DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT
5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian
Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting
sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana
untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat-pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah wilayah
potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital
yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi
infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat
bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh
produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu
memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan.
Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur yang
tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama
Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah
diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, serta peningkatan anggaran
stimulus fiskal pada bidang infrastruktur menunjukkan perhatian pemerintah yang
sangat besar pada pembangunan infrastruktur (termasuk halnya infrastruktur
mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur terkait
dengan dampaknya terhadap perekonomian.
Perluasan kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam merencanakan
dan mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan,
memberikan peluang yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan
aktivitas pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta memilih
sektor-sektor ekonomi unggulan yang akan dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi
sumber daya lokal pada berbagai daerah pada gilirannya akan menghasikan
pertumbuhan ekonomi agregat yang tinggi di tingkat nasional.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah ekonomi potensial yang memiliki
berbagai keunggulan seperti halnya dari sisi letak geografis. Peningkatan alokasi
anggaran untuk belanja infrastruktur transportasi diyakini akan menstimulasi
peningkatan investasi baik berskala nasional maupun internasional. Letak geogragis
Provinsi Jawa Barat yang berdekatan dengan ibu kota DKI Jakarta yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia serta letak geografis Provinsi Jawa
barat di pulau Jawa yang memiliki penduduk terbanyak merupakan potensi ekonomi besar yang dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Jawa Barat.
Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari
wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat dan pengembangan wilayah wilayah
potensial terutama yang berada di wilayah bagian selatan Jawa Barat. Terkait dengan
hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas
berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang
mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor
unggulan yang berkembang di Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor
pertanian. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan
infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang
potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah
tersebut, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta memperbaiki dan meningkatkan
pendapatan di wilayah wilayah terpencil sehingga mampu memperbaiki pemerataan
pendapatan dari berbagai golongan rumah tangga maupun dari segi kewilayahan.
Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan
menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian daerah Jawa Barat.
5.2. Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan
Menimbang pengalaman dari pentingnya pembangunan infrastruktur
transportasi dalam peningkatan perekonomian suatu daerah, penyerapan tenaga kerja,
serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka fungsi infrastruktur transportasi jalan adalah sangat strategis dalam memperbaiki kinerja pembangunan, memperbaiki
kesejahteraan masyarakat, mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat, serta mengurangi pengangguran. Keterlambatan dalam pembangunan investasi infrastruktur
transportasi tersebut diduga akan sangat berdampak negatif kepada perekonomian, distribusi pendapatan serta penyerapan tenaga kerja.
Berdasarkan data, kondisi infrastruktur transportasi berupa panjang jalan di
wilayah Jawa Barat, sampai dengan akhir tahun 2010 adalah 25.803 km (Tabel 5).
Jumlah ini meningkat hanya 0.1% dibandingkan dengan panjang jalan Jawa Barat
pada tahun 2009 yang berjumlah 25.774 km. Sementara itu dapat diungkapkan pula
dengan panjang jalan pada tahun 2008 yang berjumlah 25.857 km. Gambaran lengkap
perubahan panjang jalan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Panjang Jalan (km) No. Tingkat Kewenangan Pemerintah 2008 2009 2010 1 Jalan Negara 1.141 1.351 1.351 (18.4) (0) 2 Jalan Provinsi 2.141 2.199 2.199 (2.7) (0) 3 Jalan Kabupaten 22.575 22.224 22.253 (-1.6) (0.1) Jumlah 25.857 25.774 25.803 (-0.3) (0.1)
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011 Keterangan: angka (…) menunjukkan pertumbuhan dalam persen
Secara umum kondisi infrastruktur yang tidak baik di Provinsi Jawa Barat
terutama terjadi pada jalan kabupaten yang merupakan kewenangan pemerintah
kabupaten/kota. Dari Tabel 5 juga dapat dilihat terjadi penurunan panjang jalan yang
berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten sebesar minus 1.6% pada tahun
2009 dan terjadi peningkatan hanya 0.1% pada kategori jalan yang sama pada tahun
2010. Sementara itu perkembangan panjang jalan yang merupakan kewenangan
pemerintah provinsi juga mengalami perubahan yang kurang menggembirakan.
Setelah mengalami perkembangan pada tahun 2009 sebesar 2.7%, justru sama sekali
tidak mengalami pertumbuhan pada tahun 2010. Kondisi ini diperparah dengan kondisi
jalan yang semakin buruk, dimana kerusakan jalan tidak hanya terjadi diperkotaan
(kotamadya) namun juga di pedesaan (kabupaten).
Sebagai tambahan, berdasarkan data, kondisi jalan yang masih dalam keadaan
baik di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 adalah 8.895 km, dan angka ini berkurang
Tabel 5. Perkembangan Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintah, Tahun 2008-2010
menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010 (Tabel 6). Di sisi lain dapat dipaparkan
bahwa kondisi jalan yang rusak di Provinsi Jawa barat meningkat dari 5.199 km pada
tahun 2009, menjadi 5.694 km pada akhir tahun 2010.
