005).

Niat untuk Berperilaku

Niat untuk berperilaku (intention to perform behavior) ialah kecenderungan, tekad atau keinginan (intention) nelayan untuk berperilaku. Mengukur niat untuk berperilaku sama dengan mengukur perilaku itu sendiri, karena niat dan perilaku memiliki hubungan yang kuat. Setiap perilaku bebas yang ekspresinya oleh kemauan sendiri selalu akan didahului oleh niat. Niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh: (1) sikap nelayan terhadap kegiatan perikanan tangkap yang berupa evaluasi positif atau negatif nelayan terhadap manfaat kegiatan perikanan tangkap, (2) tingkat kepatuhan individu nelayan terhadap orang-orang yang berpengaruh pada dirinya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa niat untuk berperilaku tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih dipengaruhi faktor lain yaitu perceived behavior control (PBC) yang merupakan persepsi yang bersangkutan terhadap kendala-kendala dapat menghambat perilakunya.

(7)

Niat untuk berperilaku berbeda dengan motivasi. Bila niat untuk berperilaku menunjukkan hubungan sikap seseorang dengan perilakunya (yang kadangkala tidak sesuai), maka motivasi menekankan pada latarbelakang kebutuhan yang memengaruhi munculnya perilaku individu. Teori Hierarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (Maslow, 1954) menjelaskan perbedaan ini. Maslow menjelaskan bahwa setiap orang memiliki lima macam kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), kebutuhan akan rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), kebutuhan sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), kebutuhan untuk dihargai (secara internal dan eksternal) dan kebutuhan aktualisasi untuk dirinya (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri). Maslow menunjukkan lima kebutuhan ke dalam hierarki urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman berada pada tingkat terbawah, kemudian di atasnya ada kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Menurut Maslow, perbedaan kedua tingkat tersebut terjadi karena kebutuhan tingkat atas dapat dipenuhi secara internal sedangkan kebutuhan pada tingkat bawah dipenuhi secara eksternal. Teori kebutuhan Maslow telah diterima secara luas karena teori ini logis secara intuitif.

Ringkasan

Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap stimuli rangsangan atau lingkungan. Ada tiga teori yang menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan individu sehingga membentuk perilaku, yaitu teori nativisme, teori empirisme dan teori konvergensi. Setiap teori itu berusaha menjelaskan faktor-faktor lingkungan yang melatarbelakangi timbulnya perilaku. Lebih jauh teori communication and human behavior, teori operant conditioning dan theory planned behavior telah menjelaskan tentang bagaimana perilaku terbentuk.

Teori communication and human behavior umumnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku dan kecenderungan individu dalam berperilaku. Teori ini umumnya digunakan dalam bidang periklanan untuk memprediksi perilaku konsumen. Teori operant conditions adalah satu dari teori belajar yang berguna untuk mengubah perilaku individu melakukan pembelajaran. Teori ini menjelaskan

(8)

bahwa perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh stimulus saja. Melainkan juga dipengaruhi oleh kontrol atau usaha organisme itu sendiri.

Theory Planned Behavior (TPB) menunjukkan bahwa perilaku individu yang ternyata tidak selalu sejalan dengan sikapnya. Teori ini melibatkan niat untuk berperilaku sebagai komponen antara sikap dan perilaku. Menurut TPB, niat untuk berperilaku (behavior intention)= BI dipengaruhi oleh sikap dan subjective norm. Makin kuat skor BI, maka akan makin besar kecenderungan perilaku itu dilaksanakan. Demikian pula jika subjective norm menjadi semakin kuat maka akan mungkin perilaku itu akan dilaksanakan.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Niat untuk Berperilaku Nelayan Artisanal

1. Sikap (Attitude)

Walaupun sikap merupakan salah satu pokok bahasan dalam psikologi sosial, para pakar masih berbeda dalam mendefinisikannya. Seperti ditunjukkan oleh beberapa definisi sikap dibawah ini:

Attitude is favorable or unfavorable evaluative reaction to ward something or someone, exhibit in one’s belief, feeling or intended behavior (Myer, 1996)

An attitude is a disposition to respond favorably or unfavorably to an object, person, institution or event (Azjen, 1975)

Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disfavor (Eagly & Chaiken, 1992)

Definisi di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan dari sikap: (1) memiliki objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka).

Sikap adalah sesuatu yang dipelajari (bukan bawaan), oleh karena itu sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap berbeda dengan sifat (trait) yang merupakan bawaan dan sulit diubah (Sarlito Wirawan Sarwono, 2002).

Sikap memiliki tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan konatif (Triandis, 1971; Myers, 1996), agar mudah diingat ketiga domain tersebut maka diberi istilah yaitu affective (perasaan), behavior (perilaku) dan cognitive (kesadaran) disingkat ABC. Ajzen

(9)

(2005) memerinci respon yang timbul dari ketiga domain sikap tersebut dalam bentuk respon verbal dan non-verbal. Respon verbal dari kategori kognitif yaitu ekspresi kepercayaan seorang terhadap suatu objek tertentu, kategori afektif yaitu ekspresi perasaan seorang terhadap sikap suatu objek dan aspek perilaku yaitu ekspresi seorang dalam niat untuk berperilaku. Respon non-verbal dari kategori kognitif yaitu reaksi persepsi seorang terhadap suatu objek, kategori afektif yaitu reaksi psikologi seorang terhadap objek sikap dan kategori perilaku yaitu perilaku seorang yang mengarah kepada objek sikap. Sejalan dengan hal tersebut, Triandis (1971) menjabarkan ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur sikap yang terdiri dari measurable independent variable yaitu stimuli yang terdiri dari: (a) individuals, situations, social issues, social group, (b) intervening variable berupa attitudes dalam aspek affect, cognition dan behavior dan (c) measurable dependent variable untuk aspek affective berupa sympathetic nervous response, untuk aspek cognition berupa perceptual response verbal statement of beliefs dan untuk aspek behavior berupa overt action verbal statement concerning behavior.

