• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian

Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana

untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat-pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah wilayah

potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.

Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital

yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi

infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat

bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh

produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu

memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan.

Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang

tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama

Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah

diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, serta peningkatan anggaran

stimulus fiskal pada bidang infrastruktur menunjukkan perhatian pemerintah yang

sangat besar pada pembangunan infrastruktur (termasuk halnya infrastruktur

(2)

mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait

dengan dampaknya terhadap perekonomian.

Perluasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam merencanakan

dan mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan,

memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan

aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta memilih

sektor-sektor ekonomi unggulan yang akan dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi

sumber daya lokal pada berbagai daerah pada gilirannya akan menghasikan

pertumbuhan ekonomi agregat yang tinggi di tingkat nasional.

Provinsi Jawa Barat merupakan daerah ekonomi potensial yang memiliki

berbagai keunggulan seperti halnya dari sisi letak geografis. Peningkatan alokasi

anggaran untuk belanja infrastruktur transportasi diyakini akan menstimulasi

peningkatan investasi baik berskala nasional maupun internasional. Letak geogragis

Provinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibu kota DKI Jakarta yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia serta letak geografis Provinsi Jawa

barat di pulau Jawa yang memiliki penduduk terbanyak merupakan potensi ekonomi besar yang dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat.

Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari

wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat dan pengembangan wilayah wilayah

potensial terutama yang berada di wilayah bagian selatan Jawa Barat. Terkait dengan

hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas

berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang

(3)

mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor

unggulan yang berkembang di Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor

pertanian. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan

infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang

potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah

tersebut, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta memperbaiki dan meningkatkan

pendapatan di wilayah wilayah terpencil sehingga mampu memperbaiki pemerataan

pendapatan dari berbagai golongan rumah tangga maupun dari segi kewilayahan.

Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan

menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian daerah Jawa Barat.

5.2. Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan

Menimbang pengalaman dari pentingnya pembangunan infrastruktur

transportasi dalam peningkatan perekonomian suatu daerah, penyerapan tenaga kerja,

serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi infrastruktur transportasi jalan adalah sangat strategis dalam memperbaiki kinerja pembangunan, memperbaiki

kesejahteraan masyarakat, mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat, serta mengurangi pengangguran. Keterlambatan dalam pembangunan investasi infrastruktur

transportasi tersebut diduga akan sangat berdampak negatif kepada perekonomian, distribusi pendapatan serta penyerapan tenaga kerja.

Berdasarkan data, kondisi infrastruktur transportasi berupa panjang jalan di

wilayah Jawa Barat, sampai dengan akhir tahun 2010 adalah 25.803 km (Tabel 5).

Jumlah ini meningkat hanya 0.1% dibandingkan dengan panjang jalan Jawa Barat

pada tahun 2009 yang berjumlah 25.774 km. Sementara itu dapat diungkapkan pula

(4)

dengan panjang jalan pada tahun 2008 yang berjumlah 25.857 km. Gambaran lengkap

perubahan panjang jalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Panjang Jalan (km) No. Tingkat Kewenangan Pemerintah 2008 2009 2010 1 Jalan Negara 1.141 1.351 1.351 (18.4) (0) 2 Jalan Provinsi 2.141 2.199 2.199 (2.7) (0) 3 Jalan Kabupaten 22.575 22.224 22.253 (-1.6) (0.1) Jumlah 25.857 25.774 25.803 (-0.3) (0.1)

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Keterangan: angka (…) menunjukkan pertumbuhan dalam persen

Secara umum kondisi infrastruktur yang tidak baik di Provinsi Jawa Barat

terutama terjadi pada jalan kabupaten yang merupakan kewenangan pemerintah

kabupaten/kota. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat terjadi penurunan panjang jalan yang

berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten sebesar minus 1.6% pada tahun

2009 dan terjadi peningkatan hanya 0.1% pada kategori jalan yang sama pada tahun

2010. Sementara itu perkembangan panjang jalan yang merupakan kewenangan

pemerintah provinsi juga mengalami perubahan yang kurang menggembirakan.

Setelah mengalami perkembangan pada tahun 2009 sebesar 2.7%, justru sama sekali

tidak mengalami pertumbuhan pada tahun 2010. Kondisi ini diperparah dengan kondisi

jalan yang semakin buruk, dimana kerusakan jalan tidak hanya terjadi diperkotaan

(kotamadya) namun juga di pedesaan (kabupaten).

Sebagai tambahan, berdasarkan data, kondisi jalan yang masih dalam keadaan

baik di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 8.895 km, dan angka ini berkurang

Tabel 5. Perkembangan Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintah, Tahun 2008-2010

(5)

menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010 (Tabel 6). Di sisi lain dapat dipaparkan

bahwa kondisi jalan yang rusak di Provinsi Jawa barat meningkat dari 5.199 km pada

tahun 2009, menjadi 5.694 km pada akhir tahun 2010.