Selain perkembangan panjang jalan yang tidak memadai dalam mendukung
perekonomian Jawa Barat, kondisi ini diperburuk dengan kualitas jalan yang semakin
memburuk sampai dengan tahun 2010. Kualitas jalan di Jawa Barat yang masih baik
tahun 2009 sepanjang 8.895,5 km dan semakin sedikit menjadi 7.980,1 km pada tahun
2010. Sementara kondisi jalan dengan kualitas sedang pada tahun 2009 sebesar
55.030,1 km menurun menjadi 5.342,8 km pada tahun 2010. Demikian pula kondisi
jalan rusak meningkat dari 5.199 km pada tahun 2009 menjadi 5.694,0 km pada tahun
2010.
Panjang Jalan (km) Kondisi Jalan 2009 2010
(1) (2) (3)
Panjang Jalan 22.006,4 21.760,8
A. Kualitas jalan
a.1. Baik 8.895,5 7.980,1
a.2. Sedang 5.507,1 5.342,8
a.3. Rusak 5.199,2 5.694,0
a.4. Rusak berat 2.404,5 2.819,6 B. Jenis permukaan Jalan
b.1. Aspal 18.419,8 18.275,3
b.2. Kerikil 2.722,2 2.512,0
b.3. Tanah 809,7 605,6
b.4. Tidak dirinci 50,7 328,03 Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Bahkan, panjang jalan yang mengalami rusak parah pada tahun 2009 yang tadinya
adalah 2.404 km, pada tahun 2010 menjadi lebih buruk lagi yaitu menjadi 2.819,6 km.
Tabel 6. Perkembangan Kondisi Jalan Menurut Kualitas dan Jenis Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2009 - 2010 (km)
Kondisi jalan yang beraspal maupun jalan kerikil juga menunjukkan kondisi semakin
buruk. Kondisi jalan beraspal pada tahun 2009 adalah sebesar 18.419,8 km menjadi
18.275,3 km dan kondisi jalan kerikil juga semakin menyusut dari tahun 2009 yang
sebesar 2.722,2 km berkurang menjadi 2.512,0 km
5.3. Struktur dan Kinerja Perekonomian
Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI Jakarta
dan Jawa Timur. Sesuai dengan data statistik, peranan Provinsi Jawa Barat dalam
penciptaan nilai tambah nasional adalah sebesar 14.7% dibawah DKI Jakarta (16.4%)
dan Jawa Timur (14.8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat
perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) serta letak Provinsi Jawa Barat di pulau
Jawa yang sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting
bagi pusat pertumbuhan nasional.
Dari segi struktur perekonomian, seperti terlihat pada Tabel 7, provinsi Jawa
Barat dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran serta Sektor Pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor Industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% dimana terutama berasal
dari industri alat angkutan, mesin dan peralatannya serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Sementara itu, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
mempunyai kontribusi sebesar 22.4% dan kontribusi Sektor Pertanian adalah sebesar
12.6%.
Dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, kontribusi sektor Industri selama
tahun 2007-2010 terhadap total PDRB Jawa Barat berdasarkan harga berlaku memiliki
menjadi 37.7% pada tahun 2010. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran
kontribusinya tidak mencapai 20% pada tahun 2007, namun meningkat pada tahun
2010 menjadi 22.4%. Sebagai tambahan, kontribusi sektor pertanian berkisar 11% –
12%.
Meskipun Sektor Industri merupakan salah satu sektor penting dalam
perekonomian Jawa Barat, namun peranannya didalam pembentukan nilai tambah
menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Peranan sektor industri Jawa
Barat tahun 2007 sebesar 45.0% dan menurun menjadi hanya sebesar 37.7% pada
tahun 2010 (Tabel 7). Penurunan tersebut terjadi pada seluruh jenis industri termasuk
industri utama Jawa Barat yaitu industri alat angkutan, mesin dan peralatan serta
industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Apabila deindustrialisasi dilihat hanya
sebagai penurunan peranan sektor Industri dalam perekonomian, maka bisa dikatakan
bahwa telah terjadi deindustrialisasi di Provinsi Jawa Barat seperti halnya gejala
deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia yang banyak diperkirakan para ahli
(Priyarsono, 2010).
Bertolak belakang dengan sektor industri, sektor yang menunjukkan peranan
yang meningkat adalah sektor jasa jasa terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pasar retail terutama yang menjual
produk dari industri tekstil dan pakaian jadi serta alas kaki mengalami perkembangan cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian patut disayangkan
bahwa pertumbuhan sektor perdagangan tersebut banyak didominasi oleh
produk-produk perdagangan impor, khususnya pakaian jadi dan alas kaki dari Cina.