2. Kepatuhan kepada Patron (Subjective Norm)

Secara sederhana norma diartikan sebagai common guidelines for social action (Abrecombie et al, 1984). Sementara itu yang dimaksud dengan norma subjektif dalam penelitian ini ialah kepatuhan nelayan kepada patronnya sebagai a person’s perception of the social pressure upon him to perform or not perform a behavior. Kepatuhan terhadap patron ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh kepada yang bersangkutan atau (significant other). Agen ini melakukan atau tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh patron tersebut dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply). Karena itu konsep kepatuhan kepada patron berupa kepatuhan individu kepada orang lain yang berpengaruh (significant other). Kepatuhan pada Patron (KP) dinyatakan oleh rumus berikut ini :

(10)

Keterangan:

KP = Kepatuhan kepada patron

n = Harapan orang-orang penting/panutan/patron (significant other) dalam hidup

m = Seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat tokoh (significant other) tersebut

Kepatuhan kepada patron atau norma subjektif berbeda dengan norma. Menurut Horne (2001) norma mencakup 3 pengertian dasar, yaitu (1) norma merupakan aturan yang membolehkan atau melarang suatu perilaku atau seperangkat perilaku, (2) norma dikuatkan dengan sanksi eksternal (reward and punishment) yang dapat berupa materi atau bentuk simbolik, (3) norma berupa konsensus diantara para penganut norma tersebut. Pengertian tersebut membedakan norma dan nilai (value). Norma mempunyai sanksi yang bersifat eksternal, maka nilai (value) berasal dari sanksi yang bersifat internal. Demikian pula perbedaan norma dengan sikap (attitudes), norma dilegitimasi oleh kelompok sedangkan sikap (attitudes) ialah a property of the individual.

3. Kemampuan Berperilaku (Perceived Behavior Control)

Ajzen (2005) menyatakan perceived behavior control ialah persepsi tentang keyakinan seseorang pada kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah mudah dilakukan atau sulit dilakukan. Menyangkut perilaku nelayan, perceived behavior control ini menggambarkan seberapa besar keyakinan individu nelayan tentang kemampuannya melakukan perilaku kegiatan menangkap hingga memasarkan ikan. Keyakinan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat memudahkan atau menyulitkan pelaksanaan pekerjaan itu. Perceived behavior control pada penelitian ini disebut sebagai Kemampuan Berperilaku (KB).

(11)

Dalam buku Social Learning Theory (1977), Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Self efficacy ini menunjukkan perasaan seorang. Dalam penelitian ini, Kemampuan Berperilaku (KB) digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:

KB = Kemampuan berperilaku (perceived behavior control)

c = Keyakinan individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu p = Evaluasi individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu

Faktor Latar Belakang:

Karakteristik Individu Nelayan Artisanal

Arif Satria (2002) menyatakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris, sesuai dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dikelola. Masyarakat agraris yang diwakili oleh kaum tani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, atau pengelolaan lahan untuk suatu komoditi dengan out put yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi seperti ini memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resiko-pun tidak terlalu besar. Dalam hal ini usaha pembudidayaan ikan dapat digolongkan sebagai usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Karakteristik tersebut berbeda sekali dengan nelayan, yang sumberdayanya bersifat open access. Karakteristik seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal sehingga resikonya menjadi lebih tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka.

Dalam yang sama, Arif Satria (2002) memperjelas karakteristik masyarakat nelayan di wilayah pesisir dengan menekankan beberapa aspek yaitu: (1) aspek sistem pengetahuan, (2) aspek kepercayaan, (3) peran wanita, (4) struktur sosial dan (5) posisi sosial nelayan.

(12)

Dari sistem pengetahuan, masyarakat pesisir dianggap memiliki pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan yang didapat dari orang tua. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan. Dari aspek kepercayaan, masyarakat nelayan percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu ritual khusus agar selamat ketika menangkap ikan dan hasilnya banyak. Tradisi tersebut antara lain ditafsirkan dengan kebiasaan sowan ke suhu atau dukun untuk mendapat perlindungan saat melaut dan memperoleh hasil yang banyak. Seiring dengan perkembangan pendidikan dan pendalaman agama, upacara ritual itu telah menjadi simbolik untuk menjaga stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.

Aktivitas ekonomi wanita masyarakat nelayan di wilayah pesisir umumnya relatif menonjol, selain bergelut pada urusan domestik rumah tangga istri nelayan menjalankan juga fungsi-fungsi ekonomi baik penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Pada masyarakat nelayan, ada pembagian kerja yang jelas. Pria menangkap ikan dan wanita menjual ikan hasil tangkapan tersebut. Secara sosial, status nelayan relatif rendah. Di India, pada umumnya nelayan berasal dari kasta rendah. Demikian pula di Jepang, posisi nelayan terdegradasi sehingga memunculkan masalah dalam regenerasi nelayan. Hanya sedikit kalangan muda yang bersedia menjadi nelayan, meski ada berbagai fasilitas subsidi dari pemerintah. Menurunnya status nelayan di Jepang ditunjukkan oleh menurunnya minat wanita Jepang untuk menjadi istri nelayan. Situasi ini dipaparkan oleh Firth (1971) dalam buku Malay Fishermen: Their Peasant Economny. Menurut, Firth nelayan mengalami “disrespect, implying not merely a low economic level and small-scale semi-subsistence production, but also a low cultural, even intellectual position”

Dalam Webster New Word College Dictionary (2000), karakteristik (characteristic) didefinisikan sebagai “a distinguish trait a quality or qualities that distinguish something from other of its class or kind”. Dalam konteks penelitian sosial, ciri-ciri pembeda tersebut melekatkan suatu atribut sosial yang digunakan sebagai pembeda antara individu atau kelompok individu. Lionberger (1980) menyebut hal tersebut sebagai faktor yang memengaruhi kemauan seseorang untuk menerima atau menolak difusi. Faktor ini seperti usia, pendidikan, dan karakteristik psikologi. Beberapa

(13)

peneliti lain seperti Budiono Pitojo (2006), Zulfarima (2003) mengamati karakteristik demografi petani ladang berpindah dan lahan kering yang meliputi: (1) umur, (2) pendidikan, (3) pengetahuan, (4) pengalaman berusaha tani, (5) kekosmopolitan, (6) luas lahan garapan, dan (7) pendapatan. Budiono Pitojo (2006) juga mengamati karakteristik demografi petani tepi hutan seperti (1) suku, (2) pendidikan formal, (3) pendidikan non formal, (4) luas lahan garapan, (5) status lahan garapan, (6) kekosmopolitan, (7) pendapatan yang dikeluarkan, (8) jumlah keluarga, (9) pengalaman berusaha tani, (10) umur, (11) lama tinggal di desa, (12) motivasi melestarikan hutan dan (13) kontak dengan penyuluh. Dalam bidang kajian nelayan perikanan tangkap (fishers), Wildani Pingkan Saripurna Hamzen (2007) mengamati karaktertistik nelayan seperti pendidikan rendah pendatang dan memiliki motivasi untuk maju.