Selain perkembangan panjang jalan yang tidak memadai dalam mendukung

perekonomian Jawa Barat, kondisi ini diperburuk dengan kualitas jalan yang semakin

memburuk sampai dengan tahun 2010. Kualitas jalan di Jawa Barat yang masih baik

tahun 2009 sepanjang 8.895,5 km dan semakin sedikit menjadi 7.980,1 km pada tahun

2010. Sementara kondisi jalan dengan kualitas sedang pada tahun 2009 sebesar

55.030,1 km menurun menjadi 5.342,8 km pada tahun 2010. Demikian pula kondisi

jalan rusak meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009 menjadi 5.694,0 km pada tahun

2010.

  Panjang  Jalan  (km)   Kondisi  Jalan                                        2009                                2010  

(1)                                        (2)                                  (3)  

Panjang  Jalan   22.006,4   21.760,8  

A.  Kualitas  jalan  

   

  a.1.  Baik   8.895,5   7.980,1  

  a.2.  Sedang   5.507,1   5.342,8  

  a.3.  Rusak   5.199,2   5.694,0  

  a.4.  Rusak  berat   2.404,5   2.819,6   B.  Jenis  permukaan  Jalan  

   

  b.1.  Aspal   18.419,8   18.275,3  

  b.2.  Kerikil   2.722,2   2.512,0  

  b.3.  Tanah   809,7   605,6  

    b.4.  Tidak  dirinci   50,7   328,03   Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Bahkan, panjang jalan yang mengalami rusak parah pada tahun 2009 yang tadinya

adalah 2.404 km, pada tahun 2010 menjadi lebih buruk lagi yaitu menjadi 2.819,6 km.

Tabel 6. Perkembangan Kondisi Jalan Menurut Kualitas dan Jenis Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 (km)  

(6)

Kondisi jalan yang beraspal maupun jalan kerikil juga menunjukkan kondisi semakin

buruk. Kondisi jalan beraspal pada tahun 2009 adalah sebesar 18.419,8 km menjadi

18.275,3 km dan kondisi jalan kerikil juga semakin menyusut dari tahun 2009 yang

sebesar 2.722,2 km berkurang menjadi 2.512,0 km

5.3. Struktur dan Kinerja Perekonomian

Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI Jakarta

dan Jawa Timur. Sesuai dengan data statistik, peranan Provinsi Jawa Barat dalam

penciptaan nilai tambah nasional adalah sebesar 14.7% dibawah DKI Jakarta (16.4%)

dan Jawa Timur (14.8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat

perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) serta letak Provinsi Jawa Barat di pulau

Jawa yang sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting

bagi pusat pertumbuhan nasional.

Dari segi struktur perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 7, provinsi Jawa

Barat dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, Sektor Perdagangan, Hotel dan

Restoran serta Sektor Pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor Industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% dimana terutama berasal

dari industri alat angkutan, mesin dan peralatannya serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Sementara itu, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran

mempunyai kontribusi sebesar 22.4% dan kontribusi Sektor Pertanian adalah sebesar

12.6%.

Dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, kontribusi sektor Industri selama

tahun 2007-2010 terhadap total PDRB Jawa Barat berdasarkan harga berlaku memiliki

(7)

menjadi 37.7% pada tahun 2010. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran

kontribusinya tidak mencapai 20% pada tahun 2007, namun meningkat pada tahun

2010 menjadi 22.4%. Sebagai tambahan, kontribusi sektor pertanian berkisar 11% –

12%.

Meskipun Sektor Industri merupakan salah satu sektor penting dalam

perekonomian Jawa Barat, namun peranannya didalam pembentukan nilai tambah

menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Peranan sektor industri Jawa

Barat tahun 2007 sebesar 45.0% dan menurun menjadi hanya sebesar 37.7% pada

tahun 2010 (Tabel 7). Penurunan tersebut terjadi pada seluruh jenis industri termasuk

industri utama Jawa Barat yaitu industri alat angkutan, mesin dan peralatan serta

industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Apabila deindustrialisasi dilihat hanya

sebagai penurunan peranan sektor Industri dalam perekonomian, maka bisa dikatakan

bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Provinsi Jawa Barat seperti halnya gejala

deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia yang banyak diperkirakan para ahli

(Priyarsono, 2010).

Bertolak belakang dengan sektor industri, sektor yang menunjukkan peranan

yang meningkat adalah sektor jasa jasa terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pasar retail terutama yang menjual

produk dari industri tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki mengalami perkembangan cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian patut disayangkan

bahwa pertumbuhan sektor perdagangan tersebut banyak didominasi oleh

produk-produk perdagangan impor, khususnya pakaian jadi dan alas kaki dari Cina.