Sementara itu produk tekstil, pakaian jadi dan alas kaki di Jawa Barat menunjukkan
Pangsa (%)
Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Pertanian 12.0 11.5 12.3 12.6
2. Pertambangan & Penggalian 2.4 2.4 1.9 2.0
3. Industri Pengolahan 45.0 43.7 40.8 37.7
a. Industri Migas 2.6 3.7 3.0 2.6
b. Industri Tanpa Migas **) 42.4 40.0 37.8 35.1
1. Makanan, Minuman dan
Tembakau 4.6 4.2 4.4 4.0
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 12.1 10.1 9.5 8.2 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan
lainnya 0.5 0.4 0.5 0.4
4. Kertas dan Barang Cetakan 0.8 0.7 0.7 0.8
5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 4.4 3.3 3.3 2.7 6. Semen & Brg. Galian bukan
logam 0.9 0.9 0.9 0.9
7. Logam Dasar Besi & Baja 0.3 0.2 0.2 0.2 8. Alat Angk., Mesin &
Peralatannya 18.0 19.6 17.7 17.5
9. Barang lainnya 0.8 0.7 0.7 0.5
4. Listrik, Gas & Air Bersih 2.9 2.7 2.8 2.8
5. Bangunan 3.0 3.4 3.5 3.8
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 19.1 20.5 21.6 22.4
7. Pengangkutan & Komunikasi 5.9 5.7 6.1 7.1
8. Keuangan, Persewaan, & Js.
Prsh. 2.9 2.7 2.7 2.7
9. Jasa-Jasa 6.8 7.4 8.2 8.9
PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO 100.0 100.0 100.0 100.0
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Peranan sektor industri yang terus menunjukkan penurunan didukung oleh tren
dari peran masing masing sektor dari tahun 2007 s/d tahun 2010. Gambaran
pertumbuhan PDRB sektor atas dasar harga berlaku mengindikasikan bahwa semakin
rendah pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku suatu sektor dibandingkan
dengan pertumbuhan sektor lainnya maka peranan sektor tersebut juga akan semakin
Tabel 7. Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010
berkurang dalam perekonomian suatu daerah. Dengan demikian maka akan terjadi
pergeseran peran sektor dan perubahan struktur ekonomi di daerah tersebut.
Indikasi adanya perubahan peran sektor dan struktur ekonomi di Jawa Barat
juga terlihat dalam beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 8. Sektor
industri di Jawa Barat mengalami pertumbuhan dengan rata rata pertumbuhan hanya
sekitar 5% dari tahun 2007 s/d tahun 2010 dibawah pertumbuhan perekonomian
secara total (10.2%). Kinerja sub-sektor industri tekstil, pakaian jadi barang dari kulit
dan alas kaki lebih buruk lagi dengan rata rata pertumbuhan PDRB atas dasar harga
berlaku terkontraksi sebesar minus 0.1%.
Gambaran perubahan tren peran sektoral di Jawa Barat juga mengindikasikan
bahwa peran sektor jasa jasa menunjukkan peran yang semakin meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Sektor jasa jasa seperti perdagangan, hotel dan restoran
tumbuh sangat signifikan di atas pertumbuhan rata-rata Jawa Barat yaitu sebesar
14.9%. Sektor jasa lainnya seperti jasa sosial, jasa perorangan, jasa kemasyarakatan
menunjukkan trend rata rata pertumbuhan tertinggi dengan pertumbuhan sebesar 17.9%. Sementara sektor pertanian juga menunjukkan pertumbuhan yang berada
diatas rata rata pertumbuhan Jawa Barat yaitu tumbuh rata rata sebesar 11.7%.
Penurunan peranan sektor industri tentunya menjadi kekhawatiran bagi
pemerintah di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Sektor industri yang diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi penduduk Jawa Barat justru mengalami
kemunduran baik dalam peranannya dalam perekonomian maupun kinerja yang
semakin menurun. Penurunan peranan yang terjadi dan berlangsung terus menerus
dalam beberapa tahun terakhir ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku sektor Industri yang
pertumbuhan sektor Pertambangan. Namun sembilan sektor lainnya tumbuh lebih
tinggi dibandingkan sektor Industri, terutama sektor jasa-jasa seperti halnya Jasa
Angkutan dan Komunikasi serta Jasa Lainnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kinerja pertumbuhan sektor industri masih lebih rendah dibandingkan dengan kinerja
sektor jasa-jasa maupun sektor pertanian dalam kurun waktu tahun 2007-2010.