Luky Adrianto (2006) dan Charles (2001) sepakat tentang karaktertistik sosial demografi nelayan. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system, terdapat beberapa karakteristik umum nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, pada komunitas nelayan komersial, nelayan bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh waktu, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan juga bervariasi berdasarkan motivasi dan perilaku menangkap ikan. Ada nelayan yang profit-maximizers yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti "perusahaan", dan pula nelayan satisfisers yang aktif menangkap ikan sekedar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Pada nelayan artisanal (artisanal fisheries) yang diamati dalam penelitian ini, karakterteristik demografi meliputi umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, harga perahu dan alat tangkapnya, jumlah anak buah kapal, ukuran mesin

(14)

perahu, modal yang dikeluarkan, pendapatan bersih, ragam alat tangkap yang dimiliki serta kemandirian nelayan

a. Umur

Umur kronologis ialah indikator penting yang menunjukkan perkembangan individu. Umur menunjukkan suatu kemampuan tertentu (Salkind,1985). Perkembangan manusia pada prinsipnya merupakan rangkaian perubahan jasmani dan rohani (fisio-psikis) ke arah yang lebih maju dan sempurna. Perkembangan tersebut, merupakan kompilasi dari beberapa proses yaitu:

- perkembangan motor, yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam ketrampilan fisik seseorang;

- perkembangan kognitif, yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses-proses perkembangan kemampuan kecerdasan seseorang;

- perkembangan sosial dan moral, yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara seseorang berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

b. Jumlah anggota keluarga

Dalam Macmillan Dictionary of Anthropology (1990), keluarga ialah kesatuan sosial yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan keturunan (kinship). Konsep keluarga ini berbeda dengan rumah tangga (household) yang lebih didasari oleh aspek domestik. Dalam studi-studi mengenai masyarakat pedesaan, konsep keluarga lebih tepat digunakan, mengingat ikatan keturunan yang terdapat dalam keluarga lebih berfungsi untuk mengatur penguasaan sumberdaya (property) khususnya tanah. Keluarga inti (nuclear family) ialah satuan sosial keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya yang belum kawin. Mengingat dalam keluarga juga terdapat aspek keturunan, maka biasanya pada keluarga pedesaan di Jawa, keluarga inti tersebut akan ditambah dengan anggota kerabat lain seperti kakek, nenek, saudara laki-laki/perempuan dari ayah, atau saudara laki-laki/perempuan dari ibu. Kadangkala dalam satu keluarga ada beberapa rumah tangga (household) yang dibedakan atas dasar jumlah tungku perapian masak yang berbeda.

(15)

c. Pendidikan non formal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan yang paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara SLTP) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C (setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.

Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC) yang merupakan komponen Community Center. Meskipun dalam pendidikan non formal pembelajarannya, namun sebagai suatu institusi pendidikan ia berperan dalam memperbaiki kompetensi bidang tertentu dari pesertanya.

d. Pengalaman sebagai nelayan

Dalam Webster’s New World College Dictionary (2000) “experiences” diartikan sebagai the effect on a person of anything or everything that has happened to that person, individual reaction to events, feeling etc. Pengalaman seseorang juga berhubungan dengan usia kronologis individu tersebut. Secara biologis, seorang dengan tingkat usia kronologis tertentu akan dianggap dewasa bila telah mencapai usia tertentu. Semakin tua usia yang bersangkutan, maka pengalamannya juga akan banyak. Dari perspektif psikologi, seorang dianggap memiliki pengalaman bila yang bersangkutan telah dewasa jika ia mampu mengurus dirinya sendiri. Individu dikatakan dewasa apabila dia bekerja dan berkeluarga.

(16)

e. Lama tinggal di desa

Lama tinggal di desa pesisir bagi seorang nelayan akan menentukan intensitas proses enkulturasi (penyerapan pengetahuan) dan sosialisasi (pembelajaran) yang bersangkutan dalam lingkungan sosial dan fisik tempat. Dalam proses enkulturasi tersebut, seorang nelayan menyerap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku untuk menghadapi lingkungan. Hal serupa terjadi pula dalam proses sosialisasi nelayan tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi sebagai pedoman masyarakatnya. Malinowski melihat, bahwa kultur yang dipelajari individu dalam masyarakatnya berfungsi untuk membantu yang bersangkutan memenuhi kebutuhan dasarnya. Semakin lama seorang individu tinggal dalam lingkungan kulturnya, maka semakin beragam muatan kultur yang dapat diserap dan dipelajari memenuhi kebutuhan dasarnya dan menghadapi berbagai tekanan dan lingkungannya (Bohannan, 1988).

f. Lama memiliki perahu sendiri

Dalam sistem perikanan tangkap artisanal di Indonesia, dikenal adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara pemilik perahu, nahkoda dan anak buah kapal (Kusnadi, 2000; Budi Siswanto, 2008). Pemilik perahu ialah orang yang menguasai dan memiliki perahu beserta peralatan tangkap dan alat bantu tangkap yang di ada dalamnya, meski pada nelayan artisanal di Jawa Barat perahu dimiliki oleh keluarga (Luky Adrianto, 2007), sementara nahkoda dan anak buah kapal adalah orang yang mengoperasikan perahu pada saat melaut. Memiliki perahu bagi seorang nelayan artisanal, berarti harus mampu mengoperasikan perahu beserta alat tangkap karena nelayan artisanal pemilik harus mengoperasikan sendiri perahunya. Selain itu bertanggungjawab dalam merawat perahu dan alat tangkapnya, kemudian penghasilan dari hasil melaut merupakan hak sepenuhnya nelayan yang bersangkutan, setelah dipotong biaya melaut. Semakin lama seseorang memiliki perahu sendiri, maka semakin banyak pengalaman yang dia miliki sebagai operator atau pengelola perahu dan peralatan itu.

(17)

g. Ukuran perahu

Menurut UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Jo. Undang-undang No.45 Tahun 2009 pasal 1 kapal perikanan ialah kapal, perahu atau alat apung lain yang digunakan untuk menangkap ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Ukuran utama kapal dinyatakan dalam indeks luas kapal ialah ukuran panjang, lebar dan tinggi kapal (Diniah, 2008).