Sementara itu produk tekstil, pakaian jadi dan alas kaki di Jawa Barat menunjukkan

(8)

Pangsa (%)

Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Pertanian 12.0 11.5 12.3 12.6

2. Pertambangan & Penggalian 2.4 2.4 1.9 2.0

3. Industri Pengolahan 45.0 43.7 40.8 37.7

a. Industri Migas 2.6 3.7 3.0 2.6

b. Industri Tanpa Migas **) 42.4 40.0 37.8 35.1

1. Makanan, Minuman dan

Tembakau 4.6 4.2 4.4 4.0

2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 12.1 10.1 9.5 8.2 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan

lainnya 0.5 0.4 0.5 0.4

4. Kertas dan Barang Cetakan 0.8 0.7 0.7 0.8

5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 4.4 3.3 3.3 2.7 6. Semen & Brg. Galian bukan

logam 0.9 0.9 0.9 0.9

7. Logam Dasar Besi & Baja 0.3 0.2 0.2 0.2 8. Alat Angk., Mesin &

Peralatannya 18.0 19.6 17.7 17.5

9. Barang lainnya 0.8 0.7 0.7 0.5

4. Listrik, Gas & Air Bersih 2.9 2.7 2.8 2.8

5. Bangunan 3.0 3.4 3.5 3.8

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 19.1 20.5 21.6 22.4

7. Pengangkutan & Komunikasi 5.9 5.7 6.1 7.1

8. Keuangan, Persewaan, & Js.

Prsh. 2.9 2.7 2.7 2.7

9. Jasa-Jasa 6.8 7.4 8.2 8.9

PRODUK DOMESTIK

REGIONAL BRUTO 100.0 100.0 100.0 100.0

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Peranan sektor industri yang terus menunjukkan penurunan didukung oleh tren

dari peran masing masing sektor dari tahun 2007 s/d tahun 2010. Gambaran

pertumbuhan PDRB sektor atas dasar harga berlaku mengindikasikan bahwa semakin

rendah pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku suatu sektor dibandingkan

dengan pertumbuhan sektor lainnya maka peranan sektor tersebut juga akan semakin

Tabel 7. Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010

(9)

berkurang dalam perekonomian suatu daerah. Dengan demikian maka akan terjadi

pergeseran peran sektor dan perubahan struktur ekonomi di daerah tersebut.

Indikasi adanya perubahan peran sektor dan struktur ekonomi di Jawa Barat

juga terlihat dalam beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 8. Sektor

industri di Jawa Barat mengalami pertumbuhan dengan rata rata pertumbuhan hanya

sekitar 5% dari tahun 2007 s/d tahun 2010 dibawah pertumbuhan perekonomian

secara total (10.2%). Kinerja sub-sektor industri tekstil, pakaian jadi barang dari kulit

dan alas kaki lebih buruk lagi dengan rata rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga

berlaku terkontraksi sebesar minus 0.1%.

Gambaran perubahan tren peran sektoral di Jawa Barat juga mengindikasikan

bahwa peran sektor jasa jasa menunjukkan peran yang semakin meningkat dalam

beberapa tahun terakhir. Sektor jasa jasa seperti perdagangan, hotel dan restoran

tumbuh sangat signifikan di atas pertumbuhan rata-rata Jawa Barat yaitu sebesar

14.9%. Sektor jasa lainnya seperti jasa sosial, jasa perorangan, jasa kemasyarakatan

menunjukkan trend rata rata pertumbuhan tertinggi dengan pertumbuhan sebesar 17.9%. Sementara sektor pertanian juga menunjukkan pertumbuhan yang berada

diatas rata rata pertumbuhan Jawa Barat yaitu tumbuh rata rata sebesar 11.7%.

Penurunan peranan sektor industri tentunya menjadi kekhawatiran bagi

pemerintah di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Sektor industri yang diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi penduduk Jawa Barat justru mengalami

kemunduran baik dalam peranannya dalam perekonomian maupun kinerja yang

semakin menurun. Penurunan peranan yang terjadi dan berlangsung terus menerus

dalam beberapa tahun terakhir ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari

pemerintah. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku sektor Industri yang

(10)

pertumbuhan sektor Pertambangan. Namun sembilan sektor lainnya tumbuh lebih

tinggi dibandingkan sektor Industri, terutama sektor jasa-jasa seperti halnya Jasa

Angkutan dan Komunikasi serta Jasa Lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa

kinerja pertumbuhan sektor industri masih lebih rendah dibandingkan dengan kinerja

sektor jasa-jasa maupun sektor pertanian dalam kurun waktu tahun 2007-2010.

Jumlah (Milyar Rupiah)

pertum buhan (%) Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pertanian 62.894,90 72.517,61 85.149,26 97.194,39 11.7

2. Pertambangan & Penggalian 12.621,31 14.904,13 13.278,19 15.546,26 6.1

3. Industri Pengolahan 236.628,97 276.714,35 281.275,08 290.754,72 5.5

a. Industri Migas 13.426,61 23.274,95 20.824,13 19.934,07 14.6 b. Industri Tanpa Migas **) 223.202,36 253.439,40 260.450,95 270.820,66 5.1 1. Makanan, Minuman dan

Tembakau 24.013,59 26.349,97 30.251,88 31.166,27 6.9

2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 63.551,78 64.043,30 65.340,91 63.250,05 -0.1 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan

lainnya 2.664,30 2.702,43 3.260,14 3.178,66 4.9

4. Kertas dan Barang Cetakan 4,277.09 4.213,11 4.560,00 5.861,65 8.8 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 23.296,72 20.733,77 22.959,64 20.696,98 -2.5 6. Semen & Brg. Galian bukan

logam 4.792,83 5.502,08 6.016,82 6.564,96 8.3

7. Logam Dasar Besi & Baja 1.596,81 1.513,72 1.571,91 1.558,64 -0.6 8. Alat Angk., Mesin &

Peralatannya 9,858,10 124.181,43 121.767,54 134.569,01 9.9 9. Barang lainnya 4.151,15 4.199,59 4.722,11 3.974,45 -0.6 4. Listrik, Gas & Air Bersih 15.414,04 16.913,62 19.549,19 21.294,46 8.6

5. Bangunan 15.906,66 21.596,58 24.223,19 29.047,79 17.0

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 100.691,12 129.912,05 149.056,00 172.713,20 14.9 7. Pengangkutan & Komunikasi 30.787,32 36.401,48 41.820,99 54.635,68 15.9 8. Keuangan, Persewaan, & Js.