Jumlah (Milyar Rupiah)
pertum buhan (%) Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. Pertanian 62.894,90 72.517,61 85.149,26 97.194,39 11.7
2. Pertambangan & Penggalian 12.621,31 14.904,13 13.278,19 15.546,26 6.1
3. Industri Pengolahan 236.628,97 276.714,35 281.275,08 290.754,72 5.5
a. Industri Migas 13.426,61 23.274,95 20.824,13 19.934,07 14.6 b. Industri Tanpa Migas **) 223.202,36 253.439,40 260.450,95 270.820,66 5.1 1. Makanan, Minuman dan
Tembakau 24.013,59 26.349,97 30.251,88 31.166,27 6.9
2. Tekstil, Brg. Kulit & Alas kaki 63.551,78 64.043,30 65.340,91 63.250,05 -0.1 3. Brg. Kayu & Hasil Hutan
lainnya 2.664,30 2.702,43 3.260,14 3.178,66 4.9
4. Kertas dan Barang Cetakan 4,277.09 4.213,11 4.560,00 5.861,65 8.8 5. Pupuk, Kimia & Brg. dari Karet 23.296,72 20.733,77 22.959,64 20.696,98 -2.5 6. Semen & Brg. Galian bukan
logam 4.792,83 5.502,08 6.016,82 6.564,96 8.3
7. Logam Dasar Besi & Baja 1.596,81 1.513,72 1.571,91 1.558,64 -0.6 8. Alat Angk., Mesin &
Peralatannya 9,858,10 124.181,43 121.767,54 134.569,01 9.9 9. Barang lainnya 4.151,15 4.199,59 4.722,11 3.974,45 -0.6 4. Listrik, Gas & Air Bersih 15.414,04 16.913,62 19.549,19 21.294,46 8.6
5. Bangunan 15.906,66 21.596,58 24.223,19 29.047,79 17.0
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 100.691,12 129.912,05 149.056,00 172.713,20 14.9 7. Pengangkutan & Komunikasi 30.787,32 36.401,48 41.820,99 54.635,68 15.9 8. Keuangan, Persewaan, & Js.
Prsh. 15.248,88 17.228,06 18.802,86 21.155,31 8.7
9. Jasa-Jasa 36.027,03 47.095,62 56.686,56 68.318,69 17.9
PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO 526.220,23 633.283,48 689.841,31 770.660,51 10.2
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah
Tabel 8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-Rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor Tahun 2007-2010
5.4. Ketenagakerjaan
Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Barat pada tahun 2008 sampai dengan tahun
2010 dapat dilihat pada Tabel 9. Dari keseluruhan angkatan kerja di Jawa Barat pada
tahun 2010, yang berjumlah sekitar 18.89 juta orang terdapat angkatan kerja yang
bekerja sebesar 16.94 orang dan sisanya termasuk ke dalam kategori penganggur
berjumlah 1.95 juta orang (10.33%). Jumlah penganggur pada tahun 2010 tersebut
lebih rendah dari jumlah penganggur pada tahun 2009 atau menurun dari tahun
sebelumnya yang mencapai 2.08 juta orang (10.96%) seperti terlihat pada Tabel 9.
Secara ekonomis, upaya untuk menurunkan jumlah pengangguran terbuka melalui
peningkatan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih belum mampu
mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Secara umum kemampuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat masih terbatas. Sebagai
tambahan, kemampuan menciptakan lapangan kerja di Provinsi Jawa Barat juga relatif
kecil dan bahkan terdapat kecenderungan mengalami penurunan.
Tabel 9. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat
Jenis Kegiatan Utama 2008 2009 2010
I. Angkatan Kerja (orang) 18.743.979 18.981.260 18.893.835 1. Bekerja 16.480.395 16.901.430 16.942.444 2. Penganggur 2.263.584 2.079.830 1.951.391 II. Bukan Angkatan Kerja 10.966.139 11.200.929 11.394.174
Jumlah 29.710.118 30.182.189 30.288.009
I. Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja/TPAK (%) 87.92 89.04 89.67
II. Tingkat Pengangguran (%) 12.08 10.96 10.33
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Secara teoritis, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja, dengan asumsi terjadi peningkatan investasi. Sementara itu
Barat dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung didorong oleh peningkatan
permintaan domestik, khususnya pada konsumsi akhir. Investasi sendiri cenderung
tidak meningkat dan bahkan dalam beberapa tahun sebelumnya mengalami
penurunan. Dengan demikian, meskipun perekonomian telah meningkat namun
penciptaan lapangan kerja dapat dikatakan masih sangat lambat. Gambaran
persentase pertumbuhan angkatan kerja dan bukan angkatan kerja Jawa Barat, tahun
2009-2010 dapat diihat pada tabel 10.
Pertumbuhan (%)
Jenis Kegiatan Utama
2009 2010
I. Angkatan Kerja 1.27 -0.46
1. Bekerja 2.55 0.24
2. Penganggur -8.12 -6.16
II. Bukan Angkatan Kerja 2.14 1.73
Jumlah 1.59 0.35
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011, diolah
Berdasarkan pada hasil analisis, selama tahun 2010, penyerapan tenaga kerja
di provinsi Jawa Barat adalah 16.94 juta orang, dimana diserap oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran 24.83%; sektor pertanian sebesar 23.4%; sektor
industri sebesar 20.00% dan sektor jasa lainnya 15.68%. Dari Tabel 11 dapat dilihat
bahwa sektor listrik, gas dan air menyerap tenaga kerja dalam persentase terkecil
(0.35%). Perkembangan pangsa penyerapan tenaga kerja sektor pertanian selama
periode 2007-2010 menunjukkan penurunan, sementara itu pada periode yang sama
Tabel 10. Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja Jawa Barat, Tahun 2009 – 2010
pangsa penyerapan tenaga kerja sektor industri justru mengalami kenaikan. Kenaikan
pangsa penyerapan tenaga kerja yang mengalami kenaikan sangat signifikan juga
terjadi pada sektor jasa lainnya, yaitu sebesar 9.11% pada tahun 2007 menjadi 15.68%
pada tahun 2010. Temuan lain menunjukkan adanya penurunan pangsa penyerapan
tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran selama kurun waktu 2007-2010.