Ada dua bentuk perahu di pantai Utara Jawa, yakni jenis jukung dan mayang. Jukung ialah perahu kecil dari sebatang kayu, sedangkan mayang ialah perahu besar yang dibuat dengan menggunakan papan kayu, baik dengan haluan yang membesar, haluan dan buritan yang melengkung maupun yang tidak melengkung. Ada berbagai ukuran perahu mayang dan jukung dengan nama yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Jukung biasanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dekat pantai yang dijalankan oleh tidak lebih dari empat orang, digunakan oleh nelayan di sepanjang pantai Utara Jawa dengan sebutan jegong, landrangan, sope, pancasan, konting, bikung, kolek, konting, binkung, kementing, jukung- ender, jukung-lawak, jukung kinciran atau secara luas sampan. Untuk perahu berukuran besar, yakni perahu mayang, dikenal sebagai perahu rembang dan perahu jawa (Sutejo Kuat Widodo, 2007). Pada nelayan di pantai Utara Jawa Barat, ukuran perahu yang dioperasikan berkisar dari 2,75 – 25 GT (Luky Adrianto, 2007).

Semakin besar ukuran perahu yang dioperasikan, maka semakin kompleks dan rumit peralatan yang digunakan dan semakin kompleks pula pengorganisasian penggunaan alat dan tenaga kerja yang terdapat di dalamnya. Jadi semakin besar perahu yang dimiliki dan dioperasikan oleh seorang nelayan artisanal, maka semakin besar pula tanggungjawabnya pada investasinya.

h. Harga perahu beserta alat tangkapnya

Semakin besar perahu, semakin kompleks dan rumit peralatan perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Hal ini akan berdampak pada nilai nominal perahu dan peralatan tangkapnya. Nelayan dengan ukuran perahu dibawah 10 GT dengan peralatan tangkap yang sederhana, tentu akan berbeda nilai nominal harga perahu dan alat

(18)

tangkapnya dengan perahu berukuran antara 10 – 25 GT. Pada perahu yang cukup rumit peralatan tangkap dan alat bantu tangkapnya, biasanya dilengkapi dengan peralatan alat bantu tangkap yang lebih rumit seperti fish finder, global positioning satelite, generator dan lampu tembak sebagai alat bantu tangkap ikan. Kelengkapan perahu demikian sudah barang tentu akan menentukan nilai nomimal perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Secara rata-rata, nilai investasi nominal perahu nelayan artisanal di pantai Utara Provinsi Jawa Barat pada tahun 1986 mencapai Rp. 4 s.d. Rp. 115 juta (Luky Adrianto, 2007).

i. Jumlah anak buah kapal

Anak buah kapal berfungsi dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Bagi nelayan yang mengoperasikan sendiri perahunya maka posisinya ialah sebagai nahkoda/jurumudi, yang juga menjadi kepal anak buah kapal (ABK). Pada nelayan yang beroperasi di Selat Madura, Jawa Timur, memiliki 12 jenis peran dan tanggungjawab dalam kegiatan penangkapan (Kusnadi, 2000). Sementara itu nelayan artisanal di pantai Utara Jawa Barat biasanya memiliki awak antara 3 – 18 orang termasuk juru mudi. Setiap anak buah kapal memiliki tugas sendiri seperti juru mudi, juru pantau, juru jhonson, tukang ngolor, tukang tarik batu, tukang pelambung (Luky Adrianto, 2007; Budi Susanto, 2008). Perbedaan tugas dan tanggungjawab itu menimbulkan perbedaan bagi hasil yang didapat diantara mereka. Pola nagi hasil di pantai Utara Jawa Barat mencakup 2:3, 1:3, 50:50, 60:40, 80:20 (Luky Adrianto, 2007).

Seorang nelayan yang mengoperasikan perahunya sendiri, bertanggungjawab anak buah kapal anggotanya, baik pada saat melaut maupun pada saat tidak melaut, seperti upaya pinjam meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga anak buah kapal.

j. Ukuran mesin perahu

Ukuran mesin perahu yang dimiliki memengaruhi jenis alat tangkap, ukuran perahu, alat bantu tangkap dan jangkauan wilayah tangkap yang dituju. Jangkauan melaut nelayan artisanal di pantai Utara rata-rata antara satu hingga tujuh Mil dengan memakan waktu melaut antara satu hingga tujuh hari (Luky Adrianto, 2007). Satuan ukuran

(19)

kekuatan mesin perahu ialah PK (Pärk de Kräct) atau HP (Horse Power) atau tenaga kuda.

Kekuatan mesin sangat berpengaruh bagi nelayan yang menggunakan alat jaring. Melepaskan dan menarik jaring membutuhkan kekuatan tenaga yang berasal dari mesin. Demikian pula dengan nelayan yang jangkauan melautnya jauh terutama nelayan purse-seini. Ikan hasil tangkapan dimuat di perahu dan harus segera dibawa ke tempat pendaratan ikan sebelum perbekalan es habis. Waktu tempuh dan jarak perahu menuju pendaratan ikan akan ditentukan oleh kekuatan mesin perahu. Bila tertalu lama waktu tempuhnya dapat menyebabkan mutu ikan akan buruk.

k. Modal setiap melaut

Bagi nelayan di pantai Utara Jawa Barat, modal melaut berasal dari mereka sendiri atau pinjaman para punggawa (pedagang ikan). Nelayan yang menggunakan modal sendiri, dapat menjual ikan secara bebas juragan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Nelayan yang meminjam modal dari punggawa (modal perahu, alat tangkap atau modal melaut) harus menjual ikan kepada punggawa yang memodalinya. Modal melaut digunakan nelayan di pantai Utara Jawa Barat untuk pengeluaran bahan bakar, makanan dan rokok (Luky Adrianto, 2007).