Prsh. 15.248,88 17.228,06 18.802,86 21.155,31 8.7

9. Jasa-Jasa 36.027,03 47.095,62 56.686,56 68.318,69 17.9

PRODUK DOMESTIK

REGIONAL BRUTO 526.220,23 633.283,48 689.841,31 770.660,51 10.2

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah

Tabel 8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-Rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010

(11)

5.4. Ketenagakerjaan

Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat pada tahun 2008 sampai dengan tahun

2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Dari keseluruhan angkatan kerja di Jawa Barat pada

tahun 2010, yang berjumlah sekitar 18.89 juta orang terdapat angkatan kerja yang

bekerja sebesar 16.94 orang dan sisanya termasuk ke dalam kategori penganggur

berjumlah 1.95 juta orang (10.33%). Jumlah penganggur pada tahun 2010 tersebut

lebih rendah dari jumlah penganggur pada tahun 2009 atau menurun dari tahun

sebelumnya yang mencapai 2.08 juta orang (10.96%) seperti terlihat pada Tabel 9.

Secara ekonomis, upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui

peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih belum mampu

mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Secara umum kemampuan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih terbatas. Sebagai

tambahan, kemampuan menciptakan lapangan kerja di Provinsi Jawa Barat juga relatif

kecil dan bahkan terdapat kecenderungan mengalami penurunan.

Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat

Jenis Kegiatan Utama 2008 2009 2010

I. Angkatan Kerja (orang) 18.743.979 18.981.260 18.893.835 1. Bekerja 16.480.395 16.901.430 16.942.444 2. Penganggur 2.263.584 2.079.830 1.951.391 II. Bukan Angkatan Kerja 10.966.139 11.200.929 11.394.174

Jumlah 29.710.118 30.182.189 30.288.009

I. Tingkat Partisipasi Angkatan

Kerja/TPAK (%) 87.92 89.04 89.67

II. Tingkat Pengangguran (%) 12.08 10.96 10.33

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Secara teoritis, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan

penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi terjadi peningkatan investasi. Sementara itu

(12)

Barat dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh peningkatan

permintaan domestik, khususnya pada konsumsi akhir. Investasi sendiri cenderung

tidak meningkat dan bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya mengalami

penurunan. Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun

penciptaan lapangan kerja dapat dikatakan masih sangat lambat. Gambaran

persentase pertumbuhan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Jawa Barat, tahun

2009-2010 dapat diihat pada tabel 10.

Pertumbuhan (%)

Jenis Kegiatan Utama

2009 2010

I. Angkatan Kerja 1.27 -0.46

1. Bekerja 2.55 0.24

2. Penganggur -8.12 -6.16

II. Bukan Angkatan Kerja 2.14 1.73

Jumlah 1.59 0.35

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah

Berdasarkan pada hasil analisis, selama tahun 2010, penyerapan tenaga kerja

di provinsi Jawa Barat adalah 16.94 juta orang, dimana diserap oleh sektor

perdagangan, hotel dan restoran 24.83%; sektor pertanian sebesar 23.4%; sektor

industri sebesar 20.00% dan sektor jasa lainnya 15.68%. Dari Tabel 11 dapat dilihat

bahwa sektor listrik, gas dan air menyerap tenaga kerja dalam persentase terkecil

(0.35%). Perkembangan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian selama

periode 2007-2010 menunjukkan penurunan, sementara itu pada periode yang sama

Tabel 10. Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Jawa Barat, Tahun 2009 – 2010

(13)

pangsa penyerapan tenaga kerja sektor industri justru mengalami kenaikan. Kenaikan

pangsa penyerapan tenaga kerja yang mengalami kenaikan sangat signifikan juga

terjadi pada sektor jasa lainnya, yaitu sebesar 9.11% pada tahun 2007 menjadi 15.68%

pada tahun 2010. Temuan lain menunjukkan adanya penurunan pangsa penyerapan

tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran selama kurun waktu 2007-2010.

Dengan perbaikan infrastruktur transportasi diharapkan sektor Industri dan

sektor-sektor unggulan lainnya dapat berperan kembali sebagai engine of growth

perekonomian Jawa Barat, terutama bagi industri kecil dan menengah yang

mengandalkan keunggulan komparatif yang berbasiskan sumberdaya domestik.

Namun demikian fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat

adalah bahwa investasi infrastruktur transportasi, khususnya investasi infrastruktur

jalan justru semakin memburuk. Padahal infrastruktur jalan merupakan unsur penting

yang digunakan untuk memacu pertumbuhan sektor-sektor.