Dengan perbaikan infrastruktur transportasi diharapkan sektor Industri dan
sektor-sektor unggulan lainnya dapat berperan kembali sebagai engine of growth
perekonomian Jawa Barat, terutama bagi industri kecil dan menengah yang
mengandalkan keunggulan komparatif yang berbasiskan sumberdaya domestik.
Namun demikian fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat
adalah bahwa investasi infrastruktur transportasi, khususnya investasi infrastruktur
jalan justru semakin memburuk. Padahal infrastruktur jalan merupakan unsur penting
yang digunakan untuk memacu pertumbuhan sektor-sektor.
Tabel 11. Perkembangan Pangsa penyerapan tenaga Kerja Menurut Sektor Pangsa (%)
No. Sektor 2007 2008 2009 2010
1 Pertanian 30.38 25.56 25.18 23.40
2 Pertambangan 0.83 0.59 0.58 0.67
3 Industri 17.53 17.81 18.18 20.00
4 Listrik, Gas dan Air 0.39 0.23 0.26 0.35
5 Bangunan 5.25 6.20 5.73 5.94
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 27.42 25.37 25.46 24.83 7 Angkutan dan Komunikasi 7.46 8.48 8.50 7.13 8 Keuangan, Real Estate, Jasa
Perusahaan 1.65 1.62 1.58 1.99
9 Jasa Lainnya 9.11 14.14 14.54 15.68
Jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: BPS (berbagai tahun terbitan)
Pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan
memberikan lapangan kerja yang cukup bagi masyarakat. Pembangunan sektor-sektor
unggulan yang berkembang di Jawa Barat merupakan salah satu alternatif yang dapat
ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu, investasi
infrastruktur transportasi berdasarkan pengalaman empiris dapat menjadi salahsatu
pemicu untuk mendukung perkembangan ekonomi.
Investasi melalui pembentukan modal akan mempengaruhi kesejahteraan
ekonomi suatu bangsa. Lebih jauh lagi, investasi dalam bentuk infrastruktur
transportasi jalan sangat diperlukan untuk memperlancar proses distribusi barang dan
jasa serta mendukung proses produksi seperti halnya memperlancar arus bahan baku
dari sumbernya ke pabrik-pabrik pengolahnya. Melalui penyediaan infrastruktur
transportasi yang memadai, kelancaran distribusi barang yang diproduksi dan output
barang dan jasa di suatu wilayah dapat ditingkatkan dan kemudian dapat menjadi
sumber pendapatan bagi tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi. Untuk
menghasilkan output yang lebih besar, dapat dilakukan dengan peningkatan jumlah
faktor produksi (tenaga kerja dan non tenaga kerja). Kebutuhan akan faktor produksi tenaga kerja atau non tenaga kerja bergantung pada jenis investasi yang akan
dilakukan, apakah investasi yang bersifat labour intensive atau capital intensive. Dengan demikian investasi tidak hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi,
melainkan juga dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat. Dalam kerangka SNSE, balas jasa terhadap tenaga kerja dan non tenaga kerja berupa
upah/gaji dan keuntungan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Adanya
kesempatan kerja akan membuka peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan
pendapatannya.
Dalam perhitungan elastisitas kesempatan kerja (E) terhadap Produk Domestik
bebas dan persentase perubahan kesempatan kerja (l) merupakan variabel tak bebas,
atau dapat dirumuskan bahwa elastisitas kesempatan kerja (E) adalah laju
pertumbuhan kesempatan kerja (l) dibagi dengan laju pertumbuhan PDRB (r)
(Simanjuntak,1998). Selanjutnya, untuk memperkirakan tambahan tenaga kerja yang
tercipta berdasarkan kenaikan pertumbuhan ekonomi digunakan rumus:
l = E x r
dimana:
ltk = laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja
rntb= laju pertumbuhan PDRB
Tabel 12 menunjukkan gambaran tentang elastisitas tenaga kerja terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masing-masing sektor di Provinsi Jawa Barat
selama periode tahun 2007-2008. Tingkat elastisitas kesempatan kerja dapat dilihat
dari perbandingan antara persentase perubahan penyerapan tenaga kerja dengan
persentase perubahan Produk Domestik Regional Bruto.