Semakin besar dan kompleks ukuran perahu, semakin banyak anak buah kapalnya, maka semakin rumit kegiatan mencari dan menangkap ikan, sehingga mainn besar modal melaut yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan makin besar tanggungjawab nelayan pada investasinya.

l. Pendapatan bersih melaut

Dalam satu tahun tidak seluruh bulan para nelayan dapat melaut. Idealnya ada beberapa musim yang memengaruhi pendapatan melaut pantai Utara Jawa Barat. Saat musim timur ialah bertiupnya angin dari arah Timur ke Barat di bulan April, Mei dan Juni. Masa ini merupakan musim ikan yang ditunggu nelayan. Musim daya yaitu bertiupnya angin dari arah Tenggara Selatan (arah daratan pulau Jawa) pada bulan Juli, Agustus dan September. Masa ini merupakan musim untuk mencari ikan. Musim Barat pada bulan Januari dan Februari, musim ini angin bertiup kencang dari arah Barat yang

(20)

menyebabkan tinggi ombak. Musim ini hanya nelayan dengan alat tangkap tertentu saja dapat melaut karena tingginya ombak. Sepuluh tahun terakhir, pola musim bertiupnya angin tidak dapat diprediksi lagi oleh nelayan. Seringkali musim angin tertentu tidak sesuai dengan pola dimasa lalu. Keadaan demikian menyulitkan nelayan untuk memprediksi kondisi cuaca dan penangkapan ikan.

Langkah strategis mensiasati keadaan tersebut, nelayan akan melaut dan beralih mencari wilayah tangkap (fishing ground) yang aman di kabupaten lain melalui andun (tinggal sementara dan kembali ke desa asal saat cuaca membaik). Nelayan di kabupaten Subang, melakukan andun ke Karawang atau Bekasi saat cuaca di di wilayahnya sedang buruk; atau sebaliknya. Strategi andun tidak hanya dilakukan oleh nelayan pantai Utara pulau Jawa saja, melainkan juga oleh nelayan di Selat Madura Jawa Timur (Kusnadi, 2000). Karena melaut dilakukan oleh nelayan tidak sepanjang tahun, maka perhitungan pendapatan bersih dilakukan dalam setiap melaut selama satu tahun. Pendapatan bersih melaut ialah rata-rata hasil penjualan ikan yang didapat oleh nelayan setelah melaut kemudian dipotong pengeluaran modal, pendapatan bagi hasil antara nahkoda (juru mudi) dengan anak buah kapal selama 12 bulan.

m. Ragam alat tangkap yang dimiliki

Dalam setahun nelayan tidak selamanya melaut.. Saat bulan purnama, pantulan sinar bulan menyilaukan pandangan di laut, sehingga sulit membedakan antara pantulan sinar bulan di ombak dengan pantulan sekumpulan ikan yang bergerak di laut. Saat saat musim ikan, ada waktu tertentu jenis ikan secara khusus yang lebih banyak. Keadaan ini disiasati oleh nelayan dengan menggunakan jenis alat tangkap yang berbeda sesuai jenis ikan yang sedang musim pada saat itu. Jenis dan ragam alat tangkap yang digunakan nelayan di pantai Utara Provinsi Jawa Barat terdiri dari gilnet, jaring badut, pukat harimau mini, pancing rawai, jaring payang (Luky Adrianto, 2007).

Semakin banyak ragam alat tangkap yang dimiliki untuk menangkap ikan pada masa musim ikan tertentu, main besar upaya nelayan untuk mengurangi kerugiannya akibat tidak melaut yang berdampak kepada kelestarian lingkungan. Penggunaan alat tangkap seperti mini trawl atau sejenisnya (di pantai Utara Jawa terdapat variannya seperti garok, jaring apollo, dogol), dapat digunakan sepanjang musim angin kecuali bila

(21)

terdapat ombak tinggi sehingga nelayan tidak dapat melaut sama sekali. Selebihnya alat tangkap tersebut dapat digunakan namun dengan dampak buruk kepada lingkungan.

n. Kemandirian

Kemandirian dalam bahasa Inggris identik dengan self-reliance. Dalam Webster’s New Word College Dictionary (2000) arti self-reliance ialah reliance on one’s own judment or ability. Kemandirian mengandung makna percaya pada kemampuan dirinya.

Dalam teori kemandirian istilah independence dan autonomy sering digunakan silih berganti (interchangeable), meski kedua istilah ini memiliki makna sama yaitu kemandirian. Sesungguhnya kedua istilah tersebut berbeda. Independence generaly refers to individual’s capacity to behave on their own. Istilah autonomy disamakan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten dan bebas bertindak. Kemandirian dianggap sebagai self goverring person, yakni kemampuan mengatur diri sendiri.

Mardin (2009) mencatat empat komponen kemandirian nelayan, yaitu kemandirian intelektual (intellectual self-reliance), kemandirian emosional (emotional self-reliance), kemandirian ekonomi (economic self-reliance) dan kemandirian sosial (social self-reliance).

Kemandirian intelektual mengacu kepada kemampuan seorang individu untuk mengambil keputusan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari orang lain. Seorang individu dengan tingkat kemandirian intelektual mampu mengidentifikasi, merancang dan dan bertindak berupa keputusan yang tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian emosional merupakan kemandirian yang lebih awal dari kemandirian lain. Cirinya ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional seorang dengan orang lain seperti orang yang dianggap dekat dalam hubungan kerabat. Karena itu kemandirian emosional ialah kemampuan individu untuk tidak bergantung dukungan emosional orang lain. Kemandirian ekonomi, berkait dengan kemandirian makro dan mikro dalam wacana negara. Kemandirian makro mengacu pada ketidaktergantungan negara secara ekonomi kepada institusi/kelembagaan ekonomi dari negara lain, sementara itu kemandirian miktro mengacu pada terbebasnya seorang

(22)

individu dari ketergantungan secara ekonomi kepada orang lain. Dalam hal ini individu bebas menentukan pilihan sendiri di bidang ekonomi. Kemandirian sosial mengacu pada intensitas kepedulian/kepesertaan dalam kegiatan sosial pada komunitasnya. Semakin mandiri seorang, tidak tergantung pada orang lain/pihak lain untuk mengambil keputusan dan bertindak pada kegiatan perikanan tangkap.

Ringkasan

Sikap pada dasarnya mengandung makna (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-(setuju-tidak suka). Perbedaan pengertian tentang konsep sikap terletak pada proses terjadinya dan penerapan dari konsep tentang sikap ini. Mengenai proses terjadinya, sebagian besar pakar berpendapat bahwa sikap adalah sesuatu yang dipelajari (bukan bawaan); oleh karena itu sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap berbeda dengan sifat (trait) yang lebih merupakan bawaan dan sulit diubah. Domain dari sikap terdiri dari aspek kognitif, afektif dan konatif.