Tabel 11. Perkembangan Pangsa penyerapan tenaga Kerja Menurut Sektor Pangsa (%)

No. Sektor 2007 2008 2009 2010

1 Pertanian 30.38 25.56 25.18 23.40

2 Pertambangan 0.83 0.59 0.58 0.67

3 Industri 17.53 17.81 18.18 20.00

4 Listrik, Gas dan Air 0.39 0.23 0.26 0.35

5 Bangunan 5.25 6.20 5.73 5.94

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 27.42 25.37 25.46 24.83 7 Angkutan dan Komunikasi 7.46 8.48 8.50 7.13 8 Keuangan, Real Estate, Jasa

Perusahaan 1.65 1.62 1.58 1.99

9 Jasa Lainnya 9.11 14.14 14.54 15.68

Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan)

Pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan

(14)

memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat. Pembangunan sektor-sektor

unggulan yang berkembang di Jawa Barat merupakan salah satu alternatif yang dapat

ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu, investasi

infrastruktur transportasi berdasarkan pengalaman empiris dapat menjadi salahsatu

pemicu untuk mendukung perkembangan ekonomi.

Investasi melalui pembentukan modal akan mempengaruhi kesejahteraan

ekonomi suatu bangsa. Lebih jauh lagi, investasi dalam bentuk infrastruktur

transportasi jalan sangat diperlukan untuk memperlancar proses distribusi barang dan

jasa serta mendukung proses produksi seperti halnya memperlancar arus bahan baku

dari sumbernya ke pabrik-pabrik pengolahnya. Melalui penyediaan infrastruktur

transportasi yang memadai, kelancaran distribusi barang yang diproduksi dan output

barang dan jasa di suatu wilayah dapat ditingkatkan dan kemudian dapat menjadi

sumber pendapatan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi. Untuk

menghasilkan output yang lebih besar, dapat dilakukan dengan peningkatan jumlah

faktor produksi (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Kebutuhan akan faktor produksi tenaga kerja atau non tenaga kerja bergantung pada jenis investasi yang akan

dilakukan, apakah investasi yang bersifat labour intensive atau capital intensive. Dengan demikian investasi tidak hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi,

melainkan juga dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Dalam kerangka SNSE, balas jasa terhadap tenaga kerja dan non tenaga kerja berupa

upah/gaji dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Adanya

kesempatan kerja akan membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan

pendapatannya.

Dalam perhitungan elastisitas kesempatan kerja (E) terhadap Produk Domestik

(15)

bebas dan persentase perubahan kesempatan kerja (l) merupakan variabel tak bebas,

atau dapat dirumuskan bahwa elastisitas kesempatan kerja (E) adalah laju

pertumbuhan kesempatan kerja (l) dibagi dengan laju pertumbuhan PDRB (r)

(Simanjuntak,1998). Selanjutnya, untuk memperkirakan tambahan tenaga kerja yang

tercipta berdasarkan kenaikan pertumbuhan ekonomi digunakan rumus:

l = E x r

dimana:

ltk = laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja

rntb= laju pertumbuhan PDRB

Tabel 12 menunjukkan gambaran tentang elastisitas tenaga kerja terhadap

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing sektor di Provinsi Jawa Barat

selama periode tahun 2007-2008. Tingkat elastisitas kesempatan kerja dapat dilihat

dari perbandingan antara persentase perubahan penyerapan tenaga kerja dengan

persentase perubahan Produk Domestik Regional Bruto.

Pada Periode 2007-2010, nilai elastisitas tenaga kerja Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 0.85, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1% pertumbuhan

ekonomi (PDRB) Jawa Barat membutuhkan tambahan tenaga kerja sebesar 0.85%. Penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pertambangan menyebabkan

elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap kenaikan PDRB sektor pertanian dan pertambangan tersebut negatif. Elastisitas tenaga kerja sektor pertanian dan

pertambangan pada tahun 2007-2010 masing masing sebesar minus 1.17 dan minus

0.81. Elastisitas tenaga kerja sebesar minus 0.81 bermakna bahwa meskipun nilai

tambah sektor pertambangan meningkat 2.99%, namun akan menyebabkan

(16)

Tabel 12. Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat

l

tk

r

ntb Elastisitas 2007-2010(Etk) 1 Pertanian -5.07 4.35 -1.17 2 Pertambangan -2.34 2.88 -0.81 3 Industri 8.14 2.54 3,20

4 Listrik, Gas dan Air 4.79 6.33 0,76

5 Bangunan 8.65 7.38 1,17 6 Perdagangan 0.10 6.45 0,02 7 Angkutan 3.12 5.97 0,52 8 Keuangan 10.74 5.20 2,07 9 Jasa Lainnya 26.93 4.03 6.68 Jumlah 3.49 4.12 0.85

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Selain itu, pertumbuhan sektor pertambangan yang semakin menurun dapat

diakibatkan karena pertambangan merupakan sumberdaya yang tidak dapat

diperbaharui sehingga hasilnya semakin menurun walaupun ada peningkatan investasi.