Pada Periode 2007-2010, nilai elastisitas tenaga kerja Provinsi Jawa Barat adalah sebesar 0.85, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1% pertumbuhan
ekonomi (PDRB) Jawa Barat membutuhkan tambahan tenaga kerja sebesar 0.85%. Penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pertambangan menyebabkan
elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap kenaikan PDRB sektor pertanian dan pertambangan tersebut negatif. Elastisitas tenaga kerja sektor pertanian dan
pertambangan pada tahun 2007-2010 masing masing sebesar minus 1.17 dan minus
0.81. Elastisitas tenaga kerja sebesar minus 0.81 bermakna bahwa meskipun nilai
tambah sektor pertambangan meningkat 2.99%, namun akan menyebabkan
Tabel 12. Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat
l
tkr
ntb Elastisitas 2007-2010(Etk) 1 Pertanian -5.07 4.35 -1.17 2 Pertambangan -2.34 2.88 -0.81 3 Industri 8.14 2.54 3,204 Listrik, Gas dan Air 4.79 6.33 0,76
5 Bangunan 8.65 7.38 1,17 6 Perdagangan 0.10 6.45 0,02 7 Angkutan 3.12 5.97 0,52 8 Keuangan 10.74 5.20 2,07 9 Jasa Lainnya 26.93 4.03 6.68 Jumlah 3.49 4.12 0.85
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Selain itu, pertumbuhan sektor pertambangan yang semakin menurun dapat
diakibatkan karena pertambangan merupakan sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui sehingga hasilnya semakin menurun walaupun ada peningkatan investasi.
Penurunan hasil mengakibatkan sumbangannya terhadap pendapatan nasional dan
juga terhadap penghasilan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan semakin
menurun, dan lebih jauh lagi mendorong pekerja untuk bermigrasi ke sektor lain yang
dianggap lebih baik. Demikian pula yang terjadi di sektor pertanian. Sektor yang
menarik pencari kerja jika dilihat dari penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor jasa
lainnya dan industri. Sektor industri meskipun mengalami perlambatan dalam
penciptaan nilai tambah namun mengalami peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja pada kurun waktu 2007-2010.
5.5. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga 5.5.1. Penduduk Miskin
Ekonomi Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.
Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih relatif besar jika
dibandingkan dengan provinsi provinsi lain di Indonesia. Menurut data (BPS Jawa
Barat, 2011), jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa barat pada tahun 2010 adalah
sebesar 4.716.000 jiwa (Tabel 13). Jumlah tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat
sebagai provinsi urutan ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan terbesar,
setelah Provinsi Jawa Timur (5.529.300 jiwa) dan Provinsi Jawa Tengah (5.369.200
jiwa). Kondisi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tidak diikuti dengan
penyediaan lapangan kerja menyebabkan tingkat kemiskinan bertambah dan
menciptakan paradoks antara pertumbuhan dan kemiskinan. Padahal secara teoritis
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output yang
di hasilkan dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja,
sehingga meningkatkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya juga akan mengurangi kemiskinan.
Tabel 13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010
Tahun
Jumlah (orang) Persentase (%)
(1) (2) (3)
2009 4.852.520 11.58
2010 4.716.000 10.93
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ini. Pertama, terdapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa
yang tinggi sehingga berdampak kepada pengangguran dan akhirnya akan
menimbulkan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya
memberikan pemihakan pada sektor-sektor tertentu sehingga mempersempit peluang
berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya
jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak
dibarengi dengan tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur transportasi yang
mendukung kegiatan produksi dan kelancaran arus distribusi barang dan jasa dari
produsen ke konsumen, sehingga pembangunan di Provinsi Jawa Barat hanya
berkonsentrasi pada beberapa wilayah, terutama wilayah yang berbatasan dengan DKI
Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi
masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah terpencil.
Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mengurangi
kemiskinan.
Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan
di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan
syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Disamping itu masih terdapat syarat lain yang belum dipenuhi di dalam pertumbuhan ekonomi ini
yakni syarat kecukupan (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi mestinya menjadi modal untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah
ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di
setiap daerah dan dapat dinikmati oleh setiap golongan rumah tangga, termasuk
golongan rumah tangga miskin (growth with equity). Salah satu cara untuk mencapai
kondisi diatas adalah melalui perbaikan dan pemerataan infrastruktur transportasi di
5.5.2 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga.
Penggolongan rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan atas rumah tangga
pertanian, rumah tangga industri dan rumah tangga selain pertanian dan industri yaitu
mereka yang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas dan air minum, perdagangan,
hotel dan restoran serta jasa jasa lainnya. Sementara itu, rumah tangga pertanian
dibedakan atas buruh tani dan petani yang memiliki tanah pertanian. Sedangkan rumah
tangga industri dan rumah tangga non pertanian dan industri dikelompokkan lagi
menjadi rumah tangga golongan rendah di desa dan kota, rumah tangga bukan
angkatan kerja di desa dan di kota serta rumah tangga golongan atas di desa dan di
kota. Sebagai tambahan, yang dimaksud dengan rumah tangga golongan rendah
adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai buruh, pekerja
kasar atau pekerja manual. Sementara itu, rumah tangga bukan angkatan kerja adalah
rumah tangga dengan kepala rumah tangga penerima pendapatan seperti pensiunan,
pemilik modal (tabungan, deposito, saham dsb). Sebagai tambahan, rumah tangga
golongan atas adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga sebagai manajer, pekerja professional, ketatalaksanaan (supervisor) dan pekerjaan sejenis.