Secara sederhana norma diartikan sebagai common guidelines for social action. Dalam TPB dikenal subjective norm (tingkat kepatuhan pada patron) yang berfungsi menilai apa yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dipikirkan atau diharapkan oleh orang-orang dekatnya bahwa dia harus lakukan. Kepatuhan kepada patron juga merupakan persepsi seseorang terhadap orang-orang yang penting bagi dirinya bahwa dirinya harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepatuhan kepada patron ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh atau tokoh panutan (significan other) tentang apakah subjek perlu, harus atau dilarang melakukan perilaku yang sedang diteliti, dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply).

Kemampuan berperilaku (KB) merupakan persepsi tentang keyakinan seseorang akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. KB ini ditentukan oleh keyakinan seseorang akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya.

(23)

Karakteristik individu nelayan adalah cirri atau sifat yang menandai keadaan nelayan seperti umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, harga perahu dan alat tangkapnya, jumlah anak buah kapal, ukuran mesin perahu, modal dalam setiap melaut, pendapatan bersih melaut, ragam alat tangkap dan kemandirian nelayan.

Semua faktor tersebut seperti sikap, kepatuhan pada patron, kemampuan berperilaku, karakteristik individu merupakan faktor-faktor yang menentukan niat berperilaku untuk selanjutnya memengaruhi perilaku nelayan itu sendiri.

Hubungan antara Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan

Penjelasan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi perilaku nelayan dalam penelitian ini mengacu kepada hubungan antar peubah yang dijabarkan dalam Theory Planned Behavior (TPB) yang telah dibahas pada bagian muka.

Penjelasan hubungan antar peubah dalam TPB, bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh niat untuk berperilaku, selanjutnya niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh (1) sikap sebagai keyakinan individu yang terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang ditunjukkan dalam bentuk adanya penilaian secara positif, netral atau negatif. (2) tingkat kepatuhan terhadap patron sebagai keyakinan bahwa orang-orang atau pihak tertentu yang penting dalam hidup mereka menghendaki agar yang bersangkutan berperilaku tertentu serta ketaatannya untuk mengikuti kehendak para pihak tersebut. Penelitian-penelitian selanjutnya membuktikan bahwa niat untuk berperilaku tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih tergantung pada faktor lain, yaitu faktor ke-3 keyakinan kemampuan berperilaku atau kendala-kendala yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bersangkutan yang diperkirakan dapat menghambat perilakunya.

Faktor latarbelakang (backgound factor) dalam penelitian ini menjelaskan bahwa tiap individu nelayan memiliki perbedaan karakteristik seperti umur, tanggunggan keluarga, pendidikan non formal, lama bekerja sebagai nelayan, lama tinggal di desa,

(24)

lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, nilai jual perahu dan alat tangkapnya, ukuran mesin perahu, jumlah modal setiap melaut, pendapatan bersih melaut, jumlah jenis alat tangkap yang dimiliki dan kemandirian nelayan. Kesemua hal tersebut dapat memberikan beragam informasi berbeda tentang beragam isu, informasi yang menyediakan dasar dari kepercayaanya untuk memengaruhi sikap, kepatuhan pada patron dan kemampuan berperilaku.

Hubungan Karakteristik Individu dengan Sikap

Tiap-tiap nelayan memiliki ciri karakter pribadi yang unik sesuai dengan latarbalakang sosial demografi mereka. Ciri karakteristik individu sebagai background factor diduga memengaruhi sikap. Penelitian Martin et al (2010) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu seperti jenis kelamin, golongan etnik, status sosial keterlibatan dalam Greek (Greek affiliation) terhadap sikap responden terhadap kegiatan berjudi, Monica et al (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior menemukan hubungan positif antara karakteristik individu seperti usia terhadap sikap responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker, Smith et al (2008) Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications meneliti tentang adanya hubungan positif antara karakteristik individu berupa usia, golongan etnik, ras, status perkawinan terhadap sikap responden tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki, Collin dan Carey (2007) The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menemukan adanya hubungan positif karakteristik individu berupa usia, jenis kelamin, tahun keberadaan di sekolah, golongan etnik, tempat tinggal terhadap sikap responden tentang kegiatan heavy episodic drinking (HED) dan Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu berupa usia, jenis kelamin terhadap sikap responden tentang kepatuhan terhadap aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan.

(25)

hubungan positif antara karakteristik individu dengan sikap (attitude).

Hubungan Karakteristik Individu dengan Kepatuhan kepada Patron

Karakteristik individu diduga memiliki hubungan positif dengan kepatuhan nelayan kepada patronnya. Kepatuhan kepada patron merupakan perpaduan antara perilaku yang dilakukan oleh individu (m), siapa tokoh (significant others) yang paling berperan untuk memengaruhi perilaku tersebut dan seberapa kuat individu tersebut akan mengikuti pendapat orang tokoh (significnt others) tersebut (n) (Ajzen, 2004).

Dalam lingkungan sosial nelayan di pantai Utara Jawa Barat, para significant other ini ialah mereka yang memiliki peran secara sosial kepada para nelayan dalam hubungan patron klien. Nelayan berada pada posisi klien yang tergantung kepada patron. Bila ditilik pada significant other tersebut, keadaan ini tidak berbeda dengan significant other ada pada komunitas nelayan umummnya di Indonesia seperti pemodal, ketua kelompok nelayan, aparat pemerintah desa atau perikanan dan kerabat dalam anggota rumah tangga nelayan.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm). Aldrich dan Cerel (2009) The Development of Effective Message Content for Suicide Intervention Theory of Planned Behavior menunjukkan adanya hubungan antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) pada responden yang beresiko melakukan tindakan bunuh diri. Oleh sebab itu peneliti mengusulkan program penyuluhan dalam bentuk intervensi untuk mencegah bunuh diri seseorang melalui significant other dari pelaku bersangkutan. Collins dan Carey (2007) The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menegaskan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) pada responden pelajar pecandu alkohol. Karena itu terapi yang diusulkannya adalah penyuluhan melalui significant other dari pelajar yang bersangkutan. Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) terhadap aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan. Saran dari penelitian ini adalah penekanan pentingnya sigificant other dalam memberi

(26)

nasehat kepada pelaku berkendara.

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara karakteristik individu dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm).