Penurunan hasil mengakibatkan sumbangannya terhadap pendapatan nasional dan

juga terhadap penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan semakin

menurun, dan lebih jauh lagi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke sektor lain yang

dianggap lebih baik. Demikian pula yang terjadi di sektor pertanian. Sektor yang

menarik pencari kerja jika dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor jasa

lainnya dan industri. Sektor industri meskipun mengalami perlambatan dalam

penciptaan nilai tambah namun mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja pada kurun waktu 2007-2010.

(17)

5.5. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga 5.5.1. Penduduk Miskin

Ekonomi Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.

Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih relatif besar jika

dibandingkan dengan provinsi provinsi lain di Indonesia. Menurut data (BPS Jawa

Barat, 2011), jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa barat pada tahun 2010 adalah

sebesar 4.716.000 jiwa (Tabel 13). Jumlah tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat

sebagai provinsi urutan ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan terbesar,

setelah Provinsi Jawa Timur (5.529.300 jiwa) dan Provinsi Jawa Tengah (5.369.200

jiwa). Kondisi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tidak diikuti dengan

penyediaan lapangan kerja menyebabkan tingkat kemiskinan bertambah dan

menciptakan paradoks antara pertumbuhan dan kemiskinan. Padahal secara teoritis

laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output yang

di hasilkan dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja,

sehingga meningkatkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya juga akan mengurangi kemiskinan.

Tabel 13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010

Tahun

Jumlah (orang) Persentase (%)

(1) (2) (3)

2009 4.852.520 11.58

2010 4.716.000 10.93

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ini. Pertama, terdapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa

(18)

yang tinggi sehingga berdampak kepada pengangguran dan akhirnya akan

menimbulkan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya

memberikan pemihakan pada sektor-sektor tertentu sehingga mempersempit peluang

berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya

jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak

dibarengi dengan tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur transportasi yang

mendukung kegiatan produksi dan kelancaran arus distribusi barang dan jasa dari

produsen ke konsumen, sehingga pembangunan di Provinsi Jawa Barat hanya

berkonsentrasi pada beberapa wilayah, terutama wilayah yang berbatasan dengan DKI

Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi

masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah terpencil.

Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mengurangi

kemiskinan.

Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan

di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan

syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Disamping itu masih terdapat syarat lain yang belum dipenuhi di dalam pertumbuhan ekonomi ini

yakni syarat kecukupan (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi mestinya menjadi modal untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah

ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di

setiap daerah dan dapat dinikmati oleh setiap golongan rumah tangga, termasuk

golongan rumah tangga miskin (growth with equity). Salah satu cara untuk mencapai

kondisi diatas adalah melalui perbaikan dan pemerataan infrastruktur transportasi di

(19)

5.5.2 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga.

Penggolongan rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan atas rumah tangga

pertanian, rumah tangga industri dan rumah tangga selain pertanian dan industri yaitu

mereka yang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas dan air minum, perdagangan,

hotel dan restoran serta jasa jasa lainnya. Sementara itu, rumah tangga pertanian

dibedakan atas buruh tani dan petani yang memiliki tanah pertanian. Sedangkan rumah

tangga industri dan rumah tangga non pertanian dan industri dikelompokkan lagi

menjadi rumah tangga golongan rendah di desa dan kota, rumah tangga bukan

angkatan kerja di desa dan di kota serta rumah tangga golongan atas di desa dan di

kota. Sebagai tambahan, yang dimaksud dengan rumah tangga golongan rendah

adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai buruh, pekerja

kasar atau pekerja manual. Sementara itu, rumah tangga bukan angkatan kerja adalah

rumah tangga dengan kepala rumah tangga penerima pendapatan seperti pensiunan,

pemilik modal (tabungan, deposito, saham dsb). Sebagai tambahan, rumah tangga

golongan atas adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga sebagai manajer, pekerja professional, ketatalaksanaan (supervisor) dan pekerjaan sejenis.

Karakteristik rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan data jumlah penduduk dan rumah tangga yang merupakan tabel satelit dari SNSE Jawa Barat, merupakan

rumah tangga non-pertanian. Sektor Pertanian yang berkontribusi sebesar 12% pada tahun 2010, dan merupakan sektor dimana bergantung sekitar 8.43 juta penduduk dari

total penduduk Jawa Barat yang sebesar 43.02 juta atau sebanyak 2.18 juta rumah

tangga. Sementara rumah tangga yang bergantung kepada sektor non pertanian

seperti industri sebesar 9.83 juta penduduk atau 2.01 juta rumah tangga dan rumah

(20)

merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 24.77 juta penduduk atau sebanyak 5.41 juta

rumah tangga (Tabel 14).