Karakteristik rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan data jumlah penduduk dan rumah tangga yang merupakan tabel satelit dari SNSE Jawa Barat, merupakan
rumah tangga non-pertanian. Sektor Pertanian yang berkontribusi sebesar 12% pada tahun 2010, dan merupakan sektor dimana bergantung sekitar 8.43 juta penduduk dari
total penduduk Jawa Barat yang sebesar 43.02 juta atau sebanyak 2.18 juta rumah
tangga. Sementara rumah tangga yang bergantung kepada sektor non pertanian
seperti industri sebesar 9.83 juta penduduk atau 2.01 juta rumah tangga dan rumah
merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 24.77 juta penduduk atau sebanyak 5.41 juta
rumah tangga (Tabel 14).
Tabel 14. Struktur Rumah tangga Jawa Barat, Tahun 2010
Kelompok RT Jumlah Penduduk (juta orang) tangga (juta RT) Jumlah Rumah
RT pertanian 8.43 2.18 Buruh pertanian 5.48 1.48 Pengusaha Pertanian 2.95 0.70 RT industri 9.83 2.01 Desa RT Golongan Bawah 2.17 0.38 Bukan Angkatan Kerja 1.28 0.28 RT Golongan Atas 0.64 0.15 Kota RT Golongan Bawah 3.00 0.53 Bukan Angkatan Kerja 1.95 0.45 RT Golongan Atas 0.80 0.23
Rt selain pertanian dan
industri 24.77 5.41 Desa RT Golongan Bawah 7.28 1.41 Bukan Angkatan Kerja 4.98 1.08 RT Golongan Atas 3.29 0.88 Kota RT Golongan Bawah 4.95 1.01 Bukan Angkatan Kerja 2.68 0.63 RT Golongan Atas 1.60 0.40 JUMLAH 43.02 9.61
Sumber: BPS Jawa Barat, 2011
Daya tarik ekonomis dari sektor non pertanian mendorong penduduk beralih
dari sektor pertanian kepada sektor non pertanian. Pendapatan berupa upah dan gaji
sektor non pertanian yang lebih besar mendorong mereka untuk beralih profesi dari
petani menjadi pekerja pabrik, pedagang atau pekerja sektor restoran, jasa keuangan
5.5.2.1. Sumber Pendapatan Rumah tangga
Pendapatan rumah tangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer.
Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri dari; (1) pendapatan yang bersumber
dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja, (2) pendapatan yang bersumber dari balas
jasa bukan tenaga kerja (modal) termasuk imputasi sewa rumah yang ditempati sendiri,
pendapatan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja dsb. Sedangkan
pendapatan transfer meliputi; (1) tansfer yang bersumber dari rumah tangga lain, (2)
transfer dari perusahaan berupa bantuan sosial, tansfer dari pemerintah seperti
bantuan sosial termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) bantuan kesehatan
(Jamkesmas, dsb) serta (3) transfer/bantuan dari luar negeri termasuk halnya yang
berasal dari luar wilayah Jawa Barat.
Hasil estimasi dari SNSE Jawa Barat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per
kapita penduduk Jawa Barat adalah sebesar Rp 13.34 juta pertahun per orang.
Sebagian besar dari total pendapatan tersebut berasal dari kegiatan bekerja sebagai
buruh, karyawan atau pekerja keluarga sehingga menghasilkan pendapatan berupa upah dan gaji sebesar rata rata Rp 10.01 juta per penduduk. Pendapatan terbesar
adalah rumah tangga golongan atas di sektor industri dengan pendapatan rata-rata 95.00 juta per orang per tahun. Rumah tangga golongan rendah di kota yang bekerja di
sektor selain pertanian dan selain industri menerima pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain dalam kerangka SNSE Jawa Barat
yaitu sebesar Rp 3.98 juta perkapita. Secara rata-rata penduduk yang bekerja di sektor
industri memperoleh pendapatan paling besar dibandingkan dengan golongan rumah
tangga lain. Penerima pendapatan terendah di sektor industri adalah rumah tangga
sementara penerima pendapatan tertinggi di sektor industri adalah rumah tangga
golongan atas yaitu sebesar Rp 95.01 juta (Tabel 15).
Sebagian besar pendapatan rumah tangga di Jawa barat adalah pendapatan
dari upah dan gaji yaitu secara rata-rata sebesar 75.0% dari total pendapatan,
pendapatan dari kapital (bunga, deviden, sewa dsb) sebesar 24.1% dan sisanya
merupakan pendapatan dari transfer baik dari rumah tangga, pemerintah, perusahaan
maupun dari transfer luar negeri yaitu 0.9% (Tabel 15). Pendapatan rumah tangga
industri juga memiliki ketergantungan pendapatan yang berasal upah dan gaji sebagai
kompensasi jasa tenaga kerja yang bekerja di sektor industri dengan persentase
sebesar 75% sampai dengan 90.5% (bagi rumah tangga BAK) dari total pendapatan
rumah tangga. Rumah tangga pertanian tidak terlalu berharap dari upah pertanian
mengingat tingkat upah di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat upah di sektor lainnya seperti halnya upah pada sektor industri. Sekitar 85%
pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari upah dan gaji.