Hubungan Karakteristik Individu dengan Kemampuan Berperilaku

Karakteristik diduga memiliki hubungan erat dengan kemampuan berperilaku. Kemampuan berperilaku adalah persepsi tentang keyakinan nelayan akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya.

Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kemampuan berperilaku seperti Eng dan Ginis (2007) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Leisure Time Physical Activity Among People With Chronic Kidney Disease yang menegaskan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kemampuan berperilaku responden penderita kidney disease kronik. Karena itu peneliti menyarankan penanganan terhadap kendala-kendala yang mungkin dihadapi oleh penderita dalam perilaku fisik memanfaatkan waktu luang (Leisure Time Physical Activity). Galea dan Bray (2006) Predicting Walking Intentions and Exercise in Individuals With Intermittent Claudication: An Application of the Theory of Planned Behavior melihat adanya hubungan positif antara antara karakteristik dengan kemampuan Berperilaku. Monica (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior melihat hubungan positif antara karakteristik seperti usia terhadap kemampuan berperilaku (perceived behavior control) responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker. Smith (2008) berjudul Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications menemukan hubungan positif antara karakteristik berupa usia, golongan etnik, ras, status perkawinan terhadap kemampuan berperilaku (perceived behavior control) responden tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki.

(27)

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara karakteristik individu dengan kemampuan berperilaku (perveived behavior control).

Hubungan Sikap dengan Niat untuk Berperilaku

Sikap mengandung makna: (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka). Sikap diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa penelitian yang menjelaskan adanya hubungan positif antara sikap dengan niat untuk berperilaku seperti penelitian Orbell and Hagger (2006) “When No Means No”: Can Reactance Augment the Theory of Planned Behavior? Merupakan studi longitudinal yang temuannya menegaskan adanya hubungan antara sikap dengan niat untuk berperilaku responden wanita dalam melakukan kunjungan menjalani pengobatan penyakit kanker rahim. Eng dan Ginis (2007) The Theory of Planned Behavior in Prediction of Leisure Time Physical Activity Among Individuals With Spinal Cord Injury. Latimer dan. Ginis (2005) juga menegaskan adanya hubungan antara sikap dengan niat untuk berperilaku responden dalam memanfaatan waktu luang guna pengobatan penyakit spinal cord injury, Martin et al (2010) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior yang menggambarkan perilaku berjudi sebagai persoalan publik, Martin dan kawan-kawan menemukan bahwa norma dalam lingkungan kehidupan pertetanggaan, sikap dan kemampuan berperilaku (perceived behavior control) berhubungan positif dengan niat pada responden untuk berperilaku berjudi.

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara sikap dengan niat untuk berperilaku.

Hubungan Kepatuhan kepada Patron dengan Niat untuk Berperilaku

Secara sederhana norma diartikan sebagai as common guidelines for social action (Abrecombie et al, 1984). Dalam ilmu perilaku dikenal tingkat kepatuhan (subjective norm). Norma menilai apa yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dipikirkan atau diharapkan oleh orang-orang dekatnya bahwa dia harus lakukan. Norma subjektif

(28)

ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh atau tokoh panutan (significan other) tentang apakah subjek perlu, harus atau dilarang melakukan perilaku yang sedang diteliti, dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply).

Kepatuhan terhadap patron diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa hasil penelitian menguatkan argumen tersebut, Martin et al (2010) tentang Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior yang menggambarkan perilaku berjudi sebagai persoalan public, Martin dan kawan-kawan menemukan bahwa norma dalam lingkungan kehidupan pertetanggaan, sikap dan kepatuhan terhadap patron berhubungan secara langsung dengan niat pada responden untuk berperilaku berjudi. Temuan penelitian ini juga sejalan dengan Susan et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students dan penelitian Mark et al (2008) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior dan Corner et al (2002) berjudul The Theory of Planned Behavior and Healthy Eating.

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara kepatuhan kepada patron dengan niat untuk berperilaku.

Hubungan Kemampuan Berperilaku dengan Niat untuk Berperilaku

Tingkat kemampuan berperilaku nelayan dalam proses kegiatan perikanan tangkap ialah persepsi tentang keyakinan nelayan akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. kemampuan berperilaku diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa hasil penelitian menguatkan argumen tersebut seperti Jones, Courneya, Fairey, dan Mackey (2005) Does the Theory of Planned Behavior Mediate the Effects of an Oncologist’s Recommendation to Exercise in Newly Diagnosed Breast Cancer Survivors? Results From a Randomized Controlled Trial yang menegaskan adanya hubungan positif antara kemampuan berperilaku dengan niat untuk berperilaku. Susan et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students dan penelitian Mark et al (2008) berjudul Drivers’

(29)

Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior dan penelitian Corner et al (2002) berjudul The Theory of Planned Behavior and Healthy Eating.

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif kemampuan berperilaku dengan niat untuk berperilaku.

Hubungan Niat untuk Berperilaku dengan Perilaku

Berangkat dari kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yakni tidak dapat memperkirakan perilaku yang timbul, maka ditentukanlah attitude, subjective norm dan perceived behavior control yang selanjutnya akan menentukan perilaku. Sebelum sampai pada perilaku, Fisbein dan Ajzen (1975) menetapkan adanya niat untuk berperilaku. Mengukur sikap, sama dengan mengukur niat itu sendiri, karena setiap perilaku yang bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat untuk berperilaku. Dengan demikian semakin kuat niat seseorang akan mencerminkan hubungan yang kuat pula dengan perilakunya.

Penelitian berikut menegaskan hubungan positif anatara niat untuk berperilaku dengan perilaku individu. Lowe, Bennett, Walker dan Milne (2003) A Connectionist Implementation of the Theory of Planned Behavior: Association of Beliefs With Exercise Intention. Senn dan Ledgerwood (2001) Predictors of Intention to Use Condoms Among University Women: An Application and Extension of the Theory of Planned Behaviour, menegaskan adanya hubungan positif anatara niat responden pelajar wanita untuk menggunakan kondom dengan perilaku seksualnya. Courneya (1995) Understanding Readiness for Regular Physical Activity in Older Individuals: An Application of the Theory of Planned Behavior. Al-Majali dan Nik Mat (2010) Application of Decomposed Theory of Planned Behavior on Internet Banking Adoption in Jordan. Monica et al (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior temuannya bahwa ada hubungan positif antara behavior intention terhadap behavior responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker, Smith et al (2008) berjudul Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications tentang adanya hubungan positif antara

(30)

behavior intention terhadap behavior tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki, Collin et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menemukan adanya hubungan positif antara behavior intention terhadap behavior responden tentang kegiatan heavy episodic drinking (HED) dan Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara behavior intention dengan behavior tentang aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan.

Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara niat untuk berperilaku dengan perilaku individu yang bersangkutan.

Nelayan Artisanal

Untuk memahami perilaku nelayan artisanal hal penting yang harus dipahami adalah keragaman dan jenis skala usaha nelayan. Apakah nelayan itu? Beragam kategori dan deskripsi yang dibuat untuk beragam tujuan. Berkes et al (2001) mencatat pada awalnya pengertian nelayan hanya berkaitan dengan sumberdaya perikanan dan tipe-tipe alat tangkapnya. Suatu gambaran yang sangat sederhana. Deskripsi yang lebih mendalam mencakup beberapa kategori dari kegiatan perikanan tangkap, seperti jenis alat tangkap yang digunakan, eksploitasi jenis-jenis tangkapan tertentu yang selanjutnya berkait dengan keberadaan kegiatan penangkapan yang membutuhkan penilaian dan pengelolaan sebagai proses, jaringan pasar dan sistem pemerintahan. Hal ini berarti kegiatan nelayan memiliki cakupan bidang biologi, teknologi, ekonomi, sosial, budaya dan dimensi politik.

Sejalan dengan Berkes, Johnson (2005) menyatakan bahwa pengertian small scale dan artisanal fisheries dalam beberapa dekade ini telah digunakan oleh para ahli politik perikanan, administrator, ahli hukum, ahli biologi, ahli ekonomi, ahli sosiologi, insinyur, nelayan, NGO, media massa dengan berbagai sudut pandang dalam ruang lingkup konteks nasional yang berbeda. Merujuk pada hal tersebut, maka FAO berupaya mengkombinasikan perbedaan karakteristik pengertian tersebut dengan menyatakan bahwa ”traditional fisheries involving fishing houdehold (as opposed to commercial

(31)

companies), using relatively small amount of capital and energy, relatively vessels (if any), making short fishing trips close to shore, mainly for local consumption. In practice, definition varies between contries, e.g. from gleaning or a one-man canoe in poor developing countries to more than 20-m, trawlers, seiners, or long-liners in developed ones. Artisanal fisheries can be subsistence or commercial fisheries, providing for local consumption or export. They are sometimes refered to as smal-scale fisheries”. Dalam pengertian tersebut berarti perikanan tradisional termasuk yang dilaksanakan oleh rumah tangga yang berbeda dengan perikanan yang dilaksanakan dalam skala komersial; menggunakan modal, energi mesin yang relatif kecil (jika ada), lama melaut yang singkat, tidak jauh dari pantai, untuk tujuan konsumsi lokal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, nelayan dimaknai sebagai perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang mata pencahariannya atau kegiatan usahanya melakukan kegiatan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan Tangkap (2000) mendifinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut sebagai nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan.

Dari kapasitas teknologi (alat tangkap, armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Arif Satria (2002) menggolongkan nelayan terdiri dari (1) peasant fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten), (2) post peasant fisher, (3) commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, dan (4) industrial fisher.Peasant fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Sebutan ini muncul karena alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan

(32)

masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. Post peasant fisher, dicirikan dengan berkembangnya motorisasi perikanan dibidang teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan perahu motor itu semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Pada jenis ini nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Sementara itu tenaga kerja atau ABK-nya sudah mulai meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. Commercial fisher, dicirikan dengan skala usaha yang sudah lebih besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya, contohnya nelayan purse seine di Pekalongan Jawa Tengah. Industrial fisher dicirikan dengan a) diorganisasi dengan cara mirip dengan perusahaan-perusahaan agroindustri di negara maju, (b) secara detail lebih padat modal. (c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan (d) menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan skala besar ini dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi ada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks.

Charles (2001) membagi kegiatan perikanan tangkap (harvest fisheries) ke dalam 4 bagian, yaitu (a) subsistence fisheries, sebagai kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, (b) native/indigenous/aboriginal fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil manusia secara tradisional. Terkadang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, (c) recreational fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang bertujuan sebagai kegiatan rekreasi (hiburan), (d) commercial fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang bertujuan untuk dijual guna memenuhi kebutuhan domestik maupun industri. Secara lebih rinci, Charles (2001) membagi commercial fisheries dalam dua kelompok yakni small scale fisheries (artisanal) dan large-scale fisheries (industrial) seperti dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Gambar

Tabel 1 Dikotomi antara Artisanal Fisheries dan Industrial Fisheries
Tabel 2 Kategori Nelayan Large-Scale, Small Scale dan Subsisten        Karakteristik                                                                           Kategori  Large-Scale        (Industrial)        Small Scale        (Artisanal)  Subsisten  (Arti
Gambar 3 di atas menjelaskan terdapat tiga aspek yang saling berkait  dalam  penangkapan ikan, yaitu dinamika populasi ikan, dinamika modal berupa perangkat alat  tangkap ikan dan dinamika tenaga kerja yaitu nelayan
Gambar 4  Ruang Lingkup Studi Perilaku Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan Tangkap

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari kegiatan tracer study digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk penguatan jaringan alumni dengan diperolehnya data yang akurat mengenai alumni – alumni yang

beratnya. Sementara itu, jika nilai b lebih besar dari 3 menunjukkan pertambahan  berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya (Effendie 2005).     

Materi yang akan disampaikan pada siswa harus sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Mahasiswa harus menguasai materi dan menggunakan berbagai macam bahan ajar, selain

Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur perlindungan mengenai jaminan keselamatan anak yang menjadi saksi dalam Pasal 90 Ayat (1) butir

Nama Pekerjaan : Kajian Desain Konservasi dan Pengembangan Sumber Air Kepulauan Sepudi dan Talango Lokasi : Kec.. Gayam, Nonggunong dan Talango

Perlakuan jahe merah dan pengeringan bahan 2 jam memiliki karakteristik terbaik, dengan total fenol yaitu 88,36 mg/kg, kandungan antioksidan yaitu 112,22 mg/kg GAEAC,

Terbukti dari pengujian yang dilakukan untuk tool versi evaluasi yang digunakan, tool seperti Oxygen hanya bisa mengenali data aktual yang tersimpan di ponsel,