Tabel 14. Struktur Rumah tangga Jawa Barat, Tahun 2010

Kelompok RT Jumlah Penduduk (juta orang) tangga (juta RT) Jumlah Rumah

RT pertanian 8.43 2.18 Buruh pertanian 5.48 1.48 Pengusaha Pertanian 2.95 0.70 RT industri 9.83 2.01 Desa RT Golongan Bawah 2.17 0.38 Bukan Angkatan Kerja 1.28 0.28 RT Golongan Atas 0.64 0.15 Kota RT Golongan Bawah 3.00 0.53 Bukan Angkatan Kerja 1.95 0.45 RT Golongan Atas 0.80 0.23

Rt selain pertanian dan

industri 24.77 5.41 Desa RT Golongan Bawah 7.28 1.41 Bukan Angkatan Kerja 4.98 1.08 RT Golongan Atas 3.29 0.88 Kota RT Golongan Bawah 4.95 1.01 Bukan Angkatan Kerja 2.68 0.63 RT Golongan Atas 1.60 0.40 JUMLAH 43.02 9.61

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Daya tarik ekonomis dari sektor non pertanian mendorong penduduk beralih

dari sektor pertanian kepada sektor non pertanian. Pendapatan berupa upah dan gaji

sektor non pertanian yang lebih besar mendorong mereka untuk beralih profesi dari

petani menjadi pekerja pabrik, pedagang atau pekerja sektor restoran, jasa keuangan

(21)

5.5.2.1. Sumber Pendapatan Rumah tangga

Pendapatan rumah tangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer.

Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri dari; (1) pendapatan yang bersumber

dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja, (2) pendapatan yang bersumber dari balas

jasa bukan tenaga kerja (modal) termasuk imputasi sewa rumah yang ditempati sendiri,

pendapatan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja dsb. Sedangkan

pendapatan transfer meliputi; (1) tansfer yang bersumber dari rumah tangga lain, (2)

transfer dari perusahaan berupa bantuan sosial, tansfer dari pemerintah seperti

bantuan sosial termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) bantuan kesehatan

(Jamkesmas, dsb) serta (3) transfer/bantuan dari luar negeri termasuk halnya yang

berasal dari luar wilayah Jawa Barat.

Hasil estimasi dari SNSE Jawa Barat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per

kapita penduduk Jawa Barat adalah sebesar Rp 13.34 juta pertahun per orang.

Sebagian besar dari total pendapatan tersebut berasal dari kegiatan bekerja sebagai

buruh, karyawan atau pekerja keluarga sehingga menghasilkan pendapatan berupa upah dan gaji sebesar rata rata Rp 10.01 juta per penduduk. Pendapatan terbesar

adalah rumah tangga golongan atas di sektor industri dengan pendapatan rata-rata 95.00 juta per orang per tahun. Rumah tangga golongan rendah di kota yang bekerja di

sektor selain pertanian dan selain industri menerima pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain dalam kerangka SNSE Jawa Barat

yaitu sebesar Rp 3.98 juta perkapita. Secara rata-rata penduduk yang bekerja di sektor

industri memperoleh pendapatan paling besar dibandingkan dengan golongan rumah

tangga lain. Penerima pendapatan terendah di sektor industri adalah rumah tangga

(22)

sementara penerima pendapatan tertinggi di sektor industri adalah rumah tangga

golongan atas yaitu sebesar Rp 95.01 juta (Tabel 15).

Sebagian besar pendapatan rumah tangga di Jawa barat adalah pendapatan

dari upah dan gaji yaitu secara rata-rata sebesar 75.0% dari total pendapatan,

pendapatan dari kapital (bunga, deviden, sewa dsb) sebesar 24.1% dan sisanya

merupakan pendapatan dari transfer baik dari rumah tangga, pemerintah, perusahaan

maupun dari transfer luar negeri yaitu 0.9% (Tabel 15). Pendapatan rumah tangga

industri juga memiliki ketergantungan pendapatan yang berasal upah dan gaji sebagai

kompensasi jasa tenaga kerja yang bekerja di sektor industri dengan persentase

sebesar 75% sampai dengan 90.5% (bagi rumah tangga BAK) dari total pendapatan

rumah tangga. Rumah tangga pertanian tidak terlalu berharap dari upah pertanian

mengingat tingkat upah di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan

tingkat upah di sektor lainnya seperti halnya upah pada sektor industri. Sekitar 85%

pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari upah dan gaji.

5.5.2.2. Struktur Pengeluaran Rumah tangga.

Struktur pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam meningkatkan pendapatannya. Semakin rendah persentase konsumsi

akhir semakin besar tabungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan kapital dari tabungan. Dari data Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata rata lebih dari

80% pendapatan digunakan untuk konsumsi akhir. Bahkan untuk rumah tangga

golongan rendah baik yang bekerja di sektor industri maupun diluar sektor industri dan

pertanian mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pendapatannya terutama buruh tani

yang mengkonsumsi 96.5% dari total pendapatannya. Sulit bagi rumah tangga dengan

(23)

sektor industri dan di kota dengan konsumsi sebesar 92.1% untuk meningkatkan

pendapatannya kecuali ada campur tangan langsung pemerintah melalui bantuan

pendidikan, kesehatan atau program cash transfer seperti halnya bantuan langsung

tunai (BLT).