5.5.2.2. Struktur Pengeluaran Rumah tangga.
Struktur pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam meningkatkan pendapatannya. Semakin rendah persentase konsumsi
akhir semakin besar tabungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan kapital dari tabungan. Dari data Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata rata lebih dari
80% pendapatan digunakan untuk konsumsi akhir. Bahkan untuk rumah tangga
golongan rendah baik yang bekerja di sektor industri maupun diluar sektor industri dan
pertanian mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pendapatannya terutama buruh tani
yang mengkonsumsi 96.5% dari total pendapatannya. Sulit bagi rumah tangga dengan
sektor industri dan di kota dengan konsumsi sebesar 92.1% untuk meningkatkan
pendapatannya kecuali ada campur tangan langsung pemerintah melalui bantuan
pendidikan, kesehatan atau program cash transfer seperti halnya bantuan langsung
tunai (BLT).
Besarnya konsumsi rumah tangga berhubungan linear dengan tingkat tabungan
rumah tangga. Semakin besar konsumsi akhir semakin rendah tabungan rumah
tangga. Rumah tangga golongan atas baik di sektor industri dan sektor jasa-jasa
mempunyai tingkat tabungan (saving rate) relatif tinggi dibandingkan dengan golongan
rumah tangga lain. Rumah tangga golongan atas di sektor jasa-jasa mempunyai
tabungan sebesar 27.7% baik di desa maupun di kota. Sementara tabungan rumah
tangga golongan atas di sektor industri di kota sebesar 20.7% dan di desa 18.8%
RT Golonga n Bawah Bukan Angkata n Kerja RT Golonga n Atas RT Golong an Bawah Bukan Angkatan Kerja Jumlah Penduduk (juta orang) 43,02 5,48 2,95 2,17 1,28 0,64 3,00 1,95 Jumlah Rumah tangga (juta rt) 9,61 1,48 0,70 0,38 0,28 0,15 0,53 0,45
1. Upah dan gaji 75,0 85,6 86,2 85,9 75,2 86,6 89,7 90,5
2. Pendapatan kapital 24,1 12,2 13,1 12,2 23,7 13,1 10,0 9,3
3. Penerimaan transfer dari : 0,9 2,2 0,7 1,9 1,1 0,3 0,3 0,1
- RT 0,7 2,1 0,6 1,7 0,5 0,0 0,2 0,0
- Perusahaan 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1
- Pemerintah 0,1 0,0 0,0 0,0 0,4 0,2 0,1 0,0
- Luar Negeri 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0
4. Jumlah pendapatan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
5. Pembayaran pajak langsung 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1
6. Pendapatan RT setelah pajak 99,9 100,0 99,9 99,9 99,8 100,0 100,0 99,9
7. Pembayaran transfer ke : 0,7 0,7 0,4 0,5 1,0 0,4 0,6 0,5 - RT 0,7 0,7 0,4 0,5 0,9 0,4 0,6 0,5 - Perusahaan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 - Luar Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 8. Pendapatan Disposabel 99,2 99,2 99,5 99,4 98,8 99,5 99,4 99,5 9. Pengeluaran konsumsi 81,6 96,5 84,6 91,3 91,2 80,8 92,1 90,4 10. Tabungan 17,6 2,7 14,9 8,1 7,6 18,8 7,3 9,1
Sumber: SNSE Jawa barat 2010 diolah
Jawa Barat, 2010 (persen)
Jumlah
Pangsa (%)
Pertanian Bukan Pertanian
Buruh Pengus aha Pertani an Industri Desa Kota
RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas 0,80 7,28 4,98 3,29 4.95 2.68 1.6 0,23 1,41 1,08 0,88 1.01 0.63 0.4 90,3 45,4 27,2 55,4 70.9 63.1 78.9 8,1 54,0 68,0 44,0 28.6 36.6 20.8 1,6 0,6 4,8 0,6 0.5 0.4 0.3 1,5 0,1 4,3 0,1 0.3 0 0 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 0,0 0,2 0,2 0,3 0 0.2 0.1 0,0 0,0 0,1 0,1 0 0.1 0.1 100,0 100,0 100,0 100,0 100 100 100 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 99,9 99,8 99,8 99,8 99.8 99.9 100 0,3 1,2 1,1 0,6 0.9 1.2 1.1 0,3 1,1 1,1 0,5 0.8 1.1 1 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0.1 99,6 98,6 98,7 99,3 99 98.7 98.8 78,9 82,4 90,0 71,5 93.5 92.5 71.1 20,7 16,2 8,7 27,8 5.4 6.2 27.7
Jawa Barat, 2010 (persen)
Pangsa (%)
Bukan Pertanian
Industri Bukan Industri