(24)

Besarnya konsumsi rumah tangga berhubungan linear dengan tingkat tabungan

rumah tangga. Semakin besar konsumsi akhir semakin rendah tabungan rumah

tangga. Rumah tangga golongan atas baik di sektor industri dan sektor jasa-jasa

mempunyai tingkat tabungan (saving rate) relatif tinggi dibandingkan dengan golongan

rumah tangga lain. Rumah tangga golongan atas di sektor jasa-jasa mempunyai

tabungan sebesar 27.7% baik di desa maupun di kota. Sementara tabungan rumah

tangga golongan atas di sektor industri di kota sebesar 20.7% dan di desa 18.8%

(25)

RT Golonga n Bawah Bukan Angkata n Kerja RT Golonga n Atas RT Golong an Bawah Bukan Angkatan Kerja Jumlah Penduduk (juta orang) 43,02 5,48 2,95 2,17 1,28 0,64 3,00 1,95 Jumlah Rumah tangga (juta rt) 9,61 1,48 0,70 0,38 0,28 0,15 0,53 0,45

1. Upah dan gaji 75,0 85,6 86,2 85,9 75,2 86,6 89,7 90,5

2. Pendapatan kapital 24,1 12,2 13,1 12,2 23,7 13,1 10,0 9,3

3. Penerimaan transfer dari : 0,9 2,2 0,7 1,9 1,1 0,3 0,3 0,1

- RT 0,7 2,1 0,6 1,7 0,5 0,0 0,2 0,0

- Perusahaan 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1

- Pemerintah 0,1 0,0 0,0 0,0 0,4 0,2 0,1 0,0

- Luar Negeri 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0

4. Jumlah pendapatan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

5. Pembayaran pajak langsung 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1

6. Pendapatan RT setelah pajak 99,9 100,0 99,9 99,9 99,8 100,0 100,0 99,9

7. Pembayaran transfer ke : 0,7 0,7 0,4 0,5 1,0 0,4 0,6 0,5 - RT 0,7 0,7 0,4 0,5 0,9 0,4 0,6 0,5 - Perusahaan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 - Luar Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 8. Pendapatan Disposabel 99,2 99,2 99,5 99,4 98,8 99,5 99,4 99,5 9. Pengeluaran konsumsi 81,6 96,5 84,6 91,3 91,2 80,8 92,1 90,4 10. Tabungan 17,6 2,7 14,9 8,1 7,6 18,8 7,3 9,1

Sumber: SNSE Jawa barat 2010 diolah

Jawa Barat, 2010 (persen)

Jumlah

Pangsa (%)

Pertanian Bukan Pertanian

Buruh Pengus aha Pertani an Industri Desa Kota

(26)

RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas 0,80 7,28 4,98 3,29 4.95 2.68 1.6 0,23 1,41 1,08 0,88 1.01 0.63 0.4 90,3 45,4 27,2 55,4 70.9 63.1 78.9 8,1 54,0 68,0 44,0 28.6 36.6 20.8 1,6 0,6 4,8 0,6 0.5 0.4 0.3 1,5 0,1 4,3 0,1 0.3 0 0 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 0,0 0,2 0,2 0,3 0 0.2 0.1 0,0 0,0 0,1 0,1 0 0.1 0.1 100,0 100,0 100,0 100,0 100 100 100 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 99,9 99,8 99,8 99,8 99.8 99.9 100 0,3 1,2 1,1 0,6 0.9 1.2 1.1 0,3 1,1 1,1 0,5 0.8 1.1 1 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0.1 99,6 98,6 98,7 99,3 99 98.7 98.8 78,9 82,4 90,0 71,5 93.5 92.5 71.1 20,7 16,2 8,7 27,8 5.4 6.2 27.7

Jawa Barat, 2010 (persen)

Pangsa (%)

Bukan Pertanian

Industri Bukan Industri

Gambar

Tabel 8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-Rata Pertumbuhan PDRB      Provinsi  Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010  	
  
Tabel  9.  Penduduk  Berumur  15  Tahun  Keatas  Menurut  Jenis  Kegiatan  Utama,  TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat
Tabel 11. Perkembangan Pangsa penyerapan tenaga Kerja Menurut Sektor  Pangsa (%)
Tabel 12.  Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat             l tk          r ntb Elastisitas  2007-2010(E tk )  1  Pertanian  -5.07  4.35  -1.17   2  Pertambangan  -2.34  2.88  -0.81  3  Industri  8.14  2.54  3,20
+2

Referensi

Dokumen terkait

Brosur merupakan alat pengenalan kepada calon nasabah, akan tetapi brosur bukan menjadi alat yang paling unggul untuk merekrut nasabah karena di BMT Fajar Mulia

Berdasarkan hasil penelitian skrining fitokimia diketahui bahwa tanaman katuk positif mengandung senyawa metabolit ste- roid sedangkan jantung pisang disinyalir

Sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran dan tahapan pertumbuhan sosial saat itu, Nabi memberikan petunjuk-petunjuk operasional dan teladan- teladan nyata

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui volume lalulintas di Ruas dan Simpang Kawasan Kerten (meliputi Simpang Kerten, Simpang Manahan, Simpang Purwosari, Simpang Uniba,

disajikan tabel mengenai rasio keuangan perusahaan terkait..

sebahagian besar daripada KIR yang telah terlibat dalam berkongsi manfaat aktiviti dan program di bawah SPKR memaklumkan bahawa mereka tidak menerima sebarang kemudahan dari

Sumber data dalam penelitian ini ada 3 jenis, yaitu narasumber (orang), peristiwa, dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan

Ing wekdal punika kula sowan ingkang sapisan ngaturaken nderek prihatos lan kaping kalihipun saperlu badhe ngaturaken bantuan kagem panjenengan sedaya.. Bantuan punika sageda